The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by perpuspuspitabangsa.92, 2022-09-23 02:03:51

Entrok (Okky Madasari) (z-lib.org)

Entrok (Okky Madasari) (z-lib.org)

http://facebook.com/indonesiapustaka orang yang kakinya pincang dan mukanya lebam dengan da-
rah yang mengucur. Kami menuju rumah sakit.

Baru beberapa meter berjalan, mobil berhenti. Kami baru
saja melewati sekelompok orang yang sedang berjalan dalam
kegelapan. Itu mereka. Orang-orang yang baru saja direndam
dalam dinginnya Kali Manggis.

”Rahayu, Pak Amin, turun di sini. Ajak mereka ke rumah
sakit. Kita butuh saksi,” kata Amri. Aku mengangguk. Pak
Amin menyuruh Amri segera ke rumah sakit. Kami akan me-
nyusul mereka berjalan kaki. Rumah sakit tak jauh dari tem-
pat ini.

***

Sore hari setelah peristiwa yang melelahkan itu, kami ber-
kumpul di rumah Pak Amin. Ada rasa geram sekaligus ne-
langsa. Tadi malam dalam perjalanan ke rumah sakit, keenam
orang yang ternyata tukang becak itu menceritakan apa yang
telah mereka alami.

”Kita tidak boleh diam saja,” Amri memecah keheningan.
”Semuanya terjadi di depan mata kita. Kita melihatnya lang-
sung. Apalah artinya semua perjuangan terhadap penindasan
dan ketidakadilan, kalau kebiadaban di depan kita sendiri saja
tak mampu kita atasi.” Amri kembali menunjukkan identitas
dirinya, pejuang keadilan yang memukau bagi setiap orang.

”Agama kita tidak mengizinkan sedikit pun kekejian pada
yang lemah.” Amri juga menunjukkan kualitasnya sebagai
imam, ustaz, pejuang agama kami.

”Kita laporkan ke polisi?” tanya Iman.
”Salah satunya. Tapi aku tidak yakin. Polisi tidak akan be-
rani mengusut kasus ini.”

150

http://facebook.com/indonesiapustaka Amri benar. Laporan ke polisi tidak akan menyelesaikan
masalah ini. Bahkan bisa jadi ini malah akan mempersulit
keenam tukang becak itu. Semua kembali terdiam. Memikir-
kan apa yang bisa kami lakukan. Lalu tiba-tiba pikiran itu
tebersit begitu saja dalam otakku. Koran. Kejadian ini bisa
diberitakan di koran. Semua orang akan membaca. Petinggi
tentara di Magelang dipaksa memberikan hukuman pada anak
buahnya. Ya, koran. ”Kita buat ini jadi berita.”

”Bisa. Tapi apakah mereka berani memberitakan hal seperti
ini?” tanya Iman.

”Kurasa bisa. Kasus ini tak melibatkan pejabat tinggi. Ha-
nya prajurit-prajurit yang mendapat giliran patroli. Kita coba
cari wartawan yang mau memberitakan,” kata Amri. Kami
mengiakan.

Malam itu juga kami kembali ke Jogja, mencari wartawan
koran Jogja, yang juga anggota kelompok pengajian kami,
Taufik namanya. Tak terlalu susah meminta bantuannya.
Taufik langsung tertarik dengan kasus ini. Besok siang kami
akan ke Magelang, menemui keenam tukang becak itu.

Pasar Rejowinangun sangat ramai. Kendaraan berlalu lalang
sepanjang Jalan Mataram dan Jalan Tidar, dua jalan utama
pasar tersebut. Kami menuju pangkalan becak di samping
pintu masuk pasar. Hanya aku yang mengenali wajah keenam
tukang becak itu. Saat tiba di rumah sakit, mereka menolak
masuk, dan kami berpisah di depan gerbang rumah sakit.
Mereka hanya sempat mengatakan di sinilah biasanya mereka
mangkal sehari-hari. Aku juga masih ingat nama enam orang
itu.

Satu per satu kuamati muka orang-orang yang meringkuk
di dalam becak. Mereka semua menunggu penumpang. Ada
yang tertidur, ada yang sekadar melamun sambil mengisap

151

http://facebook.com/indonesiapustaka lintingan tembakau. Tidak ada wajah yang kukenali. Aku me-
mutuskan bertanya pada salah satu tukang becak yang sedang
duduk di sadel becaknya.

”Pak, numpang tanya. Pak Mehong di mana ya?”
”Mehong dari kemarin tidak narik. Dengar-dengar ditang-
kap gara-gara main kartu.”
”Kalau Syukur... Rondi... terus...”
”Semuanya yang ikut ketangkap main kartu dari kemarin
nggak narik. Nggak tahu ke mana. Paling masih ditahan.”
Dari orang itu kami tahu rumah Mehong ada di Desa Ban-
dongan. Orang itu memberi kami ancar-ancar menuju desa
itu. Kami menuju ke barat, menyusuri jalanan di kota Mage-
lang yang ramai dengan lalu lalang kendaraan, tak beda jauh
dari Jogja. Keluar dari batas kota, segala hiruk-pikuk itu le-
nyap. Semakin jauh berjalan, tak ada lagi jalan mulus ber-
aspal. Semuanya tinggal makadam atau jalan tanah yang me-
niupkan debu saat panas dan becek saat hujan turun. Setiap
hari Mehong harus melalui jalanan ini, mengayuh becaknya
di pagi buta, lalu pulang tengah malam. Kadang sering tidak
pulang kalau ingin mengirit tenaga. Seperti saat malam dia
digiring ke Sungai Manggis. Ah, tiba-tiba aku jadi teringat
Ibu.
Masuk di Bandongan, makin tak berbekas sisa kemajuan
Magelang. Desa ini tak ubahnya seperti Singget. Sawah de-
ngan padi menguning yang siap dipanen membentang luas.
Rumah gedek di mana-mana. Di jalanan beberapa anak yang
seharusnya sekolah tampak sedang memanggul rumput,
apalagi kalau bukan untuk makan ternak. Di depan mereka
Amri menghentikan mobilnya, menanyakan di mana rumah
Mehong. Salah seorang anak menunjukkannya dalam bahasa
Jawa.

152

http://facebook.com/indonesiapustaka Rumah Mehong adalah rumah gedek dengan satu ruangan
yang menyatu dengan pawon. Berdiri di depan pintu rumah
itu, kami langsung melihat ada laki-laki setengah baya ber-
baring di tengah rumah. Dua anak kecil yang bermain di de-
pan rumah langsung berlari ke dalam begitu melihat kami.
Mereka membangunkan laki-laki itu.

Mehong tampak kaget. Mukanya yang lesu terlihat ke-
takutan. Dia melangkah perlahan keluar rumah.

”Masih ingat saya, Pak? Yang kemarin malam jalan ke ru-
mah sakit,” aku berusaha meredam ketakutannya.

”Ya, masih ingat. Ada perlu apa?” jawab Mehong hati-hati.
Dia terlihat lemas. Sepertinya tak menyambut kedatangan
kami. Padahal waktu malam itu aku menghampirinya di jalan,
Mehong bersemangat menceritakan apa yang dialaminya. Ma-
lam itu ia terbakar dalam amarah dan perih oleh harga diri
yang terinjak-injak. Tapi kini dia seperti manusia yang tak
punya jiwa. Lemah, tak berdaya.

”Kami mau ngobrol sebentar. Ini teman saya wartawan.
Mau menolong Bapak.”

”Tidak, tidak usah. Saya tidak perlu ditolong. Saya tidak
mau bikin masalah lagi. Tidak.”

”Tidak bikin masalah, Pak. Kita cuma mau dengar cerita
Bapak. Biar ditulis di koran. Biar orang-orang itu kapok se-
mua. Kalau perlu dipecat.”

”Sudah, Mbak... saya sudah nrimo, ikhlas. Saya tidak mau
lagi urusan sama mereka.”

”Lha ya bukan soal nrimo atau ikhlas. Ini soal benar atau
salah lho. Lha sampeyan bisa nrimo sekarang, terus kalau
besok-besok ada kejadian lagi sama orang lain bagaimana?”

”Saya sudah nggak mau bikin gara-gara lagi. Bukan karena
saya takut. Bukan saya nggak sakit hati. Tapi... sudah dua hari

153

http://facebook.com/indonesiapustaka ini saya sakit, nggak bisa narik. Nggak ada duit, anak-istri
saya tidak bisa makan...”

Mehong tak kuasa menahan air matanya. Dia masuk ru-
mah, lalu meratap di balik dinding gedek itu. Amri menyusul-
nya. Diusap-usapnya punggung Mehong. Tangis Mehong tak
berhenti, malah makin keras. Seorang wanita muncul dari
belakang rumah. Itu istri Mehong. Wanita itu duduk di sam-
ping suaminya bersama dua anaknya. Lama kami menyaksikan
itu semua tanpa bisa berbuat apa-apa. Tangis Mehong per-
lahan mulai pelan, hingga hanya terdengar isakan. Laki-laki
itu sudah tenang. Amri mulai membujuknya.

”Teman saya ini cuma mau dengar cerita yang kemarin.
Dia akan bantu kita semua. Bapak akan baik-baik saja. Nggak
akan ada yang berani macam-macam lagi. Semua orang takut
pada koran.”

”Benar saya tidak akan apa-apa?”
”Saya yang jamin. Kalau mereka bikin masalah lagi, kita
bawa ke pengadilan.”
Amri berhasil membujuk Mehong. Kami semua masuk ru-
mah, duduk di alas tikar pandan yang sudah bolong-bolong.
Taufik mulai melakukan tugasnya. Dia mengeluarkan buku
kecil dan rekaman. Taufik tak bertanya macam-macam. Ia
hanya membiarkan Mehong menceritakan semuanya.
”Malam itu saya tidak pulang. Sambil ngisi waktu main
kartu sama teman-teman yang juga lagi mangkal. Ada enam
orang. Mainnya di pangkalan pasar, tidak pakai duit, wong
kami nggak punya duit. Terus tiba-tiba mobil patroli datang.
Empat orang berjaket hijau turun dari mobil. Kami semua
disuruh naik ke mobil. Saya gemetaran, terpeleset, eh, kaki
saya ditendang. Di tengah jalan, saat mau ke markas, mobil
itu macet kehabisan bensin. Kami berenam disuruh mendo-

154

http://facebook.com/indonesiapustaka rong sampai markas. Di markas kami diberi pengarahan.
Kami dilarang main kartu di pinggir jalan, sekalipun tak pa-
kai uang. Katanya itu mengganggu pemandangan. Setelah
dapat wejangan itu saya diizinkan pulang. Tapi pas mau pu-
lang tiba-tiba... saya... mmm... kentut. Tapi sumpah mati...
saya tidak sengaja. Sudah saya tahan tapi nggak bisa. Saya
bukan mau menghina...”

Mehong menangis lagi. Kentut itu begitu membekas dalam
hatinya. Sepertinya ia sangat menyesalinya. Kami semua diam,
menunggunya tenang lalu melanjutkan ceritanya lagi.

”Lalu... petugas itu marah. Kami dibawa ke Kali Manggis.
Di pinggir kali kami dihajar... dipukul, ditendang... lalu di-
suruh nyebur ke sungai... Saya kedinginan... Rasanya seperti
masuk es... Wong tengah malam seperti itu...”

Cerita Mehong sudah cukup untuk menjadi bahan tulisan
Taufik. Kami buru-buru pulang ke Jogja agar berita ini sudah
bisa dibaca orang besok pagi. Kami meninggalkan nama dan
alamat pada Mehong. Dia bisa mencari kami kapan saja.

Berita tentang kentut itu keluar di dua koran, satu di Jogja
dan satunya di Semarang. Nama Amri, Iman, Arini, dan
namaku keluar sebagai saksi mata yang melihat semua ke-
jadian itu. Kami berempat membenarkan apa yang dikatakan
Mehong pada bagian awal tulisan. Kami juga menceritakan
pemukulan oleh dua tentara itu saat Amri minta agar pe-
nyiksaan itu dihentikan. Juga rasa nyeri akibat popor senapan.
Aku menceritakan bagaimana senapan ditodongkan ke Amri
dan Iman yang meringkuk di tanah.

Berita itu mendapat perhatian di universitas. Dosen dan
mahasiswa memberi dukungan sekaligus bertanya tentang ke-
jadian malam itu. Sepertinya berita di koran belum lengkap
kalau belum mendengar langsung dari yang mengalami. Sore

155

http://facebook.com/indonesiapustaka hari kami berkumpul di masjid universitas, seperti biasanya
untuk pengajian dan diskusi. Banyak anggota pengajian yang
belum tahu ceritanya langsung dari mulut kami. Amri men-
ceritakannya dengan utuh, tak ada yang ditambah atau di-
kurangi.

Sudah dua hari lalu berita penyiksaan tentara itu dimuat.
Tidak ada dampak apa-apa. Alih-alih sanksi atau pemecatan
pada empat tentara itu, sekadar tanggapan pun tidak diberi-
kan. Ada rasa kecewa, juga putus asa. Sore ini Taufik datang
ke markas kami. Kami berbicara di teras, setelah pengajian
rutin selesai.

”Pernahkah kalian bicara sesuatu kepada seseorang tapi di-
abaikan begitu saja, didengar pun tidak?” tanya Taufik. Kami
semua diam tak menjawab. ”Seperti itulah rasanya saat ini.
Manusia membuat koran untuk memberitahu orang apa yang
terjadi. Untuk membantu orang yang tak bisa bersuara. Koran
membuatnya bisa berteriak, bisa didengarkan. Tapi apa ini?
Didengar pun tidak. Semua sia-sia. Tak ada gunanya lagi aku
bekerja di sana.”

Taufik meradang. Mungkin tepatnya meratap. Kami semua
diam, tak bisa mengeluarkan kata-kata apa pun. Bukan dia
saja yang merasa tak berguna. Aku juga, dan sepertinya kami
semua. Buat apa setiap pemikiran dalam pengajian itu? Mau
diapakan cita-cita perjuangan agama Allah dan keadilan bagi
seluruh warga negara itu? Kami semua hanya membual dan
berkhayal. Bagaimana mungkin kami bisa mengubah seluruh
negeri kalau kejadian kentut yang ada di depan mata saja tak
bisa menyelesaikan. Tapi kami telah berusaha...

”Bukan salah kamu, Fik. Juga bukan salah kita. Kita semua
telah berusaha sebaik-baiknya,” akhirnya aku membuka
suara.

156

http://facebook.com/indonesiapustaka ”Niat dan usaha hanya dicatat Tuhan, Rahayu. Tapi hasil-
nya yang dibutuhkan semua orang.” Taufik sedang emosi. Se-
gala sesuatu tak akan benar, kecuali sama dengan kacamata
otaknya.

Seorang perempuan muncul di hadapan kami. Gelungan
rambutnya berantakan, mukanya pucat antara kecapekan dan
ketakutan. Napasnya tersengal-sengal. Kain yang dipakai ku-
sut dan lusuh. Kami tak beranjak karena tak mengenal siapa
dia. Sampai kemudian perempuan itu menyapa, ”Saya istri
Mehong. Dari Bandongan.”

Oh, Gusti Allah. Kami terperanjat. Dia istri Mehong,
orang yang menjadi pangkal muasal kegalauan hati kami saat
ini. Sekarang perempuan itu berdiri di depan kami. Dia da-
tang dari Bandongan ke Jogja. Tiba-tiba saja, tanpa kabar.
Kami memintanya duduk. Segelas minuman disediakan Arini
untuk menghilangkan penatnya.

”Mehong hilang...”
Hah! Mehong hilang, katanya. Benarkah yang kudengar?
”Hilang bagaimana, Bu?”
”Orang-orang itu membawanya dua hari lalu. Sampai seka-
rang Mehong belum pulang...” Istri Mehong menangis. Tubuh-
nya, yang kurus, seperti tinggal tulang berlapis kulit keriput,
bergetar. ”Oalah... Hong... Mehong... sudah kubilang nggak
usah cari masalah. Sekarang malah kowe nggak bisa pulang.
Anak-anakmu mau disuruh makan apa?”
Istri Mehong sedang meluapkan segala laranya. Tak ada
yang berani mengusik. Semuanya larut dalam lara yang sama.
Mataku perlahan terasa berat. Butiran-butiran air mata meng-
gantung minta segera dikeluarkan. Ya, siapa yang masih bisa
menahan keharuan?
Taufik keluar dari pusaran emosinya. Dia kembali pada

157

http://facebook.com/indonesiapustaka naluri wartawannya. ”Yang membawa Pak Mehong siapa,
Bu?”

”Saya tidak tahu... Mereka bilang petugas... Ada enam
orang. Saya ditempeleng waktu tanya Mehong mau dibawa ke
mana... Saya takut... takut Mehong tidak bisa pulang lagi...”

Kami mengantar istri Mehong ke kantor polisi. Taufik akan
membuat cerita penculikan Mehong untuk koran besok pagi.
Di depan polisi, istri Mehong menceritakan apa yang terjadi
pada suaminya dengan terbata-bata, kadang diselingi air mata.
Polisi itu gusar. Tapi kehadiran wartawan dan dosen hukum
di samping istri Mehong membuatnya harus lebih bersabar.
Amri dan Taufik menambahkan informasi tentang Mehong
dengan berita yang ditulis Taufik di koran. Dimulai dari ke-
sewenangan di malam itu, pemuatan berita di koran, lalu
penculikan pada hari yang sama dengan penerbitan koran.
Istri Mehong sendiri berkata orang yang membawa suaminya
pergi mengaku sebagai petugas. Sudah begitu gamblang untuk
menduga siapa yang membawa Mehong pergi.

Kami tinggalkan kepercayaan kepada petugas-petugas ber-
seragam cokelat itu. Merekalah harapan kami untuk bisa se-
gera mencari Mehong, melalui aturan hukum. Mereka juga
bisa mengusut orang yang terbukti menculiknya.

Berita hilangnya Mehong kembali terbit di dua koran, di
Jogja dan Semarang. Mehong tidak menggunakan kata pen-
culikan, tapi hilang. Judulnya: Tukang Becak ”Kentut” Hilang.
Semua cerita istri Mehong ada dalam berita itu. Termasuk
gambaran enam laki-laki yang membawa Mehong pergi dan
pengakuan mereka sebagai petugas. Tak ketinggalan penga-
kuan istri Mehong bahwa ia ditempeleng saat menanyakan
mau dibawa ke mana suaminya.

Kami telah menjemput dua anak Mehong. Untuk semen-

158

http://facebook.com/indonesiapustaka tara, istri dan anak-anak Mehong akan menginap di markas
kelompok kami. Pagi tadi kami telah mendatangi kantor
polisi, menanyakan kelanjutan laporan istri Mehong. Tak ada
jawaban yang jelas. Mereka minta kami tetap menunggu.
Taufik kehilangan kesabaran. Naluri pemburu berita mengusik-
nya untuk datang langsung ke sumber semua masalah ini:
markas tentara Magelang. Sementara Taufik ke Magelang,
kami tetap di Jogja. Amri mengumpulkan seluruh anggota
organisasi. Kami harus merapatkan diri untuk melakukan
perlawanan, demi kembalinya Mehong.

Pagi-pagi sekali Taufik datang dari Magelang. Matanya
bengkak, seperti orang tak tidur semalaman. Hanya aku yang
ada di markas. Detak jantungku terasa lebih cepat. Terasa
gamang menanti kata-kata dari mulutnya. Kabar gembira atau-
kah kekecewaan.

”Mana Bu Mehong?”
”Di belakang, masak.”
Taufik mendekatkan mulutnya ke telingaku. ”Mehong su-
dah tidak ada lagi.”
”Hah! Maksudnya apa?” aku menekan suaraku.
”Dia mati. Mayatnya tadi malam ditemukan di depan pasar.
Aku ke sana mau mencari lima teman Mehong yang malam
itu ikut direndam di Kali Manggis. Tapi kita kalah cepat.
Mehong lebih dulu jadi mayat. Komandan Magelang baru
bisa kutemui nanti sore.”
Ya Tuhan... Mehong sudah mati. Semuanya sia-sia. Dan
kami juga yang membuat dia mati. Kami yang menjanjikan
tidak akan ada apa-apa. Kami membujuknya agar mau ber-
cerita ke wartawan. Kami bilang semua orang takut pada ko-
ran. Tapi apa yang terjadi saat ini? Kami membuatnya ke-
hilangan nyawa. Duh, Gusti, bagaimana harus kukatakan ini

159

http://facebook.com/indonesiapustaka semua pada istri dan anak-anaknya? Bagaimanapun mereka
harus mengetahuinya.

Rumah gedek itu sudah penuh orang saat kami datang.
Bandongan, seperti halnya Singget, tidak akan pernah mem-
biarkan seseorang berjalan sendiri dalam kematian. Mereka
akan mengantarnya, melepasnya dengan penghormatan di
liang lahat, apa pun alasan kematian itu. Mehong ditemukan
mati di depan pasar dengan luka bacok di dada dan leher.
Wajahnya juga penuh goresan pisau. Kematian Mehong sama
dengan banyak kematian lainnya. Kematian yang ganjil, tak
diketahui sebabnya. Mayatnya ditemukan begitu saja di tem-
pat umum.

Taufik menulis tentang kematian Mehong. Aku seperti su-
dah kehilangan harapan. Berita itu akan menjadi berita pengu-
muman kematian, orang kasihan lalu melupakannya. Koran
memang dibuat untuk menyampaikan pesan, mengabarkan apa
yang tidak diketahui orang. Tapi bukan untuk didengar, apalagi
untuk membuat seseorang terhindar dari kematian.

Amri menggagas rencana besar. Organisasi pengajian kami
akan berdemonstrasi di depan markas tentara Magelang.
Kami tidak akan gegabah dengan menuduh pembunuh
Mehong adalah tentara. Kami hanya meminta empat orang
yang semena-mena pada enam tukang becak di Sungai Mang-
gis segera dipecat. Sayang, teman-teman Mehong menolak
ikut bergabung. Kematian Mehong telah memberi mereka
peringatan untuk tidak lagi berurusan dengan tentara. Apa
yang terjadi di Kali Manggis tidak ada artinya dibandingkan
kehilangan nyawa. Tapi masih ada kami bersama Pak Amin
yang malam itu jelas-jelas menyaksikan semuanya.

Dua puluh orang ikut dalam aksi. Amri dan Iman ber-
gantian berseru lewat corong pengeras suara. Kami membawa

160

http://facebook.com/indonesiapustaka berbagai poster yang meminta orang-orang itu dipecat. Foto
besar Mehong hasil jepretan Taufik dipajang di barisan depan.
Foto ketika dia masih sehat, waktu kami datang untuk wawan-
cara, juga ada foto saat dia telah terbujur sebagai mayat. Di
depan kami, barisan orang-orang berseragam loreng itu meng-
hadang.

Dor! Satu tembakan ke udara dilepaskan. Mereka mengusir
kami. Kami bertahan. Amri terus berjalan maju, kami semua
mengikutinya. Kami hanya mau bertemu komandan mereka.
Memintanya memberi hukuman pada anak buahnya. Tidak
lebih dari itu.

Dor! Bunyi tembakan lagi. Tentara-tentara itu mulai ke-
habisan kesabaran. Aku melihat ada popor senapan mampir di
kening Amri. Amri membalas dengan memukulkan corong
pengeras suaranya ke muka tentara itu. Mereka berkelahi. Lalu
Iman juga. Lalu semuanya. Kami menjadi kalap. Seperti ada
kekuatan besar yang mendorong kami terus maju. Darah yang
keluar dari kening Amri membuat kami begitu marah. Kulihat
tongkat itu mendekat ke wajahku. Begitu cepat dan... Buk!

***

Surat itu tiba. Surat pemecatan dari rektorat. Amri dipecat
sebagai dosen. Aku, Iman, dan Arini dikeluarkan sebagai
mahasiswa. Kami dianggap telah menyebabkan terjadinya ke-
rusuhan. Tak ada sedikit pun yang menyinggung tentang pe-
ristiwa di Kali Manggis atau kematian Mehong. Taufik juga
dipecat dari pekerjaannya. Dia dituduh mengarang berita.
Kami orang-orang kalah.

Amri duduk di bangku halaman markas kami. Aku me-
milih menghabiskan hari terakhir ini dengan tiduran di ruang

161

http://facebook.com/indonesiapustaka depan. Markas ini sebentar lagi hanya menjadi bagian dari
kenangan. Ya, ini organisasi pengajian di bawah universitas.
Hanya mereka yang tercatat sebagai bagian dari universitas
yang masih boleh beraktivitas di sini.

Melalui kaca nako, kulihat sosok Amri dalam gelap. Se-
harian ini dia duduk di tempat yang sama, di bangku kayu di
bawah pohon jambu. Tangannya terus memegang rokok, yang
entah sudah keberapa sepanjang hari ini. Ia telah kehilangan
segala ketangguhannya. Seharian ini dia hanya mengabarkan
surat yang diterimanya. Setelah itu tak ada sepatah kata pun
keluar dari mulutnya. Aku juga tak mampu berkata apa-apa.
Hanya mengamatinya diam-diam dari balik nako ini. Sampai
tiba-tiba... Krak... buk... buk... buk... krak!

”Amrii! Berhenti! Amriii...!” Laki-laki itu menendang dan
memukul pohon jambu. Itu bukan sansak, dia tidak sedang
latihan ketangkasan. Dia melukai dirinya sendiri. Kutarik le-
ngannya saat mendaratkan satu pukulan di batang pohon.
”Hentikan! Kamu gila!”

”Biar! Biarkan saja! Tidak akan terjadi apa-apa pada pohon
ini hanya karena pukulanku.”

”Bukan pohon ini. Tapi kamu! Lihat!” Tangannya berdarah.
Kepalan tangan kalah oleh kayu.

”Jangan ikut campur!” Buk.
”Amri! Jangan gila! Kalau mau bunuh diri, jangan sedikit-
sedikit seperti ini. Sekalian saja. Minum racun atau iris nadi-
mu!”
”Semuanya sia-sia, Yu! Aku kalah! Apa yang harus kukata-
kan pada anak-istriku?”
Amri menangis. Dia kembali duduk di bangku kayu itu.
Kedua tangannya yang berdarah kini menutup mukanya. Ta-
nganku bergerak ke bahunya. Aku ada di sini, Amri.

162

http://facebook.com/indonesiapustaka Kembang Setelon
1985–1989

Singget, Januari 1986

Rahayu pulang. Bersama laki-laki yang ganteng kayak londo.
Badannya tinggi-besar, putih. Hidungnya mancung, matanya
belok. Duh, Gusti, kok ada orang yang ganteng seperti ini.
Kata Rahayu dia bukan londo, tapi Arab.

Aku tahu teman Rahayu ini sudah jadi omongan semua
orang. Di mana lagi orang Singget bisa melihat orang segan-
teng ini. Tidak kalah sama penyanyi dangdut yang di TV itu.
Perawan-perawan sengaja mengarang berbagai alasan untuk
datang ke rumah. Mau beli dagangan atau minta utangan.
Lalu sambil lirak-lirik melihat ke wong ganteng itu. Padahal
ya tidak ada gunanya, wong dia sudah mau jadi mantuku. Lha
iya, apa lagi yang dimaui laki-laki yang jauh-jauh datang ke
rumah perawan kalau bukan mau melamar?

Baru sehari datang, Amri sudah seperti anakku sendiri.
Orangnya supel, mengajak aku dan Teja mengobrol tentang

163

http://facebook.com/indonesiapustaka apa saja. Terus, yang membuatku suka juga, semua makanan
yang kusediakan dimakan juga. Padahal itu semua makanan
ndeso. Dia juga makan panggang selamatan. Padahal Arab lho.
Sehari salat berkali-kali. Tapi syukur, ya Gusti, dia tidak me-
lihatku sebagai dosa yang harus selalu dihindari.

”Nduk, jadi kapan orangtua Amri mau melamar ke sini?”
”Siapa yang bilang mereka mau ke sini, Bu?”
”Lho, kan kamu sendiri yang bilang kalian mau menikah.”
”Ya, kami mau menikah. Tapi nggak pakai lamaran seperti
itu.”
”Kamu ini ngomong apa to? Ini adat. Memang harus se-
perti itu aturannya.”
”Aturan dari mana, Bu? Yang penting saya nikah sah.
Nggak usah pakai adat. Nggak ada urusan sama negara. Kami
datang ke sini cuma mau minta pangestu. Minta Bapak jadi
wali. Cukup. Nggak pakai urusan lain-lain.”
”Nduk, kamu itu anak perempuan. Anakku satu-satunya.
Orang menikah itu harus sesuai tata cara. Wong nggak ada
ruginya. Cuma sekali ini, Nduk. Aku juga pengin ada temu
temanten, seperti orang-orang lain.”
”Bu... nggak bisa, Bu. Kami nggak mau ramai-ramai. Yang
penting sah agama saja. Yang penting kami tidak dosa, Bu.
Nggak usah ramai-ramai, Bu...”
”Sudahlah, pokoknya kalian diam saja. Biar aku dan bapak-
mu yang ngurus semuanya.”
”Bu, Amri sudah punya istri...”
Mbah Ibu Bumi Bapa Kuasa! Anakku mau kawin sama
suami orang. Duh, Gusti! Ampuni kesalahan anakku ini,
Gusti. Sejak kecil dia kugadang-gadang41 jadi orang benar, pin-

41 kuharapkan

164

http://facebook.com/indonesiapustaka tar. Selama hidup aku selalu berhati-hati. Tidak pernah sekali
saja aku kepikiran mau menggoda suami orang, apalagi mau
kawin sama suami orang. Di Singget ini sundal-sundal seperti
itu akan jadi omongan sampai mati. Malah sekalian kledek
atau sinden, nggak apa-apa, wong itu sudah kerjaannya. Lha
sekarang, anakku yang pintar, yang mau jadi sarjana, malah
mau kawin sama suami orang. Duh, Gusti, apakah ini karma
dari Teja? Teja yang punya gendakan di sana-sini, sekarang
dibalas lewat anaknya.

”Laki-laki boleh punya istri lagi, Bu.”
”Ngawur! Dari mana kamu dapat pikiran kayak begitu?
Bertahun-tahun bapakmu gendakan sama kledek, aku diam
saja. Asal jangan sampai dia kawin lagi. Jangan sampai dia
punya istri lagi. Lha ini kamu malah mau jadi istri simpanan.
Malu, Nduk... Malu!”
”Bu! Malu itu cuma urusan sama orang lain. Yang penting
urusan sama Yang Di Atas. Lha kalau Gusti Allah saja meng-
izinkan laki-laki beristri menikah lagi, ya kenapa mesti bi-
ngung? Yang penting semuanya sah.”
”Nduk... Nduk... Yuk... Kalau kamu bukan anakku, kalau
ibumu orang kere yang dari kecil tidak bisa memenuhi ke-
butuhanmu, kamu boleh jadi istri kedua, ketiga, keempat.
Yang penting bisa makan, yang penting ada yang ngopeni. Lha
ini, Yuk... Ibumu ini masih sanggup mencukupi kebutuhanmu.
Tidak perlu kamu jadi sundal. Tidak perlu merebut suami
orang!”
”Bu! Aku bukan sundal!”
”Lha apa namanya kalau perempuan kawin diam-diam
sama suami orang? Ingat, Nduk... setiap perbuatan ada karma-
nya! Kamu ini sekolah tinggi-tinggi kok malah jadi bodoh...”
Rahayu tetaplah Rahayu. Anakku yang hatinya lebih keras

165

http://facebook.com/indonesiapustaka daripada batu. Batu saja lama-lama bisa hancur kena air. Tapi
hati Rahayu tak akan bisa digeser sedikit pun meski oleh
orang yang telah melahirkannya. Menjadi anak sekolahan juga
makin membuatnya tidak tersentuh. Dia merasa paling pintar
sendiri, paling benar. Kok menikah sama suami orang bisa
dianggap benar? Katanya, daripada dosa. Lha ya iya, yang
tahu dosa apa tidak itu siapa? Lha apa merebut suami orang
itu bukan dosa? Ealah, Nduk... mencuri punya orang itu yang
namanya dosa. Gusti, ampuni anakku ini.

Malam Sabtu Pahing, pernikahan itu dilaksanakan. Sudah
habis semua omonganku, tapi tak ada gunanya. Teja yang
biasanya tak pernah ikut campur, kali ini sudah mewanti-
wanti anaknya. Lha siapa yang tidak mau anak perempuannya
hidup normal? Punya suami yang bukan suami orang. Bisa
mantu besar-besaran. Sama dengan aku, Teja juga takut nanti
karma itu berbalik pada Rahayu. Tapi, ya sudahlah. Wong
yang milih dia sendiri.

Menuruti apa maunya Rahayu, pernikahan itu dilakukan
kecil-kecilan. Tanpa gembar-gembor, tanpa urusan surat-surat
kelurahan. Kyai Noto kuminta datang ke rumah untuk me-
nikahkan mereka secara Islam. Sopirku, Ratno, bersama ka-
kak laki-lakinya menjadi saksi.

Mereka pergi dua hari setelah menikah. Sudah tak ada lagi
keinginan menahan mereka. Hatiku masih belum ikhlas me-
nerima pernikahan itu. Biarlah mereka segera pergi, jadi aku
tak perlu terlalu lama makan hati. Biar aku tak melihat me-
reka berdua, agar aku tak terus-terusan menyesali kebodohan
anakku sendiri. Anak yang sudah sekolah tinggi-tinggi. Yang
kudoakan agar bisa lebih pintar dan berhasil dibanding orang-
tuanya, yang kuharapkan bisa menjunjung derajat orangtua,
lha kok malah jadinya kayak begini.

166

http://facebook.com/indonesiapustaka Pernikahan dan kepergian Rahayu tidak mengubah apa-apa
dalam hidupku. Rasa kecewa itu tersimpan sangat dalam di
hatiku. Tak perlulah ada orang yang tahu, termasuk Teja.
Kami tak pernah lagi membicarakannya. Menyebut nama
Rahayu pun sudah tidak pernah.

Syukur, Gusti, rezeki itu datang tanpa henti. Makin banyak
yang utang, tapi tidak ada yang seret. Orang-orang yang me-
minjam duitku kulihat dimudahkan rezekinya. Yang bakulan
dibuat makin laris, yang buruh tani terus dapat pekerjaan,
yang pegawai diberi sehat dan selamat.

Uangku berubah bentuk jadi sawah-sawah tebu. Yang dulu-
nya hanya setengah hektar, sekarang sudah ada dua setengah
hektar. Lebih luas dari punya Pak Lurah. Selama orang masih
butuh gula, tebuku akan terus mencetak uang. Jumlahnya
lebih banyak dibanding bayaran pegawai negara.

Lihat saja rumah Pak Darmin, kasir pabrik gula. Rumahnya
yang di sebelah kantor Kecamatan itu lebih besar daripada
rumah Pak Camat. Kendaraan roda empatnya ada dua, bukan
pikap seperti punyaku, tapi sedan. Apalagi rumah direktur
pabrik gula yang ada di Madiun sana. Bangunan di seberang
Pasar Gede itu sudah seperti kerajaan. Tinggi dan besar. Ken-
daraan roda empatnya sudah tidak terhitung lagi. Duh, Gusti,
kok bisa orang semakmur itu? Memang gula benar-benar ma-
nis. Dulu, andaikan Rahayu bisa diatur, sebenarnya aku
pengin anakku bisa jadi pegawai pabrik gula. Anakku sarjana
lho, insinyur pertanian. Pasti orang-orang pabrik gula akan
mau menerimanya. Eee... kok malah milih jadi gundik. Hus!
Sudahlah....

***

167

http://facebook.com/indonesiapustaka Sudah setahun lalu pernikahan anakku. Ya, diam-diam aku
masih mengingatnya. Hanya untuk menjadi penanda hitungan
agar aku gampang mengingat waktu. Mereka tak pernah da-
tang. Pun tak sedikit pun terpikir olehku untuk mencarinya.

Tahun ini banyak gardu baru yang dibangun. Orang-orang
yang punya tanah di perempatan jalan, di tikungan, harus
merelakannya untuk keamanan bersama. Sumbangan pem-
bangunan gardu semakin banyak. Apalagi aku dianggap tidak
bisa menyumbang tenaga. Karena di rumah ini tidak ada laki-
laki yang bisa ikut ronda, aku harus menyumbang lebih ba-
nyak. Tentara makin sering berkeliaran di Singget. Datang ke
warung-warung, minta setoran uang keamanan. Kalau tidak,
ya awas saja, orang-orang yang sedang main kartu bakal di-
garuk semua. Yang punya warung bakal bangkrut karena
orang-orang tidak akan mau ke sana lagi. Kalau tidak ke wa-
rung, tentara-tentara itu ya ke rumahku.

Memasuki tahun 1987, bendera warna kuning ada di
mana-mana. Akan ada pemilu lagi. Semuanya mengingatkanku
pada Bejo. Sudah lima tahun kematiannya. Pemilu kali ini,
aku sudah punya tekad, tidak akan meminjamkan kendaraan
lagi. Biarlah aku menyumbang uang lalu mereka menyewa
kendaraan sendiri. Sudah cukuplah semua yang terjadi waktu
itu. Sudah cukuplah orang-orang menganggap Bejo mati ka-
rena menjadi tumbal. Lima tahun ini, Gusti, aku sebenarnya
tahu mereka semua masih menyimpan bisik-bisik itu. Mem-
bicarakannya saat aku tak mendengar. Orang-orang itu ikut
memelihara dendam di hati ibu Bejo. Padahal, Gusti, sungguh
aku tidak tahu apa-apa.

Panggung kampanye tidak lagi diramaikan gambyongan.
Mereka bilang itu ndeso. Sekarang zamannya dangdut. Seperti
yang ada di TV itu. Sudah tidak ada lagi kledek dengan jarit

168

http://facebook.com/indonesiapustaka dan selendang. Yang ada penyanyi yang masih kinyis-kinyis
dengan rok pendek.

Hehe... zaman sudah semakin modern sekarang. Semua
yang ndeso dan kuno sudah mulai ditinggalkan. Semua orang
sudah makan nasi. Tidak ada lagi yang mau makan gaplek.
Gaplek dianggap kere, ndeso, nggak ada gizinya. Padahal
gaplek rasanya kan lebih mantap daripada nasi. Tak ada yang
percaya kalau sampai sekarang aku masih makan gaplek setiap
hari. Rumah ini hanya memasak beras waktu membuat tum-
peng atau ketika ada tamu.

Matahari baru saja terbenam saat Koh Cayadi datang ke
rumah. Dia membonceng seorang laki-laki yang langsung
pergi begitu Koh Cayadi turun. Sepertinya ojek. Kalau tidak
sedang di toko seperti ini, laki-laki itu terlihat sudah tua.
Kulitnya yang kuning makin keriput. Sebagian rambutnya
sudah putih. Ditambah dengan muka yang pucat dan ke-
lihatan gelisah, ia seperti orang sedang sakit. Sangat berbeda
dengan aku dan Teja. Benar kata orang, hidup di ndeso mem-
buat lebih sehat. Mungkin juga kebiasaan kami untuk bangun
pagi-pagi lalu ke pasar, keliling ke sana kemari. Sementara
Koh Cayadi hanya duduk di belakang meja dengan memegang
alat hitungnya dari pagi hingga sore.

”Yu, aku mau menginap di sini. Boleh, to?”
”Walah, kok tumben-tumbennya Koh Cayadi mau
menginap di sini? Ya pasti aku senang banget, Koh. Tapi apa
nggak dicari sama anak-istri nanti?”
”Nggak, Yu. Istriku bawa anak-anak ke Malang. Ke rumah
orangtuanya. Yu, aku boleh numpang di kamar? Aku
kecapekan. Mau istirahat sebentar saja.”
Kuantar Koh Cayadi ke kamar yang kosong. Ini kamar

169

http://facebook.com/indonesiapustaka yang waktu itu ditempati Amri sebelum menikahi Rahayu.
Ah... kenapa harus ingat pada mereka?

Aku menunggu Koh Cayadi keluar kamar untuk kuajak
makan malam. Tapi laki-laki itu tak juga keluar. Hingga Teja
pulang lewat tengah malam, Koh Cayadi tetap tak keluar ka-
mar. Betapa capeknya dia, sampai tidur begitu lelap. Kepada
Teja kukatakan tentang kedatangan Koh Cayadi. Otaknya
yang setengah mabuk tak menanggapi terlalu banyak. Aku
juga tak peduli pada apa yang dikatakannya.

Pagi-pagi sekali, Koh Cayadi keluar dari kamar. Kuundang
dia ke pawon untuk minum kopi yang sudah disiapkan Tonah.
Tidur selama itu masih belum juga memberi kesegaran pada
laki-laki sipit ini.

”Sebenarnya ada apa, Koh?”
Koh Cayadi menengok ke semua arah. Lalu berhenti pada
Tonah yang sedang memasak. Dia tidak mau ada orang lain
yang mendengarkan obrolan kami. Kuajak dia ke ruang tamu.
Hari masih terlalu pagi untuk ada orang yang mampir ke ru-
mah. Kami aman mengobrol tanpa didengarkan orang.
”Aku... aku buronan, Yu.”
”Hah?” Buronan, katanya? Jadi di rumahku ada buronan.
Buronan itu penjahat, kan?
”Jangan mikir macam-macam dulu, Yu. Aku bukan pen-
jahat. Aku tidak membunuh orang. Tidak menipu, tidak me-
rampok. Tolong... percayai temanmu ini.”
”Lha terus, kalau tidak punya kesalahan apa-apa, kok bisa
sampeyan jadi buron?”
Dia malah diam. Aku semakin penasaran. Bagaimanapun,
aku juga takut kalau ada buronan menginap di rumah ini.
Amit-amit jabang bayi, jangan sampai aku ikut jadi buronan
gara-gara ini. Koh Cayadi bukan kenalan baru. Aku tahu

170

http://facebook.com/indonesiapustaka wataknya. Hafal kebiasaan-kebiasaannya. Tak mungkin rasa-
nya dia jadi penjahat. Tapi apa mungkin orang jadi buronan
kalau bukan penjahat?

”Sampeyan ingat nggak, Yu, waktu dulu ada tentara datang
ke tokoku?”

”Itu kejadian sudah lama sekali.”
”Ya, memang sudah lama. Tapi masih ada sangkut paut-
nya.”
”Kan sudah tahu caranya, Koh. Turuti saja mereka minta
berapa. Pasti beres. Tidak perlu sampai jadi buron kayak
begini.”
”Yang sekarang tidak bisa, Yu. Kalau tidak lari aku pasti
dipenjara.” Koh Cayadi menggeser kursinya mendekatiku.
Suaranya dipelankan. ”Selama ini aku kan nyumbang duit
buat latihan tari naga di kelenteng Surabaya sana. Semuanya
sembunyi-sembunyi. Tidak ada yang tahu, selain orangtuaku.
Istriku sendiri saja tidak tahu. Kemarin Tahun Baru kami,
mereka nggak bilang-bilang main di lapangan sebelah kelen-
teng. Padahal itu tidak boleh. Semua yang main ditangkap.
Aku langsung kabur, istriku kusuruh ke Malang. Ayah dan
ibuku di rumah, sedang sakit. Mereka sudah tua. Tidak akan
ditangkap.”
”Tapi kan tidak ada yang tahu sampeyan yang selama ini
ngasih duit, Koh?”
”Orang-orang itu akan dipaksa ngaku. Mudah-mudahan
namaku tidak disebut. Tapi aku tidak yakin. Sudah berulang
kali yang seperti ini terjadi. Di Semarang, di Kalimantan. Se-
mua orang kapok. Tidak ada lagi yang berani urusan kayak
gitu.”
”Terus sampeyan mau sembunyi di sini?”
”Ya, kalau diizinkan, Yu. Sementara saja. Mudah-mudahan

171

http://facebook.com/indonesiapustaka mereka tidak mencariku. Hanya di sini yang aman, Yu. Kalau
di rumah saudara-saudaraku pasti ketahuan. Kalau di sini,
siapa yang mengira?”

Sudah tiga minggu Koh Cayadi tinggal di rumah ini. Se-
muanya berjalan baik-baik saja. Saat tentara datang mengam-
bil jatah uang keamanan, dia cepat-cepat masuk kamar. Tiap
malam, saat orang-orang datang menonton TV, dia juga harus
berdiam di kamarnya. Untungnya, kamar itu tidak satu
ruangan dengan TV.

Teja tak terlalu ambil pusing pada Koh Cayadi. Masalah
Koh Cayadi yang sedang dalam buronan tak dipikirkannya.
Dia hanya wanti-wanti jangan sampai kami dibawa-bawa ka-
lau terjadi sesuatu. Selebihnya, Teja lebih sering di luar ru-
mah. Apalagi kalau bukan meladeni gendakan-gendakan-nya
itu.

Suatu kali Tonah pernah bertanya tentang orang Cina yang
sekarang ada di rumah. Kukatakan itu temanku dari luar
kota. Usahanya bangkrut dan sedang butuh tempat tinggal.
Tonah tak percaya. Bagaimana mungkin Cina bisa bangkrut?
Kukatakan mungkin saja. Mereka sama saja dengan kita. Ada
yang kaya, ada yang miskin. Ada yang berhasil, ada yang bang-
krut. Kebetulan saja Cina-Cina yang dia lihat juragan semua.
Mendengar itu Tonah baru percaya. Tak pernah lagi dia ber-
tanya tentang Koh Cayadi. Semua kebutuhan Koh Cayadi
dilayaninya dengan baik. Urusan makan dan cuci baju.

Sudah larut malam saat empat polisi datang ke rumah.
Apakah mereka sudah tahu buronannya ada di sini? Duh,
Gusti, lindungilah rumah ini dan seluruh isinya.

”Sampeyan Bu Marni?”
”Betul, Pak. Ada apa ya?”
”Suami Ibu kecelakaan. Naik sepeda motornya.”

172

http://facebook.com/indonesiapustaka Duh, Gusti, apa lagi ini? Teja kecelakaan, kata mereka. Aku
ikut polisi itu ke rumah sakit di Madiun. Rumah sakit yang
sama dengan tempat Bejo lima tahun lalu. Buluku meremang
saat masuk ke lorong rumah sakit. Kaki ini terasa berat, tidak
mau melangkah. Enggan rasanya melihat Teja terbaring di
tempat tidur berseprai putih dengan luka di mana-mana.
Tiba-tiba terlintas bayangan Teja terbujur kaku seperti mayat.
Persis seperti Bejo lima tahun lalu. Ah, jangan berpikiran bu-
ruk.

Di pintu satu ruangan, dua polisi berjaga. Lalu dokter
keluar. Mereka semua menoleh ke arahku. Aku mempercepat
langkah. Dokter itu menyalamiku. ”Maaf, Bu. Bapak sudah
meninggal.”

”Hah?”
”Ya. Sudah tidak bisa ditolong lagi.”
Gusti... Mbah Ibu Bumi Bapa Kuasa! Apa yang sebenarnya
Kauberikan padaku? Apakah ada salahku padaMu, Gusti?
Apa yang sudah kulupakan? Semuanya tetap kuberikan pada-
Mu. Sajen, tumpeng, panggang, tirakat. Gusti, apa yang ku-
rang?
Mereka semua yang mengurusnya. Aku tinggal membayar,
lalu mayat Teja boleh dibawa pulang. Aku seperti sedang ber-
ada di masa lima tahun lalu. Persis, beginilah semuanya. Ru-
mah sakit yang sama, ambulans, dan seseorang yang telah
menjadi mayat. Seseorang yang sangat kukenal. Aku merasa
kematian semakin mendekatiku. Ketika orang yang telah lebih
dari dua puluh tahun ada dalam hidupku mati. Teja, mau se-
marah apa pun aku padanya, sejengkel apa pun, dia tetap
bagian dari hari-hari yang kulalui. Inilah yang namanya jodoh.
Kalau aku kawin dengan orang lain, belum tentu rezeki bisa
datang seperti ini.

173

http://facebook.com/indonesiapustaka Sudah tujuh hari rumahku ramai dengan orang-orang. Me-
reka datang dan pergi, tapi orang yang kutunggu tak juga
datang. Rahayu tidak juga pulang meskipun bapak kandung-
nya kehilangan nyawa. Ratno telah berangkat ke Jogja mencari
ke pondokan Rahayu, ke tempat-tempat kenalan. Tak ada
yang tahu di mana anak itu. Kang Teja, ya seperti itulah ada-
nya anakmu. Jangan jadi ganjalan dalam hatimu. Jangan di-
sumpahi, bagaimanapun dia darah dagingmu sendiri.

Di hari kedelapan, orang-orang itu tak datang lagi. Rumah
ini terasa suwung. Ada rasa yang ganjil saat aku berangkat ke
pasar dengan Ratno. Seperti ada yang aneh dan tidak biasa.
Tapi tidak tahu apa. Dengan segenap upaya aku coba me-
redam perasaan-perasaan itu. Kuyakinkan bahwa aku harus
tetap bekerja, tetap melanjutkan hidup. Jangan sampai ke-
matian Teja membuatku jadi melarat, menjadi orang kalah
yang tak punya harga diri. Biarlah yang mati istirahat di alam
sana. Akan kukirim bunga dan panggang tumpeng di setiap
weton-nya. Yang hidup harus tetap bekerja. Itulah satu-satunya
yang bisa kulakukan agar saat mati nanti tetap mati dengan
terhormat. Tidak mati sebagai wong kere.

Di malam hari, saat Tonah sudah pulang, Koh Cayadi men-
jadi satu-satunya temanku. Walaupun selama Teja masih ada
juga selalu seperti ini. Teja lebih sering tidur di luar bersama
gendakan-gendakan-nya itu. Tapi tetap saja, sejak kematiannya,
rasanya malam hari di rumah ini begitu berbeda. Kehadiran
Koh Cayadi justru menunjukkan aku benar-benar hanya ting-
gal sendiri.

Orang-orang yang biasanya datang untuk nonton TV belum
datang lagi. Mungkin karena merasa aku masih berduka, tidak
pantas rasanya mereka datang untuk nonton TV. Padahal, ke-
datangan mereka bisa membuat rumah ini terasa ramai.

174

http://facebook.com/indonesiapustaka Dua minggu berlalu. Pagi pagi sekali Pak Lurah, Pak RT,
dan lima orang lainnya yang masih bersarung datang ke ru-
mah. Aku seperti pernah mengalami kejadian yang mirip se-
perti ini. Tapi kapan waktunya... aku lupa.

Pak Lurah membuka pembicaraan. ”Yu Marni, ada laporan
dari bapak-bapak ini. Katanya di rumah ini ada laki-laki?”

”Ratno maksudnya, Pak?”
”Bukan. Katanya singkek. Matanya sipit.”
Koh Cayadi! Mereka melihat Koh Cayadi di rumah ini.
Tapi kapan? Bukankah dia selalu bersembunyi di kamar? Apa
Tonah yang laporan? Ah, tidak mungkin. Aku tahu siapa
Tonah.
”Ooh... itu teman saya dari Surabaya. Dia datang melayat
Kang Teja.”
”Terus di mana dia sekarang?”
”Sudah pulang ke Surabaya, Pak. Waktu itu cuma datang
sebentar.”
”Yu, sampeyan nggak usah ngapusi42. Apa mau kami gre-
bek?” seseorang di antara mereka yang bukan Pak Lurah dan
Pak RT kini angkat bicara. Aku tahu dia. Pak Syamsi, orang
yang biasanya khotbah di masjid.
”Lho, siapa yang ngapusi? Saya tidak menyembunyikan apa-
apa kok... Lho... lho... sampeyan mau ke mana?”
Duh, Gusti, mati aku! Orang-orang ini tak percaya pada
omonganku. Koh Cayadi ada di dalam kamar. Pasti mereka
bisa menemukannya. Kami berdua akan diarak ke balai desa
seperti maling-maling itu. Duh, Mbah Ibu Bumi Bapa
Kuasa!
Orang-orang itu satu per satu kembali ke ruang tamu. Se-

42 bohong

175

http://facebook.com/indonesiapustaka muanya berwajah masam dengan keringat yang membasahi
dahi dan menetes di leher. Tak ada Koh Cayadi di antara me-
reka. Orang-orang itu pulang tanpa kata-kata penyesalan
melainkan dengan ancaman. Ya, kalau sampai aku terbukti
serong dengan Cina di desa ini, mereka akan melaporkanku
ke polisi. Aku hanya diam mendengar ancaman itu. Tapi di
mana Koh Cayadi? Tak mungkin dia keluar rumah tanpa me-
lewati depan ruangan ini.

Kuintip dari kaca nako, kepala orang-orang yang baru saja
menggeledah rumahku telah tenggelam di ujung jalan. Mereka
tak akan kembali, setidaknya untuk saat ini. Aku bergegas ke
kamar yang ditempati Koh Cayadi. Kamar itu kosong. Kucari
dia ke kamar-kamar yang lain, juga kosong. Aku duduk di
pawon sampai tiba-tiba sesosok manusia muncul dari lorong
yang menghubungkan pawon dengan kamar mandi. Dia Koh
Cayadi. Telunjuknya langsung ditempelkan ke bibir begitu
aku melihatnya. ”Psttt!”

”Mereka sudah pergi jauh,” bisikku. ”Sampeyan sembunyi di
mana?”

Koh Cayadi melambai, menyuruhku mendekat. Aku me-
nurut. Lalu dia menunjuk kamar kecil di sebelah kamar
mandi yang penuh tumpukan kayu jati. Itu gudang yang ku-
pakai menyimpan kayu-kayu sisa bahan bangunan rumah ini.
Jumlahnya banyak, bertumpuk memenuhi seluruh kamar. Se-
kilas orang akan yakin tak ada sedikit pun sisa ruangan untuk
manusia. Ternyata Koh Cayadi bersembunyi di antara tum-
pukan kayu-kayu itu.

”Sudah lama kutata kayu-kayu itu. Biar aku bisa nyelip ka-
lau ada apa-apa. Benar, kan?”

Aku hanya mengangguk-angguk. Ada rasa plong karena
Koh Cayadi berhasil mengelabui orang-orang itu. Kami tidak

176

http://facebook.com/indonesiapustaka perlu diarak ke balai desa seperti maling atau orang serong.
Tapi juga ada rasa takut. Bagaimana kalau sewaktu-waktu
mereka datang lalu Koh Cayadi tertangkap. Haruskah dia te-
tap tinggal di sini?

Koh Cayadi memilih tetap tinggal. Katanya di sinilah ia
paling aman. Tak ada yang tahu dia ada di sini. Bahkan peng-
gerebekan di rumah ini tak juga berhasil menemukannya.
”Tidak akan ada apa-apa, Yu. Tunggu sampai semuanya pasti
aman. Sebulan lagi aku akan pergi.”

Pagi-pagi, begitu Tonah datang, aku bertanya dengan hati-
hati, ”Nah, apa kowe pernah cerita-cerita kalau ada singkek di
sini?”

”Mboten... mboten43 pernah kok, Yu.”
Muka Tonah pucat. Dia ketakutan. ”Tenan44, nggak pernah
cerita ke siapa-siapa?”
”Ya, Yu. Saya ndak pernah cerita ke siapa-siapa. Tenan.”
”Aku percaya kowe lho, Nah!” Tonah mengangguk, lalu me-
nunduk. Separuh hatiku percaya padanya. Tonah telah me-
nemaniku selama delapan tahun. Tak pernah dia terpengaruh
omongan orang bahwa aku pencari pesugihan. Tak ada ke-
takutan bahwa suatu saat aku akan menjadikannya tumbal.
Dia tetap bekerja di sini, apa pun kata orang. Tapi separuh
hatiku juga ragu. Bagaimana mungkin orang luar tahu tentang
Koh Cayadi kalau tidak ada yang memberitahu? Selain aku
dan Teja, hanya Tonah yang tahu ada singkek di rumah ini.
Gusti, Mbah Ibu Bumi Bapa Kuasa, jika Tonah yang mem-
bocorkan rahasia ini, berilah dia hukuman. Kalau memang
bukan, biarkanlah dia mendapatkan rezekinya di rumah ini.

43 tidak
44 benar, yakin

177

http://facebook.com/indonesiapustaka Hari ini aku telah menyiapkan sesembahan kecil. Tumpeng
ukuran kecil dan satu panggang. Aku tak memanggil siapa
pun untuk selamatan. Kuujubkan sendiri niatnya, agar rumah
ini tetap dilindungi dan diberi keselamatan. Kalau memang
aku ditakdirkan menolong Koh Cayadi, janganlah kehadiran-
nya membawa petaka bagi rumah ini. Seperti biasanya, ku-
simpan panggang tumpeng itu di kamarku. Di atas meja,
persis di sebelah tempat tidurku.

”Agamamu apa, Yu?” Pertanyaan Koh Cayadi mengejutkan-
ku. Tiap malam, sejak kematian Teja, kami selalu mengobrol.
Tidak ada lagi orang-orang yang menonton TV, sehingga Koh
Cayadi tidak perlu bersembunyi di dalam kamar sepanjang
malam. Tapi tak pernah kami membahas hal-hal yang berat
seperti ini. Agama? Apa agamaku?

”Katanya ya Islam, Koh. Sama seperti orang-orang.”
”Aku Kristen. Ditulis di KTP. Sama seperti orang-orang.”
Kami diam. Tak ada suara. Aku masih tidak mengerti
kenapa Koh Cayadi tiba-tiba menanyakan hal ini.
”Tapi sampeyan selamatan, Yu?”
”Lha iya, Koh. Biar tercapai apa tujuannya. Biar selamat.”
”Aku juga ke kelenteng.” Koh Cayadi tertawa pelan. ”Juga
biar selamat, biar tercapai semua tujuan.” Dia terkekeh lagi,
pelan sekali sehingga menyerupai desahan. ”Tapi mesti sem-
bunyi-sembunyi... e... lha sekarang malah kucing-kucingan
sama tentara.” Dia tertawa lagi.
”Sepanjang umur aku musuhan dengan anakku sendiri
gara-gara panggang tumpeng,” kataku. Koh Cayadi terbahak.
Agak keras, sampai aku mesti mengangkat jari dan meletak-
kannya di bibir. ”Ssstt!”
”Tapi setidaknya sampeyan ndak jadi buron, Yu.”
”Lha iya, setoranku kenceng. Kalau tidak, aku sudah diusir

178

http://facebook.com/indonesiapustaka dari desaku ini.” Kami tertawa lagi, pelan. ”Orang-orang bilang
aku cari pesugihan gara-gara ikut sampeyan ke Gunung Kawi.
Sopirku mati tabrakan katanya gara-gara jadi tumbal pe-
sugihan-ku. Di kamar tempat sampeyan sembunyi kemarin
katanya juga ada tuyul. Lha sampeyan kemarin lihat ada tuyul,
ndak?”

”Kekekekek... Orang-orang di Pasar Gede juga bilang aku
cari pesugihan, Yu. Makanya tokoku bisa laris. Penggede-peng-
gede yang datang. Lha ya mesti penggede to. Masa kere mau
datang beli TV? Kita pergi ke Gunung Kawi kan tirakat to,
Yu. Memohon pada yang punya bumi. Apa yang salah?”

”Aku jadi omongan, Koh, karena dulunya aku kere. Mana
mungkin wong melarat bisa punya rumah sebesar ini? Punya
sawah tebu hektar-hektaran.”

”Padahal sampeyan kan kerja, to? Aku juga.”
”Lha ya iya. Tapi katanya aku mencekik leher orang. Pada-
hal, Koh, sampeyan tahu kan rumah di seberang sana yang
besar itu? Itu yang punya rumah kerja di Kehutanan... apa itu
namanya... ee... Perhutani. Rumahnya penuh kayu jati. Duit-
nya ndak keitung. Tapi ndak pernah dirasani45. Orang-orang
malah nggumun46. Karena pintarnya bisa jadi pegawai negara.
Padahal itu kan nyolong. Ya malah mending aku. Kerja meras
keringat, tidak merampok, tidak mencuri, tidak menipu, tidak
membunuh.”
”Ya itu sama saja dengan wong di sebelah Pasar Gede itu,
Yu. Yang direktur pabrik gula. Rumahnya kayak istana. Se-
banyak-banyaknya gaji direktur, tidak sebesar itu, Yu. Itu juga
uang gula.”

45 dibicarakan keburukannya
46 kagum

179

http://facebook.com/indonesiapustaka Kami berdua diam. Aku tertawa dalam hati. Entah apa
yang ada di hati Koh Cayadi. Suara tekek... tekek... tekek... itu
seperti menertawakan kami berdua. Dua orang yang begitu
asing dan bingung dengan apa yang ada di sekeliling mereka.
Koh Cayadi masuk kamar begitu acara TV habis. Aku masih
belum beranjak. Pikiranku mengawang-awang. Ingat pada
Teja, juga kangen pada Rahayu. Lalu aku keluar rumah. Se-
perti biasa, sejak bertahun-tahun lalu, di bawah pohon asem
kusampaikan segala keinginanku pada yang membuat hidup.
Setelah memiliki semuanya sekaligus mengalami banyak hal
menyakitkan, aku hanya minta agar diberi keselamatan, ke-
tenangan hidup, dan kesehatan. Aku sudah tidak lagi me-
minta kejayaan harta. Semua yang kumiliki ini telah cukup
mengantarkanku ke kemuliaan hidup. Sekarang aku hanya
ingin menikmati semuanya dengan tenang.

Melalui kaca nako, aku bisa melihat mereka. Orang-orang
berpakaian loreng-loreng hijau. Ini hari Kamis, biasanya me-
reka baru datang Senin atau Selasa. Mereka bukan orang-
orang yang biasa datang ke sini. Pintu digedor dengan kasar,
mengirimkan pesan ancaman dan ketakutan. Begitu pintu
kubuka, mereka menodongkan senapan. Mereka masuk rumah
tanpa permisi padaku. Menggeledah semua kamar, membuka
semua lemari. Entah kali ini Koh Cayadi bisa lolos atau ti-
dak.

Dalam penantian, aku merasa waktu terhenti. Pandanganku
tak beralih dari arah pawon sembari mengucapkan permintaan
pada penguasa alam. Gusti, berilah kami semua keselamatan.
Tapi keberuntungan Koh Cayadi kemarin tak terulang lagi
hari ini. Dari lorong pawon, dia berjalan dengan ujung se-
napan yang menempel di punggungnya. Dua tentara di bela-
kangnya.

180

http://facebook.com/indonesiapustaka ”Itu siapa, Bu?” tanya tentara yang dari tadi berdiri di sam-
pingku. Dia komandan tentara-tentara ini.

”Teman saya, Pak. Punya toko di Pasar Gede Madiun.”
Orang-orang itu menyuruh aku dan Koh Tjajadi naik ke
truk mereka. Kami dibawa ke markas di Madiun. Di markas,
orang-orang itu membawa kami ke ruangan yang berbeda.
Kepadaku mereka menanyakan banyak hal. Ada hubungan
apa dengan singkek itu, di mana, kapan, kenapa... ah... tak
semuanya kudengar dan kucerna dengan baik. Aku terlalu
pusing dan hanya ingin semuanya cepat selesai. Banyak per-
tanyaan yang hanya kujawab dengan ya dan tidak.
”Bu Marni, masih ingat saya?”
Seorang tentara dengan perut buncit dan kumis tebal me-
nyalamiku. Aku kenal dia. Komandan Sumadi. Dia bertugas
di kecamatan bertahun-tahun lalu. Dia yang memulai ke-
biasaan itu. Datang setiap minggu dan mengambil uang ke-
amanan. Gusti, apakah dia yang Kaukirimkan untuk mem-
bantuku? Seluruh tenaga dan semangatku tiba-tiba seperti
terkumpul. Memberikan kekuatan agar aku melakukan se-
suatu untuk menolong diriku sendiri.
”Saya ndak pernah lupa, Ndan. Sekarang tugas di sini?”
”Ya, Yu. Aku naik pangkat sekarang.”
”Syukur, Gusti. Mbok saudaramu ini ditolong, Ndan. Aku
mau cepat pulang.”
”Ya... ya... aku sudah tahu. Yang bawa sampeyan ke sini itu
anak buahku semua.” Sumadi mendekat. Duduk di bangku
panjang yang kududuki. Sekarang kami begitu dekat. ”Yang
penting sampeyan bisa pulang, ndak usah ngurus yang lain-
lain. Pikirkan dirimu sendiri saja.” Dia diam sejenak, mengisap
rokok yang dipegangnya. ”Kalau singkek itu berat urusannya.

181

http://facebook.com/indonesiapustaka Soalnya dicari-cari sama markas Surabaya. Biarkan saja dia.
Lha sampeyan tidak ikut-ikutan masalah dia, kan?”

Aku menggeleng. Ya, aku memang tidak tahu apa-apa ten-
tang masalah Koh Cayadi. Aku hanya orang desa yang bodoh
yang kebetulan rumahnya ditumpangi buronan. Benar begitu,
kan?

”Dia akan dipenjara?” tanyaku.
”Pasti. Dia sudah melawan negara. Mau jadi PKI apa!”
”Salah dia apa to, Ndan? Nggak ada bedanya sama kita
yang bikin gambyong di punden47.”
”Hus! Kalau tidak tahu apa-apa jangan sembarangan
omong. Kelenteng, tari naga, sampeyan tahu tidak, itu simbol-
simbol PKI. Makanya dilarang. Ini singkek sudah tahu dila-
rang masih nekat.” Sumadi mendekatkan mulutnya ke telinga-
ku. ”Sudah, ndak usah kebanyakan omong. Yang penting kowe
bebas, to. Bisa tak atur kowe pulang sore ini. Yang penting je-
las perhitungannya.”
Aku membalikkan tubuh. Sekarang mukaku berhadapan
dengan mukanya. Mata kami beradu. Gusti, kenapa aku selalu
Kauhadapkan dengan orang-orang seperti ini? Orang-orang
yang begitu berkuasa dengan seragam dan sepatunya. Orang-
orang yang menjadi begitu kuat dengan senapannya. Orang-
orang yang selalu benar karena bekerja untuk negara. Mereka
yang selalu mendapatkan uang dengan mudah tanpa sedikit
pun mengeluarkan keringat. Dan aku yang tak punya kuasa
dan kekuatan, yang selalu saja salah, harus tunduk pada ke-
mauan mereka. Menyerahkan harta yang terkumpul dengan
susah payah, dengan segala hujatan orang lain.
”Ini urusannya berat. Nggak kayak yang dulu itu.”

47 kuburan yang dikeramatkan

182

http://facebook.com/indonesiapustaka ”Berapa?”
”Sampeyan juragan tebu, kan? Satu hektar pasti enteng.”
Dia membalikkan tubuhnya, menghindari tatapanku. Dia me-
lanjutkan mengisap rokok. Asap yang keluar dari mulutnya
sengaja dimain-mainkan sehingga bergulung-gulung dan mem-
buat napasku sesak. Lalu dia kembali berbalik, mendekatkan
mulutnya ke kupingku. ”Ini urusannya berat. Ya terserah ka-
lau mau masuk penjara karena sudah menyembunyikan bu-
ronan.”
Aku tak punya pilihan lain. Koh Cayadi orang yang baik.
Dia bukan penipu, bukan perampok, bukan pembunuh. Dia
pekerja keras, mengikuti apa yang dilakukan orangtuanya, un-
tuk bisa mendapat kemuliaan di tanah perantauan. Apa salah-
nya kalau dia masih menjunjung adat leluhurnya? Sama se-
perti aku, mungkin juga sama dengan banyak orang lainnya.
Tapi menghabiskan hidup di penjara bersamanya tentu bukan
hal yang kuharapkan. Dia tidak akan tertolong, malah akan
merasa bersalah sepanjang hidupnya. Masih banyak yang ha-
rus kulakukan di luar sana. Biarlah satu hektar sawah menjadi
harga yang harus kubayar untuk kebaikan Koh Cayadi selama
ini. Anggukanku membuatnya semuanya menjadi lebih mu-
dah.
Kutinggalkan markas itu tanpa berpamitan pada Koh
Cayadi. Sumadi tak mengizinkan aku menemui laki-laki itu.
”Orang itu datang ke rumahmu nyari pondokan, to. Kamu
nggak kenal dia dan tidak pernah berhubungan dengan dia
sebelumnya. Begitu, kan?”
Sumadi mengarangkan cerita untukku. Cerita yang akan
kukatakan pada siapa saja yang bertanya tentang singkek yang
ditemukan di rumahku. Karena aku tak mengenal orang itu,
tak perlu aku bertemu dengannya lagi. Lebih cepat aku me-

183

http://facebook.com/indonesiapustaka ninggalkan markas ini akan lebih baik. ”Besok pagi aku ke
sana buat urus semuanya,” katanya sebelum meninggalkan
ruangan.

Matahari belum juga sepenggalah saat Sumadi datang ke
rumah. Dia datang sendiri, naik roda empat warna biru. Kata
orang-orang yang seperti itu namanya sedan. Sama sekali tak
ada basa-basi saat kami telah duduk di ruang tamu.

”Aku mau selesaikan urusan yang kemarin,” katanya. ”Jadi
ini sudah aku bikin surat jual-beli. Sampeyan tinggal cap jem-
pol.”

Dia mengeluarkan selembar kertas yang aku tak mengerti
sama sekali apa isinya. Lalu dia menyodorkan kotak berisi
tinta, memasukkan jempolku ke sana, lalu menempelkannya
di kertas. ”Sudah beres semua. Sekarang tinggal sertifikatnya
saja.”

Meski berat, aku berdiri juga. Masuk ke kamar, aku lang-
sung membuka laci di lemariku. Meski tak bisa membaca, aku
tahu sertifikat yang ada di situ untuk tanah yang mana. Se-
tiap dapat sertifikat aku membungkusnya dengan kertas yang
warnanya berbeda. Aku hafal semuanya. Dan sekarang salah
satunya harus kulepaskan. Tanah itu kumiliki tidak hanya
dengan keringat, tapi juga darah. Ya, darah yang menggelegak
karena menahan sakit hati. Sakit hati disebut lintah darat,
pemuja setan, pemelihara tuyul, pembunuh Bejo lalu juga
Teja. Orang-orang bicara semaunya, lalu orang satu ini juga
hendak mengambil apa yang kupunyai dengan seenaknya.
Dan aku menyerah begitu saja. Karena aku bukan orang ne-
gara yang punya senjata.

Kabar tentang singkek yang ditemukan tentara di rumahku
menyebar cepat. Aku ingat, memang ada beberapa orang yang
kebetulan lewat depan rumahku melihat aku dan seseorang

184

http://facebook.com/indonesiapustaka naik ke kendaraan tentara. Sore ini Pak Lurah datang ke ru-
mah.

”Jadi benar, Yu, ada singkek di sini?”
”Ya, cuma mampir.”
”Yu, sampeyan kan sedang jadi omongan banyak orang.
Masa gendakan sama orang, padahal suamimu baru meninggal.
Orang-orang kemarin itu mengadu ke aku.”
”Lha siapa yang gendakan, Pak? Kalau saya ada apa-apa,
pasti sudah ditahan to sama tentara-tentara yang kemarin ke
sini. Lha sekarang buktinya saya pulang. Kalau ndak percaya,
silakan tanya saja ke mereka.”
Menyebut kata tentara ampuh membuat orang ini terdiam.
Mereka memang orang-orang pengecut, yang sok kuasa di
depan orang-orang seperti aku, tapi begitu penakut saat men-
dengar kata negara dan tentara. Semua masalah akan selesai
kalau ada dua kekuatan itu di belakangku. Pak Lurah akan
mengabarkan ke semua orang cerita karangannya sendiri agar
orang-orang tak lagi mengungkit-ungkit soal singkek yang ada
di rumahku. Semua masalah akan hilang dengan sendirinya.
Sesekali saja aku akan mendengar mereka membicarakan se-
muanya dengan berbisik-bisik di gardu, di masjid, atau di
warung kopi.
Semua orang sudah tahu tanahku berkurang sehektar.
Sumadi sudah datang ke tanah itu dan menyuruh orang-
orang mengerjakannya. Memang tidak ada yang aneh jika
seseorang menjual tanahnya. Tapi penjualan harta merupakan
lambang kebangkrutan. Kalau tiba-tiba aku datang ke pasar
tidak memakai kalung yang biasa kupakai, omongan orang
sudah macam-macam. Apalagi sekarang tanah satu hektar
tiba-tiba dilepas ke orang lain. Padahal belum ada seratus hari
Teja meninggal. Dan baru beberapa hari sejak tentara me-

185

http://facebook.com/indonesiapustaka nemukan singkek di rumahku. Mereka semua berkata, inilah
karma bagiku.

Siang-siang, di pintu pawon, saat aku menghitung recehan-
recehan cicilan orang-orang, Tonah menghampiriku. Duduk,
lalu... ”Heh, apa ini, Nah? Ndak ada apa-apa kok tiba-tiba
nangis?”

”Saya mau minta maaf, Yu. Sudah tidak jujur, sudah bo-
hong.”

”Lho... kenapa to? Sudah, nggak usah nangis dulu.”
”Saya yang bilang ada singkek di sini, Yu. Gara-gara saya,
tentara-tentara itu ke sini. Juga gara-gara saya, sekarang sam-
peyan bangkrut.”
”Lho... nanti dulu. Jelaskan satu-satu. Kowe ngomong ke
siapa ada singkek di sini? Terus kata siapa aku bangkrut?”
”Mereka datang ke rumah, Yu... Orang-orang itu nanya apa
sampeyan punya gendakan. Saya bilang tidak. Mereka nggak
percaya. Mereka bilang lihat ada singkek pas Kang Teja me-
ninggal. Saya keceplosan. Saya bilang memang itu teman da-
gangnya Yu Marni. Saya kaget pas mereka ke sini nggeledah.
Syukur tidak ketemu. Tapi besoknya tentara-tentara itu da-
tang to, Yu. Itu juga mereka yang laporan sama tentara-tentara
itu, Yu...”
”Wong kejadian sudah berlalu kok diungkit-ungkit lagi.
Yang penting kan aku tidak apa-apa. Sudah, tidak masalah
kalau kamu cuma keceplosan seperti itu.”
”Tapi kan gara-gara itu sampeyan jadi bangkrut.”
”Hah, siapa bilang aku bangkrut? Tidak, Nah. Tidak. Aku
jual sawah berarti aku dapat duit banyak to, ini aku mau beli
sawah lagi. Lha wong sawahku yang lain juga masih banyak.”
”Ya, Yu. Tapi kata orang-orang, ini sudah pertanda. Ke-
hilangan sawah setelah kematian adalah tanda kehilangan se-

186

http://facebook.com/indonesiapustaka muanya. Saya tidak boleh lagi kerja di sini, Yu. Saya mau pa-
mit.”

”Hah, lha kenapa? Siapa yang menyuruhmu berhenti?” Dari
semua omongan Tonah, inilah yang paling membuatku tidak
percaya. Orang yang sudah ikut aku hampir sepuluh tahun
itu minta berhenti begitu saja saat aku baru saja kehilangan
suami. Saat rumah ini sudah terasa semakin suwung dan tak
memiliki semangat. ”Kok ya bisa-bisanya kamu ngomong mau
berhenti, wong keadaan lagi kayak gini.”

”Saya sudah nggak boleh, Yu. Nggak boleh sama Bapak,
juga sama suami.” Tonah terisak. Kali ini begitu dalam. ”Ta-
kut kalau nanti jadi sajen pesugihan. Soalnya hanya tinggal
saya yang ikut makan di rumah ini.”

Tonah seperti sedang memukulkan alu ke kepalaku. Berat,
sakit... tapi justru mengunci rapat mulutku. Aku seperti mati
rasa. Kehilangan perasaan. Dia mau pergi dari rumah ini ka-
rena takut menjadi tumbal pesugihan. Orang yang sudah ham-
pir sepuluh tahun mencari makan di sini setiap hari, sudah
begitu hafal dengan setiap sudut rumah ini, sekarang mau
pergi karena takut jadi korban pesugihan. ”Kamu percaya aku
punya pesugihan, Nah?”

Tonah bersimpuh. Mencium tanganku. ”Tidak, Yu. Tidak.
Tapi saya mau bilang apa? Bejo dan Kang Teja sudah tidak
ada... sama-sama tabrakan... Saya harus nurut suami, Yu...
kasihan anak-anak saya...”

”Lha bukannya malah kasihan anak-anakmu kalau kamu
ndak kerja lagi? Suamimu kan nggak setiap hari nguli, to?”

”Ya, Yu, tapi yang penting anak-anak sehat dan selamat.”
Gusti, Mbah Ibu Bumi Bapa Kuasa. Orang ini tidak hanya
takut dirinya menjadi tumbal pesugihan. Tapi dia khawatir
anak-anaknya, yang ikut menikmati rezeki dari rumah ini,

187

http://facebook.com/indonesiapustaka ikut mendapat petaka. Duh, Gusti, sebegitu hinakah diriku
di mata orang lain? ”Pergilah, Nah! Pergi yang jauh dari ru-
mah ini. Biar kowe dan seluruh keluargamu selamat.”

Sekarang semuanya telah pergi. Rahayu, Teja, lalu Tonah.
Koh Cayadi yang sempat menjadi teman berbagi rasa kini
entah di mana. Mungkin dia meringkuk di sel sempit yang
gelap dan dingin, makan dengan nasi dingin setiap hari. Atau
mungkin dia tengah merasakan sakitnya dipukul dan diten-
dang, atau jangan-jangan dia hanya tinggal tubuh tanpa nya-
wa. Itu yang kudengar tentang orang-orang yang ditahan
tentara.

Kita sama, Koh. Sendiri dan sepi di tengah orang-orang
yang mencaci maki. Mereka bilang aku pencari pesugihan dan
lintah darat. Orang-orang itu bilang kamu pemuja naga yang
tak beragama. Katanya kamu pelanggar aturan negara. Kita
sama-sama terhukum, Koh. Kamu dihukum orang-orang ber-
seragam. Aku dihukum tetangga-tetanggaku sendiri yang da-
tang padaku saat butuh pinjaman uang, yang ikut menonton
TV yang kubeli dari uang yang kata mereka tidak halal. Kata
mereka kita sedang mendapat karma.

***

Maret 1989

Tujuh ratus hari sejak kematian Teja. Kuhitung hari-hari itu
dari tanggalan bergambar perempuan bergincu merah yang
kudapat dari toko emas. Aku memang tak tahu angka-angka-
nya. Kulingkari hari kematian Teja dengan spidol warna me-
rah, lalu menghitung tanggal-tanggal sesudahnya. Dan seka-
rang sudah ada tujuh ratus tanggal. Aku sudah melingkari

188

http://facebook.com/indonesiapustaka tanggalan baru, bukan tanggalan yang kutandai di hari ke-
matiannya.

Kusembelih seekor kambing untuk selamatan. Kupanggil
tiga tukang masak dan satu orang pencuci piring untuk me-
masak makanan selamatan. Aku akan mengadakan selamatan
besar. Selamatan mendak pindo48. Bukan lima orang atau 25
orang yang kuundang. Tapi 150 orang. Janda-janda yang tidak
punya laki-laki di rumah mereka akan mendapat antaran ma-
kanan.

Siang hari, saat semua orang mempersiapkan segala ke-
butuhan di pawon, aku pergi ke makam Teja. Kubersihkan
nisannya, kutaburi dengan bunga setaman. Aku bersimpuh
sambil mengusap-usap nisan itu. ”Kang, aku datang. Aku buat-
kan selamatan. Semoga semakin lapang dan terang jalanmu
di alam sana.”

Kembali dari kuburan, ada perempuan dengan satu anak
laki-laki menyambutku di depan rumah. Perempuan itu jauh
lebih muda dari aku. Dia memakai rok span, bedaknya tebal
dengan bibir bergincu merah. Anak laki-laki di sampingnya
kurus berbaju kumal. Ingus terus-terusan keluar dari hidung-
nya.

”Aku Endang Sulastri, Bu.”
Endang Sulastri. Aku pernah mendengar nama itu. Kledek
yang terkenal. Semua dalang, semua gambyongan berebut un-
tuk bisa mengajaknya pentas. Setiap pentas yang menampilkan
Endang dijamin akan didatangi banyak orang. Suaranya ter-
kenal merdu, tubuhnya semok, dan tariannya mengundang
hasrat. Setiap laki-laki yang diajak gambyong tak akan ragu-

48 tahun kedua

189

http://facebook.com/indonesiapustaka ragu menyelipkan banyak sawer di balik baju brokratnya. Tapi
mau apa dia ke sini?

”Ini anak Kang Teja, Bu,” kata Endang sambil menyentuh
kepala anak itu. ”Dia mau tahu bapaknya siapa. Ya saya bawa
ke sini to, wong ini rumah bapaknya.”

”Aku ndak tahu Teja punya anak.”
”Ya, Bu. Kami tidak pernah bilang-bilang. Tapi kan seka-
rang anaknya sudah segede ini. Sudah empat tahun. Dia yang
pengin banget tahu tentang bapaknya. Walaupun bapaknya
sudah tidak ada, ya paling tidak biar dia tahu peninggalan
bapaknya apa.”
”Lha bagaimana aku tahu ini memang anaknya Teja?”
”Semua orang di desaku tahu, Bu. Sampeyan saja yang se-
lama ini tidak tahu atau pura-pura tidak tahu. Wong kami
sudah kawin lama kok. Pas dia nggeblak49, aku ndak ke sini.
Tidak enak sama omongan orang. Ini karena anaknya yang
mau.”
Kuperhatikan anak itu. Terlihat tak terurus dibandingkan
ibunya yang mukanya penuh bedak dan gincunya merah.
Duh, Gusti, matanya dan hidungnya adalah milik Teja. Aku
mengenalinya.
”Sekarang kalau sudah tahu mau bagaimana?” Kulawan
hatiku yang bergetar melihat sosok Teja tiba-tiba ada di ha-
dapanku.
”Ya normalnya orang hidup, Bu. Anak-anak pasti dapat ja-
tah dari bapaknya sendiri.”
Endang Sulastri berbicara tentang jatah. Apa lagi kalau bu-
kan jatah warisan. Harta. Semuanya yang selama ini kucari
susah payah, sekarang mau diambil begitu saja oleh orang

49 meninggal

190

http://facebook.com/indonesiapustaka yang tak kukenal. Hanya karena anak itu lahir dari bibit
Teja.

”Aku ndak ngerti maksudmu apa.”
”Masa tidak tahu to, Bu. Ya itu, jatah buat hidup bocah ini.
Buat di sekolah. Wong bapaknya juragan masa anaknya kere.”
Endang tertawa. Dalam telingaku, tawa itu berubah seperti
tawa kledek yang kegirangan karena baru saja mendapat sum-
palan uang di susunya. Dasar sundal.
”Tapi Teja mati ndak punya apa-apa. Ini semua punyaku.”
Aku berusaha menahan amarah. ”Kalau bocah ini mau ikut
tinggal di sini, ya monggo. Tapi kalau rumah ini mau diangkat,
ya tidak bisa.”
Perempuan itu tertawa lagi. ”Ya jangan to, Bu. Masa anak
ini mau ikut tinggal di sini. Ya kasihan sampeyan. Ya yang pa-
ling gampang kan dibagi rata to. Seperti umumnya orang-
orang yang bagi warisan.”
”Ngomong seenaknya. Ini semuanya aku yang mencari. De-
ngan keringatku sendiri. Kowe datang begitu saja, tiba-tiba
mau minta bagian.”
”Eeee... bukan aku, Bu, yang minta bagian. Ini si tole. Anak
Kang Teja. Darah daging Kang Teja. Bukan aku.”
”Dasar sundal. Minggat kalian berdua. Ini rumahku. Ming-
gat!”
”Terserah sampeyan mau ngomong apa. Yang penting semua-
nya harus dibagi rata. Aku mau laporan ke Lurah.”
Perempuan itu membawa anaknya pergi. Hatiku sedikit
lega. Orang-orang yang bekerja di dapur telah berdiri di balik
pintu melihat pertengkaran kami. Ini akan menjadi bahan
omongan semua orang. Sundal itu pasti akan datang lagi de-
ngan membawa orang-orang yang akan berpolah seperti dewa.

191

http://facebook.com/indonesiapustaka Aku tahu. Biarlah. Akan kutunggu saja apa yang akan terjadi.
Ja, Teja... mati pun masih kautinggalkan masalah untukku.

Keesokan siangnya, perempuan itu datang lagi bersama
anaknya. Ada juga dua laki-laki dan seorang perempuan yang
agak tua. Mereka orangtua Endang Sulastri dan ketua RT
tempat Endang dan keluarganya tinggal.

”Mereka semua ini saksi hidup kalau aku sudah sah kawin
dengan Teja.”

”Semua orang juga bisa datang ke rumah ini terus meng-
aku-aku seperti itu.”

Laki-laki yang dikenalkan sebagai bapak Endang mulai ber-
bicara. ”Sampeyan jangan menuduh anakku mengaku-aku. Itu
sama saja mengatakan kami semua ini penipu. Aku sendiri
yang mengawinkan anakku dengan Teja.”

”Saya tidak mengatakan sampeyan semuanya penipu. Saya
cuma bilang, bisa saja orang lain datang ke sini terus meng-
aku-aku seperti itu. Lha wong saya tidak tahu apa-apa. Se-
umur-umur saya tidak pernah tahu Teja kawin lagi atau pu-
nya anak lagi.”

Aku harus tetap mempertahankan semua yang telah ku-
dapatkan dengan susah payah ini. Walaupun aku tahu mata
dan hidung anak itu milik Teja, tak akan kuberikan begitu saja
separo dari semua ini untuknya dan untuk ibunya yang tidak
tahu malu itu. Perempuan yang cuma mau enaknya sendiri,
yang penting pakai gincu terus megol-megol, menunggu di-
kawini suami orang. Kalau memang anak itu yang butuh, biar-
lah dia di sini. Akan kurawat dia seperti anakku sendiri. Bukan
dengan memberikan apa yang ada ini kepada mereka.

”Saya memang bukan keluarga Mbak Endang ini. Tapi saya
ketua RT. Saya tahu Mbak Endang sudah kawin dengan
Teja,” ketua RT itu sekarang ikut bicara.

192

http://facebook.com/indonesiapustaka ”Pak, saya ini bukannya tidak percaya sama sampeyan. Se-
umur-umur saya selalu menurut apa kata pak RT, pak lurah,
pak bupati, polisi, tentara. Tapi saya juga tahu, siapa yang ta-
han kalau diawe-awe50 dengan setumpuk duit. Lha saya tidak
tahu sampeyan dikasih janji apa sampai mau ikut datang ke
sini.”

”Lha sampeyan kok malah menghina saya. Saya ini aparat.
Ketua RT. Ke sini mau menjelaskan mana yang benar, malah
dituduh seenaknya. Saya tahu sendiri suami sampeyan waktu
masih hidup bolak-balik ke rumahnya Mbak Endang ini. Juga
sering menginap di sana, berhari-hari tidak pulang. Mau bukti
apa lagi?”

”Tapi kan bukan Teja satu-satunya laki-laki yang menginap
di sana? Endang Sulastri kledek kondang. Siapa laki-laki yang
tidak tergoda...”

Perempuan itu bergerak cepat mendekatiku. Telunjuknya
berada pas di depan mataku. ” Eee... jangan sembarangan kowe
ngomong. Dasar simbok tuyul, pencari pesugihan, lintah da-
rat... aaiii...” Seperti ada kekuatan yang mendorong tanganku
meraup mulut perempuan itu.

Tiba-tiba aku teringat peristiwa yang pernah kulihat ber-
tahun-tahun lalu di Pasar Ngranget, waktu aku masih me-
ngupas singkong di tempat Nyi Dimah. Dua perempuan
bertengkar dan berkelahi memperebutkan suami. Dan seka-
rang aku mengalaminya. Bukan berebut suami, tapi semua ini
bersumber dari laki-laki. Apakah memang seperti ini nasib
perempuan?

Seumur-umur aku mengumpulkan uang dengan keringatku
sendiri. Kenapa aku masih harus bermasalah karena selang-

50 digoda

193

http://facebook.com/indonesiapustaka kangan laki-laki? Ja, Teja... tak pernah aku melarangmu gen-
dakan dengan kledek mana saja. Tapi kok teganya, sudah mati
saja masih meninggalkan masalah. Kurang enak apa kowe se-
lama hidup denganku? Kalau bukan karena aku, mungkin
kowe masih jadi kuli sampai mati. Jangan pernah bermimpi
kledek kondang Endang Sulastri mau kamu tiduri.

Pak RT itu telah membawa kami ke balai desa Singget.
Katanya, masalah ini harus diselesaikan dengan hukum. Biar
lurah desaku dan lurah desa mereka yang akan memutuskan.
Aku tak punya pilihan lain. Kuikuti semua proses itu. Ku-
jawab semua pertanyaan mereka. Aku datang setiap ada pang-
gilan, di balai desaku maupun di balai desa mereka. Dua
lurah akan memutuskan apakah perempuan itu akan men-
dapatkan separo hartaku atau tidak.

Hari ini, setelah dua minggu lamanya, keputusan hasil run-
dingan dua lurah disampaikan. Seperti biasa, aku datang sen-
dirian ke balai desa. Ratno tetaplah sopir, bukan pendamping-
ku, apalagi pembelaku. Dia hanya mengantar, menurunkanku
di pinggir jalan, lalu menunggu sampai aku keluar meng-
hampirinya. Tak pernah dia ambil pusing apa yang sedang
terjadi padaku. Sementara perempuan dan anak itu selalu da-
tang dengan banyak orang. Mereka orang-orang yang punya
ikatan darah, yang katanya tahu Teja sudah kawin dengan
Endang Sulastri. Pak RT yang dibawa ke rumahku adalah
paklik-nya sendiri.

Dua lurah itu duduk berdampingan di hadapan kami. Sa-
lah satunya berbicara, menjelaskan kebenaran menurut me-
reka. Kebenaran yang katanya sudah digariskan turun-temu-
run dan menjadi patokan yang adil. ”Sesuai adat, seperti yang
sudah umumnya dipatuhi orang, harta warisan itu dibagi
sama rata untuk anak orang yang meninggal.”

194

http://facebook.com/indonesiapustaka Semua harta ini akan dibagi dua. Persis sama rata, untuk
kedua anak Teja. Rahayu dan bocah laki-laki itu. Napasku
seperti terhenti ketika mendengar itu. Bagaimana mungkin
pembagian seperti itu dianggap adil? Siapa yang punya harta
ini semua, siapa yang mencarinya dengan susah payah, juga
siapa bocah yang tiba-tiba datang hanya untuk minta bagian
itu? Meskipun Rahayu anakku, bagaimana mungkin namaku
tidak disebut sama sekali dalam urusan harta ini?

”Semua yang terkumpul selama jadi suami-istri ya berarti
yang punya berdua, to. Dan namanya laki-laki kan biasanya
yang mencari semuanya. Lagi pula kalau sudah untuk anak
kan sudah tidak ada masalah. Wong kita hidup memang mau
bikin mulia anak-anak kita,” Pak Lurah masih melanjutkan
ceramahnya. ”Penyelesaian ini diterima saja. Daripada nanti
diurus negara malah jadi repot semuanya,” kata Pak Lurah
mengakhiri pembicaraan.

”Ini tidak adil, Pak. Aku yang mengumpulkan semua harta
ini. Kok bisa-bisanya dibagi dua begitu saja tanpa bertanya ke
aku? Orang ini yang tidak pernah ngerti susahnya mengum-
pulkan barang dari sedikit, enak sekali tiba-tiba dapat jatah
yang sama dengan anakku. Apanya yang adil, Pak Lurah?”

”Ya memang begini ini adatnya orang Jawa. Namanya
suami-istri itu cuma satu. Sampeyan tidak bisa bilang ini yang
mencari sampeyan. Ini yang punya kalian berdua. Lagi pula
orangtua mencari harta itu kan buat anak. Jadi kalau sudah
buat anak ya sudah, to?”

”Tapi bukan buat mereka. Kalau anak itu mau hidup baik-
baik, makan cukup, sekolah sampai sarjana, biarlah aku yang
mengasuhnya. Biarkan dia tinggal di rumahku. Akan ku-
anggap anakku sendiri. Kuberikan semuanya yang paling baik.

195

http://facebook.com/indonesiapustaka Tapi jangan sampai harta yang kucari susah payah ini di-
nikmati perempuan itu!”

Akan kukejar keadilan sampai ke mana pun. Orang paling
bodoh saja tahu harta yang kukumpulkan dengan susah payah
itu semuanya milikku. Lha bagaimana ceritanya, orang yang
sama sekali tidak kukenal sekarang akan mendapatkan separo
dari hartaku ini? Dan bagaimana bisa aku yang mencari semua-
nya malah tidak mendapat apa-apa? Walaupun Rahayu itu
anakku, bagaimana bisa mereka membagi milikku semau me-
reka. Biarkan aku sendiri yang mengatur kepada siapa kuberi-
kan hartaku ini. Apakah itu pada Rahayu atau orang lain.

Aku menemui Komandan Sumadi di markasnya. Siapa lagi
yang lebih berkuasa setelah lurah-lurah itu? Hanya mereka,
orang-orang berseragam, orang-orang negara. Pada laki-laki
yang telah mengambil satu hektar tanahku ini, kuceritakan
semua yang kualami. Aku meminta padanya untuk dicarikan
jalan keadilan.

”Masalah kecil itu. Gampang. Tapi ya itu... mesti ada per-
senannya. Ya sampeyan lebih ngertilah.”

”Persenan berapa?”
”Ya bagian untuk uang terima kasih. Sekarang kita hitung-
hitungan dagang saja ya, Yu. Hartamu hilang separo kalau
mengikuti kata Lurah. Aku bisa bantu jatahmu jadi lebih
besar, misalnya tiga perempat. Seperempat buat biaya pengu-
rusan. Jadi lebih untung, kan? Ah, sampeyan kan bakul, pasti
lebih tahu hitung-hitungan daripada aku.”
”Aku bakul, Ndan. Bakulan duit dengan mendapat persenan.
Aku tahu yang namanya persenan itu umumnya berapa. Tapi
kalau seperempat ya bukan persenan lagi namanya.”
”Ya terserah saja. Kan saya cuma dimintai bantuan.”
Memang salahku, datang ke sarang serigala. Meminta ban-

196

http://facebook.com/indonesiapustaka tuan pada orang yang jelas-jelas juga telah ikut merampas
hartaku. Seperempat bagian memang lebih sedikit dibanding-
kan separo. Tapi seperempat bukanlah persenan. Endang
Sulastri atau Sumadi, mereka berdua sama saja. Orang-orang
yang hanya mau enak tanpa keluar keringat.

Tapi apakah ada lagi yang lebih berkuasa dibanding orang-
orang ini? Mereka akan selalu menjadi pemenang dalam setiap
perebutan. Entah itu harta, harga diri, ataupun nyawa. Tidak
menerima tawaran ini berarti aku harus melepaskan separo
yang aku punya pada perempuan itu. Tanpa mengeluarkan
setetes keringat pun dia akan mendapatkan kemuliaan, dengan
kekayaan yang sama denganku. Apalagi kalau menuruti
omongan Lurah, bukan aku pemilik sisa separonya, tapi
Rahayu. Aku sudah tak punya apa-apa lagi kalau begitu.
Hanya ngenger51 pada anakku sendiri. Memberikan seper-
empat bagian pada Sumadi juga berarti menyelamatkan harga
diriku sebagai manusia. Tidak ngenger, tidak meminta, tidak
menunggu belas kasihan, tapi bekerja, menggunakan apa yang
dimiliki untuk bertahan hidup dan mencapai kemuliaan. Ku-
terima tawaran Komandan Sumadi.

Aku tak pernah tahu apa yang dilakukan Sumadi. Hingga
hari ini Pak Lurah memanggilku datang ke balai desa. Di
sana sudah ada Endang Sulastri dan anak laki-laki itu.

”Setelah dipelajari lagi, ternyata ada yang salah dalam pem-
bagian kemarin. Aturannya tidak seperti itu. Saya yang salah,”
kata Pak Lurah membuka pertemuan hari itu. Lalu dia mem-
berikan penjelasan panjang sesuai kebenaran baru yang telah
dia dapatkan.

Semuanya harta itu menjadi milikku dan Rahayu. Katanya,

51 menumpang hidup

197

http://facebook.com/indonesiapustaka Endang dan Teja tidak pernah punya surat kawin. Anak itu
tidak jelas anak siapa. Dalam hati aku tertawa. Bahkan hingga
saat ini aku tak pernah tahu surat kawin itu apa. Ternyata
adat, aturan, keadilan bisa diatur dengan gampang kalau kita
punya uang, punya kenalan yang berseragam dan memegang
senjata. Harga diriku telah kembali dengan memberikan se-
perempat harta ini.

Endang Sulastri mendekati Lurah dengan penuh amarah.
Mereka beradu mulut. Sesekali tangan Endang menunjuk-
nunjuk ke arahku. Aku tak peduli. Kemenangan ini sudah
tidak akan diubah lagi. Siapa berani melawan orang-orang
berseragam loreng? Bocah laki-laki itu melihat ke arahku.
Aku menatap mata dan hidung Teja itu. Dia memang anak-
nya. Sedarah dengan Rahayu anakku. Aku tak punya dendam
pada bocah laki-laki itu. Aku hanya tidak sudi memberikan
begitu saja apa yang telah kukumpulkan dengan susah payah
pada orang yang sedikit pun tak ikut meneteskan keringat.

Kulangkahkan kaki mendekati bocah itu. Ingusnya terus
keluar. Srutt... srutt! Dia menyedot cairan kental itu setiap kali
bernapas. Bocah ini seperti anak yang terlahir di zamanku,
zaman perang, saat semua orang susah. Lha ini zaman seka-
rang. Saat Singget sudah terang benderang dengan listrik,
terus kita bisa melihat siaran TV, kok masih ada bocah yang
tidak terurus seperti ini. Padahal ibunya saja begitu brai52 de-
ngan bedak tebal dan gincu yang selalu siap menggoda setiap
orang.

”Namamu siapa, Le?”
Anak itu menunduk malu, juga ketakutan. Ia melihatku
bertengkar dengan ibunya. Meski belum tahu jelas apa ma-

52 berdandan

198

http://facebook.com/indonesiapustaka salah yang sedang dihadapi ibunya, nalurinya kemungkinan
menganggapku sebagai musuh. Kuberanikan diri untuk meng-
elus pipinya. Sekarang dia memandang mukaku. Kuulangi lagi
pertanyaanku. Dia menjawab pelan, ”Waseso.”

Sebuah teriakan langsung membubarkan semuanya. ”Ee...
mau apa sama anakku? Sini, So, jangan sampai kamu nanti
jadi tumbal.”

”Hati-hati ya kalau ngomong. Setidaknya aku bukan sundal
yang suka mengganggu hidup orang lain. Aku kerja untuk
semua yang kumiliki sekarang. Lha kowe, datang tiba-tiba ha-
nya untuk merampok punya orang. Dasar sundal...”

Pak Lurah menghentikan pertengkaran kami. Dia meng-
giring kami keluar dari balai desa itu. Omongan Endang ten-
tang pembagian warisan yang tak adil sama sekali tak digubris-
nya. Sebelum aku masuk ke pikap, kusempatkan berteriak
pada perempuan itu, ”Hei, sundal, kalau kamu ndak bisa
mengurus anak, antarkan dia ke rumahku! Biar aku rumat53,
aku sekolahkan seperti anakku sendiri.”

”Ora sudi54.”
Masalah Endang Sulastri telah selesai. Sesuai janjiku, se-
perempat hartaku menjadi milik Sumadi. Ya, komandan itu
menjadi kaya mendadak. Setelah mendapat satu hektar
sawahku, sekarang ia mendapat lagi tanah dan setumpuk kayu
jati, yang nilainya sama dengan seperempat dari yang ku-
punyai. Biarlah benda-benda itu yang hilang, tapi jangan usik
sedikit pun rumah ini. Rumah ini adalah raga, tempat jiwa
bersemayam di dunia ini. Biarlah ragaku tetap menjadi milik-
ku, tak berkurang dan tak diganggu. Biarlah raga itu me-

53 rawat
54 tidak mau

199


Click to View FlipBook Version