PENDAHULUAN
Menjelaskan proses masuknya agama Hindu dan Budha ke Nusantara akan
memerlukan analisis yang cukup dalam dan teliti. Hal ini dikarenakan belum adanya
kesepakatan yang bulat antara para ahli mengenai siapa sebenarnya yang membawa
kebudayaan Hindu Budha masuk ke Nusantara. Secara garis besar, peneliti membagi proses
masuknya agama Hindu-Budha menjadi dua. Pendapat pertama bertolak dari anggapan
bahwa Nusantara berlaku pasif dalam proses ini. Para pendukung dari konsep pertama
mempunyai anggapan bahwa telah terjadi kolonisasi yang dilakukan oleh orang-orang India.
Teori yang termasuk dalam kelompok pendapat pertama adalah teori brahmana, teori waisya,
teori sudra, dan teori ksatria. Sedangkan pendapat kedua yang muncul memberikan anggapan
bahwa bangsa Indonesia berperan aktif dalam penyebaran agama Hindu Budha di Nusantara.
Agar dapat memahami proses masuknya agama Hindu-Budha di Nusantara, kamu
dapat membaca E-book ini sampai selesai, karena didalamnya terdapat materi yang berisikan
teori masuknya agama Hindu-Budha. Selamat membaca
TEORI WAISYA
Teori ini dikemukakan oleh N. J. Krom. Pendapat yang masih berpegang pada
anggapan bahwa adanya kolonisasi, memberikan peranan utama pada golongan lain. Teori ini
awalnya diajukan oleh N. J. Krom yang memberikan peranan utama kepada golongan
pedagang. Krom tidak sependapat mengenai anggapan bahwa golongan ksatria adalah
golongan terbesar di antara orang-orang India yang datang ke Nusantara. Hal ini dikarenakan
orang-orang yang datang dengan tujuan berjualan adalah golongan terbesar dan itu adalah
golongan pedagang. Mereka menetap di Indonesia lalu memegang peranan dalam penyebaran
pengaruh budaya India melalui hubungan dengan penguasa penguasa di Nusantara. Krom
memberikan isyarat bahwa adanya kemungkinan perkawinan antara pedagang-pedagang dari
India dengan wanita di Nusantara. Perkawinan adalah salah satu saluran bagi penyebaran
kebudayaan yang penting. Selain memberikan peranan pada golongan yang berbeda, teori
Krom juga mempunyai perbedaan lain jika dibandingkan dengan teori Ksatria.
Berdasarkan pengamatan dari berbagai aspek kebudayaan, Krom berpendapat bahwa
unsur dalam budaya tersebut masih terlihat jelas. Krom memberikan kesimpulan bahwa
peranan kebudayaan Indonesia dalam proses pembentukan kebudayaan India di Indonesia
sangat penting. Hal tersebut tidak memungkinkan dapat terjadi jika bangsa Indonesia hidup
dalam tekanan seperti yang digambarkan oleh teori ksatria. Krom juga mendapatkan banyak
penganut di kalangan para peneliti. Akan tetapi dengan adanya berbagai kemajuan dalam
penelitian, muncul pendapat-pendapat yang beranggapan bahwa teori ini masih kurang
menjelaskan mengenai peranan bagi bangsa Indonesia. Walaupun Krom sudah melihat
adanya peranan yang penting dari kebudayaan Indonesia, namun masih terdapat kesan bahwa
proses yang terjadi tidak sepenuhnya ditentukan oleh bangsa Indonesia.
TEORI BRAHMANA
Teori ini dikemukakan oleh Van Leur, ia mengajukan keberatannya pada teori Ksatria
dan teori Waisya. Dijelaskan bahwa Van Leur keberatan mengenai kolonialisasi yang terjadi.
Menurutnya suatu kolonialisasi yang melibatkan penaklukan pasti akan dicatat sebagai
sebuah kemenangan. Namun, berdasarkan sumber-sumber tertulis yang ada di India tidak
ditemukan catatan bahwa adanya kemenangan atas kolonialisasi yang berada di Nusantara.
Selain bukti tersebut, suatu kolonisasi juga akan selalu disertai oleh pemindahan segala unsur
tatanan masyarakat dari tanah asal. Misalnya akan ada perubahan mengenai sistem kasta,
kebudayaan, bentuk rumah, bahasa, pergaulan dan sebagainya. Dalam kenyataannya di
Nusantara dan India tidak terdata persamaan yang spesial mengenai unsur-unsur yang
disebutkan tadi. Jika ada pedagang pedagang yang menetap di India pasti akan membuat
perkampungan perkampungan khusus, seperti Kampung Keling.
Pedagang yang tinggal di perkampungan khusus tersebut tidak memiliki kedudukan
yang lebih tinggi daripada rakyat biasa yang tinggal di sekitar tempat tersebut. Hubungan
mereka hanyalah sebagai penguasa dalam bidang perdagangan sehingga mereka tidak dapat
diharapkan memiliki pengaruh kebudayaan yang membawa perubahan-perubahan pada
bidang tata negara maupun agama. Hal ini semakin jelas karena sebagian besar pedagang
tersebut adalah pedagang keliling yang berasal dari kalangan masyarakat biasa.
Mengingat bahwa adanya unsur-unsur kebudayaan India yang terdapat dalam budaya
Indonesia, Van Leur beranggapan bahwa peranan penyebaran kebudayaan dari India lebih
cenderung dari golongan kaum brahmana. Para Brahmana yang datang ke Indonesia atas
undangan dari para penguasa dan raja yang ada di Nusantara, sehingga kebudayaan yang
mereka perkenalkan adalah kebudayaan golongan Brahmana.
Kelemahan dari teori brahmana ini adalah Van Leur masih belum jelas mengenai apa
yang mendorong terjadinya proses tersebut. Van Leur berpendapat bahwa dorongan tersebut
adalah akibat dari kontak dengan India melalui perdagangan antara India dan Nusantara.
Bukan hanya melalui orang-orang India yang datang, melainkan juga mungkin karena orang-
orang Indonesia yang melihat sendiri kondisi di India. Terdorong oleh keinginan agar dapat
disandingkan dengan orang-orang India dan terdorong oleh keinginan agar dapat
meningkatkan kemakmuran negerinya. Mereka pun mengundang Brahmana agar datang ke
Nusantara dan mengajarkan kebudayaan mereka. Para Brahmana tersebut akhirnya
melakukan sebuah upacara yang dinamakan upacara Vratyastoma, yaitu upacara inisiasi yang
dilakukan oleh para kepala suku agar menjadi golongan ksatria. Pandangan ini juga sejalan
dengan pendapat yang dikemukakan oleh Paul Wheatly yang berpendapat bahwa para
penguasa lokal yang berada di Asia tenggara sangat berkepentingan dan sangat tertarik
dengan kebudayaan India untuk meningkatkan status sosial mereka.
TEORI SUDRA
Teori ini dikemukakan oleh Van Faber. Ia mengatakan bahwa Agama Hindu dibawa
oleh para budak atau golongan sudra, mereka agama Hindu karena ingin mengubah nasib
mereka. Orang-orang Sudra yang merupakan golongan terbawah dalam strata kasta Hindu
masuk ke Indonesia untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Tapi, teori ini tidak
terlalu kuat, karena rasional, pengaruh kaum Sudra untuk agama Hindu tidak terlalu besar
dalam mempengaruhi masyarakat di Nusantara. Pada kenyataan, kebudayaan Hindu berasal
dari jaminan milik kasta Sudra, karena mereka merasa tersisih dan hanya hidup sebagai
budak dan kebudayaan Hindu.
Van Faber berpendapat bahwa Orang India berkasta Sudra (pekerja kasar)
menginginkan kehidupan yang lebih baik, yang tinggal menetap di India sebagai pekerja
kasar bahkan tak jarang mereka dijadikan budak dari para majikan sehingga mereka pergi ke
daerah lain bahkan ada yang sampai ke Indonesia untuk mendapat tempat yang lebih baik dan
lebih dari. Namun ada beberapa bantahan mengenai teori ini seperti halnya, golongan Sudra
tidak menguasai seluk beluk ajaran agama Hindu sebab mereka tidak menguasai bahasa
Sansekerta yang digunakan dalam Kitab Suci Weda (terdapat aturan dan ajaran agama
Hindu). Terlebih tidak sembarang orang dapat menyentuhnya, membaca dan melihat isinya.
Tujuan utama golongan Sudra meninggalkan India adalah untuk mendapat
penghidupan dan suasana yang lebih baik (memperbaiki keadaan / kondisi mereka). Sehingga
jika mereka ke tempat lain pasti hanya untuk mewujudkan tujuan utama mereka bukan untuk
agama Hindu. Dalam sistem kasta di dalam kaum sudra ada pada kasta terendah sehingga
tidak mungkin mereka mau mau agama Hindu yang merupakan milik kaum brahmana, kasta
di atasnya. Jika mereka menerapkan agama Hindu berarti akan lebih mengagungkan posisi
kasta brahmana, kasta yang telah menempatkan mereka pada kasta terendah.
TEORI KSATRIA
Teori Ksatria adalah sebuah teori yang menyatakan bahwa agama Hindu dibawa ke
Indonesia oleh para bangsawan dan pemimpin kerajaan, atau kasta Ksatria. Berdasarkan
Teori ini, para Ksatria berperan dalam pendirian kerajaan-kerajaan di Indonesia. Kasta
Ksatria adalah salah satu kasta yang ada di dalam sistem sosial agama Hindu, yang terdiri
dari para raja, para prajurit, dan bangsawan. Beberapa orang yang berasal dari kasa Brahmana
umumnya menyelenggarakan pemerintahan dan juga memimpin kerajaan. Selain itu mereka
juga sering memimpin peperangan. Menurut Majumdar, munculnya kerajaan atau pengaruh
Hindi di kepulauan Indonesia disebabkan oleh peranan kaum Ksatria atau para prajurit India.
Para prajurit ini diduga melarikan diri dari India, lalu mendirikan kerajaan-kerajaan di
Kepulauan Indonesia dan Asia Tenggara
Kelebihan teori ksatria adalah semangat berpetualang yang pada waktu itu umumnya
dimiliki oleh para ksatria. Semangat berpetualang yang ditunjukkan golongan ksatria tersebut
mendorong penyebaran agama dan budaya Hindu-Buddha. Meskipun demikian, teori ksatria
juga memiliki beberapa kelemahan diantaranya adalah sebagai berikut. Ksatria tidak
menguasai bahasa Sanskerta dan huruf Pallawa yang ada di kitab Weda. Selian itu, Apabila
Indonesia pernah menjadi daerah taklukan kerajaan India, tentu hal tersebut ada bukti prasasti
yang menggambarkan penaklukkan. Namun, baik di India maupun Indonesia tidak ditemukan
prasasti seperti itu. Serta tidak mungkin pelarian ksatria dari India mendapat kedudukan
mulia sebagai raja di wilayah lain. Pada waktu itu di Indonesia seorang yang dapat
memimpin suatu wilayah harus memeuhi syarat mempunyai kemampuan tinggai daripada
yang lain.
Masuk dan berkembangnya agama Hindu di Indonesia bisa dilihat pada berdirinya
beberapa kerajaan bercorak Hindu, contohnya seperti Kerajaaan Tarumanegara, Kerajaan
Kutai, dan Kerajaan Mataram. Berdirinya kerajaan tersebut diduga melibatkan para Ksatria
yang berasal dari India.
TEORI ARUS BALIK
Teori ini dikemukakan oleh F. D. K. Bosch. Bosch sependapat dengan pendapat Van
Leur. Bertolak dari sifat unsur-unsur kebudayaan India yang diamati dalam kebudayaan
Indonesia. Ia juga berpendapat bahwa proses indianisasi di Indonesia dilakukan oleh
kelompok cendekiawan dalam tatanan masyarakat yaitu para administrator atau para pelajar.
Agar dapat mengamati proses yang terjadi antara kebudayaan Indonesia dan India,
Bosch menggunakan istilah penyuburan. Ia melihat adanya dua jenis proses penyuburan.
Penyuburan yang pertama dan kemungkinan yang telah terjadi terlebih dahulu adalah proses
melalui pendeta agama Buddha. Pada awal hubungan dagang antara India dan Indonesia yang
bertepatan dengan perkembangan pesat dari agama Buddha. Biksu biksu agama tersebut
menyebarkan agama ke seluruh penjuru dunia melalui jalur perdagangan tanpa menghiraukan
kesulitan yang dihadapinya.
Dengan penuh ketekunan para biksu itu mengajarkan agama mereka. Selanjutnya
dibentuklah sebuah sanggha dengan biksu-biksunya. Melalui biksu ini timbul suatu ikatan
dengan India, tanah suci agama Buddha. Kedatangan biksu-biksu India di berbagai negeri
ternyata mengundang arus balik biksu dari negeri-negeri itu ke India. Para biksu kemudian
kembali dengan membawa kitab-kitab suci, relik dan kesan-kesan. Bosch menyebut gejala
sejarah ini sebagai gejala arus balik. Aliran agama lain dari India yang meninggalkan
pengaruh di Indonesia adalah agama Hindu. Berbeda dengan agama Buddha, para brahmana
agama Hindu tidak dibebani kewajiban untuk menyebarkan agama Hindu. Hal ini karena
pada dasarnya seseorang tidak dapat menjadi Hindu, tetapi seseorang itu lahir sebagai Hindu.
Dengan konsep seperti, proses hinduisasi di Indonesia menjadi semakin menarik, karena
tidak dapat dipungkiri orang-orang Indonesia pasti awalnya tidak dilahirkan sebagai Hindu,
tetapi dapat beragama Hindu. Untuk dapat menjelaskan fenomena ini harus dilihat terlebih
dahulu watak khas agama Hindu. Agama Hindu pada dasarnya bukanlah agama untuk umum
dalam arti bahwa pendalaman agama tersebut hanya mungkin dilakukan oleh golongan
brahmana. Beranjak dari kenyataan ini, terdapat berbagai tingkat keketatan pelaksanaan
prinsip tersebut. Hal itu tergantung dari aliran sekte yang bersangkutan. Adapun sekte agama
Hindu yang terbesar pengaruhnya di Jawa dan Bali adalah sekte Siwa-Siddhanta
Aliran Siwa-Siddhanta sangat esoteris. Seseorang yang dicalonkan untuk menjadi
seorang brahmana guru harus mempelajari kitab-kitab agama selama bertahun-tahun dan
setealh diuji baru dizinkan menerima inti ajarannya langsung dari seorang brahmana guru.
Brahmana inilah yang selanjutnya membimbingnya hingga ia siap untuk ditasbihkan menjadi
brahmana guru. Setelah ditasbihkan, ia dianggap telah disucikan oleh Siqa dan dapat
menerima kehadirannya dalam tubuhnya pada upacara-upacara tertentu.
Dalam keadaan demikian ia dianggap dapat merubah air menjadi amrta. Brahmana itu
lantas diundang ke Indonesia. Mereka melakukan upacara khusus dapat menghindukan
seseorang (vratsyastoma). Pada dasarnya kemampuan mereka inilah yang menyebabkan raja-
raja Indonesia mengundang para brahmana ini. Mereka mendapat kedudukan yang terhormat
di kraton-kraton dan menjadi inti golongan brahaman Indonesia yang kemudian berkembang.
Penguasaan yang luas dan mendalam mengenai kitab-kitab suci menempatkan mereka
sebagai purohita yang memberi nasehat kepada raja, bukan hanya di bidang keagamaan tetapi
juga pemerintahan, peradilan, perundang-undangan dan sebagainya
RANGKUMAN
Dari uraian di atas terlihat bahwa hubungan dagang antara Indonesia dan India
merupakan suatu faktor dalam proses masuknya pengaruh budaya India. Hubungan dagang
telah menyebabkan terjadinya proses tersebut. Akan tetapi, proses hinduisasi sendiri adalah
sesuatu yang terpisah dari proses perdagangan. Akibat proses ini terjadi perubahan dalam
birokrasi pemerintahan. Perubahan ini memang dapat berakibat pada jalannya perdagangan,
tetapi inti perubahan yang terjadi sebagian besar terletak pada bidang keagamaan. Hal ini
bukan hanya berlaku untuk bidang-bidang yang jelas bercorak agama seperti sastra, seni rupa,
dan seni bangunan suci, tetapi juga berpengaruh pada tata upacara di kraton, organisasi
ketatanegaraan, dan kelembagaan masyarakat.
Penyuburan budaya Hindu-Buddha di Indonesia yang terjadi melalui kontak dengan
golongan agama dari India sebagian besar langsung berpengaruh pada golongan elit zaman
kuno di Indonesia. Bertolak dari kedudukan golongan ini, maka dengan sendirinya akan
tersebar pengaruh di kalangan yang lebih luas. Para ahli yang telah meniliti masyarakat
Indonesia kuno sebagian besar berpendapat bahwa unsur budaya Indonesia kuno masih
nampak dominan dalam seluruh lapisan masyarakat. Salah satu hal yang mencolok dalam
suatu masyarakat Hindu adalah adanya kasta. Keterangan-keterangan dari sumber-sumber
epigrafi dan sastra kuno, atau pun pengamatan terhadap keadaan di Bali sekarang, tidak
menggambarkan kondisi seperti di India
Kasta memang ada Suatu indikasi bahwa masalah tersebut dipahami. Akan tetapi ciri-
ciri kasta di Bali berbeda dengan sistem kasta di India. Bosch menyimpulkan bahwa
masyarakat Indonesia melaksanakan teori tentang kasta, tetapi tidak memindahkan wujudnya
yang telah tercipta dalam perkembangan di India. Demikan pula dalam seni, hingga sekarang
para ahli belum berhasil untuk menghubungkan dengan pasti gaya seni banggunan candi
dengan salah satu daerah di India. Bangunan candi tidak dapat dipungkiri adalah sebuah
bangunan yang mengandung unsur-unsur budaya India. Akan tetapi dalam pelaksanaannnya
para seniman Indonesia hanya menggunakan dasar-dasar teoritis yang tercantum dalam
Silpasastra sebagai dasar untuk konsep pembangunannya. Oleh karena itu dapat dikatakan
bangsa Indonesia hanya mengambil unsur budaya India sebagai dasar pembuatannya,
sementara hasilnya adalah sesuatu yang bercorak Indonesia. Penelitian bahan epigrafi dan
sastra kuno serta eskavasi arkeologi masih dapat mengungkapkan keterangan lebih banyak
lagi mengenai corak budaya Indonesia kuno yang mendapat pengaruh budaya India. Tetapi
inti masuknya pengaruh budaya India telah terlihat jelas. Proses tersebut telah dimungkinkan
karena adanya hubungan dagang antara Indonesia dan India. Selanjutnya muncul proses
penyuburan yang terjadi karena inisiatif dari bangsa Indonesia sendiri. Dalam proses ini
bangsa Indonesia telah bertindak selektif. Unsur-unsur budaya India diambil intinya dalam
proses penyuburan budaya Indonesia. Dengan demikian unsur-unsur budaya India tidak
pernah menjadi unsur yang dominan dalam kerangka budaya Indonesia sebagai keseluruhan.