The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by perpuspuspitabangsa.92, 2022-08-31 22:40:57

Hujan (Tere Liye [Liye, Tere])

Hujan (Tere Liye [Liye, Tere])

Keywords: novel

stasiun kereta.
Ada mobil mewah terparkir di lobi kedatangan.
Esok memukul jendela kacanya, membuka pintu secara paksa.
”Tuan, aku harus memperingatkanmu, mengendarai mobil milik orang lain

adalah pelanggaran serius. Dikategorikan sebagai pencurian,” mobil itu
”berbicara”.

”Otorisasi kode D210579, aku Soke Bahtera, delapan puluh persen teknologi
terbang yang ada di mobilmu sekarang adalah hak patenku, aku yang
menemukannya. Aku berhak mengambil alih mobil apa pun. Segera terbang ke
Pusat Terapi Saraf.”

”Otorisasi dikenali. Baik, Tuan, harap kenakan sabuk pengaman.”
Mobil itu mengambang di atas jalanan aspal.
”Terbang secepat mungkin, bahkan kalaupun seluruh rodamu lepas.”
”Baik, Tuan.” Mobil itu sudah melesat meninggalkan stasiun kereta.
Pemilik mobil yang baru saja kembali ke lobi stasiun berseru-seru, tidak
mengerti kenapa mobilnya terbang.

***

Tapi Esok sudah sangat terlambat.
Di dalam ruangan, Lail sudah bersiap menghapus memorinya.
”Lail, apakah kamu akan menghapus semua benang merah?” Elijah mengulang

pertanyaan. Dia butuh kon rmasi terakhir.
Lail mengangguk.
Elijah mengembuskan napas. Baiklah, dia hanya petugas perantara, fasilitator.

Keputusan pasien adalah perintah. Elijah mengetuk layar tabletnya.
Persis ketika ketukan itu mengenai layar, lantai pualam bergerak cepat,

terbuka, lantas dari balik lantai keluar belalai-belalai elektrik yang membentuk
mesin besar. Transformasi yang menakjubkan. Satu menit berlalu, sebuah mesin
modi kasi ingatan sudah ada di tengah ruangan. Berwarna perak, tingginya
hingga langit-langit ruangan. Sofa hijau tempat Lail berbaring bergeser,
membawa kepala Lail persis masuk ke dalam tabung kristal mesin.

Elijah menggigit bibir. Sekali lagi menekan tombol.
Cahaya biru menyelimuti kepala Lail. Mesin modi kasi ingatan telah bekerja.

***

”Buka pintunya, atau aku hancurkan!” Esok berteriak kalap.
”Tuan, aku tidak bisa melakukannya.” Tabung mesin di depan ruangan kubus

menolaknya.
”Aku Soke Bahtera! Pemegang Lisensi Kelas A Sistem Keamanan. Buka

pintunya!”
Esok berhasil melewati meja pendaftaran dengan perintah itu—yang tidak bisa

dilewati Maryam sepanjang malam. Tapi tabung mesin terakhir, di depan
ruangan kubus, tidak bisa ditembus.

”Tuan Soke Bahtera, otorisasi yang Tuan pegang bisa membuka pintu apa pun.
Tapi aku tetap tidak bisa melakukannya. Protokol lebih tinggi melindungi pasien
di dalam sana. Terapi tidak bisa dihentikan, atau itu akan membahayakan saraf
otak pasien. Seharusnya Tuan tahu sekali soal itu. Dan sebagai informasi, hanya
dalam hitungan detik, pasien akan keluar dari ruangan itu. Tuan bisa
menunggunya.”

”Aku tidak mau menunggu! Aku ingin membatalkan operasinya!” Esok berseru
kalap.

Pukul tujuh, Esok tiba di Pusat Terapi Saraf, memaksa masuk ke dalam
ruangan tempat Lail berada. Tabung mesin menolaknya. Di belakangnya,
Maryam mengusap wajah, terlihat cemas. Semua ini sungguh di luar dugaannya.
Bagaimana jadinya, jika Lail keluar dari pintu ruangan itu, dan dia sama sekali
tidak mengingat Esok? Bagaimana mungkin akhir ceritanya demikian setelah
semua pengorbanan yang dilakukan Lail dan Esok?

”Buka pintu itu, atau aku hancurkan!” Esok melepas salah satu besi tiang
antrean, mengangkatnya tinggi-tinggi. Mengancam. Esok tidak peduli jika itu
termasuk tindakan serius.

Terdengar suara mendesing pelan. Pintu itu akhirnya terbuka. Tapi bukan
karena tabung mesin mengalah, melainkan Lail telah keluar dari sana, dibimbing

Elijah.
Besi tiang antrean di tangan Esok terlepas, berkelontangan di lantai.
”Lail...! Lail...!” Maryam berlari, memeluk teman sekamarnya. Air mata

berlinang di pipinya.
”Maryam?” Lail tersenyum, menyapa.
Kenangan atas Maryam utuh. Lail mengenalinya.
”Maafkan aku, Lail...” Esok ikut mendekat, melangkah dengan kaki gemetar.

”Maafkan aku yang membuat semua kesalahpahaman ini. Aku seharusnya
memberitahumu sejak awal.”

Esok menatap Lail, yang dibalas dengan tatapan datar.
”Sungguh maafkan aku, Lail.”
Namun, apa lagi yang akan diharapkan Esok? Jika semua benang merah itu
telah dihapus dari memori Lail, gadis itu sama sekali tidak akan mengenali Esok.
Sempurna terhapus.
Esok terisak. ”Kamu tidak boleh melupakanku, Lail. Aku mohon... Bagaimana
aku akan menghabiskan sisa waktu bumi jika kamu melupakanku? Kamu satu-
satunya yang paling berharga dalam hidupku.”
Esok menghampiri Lail dan memegang lengan gadis itu. ”Lail, apakah kamu
mengenalku? Aku mohon. Kembalilah.”
Lengang. Lail menatap Esok masih dengan tatapan kosong.
”Lail, aku mohon... Apakah kamu masih mengingatku?”
Esok mengguncang lengan Lail.
Lail tiba-tiba tersenyum. ”Aku yang memberikan topi biru itu kepadamu,
Esok.”
Maryam menatap tidak percaya. Bukankah...? Bagaimana caranya Lail bisa
mengingat Esok? Apakah mesin modi kasi ingatan itu rusak? Apa yang terjadi?
Elijah mengangkat tabletnya, menunjukkan peta saraf milik Lail.
Di detik terakhir, sebelum mesin itu bekerja, Lail memutuskan memeluk erat
semua kenangan itu.
Apa pun yang terjadi, Lail akan memeluknya erat-erat, karena itulah hidupnya.

Seluruh benang merah berubah menjadi benang biru. Seketika.
Mesin modi kasi ingatan tidak pernah keliru. Dia bekerja sangat akurat.

Menghapus seluruh benang berwarna merah. Hanya saja dalam kasus ini, Lail
tidak lagi memiliki benang itu.

Epilog

DI televisi, pemimpin empat negara mengumumkan tentang proyek kapal

raksasa tersebut. Umat manusia akan tetap bertahan hidup. Tidak di
permukaan, tapi di angkasa luar. Sementara bagi yang tinggal, telah tiba
masanya untuk benar-benar bekerja sebagai satu umat manusia, menghadapi
masa-masa sulit dengan saling mengutamakan kepentingan bersama.

Penonton di rumah, di asrama, di panti, di kantor, berpegangan tangan
mendengar seruan itu.

Satu bulan kemudian, Esok dan Lail menikah, di tengah terik matahari.
Esok menggenggam erat jemari Lail, berbisik, ”Kita akan melewati musim
panas bersama-sama. Aku tidak akan pernah meninggalkanmu lagi.”
Lail mengangguk. Wajahnya terlihat sangat bahagia.
Kutipan yang dibaca Maryam benar. Bukan seberapa lama umat manusia bisa
bertahan hidup sebagai ukuran kebahagiaan, tapi seberapa besar kemampuan
mereka memeluk erat-erat semua hal menyakitkan yang mereka alami.
Elijah yang telah menangani ratusan pasien juga benar. Bukan melupakan yang
jadi masalahnya. Tapi menerima. Barangsiapa yang bisa menerima, maka dia
akan bisa melupakan, hidup bahagia. Tapi jika dia tidak bisa menerima, dia
tidak akan pernah bisa melupakan.














Click to View FlipBook Version