1 | P u r a J a g a t n a t h a K a r a n g a s e m
2 | P u r a J a g a t n a t h a K a r a n g a s e m PURA JAGATNATHA KARANGASEM Selayang Pandang DIHIMPUN OLEH ; Drs. I WAYAN ASTIKA, M.Si. PANITIA TETAP KARYA/PUJAWALI PURA JAGATNATHA KABUPATEN KARANGASEM 29 AGUSTUS 2015
3 | P u r a J a g a t n a t h a K a r a n g a s e m PURA JAGATNATHA KARANGASEM Selayang Pandang DIHIMPUN OLEH ; Drs. I WAYAN ASTIKA, M.Si. PANITIA TETAP KARYA/PUJAWALI PURA JAGATNATHA KABUPATEN KARANGASEM 29 AGUSTUS 2015
4 | P u r a J a g a t n a t h a K a r a n g a s e m Pura Jagatnatha Karangasem Selayang Pandang Panitia Tetap Karya/Pujawali Pura Jagatnatha Kabupaten Karangasem Tahun 2015 Copyright@ 2015 Dihimpun Oleh : Drs. I Wayan Astika, M.Si. Tata Letak & Perwajahan : Drs. I Wayan Astika, M.Si. Diterbitkan pertama kali oleh : Panitia Tetap Karya/Pujawali Pura Jagatnatha Kabupaten Karangasem Tahun 2015 Cetakan I : 2015
5 | P u r a J a g a t n a t h a K a r a n g a s e m SAMBUTAN PENJABAT BUPATI KARANGASEM Om Swastyastu, Dengan memanjatkan puja dan puji syukur kehadapan Ida Sanghyang Widhi Wasa, saya merasa sangat berbahagia dan menyambut baik atas diterbitkannya buku “Pura Jagatnatha Karangasem Selayang Pandang” yang berisikan tentang informasi mengenai keberadaan pura Jagatnatha Karangasem. Penerbitan buku “Pura Jagatnatha Karangasem Selayang Pandang”akan dapat memberikan sedikit gambaran tentang keberadaan pura Jagatnatha Karangasem yang menjadi tanggungjawab pemerintah dan masyarakat umat Hindu Kabupaten Karangasem. Melalui informasi dalam buku kecil ini akan dapat dimanfaatkan oleh umat sedharma untuk meningkatkan pencerahan bhatin, serta dapat meningkatkan keyakinan, keimanan dan rasa bhakti kehadapan Ida Sanghyang Widhi Wasa . Akhirnya, dengan terbitnya buku ini semoga dapat menambah pengetahuan kita tentang nilai - nilai agama, serta
6 | P u r a J a g a t n a t h a K a r a n g a s e m dapat memperkaya apresiasi kreatif para generasi muda dan dapat memperkaya wawasan berpikir masyarakat kita. Semoga buku ini bermanfaat bagi kemajuan pengetahuan dan pemahaman kita terhadap nilai- nilai luhur agama Hindu. Om, Shantih, Shantih, Shantih, Om Pj.BUPATI KARANGASEM Drs. IDA BGS NGURAH ARDA, M.Si.
7 | P u r a J a g a t n a t h a K a r a n g a s e m PENGANTAR Sebagai umat beragama, satu hal penting yang menjadi ciri adalah percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sebagai makhluk ciptaannya memiliki kemampuan yang sangat terbatas. Oleh karena itu senantiasa berusaha mendekatkan diri kepada kemaha kuasaan Tuhan untuk dapat mencapai kehidupan yang lebih baik serta upaya mewujudkan kesejahteraan lahir dan bhatin. Atas kertha wara nugraha Ida Sanghyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa, akhirnya buku “Pura Jagatnatha Karangasem Selayang Pandang”dapat diselesaikan sebagai punia dalam karya /Pujawali /Piodalan Purnama Ketiga tanggal 29 Agustus 2015. Buku kecil ini memberikan gambaran sekilas tentang pura Jagatnatha Karangasem sebagai tempat memuja Ida Sanghyang Widhi Wasa dalam manifestasinya sebagai Sanghyang Siwa, Sada Siwa dan Parama Siwa.. Pura Jagatnatha Karangasem adalah tempat umat Hindu memuja kebesaran Hyang Widhi guna mendapatkan kesejahteraan lahir dan kebahagiaan di akhirat sebagai wujud dari tujuan hidup manusia yakni jagadhita dan moksa. Akhirnya harapan saya, mudah-mudahan buku ini bermanfaat dan ikut berperan dalam meningkatkan sraddha dan bhakti menuju ajeg Bali yang santa – jagadhita.Semoga! Amlapura, Agustus 2015 Penyunting,
8 | P u r a J a g a t n a t h a K a r a n g a s e m PURA JAGATNATHA KARANGASEM Pura Jagatnatha yang ada di setiap Kabupaten adalah jenis Pura “penyungsungan jagat” yang dibangun dengan pertimbangan mula-mula agar “kaum pendatang” yang tidak “mekrama desa” di kota itu mempunyai tempat bersembahyang. Hal ini disebabkan karena Pura-pura Kahyangan Tiga yang sudah ada sebelumnya (dari zaman Mpu Kuturan) adalah bagi penduduk desa pakraman yang bersangkutan. Pura Jagatnatha pertama dibangun di Denpasar sekitar tahun 1970-an, kemudian disusul oleh Kabupaten lainnya, bahkan oleh beberapa Kecamatan tertentu yang memerlukan. Kemudian berkembang bahwa Pura Jagatnatha “seolah-olah” di-empon oleh Pemerintah Daerah Kabupaten, sehingga Pura Jagatnatha tidak hanya disungsung oleh kaum pendatang saja, melainkan juga
9 | P u r a J a g a t n a t h a K a r a n g a s e m oleh para karyawan-karyawati, sekolah-sekolah, dan lainlain. Dilihat dari konsep Trimurti, Pura Jagatnatha dapat merupakan Pura Kahyangan bagi para kaum pendatang dalam artian dapat nunas tirta bagi segala keperluan upacara Panca Yadnya. Beberapa Sulinggih berpendapat, alangkah baiknya bila di Pura Jagatnatha diadakan juga pelinggih Trimurti dalam bentuk Bhatara Hyang Guru, agar konsep “vertikal” dan “horizontal” terpenuhi. Sebagaimana diketahui bahwa pelinggih Padmasana yang ada di Pura Jagatnatha, adalah pelinggih Sanghyang Widhi dalam prabawa sebagai Tripurusha yakni : Siwa, Sadasiwa, dan Paramasiwa, dalam konsep vertikal. Yang horizontal Trimurti : Brahma, Wisnu, Siwa, belum ada. Pura Jagatnatha Kabupaten Karangasem, tepatnya terletak di sebelah Barat lapangan Candra Buana. Pura ini dikategorikan sebagai Pura Kahyangan dan menjadi altar bagi dewa-dewa Hindu.
10 | P u r a J a g a t n a t h a K a r a n g a s e m Sejarah berdirinya Pura Jagatnatha Karangasem Seperti halnya Pura-pura yang lain, pendirian Pura Jagatnatha juga memiliki latar belakang sejarah. Pendirian pura ini merupakan realisasi keputusankeputusan yang telah ditetapkan dalam pasamuhan realisasi keputusan-keputusan yang telah ditetapkan dalam pasamuhan Parisada, 20 November 1961 di Campuan Ubud, Gianyar. Salah satu dari keputusan tersebut antara lain membangun pusat kegiatan pendidikan keagamaan untuk membina dan mengembangkan kehidupan agama Hindu. Di samping itu, untuk membendung segala sesuatu yang merongrong sendi-sendi kehidupan keagamaan umat Hindu. Maka Pura Jagatnatha pun didirikan di ibu kota Kabupaten. Pura ini diharapkan dapat berfungsi sebagai tempat persembahyangan umum dan untuk mewujudkan rasa bakti umat Hindu ke hadapan Sang Hyang Widhi . Seirama dengan hal itu maka disetiap Kabupaten di Bali merespon dan mengapresiasi positif langkah yang
11 | P u r a J a g a t n a t h a K a r a n g a s e m telah diambil dalam upaya meningkatkan kesejahteraan umat dengan mewujudkan peningkatan Sraddha dan bhakt, melalui pembangunan pura Jagatnatha. Pembangunan pura Jagatnatha di Kabupaten Karangasem ini tidak terlepas dari prakarsa Tokoh agama, dan tokoh adat yang sekaligus juga sebagai penglingsir Parisada Hindu Dharma Indonesia Kabupaten Karangasem ketika itu adalah Ida Bagus Pidada Adnyana yang di dukung oleh tokoh masyarakat seperti Ida Bagus Ketut Perang dan I Wayan Artha Dipa. Pemrakarsa menyampaikan rencana pembangunan pura ini kepada pemerintah sebagai pemegang kebijakan baik di tingkat Kabupaten Karangasem maupun provinsi Bali. Setelah bersepakat untuk membangun pura Jagatnatha, kemudian segala persiapan dilakukan dari mulai mencari lokasi pembangunan. Berawal penyiapan tanah di depan SMA Negeri 1 Amlapura ( lokasi Yayasan Yasa Kerthi). Namun lokasi tersebut kurang strategis karena tidak berada di pusat kota Amlapura, sehingga
12 | P u r a J a g a t n a t h a K a r a n g a s e m dipilih tempat bekas Kantor PMI dan Kolam Renang Lila Sakti untuk dijadikan lokasi pura Jagatnatha dibangun. Pada bulan-bulan awal di tahun 1994 sekitar bulan April dibentuk panitia pembangunan pura yang diketuai oleh Bapak I Wayan Artha Dipa dibantu oleh beberapa orang ketua, sekretaris, bendahara serta dilengkapi dengan seksi-seksi. Selanjutnya pemrakarsa melalui panitia minta kesediaan Ida Bagus Tugur salah satu arsitek ternama di Bali untuk membuatkan gambar disain bangunan Pura Jagatnatha dan sekaligus memimpin para undagi (ahli bangunan) untuk mengerjakan pembangunan pura tersebut bersama dengan para donatur yang nota bene para kontraktor yang memiliki perusahan di Kabupaten Karangasem antara lain Bapak Wayan Geredeg, Gusti Made Tusan, Pak Ketut Suwala, Pak Made Mustika Sari, Pak Ketut Budiasa dan Pak Sutha. Pembangunan Padmasana Pura Jagatnatha dikerjakan oleh Jro Mangku Dharma dari Pesangkan, Kecamatan Selat.
13 | P u r a J a g a t n a t h a K a r a n g a s e m Berkat kerja keras panitia dan para donatur akhirnya pembangunan Padmasana telah dapat diselesaikan dalam kurun waktu yang tidak terlalu lama. Ketika bangunan induk telah rampung maka rencana upacara besar karya mungkah melaspas dan segala rangkaiannyapun disiapkan oleh panitia dan para donatur yang secara ikhlas ikut meyadnya sekala dan niskala. Hari baik tentang upacara itu direncanakan akan dilaksanakan pada Purnama Ketiga yang jatuh pada tanggal 22 Agustus 1994, bertepatan dengan Soma Ribek Isaka warsa 1916. Bila dilihat rentang waktu perencanaan karya tersebut maka ada persiapan selama empat bulan. Namun kondisi saat itu pura Jagatnatha belum rampung seluruhnya. Maka kerja keras panitia dan para bhakta yang terlibat sebagai donatur berusaha dengan sekuat tenaga untuk menyelesaikan pembangunan pura Jagatnatha tersebut Akhirnya pada hari Senin, 22 Agustus 1994 dilangsungkan upacara pemelaspas untuk dapat dilangsungkan Piodalan yang pertama kalinya.
14 | P u r a J a g a t n a t h a K a r a n g a s e m Karya Pamelaspas pada purnama sasih Ketiga merupakan piodalan yang pertama kali di Pura Jagatnatha Karangasem. Yang bertindak selaku yajamana Karya saat itu adalah Ida Pedanda Gede Pasuruan dari Geria Kawan Sibetan, dan yang menjadi Tapini adalah Ida Pedanda Istri Mas dari Geria Buddhakeling dan Ida Pedanda Istri Karang dari geria Sibetan. Kemudian pura Jagatnatha diresmikan secara formal oleh Bapak Gubernur Bali yaitu Bapak Ida Bagus Oka dengan penanda tanganan prasasti Pura Jagatnatha. Biaya pembangunan pura ini selama dalam proses dikumpulkan dari para bhakta yang dihimpun oleh panitia pembangunan. Demikian juga tukang (undagi) bekerja dari aturan para bhakta serta keterlibatan masyarakat yang dengan ikhlas maturan punia sesuai dengan kemampuannya masing-masing. Pura Jagatnatha memakai nama spesial yang tidak dapat dipisahkan dari berbagai aspek konsepsi Hindu. Di antara pura-pura di Bali, Pura Jagatnatha juga diresmikan
15 | P u r a J a g a t n a t h a K a r a n g a s e m dengan melaksanakan upacara pemelaspas pada Purnamaning sasih ketiga. Pura Jagatnatha memiliki keunikan yaitu tidak adanya Pengempon(kelompok masyarakat yang mengelola pura ini). Sejak diresmikan, Pura Jagatnatha hanya memiliki beberapa orang yang mengelola dana mulai dari pembangunannya sampai untuk upacara sehari-hari. Pengelolaannya ditangani oleh Panitia Pembangunan Pura Jagatnatha dengan masyarakat Hindu lainnya. Dalam perkembangan selanjutnya pelaksanaan upacara ditangani oleh Panitia Karya/ Piodalan yang sesuai dengan surat keputusan Pemerintah Kabupaten Karangasem. Personel panitia Piodalan tersebut secara umum diambil dari Pemerintah Kabupaten Karangasem, Tokoh masyarakat, Majelis Desa Pakraman, Lembaga Umat Hindu dan pemerintah Kecamatan se Kabupaten Karangasem. Pura Jagatnatha didirikan menghadap ke barat sebagaimana umumnya pura-pura di Bali. Mengingat letaknya yang amat strategis, umat dengan mudah menemukan lokasi pura tersebut. Dengan bangunan
16 | P u r a J a g a t n a t h a K a r a n g a s e m pelinggih Padmasana yang menjulang tinggi, umat dengan mudah mengenali kekhasannya. Pemangku Pura Agung Jagatnatha Ida Bagus Mukur Muka mengatakan piodalan di pura ini berlangsung setiap tahun sekali tepatnya pada Purnama Sasih Ketiga. Upakara yang diaturkan dalam pujawali umumnya nyatur rebah dan di penataran Padmasana digelar Caru Panca Sata. Pelaksanaan pujawali dibiayai Pemerintah Kabupaten Karangasem, disamping aturan punia dari masyarakat pemedek. Selain saat piodalan, umat pedek tanggil ke Pura Jagatnatha setiap Purnama-Tilem. Umat juga melakukan persembahyangan saat hari-hari besar keagamaan seperti Galungan, Kuningan, Saraswati, Pagerwesi dan Siwaratri. Setiap Purnama-Tilem, persembahyangan dipuput Pemangku Pura Jagatnatha. Sedangkan pada saat pujawali (nyejer selama tiga hari), di-puput oleh sejumlah sulinggih yang ada di Kabupaten Karangasem dan sekitarnya.
17 | P u r a J a g a t n a t h a K a r a n g a s e m Pelinggih Di pura ini terdapat sebuah pelinggih Padmasana yang menjulang tinggi -- tingginya mencapai sekitar 20 meter. Di puncak Padmasana terdapat gambar Acintya.. Pelinggih Padmasana itu berdiri di tengah-tengah, dikelilingi kolam. Kolam yang ditumbuhi pohon teratai itu dihuni ikan ikan kecil. Di samping Padmasana, di pura itu terdapat dua pelinggih tajuk berdiri di kiri-kanan, depan Padmasana. Sementara pelinggih Pangrurah dan pelinggih Bhatara Rambut Sedana serta genah Penyucian berdiri di timur laut. Seperti umumnya Pura-pura yang lain, pada areal utama mandala juga dilengkapi dengan Bale Peselang, Bale Pewedaan, Bale Gegitan dan Bale Gong. Sedangkan di jaba Tengah madya mandala yang dibatasi dengan candi bentar dilengkapi dengan Pelinggih apit lawang,bale Kulkul, Pewargan, Lumbung dan bale genah metanding.
18 | P u r a J a g a t n a t h a K a r a n g a s e m Padmasana merupakan bangunan suci untuk menstana-kan Ida Sanghyang Widhi sebagai simbolis dan gambaran dari makrokosmos atau alam semesta (buana agung). Bangunan suci ini dapat dijumpai hampir di seluruh bangunan suci Hindu di Bali maupun di luar Bali — dari Pura Kawitan, Kahyangan Desa, Swagina, sampai Kahyangan Jagat. Bahkan, bangunan suci ini ditempatkan sebagai pelinggih utama. Namun, bangunan suci ini masih banyak menyimpan misteri simblolis dan filosofis yang perlu dikupas lebih dalam. Dalam Lontar “Dwijendra Tattwa” disebut, pelinggih berbentuk Padmasana dikembangkan oleh Danghyang Dwijendra, atau (nama lainnya) Danghyang Nirartha atau Pedanda Sakti Wawu Rauh. Dia datang ke Bali pada tahun 1489 M pada periode pemerintahan Dalem Waturenggong di Gelgel (1460-1550 M) dengan tujuan untuk menyempurnakan kehidupan agama di Bali. Sebelum kedatangannya, agama Hindu di Bali telah berkembang dengan baik — penduduk memuja Hyang Widhi terbatas dalam kedudukan-Nya secara horizontal. Ajaran itu diterima dari para maharsi yang
19 | P u r a J a g a t n a t h a K a r a n g a s e m datang ke Bali sejak abad ke-8, seperti Rsi Markandeya, Mpu Kuturan, Danghyang Siddimantra, Danghyang Manik Angkeran, Mpu Gnijaya, Mpu Sumeru, Mpu Ghana, dan Mpu Bharadah. Bentuk-bentuk pelinggih sebagai simbol atau niyasa ketika itu hanya Meru Tumpang Tiga, Kemulan Rong Tiga, Bebaturan, dan Gedong. Pura-pura di Bali pada saat itu tidak ada yang memakai Padmasana, kondisi ini sampai sekarang masih dijumpai terutama pada pura-pura kuno di Bali. Disebutkan, pada saat memasuki Pulau Bali, Danghyang Dwijendra masuk ke dalam mulut naga besar dan di dalamnya ia melihat bunga teratai sedang mekar tanpa sari. Hal ini menggambarkan, naga itu adalah Naga Anantabhoga yang merupakan simbol dari Pulau Bali. Agama Hindu sudah berkembang di Bali dengan baik tetapi pemujaan hanya ditujukan kepada dewa-dewa sebagai manifestasi Ida Sanghyang Widhi. Dewa-dewa inilah yang disimbolkan sebagai daun bunga teratai yang mekar tanpa sari. Danghyang Nirartha lalu menganjurkan penduduk Bali menambah bentuk pelinggih berupa Padmasana,
20 | P u r a J a g a t n a t h a K a r a n g a s e m menyempurnakan simbol (niyasa) yang mewujudkan Hyang Widhi secara lengkap ditinjau dari segi konsep horisontal maupun vertikal. Sehingga, pembangunan Padmasana dapat menjernihkan kekaburan yang terjadi secara fisik bangunan antara pelinggih pemujaan untuk Hyang Widhi dan pelinggih untuk roh suci leluhur yang terjadi saat itu. Sehingga kini, Padmasana dapat dijumpai di seluruh pura di Bali maupun luar Bali sebagai bangunan pelinggih utama. Makna dan Simbol Padmasana berasal dari bahasa Kawi, padma artinya bunga teratai, batin, atau pusat. Sedangkan asana artinya sikap duduk, tuntunan, nasihat, atau perintah (Prof. Drs. Wojowasito, 1977). Padmasana berarti tempat duduk dari teratai merah sebagai stana suci Tuhan Yang Maha Esa (I Made Titib, 2001). Berdasarkan dua pendapat ini, bahwa bunga teratai adalah simbol dari tempat duduk dari dewa-dewa dan Hyang Widhi sehingga Padmasana tidak lain dari gambaran alam
21 | P u r a J a g a t n a t h a K a r a n g a s e m semesta (makrokosmos) yang merupakan stana dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Dalam Lontar “Padma Bhuana”, Mpu Kuturan menyatakan bahwa Bali sebagai Padma Bhuwana. Bunga teratai (padma) dijadikan simbol alam semesta stana Hyang Widhi yang sebenarnya. Dalam Lontar “Dasa Nama Bunga” disebut, bunga teratai adalah rajanya bunga (Raja Kesuma) karena hidup di tiga alam — akarnya menancap di lumpur, batangnya di air, sedangkan daun dan bunganya di atas air (udara). Karenanya, bunga ini adalah simbol Tri Loka atau Tri Bhuwana Stana Hyang Widhi Wasa dan bunga daunnya yang berlapis-lapis sebagai perlambang dari sembilan arah penjuru mata angin alam semesta (I Ketut Wiana, 2004). Posisi padmasana adalah sikap duduk bersila dengan kedua telapak kaki dilipat ke atas, sehingga tampak seperti posisi yang berbentuk lingkaran. Mungkin ini tidak sesuai dengan apa yang terlihat di lapangan, bahkan pada bagian puncak Padmasana tampak berbentuk singhasana berbentuk kursi persegi empat. Hal
22 | P u r a J a g a t n a t h a K a r a n g a s e m ini akan terjawab kalau orang memperhatikan pesimpen pancadatu atau pedagingan yang ditanamkan di dasar, di madya, maupun di puncak dari Padmasana (Cudamani, 1998). Isi pedagingan pesimpen itu, terutama pedagingan puncak yang berbentuk padma terbuat dari emas, diletakkan paling atas di atas singhasana yang berbentuk kursi persegi empat ini. Karena ditanam, meskipun terletak di puncak, benda itu tidak terlihat dari luar. Rupanya pedagingan berbentuk padma dari emas inilah yang memberi nama bangunan itu sehingga bernama Padmasana — Dewa-dewa dan Ida Sang Hyang Widi bertahta di atasnya. Simbol dari Padmasana menggambarkan tingkatan alam yaitu Tri Loka (bhur, bwah dan swah). Hal ini terlihat dari Bhedawang Nala dengan dua naga (Anantabhoga dan Basuki) melambangkan alam bawah (bhur loka), badannya (padma termasuk singhasana) melambangkan atmosfer bumi (bwah loka). Sedangkan swah loka tidak dilukiskan dalam wujud bangunan tetapi di dalam pesimpen pedagingan yang berwujud padma
23 | P u r a J a g a t n a t h a K a r a n g a s e m dan di dalam puja yang dilukiskan dengan “Om Padmasana ya namah dan Om Dewa Pratistha ya namah.” Bentuk dan Fungsi Bentuk bangunan Padmasana serupa dengan candi yang dikembangkan dengan pepalihan. Padmasana tidak menggunakan atap. Bangunannya terdiri dari bagian-bagian kaki yang disebut tepas, badan atau batur dan kepala yang disebut sari. * Pada bagian kaki (dasar) terdapat ukiran berwujud Bedawang Nala (empas atau kura-kura) yang dibelit Naga Anantaboga dan Naga Basuki. Kemudian juga ada ukiran bunga teratai dan karang asti (gajah). * Pada bagian badan (tengah) terdapat ragam hias berupa pepalihan, karang goak, simbar, karang asti, burung garuda, angsa, dan patung dewa-dewa astadikpalaka (dewa-dewa penjaga kiblat arah angin) seperti Dewa Iswara (timur), Brahma (selatan), Mahadewa (barat), Wisnu (utara), Maeswara (tenggara), Rudra (barat daya),
24 | P u r a J a g a t n a t h a K a r a n g a s e m Sankara (barat laut) dan Sambhu (timur laut) dan dewa ini membawa senjata sesuai dengan atributnya. Ada juga Padmasana dengan burung garuda yang mendukung Dewa Wisnu membawa tirta amerta . * Pada bagian kepala (sari) terdapat singhasana yang diapit naga tatsaka yang terbuat dari batu padas yang diukir sesuai bentuknya. Pada belakangnya terdapat ulon yang bagian tengahnya terdapat ukiran lukisan Sang Hyang Acintya atau Sang Hyang Taya sebagai simbol perwujudan Ida Sang Hyang Widhi. Lukisan ini menggambarkan sikap tari dari dewa Siwa yang disebut dengan Siwa Natyaraja dalam menciptakan alam semesta. Fungsi utama Padmasana adalah sebagai tempat pemujaan Tuhan Yang Maha Esa. Di situlah Tuhan dipuja dalam fungsinya sebagai jiwa alam semesta (makrokosmos) dengan segala aspek kemahakuasaanya. Padmasana adalah niyasa atau simbol stana Hyang Widhi dengan berbagai sebutannya — Sanghyang Siwa Raditya (dalam manifestasi yang terlihat/dirasakan manusia sebagai matahari atau surya) dan Sanghyang Tri Purusa
25 | P u r a J a g a t n a t h a K a r a n g a s e m (dalam tiga manifestasi yang manunggal yaitu sebagai Siwa, Sada Siwa dan Parama Siwa). Di Pura Besakih ada Padmasana berjejer tiga, di situ di-stana-kan Parama Siwa (tengah), Sadasiwa (kanan) dan Sang Hyang Siwa (kiri). Memperhatikan makna niyasa tersebut, jelaslah bahwa makna Padmasana adalah niyasa yang digunakan Hindu dari sekte Siwa Sidhanta karena sentral manifestasi Hyang Widhi yang menjadi pujaan utama adalah sebagai Siwa. Danghyang Nirartha yang mengembangkan bentuk niyasa Padmasana adalah pandita dari kelompok Hindu sekte Siwa Sidhanta. Upacara / Piodalan Bertepatan dengan Purnama Sasih Katiga, dilaksanakan upacara piodalan di Pura Jagatnatha Karangasem. Prosesi ritual dipimpin Sulinggih dan dibantu oleh para Pemangku Pura Jagatnatha Setelah
26 | P u r a J a g a t n a t h a K a r a n g a s e m puncak piodalan, Ida Batara akan katuran nyejer selama tiga hari apabila dilangsungkan piodalan alit. Sedangkan kalau piodalan ageng yang dilaksanakan tiga tahun sekali dilengkapi dengan proses Melasti dan setelah Puncak akan nyejer selama sebelas hari. Upacara diawali prosesi nedunang dan ngiasin Ida Batara Jagatnatha. Upacara didukung kelengkapan bebanten/upakara menggunakan catur rebah dan sanggar surya dengan runtutan caru manca sato. Prosesi upacara pujawali diawali dengan pemujaan dari sulinggih, melakukan pembersihan, dan ngaturang pecaruan ayam manca dilanjutkan persembahyangan bersama.
27 | P u r a J a g a t n a t h a K a r a n g a s e m