TUGAS MATA KULIAH GEOGRAFI REGIONAL INDONESIA
BUKU DIGITAL KABUPATEN MAJALENGKA
NAMA : MULYADI
NIM : 1407622077
Lambang
Julukan:
Kabupaten Angin
Motto:
Sindangkasih sugih mukti
(Sunda) Sikap mengayomi dan mengasihi untuk mewujudkan kesejahteraan
(1412 Masehi)
Bab I. Sejarah Kabupaten Majalengka
Pada zaman kerajaan Hindu-Buddha sampai dengan abad ke-15, di wilayah Kabupaten
Majalengka terbagi menjadi 3 kerajaan:
1. Kerajaan Talaga Manggung dipimpin oleh Sunan Corenda atau lebih dikenal dengan
sebutan Sunan Parung
2. Kerajaan Rajagaluh dipimpin oleh Prabu Cakraningrat
3. Kerajaan Sindangkasih, dipimpin oleh seorang puteri bernama Nyi Rambut Kasih
Terdapat banyak cerita rakyat tentang ke-3 kerajaan tersebut yang sampai dengan saat ini masih
hidup di kalangan masyarakat Majalengka. Selain cerita rakyat yang masih diyakini juga terdapat
situs, makam-makam dan benda-benda purbakala, yang kesemuanya itu selain menjadi kekayaan
daerah juga dapat digunakan sebagai sumber sejarah.
Kerajaan Talaga Manggung
Raja Batara Gunung Picung
Kerajaan Hindu di Talaga berdiri pada abad XIII Masehi, Raja tersebut masih keturunan Ratu
Galuh bertahta di Ciamis, dia adalah putera V, juga ada hubungan darah dengan raja-raja di
Pajajaran atau dikenal dengan Raja Siliwangi. Sunan Talaga manggung putra Pandita Prabu
Darmasuci putra Batara Gunung Picung putera Suryadewata putera bungsu dari
Maharaja Sunda Galuh Prabu Ajiguna Linggawisesa (1333-1340) di Galuh Kawali, Ciamis.
Penguasa Kerajaan Sunda Galuh biasanya digelari Siliwangi. Daerah kekuasaannya meliputi
Talaga, Cikijing, Bantarujeg, Lemahsugih, Maja dan sebagian Selatan Majalengka.Pemerintahan
Batara Gunung Picung sangat baik, agam yang dipeluk rakyat kerajaan ini adalah agama
Hindu.Pada masa pemerintahaannya pembangunan prasarana jalan perekonomian telah dibuat
sepanjang lebih 25 Km tepatnya Talaga–Salawangi di daerah Cakrabuana.Bidang Pembangunan
lainnya, perbaikan pengairan di Cigowong yang meliputi saluran-saluran pengairan semuanya di
daerah Cikijing.Tampuk pemerintahan Batara Gunung Picung berlangsung 2 windu.Raja
berputera 6 orang yaitu :- Sunan Cungkilak–Sunan Benda–Sunan Gombang–Ratu Panggongsong
Ramahiyang- Prabu Darma Suci- Ratu Mayang KarunaAkhir pemerintahannya kemudian
dilanjutkan oleh Prabu Darma Suci.
Raja Prabu Darma Suci
Disebut juga Pandita Perabu Darma Suci. Dalam pemerintahan raja ini Agama Hindu
berkembang dengan pesat (abad ke-XIII), nama dia dikenal di Kerajaan Pajajaran, Jawa Tengah,
Jayakarta sampai daerah Sumatra. Dalam seni pantun banyak diceritakan tentang kunjungan
tamu-tamu tersebut dari kerajaan tetangga ke Talaga, apakah kunjungan tamu-tamu merupakan
hubungan keluarga saja tidak banyak diketahui.Peninggalan yang masih ada dari kerajaan ini
antara lain Benda Perunggu, Gong, Harnas atau Baju Besi.Pada abad XIIX Masehi dia wafat
dengan meninggalkan 2 orang putera yakni:- Bagawan Garasiang–Sunan Talaga Manggung
Raja Sunan Talaga Manggung
Takhta untuk sementara dipangku oleh Begawan Garasiang,namun dia sangat mementingkan
Kehidupan Kepercayaan sehingga akhirnya tak lama kemudian takhta diserahkan kepada
adiknya Sunan Talaga Manggung.Tak banyak yang diketahui pada masa pemerintahan raja ini
selain kepindahan dia dari Talaga ke daerah Cihaur Maja.
Raja Sunan Talaga Manggung
Sunan Talaga Manggung merupakan raja yang terkenal sampai sekarang karena sikap dia yang
adil dan bijaksana serta perhatian dia terhadap agama Hindu, pertanian, pengairan, kerajinan
serta kesenian rakyat.Hubungan baik terjalin dengan kerajaan-kerajaan tetangga maupun
kerajaan yang jauh, seperti misalnya dengan Kerajaan Majapahit, Kerajaan Pajajaran, Kerajaan
Cirebon maupun Kerajaan Sriwijaya.Dia berputera dua, yaitu :- Raden Pangrurah–Ratu
Simbarkencana Raja wafat akibat penikaman yang dilakukan oleh suruhan Patih Palembang
Gunung bernama Centangbarang. Kemudian Palembang Gunung menggantikan Sunan Talaga
Manggung dengan beristrikan Ratu Simbarkencana. Tidak beberapa lama kemudian Ratu
Simbarkencana membunuh Palembang Gunung atas petunjuk hulubalang Citrasinga dengan
tusuk konde sewaktu tidur.Dengan meninggalnya Palembang Gunung, kemudian Ratu
Simbarkencana menikah dengan turunan Panjalu bernama Raden Kusumalaya Ajar Kutamanggu
dan dianugrahi 8 orang putera di antaranya yang terkenal sekali putera pertama Sunan Parung.
Raja Ratu Simbarkencana
Sekitar awal abad XIV Masehi, dalam tampuk pemerintahannya Agama Islam menyebar ke
daerah-daerah kekuasaannya dibawa oleh para Santri dari Cirebon.juga diketahui bahwa takhta
pemerintahan waktu itu dipindahkan ke suatu daerah disebelah Utara Talaga bernama
Walangsuji dekat kampung Buniasih (Desa Kagok Banjaran) .Ratu Simbarkencana setelah wafat
digantikan oleh puteranya Sunan Parung.
Raja Sunan Parung[
Pemerintahan Sunan Parung tidak lama, hanya beberapa tahun saja.Hal yang penting pada masa
pemerintahannya adalah sudah adanya Perwakilan Pemerintahan yang disebut Dalem, antara lain
ditempatkan di daerah Kulur, Sindangkasih, Jerokaso Maja.Sunan Parung mempunyai puteri
tunggal bernama Ratu Sunyalarang atau Ratu Parung.
Kerajaan Islam Talaga (Pengaruh Kasultanan Cirebon)
Raja Ratu Sunyalarang
Sebagai puteri tunggal dia naik takhta menggantikan ayahandanya Sunan Parung dan menikah
dengan turunan putera Prabu Siliwangi bernama Raden Rangga Mantri atau lebih dikenal dengan
Prabu Pucuk Umum.Pada masa pemerintahannya Agama Islam sudah berkembang dengan pesat.
Banyak rakyatnya yang memeluk agama tersebut hingga akhirnya baik Ratu Sunyalarang
maupun Prabu Pucuk Umum memeluk Agama Islam. Agama Islam berpengaruh besar ke
daerah-daerah kekuasaannya antara lain Maja, Rajagaluh dan Majalengka.Prabu Pucuk Umum
adalah Raja Talaga ke-2 yang memeluk Agama Islam. Hubungan pemerintahan Talaga dengan
Cirebon maupun Kerajaan Pajajaran baik sekali. Sebagaimana diketahui Prabu Pucuk Umum
adalah keturunan dari prabu Siliwangi karena dalam hal ini ayah dia yang bernama Raden
Munding Sari Ageung merupakan putera dari Prabu Siliwangi. Jadi pernikahan Prabu Pucuk
Umum dengan Ratu Sunyalarang merupakan perkawinan keluarga dalam derajat ke-IV.Hal
terpenting pada masa pemerintahan Ratu Sunyalarang adalah Talaga menjadi pusat perdagangan
di sebelah Selatan.
Raja Rangga Mantri atau Prabu Pucuk Umum
Dari pernikahan Raden Rangga Mantri dengan Ratu Parung (Ratu Sunyalarang putri Sunan
Parung, saudara sebapak Ratu Pucuk Umun suami Pangeran Santri ) melahirkan 6 orang putera
yaitu :- Prabu Haurkuning - Sunan Wanaperih - Dalem Lumaju Agung- Dalem Panuntun–Dalem
Panaekan Akhir abad XV Masehi, penduduk Majalengka telah beragama Islam.Dia sebelum
wafat telah menunjuk putera-puteranya untuk memerintah di daerah-daerah kekuasaannya,
seperti halnya :Sunan Wanaperih memegang tampuk pemerintahan di Walagsuji; Dalem Lumaju
Agung di kawasan Maja; Dalem Panuntun di Majalengka sedangkan putera pertamanya, Prabu
Haurkuning, di Talaga yang selang kemudian di Ciamis. Kelak keturunan dia banyak yang
menjabat sebagai Bupati.Sedangkan dalem Dalem Panaekan dulunya dari Walangsuji kemudian
berpindah-pindah menuju Riung Gunung, sukamenak, nunuk Cibodas dan Kulur.Prabu Pucuk
Umum dimakamkan di dekat Situ Sangiang Kecamatan Talaga.
Raja Sunan Wanaperih
Terkenal Sunan Wanaperih, di Talaga sebagai seorang Raja yang memeluk Agama Islam pun
juga seluruh rakyat di negeri ini semua telah memeluk Agama Islam. Dia berputera 6 orang,
yaitu :- Dalem Cageur–Dalem Kulanata–Apun Surawijaya atau Sunan Kidul- Ratu Radeya–Ratu
Putri - Dalem Wangsa Goparana. Diceritakan bahwa Ratu Radeya menikah dengan Arya
Sarngsingan sedangkan Ratu Putri menikah dengan putra Syekh Abdul Muhyi dari Pamijahan
bernama Sayid Faqih Ibrahim lebih dikenal Sunan Cipager. Dalem Wangsa Goparana pindah
ke Sagalaherang Cianjur, kelak keturunan dia ada yang menjabat sebagai bupati seperti
Bupati Wiratanudatar I di Cikundul. Sunan Wanaperih memerintah di Walangsuji, tetapi dia
digantikan oleh puteranya Apun Surawijaya, maka pusat pemerintahan kembali ke Talaga.
Putera Apun Surawijaya bernama Pangeran Ciburuy atau disebut juga Sunan Ciburuy atau
dikenal juga dengan sebutan Pangeran Surawijaya menikah dengan putri Cirebon bernama Ratu
Raja Kertadiningrat saudara dari Panembahan Sultan Sepuh III Cirebon.Pangeran Surawijaya
dianungrahi 6 orang anak yaitu–Dipati Suwarga-Mangunjaya–Jaya Wirya–Dipati Kusumayuda–
Mangun Nagara–Ratu Tilarnagara Ratu Tilarnagara menikah dengan Bupati Panjalu (Kerajaan
Panjalu Ciamis) yang bernama Pangeran Arya Sacanata yang masih keturunan Prabu Haur
Kuning. Pengganti Pangeran Surawijaya ialah Dipati Suwarga menikah dengan Putri Nunuk dan
berputera 2 orang, yaitu :- Pangeran Dipati Wiranata- Pangeran Secadilaga atau pangeran Raji
Pangeran Surawijaya wafat dan digantikan oleh Pangeran Dipati Wiranata dan setelah itu
diteruskan oleh puteranya Pangeran Secanata Eyang Raga Sari yang menikah dengan Ratu
Cirebon menggantikan Pangeran Secanata. Arya Secanata memerintah ± tahun 1762.
Kerajaan Sindangkasih
Mandala Sindangkasih dan Kerajaan Sindangkasih
Kerajaan dan wilayah Jawa Barat tidak dapat dipisahkan dari kata Sunda. Pada mulanya
kata “Sunda” atau “Suddha” dalam bahasa Sanskerta diterapkan pada nama sebuah gunung
yang menjulang tinggi di bagian barat Pulau Jawa yang dari jauh tampak putih karena tertutup
abu asal gunung tersebut.[5]
Keberadaan kerajaan Sindangkasih pada tahun 1480 atau pertengahan abad ke-15.[6] Kerajaan
Sindangkasih disebutkan dalam berbagai naskah Babad di tanah Sunda. Pandangan masyarakat
Sunda bahwa kemandalaan sering kali disebut sebagai kerajaan. Pandangan ini muncul karena
struktur kemandalaan yang juga memiliki prajurit pengamanan sering kali diersamakan dengan
kerajaan. Termasuk Kemandalaan Sindangkasih, Mandala Sindangkasih dipertukarkan
pengertiannya dengan kerajaan.
Kesulitan pengertian dalam historiografi modern Barat, struktur kerajaan adalah sebuah struktur
badan, wilayah dan administratif. Pandangan ini berbeda bagi masyarakat Nusantara. Bisa kita
cermati bahwa Kerajaan Sriwijaya, Majapahit dan Tarumanagara juga disebut Mandala.
Dalam pengertian historis, sosial dan politik, istilah "mandala" juga digunakan untuk
menunjukkan formasi politik tradisional Asia Tenggara (seperti federasi kerajaan atau negara-
negara atau kerajaan kecil). Ini diadopsi oleh para sejarawan Barat abad ke-20 dari wacana
politik India kuno sebagai sarana untuk menghindari istilah 'negara' dalam pengertian
konvensional. Tidak hanya negara-negara Asia Tenggara yang tidak sesuai dengan pandangan
Cina dan Eropa tentang negara yang ditetapkan secara teritorial dengan perbatasan tetap dan
aparatur birokrasi, tetapi mereka berbeda jauh dalam arah yang berlawanan: pemerintahan
didefinisikan oleh pusatnya daripada batas-batasnya, dan itu bisa tersusun dari banyak
pemerintahan jajahan lainnya tanpa mengalami integrasi administratif. Kerajaan seperti
Bagan, Ayutthaya, Champa, Khmer, Sriwijaya dan Majapahit dikenal sebagai "mandala" dalam
pengertian ini.[7]
Beberapa Mandala atau kemandalaan di tatar Sunda ada yang berkembang menjadi kerajaan.
Misalnya Mandala Indraprahasta menjadi Kerajaan Indraprahasta; Mandala Wanagiri menjadi
Kerajaan Wanagiri; Mandala Kendan menjadi Kerajaan Kendan dengan rajanya yang termashur
Gururesi atau Rajaresi Manik Maya berlokasi di Rancaekek Bandung sekarang. Mandala Bitung
Giri menjadi Kerajaan Talaga Manggung Dan banyak lagi contoh lainnya.
Rupanya Mandala Sindangkasih tidak tercatat berubah menjadi Kerajaan, kecuali dalan Naskah
Babad yang menyebutkan Kerajaan Sindangkasih yang dipimpin oleh seorang ratu bernama Nyi
Rambut Kasih.
Dalam masa pemerintahan Dipati Ukur, Sindangkasih disebut sebagai Umbul Sindangkasih.
Istilah umbul setara dengan Kabupaten sekarang. Catatan dari Kerajaan Sumedanglarang bahwa
Sindangkasih merupakan bagian dari wilayah kerajaannya.
Mitos Nyi Rambut Kasih
Kerajaan Sindangkasih dipimpin oleh seorang ratu, yaitu Ratu Nyi Rambut Kasih.[8] Ia anak dari
Ki Gedeng Sindang kasih yang berasal dari kata Gede Ing Sindangkasih. Artinya Pembesar atau
Pemimpin di Sindangkasih. Itu bukan nama orang tetapi sebutan saja. Sama halnya dengan
sebutan Siliwangi. hal ini telah menjadi budaya di Sunda bahwa menyebut nama orang apalagi
pembesar adalah Tabu. Begitu pula orang yang disapa akan merasa dihormati.
Inilah yang menyulitkan menelusuri sejarah Sunda di wilayah pedalaman (tengah pulau)
termasuk Sindangkasih. Sumber-sumber luar seperti dari Catatan
Musafir China, Portugis dan Arab bisa menjadi sumber sejarah (Proto-Sejarah).
Catatan Belanda bisa menjadi sumber sejarah, karena dianggap bersumber dari dalam negeri.
Keberadaan Sindangkasih merujuk wilayah Kota Majalengka Sekarang ada dalam tulisan catatan
Belanda mengenai perjalan selama masa perkebunan kopi: Namun tdak menyebutkan secara
jelas bahwa Sindangkasih adalah kerajaan, tetapi Sindangkasih adalah Kota Majalengka
sekarang.
Kembali ke Mandala atau kabuyutan. Sepertinya, Sindangkasih hanya berupa Kamandalaan atau
Kabuyutan yang Bercorak Agama Hyang (Darma), Budha atau Hindu. Meskipun dalam berbagai
legenda diceritakan bahwa Nyi Rambut Kasih bergamana Hindu. Berawal dari rencana
mengunjungi Kerajaan Talaga, tetapi niat ini dibatalkan karena kerajaan Talaga telah beragama
Islam.
Sindangkasih dalam Wilayah Tatar Ukur
Sindangkasih merupakan salah satu umbul dalam pemerintahan Bupati Wedana Dipati Ukur.
Dipati Ukur (Wangsanata atau Wangsataruna) adalah seorang bangsawan penguasa Tatar Ukur
pada abad ke-17.
Tatar dalam bahasa Sunda berarti tanah atau wilayah. Sedangkan dipati (adipati) adalah gelar
bupati sebelum zaman kemerdekaan.Dipati Ukur adalah Bupati Wedana Priangan yang pernah
menyerang VOC di Batavia atas perintah Sultan Agung dari Kesultanan Mataram pada tahun
1628. Serangan itu gagal, dan jabatan Dipati Ukur dicopot oleh Mataram. Untuk menghindari
kejaran pasukan Mataram yang akan menangkapnya, Dipati Ukur dan pengikutnya hidup
berpindah-pindah dan bersembunyi hingga akhirnya ditangkap dan dihukum mati di Mataram.
Umbul Sindangkasih yang dipimpin Ki Somahita atau Tumenggung Tanubaya terlibat dalam
penangkapan Dipati Ukur.
Tumenggung Tanubaya (ki Somahita) menjadi Umbul Sindangkasih, yaitu Garda
pertahanan Kesultanan Mataram di Tatar Pasundan yang merupakan Wilayah Ukur dengan
Bupati Wedana Dipati Ukur. Umbul Sindang Kasih adalah 1 dari 3 Umbul wilayah Ukur yang
tidak patuh pada Dipati Ukur, hingga melaporkan Dipati Ukur ke Sultan Agung Mataram.
Sesepuh dan Budayawan Majalengka, Deddy Ahdiat pernah menggali asal usul Kota Majalengka
secara supranatural yang diliput SCTV dalam program Potret, dan dikatakan bahwa Majalengka
adalah Mataram peralihan. Awalnya membingungkan, ternyata benar bila mengikuti kisah
penangkapan Dipati ukur tahun 1632.
Penangkapnya adalah tiga umbul dari Priangan Timur, yaitu Umbul Sukakerta (Ki
Wirawangsa), Umbul Cihaurbeuti (Ki Astamanggala) dan Umbul Sindangkasih (Ki Somahita).
Dipati Ukur kemudian dibawa ke Mataram dan oleh Sultan Agung dijatuhi hukuman mati pada
tahun 1632
Berdasarkan data yang dikirimkan Rangga Gempol III pada masa VOC, maka kekuasaan Prabu
Geusan Ulun meliputi Sumedang, Garut, Tasikmalaya, dan Bandung, sebagai berikut:
Batas di sebelah Timur adalah Garis Cimanuk–Cilutung ditambah Sindangkasih (daerah
muara Cideres ke Cilutung).
Di sebelah Barat garis Citarum–Cisokan.
Batas di sebelah Selatan laut.
Namun di sebelah Utara diperkirakan tidak meliputi wilayahnya karena telah dikuasai oleh
Cirebon.
Berdasarkan data surat dari Rangga Gempol III di atas, menunjukan data bahwa wilayah
Sindangkasih (Majalengka kota sekarang) adalah bagian dari Kerajaan Sumedang Larang.
Meskipun awalnya Mandala merupakan sebuah tempat suci keagamaan, tetapi penyebutannya
mencakup ke dalam wilayah yang lebih luas. Kota Majalengka sekarang dahulu disebut
Sindangkasih. Hingga abad ke-18–abad ke-19, Setidaknya dalam buku "Tijdschrift voor
neërlands indie" tahun 1844 masih menyebut kota Sindangkasih, bukan Majalengka.[9] kota
Majalengka masih disebut Sindangkasih sebagaimana dicatat dalam buku "Commentaar § 1-
1500. II. Staten en Tabellen", 1912 mengaskan bahwa Sindangkasih yang dimaksud adalah
Majalengka.[10] Buku ini merupakan komentar atau review sejarah penyerangan Mataram
ke Batavia dari sudut pandang Belanda. Kejadian ini pada 17 Juni 1741. Yang paling tegas
menyebutkan pada buku "Handleiding bij de beoefening der land- en volkenkunde van
Nederlandsch-Oost Indie" lebih jelas dan tegas bahwa kota Majalengka sekarang adalah
Sindangkasih.[11][12]
Mengingat cara hidup di lingkungan Mandala lebih berat daripada cara hidup di lingkungan
Nagara, karena lebih banyak aturan yang bersifat keagamaan berupa perintah dan larangan, maka
kiranya penduduk Mandala, termasuk orang Sindangkasih -majalengka generasi pertama,
merupakan orang-orang pilihan yang memiliki pengetahuan agama, pengalaman rohani dan
disiplin diri lebih banyak di bandingkan penduduk Nagara yang umum. Hubungan antara
Mandala dan nagara umumnya berlangsung baik, karena kedua pihak saling membutuhkan.
Nagara membutuhkan Mandala bagi keperluan dukungan moral dan spiritual serta pemberian
do’a restu.
Mandala dianggap oleh Nagara sebagai pusat kesaktian, pusat kekuatan gaib, yang dapat
memancarkan pengaruhnya terhadap nagara. Baik atau buruk tergantung hubungan antara
Mandala dan Nagara.[13]
Kerajaan Rajagaluh
Kerajaan Rajagaluh berada di Kecamatan Rajagaluh, kurang lebih 35 km arah timur dari pusat
kota Majalengka. Desa Rajagaluh adalah sebuah Kerajaan dibawah wilayah kekuasaan kerajaan
Pajajaran yang dipimpin oleh Prabu Siliwangi. Saat itu Kerajaan Rajagaluh dibawah tampuk
pimpinan seorang raja yang terkenal digjaya sakti mandraguna. Agama yang diantunya adalah
agama Hindu.
Pada tahun 1482 Masehi, Syeh Syarif Hidayatulloh (Sunan Gunung Jati)
mengembangkan Islam di Jawa Barat dengan secara damai. Namun dari sekian banyak Kerajaan
di tatar Pasundan hanya Kerajaan Rajagaluh yang sulit ditundukan.
Setelah Kerajaan Cirebon memisahkan diri dari wilayah Kerajaan Pajajaran maka pembayaran
upeti dan pajak untuk Kerajaan Cirebon dibebeaskan, tetapi untuk Kuningan pajak dan upeti
masih berlaku. Untuk penarikan pajak dan upeti dari Kuningan Prabu Siliwangi mewakilkan
kepada Prabu Cakra Ningrat dari Kerajaan Rajagaluh. Akhirnya Prabu Cakra Ningrat mengutus
Patihnya yang bernama Adipati Arya Kiban ke Kuningan, tetapi ternyata adipati Kuningan yang
bernama adipati Awangga menolak mentah-mentah tidak mau membayar pajak dengan alasan
bahwa Kuningan sekarang masuk wilayah Kerajaan Cirebon yang sudah membebaskan diri dari
Kerajaan Pajajaran. Sebagai akibat dari penolakannya maka terjadilah perang tanding antara
Adipati Awangga dan Adipati Arya Kiban. Dalam perang tanding keduanya sama-sama digjaya,
kekuatannya seimbang sehingga perang tanding tidak ada yang kalah atau yang menang. Tempat
perang tanding sekarang dikenal sebagai desa "Jalaksana" artinya jaya dalam melaksanakan
tugas.
Syeh Syarif Hidayatulloh mengutus anaknya Arya Kemuning yang dikenal sebagai Syeh Zainl
Akbar alias Bratakalana untuk membantu Adipati Awangga dalam menghadapi Adipati Arya
Kiban. Dengan bantuan Arya Kemuning akhirnya adipati Arya Kiban dapat dikalahkan. Adipati
Arya Kiban melarikan diri dan menghilang didaerah Pasawahan disekitar Telaga Remis,
sebagian prajuritnya ditahan dan sebagian lagi dapat meloloskan diri ke Rajagaluh. Semenjak
kejadian tersebut Kerajaan Rajagaluh segera menghimpun kekuatannya kembali untuk
memperkokoh pertahanan menakala ada serangan dari Kerajaan Cirebon.
Sebagai pengganti Adipati Arya Kiban ditunjuk Arya mangkubumi, Demang Jaga Patih,
Demang Raksa Pura, dan dibantu oleh Patih Loa dan Dempu Awang keduanya berasal dari
dataran Cina. Syeh Syarif Hidayatulloh melihat Kerajaan Rajagaluh berkesimpulan bahwa
prajurit Cirebon tidak akan mampu menaklukan Rajagaluh kecuali dengan taktik yang halus. Hal
ini mengingat akan kesaktian Prabu Cakraningrat. Akhirnya Syeh Sarif Hidayatulloh mengutus 3
(tiga) orang utusan yakni Syeh Magelung Sakti, Pangeran Santri, Pangeran Dogol serta diikut
sertakan ratusan Prajurit. Pengiriman utusan dari Cirebon dengan segera dapat diketahui oleh
Prabu Cakra Ningrat, beliaupun segera menugaskan patih Loa dan Dempu Awang untuk
menghadangnya. Saat itupun terjadilah pertempuran sengit, tetapi prajurit Cirebon dapat dipukul
mundur, Melihat prajurit Cirebon kucar-kacir maka majulah Syeh Magelung Sakti, Pangeran
Santri dan Pangeran Dogol, terjadilah perang tanding melawan Patih Loa dan Dempu Awang.
Perang tanding tidak kunjung selesai karena kedua belah pihak seimbang kekuatannya, yang
akhirnya pihak Cirebon mundur dari daerah Rajagaluh.
Prajurit Cirebon terus menerus berupaya menyerbu kota Rajagaluh. Pertahanan Rajagaluh
semakin lemah sehingga Rajagaluh mengalami kekalahan. Prabu Cakra Ningrat sendiri
melarikan diri. Sementara anaknya Nyi Putri Indangsari tidak ikut serta dengan ayahnya, Ia pergi
kesebelah utara sekarang di kenal dengan Desa Cidenok. Di Cidenok Nyi Putri tidak lama, ia
teringat akan ayahnya. Nyi Putri sadar apapun kesalahan yang dilakukan oleh Sang Prabu Cakra
Ningrat, sang Prabu adalah ayah kandungnya yang sangat ia cintai, iapun berniat menyusul
ayahnya, tetapi ditengah perjalanan Nyi Putri dihadang oleh prajurit Cirebon yang dipimpin oleh
Pangeran Birawa. Nyi Putri dan pengawalnya ditangkap kemudian diadili.
Pengadilan akan membebaskan hukuman bagi Nyi Putri dengan syarat mau masuk islam.
Akhirnya semua pengawalnya masuk islam tapi Nyi Putri sendiri menolaknya, maka Nyi Putri
Indangsari ditahan disebuah gua. Alkisah menghilangnya Adipati Arya Kiban yang cukup lama
akibat kekalahannya oleh Adipati Awangga saat perang tanding, ia timbul kesadarannya untuk
kembali ke Rajagaluh untuk menemui Prabu Cakra Ningrat untuk meminta maaf atas
kesalahannya. Namun yang ia dapatkan hanyalah puing-puing kerajaan yang sudah hancur luluh.
Ia menangis sedih penuh penyesalan. Ia menrenungkan nasibnya dipinggiran kota Rajagaluh.
Tempat tersebut sekarang dikenal dengan Batu Jangkung (batu tinggi). Ditempat itu pula
akhirnya Adipati Arya Kiban ditangkap oleh prajurit Cirebon, kemudian ditahan/dipenjarakan
bersama Nyi Putri Indangsari disebuah gua yang dikenal dengan Gua Dalem yang berada di
daerah Kedung Bunder, Palimanan. Dikisahkan bahwa Nyi Putri Indangsari dan Adiapti Arya
Kiban meninggal di gua tempat ia dipenjarakan (Gua Dalem), kisah lain keduanya mengilang.[14]
Masa Penjajahan Belanda
Alun-alun Majalengka di masa Hindia Belanda
Pembentukan Kabupaten Maja.
Tahun 1819 dibentuk Karesidenan Cirebon yang terdiri
atas Keregenaan (Kabupaten) Cirebon, Kuningan, Bengawan Wetan, Galuh (Ciamis
Sekarang) dan Maja. Kabupaten Maja adalah cikal bakal Kabupaten Majalengka. Pembentukan
Kabupaten Maja berdasarkan Besluit (Surat Keputusan) Komisaris Gubernur Jendral Hindia
Belanda No.23 Tanggal 5 Januari 1819. Kabupaten Maja adalah gabungan dari tiga distrik yaitu.
Distrik Sindangkasih, Distrik Talaga, dan Distrik Rajagaluh. Kabupaten Maja beribu kota di
Kota Kecamatan Maja sekarang. Bupati pertama Kabupaten Maja adalah RT Dendranegara.
Kabupaten Maja mencakup wilayah Talaga, Maja, Sindangkasih, Rajagaluh, Palimanan dan
Kedondong.
Perubahan Nama Kabupaten Maja menjadi Kabupaten Majalengka.
Tanggal 11 Februari 1840, keluar surat Staatsblad No.7 dan Besluit Gubernur Jendral Hindia
Belanda No.2 yang menjelasakan perpindahan Ibu kota Kabupaten ke Wilayah Sindangkasih
yang kemudian diberi nama 'Majalengka', kemudian nama Kabupaten disesuaikan dengan nama
ibu kota kabupaten yang baru, dari Kabupaten Maja menjadi Kabupaten Majalengka. Pemberian
nama Majalengka atau dari mana asal usul Majalengka masih menjadi misteri, Nama Majalengka
menurut Legenda adalah ucapan ‘Majane Langka” dari pasukan Cirebon serta Pangeran
Muhammad dan Siti Armilah ketika tidak menemukan buah Maja setelah Hutan Pohon Maja
dihilangkan oleh Nyi Rambut Kasih, Ratu Kerajaan Sindangkasih. Dalam Buku Sejarah
Majalengka Karya N. Kartika yang mewawancarai Budayawan Ayatrohaedi, Nama Majalengka
bila diartikan dalam bahasa Jawa Kuno yaitu kata ‘Maja’ merupakan nama buah dan kata
‘Lengka’ yang berati pahit, jadi kata 'Majalengka' adalah nama lain dari kata Majapahit.
Majalengka sebagai ibu kota kabupaten selanjutnya semakin dikuatkan dengan adanya
Surat Staatsblad, 1887 No. 159 mengatur dan menjelaskan tentang batas-batas wilayah dari Kota
Majalengka.
Masa Penjajahan Jepang
Masa penjajahan Jepang (1942-1945) di Majalengka ditandai dengan adanya
eksploitasi romusha dan pembangunan Lapangan Terbang Militer Jepang di Kawasan Ligung.
Lapangan terbang ini diselesaikan pada tahun 1944, dan pasukan Jepang dari sana terbang untuk
melakukan operasi militer di Burma (Myanmar) pada tahun 1945.
Bab II. Administrasi Wilayah Kabupaten Majalengka
Bagian Utara wilayah kabupaten ini merupakan dataran rendah, sementara wilayah tengah
berbukit-bukit dan wilayah selatan merupakan wilayah pegunungan dengan puncaknya Gunung
Ceremai yang berbatasan dengan Kabupaten Kuningan serta Gunung Cakrabuana yang
berbatasan dengan Kabupaten Tasikmalaya dan Kabupaten Sumedang.
Secara administratif berbatasan dengan:
Utara Kabupaten Indramayu
Timur Kabupaten Cirebon dan Kabupaten Kuningan
Selatan Kabupaten Garut, Kabupaten Tasikmalaya, dan Kabupaten Ciamis
Barat Kabupaten Sumedang
Bab III. Fisiografi Kabupaten Majalengka
Topografi dan geografi
Bagian utara wilayah kabupaten ini adalah dataran rendah, sedang di bagian selatan berupa
pegunungan. Gunung Ciremai (3.076 m) berada di bagian timur, yakni di perbatasan
dengan Kabupaten Kuningan. Gunung ini adalah gunung tertinggi di Provinsi Jawa Barat, dan
merupakan taman nasional, dengan nama Taman Nasional Gunung Ciremai
Keadaan geografi khususnya morfologi dan fisiografi wilayah Kabupaten Majalengka sangat
bervariasi dan dipengaruhi oleh perbedaan ketinggian suatu daerah dengan daerah lainnya,
dengan distribusi sebagai berikut:
Morfologi dataran rendah yang meliputi Kecamatan
Kadipaten, Kasokandel, Panyingkiran, Dawuan, Jatiwangi, Sumberjaya, Ligung, Jatitujuh, Kertaj
ati, Cigasong, Majalengka, Leuwimunding dan Palasah. Kemiringan tanah di daerah ini antara
5%-8% dengan ketinggian antara 20–100 m di atas permukaan laut (dpl), kecuali di Kecamatan
Majalengka tersebar beberapa perbukitan rendah dengan kemiringan antara 15%-25%.
Morfologi berbukit dan bergelombang meliputi Kecamatan Rajagaluh dan Sukahaji sebelah
Selatan, Kecamatan Maja, sebagian Kecamatan Majalengka. Kemiringan tanah di daerah ini
berkisar antara 15-40%, dengan ketinggian 300–700 m dpl.
Morfologi perbukitan terjal
meliputi daerah sekitar Gunung Ciremai, sebagian kecil
Kecamatan Rajagaluh, Argapura, Sindang, Talaga, sebagian
Kecamatan Sindangwangi, Cingambul, Banjaran, Bantarujeg, Malausma dan Lemahsugih dan
Kecamatan Cikijing bagian Utara. Kemiringan di daerah ini berkisar 25%-40% dengan
ketinggian antara 400–2000 m di atas permukaan laut.
Geologi
Menurut keadaan geologi yang meliputi sebaran dan struktur batuan, terdapat beberapa batuan
dan formasi batuan yaitu Aluvium seluas 17.162 Ha (14,25%), Pleistocene Sedimentary Facies
seluas 13.716 Ha (13,39%), Miocene Sedimentary Facies seluas 23,48 Ha (19,50%),
Undiferentionet Vulcanic Product seluas 51.650 Ha (42,89%), Pliocene Sedimentary Facies,
seluas 3.870 Ha (3,22%), Liparite Dacite seluas 179 Ha (0,15%), Eosene seluas 78 Ha (0,006%),
Old Quartenary Volkanik Product seluas 10.283 Ha (8,54%). Jenis-jenis tanah di Kabupaten
Majalengka ada beberapa macam, secara umum jenis tanah terdiri atas Latosol, Podsolik,
Grumosol, Aluvial, Regosol, Mediteran, dan asosianya. Jenis-jenis tanah tersebut memegang
peranan penting dalam menentukan tingkat kesuburan tanah dalam menunjang keberhasilan
sektor pertanian.
Hidrologi
Dari aspek hidrologis di Kabupaten Majalengka mempunyai beberapa jenis potensi sumber daya
air yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Potensi sumber daya air
tersebut meliputi:
Air permukaan, seperti mata air, sungai, danau, waduk lapangan atau rawa, Air tanah, seperti
sumur bor dan pompa pantek dan air hujan. Sungai yang besar di antaranya adalah Cilutung,
Cijurey, Cideres, Cikeruh, Ciherang, Cikadondong, Ciwaringin, Cilongkrang, Ciawi
dan Cimanuk.
Bab IV. Kondisi cuaca dan iklim Kabupaten Majalengka
Iklim
Curah hujan tahunan rata-rata di Kabupaten Majalengka berkisar antara 2.400 mm-
3.800 mm/tahun dengan rata-rata hari hujan sebanyak 11 hari/bulan. Angin pada umumnya
bertiup dari arah Selatan dan tenggara, kecuali pada bulan April sampai dengan Juli bertiup dari
arah Barat Laut dengan kecepatan antara 3-6 knot (1 knot =1.285 m/jam).
Bab V. Hidrologi Kabupaten Majalengka
Hidrologi
Dari aspek hidrologis di Kabupaten Majalengka mempunyai beberapa jenis potensi sumber daya
air yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Potensi sumber daya air
tersebut meliputi:
Air permukaan, seperti mata air, sungai, danau, waduk lapangan atau rawa, Air tanah, seperti
sumur bor dan pompa pantek dan air hujan. Sungai yang besar di antaranya adalah Cilutung,
Cijurey, Cideres, Cikeruh, Ciherang, Cikadondong, Ciwaringin, Cilongkrang, Ciawi
dan Cimanuk.
Bab VI. Flora dan Fauna yang khas Majalengka
Flora = Teh
Fauna = Banteng
Bab VII. Sumber daya alam dan Lingkungan
Potensi alam yang dimiliki Kabupaten Majalengka tidak terbatas pada kekayaan wisata alam
tetapi juga potensi agraris dan pengembangan pembibitan hortikultura yang banyak ditemukan
di wilayah Majalengka seperti di Kecamatan Rajagaluh, Maja, Sukahaji, dan Sindangwangi
yang juga dikenal dengan potensi agrowisata durian ...
Bab VIIII. Potensi pariwisata Kabupaten Majalengka
Pariwisata[
Wisata Air Terjun
Curug Santang, Majalengka
1. Curug Muara Jaya: Desa Argamukti Kecamatan Argapura.
2. Curug Sawer: Desa Argalingga Kecamatan Argapura.
3. Curug Sempong: Desa Sidamukti Kecamtan Majalengka.
4. Curug Tonjong: Desa Teja Kecamatan Rajagaluh.
5. Curug Baligo: Desa Padaherang Kecamatan Sindangwangi.
6. Curug Cipeuteuy: Desa Bantaragung Kecamatan Sindangwangi.
7. Curug Leles: Desa Lengkong Kulon Sindangwangi.
8. Curug Emas/Cilutung: Desa Campaga Kecamatan Talaga.
9. Curug Santang: Desa Argalingga Kecamatan Argapura.
Wisata Danau[sunting | sunting sumber]
1. Situ Sangiang: Desa Sangiang Kecamatan Banjaran.
2. Situ Cipadung: Desa Pajajar Kecamatan Rajagaluh.
3. Situ Cipanten: Desa Gunungkuning Kecamatan Sindang.
4. Situ Cikuda: Desa Padaherang Kecamatan Sindangwangi.
5. Situ Cibulakan: Desa Bantaragung Kecamatan Sindangwangi
6. Talaga Herang: Desa Jerukleueut Kecamatan Sindangwangi.
7. Talaga Nila: Desa Jerukleueut Kecamatan Sindangwangi.
Wisata Panorama Alam
Lembah Panyaweuyan, Majalengka
1. Taman Buana Marga: Desa Lemahsugih Kecamatan Lemahsugih.
2. Perkebunan Teh Cipasung: Desa Cipasung Kecamatan Lemahsugih.
3. Panorama Cikebo: Desa Anggrawati Kecamatan Maja dan
Desa Sagara Kecamata Argapura.
4. Panorama Panyaweuyan: Desa Tejamulya Kecamatan Argapura.
5. Panorama Ciinjuk: Desa Cipulus Kecamatan Cikijing.
6. Panorama Jahim: Desa Cintaasih Kecamatan Cingambul.
7. Bendungan Rentang: Desa Randegan Kulon Kecamatan Jatitujuh.
8. Wana Wisata Gunung Panten: Desa Sidamukti Kecamatan Majalengka.
9. Teras Sawah Payung: Desa Payung, Kecamatan Rajagaluh.[30]
Wisata Sejarah dan Budaya
1. Museum Talaga Manggung: Desa Talaga Wetan Kecamatan Talaga.
2. Rumah Adat Panjalin: Desa Panjalin Kidul Kecamatan Sumberjaya.
3. Patilasan Prabu Siliwangi: Desa Pajajar Kecamatan Rajagaluh.
4. Situs Sanghyang Lingga: Desa Banjaran Kecamatan Banjaran.
5. Situs Gunung Ageung: Desa Cipasung Kesamatan Lemahsugih.
6. Makam Pangeran Muhammad: Kelurahan Sindangkasih Kecamatan Majalengka.
7. Patilasan Nyi Rambutkasih: Kelurahan Sindangkasih Kecamatan Majalengka.
8. Makam Siti Armilah: Kelurahan Majalengka Kulon Kecamatan Majalengka.
9. Makam Sunan Parung: Desa Sangiang Kecamatan Banjaran.
10.Makan Sunan Wanaperih: Desa Kagok Kecamatan Banjaran.
Wisata Minat Khusus
1. Wisata Paralayang Gunung Panten: Kelurahan Munjul Kecamatan Majalengka.
2. Sirkuit Grasstrack Buahlega: Desa Sidamukti Kecamatan Majalengka.
3. Sirkuit Motorcross Gagaraji: Desa Pangkalan Pari Kecamatan Jatitujuh.
4. Pendakian Gunung Ciremai: Desa Argamukti Kecamatan Argapura.
5. Bumi Perkemahan Cipanten: Desa Argalingga Kecamatan Argapura.
6. Bumi Perkemahan Awilega: Desa Bantaragung Kecamatan Sindangwangi.
7. Bumi Perkemahan Leles: Desa Lengkong Kulon Kecamatan Sindangwangi.
8. Kolam Renang Rajawali: Desa Liangjulang Kecamatan Kadipaten.
9. Kolam Renang Tirta Indah: Desa Lengkong Kulon Kecamatan Sindangwangi.
10.Kolam Renang Jembar Waterpark: Desa Ranji Wetan Kecamatan Kasokandel.
11.Jatiwangi Art Factory, Desa Wisata Jatisura: Desa Jatisura Kecamatan Jatiwangi.
12.Waterboom Tohaga Indah: Desa Burujulkulon Kecamatan Jatiwangi.
Bab 9. Kebudayaan Lokal kabupaten Majalengka
Sebagai wilayah yang dilalui oleh dua kebudayaan besar yaitu Sunda & Cirebon maka
Kabupaten Majalengka memiliki keragaman seni budaya yaitu
Sampyong
Wayang Golek
Wayang Kulit
Pencak Silat
Genjring Akrobat
Kacapi Suling
Pantun
Sandiwara
Gaok
Jaipong, Degung dan Kliningan
Sintren
Tarling
Tari topeng Beber
Kuda Penca
Rudat
Pareresan
Mapag Sri
Ngalaksa
Gembyung
Tari Kedempling
Bab 10. Kependudukan dan Sumber daya manusia
jumlah Penduduk Kabupaten Majalengka Berdasarkan BPS Kabupaten Majalengka Tahun 2013
adalah 1.180.774 Jiwa terdiri dari 590.038 jiwa penduduk laki-laki dan 590.736 jiwa penduduk
perempuan. Rata-rata kepadatan penduduk Kabupaten Majalengka pada tahun 2013 adalah 981
jiwa/km². Kepadatan tertinggi berada di Kecamatan Jatiwangi dengan kepadatan 2.087 jiwa/km².
Wilayah dengan jumlah penduduk terbanyak adalah:
1. Kecamatan Jatiwangi: 83.450 jiwa.
2. Kecamatan Majalengka: 69.946 jiwa.
3. Kecamatan Cikijing: 60.581 jiwa.
4. Kecamatan Lemahsugih: 57.928 jiwa.
5. Kecamatan Sumberjaya: 57.353 jiwa.
Mayoritas Masyarakat Majalengka berasal dari etnis Sunda. Bahasa yang digunakan Bahasa
Sunda, akan tetapi memiliki perbedaan beberapa arti dan kosakata dengan Bahasa Sunda di
Kawasan Priangan. Bahasa Sunda di Majalengka merupakan bahasa Sunda dialek Tengah Timur.
Dibeberapa wilayah Majalengka masyarakatnya merupakan Orang Cirebon dan
menggunakan bahasa Cirebon, seperti di utara dan Timur
Jatitujuh, Kertajati, Ligung, Sumberjaya dan Desa Patuanan di Kecamatan Leuwimunding.
Daftar pusaka
WikipideA Ensiklopedia bebas
Kabupaten majalengka
( google )