1
Daftar Isi
Waluku: Cultivating Civilization ............................................................................. 3
Body and Soul ....................................................................................................... 7
Skilled Hands ......................................................................................................... 10
Sudhana Manohara: the Eternal Love Story .......................................................... 12
Jataka Fable Stories .............................................................................................. 17
Walking With The Stars ......................................................................................... 20
Tropical Flora’s Wonderland ................................................................................. 27
Journey of The Stones .......................................................................................... 29
Music and Rhyme .................................................................................................. 30
Borobudur Trail of Civilization | 2
Waluku: Cultivating Civilization
Aktivitas yang ditawarkan dalam Waluku: Cultivating Civilization bertujuan untuk
memberikan pengalaman langsung kepada wisatawan menjadi seorang petani dalam
sehari. Narasi penceritaan tema Waluku: Cultivating Civilization mengacu pada
interpretasi panel relief Candi Borobudur yang menggambarkan tradisi dan budaya
bertani masyarakat pada masa zaman Kerajaan Mataram Kuno dibawah kepemimpinan
Wangsa Syailendra di abad ke 9-10.
Kata waluku berasal dari bahasa Jawa yang memiliki arti bajak-sebuah alat yang telah
lama ada dan paling umum digunakan dalam dunia pertanian untuk menggemburkan
tanah sebelum berlanjut ke prosesi penanaman benih tanaman.
Relief Seorang Petani, Seekor Sapi, dan Alat Bajak Tradisional di Relief Jātaka di deretan panel no. 336
Sumber foto: Tim BToC Kemenparekraf
Salah satu panel relief Candi Borobudur dengan jelas mencatatkan keberadaan alat tani
tradisional ini lengkap dengan penggambaran seekor sapi yang sedang menarik bajak
dan seorang petani sejak berabad-abad lalu.
Borobudur Trail of Civilization | 3
Relief Pertanian pada Lorong I, Pagar Langkan, Sisi Timur Candi Borobudur
Sumber Foto: Balai Konservasi Borobudur – 2021
Pada kedua relief tersebut memperlihatkan seorang petani menggunakan sapi untuk
membajak sawah, lengkap dengan peralatan bajak sawah tradisional dan tongkat untuk
membantu mengarahkan sapi. Relief ini merupakan berdasarkan kajian yang dilakukan
oleh Balai Konservasi Borobudur, merupakan katagorisasi relief dekoratif pada candi,
artinya relief ini merupakan relief yang menggambarkan pemandangan dan tidak
memiliki cerita dengan tema tertentu.
Relief terkait dengan tradisi dan budaya agrikultur mengenai perkebunan dan tegalan/ladang yang ada
pada sisi timur kaki Candi Borobudur yang tertutup
Sumber: Balai Konservasi Borobudur
Penggambaran areal agrikultur berupa lahan ladang dan persawahan pada masa
Kerajaan Mataram Kuno ini tidak terhenti pada kebutuhan untuk pengolahan bahan
pangan saja, namun juga pengejawantahan hubungan batin manusia dan alam yang lebih
besar, yakni simbol sebuah tempat suci atau sima. Penetapan ladang atau sawah sebagai
sebuah tempat suci bukan tanpa alasan, areal ladang atau sawah dianggap mampu
memberi penghidupan dan pendapatan dalam suatu kelompok masyarakat. Untaian bait
yang tersurat dalam prasasti Canggal (732M) yang ditemukan di Bukit Wukir, Kabupaten
Borobudur Trail of Civilization | 4
Magelang, yang turut menguatkan bahwa masyarakat Jawa Kuno hidup dengan
mengandalkan sektor agraris dengan padi sebagai komoditas utama Kerajaan Mataram
Kuno.
“…asid dvipavaram yavakhyam atulam
chanyadi-vijadhikam. sampannam kanakakarais tadamarai
(s saksa)d ivoparjitam. 1) crimat-kunjara-kunjadeca-
nihi (tam lin) gadi-tirthavrtam. 2) stanam
divyatamam civaya jagatac cambhos tu yatradbhutam….”
-
“...adalah pulau mulia, bernama Jawa, Yang tak ada
bandingannya tentang Hasil buminya, terutama hasil
padi; Kaya akan tambang emas yang semata- mata diakui
kepunyaan oleh para dewa; pulau yang penuh dengan
tempat-tem- pat pemujaan suci, Kujarakunja namanya
untuk keselamatan dan kemakmurandunia...”
Bait Prasati Canggal tentang Pulau Jawa dan Hasil Bumi Pulau Jawa
sumber: Balai Konservasi Borobudur
Waluku sebagai sebuah Penanda Musim
Narasi yang dikembangkan dalam Waluku: Cultivating Civilization berkisah pula tentang
tradisi ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh nenek moyang bangsa Indonesia untuk
membaca alam melalui konstelasi bintang yang terbentuk di langit. Mengacu pada ilmu
astronomi, rasi bintang kerap kali dimanfaatkan untuk menandai perubahan musim yang
terbentuk seiring dengan rotasi bumi yang mengelilingi matahari. Yang juga dikenal di
tengah masyarakat Jawa sebagai Pranata Wangsa. Memasuki masa peralihan musim ini,
rasi bintang Orion/Waluku akan muncul di sisi timur tepat sebelum terbitnya matahari
di bumi nusantara.
Kemunculan rasi bintang yang dalam perspektif masyarakat Jawa, terlihat menyerupai
alat bajak sawah tradisional (Waluku) dan menyerupai sosok seorang pemburu dari
kisah mitologi Yunani bernama Orion dalam perspektif astronomi barat ini, menandai
bahwa musim tanam telah tiba. Sehingga tak ayal, tradisi masyarakat tani di Jawa pada
umumnya menggunakan kemunculan bintang orion/waluku ini sebagai penanda bahwa
musim tanam telah datang. Dalam pandangan masyarakat Jawa, istilah waluku tak hanya
melekat pada nama sebuah alat bajak tradisional, namun juga sebagai nama lain dari rasi
bintang orion.
Borobudur Trail of Civilization | 5
Thomas Stamford Raffles, seorang Gubernur Jendral Inggris di tanah Jawa tahun 1814
pernah pula mengilustrasikan dalam bukunya, the History of Java yang diterbitkan tahun
1817, tentang budaya bertanam masyarakat Jawa dan kemunculan rasi bintang waluku.
Ia menyebutkan kala seorang petani menggenggam beras dan menebarkannya pada
hamparan sawah dengan menghadap ke arah munculnya rasi bintang waluku, maka
dimulailah masa tanam padi.
Bentuk rasi bintang Waluku/Bajak berdasarkan ilustrasi yang dibuat oleh Sir Thomas Raffles
dalam buku the History of Java
Munculnya asosiasi rasi bintang waluku terhadap beberapa fenomena alam diduga juga
telah mempengaruhi posisi pendirian Candi Borobudur, Candi Pawon, dan Candi Mendut.
Berdasarkan kajian ilmu arkeoastronomi, posisi ketiga candi tersebut sejajar dengan
posisi tiga titik rasi bintang orion/waluku. Posisi dan jarak ketiganya terbiaskan dari
posisi dan jarak dari bintang Mintaka, Alnilam, dan Alnitak yang melintang dari timur ke
barat.
Pengembangan tema Waluku:Cultivating Civilization ini menitikberatkan selain pada
narasi dan penceritaan tentang budaya bercocok tanam juga pada terbangunnya nuansa
pedesaan yang asri dan gambaran kehidupan masyarakat Jawa yang harmonis dengan
alam semesta.
Borobudur Trail of Civilization | 6
Body and Soul
Candi Borobudur merupakan candi tertua di Asia Tenggara dengan panel relief yang
merekam aktivitas kebugaran tubuh. Penel relief ini diinterpretasikan melalui sebagai
bagian dari perjalanan manusia yang menggambarkan kebugaran tubuh sebagai
pelengkap keseimbangan seorang manusia pada raga dan jiwanya. Keseimbangan yang
mendorong terciptanya kondisi individu yang utuh dalam mengarungi kehidupan di
dunia.
Dalam ajaran Buddha sendiri dikenal sebuah prinsip “kondisi batin yang baik tercipta
karena tubuh yang baik”, sebuah prinsip yang dianggap penting sebagai dasar langkah
menciptakan kondisi tubuh yang siap untuk menerima cinta dan kasih sayang bahkan
ujian kehidupan. Penyusunan tema ini berangkat dari narasi panel relief Ratu Maya
sebelum mengandung Sang Buddha sedang dalam posisi dipijat dan tengah bermimpi
didatangi oleh seekor gajah putih yang kemudian mengecil dan masuk ke dalam perut
sang ratu. Tak lama setelah itu, Ratu Maya pun mengandung janin Sidharta Gautama.
Panel Relief Ratu Maya pada deretan Relief Lalitavistara
Sumber foto: Tim BToC Kemenparekraf
Pada panel relief ini dapat dilihat Ratu Maya dijaga oleh lima belas prajurit yang
membawa pedang maupun kujang. Terlepas dari interpretasi relief Ratu Maya, dalam
pengembangan tema Body and Soul ini, terdapat satu panel relief yang juga
Borobudur Trail of Civilization | 7
menginterpretasikan relaksasi tubuh dan jiwa. Relief tersebut terdapat di deretan panel
Jātaka yang terletak di sisi selatan deretan panel atas no. 103-107, berkisah tentang
seorang pertapa bernama Ksantivadin. Relief ini berhubungan dengan tema body and soul
karena menceritakan seorang raja yang sedang tertidur di sebuah gubuk di pinggir danau
tengah dipijat oleh pelayannya, sementara permaisurinya tengah berjalan-jalan bersama
pelayannya hingga masuk ke dalam hutan dan bertemu dengan Ksantivadin.
Panel Ksantivadin Relief Jātaka No. 103
Sumber foto: Tim BToC Kemenparekraf
Pengembangan tema Body and Soul juga dielaborasi aktivitas yang berasal dari budaya
masyarakat Jawa secara umum untuk mengkonsumsi minuman herbal tradisional, yakni
wedang rempah dan aneka macam jamu. Dengan potensi sumber daya alam berupa
tumbuhan yang menjadi bahan baku minuman herbal tradisional atau yang sering
dikenal dengan rempah-rempahan yang tumbuh subur di sekitar kawasan Borobudur,
seperti secang, jahe, daun telang, dan lain-lainnya.
Borobudur Trail of Civilization | 8
Dua Panel Interpretasi Pengolahan Herbal dan Obat-obatan Tradisional, Relief
Karmawibhangga
Sumber foto: Balai Konservasi Borobudur
Keberadaan rempah dan herbal lokal dapat pula ditemukan pada panel relief
Karmawibhangga Candi Borobudur yang menginterpretasikan tentang pengolahan
herbal dan obat-obatan tradisional.
Balai Konservasi Borobudur mendokumentasikan hasil kajian nya terkait dengan herbal
pada abad 9-10 pinang dan asam merupakan komoditas penting di kepulauan nusantara.
Pinang terkait erat dengan tradisi mengunyah sirih, sedangkan asam jawa terkait erat
dengan kuliner nusantara termasuk minuman herbal. Bahkan tamarin tidak hanya
sebagai barang dagangan, namun juga sebagai bawaan wajib nelayan nusantara sebagai
sumber vitamin C untuk mencegah sariawan dan panas dalam ketika mereka berlayar
yang terkadang hingga berbulan-bulan lamanya di lautan.
Relief Asam Jawa ditemukan pada relief Lalitavistara sisi Selatan dinding lorong I no. 27
Sumber foto: Tim BToC Kemenparekraf
Borobudur Trail of Civilization | 9
Skilled Hands
Kerajinan gerabah merupakan salah satu jenis kerajinan yang bersifat universal dan
muncul dalam catatan sejarah hampir seluruh bangsa di dunia. Gerabah diduga dikenal
pertama kali pada jaman neolitikum di daratan Eropa sekitar tahun 10000 sebelum
masehi. Di Indonesia sendiri, kerajinan gerabah telah ada sekitar tahun 3000-1100
sebelum masehi, maka tak heran terdapat pahatan-pahatan berbentuk gerabah pada
setiap kisah masyarakat Jawa pada era kepemimpinan Wangsa Syailendra yang terekam
dalam relief Candi Borobudur.
Pengembangan tema Skilled Hands ini tercetus didasarkan pada banyaknya pada panel
relief Candi Borobudur yang menyertakan alat-alat rumah tangga, perlengkapan ritual
keagaaman, dan perlengkapan sehari-hari yang secara interpretasi, terbuat dari gerabah.
Selain itu, pengembangan tema ini juga berasal dari tradisi dan budaya masyarakat
setempat, tepatnya di Dusun Klipoh, Desa Karanganyar, Kecamatan Borobudur yang
banyak menekuni seni kerajinan pembuatan gerabah ini bahkan sejak sebelum Candi
Borobudur berdiri hingga kini.
Menurut catatan dan naskah yang dibuat oleh Balai Konservasi Borobudur (BKB) pada
tahun 2019, interpretasi relief ini didukung oleh temuan gerabah melalui ekskavasi
arkeologis proyek Pemugaran Candi Borobudur yang dilakukan pada tahun 1974 yang
menemukan sebanyak 14.000 fragmen pecahan geraban dan 10 buah periuk utuh di area
lereng bukit Borobudur sebelah barat daya. Temuan yang kemudian diidentifikasi
menjadi 9 jenis, yaitu: periuk, cangkir, mangkok, tempayan, bajan, kendi, tutup wadah,
dan lampu minyak. Dari berbagai temuan tersebut, hanya sekitar 5% yang mempunyai
motif hias, yang dapat dikelompokkan dalam 3 kategori menurut teknik pembuatannya:
tekan, gores, dan upam.
Borobudur Trail of Civilization | 10
Relief Jataka, sisi utara, pagar langkan lorong I, panil nomor 107a yang
menggambarkan pembuatan gerabah dengan teknik tatap pelandas.
sumber: Balai Konservasi Borobudur
Relief Jataka, sisi utara, pagar langkan lorong I, panil nomor 107b yang
menggambarkan pembakaran gerabah dengan tungku terbuka
sumber: Balai Konservasi Borobudur
Melalui tema perjalanan dan penceritaan dalam Skilled Hands ini, wisatawan dapat
mendapatkan pengetahuan mengenai gerabah dan interpretasi yang meliputinya dari
panel relief di Candi Borobudur. Selain itu, wisatawan dapat merasakan langsung
pengalaman membuat gerabah dengan teknik-teknik yang akan dijelaskan para
pemandu/komunitas lokal, bagaimana tanah liat diproses hingga siap untuk
dipergunakan untuk membuat gerabah, dan membawanya pulang sebagai buah tangan.
Borobudur Trail of Civilization | 11
Sudhana Manohara: the Eternal Love Story
Panel
relief Kinnara Kinnari pada deretan relief Lalitavistara
Sumber foto: Tim BToC Kemenparekraf
Babak Pertama; Makna Sebuah Pertemuan
Kisah Raja Pancala Selatan yang memimpin wilayah dengan kondisi yang tandus karena
tidak pernah turun hujan dalam waktu yang lama sehingga ditinggalkan oleh warganya,
kondisi tersebut berbeda dengan kerajaan Pancala Utara. Raja mendapatkan kabar
bahwa Janmacitraka yang digambarkan dalam bentuk manusia dengan mahkota berupa
kepala ular yang tinggal di danau besar dekat kerajaan Pancala Utara yang memiliki
keajaiban untuk mendatangkan hujan.
Panel relief Halaka Membantu Janmacitraka
Sumber foto: Balai Konservasi Borobudur
Borobudur Trail of Civilization | 12
Sang Raja membuat sayembara untuk membawa Janmacitraka ke Pancala Selatan
dengan imbalan sekantong emas. Sesosok pawang ular tertarik dengan sayembara
tersebut, sehingga mulai mencari Janmacitraka guna dibawa ke Pancala Selatan. Pawang
ular tersebut memiliki mantra untuk bisa menangkap Janmacitraka dalam waktu 7 hari.
Merasa terancam, Janmacitraka meminta tolong kepada Halaka yang tinggal didekat
danau. Halaka kemudian memanah pawang ular tersebut dan mematahkan mantranya.
Sebagai ucapan terima kasih, Janmacitraka memberikan sebuah tali laso yang memiliki
kemampuan yang tidak pernah meleset.
Halaka, setelah menerima laso dari Janmacitraka, Halaka bertemu dengan rishi
yang tinggal di dekat danau didalam hutan. Rishi tersebut menyebutkan bahwa terdapat
seorang Putri Kinnari yang selalu mandi di danau tersebut. Kemudian Halaka mengincar
putri tersebut dengan lassonya. Putri Kinnari yang bernama Manohara tersebut tidak
berdaya setelah ditangkap oleh Halaka, sehingga menyerah dan memberikan permata
yang ada di keningnya, sehingga kebebasan Manohara ada ditangan Halaka. Halaka
kemudian bertemu dengan Pangeran Sudhana yang sedang berburu, kemudian pangeran
tersebut bertanya kepada Halaka mengenai Manohara. Merasa ketakukan, Halaka
kemudian menyerahkan Manohara kepada Sudhana. Sudhana pada saat tersebut
langsung jatuh hati dengan kecantikan Manohara.
Panel relief Halaka Menangkap Manohara
Sumber foto: Balai Konservasi Borobudur
Borobudur Trail of Civilization | 13
Babak Kedua; Makna Sebuah Perpisahan
Pangeran Sudhana dan Puteri Manohara telah menikah dan tinggal di istana. Di Istana
terdapat dua brahmana yang bersaing untuk memperebutkan posisi Brahmana Utama di
kerajaan. Brahmana utama yang merupakan kepercayaan Raja memberikan kabar
kepada Sudhana bahwa ada peperangan dan meminta Sudhana untuk memimpin
peperangan tersebut, agar membahayakan jiwanya sehingga apabila Sudhana wafat, dia
tidak akan menjadi raja dan posisi Brahmana utama tidak bergeser. Sudhana yang
memutuskan untuk pergi berperang, pamit kepada Manohara yang sedih akan
kepergiannya.
Sudhana lalu menitipkan Manohara kepada Ibu Suri. Raja mengalami mimpi yang
membuatnya ketakutan, kemudian raja meminta nasihat kepada para Brahmana
mengenai arti dari mimpi tersebut. Meskipun arti mimpi tersebut adalah Sudhana
memenangkan perang, akan tetapi karena Brahmana merasa terancam, mereka berkata
kepada Raja bahwa arti dari mimpi tersebut adalah sesuatu yang buruk akan segera
terjadi. Para Brahmana menyarankan untuk mengorbankan Kinnari agar kerajaan
terhindar dari tragedi. Pada awalnya, Sang Raja tidak menghendaki Manohara untuk
dikorbankan, akan tetapi pada akhirnya Sang Raja menyetujuinya. Mendengar kabar
tersebut, Manohara melarikan diri dibantu oleh Ibu Suri.
Babak Ketiga: Makna Sebuah Perjuangan
Kisah perjuangan Pangeran Sudhana dalam mencari istrinya. Sudhana yang telah
memenangkan perang kemudian kembali ke kerajaan guna menemui istrinya, manohara.
Sudhana kaget dan sedih ketika mengetahui Manohara melarikan diri dari kerajaan
karena akan dikorbankan oleh Sang Raja. Sudhana dilarang oleh ayahnya, Raja Dhurma
untuk mencari Manohara dan diminta mencari istri lagi, akan tetapi Sudhana yang
dibantu oleh Ibu Suri kemudian memutuskan untuk melakukan perjalanan untuk
mencari Manohara. Sudhana berhasil kabur di malam hari dan belantara untuk mencari
resi yang mengakibatkan penangkapan Manohara. Sudhana berusaha mencari Manohara
ke tempat dimana Manohara ditangkap oleh Halaka. Kemudian bertemu dengan pertapa
yang selalu berada di pinggir danau sepanjang waktu.
Borobudur Trail of Civilization | 14
Resi tersebut memberikan cincin bersegel yang diberikan oleh Manohara kepada resi
bersama petunjuk cara menemukan dirinya, ia memberikan cincin tersebut kepada
Sudhana supaya Sudhana dapat menyusul Manohara ke kayangan. Setelah Sudhana
sampai di Kerajaan Kinara (kayangan), ia mengetahui bahwa pada sebuah sumber mata
air, sekelompok dayang-dayang selalu mengambil air untuk mandi putri Manohara setiap
harinya. Maka Sudhana memasukkan cincin yang ditinggalkan Manohara ke dalam guci
berisi air, berharap Manohara mengenali cincin tersebut saat mandi. Sudhana kemudian
menyelipkan cincin tersebut di salah satu bejana dan meminta mereka untuk menuang
bejana tersebut terlebih dahulu.
Panel relief Sudhana bertemu Pertapa
Sumber foto: Balai Konservasi Borobudur
Pada saat yang bersamaan, Sudhana pergi menemui Raja Druma untuk bisa bertemu
kembali dengan Manohara dan mengajaknya kembali ke dunia. Raja Druma tidak
menyetujuinya begitu saja, Pangeran Sudhana diharusnya melewati serangkaian tes
untuk membuktikan dirinya layak untuk mendapatkan Manohara. Dari sederet ujian
kepandaian dan fisik, salah satunya digambarkan Sudhana memanah tepat menembus 7
pohon kelapa yang sejajar.
Babak Keempat: Makna Sebuah Pertemuan Kembali
Mengisahkan tentang bertemunya kembali Pangeran Sudhana dan Putri Manohara. Ayah
Manohara mulanya enggan memperkenankan manusia biasa untuk menikahi putrinya
dan meminta Sudhana untuk menunjukkan apakah keahliannya dengan pedang dan
panah sudah layak. Tentunya Pangeran Sudhana dapat menampilkan kemampuannya
dengan cemerlang dan bisa mengesankan raja. Raja Druma pun memiliki satu ujian
Borobudur Trail of Civilization | 15
terakhir untuk Sudhana. Ia menampatkan Manohara di antara seribu kinnari yang ia
ciptakan yang memiliki wajah yang sama dengan Manohara dan meminta Sudhana untuk
mengenalinya. Sudhana meminta Manohara maju dan Manohara melakukannya sehingga
akhirnya Raja teryakinkan.
Panel relief Puteri Manohara deretan relief Lalitavistara
Sumber foto: Tim BToC Kemenparekraf
Dengan cepat Sudhana mampu mengenali Manohara bukan dari fisiknya namun dari
cincin yang secara bersamaan dikenakan oleh Manohara karena berharap Sudhana dapat
mengenalinya dan segara dipersatukan kembali dengan cinta sejatinya.
Setelah Sudhana dan Manohara kembali bersatu, mereka dipersatukan kembali dalam
sebuah pelaminan yang juga merupakan pesta sukacita yang diselenggarakan Raja
Druma sebelum mereka kembali ke Dunia. Cerita berakhir bahagia dengan mereka
kembali ke dunia, saat yang sama Sudhana dinobatkan menjadi Raja menggantikan
ayahnya. Setelah itu diceritakan bahwa mereka menjadi Raja dan Ratu yang suka
berderma kepada rakyatnya.
Borobudur Trail of Civilization | 16
Jātaka Fable Stories
Pada lantai pertama dinding Candi Borobudur terdapat rangkaian relief yang
mengisahkan peristiwa dan perbuatan sang Buddha dalam wujud hewan sebelum
dilahirkan sebagai Pangeran Sidharta. Rangkaian panel ini terdiri dari puluhan kisah
yang kemudian disebut sebagai relief Jātaka. Relief Jātaka berada berada di lantai
pertama dinding candi borobudur. Terdapat 500 panel relief Jātaka yang berderet di atas
maupun bawah dinding candi Borobudur.
Keberadaan relief-relief Jātaka berisi ajaran-ajaran moral dan kebajikan lewat
kisah-kisah fabel (cerita binatang) merupakan salah satu potensi daya tarik Candi
Borobudur. Selain menjadi acuan ajaran moral, penggambaran hewan-hewan dalam
relief Jātaka juga menjadi database atas kekayaan keanekaragaman hayati asli Indonesia
dari masa lalu.
Kisah Jātaka yang asli ditulis dalam bahasa Pali yang merupakan bahasa golongan
sastra dan ragam bahasa Prakerta Kuno dari rumpun bahasa Indo-Arya. Terjemahan
Jātaka ditemukan dalam berbagai versi dan menggunakan bahasa lokal, seperti yang
ditemukan di Yunani, Sri Lanka, Nepal, dan Tibet. Di Indonesia sendiri, cerita Jātaka tidak
diketemukan dalam bentuk tekstual, tetapi banyak didapati cerita-cerita Jātaka dalam
relief Candi Borobudur.
Ada kurang lebih 547 cerita dalam dokumen asli Kisah Jātaka. Kisah-kisah ini juga
diperkirakan menjadi cerita-cerita fabel yang termuat dalam kitab Pañcatantra bahasa
Sanskerta, sebuah sastra dunia yang berasal dari Kashmir, India dan ditulis pada abad-
abad pertama Masehi. Setiap cerita Jataka ditulis dalam bentuk prosa, tetapi yang
menarik, pada setiap akhir cerita senantiasa diakhiri dengan cerita yang disampaikan
melalui bentuk seloka, atau yang kerap kita sebut dengan pantun.
Di Candi Borobudur, relief Jātaka memiliki puluhan kisah. Dari 34 kisah Jataka
yang telah terindentifikasi, trail Jātaka Fable Stories ini akan mengangkat 13 fabel
diantaranya. Kisah-kisah yang dipilih, diramu dengan menggabungkan berbagai
referensi versi Jātaka dan modifikasi secara kontekstual dalam penceritaan ramah anak,
Borobudur Trail of Civilization | 17
tanpa menghilangkan esensi moral cerita yang termaktub di dalamnya. Selain itu, kisah-
kisah ini juga hendak meneruskan ciri khas pantun sebagai akhir pada setiap ceritanya.
Relief Kerbau yang terdapat di Relief Jātaka di deretan panel no. 128-132
Sumber foto: Tim BToC Kemenparekraf
Relief Rusa dan Burung Merak yang terdapat di Relief Jātaka di deretan panel no. 94-98
Sumber foto: Tim BToC Kemenparekraf
Borobudur Trail of Civilization | 18
Cerita fabel yang diangkat untuk Jātaka Fable Stories ini disesuaikan dengan rangkaian
panel relief Jātaka yang terdapat di Candi Borobudur, antara lain sebagai berikut:
No. Kitab Jātaka Judul Cerita Tokoh Hewan Ajaran Moral/ Kode Panel
Utama Kebajikan
1 Sasa Jātaka Kelinci Sasa yang Berderma Kelinci Pengorbanan 23-25
2 Vartaka-Sakuna Burung Puyuh yang Burung Puyuh Kebenaran 58
Jātaka Bijaksana dan Penuh
Kebenaran
3 Mahahamsa Jātaka Angsa Emas dan Kesetiaan Angsa Kesetiaan 77-80
4 Mahakapi Jātaka Kera Agung dan Petani Kera Agung Empati 86-89
Vol. 5 Malang
5 Ruru Jātaka Ruru Rusa Penuh Kasih Rusa Simpati dan Balas Budi 94-98
6 Mahakapi Jātaka Raja Monyet Sang Pelindung Raja Monyet Melindungi dan 99-102
Vol. 3 Yang Berani Pengorbanan
7 Hasti Jātaka - Gajah Yang Menyelamatkan Gajah Pengorbanan bagi Orang 112-115
Kerbau Lain
Haribhaṭṭa Jātaka Manusia
No. 19
8 Mahisha Jātaka Kerbau Yang Sabar Kesabaran 128-132
9 Javasakuna Jātaka Burung Pelatuk Yang Baik Burung Menolong tanpa pamrih 133-135
Hati Pelatuk
10 Sigala Jātaka Anjing Hutan Yang Jatuh Anjing Hutan Tinggi Hati 136-138
Cinta
11 Matiposaka Jātaka Anak Gajah Yang Menyayangi Anak Gajah Sayang Orangtua 139-158
Ibunya
12 Kacchapavadana Penyu Raksasa Berjati Mulia Penyu Penyelamatan 192-195
Jātaka
13 Cula Nandiya Monyet Nandiya dan Monyet Perilaku Baik Berbuah 196-200
Baik
Jātaka Pemburu
Borobudur Trail of Civilization | 19
Walking with the Stars
Pengenalan terhadap benda-benda langit menjadi sarana penting bagi mereka
untuk membangun peradaban. Benda-benda langit menjadi penanda waktu, pergantian
musim, serta penentu waktu untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan spiritual.
Berdasarkan kajian dan pemantauan astronomi yang telah dilakukan selama bertahun-
tahun oleh peneliti dari dalam maupun luar negeri ditemukan bahwa Candi Borobudur
merupakan sebuah situs arkeoastronomi.
Arkeoastronomi diartikan sebagai ilmu yang mempelajari keterkaitan antara
benda-benda astronomis yang ada di angkasa dengan arsitektur fisik bangunan maupun
budaya manusia pada ruang masa lampau tertentu. Gabungan 3 arsiran bidang ilmu
berupa astronomi (sejarah astronomi), arkeologi (astro-arkeologi), dan antropologi
(etnoastronomi) menyusun ilmu arkeoastronomi, memberikan gambaran akan
kemajuan peradaban pada masa itu. Pasalnya bangunan-bangunan ini dibangun posisi
presisi dengan benda langit, yang membutuhkan perhitungan matematis dan
pengetahuan ilmu terapan.
Situs arkeoastronomi merupakan pertanda kemajuan peradaban. Stonehenge
yang dibangun 3000 tahun sebelum Masehi di Inggris adalah situs arkeoastronomi.
Mekanisme susunan batunya berfungsi sebagai alat penghitung gerhana. Piramida Giza
di Mesir adalah contoh lain situs arkeoastronomi yang dapat menentukan titik balik dan
titik equinox matahari.
Berdasarkan pengamatan terbit tenggelam matahari pada Vernal Equinox 19-20
Maret dan Autumnal Equinox 19-20 Juni, dimana pada saat equinox merupakan titik
perpotongan bidang ekuator langit dengan bidang ekliptika, pada saat inilah matahari
terbit dan tenggelam tepat di arah Barat dan Timur. Pengamatan arah hadap candi pada
Vernal Equinox 20 maret 2010 membuktikan bahwa terbit dan tenggelam matahari
benar-benar searah dengan tangga Timur dan Barat Candi Borobudur. Disimpulkan
bahwa sang arsitek Borobudur telah sangat presisi dan paham ilmu astronomi utk
menentukan arah hadap candi dengan bantuan benda angkasa.
Borobudur Trail of Civilization | 20
Kawasan candi Borobudur sebagai situs arkeoastronomi merupakan penanda
keagungan peradaban manusia di Nusantara. Candi Borobudur secara arsitektural
ditemukan tidak semata berfungsi sebagai penanda musim namun juga jam, hari, dan
arah mata-angin. Integrasi ilmu perbintangan yang berperan dalam perhitungan waktu
serta berperan dalam budaya masyarakat dapat diceritakan melalui penelusuran
pemahaman astronomi kuno, astro-arkeologi, dan etnoastronomi.
Semua ini menunjukan bagaimana leluhur bangsa Indonesia memiliki
kemampuan ilmu bangun serta ilmu angkasa yang amat mumpuni sehingga mampu
untuk mengkombinasikan keduanya dalam kehidupan pada masa itu. Namun sebelum
mengurainya lebih lanjut, kekayaan pemahaman ilmu perbintangan manusia Nusantara
masa itu juga dapat kita temukan pada relief candi Borobudur.
Sejumlah relief di Candi Borobudur menandakan benda-benda langit yang dapat
menggambarkan kecermatan atas ilmu perbintangan masyarakat pada zaman itu. Di
pagar langkan lorong ke 4 sisi utara Candi Borobudur sebagai contoh, memiliki gambaran
matahari dan bulan sabit yang mengapit 7 bulatan kecil. Tujuh bulatan kecil ini diduga
sebagai rasi bintang Ursa Mayor dengan 7 bintang utama yang menandakan arah utara.
Selain relief ini memberikan gambaran atas pemahaman perbintangan, ia juga bisa
menandakan kecermatan mata angin dengan meletakan pertanda utara di sisi utara
Borobudur. Tentu hal ini dapat diperdebatkan apakah sengaja atau kebetulan
menandakan kecermatan mata angin, namun presisi penempatan artefak lain di Candi
Borobudur sulit untuk melihat hal tersebut sebagai sebuah kebetulan semata.
Interpretasi lain yang muncul menurut hipotesa dari tim arkeolog Balai
Konservasi Borobudur bahwa pada relief dengan 7 bulatan kecil adalah representasi dari
gugus bintang Pleiades. Gugus bintang ini berada pada Rasi Taurus. Pengamatan dengan
mata telanjang akan terlihat seperti 7 buah bintang yang berkumpul dengan jarak yang
berdekatan. Pada kebudayaan Jawa gugus bintang ini disebut Lintang Kartika yang terbit
di langit malam sebagai pertanda mulainya masa bercocok tanam.
Borobudur Trail of Civilization | 21
Relief Candi Borobudur dengan benda-benda langit pada deretan relief Gandavyuha di pagar
langkan sisi utara Candi Borobudur
Sumber: Dokumen Balai Konservasi Borobudur
Relief Candi Borobudur dengan benda-benda langit pada deretan relief di pagar langkan lorong
3 nomor panel 53 di sisi utara Candi Borobudur
Sumber: Dokumen Balai Konservasi Borobudur
Hasil kajian dari BKB, selain relief 7 bulatan yang diapit oleh bulan dan bintang,
juga dijumpai relief gugus bintang lainnya yang posisinya berada pada pagar langkan
Lorong 3 dengan nomor panel 53. Pada relief tersebut digambarkan dari kolam teratai
naik lima bunga teratai membawa benda-benda bulat. Di atas bunga ini mengapung dua
baris awan juga memiliki gambaran benda-benda bulat. Awan dihubungkan
olehkarangan bunga. Penggambaran ini mendorong Bosch untuk mengidentifikasi
pemandangan ini sebagai kemungkinan representasi dari rasi bintang.
Narasi tematik travel Walking with the Stars berdasarkan Candi Borobudur
sebagai situs Arkeoastronomi, dapat dibagi dalam tiga bagian; pemahaman astronomi
kuno, astro-arkeologi: jam raksasa penanda masa, dan etnoastronomi.
Borobudur Trail of Civilization | 22
Pemahaman Astronomi Kuno
Perhatian atas ilmu astronomi dan penanda atas kemampuan ilmu perbintangan dapat
dilihat melalui relief-relief candi Borobudur. Selain benda-benda langit yang terpahat
dalam sejumlah relief, berbagai panel relief juga mengindikasikan kemampuan leluhur
bangsa Indonesia dalam penguasaan ilmu perbintangan.
Tidak sedikit panel relief di Candi Borobudur yang menggambarkan perahu dan kapal
layar. Hal ini tidak semata memberikan gambaran bahwa Nusantara menjadi negara
maritim, namun juga menggambarkan kemampuan yang berkaitan dengan mengarungi
lautan. Berlayar di tengah laut membutuhkan kemampuan navigasi yang baik. Panduan
utama navigasi dalam mengarungi lautan adalah membaca bintang-bintang di langit.
Bintang utama dalam navigasi di lautan merupakan bintang utara. Salah satunya adalah
bintang Polaris. Dalam perhitungan gerak bumi, bintang Polaris sebelum tahun 800
seharusnya dapat terlihat dari Borobudur, namun karena geseran axis bumi bintang
Polaris tidak dapat lagi diamati. Penanda lain dari bintang utara adalah rasi Ursa Mayor,
yang memiliki jajaran bintang. Bila di tarik garis lurus dari bintang paling terang tersebut,
maka akan mengarah ke Polaris. Hal ini menjadikan rasi bintang Ursa Mayor sebagai
penanda utara. Ursa Mayor sebagaimana diceritakan diatas dapat kita temukan di panel
pagar utara candi Borobudur.
Astro-arkeologi : Jam Raksasa Penanda Masa
Kemegahan rancang bangun candi Borobudur menunjukan kemampuan ilmu astronomi
yang mengagumkan. Pertama, dalam kawasan candi Borobudur ada candi Pawon,
Mendut dan Borobudur. Sejauh ini disimpulkan bahwa posisi geografis Candi Borobudur
– Pawon – Mendut dibuat dengan jarak presisi dengan tiga bintang utama pada rasi
bintang Orion, yaitu Alnitak – Mintaka dan Alnilam. Hal ini tidak hanya menguatkan
simpulan atas perhatian masyarakat kuno dengan ilmu perbintangan, namun juga
kemampuan ilmu matematika yang telah berkembang.
Tidak hanya presisi atas posisi jarak bintang, arsitektur candi Borobudur, menurut Tim
Arkeoastronomi Borobudur, Institut Teknologi Bandung, stupa utama pada candi
Buddha terbesar di dunia itu berfungsi sebagai alat penanda waktu. Jam pada masa kuno
(3500 tahun sebelum masehi) adalah jam matahari, atau yang kerap disebut sebagai
Borobudur Trail of Civilization | 23
sundial. Penunjuk waktu yang didapatkan dari panjang-pendek jatuhnya bayangan dari
alat (disebut dengan gnomon) yang menancap di bidang datar karena geseran matahari.
Candi Borobudur merupakan sebuah jam raksasa.
Gambar Sundial
Sumber: Max Pixel Free Photo
Stupa utama Candi Borobudur, dengan total tinggi 20 meter dan 17 meter dalam
diameter, dalam penelitian tersebut berfungsi sebagai gnomon, sebuah alat penunjuk
waktu. Bentuk Candi Borobudur yang simetris dengan 4 lantai lingkar atas dengan
jajaran stupa melingkari stupa utama pun tampak seperti sebuah jam. Meski demikian
lingkaran stupa yang mengelilingi bukanlah penanda menit dalam 24 jam sebagaimana
kita temukan di jam tangan manual.
Stupa utama berada di level arupadhatu; ditandai dari lantai melingkar di kelilingi oleh
72 stupa terawang. Stupa terawang berada di atas 3 level lantai awal arupadhatu dan
stupa utama memiliki lantai melingkar sendiri di tingkat ke 10. Setiap lantai secara
berurutan tingkat 7, 8, dan 9 memiliki 32 stupa, 24 stupa dan 16 stupa.
Jajaran stupa yang melingkar ini telah diamati sebagai penanda waktu musim. Letak
koordinat Borobudur mengakibatkan ia mengalami fenomena unik terkait siklus tahunan
jalur matahari. Melalui jalur ini, posisi letak Candi Borobudur dengan Gunung Merapi
berada di satu garis lurus pada bulan-bulan tertentu. Dalam penelitian lain, posisi candi
Borobudur berada di zenith passage; sebuah jalur matahari yang melalui titik tepat garis
di atas khatulistiwa (zenith). Gerak matahari dalam zenith passage memiliki hitungan
tepat 72 hari genap. Hitungan hari ini berlangsung pada bulan oktober hingga desember
(december solstice) dan jumlah hari yang sama pada titik balik menuju 1 Maret. Jatuhnya
Borobudur Trail of Civilization | 24
bayangan stupa utama pada stupa terawang tertentu diperkirakan berkaitan dengan
penanda musim melalui sistem penanggalan kuno jawa; Pránatamangsa. Jatuhnya
bayangan stupa utama pada stupa terawang tertentu menjadi penanda awal musim
tertentu.
Bangunan candi Borobudur juga merupakan penanda arah mata angin. Hal ini dapat
dilihat dari jatuhnya bayang Stupa Utama sebagai gnomon pada saat matahari terbit dan
matahari terbenam berupa garis lurus yang menandakan arah timur dan barat secara
presisi. Tidak hanya itu, arah mata angin juga ditemukan pada semua patung Buddha di
Candi Borobudur.
Ada 504 patung Buddha di Borobudur. Sekilas, semua patung Buddha tampak serupa,
tetapi ada perbedaan halus di dalam mudra, atau posisi tangan mereka. Posisi tangan
mereka mewakili 5 mata angin utama menurut Mahayana: Utara, Timur, Selatan, Barat
dan Zenith. Stupa budha di level rupadhatu mengikuti arah mata angin; yang berada di
posisi barat memiliki mudra barat, yang berada di sisi selatan memiliki mudra selatan,
dstnya. Sedangkan semua patung Buddha di level arupadhatu memiliki arah zenith.
Bhumisparsa Vara mudra Dhyana mudra Abhaya mudra Vitarka mudra Dharmachakra
mudra mudra
Selatan Barat Utara Zenith
Timur Zenith
Rupadhatu Rupadhatu Arupadhatu
lantai teratas
Gambar. Posisi Mudra dengan arah mata angin.
Etnoastronomi
Arsitektur candi Borobudur yang berfungsi dalam penanda waktu, dapat ditemukan
dalam kehidupan masyarakat dan menjadi bagian dari kebudayaan Nusantara.
Penanggalan kuno, atau Pranata Mangsa (bahasa jawa: pranåtåmångså, berarti "aturan
musim") menjadi bagian dari arsitektur candi Borobudur maupun kehidupan
masyarakat Nusantara. Pranata Mangsa merupakan penanggalan berbasis pada
peredaran matahari, benda-benda angkasa dan berbagai aspek gejala alam yang
berkaitan dengan aktivitas utama masyarakat saat itu, yakni sebagai petani dan nelayan.
Borobudur Trail of Civilization | 25
Konon, sistem kalender Pranata Mangsa bersifat lengkap dan komprehensif. Kalender ini
menggambarkan kedekatan masyarakat Nusantara dengan alam. Alam dilihat sebagai
bagian dari dirinya yang perlu diakrabi dan dipelajari. Dengan demikian, Pranata Mangsa
memiliki akar latar belakang kosmografi dan bioklimatologi. Kalender kuno ini memiliki
peran sentral dalam sejarah Nusantara, dan digunakan untuk meramal berbagai
fenomena alam. Ramalan-ramalan kalender dalam budaya jawa hingga kini pun masih
dapat ditemui.
Borobudur Trail of Civilization | 26
Tropical Flora’s Wonderland
Narasi dan interpretasi relief Candi Borobudur mencatat tak hanya tentang jejak
peradaban dan kisah kehidupan sosial dan teknologi masyarakat Jawa pada zaman
Kerajaan Mataram Kuno saja. Dalam deretan panel relief terdapat penggambaran ragam
biodiversity berupa pahatan flora/botani yang ada disekitar kawasan Candi Borobudur,
sebagian besarnya masih pula kita jumpai hingga saat ini. Hal ini turut menegaskan
bahwa pembangunan Candi Borobudur tak hanya ditujukan sebagai monumental
keagaamaan saja, namun juga pengingat untuk menghargai hubungan manusia dengan
lingkungan dan alam semesta untuk menuju ke kehidupan yang seimbang dan saling
mengasihi.
Pada tahun 2018, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) bekerjasama
dengan Balai Konservasi Borobudur (BKB) mempublikasikan hasil kajian interpretasi
panel relief Lalitavistara dan berhasil mengidentifikasi setidaknya beberapa jenis flora
yang terpahat di Candi Borobudur, yang dikelompokkan menjadi jenis tanaman pangan,
tanaman buah, dan tumbuhan hutan, antara lain: Padi (Oryza Sativa), Talas (Alocasia
Macrorrhizos), Siwalan (Barassus Flabellifer), Nangka (Artocarpus Heterophyllus Lamk),
Sukun (Artocarpus Altilis), Tebu (Saccharum Afficinarum), Pinang Sirih (Areca Catechu),
Pisang (Musa Spp.), Mangga (Mangifera Spp.), Jambu (Psidium Guajava), Durian (Durio
Zibethunus Murray), Asam Jawa (Tamarindus Indica), Manggis (Garcinia Mangostana),
Pohon Kelapa (Cocos Nucifera), Pohon Bodhi (Ficus Religiosa), Seroja (Nelumbo Nucifera
Gaertn.), Pulai (Alstonia Scholaris), Tanjung (Mimusops Elengi), Teratai (Nymphaea Sp),
Ketapang (Terminalia Catappa), Keben (Baringtonia Asiatica), Pohon Jarak (Jatropha
Curcas), Pohon Waru (Hibiscus Tiliaceus), Lontar ( Boassus Flabellifer), Rumput Gajah
(Pennisetum Purpurium), Nyamplung (Calophyllum Iniophyllum).
Candi Borobudur merupakan monument bersejarah tertua di bumi nusantara
yang merekam kekhasan kultur budaya, lanskap lingkungan dan keanekaragaman hayati
dalam bentuk visual. Hal ini menempatkan Candi Borobudur untuk menjadi laboratorium
yang amat berharga bagi pengembangan ilmu pengetahuan di Indonesia pada khususnya.
Usaha yang telah dirintis ini dikembangkan melalui penyusunan tema perjalanan wisata
ini untuk meneruskan khasanah pengetahuan yang ada pada masa lalu, masa kini, dan
untuk generasi di masa yang akan datang.
Borobudur Trail of Civilization | 27
panel pada deretan relief Lalitavistara yang menggambarkan tumbuhan Seroja
Foto: Sumber foto: Tim BToC Kemenparekraf
panel pada deretan relief Avadhana yang menggambarkan tumbuhan Pohon Sukun dan Siwalan
Foto: Sumber foto: Tim BToC Kemenparekraf
Deretan relief flora ini berfungsi pula sebagai bank data dalam memahami evolusi biologi
dari keanekaragaman hayati yang dahulu pernah ada maupun yang saat ini masih tetap
lestari. Salah satu daya tarik lain dari narasi keanekaragaman botani pada jaman dahulu
dan kini yang terekam dengan apik di panel relief Candi Borobudur adalah fakta bahwa
bangunan candi ini berdiri dengan kokoh di atas kawasan tanah yang subur. Akhirnya,
Borobudur akan terus menjadi mandala yang memancarkan cahaya ilmu pengetahuan
dan kemakmuran yang melintasi batas-batas ruang dan waktu hingga melingkupi
segenap tanah air dan dunia.
Borobudur Trail of Civilization | 28
Journey of the Stones
Dalam perjalanan tematik Journey of the Stones, wisatawan akan diajak untuk
mengalami serangkaian perjalanan dengan mengangkat penceritaan dibalik sejarah dan
proses konstruksi Candi Borobudur yang dibangun 14 abad yang lalu. Terbagi menjadi
beberapa pembahasan yang terdiri dari perjalanan batuan, konstruksi dan arsitektur
candi yang khas, toponomi desa yang terletak di sekitar Borobudur, serta mendalami
tradisi dan budaya masyarakat lokal.
Perjalanan Batuan
Balai Konservasi Borobudur menyebutkan bahan baku utama Candi Borobudur
merupakan batuan andesit dari jenis formasi andesit tua yang banyak dijumpai pada
gunung-gunung yang mengelilingi Kawasan Borobudur, yakni Gunung Merapi, Merbabu,
Sindoro, Sumbing, dan perbukitan Menoreh. Batuan tersebut diperkirakan dibawa
melalui sungai-sungai besar, seperti Sungai Progo dan Elo beserta beberapa anak
sungainya yang melintasi Kawasan Borobudur. Berbagai sumber yang berasal dari
masyarakat dan hipotesa yang berkembang di kalangan ilmuan mengatakan alat
transportasi yang digunakan untuk membawa batuan tersebut melintasi sungai menuju
ke lokasi pembangunan candi adalah rakit yang terbuat dari bambu atau yang biasa yang
disebut gethek oleh masyarakat lokal.
Tak hanya berhenti pada pengangkutan batuan menuju ke lokasi pembangunan candi
yang mampu membuat kita terkagum dengan semangat gotong royong dan kebersamaan
masyarakat di bawah komando Raja Samaratungga. Jejak perjalanan batuan ini juga
tergambar pada penamaan desa di sekitar kawasan Candi Borobudur yang memiliki
keterkaitan dengan proses perjalanan batuan sebagai cikal bakal berdirinya sebuah mega
monumen bernama Candi Borobudur.
Borobudur Trail of Civilization | 29
Perpaduan Harmonis Sebuah Toponomi
Dikisahkan sekelompok masyarakat dari pinggir Sungai Pabelan berkumpul di
Tempuran-Desa Candirejo yang merupakan sebuah lokasi dimana terdapat titik
pertemuan antara tiga sungai; Pabelan, Progo, dan Sileng. Tempuran dalam Bahasa Jawa
berarti titik pertemuan arus yang berbeda. Menurut legenda masyarakat di Desa
Candirejo, titik pertemuan tiga sungai tersebut dianggap sebagai daerah yang keramat.
Sering kali ditemukan beberapa penduduk baik yang berasal dari kawasan Borobudur
maupun dari luar daerah yang melakukan ritual seperti tapa kungkum atau melarungkan
senjata. Terdapat seekor mahluk gaib berwujud ular naga bernama Mbah Joyo yang
dipercaya sebagai penjaga wilayah tersebut dan pada waktu-waktu tertentu turun
bidadari dari kahyangan untuk menyegarkan dirinya di sana.
Di samping mitos-mitos tersebut, Tempuran juga dulunya dikisahkan menjadi
tempat pengumpulan material pembangunan Candi Borobudur. Pertemuan tiga arus
sungai membuat Tempuran kaya akan deposit batuan yang berasal dari gunung-gunung
yang mengelilingi Kawasan Borobudur. Batuan yang terkumpul dan ditambah di
Tempuran kemudian akan dikerek (ditarik) menuju ke Sungai Sileng melewati sebuah
desa yang kini dikenal dengan nama Desa Kerekan. Karakteristik Sungai Sileng yang
memiliki kedalaman yang relatif dangkal membuat proses pemindahan batuan andesit
dari Tempuran lebih mudah dilakukan dengan gethek yang kemudian ditarik oleh tenaga
manusia.
Sungai Sileng konon berasal dari kata kileng-kileng dalam Bahasa Jawa yang
berarti nampak bersinar-sinar saat diterpa cahaya bulan purnama. Berdasarkan
penelusuran geologis, Sungai Sileng tidak hanya menjadi salah satu saksi mata dari
pembangunan Candi Borobudur di masa lampau. Sungai ini memiliki kontribusi yang
amat besar dalam penyusunan mahakarya peradaban Dinasti Syailendra itu. Sungai
Sileng terbentuk dari aktifitas tektonik pada sesar-sesar yang berada di kawasan
Borobudur sebagaimana halnya Sungai Progo dan Tangsi.
Lembah Sungai Sileng menyimpan endapan danau purba yang dulunya pernah
mengaliri area di sekitar bukit tempat Candi Borobudur berdiri. Pada masa
pembangunan Candi Borobudur, debit air Sungai Sileng lebih besar jika dibandingkan
Borobudur Trail of Civilization | 30
pada saat ini, sehingga dapat dimanfaatkan oleh leluhur zaman Sailendra untuk dijadikan
sebagai jalur pengangkutan batu-batu penyusun Candi Borobudur dengan menggunakan
rakit. Hingga saat ini apabila curah hujan yang tinggi di Kawasan Menoreh akan
meningkatkan debit air di Sungai Sileng.
Pada proses pengangkutan batuan andesit dengan gethek, terdapat satu tempat
peristirahatan pada wilayah yang saat ini dinamakan Desa Parakan (berasal dari kata
pinarak yang berarti mampir). Melalui Parakan, batuan tersebut akan memasuki sebuah
pelabuhan yang telah dipersiapkan, di Desa Ngaran. Di Desa tersebut, batu-batu akan
diinspeksi yang kemudian akan dibawa masuk ke dalam gerbang menuju lokasi yang
disucikan, lokasi gerbang tersebut dipercaya ada di daerah yang saat ini bernama
Gopalan (berasal dari Gupolo) kemudian akan dibawa ke Bukit Dagi untuk dipahat
sebelum disusun di situs Candi Borobudur.
Gopalan diduga berasal dari kata gupolo yang dalam Bahasa Jawa berarti arca
penjaga gapura. Sesuai namanya, situs Gopalan dianggap sebagai pintu gerbang utama
untuk memasuki kawasan Candi Borobudur di masa lalu. Saat itu kontur daerah di sekitar
Gopalan masih digenangi oleh danau purba yang dialiri pula oleh sungai-sungai dari
Gunung Merapi dan Merbabu. Dari sana material-material tersebut kemudian diangkut
menuju ke Bukit Dagi melewati Gopalan sebagai pintu masuk kawasan sakral
Bhumisambara.
Bukit Dagi di kawasan Candi Borobudur konon berasal dari kata Undagi yang
berarti seorang arsitek atau tenaga ahli. Bukit yang menjadi titik tertinggi di dalam
kawasan Candi Borobudur ini dipercaya sebagai tempat batuan-batuan andesit penyusun
Candi Borobudur dikumpulkan untuk kemudian dipahat dan dibentuk sesuai rancangan
Gunadharma. Mitos tersebut kemungkinan muncul akibat ditemukannya beberapa
artefak yang masih berkaitan erat dengan Candi Borobudur di bukit tersebut. Salah satu
artefak yang pernah dicatat berada di Bukit Dagi ialah sebuah patung dwarapala yang
kemudian pada tahun 1896 diberikan oleh pemerintah kolonial Belanda kepada Raja
Chulalongkorn dari Thailand yang saat itu sedang berkunjung.
Borobudur Trail of Civilization | 31
Transformasi Konstruksi Candi Borobudur
Terdapat banyak catatan sejarah yang
memperkirakan pembangunan candi ini
memerlukan waktu selama 75-100 tahun lebih,
dimulai dari masa pemerintahan Raja
Samaratungga sekitar tahun 824 masehi dan
diselesaikan pada masa pemerintahan putrinya,
yakni Ratu Pramudawardhani dan terbagi
menjadi 5 tahapan konstruksi (sumber: Balai
Konservasi Borobudur).
Balai Konservasi Borobudur juga menyebut
terdapat beberapa jenis pekerjaan sepanjang
proses pembangunan Candi Borobudur:
Yajamana (Raja/Maharaja), Sthapaka (Arsitek
pendeta), Sthapati (Arsitek pembangunan),
Sutragrahin (Surveyor), Taksaka (Ahli pahat),
Vardhakin (Ahli seni, plester, dan pewarnaan).
Terdapat empat jenis teknik/sistem sambungan batu yang digunakan pada struktur
Candi Borobudur, yakni jenis sambungan ekor burung, jenis takikan, jenis alur dan lidah,
dan jenis purus.
Nelayan Tanpa Perahu
Terlepas dari narasi dan penceritaan tentang konstruksi Candi Borobudur, beberapa
tradisi dan budaya yang ada di kelompok masyarakat lokal yang tinggal di bantaran
sungai yang melintasi Kawasan Borobudur menjadi salah satu atraksi wisata budaya
yang sayang untuk dilewatkan. Adalah budaya menggunakan gethek sebagai sarana
transportasi untuk menjala ikan di sungai. Intrepretasi relief nelayan ini terdapat pada
pahatan panel relief Karmawibhangga.
Selain itu, terkisah bahwa dahulu masyarakat lokal kerap kali menggunakan gethek untuk
bertransaksi memenuhi kebutuhan pangan dengan sistem barter yang dilakukan dengan
bertemu di tengah sungai.
Borobudur Trail of Civilization | 32
Music and Rhyme
Musik dan ritme sudah ada sejak jaman lampau dan bagian dari kebudayaan masyarakat
termasuk dalam kebudayaan Indonesia. Borobudur sebagai salah satu bentuk
ensiklopedia perekam jejak peradaban juga memiliki catatan dalam bentuk relief-relief
yang terpahat sejak ratusan tahun yang lalu. Pahatan alat musik termasuk dalam elemen
panel relief dekoratif yang menggambarkan suasana dan budaya saat Borobudur
dibangun turut terekam menjadi sebuah jejak budaya dan seni di Indonesia.
Melalui penelusuran oleh tim Sound of Borobudur dan kajian yang dilakukan oleh Balai
Konservasi Borobudur (BKB), beberapa alat musik berhasil diidentifikasi dari keempat
panel relief Candi Borobudur; Lalitavistara, Gandawyuha, Jataka dan Karmawibhangga.
Memberi penggambaran mengenai keberadaan empat jenis alat musik yang ada ditengah
masyarakat Jawa pada masa Kerajaan Mataram Kuno, yaitu jenis idiophone (kentongan
dan kerincingan), membraphone (gendang, kentingan), chardophone (alat musik
dawai/senar petik dan gesek), dan jenis alat musik aerophone (alat musik tiup).
Intrepretasi alat musik tiup yang terdapat di Relief Karmawibhangga
Sumber foto: Balai Konservasi Borobudur
Borobudur Trail of Civilization | 33
Intrepretasi alat musik petik yang terdapat di Relief Karmawibhangga
Sumber foto: Balai Konservasi Borobudur
Penelusuran dan interpretasi relief tersebut sesuai pada gambaran relief di
Karmawibangga terdapat dua musisi pria memainkan alat musik berdawai. Satu dalam
posisi duduk dan satu dalam posisi berdiri dan terdapat satu orang wanita yang terlihat
memukul simbal berdiameter lebar. Selain alat musik yang dimainkan, juga terdapat
gambaran mengenai kostum yang digunakan. Ketiga musisi tersebut memakai kain
panjang bawahan (dodot), bertelanjang dada dengan rambut bersusun dua.
Aksesoris yang dipakai oleh ketiga musisi tersebut berupa kalung (hara), kelat bahu
(keyura), gelang tangan (kankana), jamang dan sumping. Pertunjukan musik ini
digambarkan untuk mengiringi suatu audiensi, sehingga diperkirakan musik yang
dibawakan berirama lembut sebagai musik pengiring. Dalam penggambaran tersebut,
juga terdapat gambaran seorang bangsawan yang berdiri mengenakan kain panjang
sebatas mata kaki, bertelanjang dada, dan bermahkota dengan rambut yang disanggul
tinggi bersusun dua (Jathamakuta).
Intrepretasi alat musik simbal yang terdapat di Relief Karmawibhangga
Sumber foto: Balai Konservasi Borobudur
Borobudur Trail of Civilization | 34
Aksesoris yang dikenakan oleh bangsawan tu berupa hara, keyura, kankana, binggel,
jamang dan sumping. Ia terlihat sedang menghadap bahsawain lain yang dalam posisi
duduk pada suatu pedestal tinggi dan seorang wanita di belakangnya. Lingkungan
pertunjukan adalah suatu tempat yang terbuka dan terdapat seseorang yang membawa
payung dan seorang lain di sampingnya. Melihat dari situasi yang digambarkan, dapat
diperkirakan, musik yang ditampilkan berada di kalangan bangsawan.
Sedangkan ada penggambaran pertunjukan permainan musik di kalangan rakyat biasa,
yaitu terdapat seorang musisi pria duduk bersila memainkan alat musik dawai dibawah
pohon di luar lingkungan keraton. Musisi pria tersebut memainkan alat musik dengan
resonator berbentuk langsing yang mengarah pada bentuk persegi empat panjang, leher
pendek, dan jumlah tuning peg dua buah. Kepala musisi tersebut berambut pendek dan
tanpa sanggul, berkain panjang bawahan dan tidak mengenakan asesoris.
Salah satu alat musik yan memiliku resonator langsing yang bentuknya relatif persegi
panjang dan sedikit menggembung ke sisi samping kanan-kiri pada bagian tengah belum
diperoleh bentuk pembandingnya di India, Asia Timur, maupun negara-negara lain di
Asia Tenggara. Bentuk itu malah ditemukan pembandingnya pada alat musik tradisional
Suku Dayak yang dimainkan dengan cara dipetik. Suku Daya menyebutnya sebagai
“Sampe” atau memiliki arti dipetik dengan jari. Alat musik ini digunakan di Dayak Kenyah.
Dayak Dahau, Dayak Kanyaan mengenalnya dengan “Sape”, Suku Dayak Modang
menyebuatnya “Sempe”. Sedangkan Dayak Tunjung dan Banua menamakannya
‘Kecapai”. Awalnya alat musik ini menggunakan tali dari serat pohon enau, namun kini
menggunakan kawat kecil.
Intrepretasi alat musik pukul yang terdapat di Relief Lalitavistara
Sumber foto: Balai Konservasi Borobudur
Borobudur Trail of Civilization | 35
Intrepretasi alat musik pukul yang terdapat di Relief Jataka, pagar langkan Lorong 1, panil
bawah, sisi Barat, no.66
Sumber foto: Balai Konservasi Borobudur
Intrepretasi alat musik tiup yang terdapat di Relief Relief Gandawyuha, dinding Lorong 2, nomor 7
Sumber foto: Balai Konservasi Borobudur
Intepretasi mengenai alat musik tidak berhenti pada deskripsi naratif tentang bentuk dan
jenis alat musik saja, pada tahun 2021 tim Sounds of Borobudur – Kementerian Pariwisata
dan Ekonomi Kreatif meramu interpretasi alat musik tersebut menjadi sebuah
pertunjukan seni yang membawa pendengarnya untuk menikmati saujana budaya
Kawasan Borobudur.
Borobudur Trail of Civilization | 36
Borobudur Trail of Civilization | 37
Borobudur Trail of Civilization | 38