UNTAIAN LARA Oleh : Maura Y'nauri Yasmin Hidayat "Dan juara pertama diraih oleh SMA Garuda Indonesia!" seruan itu seketika membuatku menghelakan nafas panjang. Tak pernah sekalipun terbesit dalam pikirku bahwa sang juara bisa menjadi pecundang. Ini adalah kekalahan pertama yang kudapatkan setelah lebih dari lima tahun aku bergabung dalam klub basket. Padahal aku sudah mereka-reka, besok pada saat upacara namaku dan teman seperjuanganku akan disebut karena berhasil kembali menjadi juara. Sayangnya, khayalan itu hanyalah sebuah mimpi yang tidak akan menjadi sebuah kenyataan. Kali ini kami benar-benar kembali menjadi pecundang. "Huft…saya sudah katakan sebelumnya, jangan merasa hebat hanya karena pernah meraih posisi pertama dan jangan pernah meremehkan lawan karena merasa diri kita hebat. Kalian lihat, pecundang di tahun lalu menjadi juara di tahun ini!" ujar Pak Aston. "Lihatlah! Mereka yang dulu selalu kembali dengan wajah murung berhasil membuktikan bahwa mereka bisa menjadi juara, bahkan mengalahkan sang juara." "Saya sangat kecewa dengan kalian. Bukan karena kegagalan yang kalian dapatkan, tapi karena keegoisan yang sudah kalian pertontonkan. Saya sudah tegaskan dari awal, kalian itu tim! Kalian harus saling melengkapi, membantu satu sama lain. Bukannya adu mekanik!" Raut wajah Pak Aston jelas menggambarkan jika dirinya kecewa dengan kami. Aku mengakui, dalam pertandingan ini kami terlalu egois. Tak ada sedikitpun kerja sama yang terbentuk. Aku begitu percaya dengan kemampuan yang kumiliki, hingga membuatku melupakan bahwa ini bukan pertandingan antara dua insan, tetapi antara dua tim. "Saya tidak menuntut kalian untuk menjadi juara. Sama sekali tidak. Saya hanya minta satu hal kecil kepada kalian, pertahankan kekompakan kalian sebagai tim. Jangan campur adukkan pertandingan ini dengan masalah pribadi kalian. Silahkan kalau kalian mau menjadi musuh setelah pertandingan ini selesai! Tapi lupakan semua itu, ketika kalian menginjakkan kaki di lapangan." Pak Aston menatapku dan Aaron bergantian. "Saya tidak pernah meragukan kemampuan kalian berdua, begitu pun dengan kemampuan teman-teman kalian. Karena saya yakin, kalian semua yang sekarang berada disini adalah yang terbaik." Terdiam, tak ada satupun dari kami yang berani mengaru. "Sekarang, bereskan barang-barang kalian. Kita kembali ke sekolah. Saya tunggu kalian 10 menit dari sekarang." Kami serempak menganggukkan kepala. "Udah, jangan dilihat terus, nanti makin sakit," celetuk Gio sembari menepuk bahuku. Aku mengangguk mengiyakan perkataannya. Memang benar yang dikatakan Gio, semakin aku melihat mereka tersenyum semakin terasa sakitnya. Bukan bermaksud meledek kemampuan mereka, SMA Garuda memang pantas mendapatkan semua itu, mereka hebat. Tapi, senyuman mereka adalah bukti akan kegagalan kami. Aku menghela nafas panjang, hari ini begitu melelahkan. Sekejap setelah merasa lebih tenang, dengan segera menyusul teman-temanku. Walaupun hati ini masih merasa gundah, bukan karena kekalahan kami, tapi karena kekalahanku melawan egoku sendiri. Aku termakan ambisi untuk membuktikan bahwa aku lebih baik darinya. 1
Sejak kecil aku hobi bermain basket hingga pada akhirnya aku memilih untuk memperdalam kemampuanku dalam bermain bola basket. Lima tahun belakangan, setiap kali aku mengikuti pertandingan, aku selalu kembali dengan kemenangan. Entah ketika aku mewakili sekolah ataupun klub basket yang aku ikuti. Tapi hari ini aku gagal karena sebuah taruhan sampah. Hanya demi memperkuat opini publik akan kemampuanku. "He… kenapa?" tanya Gio padaku. Aku menggelengkan kepalaku, kemudian memejamkan kedua bola mataku. "Nggak usah terlalu dipikir kekalahan hari ini, Yan. Anggap saja, Tuhan lagi menguji kita, siapa tahu melalui kekalahan ini dia ingin kita tambah semangat lagi latihannya. Biar bisa tambah kompak. Ya, nggak Bro?" "Yoi! Benar tuh Yan yang dibilang Gio, nggak usah terlalu dipikir. Ayo dong, semangat! Masa gara-gara satu kekalahan saja jadi lemah sih. Malah kita harus buktikan kalau kekalahan ini nggak berpengaruh sama kita." Aku meringis seraya tersenyum. Kehangatan ini yang Pak Aston harapkan dari kami. Kekompakan yang biasanya kami tunjukkan tampak berbeda. Tanganku menopang berat kepalaku, memejamkan mata, menikmati hembusan angin yang menerpa wajahnya. Aku hanya berharap, di pertandingan berikutnya kita bisa sama-sama dewasa supaya tidak ada episode berikutnya setelah hari ini. Dua puluh menit berlalu, akhirnya kami sampai di sekolah. Perjalanan panjang yang melelahkan, membuat pikiran kami mungkin saling terbuka. Segera aku mengangkut barang-barang yang kami pinjam dari sekolah menuju gor. Sekolah sudah usai sejak setengah jam yang lalu. Jika biasanya di lapangan ini, aku dan teman-teman seperjuanganku akan berbaris berjajar untuk mendapatkan imbalan atas kemenangan yang kami peroleh dan menyampaikan sepatah dua patah kata, maka berbeda dengan tahun ini, tidak ada lagi momen itu. "Aish…" Aku mencangkung, memegang kakiku yang terasa nyeri. Mataku terfokus pada benda kecil yang sudah tak berbentuk. Batinku bertanya-tanya milik siapa ini? "..." Aku mencincingkan mataku, menatap gadis di depanku. Tatapan bingung dan khawatir jelas tergambar dalam raut wajahnya. "Punyamu?" Ia menganggukkan kepalanya tanpa melihat ke arahku. Matanya terfokus kepingan palet yang kugenggam. "Maaf," kataku menyodorkan kepingan palet kepada gadis itu. Aku masih setia menunggu tanggapannya, tapi dari gerak-gerik yang ditunjukkan gadis itu, dia seolah-olah tak ingin menanggapi apa pun. "Berapa harganya? Biar kuganti." Matanya tampak sayu. "Berapa?" tanyaku sekali lagi. Mau bagaimanapun juga, sengaja ataupun tidak, aku sudah menghancurkan paletnya. Aku masih setia menunggu jawabannya, hingga pada akhirnya gadis itu menggelengkan kepalanya. "Yan, ayo!" seru Gio dari kejauhan. Aku segera mengembalikan peralatan olahraga itu ke dalam gudang. Menghampiri teman-temanku, meninggalkan gadis itu seorang diri. Gadis itu asing dan sikapnya terlihat aneh. Terlebih dengan sosok yang dia lukis dalam kanvasnya. Aaron. Entahlah, aku tidak mau terlalu memikirkan hal itu. Energiku sudah terkuras banyak hari ini. Ini waktunya aku kembali ke rumah, merebahkan tubuhku di atas kasur. Badanku terasa renyah sekali. 2
Esok harinya, aku bergegas pergi ke sekolah. Sama seperti hari sebelumnya, aku datang tepat waktu, dua menit sebelum bel berbunyi. Perasaanku sudah lebih baikan, benar yang teman-temanku katakan, terlalu memikirkan kegagalan yang kita alami seperti sengaja mengiris kulit dengan pisau yang membuat diri terlihat lemah. Langkahku seketika terhenti, mataku tak sengaja menangkap dua orang yang terlihat tidak asing. Itu Aaron bersama gadis yang kemarin tak sengaja kupatahkan paletnya, gadis pelukis. Ya, gadis itu membawa kanvas berlukiskan Aaron yang kemarin kulihat. Aku tidak menyangka, ternyata Aaron yang terlihat anti berdekatan dengan perempuan, ia diam-diam sedang mendekati seorang gadis. Aku mengenal Aaron sejak SMP. Kami memang tidak akrab. Hanya sebatas teman satu klub yang kebetulan satu sekolah. Dia terkenal karena sikapnya yang dingin. Beberapa kali aku memergokinya mencuekkan siswa putri di sini. Bahkan pernah aku melihatnya secara langsung, dia menolak mentah-mentah gadis yang katanya primadona di sekolah. Tak mau terus-menerus memikirkan tentang Aaron dan gadis itu, aku memilih mendengarkan penjelasan guru matematikaku. Walaupun sebenarnya aku tidak paham sedikitpun tentang apa yang beliau katakan. Kata-katanya sangat sulit dicerna. Dua jam pelajaran sudah terlalui. Akhirnya aku terbebas. Kepalaku terasa pusing setelah dua jam pelajaran bergulat dengan angka. Aku dan Gio pergi bersama ke kantin, mungkin dengan makan sesuatu akan membuat kepalaku terasa tenang. Menghilangkan rasa nyeri di kepala. Kami memesan menu andalan kami. "Yan, kenapa?" Aku menggelengkan kepalaku. Aku terdiam sejenak, "Yo, kamu kenal sama perempuan itu? Yang duduk sendiri di pojok sana." Gio mengikuti arah pandangku. Benar, itu adalah gadis pelukis yang kemarin tak sengaja kurusak paletnya dan kulihat bersama Aaron pagi tadi. "Iya, aku tahu dia. Kenapa memang?" tanyanya padaku. "Dia… aku mau memberikan ini ke dia." Aku menunjukkan palet yang sudah kubeli semalam. Kemarin aku sempat mampir ke salah satu toko alat tulis yang sejalan ke arah rumahku. Gio menyipitkan matanya seperti ingin mengintrogasiku. Aku membalasnya dengan mengangkat kedua alisku. "Kamu suka sama dia?" Seketika mataku berkedip, pertanyaan macam apa itu. Aku bertanya ke orang yang salah, sungguh. "Ya, kan? Kamu suka sama dia?" tanyanya kembali, kali ini ia menekan setiap kata yang diucapkan. "Nggak. Kamu salah. Aku cuman mau memberikan ini ke dia. Kemarin aku nggak sengaja memecahkan paletnya. Tadinya mau kuganti dengan uang, tapi dia tidak mau memberitahu harganya." "Ya gimana dia mau ngasih tahu coba, orang dia saja bi…" Gio membungkam mulutnya sendiri. Ia melambaikan tangan memintaku untuk lebih dekat dengannya. "Kalau dia nggak bawa buku dia nggak bisa berkomunikasi dengan orang karena nggak semua orang di sini paham bahasanya. Dia… tunawicara," kata Gio dengan suara lirihnya. "Gi… ?" Gio mengangguk kepalanya menyakinkan diriku. "Dia itu anak pindahan, baru pindah minggu lalu. Berita tentangnya tersebar cepat. Awalnya banyak yang mendekati dia, ya wajar, dia cantik. Tapi sewaktu mereka tahu kalau dia bisu, mereka langsung menjauh." 3
Aku terpaku mendengar perkataan Gio. "Namanya loka. Dia itu suka melukis, terutama melukis pemandangan. Aku pernah melihat hasil karyanya, benar-benar terlihat nyata. Tapi sayangnya, dia tunawicara. Makanya dia sering dimanfaatkan, dia nggak melawan. Sekalipun melawan nggak ada yang percaya sama dia." Kupikir Loka tak menjawabku karena dia marah denganku. Ternyata semua itu karena kekurangan yang dia miliki. Tapi yang Gio katakan tentangnya benar, dia berbakat, lukisan yang dibuatnya tampak nyata. Siapa pun yang melihatnya tidak akan percaya, kalau gambar yang dihasilkan merupakan hasil goresan tangan. "Loka!" sapaku lirih. Loka mengalihkan pandangan ke arahku, menunjukkan jari ke dirinya sendiri. Aku mengangguk mengiyakan. "Ini untuk menggantikan paletmu yang kemarin nggak sengaja kurusak. Sekali lagi aku minta maaf." Aku menyodorkan palet itu kepadanya. Loka mengulurkan tangannya, mengambil alih palet itu dari tanganku. "Aku nggak tahu, apakah palet itu harganya sepadan dengan palet yang kurusak kemarin. Tapi yang jelas, aku minta maaf. Aku benar-benar nggak bermaksud." "Aku nggak bisa lama-lama di sini. Aku harus segera ke lapangan untuk latihan. Aku harus pergi. Sekali lagi aku benar-benar minta maaf Loka. Perkara nama, aku tahu namamu dari temanku. Sampai jumpa." Aku segera pergi meninggalkannya, tak memberikan sedikitpun kesempatan padanya untuk menyanggah apa pun. Sore ini, aku ada latihan rutin setiap minggu. Diawali dengan latihan fisik di bawah pimpinan Aaron. Satu persatu peregangan sudah dilakukan, tahap terakhir adalah berlari lima putaran mengelilingi lapangan dalam rentan waktu delapan menit. Ini rutinitas yang dijalankan sebelum latihan inti dimulai. Setelah menyelesaikan putaran terakhir, aku menyelonjorkan kedua kakiku. "Ayo ayo ayo, segera kumpul di depan saya!" Suara Pak Aston menggema di setiap penjuru ruang. Aku segera menghadap Pak Aston, berbaris sesuai dengan instruksinya. "Ryan, siapkan!" Aku mengangguk seraya memposisikan diri di depan teman-temanku, memberikan aba-aba, untuk merapikan posisi, kemudian mengistirahatkan mereka. Setelahnya, aku kembali ke posisi semula. "Terima kasih, Ryan. Hari ini seperti biasa kita akan melakukan latihan rutin tiap minggu. Tapi saya minta, untuk kali ini kalian lebih serius dalam berlatih. Saya mau kalian bangun kembali kekompakan kalian yang sudah hancur, agar nanti ketika kita maju untuk mengikuti sebuah turnamen lagi, kita sudah siap. Kalian punya waktu dua minggu dan jika kalian gagal membuktikan hal itu, maka kita tidak akan maju untuk mengikuti pertandingan ini." Pak Aston menunjukkan selembar brosur mengenai pertandingan yang dilaksanakan tiga minggu lagi. "Bisa dipahami?" tanya Pak Aston dengan suara tegasnya. "Siap bisa!" saur kami serempak. Ini kesempatan emas. Aku harus bisa menghilangkan egoku. Kami berlatih seperti biasanya, berlemparan bola secara berpasangan, menggiring bola, memasukan bola ke keranjang, dan melakukan teknik-teknik lainnya. Pak Aston melatih kami dengan begitu telaten. Mengajarkan secara runtut dasar-dasar olahraga ini. "Yan, bareng ya." Gio menepuk pundak sedikit keras. Aku menyahutnya dengan kedipan mata, kemudian meneguk sebotol air putih. Rasanya tenggorokanku benar-benar kering. Latihan hari ini cukup melelahkan. 4
Aku hanya berharap waktu dua minggu mampu menyakinkan Pak Aston bahwa kami memang layak untuk maju ke turnamen itu. Aku sangat paham, jika beliau kecewa kepada kami. Mengingat pertandingan kemarin yang begitu kacau. Tapi aku percaya sepenuhnya, kami bisa bahkan kembali menjadi juara seperti dulu lagi. Bukannya aku terlalu ambisius untuk mendapatkan posisi pertama, tapi aku hanya berharap melalui pertandingan ini bisa membuktikan bahwa aku dan teman-temanku memang mampu dan layak menjadi juara. Hari berlalu begitu cepat, setiap harinya kekompakan di antara kami semakin erat. Aku berusaha melupakan taruhanku dengan Aaron, begitu pula Aaron, dia tampak seperti sudah lupa akan hal itu. Bagiku sekarang, pertandingan bukan ajang untuk mendapatkan pengakuan tetapi pengalaman. Seminggu menjelang pertandingan berlangsung, Pak Aston menginginkan agar kami memperkuat solidaritas kami. Ini jelas menandakan bahwa kami akan diberangkatkan ke pertandingan yang akan berlangsung seminggu lagi. "Lupakan soal taruhan itu. Percuma juga mempersalahkan sesuatu yang sudah tidak ada," celetuk Aaron tepat di lubang telingaku. Aku melirikkan mata ke arahnya, mengiyakan apa yang dikatakan olehnya. Tidak ada taruhan, maka seharusnya keegoisan pun ikut luntur. Benar yang Aaron katakan, mempersalahkan sesuatu yang sudah tidak ada itu percuma. Tidak akan ada pemenangnya di antara kami karena perempuan yang menjadi tujuan dari pertaruhan ini saja sudah pergi ke rumah sebenarnya. Kami menyukai orang yang sama. Demi untuk mendapatkan perhatian dan perasaan yang sama dari perempuan itu, kami menerima tawarannya untuk membuktikan kehebatan kami. Aku dan Aaron sama-sama sepakat, siapa yang bisa memasukkan bola paling banyak dalam pertandingan, maka dialah pemenangnya. Namun, sebelum pertandingan itu berlangsung, Nia–perempuan yang aku suka mengalami kecelakaan. Sekarang adalah waktu bagi kami untuk fokus mempersiapkan pertandingan besok. Waktu istirahat, aku menyempatkan diri untuk pergi ke kantin. Membeli sebungkus nasi dan sebotol air minum. Kantin tampak ramai hari ini, aku memilih untuk makan di taman belakang. Mataku terpusat pada Loka yang melukis di balik pohon. Tanpa pikir panjang aku segera menghampirinya. "Hai, Loka!" sapaku, kemudian mendudukkan diri tepat di sebelahnya. Dia tersenyum padaku, lalu mengambil sebuah buku kecil. Tangan bergerak menuliskan sesuatu. Detik kemudian, dia menunjukkan tulisan itu kepadaku. Di dalamnya tertulis, "Terima kasih untuk palet, aku suka." Aku tersenyum manis menanggapi hal itu. "Aku belum tau namamu siapa. Aku harus memanggilmu siapa?" Itu kalimat yang tertulis dalam lembaran berikutnya. Aku terdiam sejenak, "Panggil saja Ryan." Loka menganggukkan kepalanya berkali-kali, seraya menghubungkan jempol dan telunjuknya seperti memberi isyarat oke. "Kamu sangat suka melukis?" Loka mengangguk. "Cantik lukisannya sama kayak pelukisnya," kataku memuji karyanya. 5
Aku tidak asal memuji, hasil lukisannya memang tampak sangat indah. Aku memperhatikannya melukis, tangannya begitu lihai memegang kuas. Memadukan satu warna dengan warna yang lainnya. "Oh iya Ka, besok kamu ada waktu senggang nggak?" tanyaku padanya, dia mengerutkan keningnya seperti meminta penjelasan. "Besok pertandingan basket, aku mau kamu datang untuk menonton. Bisa?" Loka terdiam sejenak, hingga dia mengangguk seraya tersenyum. "Sip. Jangan lupa ya, besok datang jam sepuluh pagi, oke?" Dia kembali menganggukkan kepalanya. Ternyata berinteraksi dengan orang yang berbeda dengan kita itu mengasyikkan. Hari pertandingan pun tiba. Ada rasa gelisah yang sedikit menghantui diriku. Seperti biasa, sebelum pertandingan dimulai kami akan saling memberikan semangat dan berdoa bersama. Semoga usaha kami selama dua minggu ini tidak berakhir sia-sia dan berhasil membawa pulang piala. Giliran kami bermain pun tiba. Tapi sampai detik ini, aku tidak melihat Loka. Apakah dia berhalangan untuk hadir? Aku berusaha untuk tidak terlalu memikirkan itu, aku harus fokus untuk pertandingan kali ini. Mungkin saja Loka sudah datang, tapi dia tertutup dengan penonton lainnya. Aku menerima lemparan bola dari Gio, kemudian berlari menggiring bola, membawanya mendekati ring. Aku memutuskan untuk memberikan bola itu kepada Aaron, posisinya sangat memungkinkan untuk mencetak point. Awal yang baik untuk pertandingan ini, kami berhasil mencetak point pertama. Kami kewalahan menghadapi serangan lawan. Aku mengakui, jika lawan kami kali ini bukan sembarang orang. Mereka sangat mahir. Kami sudah sampai sesi terakhir untuk menentukan pemenang. Aku menerima bola dari Aaron, memasukkan bola ke dalam ring. Kami mencetak point. Ya, kami menang! "Yes!" Kami bersorak gembira, memberi selamat satu sama lain. Kami saling merangkul. Aku sangat bahagia karena aku berhasil memenuhi janjiku kepada diriku sendiri. Kami berhasil! Kami menang! Kami menjadi juara! Tatapanku menyapu seluruh area gedung, hingga akhirnya berhenti tepat dihadapan Loka. Aku berjalan menghampirinya, dia tidak sendiri. Loka sedang bersama Aaron. Aku mengurungkan niatku untuk menghampirinya, tapi sebelum aku pergi dari sana Loka sudah menyadari kehadiranku. Loka melambaikan tangan, memintaku untuk bergabung. Dia memindahkan kursi di sampingnya, kemudian menaruhnya di antara dirinya dan Aaron. Aku mengangguk mengiyakan. "Kenapa?" tulisnya dalam secarik kertas. Aku terdiam, menatap mereka satu persatu. "Kalian saling kenal? Nggak nggak, maksudku kalian kelihatan akrab gitu, jadi mungkin kalian udah kenal dari lama," kataku gelagapan. Loka menunjukkan lembaran kertas padaku, di dalamnya tertulis. "Ya. Bahkan sejak aku baru lahir, aku sudah kenal dengan Aaron." Aku mengerutkan keningku, tak paham dengan yang dia katakan. "Kami saudaraan. Dia adikku." Aaron menyahut, sepertinya dia membaca pikiran orang lain. Loka pun mengangguk menyetujui. 6
"Ini dari Loka." Aaron memberikan kotak berwarna coklat kepadaku. Kemudian dia berpamitan dengan Loka, pergi meninggalkan kami berdua. "Selamat!" Aku membacanya dengan seru. Aku masih tidak menyangka kalau mereka adalah saudara. Hari ini aku mendapatkan kejutan dari Tuhan. Dari kemenangan yang timku dapatkan hingga hubungan persaudaraan antara Loka dan Aaron yang sudah kukenal sejak kami masih duduk di bangku SMP. TAMAT 7