Nyanyi Sunyi Seorang Bisu
hanya menangkringkan diri di atas bangunan y�ng sudah ada. Boleh jadi
orang Belanda dan Jepang dari gen�rasi nanti berkeruyuk bangga pernah
membuat sekian lusin bangsa-bangsa Laut Selatan melakukan apa yang
mereka perintahkan. Atau sebaliknya malu tersipu mengenangkan tingkah
nenek-moyangnya: Mungkin dua-duanya tidak. Orang Inggris dan Ame
rika nampaknya tidak pernah peduli nenek-moyang mereka telah memper
binatangkan pribumi Afrika, setelah orang memburu-buru inereka dengan
senapan, menangkapnya, O)enjualnya, mengangkutriya dengan kapal ke
Amerika, dan menghis_ ap tenaga, darah dan hidup mereka. Generasi demi
generasi. Dan generasj terakhir bangsa-bangsa Eropa itu sampai sekarang
tanpa mengedip masih melakukan apa yang leluhurnya lakukan. Setempat
saja memang. Di Afrika Selatan.
Seperti semasa bocah dulu kuikuti pertunjukan wayang itu sampai sema
lam suntuk. Jam tujuh pagi baru selesai: tancep kayon. Pukulan gong
penghabisan. Selesai segala-galanya! Para dewa, brahmana dan satria
kembali mastik kampus ki dalang. Akal dan perasaan bertambah jenuh
dengan pengalaman ulang. Dengan bersinarnya matahari kembali terhalau
pada dewa, brahmana dan satria dalam perspektif bentuknya sendiri. Yang
tak ada perspektif justru penontonnya. Kembali diri ke bumi yang terdiri
atas butiran tanah, kerikil, pasir lembah Way Apo. Dan tangan yang sepa
sang dengan sepuh1h Jari ini dkaenmsbaatrl, iiam, aepnaelraugski yahanpgebnegrgaasraalpdaanriaktaamsnpyuas.
Bukan kerja dewa, brahmana
ki dalang. Para satria berbedil yang setiap hari kami jumpai pun tidak, ka
rena mereka memang tidak kenal tanah garapan. Mereka hanya kenal
kekuasaan dan nikmat impian dan kenyataan dalam menggunakannya.
Dan kenyataan -lain: w·ayang tadi juga, yang sudah tancep �ayon. telah
membikin orang Jawa yang terinjak dan terhimpit merasa sebagai seka
wanan Pandawa dalam pembuangan, sikap jiwa yang korup yang mem
bikin mereka berabad lamanya bisa survive. Pada waktu yang sama sejum
lah bangsa sudah tumpas· dari muka bumi, fisik dan kultural, apalagi poli
tik. _Survive! Ya, survive untuk meneruskan dan menadah injakan dari
himpitan. Dan bila sebagai Pandawa sudah mengalahkan Kaurawa, injakan
dan himpitan juga terpaksa diteruskan. Untuk itu wayang juga survive.
Akhir Januari, 1976
41
I'
4
Kembali ke
Wanayasa
T eman-teman pelukis itu sibuk menyiapkan pameran. Membikin
grafik huruf-huruf dari kertas, dan entah apalagi. Di ruang pera
gaan teman-teman lain juga sibuk menyiapkan sebuah peta. Orang
bilang, akan datang tamu. Entah darimana. King - nama sebenarnya Saud
Surjono, tapi sejak aku panggil dia King barang sepuluh tahun yang lalu di
R.T:C. Salemba, Jakarta, panggilan itu 1ekat padanya, clan sekarang
menjabat semacam overseer untuk unit-unit baru di atas - datang padaku
membawakan surat jalan untuk menghadap Komandan UnitIII dari tanggal
28 Februari sampai 5 Maret dan sepucuk surat untuk Dan Unit-III.
Kami berdua berangkat.
King sama denganku, pendatang pertama-tama di Buru Utara, Unit III.
Sama denganku pula ia dan aku dipindahkan ke Unit Indrapura. Sekarang
aku ke Unit III, Wanayasa, ia akan kembali ke unit-unit kawasannya. K.I,are
na selain merijabat kedudukan overseer juga penasihat tak resmi para peja
bat dan melalui-dia juga intimidasi para pejabat diturunkan pada para tapol
dengan cara seakan ia sedang memberikan info.
*
·· Mengapa surat jalan diberikan padaku, sedang aku sendiri tidak memin
tanya? Ya, karena tamu dari Jawa akan datang. Tamu agung. Dia tak perlu
melihat tampangku.
Jalan dari Mako - Markas Komando - lurus menuju ke Unit-II, Wana
reja, membelok ke kiri, melalui kampung penduduk, Wai Lonangan, untuk
kemudian menyeberangi Wai Apu. Rawa di tepian kampung ini ternyata
telah berubah jadi alur kali Wai Apu dengan arus paling deras. Jalan kaki di
pagi cerah begini memang menyenangkan. Jarak yang sedang ditempuh
hanya enam setengah kilometer.
Kampung Wai Lonangan sekarang jauh lebih besar daripada pertama
kali kukurijungi lima setengah tahun yang lalu. Dulunya terdiri dari tujuh
atau delapan rumah, sekarang dua kali lipat. Penduduknya masih tetap ku-·
42
... Nyanyi Sunyi Seorang Bisu
rus kering dan berwarna lumpur. Aku masih mengenal rumah Manabubu,
kepala soak, soak di sini berarti puak dalam Indonesia - hanya sudah agak
miring. Pada bulan Oktober 1969 Manabubu pernah mengundang rom
bongan karni dari seberang kali Wai Apu. Di sini ia memprotes, rakyatnya
merasa dirugikan karena para tahanan sering mengambil kelapa atau mang-·
ga milik soak. Juga aku masih ingat pada kata-katanya, dalam Indonesia:
"Pohon-pohon itu bukan tanaman burung, Bapak!" Dia tidak tahu para ta-·
hanan itu dalam keadaan lapar. Dan: "Ajari saya bertani, Bapak." la berse�
dia menanggung niakan kami, dan kami tak dapat meluluskannya. Pada
waktu itu karni sedang membuat jalan terpanjang di pedalaman Buru Utara
Aku pun masih dapat mengingat rumah papan satu-satunya, bergeladak
tinggi. Rumah Manahale, seorang pemburu, yang kon0n kabarnya seorang
penembak mahir bekas serdadu R.M.S*. la dapat berburu kalau dipinjarni
senapan jungle dan diberi dua butir peluru. Dengan dua butir itu ia akan
bawa pulang dua ekor rusa atau celeng. la sendiri boleh memiliki yarig see
kor, yang lain ia setorkan sebagai uang sewa. la juga seorang pemburu
buaya. Dengan sebilah pisau ia menyelam dan menyerang perburuannya
dari bawah perut. Dan pernah aku lihat salah sebuah jarinya Iuka untuk
waktu yang lama karena tersambar moncong buaya. Dari kulit dan tangkur
nya ia mendapatkan uang. Sisanya ia buang.
Dari kampung ini ke tepi Wai Apu hanya terpaut barang seratus uua pu
luh meter. Di tengah-tengah belokan kali deras sana dahulu berdiri kemah
bambu karni. Dalam waktu lebih dari lima tahun ini tebing-tebing sebelah
sana telah digugurkan arus, termasuk kemah bambu ka�. Kemah itu aku
· namai Setra dan sejak itu tempat sekitar sini dinamai ��mikian.
Menyeberangi Wai Apu dengan perahu tambang selalu menyenangkan.
Perahu irii menyeberang bolak-balik dengan kekuatan arus kali sendiri, di
buat dari dua buah sampan panjang yang diikat dengan geladak. Gerobak
dan dokar dan sepeda motor dapat terangkut olehnya. Ia terikat pada tali
yang melintangi kali. Dan ia dapat menyeberang tanpa jurumudi, asal ke
mudinya distel dari pinggir kali. Menyeberangi kali ini berarti sampai di
Setra. Beberapa puluh langkah dari pantai kami sampai di jalan panjang U
nit-III Air Mandidih. Jalan ini adalah yang kedua yang kubuat di pedalam
an Buru Utara ini, lebih lima tahun yang lalu. Dan menginjak jalan ini tak
lain artinya dari mengenangkan kembali masa avontur pembangunannya.
Barahg dua kilometer kemudian muncuI dari pelukan padang rumput itu
sebuah unit baru beratap seng sisanya dari kayu gergajian. Belum ada
* R.M.S. (singkatan), Republik Maluku Selatan, gerakan separatis yang didukung
Belanda pada awal tahun limapuluhan
43
. Pramoedya Ananta Toer
penghuni unit itu kecuali sebuah pos penjagaan. Dan memasuki wilayah
Wanayasa dengan rawa0rawanya yang banyak, dengan bekas-bekas
kedudukan rumah yang kini dicangkuli, aku rasai suatu kesunyian
mencekam di dalam dada. Betapa banyak yang telah kami bangun dalam
tahun-tahun belakangan ini. Tanah perawan tanpa pohon buah-buahan,
padang rumput dan hutan, telah kami jadikan sebuah <;lesa yang berdikari,
dilingkari oleh rumpun- rumpun pisang lebat. Satu-satunya pohon mangga,
mangga,raksasa itu, kini masih berdiri, hanya agak kerontang. Tetapi bebe
rapa pohon mangga muda yang hidup di antara 26 yang pernah kutanam,
kini menjadi pengayoman indah di depan tempat kediaman Komandan daq
pos penjag�an.
Rumah-r�mah beratap alang�alang yang waktu kutinggalkan dua tahun
yang lalu masih kelihatan bagus dan indah sekarang nampak buruk seperti
kandangsapi, termasuk "gedung kesenian", besar, beratap alang-alang, dan
rumah-sakit yang juga beratap alang-alang.
Kapten I.M. Sudiraka, Komandan Unit-III, rnenerirna aku dan rnemberi
tahukan, narnaku tidak terdapat dalarn daftar nominatifMako ataupun Unit
XV, dan karena aku berasal dari Unit-III, maka aku dikembalikan ke sini.
Bagiku itu adalah urusan para penguasa, aku tak perlu rnencampuri. Dialah
yang meminta agar aku rnenuliskan suka-dukaku sewaktu tinggal di Wana
yasa. Aku tak ada k�beratan*.
*
Siang hari di Wanayasa itu �eadaan sunyi. Hanya beberapa orang saja
narnpak dari kuternui. Sebagian besar sedang bekerja atau mencari ikan. Se
tiap orang di antara rnereka kecuali pendatang baru dari unit lain; telah
kukenal sekalipun tak kukenal narnanya. Bersama-sama kami telah mern
bangun Wanayasa ini. D;m di waktu appel di "gedung kesenian" meteka
rnenyambut aku dengan tawa dan jabatan tangan. Yang rnuda dua tahun
yang lalu kelihatan rnenua dan yang tua semakin tua. Hanya beberapa orang
saja yang nampak tidak berubah. Betapa lambatnya waktu yang dua tahun
ini berlalu, seakan dua-puluh tahu_ n!
4 September 1969
Dua buah landing craft itu meninggalkan teluk Kayeli, mernasuki muara
WaiApu, meninggalkan kampung Kaki Air, kampung nelayan Bugis, bela
yar memudik, memasuki pedalaman Buru Utara. Dan cuaca pagi cerah
dengan matari khatulistiwa cemerlang.
* Tulisan tersebut menjadi konsep�dasar catatan pribadi ini.
44
,Nyanyi Sunyi Seorang Bisu
'
Wai Apu sendiri tidak lebar. Arusnya deras. Tepiannya dirimbuni pepo-
honan yang tumbuh liar bersambut-sambutan dengan semak, glagah dan
rumput tinggi. Tak ada seekor monyet pun nampak pada cabang·kayu.
Daerah Maluku memang bukan daerah monyet.
Pikiran tentang monyet ini mengingatkan aku pada buku tulisan seorang
pengarang Barat mashur tentang sebangsa monyet yang hidup di Irian.
Karena Irian juga bukan daerah monyet, simpatiku pad� tulisan itu hilang.
la menggambarkan seqangsa monyet itu sudah mendekati manusia. Mung
kin ia sedang berkhayal tentang missing link. Tetapi masalah yang dikede
pankan memang menarik. Kalau sebangsa i-nonyet ini dipekerjakan, dan,
memang bisa, apakah ia termasuk golongan buruh ataukah hewan?. Apakah
mereka dapat perlindungan hukum atau tidak, sekalipun mereka bisa mem
produksi barang dan jasa. Atau apakah pengarang mashur dengan tulisan
nya itu sedang minta perhatian umat manusia pada Irian? Ataukah pendu
duk Irian itu sendiri yang dianggapnya demikian?
Memang monyet tak terdapat di sini atau pun Irian. Dan landin•g terns
menerus memudiki sungai.
Julur-julu� manau, jenis rotan besar, yang melibati pepohonan mencaka:r
langit, lebih tinggi_dari pohon-pohon jalarannya sendiri, seakan mencoba
mengesani pendatang baru, di ·sini membentang rimba belantara yang °be
lum ditaklukkan manusia. Dan bila perhatian dipusatkan barang sedikit,
nyata alam itu mencoba menjpu. Pepohonan sepanjang sungai tak ada yang
mencapai ukuran raksasa sekalipun di tepi kali. Jelas dibalik kehijauan
yang seakan rimba belantara itu hanyalah hutan muda.
Wai Apu sendiri berliku-liku liar, membentuk meander- sungai dengan
kelok-kelok taja� - yang tak putus-putusnya. Dari ini pun orang dapat
mengetahui, !em.bah Wai Apo adalah sebuah daratan rendah dengan kemi
ringan tanah yang sedikit. Sedang arus memberitahukan, alurnya tidak
dibikin oleh alam dari lipatan-lipatan gunung, tetapi oleh gerak air sendiri
yang tertumpah pada dataran dan mencari jalan sendiri. '
Di sekolah dulu tak pernah diajarkan tentang ,alani Buru. Alam yang
terpampang di hadapanku sekarang ini seperti buku pelajaran tanpa ada isi,
maka pelayaran memudik ini me·mang mengesankan. Biasanyl!. kali-kali
besar _menjadi persemaian masyarakat dan kebudayaan purba. Namun
sepanjang kali yang ditempuh hanya dapat dilihat sebuah keld}npok rumah
orang Bugis di seberang kiri dan kemudian sekelompok rumah penduduk
asli di seberang kanan. Rumah-ruinah itu sangat sederhana, tidak
mempunyai satu hiasan kayu berukir atau patung ataupun anyaman bambu.
Semua beratap daun sagu. Aku menduga, kelompok-kelompok manusia
yang tinggal di sini tidak punya kerajinan tangan sebagai pengisi kehidup-
45
Pramoedya A_nanta Toer
an. Masyarakat ini masih sangat rendah tarafnya, mungkin juga belum ter
atur.
Duga-sangka itu sangat menggoda, karena aku memang tak pernah
memasuki daerah primitif masyarakat negeriki.J sendiri. Di transito Jiko
Kecil pernah terdengar cerita-cerita tentang penduduk Buru, yang ke
dengarannya agak ganjil dibandingkan dengan yang pernah diberitakan da-
. lam antropologi budaya. Karena tidak datang dari orang-orang ahli, barang ·
tentu-cerita tak perlu didengarkan betul. Tetapi godaan untuk mengetahui
kenyataan itu sungguh menggiurkan. Rasanya sudah ingin mendarat saja.
Begitu mendarat kami sampai di tepi kiri, pada pos TranskoP', yang
berdiri di atas tiang-tiang bercabang dan beratap tenda, di tengah-tengah
hutan kecil. Dan benar saja, hutannya jauh lebih muda daripada yang nam
pak dari landing, juga sangat jarang, tanpa pohon buah-buahan, kecuali
mlinjo di sana-sini. Melihat pada tanah di bawahnya juga segera kelihatan,
hutan muda ini tidak tumbuh di atas bek.as hutan sebelurnnya, tapi hutan
pertama yang pernah ada. Maka tanah di sini adalah bentukan baru, tanah
yang juga masih muda.
Meninggalkan pos Transkop jalan setapak itu langsung memasuki se
rnak-sernak. bamban dan combrang sedang pepohonan semakin jarang_.
Kem• udian juga rnenyusul sernak-sernak telekan. Aku' tak tahu banyak
nama-n�a flora dan fauna terutama dalam bahasa Indonesia, apalagi ba-
hasa-bahasa asing. Narna- nama ini adalah Jawa.
Jalan setapak itu sangat berat ditempuh. Kayu-_ kayu besar rnasih berlin
tangan, dan harus dilalui dari atas atau bawahnya. Duri rotan yang panjang,
kurus, tajarn dan jahat itu berserakan, baik masih lekat pada batang ataupun
sudah terlepas dari pelepah, rnencurigai setiap telapak kaki yang rnelewati
nya. Sekali menernbus kulit dia akan patah di dalarn daging.
· Orang bukan hanya ·terlalu lelah karena jalan setapak yang berat, juga
karena penda\ang-pendatang baru ini sebagian- sekalipun tidak seluruh-
- nya- adalah penderita busung lapar dariternpat-temp'at asal mereka diang
kut. Ada yang rnernbawa dirinya sendiri sudah lirnbung, apalagi dengan
rnernbawa perlengkapan.
Ke luar dari rirnbunan segera rnata menjadi ·silau ber):iadapan dengan
udara terbuka dari padang rurnput, yang di ·kejauhan sana dipagari oleh
hutan renda ang bersambut-sambutan. Panas udara sangat mengejut, pa
ling tidak enam derajat celsius lebih tinggi dari Jakarta. Seluruh padang
rumput menguap seperti dipanggang di atas, tungku. Dan tak ada seorang
* Transkop (singkatan), Transmigrasi-Koperasi.
46
Nyanyi Sunyi Seorang Bisu
pun terpapasi di tengah jalan. Jalap setapak ini ternyata bikinan Team
Transkop.
Jelasnya bumi Buru ini sangat tipis. Di Transito Jiko Kecil orang mem
beritakan, menurut catatan waktu pemilihan umum, jmplah penduduk ada
lah 40.000 jiwa, di atas pulau lebih besar daripada Pulau Bali.
Lembah dataran rendah Wai Apo tak lain daripada sebuah savanah - se
buah padang rumput dengan selingan hutan-hutan kecil dan sangat muda.
Apa yang pernah aku kuatirkan sekarang menjadi kenyataan: Tanah Buru.
Utara ini tidak baik untuk pertanian, karena savanah di seluruh dunia sama
saja sifatnya. Sedang sedikitnya jumlah pen9uduk tak lain dari illustrasi
keadaan tanah.
Dan padang rumput tinggi ini menguap. Entah mengapa langsung aku
teringat pada cerita-cerita tentang savanah di Amerika Serikat, dan pada
tulisan Schultz My life as an Indian, pada otobiografi Buffalo Bill, dan
film-film western. Hanya di sini tentu tak ada seorang Indian pun, tak ada
seekor kuda pun. Sedang jalan setapak yang hanya tiga setengah kilometer
itu seakan tiada kan habis-habisnya.
Beberapa kali di pinggir jalanan, rawa-rawa kecil dan kurus mengintip
dari sela-sela rimbunan ·pepohonan yang tipis dan kurus pula., Dan di ba
wah permukaannya rombongan mujahir mengambang damai, tak peduli
pada calon-calon pelahapnya. Sedang rawa-rawa kecil kurus itu jelas mem
perlihatkan diri bekas alur sungai. Beberapa harikemudian dapat kuketahui
dari r()mbongan Transkop, bahwa peta Wai Apu setiap tahun berubah, ka
rena kali ini suka berpindah-pindah; bagian-bagian meander tertentu bisa
menjadi rawa, bisa jadi alur kali di tahun depan.
Rombongan terakhir dari sekitar lima ratus orang sampai di Unit III
pada jam tujuh sore. Jalan setapak sepanjang tiga setengah kilometer ini
telah ditempuh dalam waktu enam jam!
Kami adalah rombongan dari gelombang pertama, di tempat yang terja
uh. Rombongan dari R.T.C. Salemba hanya30 orang. Seorang di antaranya
ditinggal di Unit-II di seberang Pos Transkop karena jatuh sakit. Ia adalah
Oey Hai Djoen, sastrawan. Selebihnya dari tempat tahanan di seluruh Jawa
- hanya satu dua orang yang pernah kukenal di luar. Kami memasuki ba
rak-barak yang dilingkari pagar kawat berduri.
Kawat berduri. .. Aku teringat pada buku Asmara Hadi sewaktu ditawan
Belanda menjelarig masuknya balatentara Jepang. Betapa jauh beda dari
pengalaman Asmara Hadi, seperti langit dan bumi. Beberapa kali aku per
nab ditawan, juga perriah melih,at tempat-tenipat bekas tahanan nazi di
Ravensbruck, Buchenwald, melihat sendiri tahanan-tahanan Jep�g, mem-
47_
Pramoedya Ananta Toer
baca tentang Auswitz, tulisan-tulisan Anna Seghers tentang itu,Rumah
Mati di Siberia Deistoyevsky, melihat sendiri daerah Siberia sampai ujling
utara, dan sekarang aku sendiri memasuki pembuangan i:lalam lingkaran
pagar kawat berduri yang itu juga.
Dalam meinasuki barakku, masih terbayang garis permukaan banjir
pad� batang-batang pohon yang dua bulan lalu menetjang daerah baru
kami ini - satu setengah sampai dua meter dari permukaan tanah.
Komandan Unit-III yang pertama-tama, Letnan Eddy Tuswara, bekas
perwira Cakrabirawa*, tidak begitu tinggi perawakannya, suka bercelana
renang, memperlihatkan bentuk pahanya yang bagus, dengan pinggang
selalu dihiasai d!;!ngan senjata-api tangan. Ia penggemar sepakbola dan
seorang administrator yang teliti.
Rombongan kami tidur di dalam barak-barak yang belum mencukupi,
bersesak dan berjejal. Tiang-tiangnya terbuat dari batang pohon muda, a
tapnya dari daun sagu, sedang ambin dan dinding dari' pelupuh. Dinding
samping terbuat dari daun sagu pula, sehingga dari kejauhan barak-barak
ini nampai seperti binatang raksasa berbulu.·Dari sepuluh barak yang terse-
dia, baru lima yang sudah selesai. Lantai adalah tanah lembab.
Belum lagi kelelahan perjalanan yang berat itu tertebus dengan tid_ur
malam, kentong telah membahgunkan karni. Puh, dalam empat tahun bela
kangan ini kentongan atau lonceng·begitu berkuasa atas,diri karni, seakan
karni sudah menjadi anjing percobaan Pavlov. Pagi itu masih gelap. Menu-
rut tata-tertib, bangun pagi segera disusul dengan gerak badan. Dalam ke
gelapan itu juga seorang setsan memimpin latihan, seperti di jaman pendu
dukan Jepang dulu. Di selingkungan kami burung-burung pada bernyanyi
menyambut datangnya matari, seakan. hutan-hutan kecil, padang rumput
dan langit tak lain dari suatu menagerie, pentas lelakon binatang�binatang
liar. Di tengah-tengah kami, aba-aba sersan itu mengatasi: "Lihjlt contoh!
Satu-dua-tiga-empat. Lihat contoh! Dan yang nampak hanya kegelapan.
Bukan salah sersan itu. la, dilahirkan dengan kulit segelap pagi hari.
Komandan Unit mengontrol jalannya gerak badan. Seorang tertangkap
karena kelelahan sisa kemarin niembikin ia belum mampu bergiat pagi itu.
Dialah orang pertama yang mendapat hukuman merangkak, sambil_berse
ru: "gerak badan main-main, gerak badan main-main". Celakanya tidak
lain dari diriku sendiri yang harus mengawasi pelaksanaan hukuman -
suatu pekerjaan yang sungguh-sungguh menjijikkan dan menghina hargi
diriku..
* Cakrabirawa, pasukan pengawal Presiden Soekamo.
48
Nyanyi Sunyi Seorang Bisu
Pada waktu itu juga aku menjadi semakin ragu pada pidato ·dari tape
yang diputar di atas kapal pada malam 17 Agustus 1969,,yang mengucap
kan "selamat jalan" dan "menuju kehidupan baru". Jelas ini bukan hidup
baru. Ini sudah terlalu kuno, bagi orang yang sedikit banyak membacai
buku-buku sejarah. Dan bukankah rombongan pertama kami .yang menda
rat di Namlea disambut dengan pukulan dan hinaan? Empat tahun sudah
sebagian. terbesar dari kami ditahan, dan bagiku sendiri merupakan juga
empat tahun ketegangan melihat dan menjalani hukuman yang tak jelas
bersumber pada tindak kesalahan a.pa.:_ hukutnan-hukuman yang tidak
pernah melalui su_ atu pengadilan, di mana moral dididik untuk perasa terha
dap yang salah dan tidak salah. Barangkali kami sedang mengulangi babak
Babad Tanah Jawi, barang seratus limapuluh tahun belakangan ini dan ti
garatus tahun lebih ke belakang lagi.
Hanya satu kejadian kecil, mungkin untuk kebanggaan diri, mungkin
untuk kesenangan, mungkin untuk menjilat, bagi yang menjatuhkan hu
kuman, nil.mun tetap ·melukai bangunan kemanusiaan barabad. Dan aku
merasa ketegangan masih akan berlanjut dalam "menuju'ke hidup baru"
ini. Sedang ketegangan, bukankah dia hanya beban bagi saraf manusia?
Dan bukankah beban tanpa tujuan ekonomis, kultural ataupun edukatif, tak
lain daripada hukuman sebagai kemewahan? Aku terpaksa belurn dapat
rnenyampaikan selamat jalan pada kerisaU:anku sendiri. Cerita jenis prase
jarah ini nampaknya rnasih akan sangat panjang.
Sarapan pagi itu rnernang sangat rnenggernbirakan sebagian terbe. sar
kami. Dari titik hongeroedeern mendapat jatah rnakan 600 gram sehari
adalah suatu l9mpatan kwantitatif. Di Transito Nusa Kambangan, salah
seorang pemberi santiaji mengatakan, kami akan mendapat bera•s, bukan
bulgur, kar�na yang belakai:lgan ini tidak patut dimakan oleh rakyat Indo
nesia. Dalam hal rnaka,n nampaknya ada ketentuan yang bisa dipegang.
Nampaknya! Dan kami akan dijamin selama delapan bulan, termasuk gula,
· garam, ik'an asin, tembakau. Masa kelaparan dalam empat tahun yang lewat
rupanya sudah mendekati titik akhir.
Kondisi tubuhku, seperti halnya dengan rornbongan karni dariR.T.C.
Salernba, boleh dikatakan baik, karena dapat menerima kiriman dari kelu
arga tiga kali dalarn serninggu. Justru karena itu · aku bersyukur rnelihat
adanya perbaikan. Waiau demikian jangan berilusi! Mengharapkan kebaik
a� hati Orde Barn sama dengan �impi melihat kambing berkumis! Sistern
kekuasaan yang dibangun dengan pembunuhan massal selarnanya menjadi
sistern yang lebih sibuk rnernbenahi nurani sendiri. Jangan harap urusan
makanmu heres!
Pad� appel pagi itu seor�ng teman rnenjatuhkan diri dalam barisan.
49
Pramoedya Ananta Toer
Bukan karena sakit, Telah dilihatnya seekor kadal lewat, ditangkapnya
untuk disantapnya nanti. Banyaknya kadal memberi harapan, protein l)e
wani akan segera dapat memulihkan kondisi badan. Berbagai warna ekor
nya· merah biru, dan hijau tahi kerbau.
•Tapi juga pada pagi pertama itu kembali aku terkejut, kami diperitahkan
membuka jalan. Tanpa alat! Karena memang belum ada. Jalan yang harus
dibuka itu menerjang padang rumput, dan rumput itu tinggi: alang-alang,
rumput beruas yang lebih dua meter tinggi, rumput persegi tiga dengan si
rip setajam silet sampai setiriggi satu setengah meter. Semua dicabuti de
ngan tangan telanjang, selama hari-hari kerja. Dan tidak setiap orang punya
topi. Dalam panas sengangar yang lembab di tengah-tengah padang rum
put, dengan hanya pohon kusu-kusu kurus di sana-sini. Rumput tak mung
kin tercabut bersih, apalagi sampai ke akarnya. Yang pasti, telapak tangan
dan jari-jari berdarah.
Enam hari pencabutan rumput dilakukan. Tangan bukan saja berdarah
darah juga pada bengkak. Peraturan baru datang: bukan lagi600 gram be
ras, tapi 500. Y.ang seratus untuk tabungan! Sejak itu yang 100 bukan saja
tidak kunjung muncul, tanpa sesuatu pengumuman yang500 pun beringsut
ingsut mengempes. Tembakau hilang. Gula hilang. Yang agak bertahan
adalah ikan asin, itupun sudah pahit seperti jamu. Mau tak mau aku teringat
pada jatah makan di kapal, yang mengangkut karni ke mari. Pada mulanya
cukup baik: dengan daging atau telur atau ikan dan samba! cair. Setelah
empat hari berlayar tinggal nasi yang kurang dan air cabe. Yang seperti itu
juga terjadi di Transito Nusa Kambangan. Jelas permulaan yang baik ini
pun bakal disusul oleh yang kurang baik dan kemudian busuk.
Penduduk asli Buru Utata merupakan selingan dalam kehidupan yang
mulai muram itu. Kadang-kadang orang·berhadapan dengan mereka secara
mendadak. Tak bisa lain. Pembagian pekerjaan menjadi sebab orang harus
mencari dedaunan untuk sayur, atau mencari kayu. Mereka bertombak da:n.
berparang, berdestar, hanya cara mengenakannya berlrunan, gaya yang bia
sa kelihatan di Jawa, Madura, Bali atau Priangan. Kebanyakan kulit niere
ka bersisik karena kaskado"'. Pakaiannya sangat sederhana, bercawat atau
bercelana pendek. Yang diperbolehkan bercelana panjang hanya pembe
sar-pembesar dalam soak. Sedang kepala keamanannya mengenakan selenc
dang merah. Pertemuan-pertemuan mendadak di hutan menyebabkan dua
dua pihak menghindar. Kami kuatir, akan tombak dan parangnya, mereka
takut pacla pendatang.
* kaskado, sejenis penyakit kulit.
50
'" Nyanyi Sunyi Seorang Bisu
Sepuluh hari setelah kedatangan baru diperoleh alat-alat cangkulSchlie
per yang cukup baik dan tajam, parang besi tanpa sedikit pun baja, linggis,
kapak dan gergaji. Pembabatan rumput mulai dilakukan dengan parang
besi. Tetapi rumput tidak putus kena hantaman, hanya rebah dalam keada
an pingsan. Dan bila dipergunakan menebang cabang, juga tidak putus,
cabang itu sempal pada ketiaknya pohon. Barangkali cukup tepat kalau
serta-merta paiang itu mendapat gelar parang Ketoprak. Komandan Tefaat
Buru, Mayor Kusno, juga bekas perwira .Cakrabirawa, yang kami lapori
tentang hebatnya sang parang ini, hanya bisa angkat pundak dan tersenyum
sangat manis.
Pada hari pertama mengayunkan cangkul, prestasi terhitung mulai enam
meter persegi untuk setiap orang. Dengan membaiJ(nya kondisi tubuh kare
na ri1ujahir dan ular dan kadal dan biawak, dan-segala sesuatu yang bisa
dinamakan daging, prestasi pun semakin naik, juga karena mulai ditemu
kan rahasia nienggunakan cangkul. Uh, anak bangsa pencangkul ini!
Aku sendiri tidak punya pengalaman mencangkul sebagai mata penca
hariari, hanya sebagai hiburan dan sport. Dihadapkan pada kenyataan'ber
tanf seperti ini memang menggelisahkan. Seluruh pendidikan yang kuteri
ma dari sekolah, dari orang tua maupun dari usaha sendiri, tidak pemah
ditujukan menjadi petani, buruh-tani atau pencangkul, apalagi petani yang
baik. Menjelang umur ke empat-puluh lima aku sekararig harus mempela
jari cara hidup dan penghidupan baru! Hari depan yang selama itu' diba
ngun sedikit demi sedikit terasa akan menemui kepunahan di sini. Sedang
tubuh yang tidak ditujukan untuk kerja tani primitif ini, biarpun terbiasa
dengan sport, ternyata tidak mampu mengayunkan cangkul dalam satu hari
kerja di bawah terik matari. Tanah yang telah lama terganggang matari
tanpa tersiram hujan seperti setengah batu, biarpun telah beberapa ratus
tahun tertutup rumput. Maka pada waktu untuk pertama kali seorang teman
dalam sehari dapat mencangkul 36 meter persegi, aku perlukan datang
padanya untuk mengagumi. Ternyata tubuhnya jauh lebih kurus dari aku,
masih mengidap sisa honger-oedeem, sedang perutnya mulai membuncit
oleh kwantitas makan.
Seinentara itu hujan tak juga turun. Mendung yang tergantung di langit
dengan cepatnya melayang hilang ke balik-balik perbukitan. Lemah datar
an rendah Wai Apo menguap, udara berat dengan kadar kebasahan yang
tinggi. Lembah ini dilingkari perbukitan yang sambung-menyambung, se
perti sebuah mangkuk. Pintu-pintu bobolan hanya muara.sungai. Tak ada
pada kami infon:nasi tentang,cuaca dan musim di Maluku, khususnya Buru.
Orang menganggap dengan sendirinya sama dengan di Jawa. Dan anggap
an itu kelak cukup menyesatkan. Tanda-tanda yang pemah ditinggalkan
51
Pramoe(lya Ananta Toer
oleh banjir besar qua bulan sebelum k1edatangan, sama sekali terlupakan1
·dalqm perhitun•gan. Panas yang lebih tinggi daripada di Jawa, juga dingin
yang lebih rendah, juga terlupakan dalam perhitungan.
Di samping panas matari yang membikin melepuh kulit, juga nyamuk
dan lalat mengganggu tak tertahankan. Sewaktu beristirahat tengah hari o
rang terpaksa masuk ke dalam klambu. Cicak sampai.sejauh itu tidak per
nah menampakkan diri. Unggaslah yang memberi hiburan dalam kelelah
an. Pada umurrinya macamnya memang sama dengan di Jawa, ke,cuali nuri
yang lebih kaya macamnya. Kuskus, sebagai jenis binatang berkantong,
menunjukk:an, dalam alam ·fauna Buru telah mendekati daratan Irian dan
Australia. Yang mengagurnkan di tengah-tengah alam prirnitif ini adalah
blekok, sebagai jenis burung nomad, yang mengembarai jarak sangat ja1:1h
antara Asia paling Utara sampai Indonesia, ternyata adaJuga di sini, sekali
pun dalam kelompok dua atau empat ekor. Anehnya, perkutut yang bukan
penduduk Maluku, juga nampak, biarpun hanya satu dua ekor. Mungki�
pernah dilepaskan oleh pendatang dari sebelah barat pulau ini. Kelompok
kelompok rusa yang terlalu kecil jumlahnya boleh jadi suatu petunjuk,
jenis binatang ini juga pendatang baru sebagaimana halnya dengan mujahir
dan perkutut. Bukankah rusa juga didatangkan ke Irian Barat oleh Residen .
Loelofs pada tahun belasan? Rusa di Buru ini boleh jadi belum terlalu
lama, mungkin juga baru beberapa puluh tahun.
. Setelah beberapa hari bergaul dengan tanah di sini dapat karni ketahui,
lapisan tanah yang dapat ditanarni rata-rata hanya setebal limabelas sen
timeter pada permukaan datar dan lebih tebal sedikit pada lekukan. Struk
tur tanahnya remah, bukan tanah dari alam vulkanis yang mengandung
bahan-bahan mineral. Bahkan batu-batuan yang hanya bisa didapatkan
pada tempat-tempat sekitar kali dan bukit memperkuat dugaan, bahwa
lembah Wai Apo tidak terjadi karena endapan dari udik kali, tetapi dari
desakan naik dari bawah burni. Penggalian-penggaliah dalam membuat
sumur di sekitar barak se!alu· berakhir dengan lapisan pasir dengan kulit
kerang sedikit.
Pengetahuan yang sangat terbatas dan sedikit tentang alam Buru Utara
ini memang_ mengecilkan,hati bagi mereka yang terdidik jadi petani dan
mempunyai naluri petani. Memang baru suatu permulaan, entah pada ta
hun-tahun mer:idatang. Namun informasi tentang cuaca dan musim tak juga
kunjung tiba. Beberapa kali telah diajukan permintaan, dan ternyata me
mang belum ada data. Da!a masih harus dikumpulkan sendiri. Dengan
dernikian pertanian yang pertama kali diusahakan di Unit-III adalah laksa-
na kapal tanpa kemudi.
Sebagai orang yang buta tentang pertanian, ketandusan tanah memang
52
Nyanyi Sunyi Seorang Bisu
mengecilkan hati. Ditambah dengan cuaca dan musim yang belum dikenal,
alat-alat yang belum memadai, dan lalu-lintas dengan pelabuhan yang tidak
mudah. Memang ketandusan:tanah di negeri-negeri maju hampir-hampir
tidak menjadi soal. Dan lembah Wai Apo ini seluruhnya hijau, sekalipun
hanya rumput dan hutan-hutan kecil dan muda. Tapi tentu tidak ada urusan
apa pun dengan apa yang di luar-negeri dinamai "revolusi hijau", dalam
pengertian agrokultur apologi politik. Di Mesir padang pasir dihijaukan,
bahkan ditahami mangga. Di lereng dan kaki Himalaya sebelah utara pasir
kuning mulai dihijaukan dengan pinus. Demikian juga tanah tandus be' rba
tu pada perbatasan Yunani di Yugoslavia. Juga tanah tandu� merah-karat,
lebih luas dari pulau·•Jawa, antara Nanking dan Kanton. Jug� sebagian dari
gurun pasir Karakum di Turkmenia. Tapj hijau belum tentu menghidupi
kalau persoalannya baru pada ting�at mengurangi penguapan tanah, melin
dunginya dari terik matari, memberinya pelapisan humus pada tanah, dan
pengurangan pendebuan. Untuk menjadi sumber hidup pokok, tanah tan
dus tanpa persyaratan modern tetap merupakan teka-teki. Mungkin karena
aku terlalu mengimpi tentang hidup yang tinggi bagi _suatu bangsa yang
merdeka seperti Indonesia dan seperti dicita-citakan oleh revolusinya.
. Belum lagi selesai aku dengan kerisauan ini Letnan Eddy Tuswara telah
kena marah Dan Tefaat, Mayor Kusno, karena memerintahkan pembukaan
jalan dengantangan telanjang. Ia dipindahkan ke Unit-I. Komando Unit III
dipegang oleh Kapten Daeng Masiga.
Kebijaksanaan berubah. Kapten Daeng Masiga adalah seorang terpela
jar, bekas ajudan Presiden Soekarno juga bekas perwira Cakrabirawa. Ia
telah banyak melihat luar-negeri, sopan dan humaan. Ia seorang pencinta
seni dan pergaulan. Ia juga melihat, bahwa kami telah banyak kehilangan
kepercayaan diri selama empat tahun dalam tahanan.
Menurut pengelihatan, ia '1ak men.yukai mentalitas baru sebagai akibat
dari hilangnya kepercayaan diri, karena yang demikian akan menjadi faktor
yang merugikan bagi kerja pembangunan. Sebagai orang yang kunilai
mempunyai kebanggaan menjadi orang Indonesia, ia merasa rusuh melihat
orang yang kehilangankepercayaan: diri, yang berarti juga kehilangan har
ga diri, dan yang berarti juga kehilangan kebanggaan menjadi orang Indo
nesia. Penggerakan kehidupan kejiwaan melalui kesenian ia lakukan de
ngan bersemangat untuk menanggulangi kemerosotan ini. Ia _sendiri me-
nyayangi, juga ikut membikin repertoar sandiwara.
- Sementara itu singkong yang ditanam tak kunjung bersemi. Orang Bu
gis menasihatkan agar jangan ditanam berdiri, tetapi harus rebah, mende
kati cara menanam penduduk asli. Nasehat itti tidak digubris. Hujan tak
juga turun. Enam batang tebu yang ditanam di pinggir selokan juga tidak
53
Pramoedya Ananta Toer
memanjang dalam waktu- sebulan sekalipun di_pupuk dengan air kericing,
dan dilakukan oleh seorang yang mengenal betul tentang kultur tebu, Bas
koro.
Pecahan-pecahan porselin yang dapaf ditemukan di mana-mana menim
bulkan tanda-tanya yang belum terjawab juga. Celakanya di antara kami
tak ada yang punya·pengetahuan tentang barang-barang antik.
Mata uang yang pernah ditemukan adalah sebuah benggol bikinan tahun
1858 dan sebuah sen V.O.C. dari tahun 1790 atau sembilan tahun sebelum
kompeni itu dibubarkan. Semtia penemuan didapatkan di dalam tanah ku
rang dari secangkulan. Mata uang Jepang dan R.I. dari alumunium tidak
pernah ditemukan, barangkali karena lebih cepat gugus. Aku tak berani
membuat dugaan tentang penemuan mata uang tersebut. Barangkali, kalau
lebih banyak lagi ditemukan di tempat-tempat lain. (Di kemudian hari kami
tahu, dahulu periduduk yang mendapat petunjuk dukun meletakkan mata
uang di bawah batang pohon yang daun atau akarnya mereka ambil untuk
"
obat.)
Pada waktu ini aku lebih memilih dinas pembukaan jalan daripada per
tanian. *
Keadaan m�kanan dengan cepat semakin membutuk, baik dalam kwali
tas maupun kwantitas. Pada mulanya supply dia,ntarkan oleh landing sam�
pai ke Unh-III. Tetapi dengan merosotnya permukaan air, pengantaran
·hanya sampai di pos Transkop, di seberang Unit-II. Jarak berat melalui ja
lan setapak yang 31/1 km, menjadi lebih berat dengan pengangkutan supply.
Sedangkan pengangkutan pertama dari dermaga Unit-III sampai ke
gudangnya sendiri sudah terasa berat. Delapan orang mengangkut satu
kwintal beras masih merupakan avontur yan..$ menghabiskan keringat, na
fas dan tenaga. Jarak itu hanya sekitar 150 Wieter. Apa pula 31/1 km. Pada
umumnya kami terdiri dari orang kota yang tidak bekerja angkat-meng
angkat. Mereka yang berasal tani terlalu sedikit. Tak bisa lain, jalan seta- ·
pak yang 31/2 km, harus ditingkatkan jadi jalanan ekonomi.
Juga peningkatan jalanan merupakan pekerjaan pertama bagiku. Jalan
setapak ini bukan hanya harus dilebarkan sampai3 meter, juga harus.diberi
jembatan membentangi alur-alur kering atau basah - semua meander kecil
- sebagai akibat dari suatu dataran rendah. Lalu mengoreksi lurus jalan
yang dibelokkan oleh halangan alam, penimbunan lobang ·dan penebangan
pohon-pohon dalam hutan serta pembersihannya. Koreksi' terberat adalah
atas halangan alam yang terdiri atas rawa, alur dan rumpun bambu atau
rotan.
Dengan kekuatan tujuh orang, pekerjaan oleh orang-orang tanpa penga-
54
Nyanyi Sunyi Seorang Bisu
laman ini memakan waktu cukup lama. Sedang Transkop, yang menurut
berita akan menebangkan hutan untuk karni- yang semestinya berarti juga
penebangan untuk.jalanan - ternyata sudah hampir ditarik kembali pada
waktu kami sedang memulai pekerjaan. Dari mereka kami mendapat
warisan gergaji-mesin, chaink-saw, yang merupakan bantuan besar. Aku
sendiri lebih suka bekerja dalam kelompok kecil dalam kesunyian hutan
atau-padang rumput begini. Dapat memperoleh kem�wahan merenung
tanpa banyak gangguan.
Pertanian yang aku.tinggalkan berjalan terns. Mem1rut rencana, pada
t1,1hap pertama pertanian hams disasarkan pada perladangan dan huma.
Perladangan di atas padang rumput tanah perawan yang makin keras de
ngan tak kunjung datangnya hujan merangkak dengan kemajuan sangat
lambat. Bibit hams dicari di mana-mana,terutama di bekas ladang pen
duduk. Hanya bibit singkong. Itu pun terlalu sed1kit bisa diperoleh. Pen
duduk praktis belum bertani menurut pengertian orang dari Jawa. Mereka
pemakan sagu yang dipikulnya dari rawa sagu dan berburu rusa atau
celeng. Mereka setengah nomad yang sering meninggalkan kampung dan
membuka kampung baru. Maka ·ladang tak penting sangat bagi mereka.
Menanam sesuatu pun tidak dengan cangkul. Dikoreknya tanah mentah
dengan ujung p�ang,dan di situ ia menanam: jagung,gogo,singkong,ubi.
ltupun tidak banyak. Hanya sekedar untuk kelak jadi panganan. Maka bibit
singkong sarigat sulit,kadang-kadang menempuh jarak tak dikenal dan
jauh melalui padang rumput dan hutan. Kadang orang menemukan bibit di
tengah atau penggiran hutan,telah menjulur atau melingkari batang pohon
setinggi sepuluh meter. Perhumaan pun di Unit III belum bisa dimulai,
praktis Transkop ba_ ru mulai dengan penebangan,sedangkan di Unit-I dan
· II telah dilakukannya berpuluh-puluh hektar. Team ini pun telah mulai di
tarik kembali, pulang ke Jakarta. Unit-UI belum punya perumahan. Se
bagaimana harusnya.
Dengan semakin surutnya permukaan kali,dengan buruknya adminis
trasi,dengim semakin seringnya supply berpindah tangan,jatah untuk unit
III bukan hanya semakin berkurang, juga semakin buruk kwalitasnya.
Maka aku dapat mengerti kekecewaan dan kejengkelan Dan Unit Kapten
Daeng Masiga. Ia kemudian memutuskan untuk mengusahakan agar sup
ply tidak lagi melalui tangan Unit-II dan I,tapi langsung ke tangan Unit-ill
dari landing. Jalan satu-satunya yang terbuka untuk itu adalah membuka
jalan barn antara Unit-III dan Air Mandidih,kampung penduduk Bugis,
lebih dihilir Wai Apu.
Y{aktu tugas pembukaan jalan baru ini ditugaskan padaku,aku rninta
waktu untuk mernikirkannya. Peningkatan jalan ke Transkop tinggal1/2 km
55
Pramoedya Anania Toer
lagi. Landing tile lagi bisa sampai ke Transkop, hanya sampai ke Air Man
_didih. Komandan Unit karni menyatakan jalan yang behim selesai itu
ditinggalkan saja, beralih ke proyek bani.
Tugas 'ini �angat berat, pertama karena bukan meningkatkan jalanan,
tetapi membikin jalan baiu samasekali, tanpa ada jalan setapak bekas kaki
orang. Theodolite hanya satu khayalan, .apalagi venol dan tenolnya.
Bahkan kompas pun tak ada; Alat tulis-menulis sulit. Lebih buruk lagi:
kami tak diperbolehkan menjenguk apalagi mempunyai peta. Kami belum
mengenal lembah ini.
Pada suatu hari 5e::waktu _karni masih mengerjakan jalanan ke Transkop,
di tengah hutan, lewat seorang Letnan dari Laksust' Ambon. Di depannya
berjalan seorang bawahan yang terus-menerus membunyikan peluit dan
memberikan isyarat agar orang-orang di jalanan rninggir. Pada malam hari
nya di kantor komando, Dan Unit-ill memperterriukan aku dengannya, ia
menjanjikan alat-alat dan dengan dernikian aku bersedia membuka jalan ke
Air Mandidih.
Team survey yang kubentuk terdiri atas Sumargo B.A., dari Sekolah
Tinggi Olahraga, Karsono, seorang pegawai pada laboratorium Fakultas
Geologi, Sujono B.A., mahasiswa pada fakultas geografi. Dan itulah untuk
pertama kali karni menjelajahi lembah Wai Apo, hanya dengail petunjuk
matari. Sumargo B.A. temyata laksana seorang manusia alam yang mem
punyai naluri tajam akan kiblat. Memasuki padang rumput yang sangat
luas bisa tersasar, bisa tidak kenibali, kalau tak ada patokan. Lebih-1.ebih
memasuki hutan yang gelap dengan gangguan nyamuk yang tak kenal
ampun. Masih beruntung di sini tak ada pacet. iarak tempuh adalah hilir
Wai Apu yang menyesatkan karena meandernya yang berlapis-lapis,
hampir-hampir tanpa ada alur lurus. Tak ada jalan setapak penduduk yang
bisa dipergunaka� jadi pedoman..Mereka lebih 'suka menempuh jalan air,
dan turun ke savanah hanya untuk berburu atau memancing di rawa-rawa,
maka tidak meninggalkart bekas yang jelas.
Dalam dua hari survey karni sampai pada sebuah bekas tempat tinggal
penduduk. Ada barang beberapa belas pohon kelapa, dua batang nangka,
sebuah pohon inangga, dan beberapa batang pohon kopi serta jeruk nipis.
Tanaman lain adalah beberapa buah kuburan. Suasana bekas tempat tinggal
ini digelapkan oleh rapatnya pohon pisang dan semak-semak dai:i rumpun
bambu.
Perkelahian antar soak dan kematian membikin penduduk berpindah
_ * Laksus (singkatan), pelaksana-khusus (dalam sesuatu tugas tertentu).
56