The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by Hartanto Hadi, 2021-11-24 04:27:42

KUMPULAN CERPEN

KELAS XI IPS 20-21

Peran Orang Tua
Aaliyah A.T

Pada suatu hari hiduplah satu keluarga di Kota Jakarta. Keluarga ini berisi seorang
bapak, ibu, satu anak perempuan bernama Jasmine yang berumur 18 tahun, dan anak
laki-laki Shaka yang berumur 16 tahun. Keluarga ini seperti keluarga pada umumnya
namun bapak dan ibunya adalah pencinta kerja. Bapaknya adalah seorang pengusaha
dan ibunya adalah seorang pengacara. Dikarenakan pekerjaan bapak dan ibunya, orang
tua Jasmine dan Shaka jarang ada dirumah untuk mendampingi mereka.

Seumur hidup Jasmine dan Shaka, mereka besar dirawat dan diurus oleh para pembantu
yang dipekerjakan oleh bapak dan ibunya. Mereka tidak pernah kenal bapak dan ibunya
seperti apa, tidak pernah merasakan kasih sayang dari seorang ibu. Jasmine tumbuh
menjadi seorang anak yang introvert yang hanya dekat dengan adiknya dan Shaka
tumbuh menjadi seorang anak yang bisa dibilang tidak teratur. Percakapan mengenai
mengapa orang tuanya lebih memilih pekerjaannya dibanding anak-anaknya sendiri
sudah menjadi topik keseharian bagi Jasmine dan Shaka.

Suatu pagi saat jam sarapan, Jasmine dan Shaka turun dari kamar dan seperti biasa
sarapan sudah disediakan oleh para pembantu mereka. Namun, pagi ini ada yang
mengganjal. Adanya kehadiran kedua orang tua mereka mengejutkan Jasmine dan
Shaka. Hal ini adalah hal yang sangat tidak biasa bagi mereka. Jasmine pun bertanya, “
Ma, kenapa kok masih dirumah? “ “Iya,tumben banget.” Lanjut Shaka dengan harapan
orang tua nya dirumah karena ingin menghabiskan waktu bersama mereka. “ Supir kita
hari ini sakit jadi mama papa harus nyetir sendiri. “ jawab mama mereka dan mama papa
pergi kerja tanpa membuang waktu lagi. Rasa kekecewaaan tergambar jelas di muka
Jasmine dan Shaka. Sejak hari itu Shaka mendapat jawaban jelas untuk topik keseharian
mereka, alasan orang tua mereka lebih memilih pekerjaannya adalah karena mereka
lebih menyayangi pekerjaannya.

Shaka dan Jasmine pun berangkat sekolah hari itu menjalankan harinya seperti biasa.
Saat diperjalanan Shaka minta untuk diturunkan di parkiran dekat sekolah. Seperti biasa
Shaka berujung bolos sekolah untuk pergi ke tempat tongkrongannya dan Jasmine
sekolah seperti biasa. Pada hari itu tongkrongan Shaka sedang ramai-ramainya. Tepat
pukul 09.15 ada guru mendatangi tongkrongan Shaka melihat ada 15 siswa yang sedang
tertawa sambil merokok, ternyata ada yang membocori keberadaan mereka semua ke
pihak sekolah. Mereka semua pun dikawal ke sekolah untuk diberikan sanksi. Dari 15
siswa , Shaka mendapatkan hukuman paling berat. Ternyata ini sudah kesekian kali
Shaka ketahuan bolos sekolah dan melanggar aturan. Pihak sekolah pun memutuskan
untuk menghubungi orang tua Shaka.

Hari Jasmine pun juga berjalan seperti biasanya, ia sampai sekolah disambut oleh
sahabat satu-satunya yang bernama Iritha. Iritha adalah satu-satunya orang yang tahu
bahwa Jasmine suka dibully karena sikap diamnya, Iritha juga satu-satunya orang yang
berani membela Jasmine dan tidak takut sama para pembully Jasmine. Saat Jasmine

masuk kelas tidak membutuhkan waktu lama untuk geng pembully Jasmine datang dan
mengecoh barang-barang Jasmine, dan seperti biasa Jasmine hanya diam dan
menerimanya namun Iritha pun mulai melawan. Sebelum pertengkaran terjadi guru
pelajaran mereka sudah masuk. Saat bel pulang sekolah berbunyi, terdengar di halo-halo
bahwa Jasmine dipanggil oleh kepala sekolahnya. Jasmine pun terkejut dan mulai
berjalan ke arah ruang kepala sekolah. “Silahkan duduk Jasmine. “ Ujar kepala
sekolahnya. “Ada apa ya bu? “ Tanya Jasmine. “ Ibu mendapatkan laporan bahwa selama
ini kamu di bully oleh beberapa teman kelas kamu, apakah ini benar? “ Ternyata selama
ini ada teman sekelas Jasmine yang tidak tega melihatnya selalu dibully. “ Iya bu benar.
“ Karena Jasmine sudah tidak kuat akhirnya dia jujur mengenai situasi dia di sekolah.
Setelah mengobrol secara detail kepala sekolah Jasmine memutuskan untuk
menghubungi orang tua Jasmine.

Orang tua Jasmine dan Shaka sedang di kantor saat mereka di hubungi oleh guru Shaka
dan kepala sekolah Jasmine. Orang tuanya tentu terkejut sekali saat mendengar kabar-
kabar dari pihak sekolah mereka berdua dan memutuskan untuk pulang cepat ke rumah
hari itu agar dapat bertemu anak-anaknya. Saat Jasmine dan Shaka sampai rumah
disambut oleh pembantunya yang memberi tahu bahwa mereka sudah ditunggu oleh
orang tuanya di ruang keluarga. Mendengarnya Jasmine dan Shaka pun terkejut dan
menuju ke ruang keluarga melihat bapak dan ibu mereka sudah duduk di sofa tanpa
handphone mereka. “ Shaka Jasmine silahkan kalian duduk, mama dan papa ingin
bertanya. “ ujar bapak mereka. “ Hari ini mama dan papa masing-masing mendapatkan
kabar mengenai kalian di sekolah, mama yakin kalian sudah tau apa kabarnya. Apakah
kabar-kabar ini benar? “ Tanya mama mereka. Jasmine dan Shaka serentak menjawab
“ Iya, benar ma pa. “ Bapak dan ibunya sudah menatap mereka dengan tatapan marah
dan kecewa menunggu penjelasan dari anak-anaknya.

Shaka yang sudah penuh amarah pun memulai penjelasannya “ Mama dan papa mau
tau kenapa Shaka gini? Shaka mau mama papa sadar kalau Shaka butuh kehadiran
mama papa dihidup Shaka. Shaka bertingkah seperti ini karena Shaka mau perhatian
mama papa, tapi apa mama papa pernah peduli sebelum titik ini? tidak. Kak Jasmine ga
pernah mau cerita ke mama papa kalau dia dibully di sekolah karena Kak Jasmine tau
semua itu sia-sia. Mama dan papa ga akan ada untuk kita berdua atau bahkan untuk
meluangkan sedikit waktu untuk kita aja ga bisa. Mama papa pergi pagi dan pulang pagi.
Kita ga butuh ma pa semua ini, kita butuh orang tua kita. “ Bapak ibunya pun terkejut
mendengar penjelasan Shaka. Tatapan marah dan kecewa mereka pun berubah menjadi
tatapan kesedihan. Orang tua mereka sadar bahwa anak mereka lebih penting dari
pekerjaan mereka.

Sejak hari itu bapak dan ibu mereka berjanji untuk membagi waktu untuk keluarganya.
Jasmine dan Shaka mulai terbuka ke orang tuanya dan mereka menyukai tradisi baru
mereka yaitu setiap Hari Minggu dijadikan hari keluarga dan setiap hari sarapan dan
makan malam harus bersama-sama. Shaka pun sudah tidak pernah bolos sekolah dan
Jasmine mulai percaya diri dan mempunyai banyak teman. Semua berkat orang tuanya
yang bisa membagi waktu untuk berperan dalam hidup anak-anaknya.

PELUANG KEDUA

Amee XI IPS 1

“Kau akan tidur selama-lamanya”.

Aruna terangkat dari tempat tidur, keringat menetes dari wajahnya.

Aruna tidak pernah terlalu memikirkan tentang kehidupan dan kematian, dia
menganggapnya

hanya sebagai tidur panjang atau kabel yang secara tidak sengaja terputus oleh kekuatan
yang

tidak diketahui, tapi kali ini, itu adalah satu-satunya hal yang menghuni kepalanya.

Waktunya sarapan, menyenangkan sekali. Dua lapisan roti dan setoples Nutella adalah
satu-

satunya hal yang mengisinya di pagi hari, dan segelas air putih. Dapurnya berdekatan
dengan

kamar tidur dia, tidak ada dinding yang memisahkan mereka. Dia tinggal di kosan
seharga Rp

1.750.000 sebulan, berbagi dengan seorang stoner yang menghamburkan uang untuk
hal-hal

yang paling tidak berguna, paling tidak dia bisa memberimu sesuatu untuk membungkam

omong kosong ini.

Setelah selesainya sarapan, Aruna biasanya mulai bersiap-siap bekerja, muak dengan
wajah

pelanggan yang memprotes bahwa bistik mereka sangat tidak berbumbu. Ini telah
menjadi

siklus depresi yang tak ada habisnya, tapi setidaknya bisa menghasilkan uang.
“Gue pergi dulu ya, jangan lupa buangin sampahnya,” Aruna bilang kepada teman
kosannya,

dan tutup pintu depannya.

Saat Aruna berjalan ke restoran, ia mencolokkan headphone ke smartphone-nya, lalu

memasangnya di telinganya, menenggelamkan suara apa pun yang tidak ingin dia
fokuskan.

Mungkin ia mendengarkan lagu dari Interpol atau Grizzly Bear, band yang sangat dia
dengarkan

sekarang.

tapi kemudian,

BRAK!

Kepala berdenyut-denyut kesakitan, darah mengucur setiap detiknya, Aruna merasa ini
terakhir

kalinya Ia memandang indahnya langit biru.

"Ucapkan selamat tinggal pada bumi tercinta, Aruna. Kamu tidak akan pernah bisa
merasakan

kakimu di tanah lagi," sebuah suara tanpa tubuh bergema.

Empat dinding putih bertemu dengan mata Aruna, bahkan membutakannya. Ia dengan
panik

menatap setiap sudut ruangan, akhirnya menyadari bahwa dia sedang berbaring di
tempat

tidur, Tapi Aruna masih belum punya jawaban kenapa dia ada disini.

Lalu dia ingat,
“Aku mati,” bisik Aruna pada diri sendirinya.

Tiba-tiba, sebuah pintu muncul di depannya. Aruna akhirnya melangkah keluar ruangan
setelah

terperangah sekian lama, Aruna akhirnya melangkah ke luar ruangan setelah
terperangah

sekian lama, berharap seseorang (atau sesuatu) bisa menjelaskan tentang semua ini.

"ah, akhirnya kau di sini," kata seseorang, duduk di depan kursi kosong di
atas meja untuk dua

orang. "Silakan, duduk. Banyak yang harus kita bicarakan".
“siapa kamu?” Aruna tanya dengan nada agresif, dengan sedikit hiperventilasi. Dia
menatapnya

dari atas ke bawah, mempelajari (kurangnya) pilihan pakaiannya. Orang asing ini
mengenakan

setelan serba putih, dengan sepatu bot hitam legam, masih bingung tujuannya pelancong
ini.
“Anggap saja, saya seorang penasihat.” Orang ini bilang.
“Penasihat apa? Dimana saya sekarang?” Aruna tanya dengan tegas.
“Oh, kamu belum menyadarinya? Saya pikir Anda lebih baik dari itu,”

“Katakan saja padaku dimana aku,” dengan nada lelah.
“Anda berada di surga, sayangku. Nah ... Anda ada di daftar tunggu.”
“Jangan bohongi aku,”
“Apakah Anda ingat di mana Anda terakhir kali?”
“Uuuhhh…” Aruna melamun, mengingatkan apa yang ia lakukan sebelum sampai kesini.
“Aku
mati, kan?”
“Iya! Baik sekali. Pikir Anda akan mengalami amnesia ketika kepala Anda hancur,” orang
asing

ini katanya sambil mendesah lega, sedikit lucu.

Dia membuka file yang berisi informasi Aruna, kebanyakan berfokus pada kematiannya
dan

bagaimana Ia memandang kematian.

“Oke tapi, kenapa saya disini?” Aruna tiba-tiba menanyakan pertanyaan itu.
“Nah, seperti yang Anda tahu, Anda sudah mati. Dan kami, Menteri Alam Baka, memiliki
tugas
untuk menyortir orang apakah mereka akan pergi ke surga atau neraka.”

Aruna terperangah, apa sih yang dia bicarakan?
“Saya dengar bahwa Anda mengatakan bahwa Anda tidak terlalu peduli tentang
kehidupan
setelah kematian, menganggapnya hanya sebagai tidur panjang.”
“Yah, saya tidak pernah benar-benar memikirkannya, tidak pernah benar-benar peduli,
sebenarnya.” Aruna berbicara kembali, dengan kewaspadaannya.
“Tapi, pernahkah Anda berpikir tentang apa pengaruhnya terhadap orang yang Anda
cintai?
Teman? Bahkan kolega Anda?” orang asing itu memohon.
“Ya, tapi tidak ada yang benar-benar peduli padaku. Orangtua saya…” Aruna bahkan
tidak ingin
berpikir untuk melanjutkan kalimat itu, itu hanya akan membuatnya kesakitan. “Saya tidak

benar-benar menerima cinta jenis apa pun lagi, berpikir saya tidak pantas
mendapatkannya
setelah itu terjadi,”

“Tapi apakah Anda sudah mempertimbangkan teman Anda—”
“Aku udah bilang aku tidak punya!" Aruna membanting meja. Dan pada titik ini,
Aruna dan

orang asing itu semakin bingung dari menit ke menit, tetapi karena alasan yang sangat
berbeda

masing-masing. Ini masalahnya, baik pandangan dan prinsip mereka sangat tolak balik,
yang

satu optimis dan yang lainnya pesimis, dan kita semua tahu yang mana. Jadi sulit bagi
menteri

ini untuk meyakinkan Aruna agar lebih penuh harapan dan penuh kehidupan.
“Oke, saya tidak akan mengatakan apa-apa tentang masa kecil Anda dan apa yang harus
Anda

lakukan, saya tidak akan mendikte Anda seperti itu. Sebagai gantinya, aku akan
memberimu ...
kesempatan kedua,” Menteri Alam Baka ini bilang. “Tapi saya akan mengatakan ini,
membuatnya menjadi yang terbaik.”

SNAP!

Liburan Musim Panas
Anissa Azzahra

Pada siang itu semua berkumpul di kantin sekolah SMA Harapan, Kayra, Gani,
Farhan, Emma, dan Raihan sedang membahas apa yang akan mereka lakukan
pada liburan musim panas tahun 2020. “Kay, kamu ada usul kemana gitu gakk?”
tanya Emma, “Gak tau nih, aku sih pengennya kita nginep di villa punya keluarga
ku aja” sahut Kayra. Tiba tiba Farhan berbisik kepada Raihan tapi tanpa di sadari
oleh Farhan yang lain masih bisa mendengar bisikan tersebut, “Ah males ke villa
keluarga kay, nanti ada si buruk rupa Nayra itu lagi” bisik Farhan, detik itu juga
muka Kayra langsung berubah menjadi sedih, saudara kandungnya, Nayra sering
kali di bully oleh teman temannya karna wajahnya memiliki bekas luka yang
cukup parah akibat kejadian beberapa tahun lalu saat terjadi kebakaran di lab
kimia sekolah tersebut, karna mendengar hal tersebut teman teman yang lain
langsung tertawa, sedangkan Kayra hanya tersenyum miris.Tanpa mereka sadari,
ada yang mendengar ucapan mereka sehingga menimbulkan rasa dendam yang
sangat amat dalam.
Akhirnya mereka semua memutuskan untuk mengiyakan ajakan Kayra untuk
menginap di villa keluarganya karena sudah tidak ada yang memiliki usul yang
cukup seru dan mengingat betapa indah dan asrinya lingkungan villa milik
keluarga Kayra tersebut, Villa itu juga dekat dengan air terjun yang indah dan
jernih. Mereka semua memutuskan untuk berangkat hari sabtu dan kembali pada
hari Selasa sore. Hari yang mereka tunggu tunggu pun datang, pada pukul 06.00
Pagi mereka sudah berkumpul di rumah Kayra untuk berangkat bersama menuju
Villa tersebut. “Kay, si jelek mana?” Kata Farhan, Kayra pun bingung dengan
pertanyaan tersebut, “Siapa maksudnya?” jawab Kayra, “Itu si Nayra” ucap
Farhan kembali, Kayra pun yang mendengar jawaban tersebut tercengang dan
dibuat tak habis pikir oleh omongan Farhan tersebut, “jahat sekali mulut Farhan
berani ngomong seperti itu di depanku” pikirnya dalam hati, raut wajahnya
langsung berubah tidak enak, “Bisa gak sih gak usah ngomong kayak gitu?

bagaimana pun juga dia tetap saudara kandung ku, lagian itukan kecelakaan,
walaupun luarnya seperti itu, hati nya tetap baik kok, gak kaya kamu!” Sahut
Kayra marah. Semua yang ada disana dibuat diam oleh ucapan Nayra, kalau sudah
bersangkutan dengan adiknya dan menurutnya berlebihan dia tak akan main main,
emosinya akan meningkat jika mengingat kejadian itu, karna sampai sekarang pun
si pelaku yang membakar lab kimia tersebut belum juga ketahuan. Akhirnya
Farhan meminta maaf atas ucapannya tersebut kepada Kayra, dia mengaku hanya
asal bicara. Pada pukul 07.00 Pagi mereka pun berangkat ke Villa tersebut, butuh
waktu 3 jam untuk sampai di tempat tujuan mengingat jalanan yang padat karna

sedang waktu liburan, di mobil mereka tertawa dan bernyanyi bersama sama,
melupakan masalah yang terjadi pagi itu.
Di lain sisi, Nayra yang sudah cukup sabar mendengar bullyan teman teman
kakaknya itu sudah tidak kuat lagi, dia memutuskan untuk balas dendam, dia rela
melakukan apapun untuk mereka mereka yang membully nya merasakan rasa
sakit yang dia rasakan, diam diam Nayra pun menyusun rencana untuk
menghancurkan perjalanan kakak dan teman teman kakaknya tersebut.
Setelah sampai di Villa, Gani yang sangat ingin buang air kecil langsung berlari
ke kamar mandi di lantai bawah, yang lainnya pun sibuk memilih kamar dan
membenahi barang barangnya, di villa tersebut hanya ada 1 lantai, 3 kamar tidur,
3 kamar mandi, ruang keluarga yang cukup besar serta dapur yang tentunya juga
sangat luas, dan kolam renang yang berada di halaman belakang villa tersebut.
Kayra, Emma dan Gani memilih kamar yang memiliki kamar mandi dalamnya,
sedangkan Raihan dan Farhan mau tidak mau harus menempati kamar yang tidak
ada kamar mandinya, karna kamar lain yang memiliki kamar mandi di dalamnya
hanyalan kamar tidur orang tua Kayra, sehingga tidak mungkin untuk mereka
menempati kamar tersebut, walaupun sebenarnya kamar mandi luarnya juga
cukup dekat dengan mereka, tetapi mereka tetap kesal karna kalah cepat dengan
para cewe cewe itu. Mereka menghabiskan waktu untuk bersantai santai siang itu,
hingga malam hari tiba, mereka memutuskan untuk nonton film Raditya Dika

yang berjudul Hangout, film tersebut bertemakan komedi triler, mereka menonton
film tersebut dengan cemilan di tangan mereka masing masing, tiba tiba Gani
berkata, “Gimana ya kalau itu kejadian sama kita, kan tempatnya sama sama di
villa, hiiih” ucap Gani sambil bergidik ngeri, “Hush Gani, aku kan jadi takut”
ucap Emma, “Haha dasar perempuan penakut, mana mungkin kejadian, lagian
kalaupun kejadian pasti kalian yang akan dihabisi duluan oleh si pembunuh” ucap
Farhan sambil tertawa, Raihan yang mendengar itu pun menanggapi, “Tapi gak
boleh takabur juga tau, namanya orang jahat, gak ada yang tau” ucap Raihan
sambil mengedikan bahu, “Bener tuhh, dengerin kata Raihan” ucap Kayra
membela. Mereka akhirnya fokus kembali kepada layar besar di depannya itu.
Pada pukul 01.00 Pagi, Farhan yang sedang mengambil minum di kulkas teriak
menjerit “ AAA temen temen! siniii cepet!” serunya, teman temannya yang
mendengar hal tersebut terkejut dan lari menghampiri Farhan, saat mereka semua
sampai mereka terkejut meliat kaca jendela daput sudah pecah, dan ada surat
disana yang bertuliskan “Aku memperhatikan setiap gerak gerik kalian,tunggu
saja waktunya, aku akan datang”. Farhan langsung menuduh teman temannya,
“Ayo ngaku gak?! siapa sih yang iseng buat ginian, kalian mau ngerjain aku
kan?!” tuduhnya, “Yaampun Far, dari tadi kan kita semua di ruang tengah, kamu
tau sendiri gak ada yang bergerak dari sana saking serunya film tadi.” ucap Kayra,
“Kamu kali han yang mau nakut nakutin kita!” Ucap Gani, Farhan bersumpah dia
tidak melakukn itu, lalu siapa?
Keesokan paginya, mereka semua melupakan kejadian tadi malam dan
menganggap itu hanya orang iseng dan tidak ingin ambil pusing. Pagi itu mereka

sarapan bersama di meja makan, “Guys kalian ada yang mau ikut aku ke air terjun
deket sini?” tanya Farhan lalu disusul oleh penolakan dari beberapa temannya itu
dengan alasan air yang terlalu dingin. Pada akhirnya Farhan pergi ke air terjun
tersebut sendiri, tanpa ia sadari ada yang mengikutinnya dan berniat untuk
membalaskan dendamnya. Farhan yang sedang asik berenang di air terjun terkejut
saat melihat ada yang berdiri di pinggiran air terjun, “Loh kamu kok ada disini?!”

kata Farhan terkejut. “Farhan, kamu tau gak sebrapa sakit hatinya aku, setiap kali
kamu mencemooh aku dan mempermalukan ku di depan temen temen mu, tau gak
kamu seberapa dendamnya aku sama kamu?” Kata perempuan tersebut “mma-
maaf Nayra, aku gak bermaksud, aku hanya berniat untuk bercanda, sumpah
maafkan aku!” jawab Farhan terbata bata. Ya Nayra lah yang berdiri di pinggiran
air terjun tersebut, semakin lama Nayra semakin mendekat kearah Farhan, “Ini
untuk semua dendamku Han” ucap Nayra, tanpa memberi kesempatan Farhan
untuk berbicara Nayra sudah menancapkan pisau tajam tepat di perut Farhan,
Farhan yang sudah tidak berdaya ditinggalkan begitu saja oleh Nayra, dia merasa
puas karna dendamnya sudah terbalaskan.
Di sisi lain, “Si Farhan dimana ya? dia udah 3 jam loh di air terjun, kelamaan
main air emang gak mengkerut ya kulit nya?” Tanya Kayra dan di balas tawaan
oleh teman temannya, “Iya juga ya lama banget loh dia, kita susul aja kali ya?
mumpung belum terlalu sore.” Jawab Gani. Akhirnya mereka semua menyusuli
Farhan, saat sampai di air terjun semua dikejutkan oleh tubuh Farhan yang sudah
tergeletak di pinggiran air terjun, “ Ii-ituuu Farhan kenapa?!” pekik Emma,
“TELEFON AMBULANS!” teriak Raihan sambil berlari untuk memeriksa denyut
nadi Farhan. Saat di perikasa denyut nadi Farhan masih terasa, Farhan langsung di
bawa ke vila yang mereka tempati beruntung karna vila tersebut tidak terlalu jauh
dari air terjun. Kayra sibuk menelfon ambulans sedangkan yang lain membantu
Raihan untuk membawa Farhan ke vila, saat sampai di vila ambulans sudah
menunggu di pekarangan vila tersebut, Farhan langsung di bawa ke rumah sakit
terdekat. Tidak ada yang ikut nik ambulans bersama Farhan karna mereka semua
masih harus mengurus barang barang yang ada di vila, mereka berniat untuk
menyusul Farhan sehabis mengemaskan barang di vila, betapa terkejutnya mereka
ketika melihat ada Nayra yang sedang mencuci pisau di dapur dengan baju penuh
darah. Kayra yang merupakan saudara kandung Nayra langsung mempunyai
perasaan buruk bahwa Nayra lah yang melakukan hal kejam tersebut kepada
Farhan. “Nay kok kamu penuh darah kaya gitu?!” teriak Kayra, Nayra yang
menyadari bahwa dia sudah tertangkap basah langsung berusaha melarikan diri

tapi dengan cepat Raihan menahannya, “Duduk Nay, kamu jelasin semua ke
kami” kata Gani. Nayra menyerah dan duduk di ruang tengah bersama yang
lainnya. “Cerita Nay, jujur sama kami, aku tau kamu yang ngelakuin ini, tapi
kenapa?” Tanya Kayra lirih, Nayra pun menundukan kepalanya dan menjawab
“Maafin aku Kay,Em,Gan,Han, tapi aku udah gak tahan semua yang dilakuin
sama Farhan itu menurut aku keterlaluan, udah 2 tahun aku di kata katain terus
sama dia, di permalukan di depan temen temenku, di depan satu sekolah. Aku
sakit hati banget, enggak ada hari tanpa ejekan dari Farhan, aku gak sanggup kaya
gini terus, aku mau Farhan mati aja Kay.” Semua yang di ruangan tersebut diam,

bingung tidak tahu harus menjawab apa, kecuali Raihan yang sudah sangat gemas
dengan ulah Nayra, “Gila ya kamu?! Gimanapun juga yang kamu lakuin itu
salah!” teriak Raihan dibalas teriakan balik dari Nayra “Kamu gak ngerasain apa
yang aku rasain Han! Tiap hari aku ngalamin itu semua, dan gak tau harus cerita
kemana.” Kayra sudah tidak kuat menahan air matanya, “Nay, kamu bias cerita
sama aku apapun itu, dan bener kata Raihan mau bagaimana pun yang kamu
lakuin itu salah, kamu bias bicara baik baik sama aku atau sama Farhan enggak
perlu dengan cara yang jahat kaya gini” kata kayra sambil terisak. Kayra dan
Nayra langsung berpelukan, “Nay, aku sayang kamu, kamu adik aku yang paling
aku saying tapi seperti apa yang aku bilang tadi, yang kamu lakuin itu salah, aku
harus laporin kamu ke polisi” kata Kayra lirih, “Iya kay gak papa laporin aja,
maafin aku ya semuanya, tolong sampaikan juga ke Farhan untuk tidak
mengulangi apa yang dia lakukan ke aku ke orang lain ya, karna kita gak tau
apakah perkataan tersebut menyakiti hati orang tersebut atau tidak, walaupun kita
hanya menganggap hal itu bercanda, hati hati lah dalam berbicara.”

SELESAI
Raja Sombong.
Argya P

Suatu hari ada seorang anak yang bernama Ben Izakiel yang biasa dipanggil ben,Dia
tinggal

Bersama ibunya ia sangat miskin dan pemalas,kerjaanya hanya merepotkan ibunya dia
tidak

mau bekerja untuk kebutuhan hidupnya.Ibunya sangat berkerja keras untuk menafkahi

keluarganya dan ben hanya di rumah sambil bermalas-malasan.Suatu saat tiba-tiba ben

menghilangan dan ibunya pun panik mencari anaknya yang tiba-tiba tidak ada di rumah

sudah mencari kemana-kemari tapi tidak ada,malam pun tiba ben pun tidak kunjung

datang,ibu pun menangis tiba-tiba ada seseorang yang mengetuk pintu rumah.di bukalah

pintu tersebut dan ternyata itu adalah ben,ibu pun memeluk sangat keras dan berkata:
“Ben,kamu darimana saja ? ibu nyari kamu kemana-mana tapi tidak ada”

Ben pun berkata
“Aku sudah muak bu”,kata si ben.
Ibu pun terkejut.”Muak kenapa ben?.”
“Aku sudah muak melihat ibu yang setiap hari bekerja terus tanpa henti,
Sudah saatnya aku yang bekerja dan ibu dirumah.”
Ibu langsung jatuh dan menangis mendengar ucapan si ben yang ingin berusaha bekerja

keras.Pagi pun tiba terlihat jam yang menunjukan pukul 06:00 ibu pergi ke dapur untuk

menyiapkan sebutir nasi untuk bekalnya ben. Ben pun bersiap untuk berangkat

bekerja,ibunya menghampiri ben dan berkata:
“Ben,kamu kerja yang giat ya,jadilah orang yang baik yang selalu membantu orang lain
tanpa
merasa dihargai.karna yakinlah kebaikan mu akan Kembali padamu suatu saat nanti.”

Ben pun berangkat.Sekian lama waktu berjalan ben sudah beranjak dewasa umurnya
20an

lah,tapi semenjak ben bekerja di tempat ia berada perilaku ben berubah drastis apalagi

dengan ibunya. Setiap ben pulang psti dengan keadaan mabuk berat tapi sang ibu tidak

memarahinya karena ibu tau ben kelelahan butuh bersantai juga.Berulang kali seperti itu

kerja,pulang,mabuk setiap hari ben hanya melakukan itu tak lama kemudian ibu ben jatuh

sakit dan dibawa ke dokter untungnya ben mempunyai cukup uang untuk membayar
ibunya

tetapi penyakitnya yang tidak dapat di hindarkan.Ternyata ibu terkena penyakit arteri
coroner

yang tidak dapat disembuhkan dan ibu pun meninggal.Ben menjadi frustasi,stress,tukang

mabuk,dan dia kehilangan pekerjaannya karena tidak masuk kerja. 2 Tahun berlalu ben

menjadi pengangguran kerjaannya hanya di rumah tidur,makan,mabuk.Sampai akhirnya

uangnya habis.Dan ben sudah tidak tau ingin melakukan apa akhirnya ben memutuskan
untuk

merantau mencari pekerjaan dan sekalian untuk mencari perdamaian,waktu sudah
berlalu

akhirnya ben memiliki tempat tinggal baru di timur.sekian lama ia merantau sifat ben

berubah menjadi seorang yang sangat baik dia sangat di hormati di wilayahnya.sudah 4
tahun

dia tinggal menjadi pendeta kedamaian ben berpikir untuk Kembali ke kota asalnya dan
ingin

membuka usaha yang halal.berangkatlah ben pergi ke kotanya,di jalan ia bertemu
dengan

kakek tua yang lagi berjualan,karena ben orang yang baik dibelilah jualan sang kakek
sehabis

itu tiba-tiba sang kakek membisikan sesuatu kepada ben.

Sesudah membeli ben sangat kasian kepada kakek teresebut dan akhirnya ben beryanya
“Pak,apa bapak baik-baik saja?.”kata ben
Tiba-tiba kakek tersebut tertawa “Hahahaha,jangan pedulikan kakek tua seperti ku jalan
mu
masi Panjang pergilah masa depan sudah menunggu.”

Ben terkejut dan ben megikuti kata kakek tersebut.Sudah 2 hari ben mencari tempat
tinggal

baru di kotanya, saat ben sedang berjalan tanpa disengaja ben bertemu teman lamanya
saat

kerja dulu yang bernama adam dan ben menceritakan semuanya akhirnya adam mau

memberikan temapt tinggal untuk ben dan mereka menjadi sahabat.pada suatu hari ben
tiba-

tiba berpikir untuk membuat sebuah kedai untuk orang-orang pekerja bangunan karena
dia

melihat oaring yang bekerja di temapt bangunan jarang makan.adam pun setuju dan
membatu

ben membuat sebuah kedai dan ternyata laku bukan cuman pekerja saja yang
membelinya

tetapi orang-orang sekitar juga ingin membelinya dan akhirya mereka berdua membuat
rumah makan yang bernama “Aben” adam-ben. Sudah 3 tahun toko itu berjalan dan tidak
ada

kata sepi untuk rumah makan aben walaupun badai menerjang petir yang menyambar
semua

orang tetap mengantri untuk makan di aben.sampai suatu saat karena ben sudah kaya
sifatnya

pun berubah lagi dia menjadi egois,sombong,dll.dan karena adam dan karyawan sudah
tidak

tahan lagi dengan. Ben yang setiap hari menjengkelkan ben diusir dari bisinis tersebut
dan

karena dia tidak punya uang lagi ben pun meninggal dunia dan TAMAAT.Ternyata
sewaktu
ben berjalan pergi ke kotanya ben bertemu seorang kakek yang membisikan “Hati-
Hati,saat

kau sudah bisa mencapai sesuatu yang kaun inginkan kau bisa berubah menjadi seorang
yang di benci.”

Ben 1998-2020

Salam perpisahan

Trauma
Oleh: Arsenio Karyanto

Aku membuka mataku secara perlahan sebaring dengan cahaya terang
yang menyinari mataku. Aku tidak bisa melihat apa-apa kecuali siluet orang yang
berada di atas ku. Aku dibantu duduk oleh orang tersebut. “Aaron lu akhirnya
bangun!” Aku mengenali suara itu dimana-mana. Mataku mulai fokus dan dugaan
ku benar, dia adalah teman masa kecil ku Amara, tapi nama panggilannya Ama.
“Gue kira lu gak bakal bangun-bangun soalnya gw udah goyang-goyangin lu lama
banget tapi lu gak ban-“ “Kita dimana?” aku memotong Ama. “Jujur, gw gak tau
kita dimana.” Sepertinya Ama juga sama bingungnya seperti aku. Aku
memperhatikan sekitar kita. Ruangan ini hanya memiliki 1 bohlam sebagai
sumber cahaya dan 1 pintu di ujung ruangan. “Pintu itu kekunci gak?” aku
bertanya ke Ama. “Iya, gw udah coba cari jalan keluar tapi rasanya kita cuma di
dalem box besi yang jalan keluarnya pintu itu doang.” Aku terdiam, berusaha
mengingat apa yang aku lakukan sampai bisa di ruangan ini, terjebak bersama
Ama. “Aaron? Lu gapapa?” aku kaget, tidak sadar bahwa aku dari tadi hanya
melamun. “Iya, iya, gue gapapa. Tapi Ama, lu inget gak sebelum kita terjebak lu
lagi ngapain.” Ama terdiam memikirkan tentang pertanyanku. “Setelah gw pikir-
pikir, gw gak inget apa-apa.” Suara siren berbunyi sangat kencang hingga kita
terkejut. “A-Aaron, ini kenapa?” Ama berpegangan ke tangan ku ketakutan “gak
tau, tapi gak mungkin bagus kan?” aku sudah mulai pasrah. Setelah sekitar 8 detik
siren berbunyi, pintu ruangan kita terbuka. Aku terkejut, begitu pula Ama. Kita
ragu-ragu untuk keluar, takut akan apa yang berada di balik pintu tersebut. “Kita
mau keluar?” aku bertanya kepada Ama, ragu-ragu “oke, barengan ya,” Ama
menjawab ku dengan suara ragu. Kita berdua keluar dari ruangan dan tidak
menyangka apapun yang berada di luar sini.

Hal pertama yang aku lihat adalah meja bundar yang terletak di tengah
ruangan dan terlihat terbuat dari keramik dengan kursi-kursi mengelilinginya.

Setelah aku hitung ada 12 kursi. Ruangan ini berbentuk lingkaran dengan ukuran

yang tidak besar maupun kecil. Ada banyak pintu yang mengelilingi tembok
ruangan ini. Total ada 6 pintu termasuk pintu kita. Anehnya, hanya pintu kita
yang terbuka. “Aaron, ini ruangan apa?” “gue gak tau, tapi kenapa ada banyak
kursi?” “Mungkin bukan kita doang yang terperangkap” Ama menjawab. Silahkan
duduk di kursi dengan nama kalian. Tiba-tiba ada suara yang keluar. Kita berdua
terkejut dan ragu-ragu pada awalnya, tetapi Ama menemukan kursi dengan nama
kita dan kita berdua duduk. Ruangan hening hingga tiba-tiba ada suara alarm yang
berbunyi dan salah satu pintu di sebelah kursi Ama terbuka. Kita penasaran siapa
atau apa yang akan keluar dari ruangan itu. Aku kaget saat melihat siapa orang
tersebut. “Clyde?!” “Aaron!” Aku berdiri dari kursi ku tetapi aku langsung
merasakan sakit dari dalam tubuhku. Rasanya panas, dan tidak seperti rasa sakit
yang pernah aku rasakan. Aku tidak bisa mendeskripsikannya kecuali dengan kata
sakit. Aku langsung terjatuh di lantai, tidak bisa menahan rasa sakit ini. Silahkan
duduk di kursi dengan nama kalian. Suara itu berbunyi lagi. “Aaron, lu gak
papa?!” Clyde menghampiri ku. “Aaron!” Aku mendengar suara Ama memanggil
nama ku. Aku mendengar suara Ama yang merintih kesakitan. Aku dibantu Clyde
kembali ke kursi ku. “Lu gak papa?” Aku tidak bisa menjawab Clyde. Rasa sakit
yang aku rasakan benar-benar menguras tenaga yang ada di dalam tubuhku. Aku
tidak bisa apa-apa kecuali hanya duduk. Aku melihat ke arah Ama. Sepertinya dia
juga habis merasakan sakit yang aku rasakan. “Sepertinya, kita tidak boleh berdiri
dari kursi kita,” aku mendengar suara yang aku tidak kenal. Aku melihat ke arah
suara tersebut, untuk melihat siapa yang mengatakannya. Dia adalah orang yang
cukup tampan. Dengan postur dan proposi badan yang bagus, kulit seputih susu,
dan rambut yang berwarna orange. “Oh iya, ini Cole dari grup X-2. Grup dia
lumayan terkenal sih,” aku hanya bisa mengangguk, masih tidak punya tenaga
untuk berbicara. “Aku Amara, tapi biasa dipanggil Ama,” “Aku Clyde,” “Salam
kenal Ama.” Clyde dan Cole duduk di kursi mereka masing-masing. Cole
kebetulan duduk di samping ku. Setelah itu, Ama, Clyde dan Cole tetap berbicara,

sedangkan aku hanya bisa duduk diam. “Makasih Cole udah ngebantuin gue tadi.
Gue gak nyangka bakalan nyetrum kita kayak gitu,” “Iya, sama-sama. By the way,
Clyde sama Aaron saling kenal?” “Iya, kita sahabat dan kita juga pergi di sekolah

yang sama. Aaron sama Ama juga saling kenal?” Clyde bertanya ke Ama. “Iya,
orangtua kita deket, jadi kita emang udah deket dari kecil.” Clyde melihat ke arah
ku. Aku mengangguk, memberi persetujuanku ke pernyataan Ama. Alarm yang
sama berbunyi lagi, tetapi kali ini bukan 1 pintu yang terbuka, melainkan 2 pintu.
Dari masing-masing pintu, ada 2 orang yang keluar. Aku kaget disaat melihat 4
orang yang keluar dari pintu itu. Pertama, ada yang bisa dibilang “musuh” ku,
Jessi. Kita memang tidak begitu akrab dari dulu maka dari itu, dia menganggap ku
sebagai musuhnya. Kedua, ada ketua klub bahasa Inggris, Jade. Aku sangat kaget
ketika melihat Jade keluar dari pintu itu bersama dengan Jessi, karena sebetulnya
mereka tidak akrab. Jessi biasanya “membully” Jade di sekolah, maka dari itu
Jade sangat membenci Jessi, dan sebaliknya. Ketiga, ada teman sekelasku Key.
Dia merupakan anak yang cukup pintar di kelas. Lalu yang terakhir ada orang
yang aku tidak kenali lagi. Dia tinggi juga seperti Cole dan mempunyai wajah
yang manis dan ramah. “Cole!” orang ramah itu menyapa Cole. “Nic! Kamu
ngapain disini juga?” Nic ternyata berada di grup yang sama dengan Cole. “Okay,
what is happening?” ucap Jessi. Jessi memang berasal dari AS, maka dari itu dia
sering berbicara bahasa Inggris. “Kita kenapa semua bisa disini, dan kenapa ada
kursi beginian di tengah ruangan.” Tepat setelah Jessi mengatakan itu, ada suara
yang berbunyi lagi. Silahkan duduk di kursi dengan nama kalian. “Itu suara
apaan?!” tanya Key. “Cepet, cari kursi kalian terus duduk di situ!”. Nic melihat
Cole dan Cole mengangguk. Nic, Key, dan Jade langsung duduk di kursi mereka
masing-masing. “Emang ngapain gue duduk? Seriously I’m still confused on
what’s happening here.” Tiba-tiba Jessi teriak kesakitan, sama seperti aku, dia
tidak duduk di kursinya. Jessi jatuh di lantai, merintih kesakitan. “Jessi! Lu
kenapa?!” tanya Key. Key terlihat ingin berdiri dari kursinya, tetapi di hentikan
oleh Clyde. “Key jangan!” “Lah kenapa? Itu Jessi lagi kesakitan!” “Iya, tapi kalau

kita gak duduk di kursi kita masing-masing, kita juga bakalan kesakitan kayak
gitu juga, soalnya itu yang terjadi sama Ama!” Ama mengangguk setuju. Key
terlihat ragu tetapi akhirnya tidak berdiri dari kursinya. Jessi, masih dilantai
keaskitan, akhirnya mencoba untuk berdiri dan merangkak menuju kursinya.
Setelah Jessi berhasil duduk di kursinya, ada alarm lagi yang berbunyi dan pintu

ke 6 terbuka. Dari situ keluar dua orang juga. Yang pertama sahabat Jessi, Sharky.
Nama dia memang lucu, tetapi dia tidak suka dipanggil dengan nama itu. Maka
dari itu dia biasa dipanggil Shar saja. Kedua adalah orang yang tidak aku kenal.
Dia lumayan pendek dan sepertinya badan dan posturnya tidak sebagus Cole dan
Nic. “Brodin!” saut Ama. “Ama! Lu terjebak juga?” “Menurut lu?” “Oiya,
hehehehe sori.” “Omg, Jessi!” Shar langsung menuju kursi Jessi. “Lu gapapa?!
Kenapa lu keliatannya lemes gitu. Gila gue kira gue bakalan berdua doang sama si
Brodin ini.” “Emang kenapa kalo berdua sama gue doang?” “Jijik tau.” Silahkan
duduk di kursi dengan nama kalian. “Loh itu apaan?” Tanya Brodin. “Mending
kalian duduk aja deh.” Jawab Cole. “Loh emang kenapa? Ngapain kita nurutin
perintah orang yang gak kita ken-“ “UDAH CEPETAN DUDUK!” aku sudah
tidak tahan. Tidak ada yang bisa aku pikirkan saat ini. Aku hanya ingin keluar dan
kembali menjalani hariku seperti dulu. Semua kaget dan terpatung. Shar dan
Brodin langsung duduk di kursi mereka. “Tunggu,” ucap Nic, “kalo semua pintu
udah kebuka, 2 kursi ini punya siapa?” “Oiya ya, coba cek nama di kursinya!”
perintah Cole. Kursi kosong pertama ada diantara Clyde dan Ama, sedangkan
kursi kosong kedua ada di antara Key dan Jessi. “Disini namanya di hancurin.
Gabisa dibaca jadinya,” ucap Key. “Kalo disini namanya, Joy.” Pada saat itu juga,
ada orang yang jatuh ditengah-tengah meja. Tetapi, orang itu sudah tidak
bernyawa. Ama dan Shar berteriak. Kita semua panik, apakah kita semua akan
mati juga?

Cole memperhatikan tubuh itu. Muka dia berubah dari serius dan khawatir
menjadi kaget dan ketakutan. “Kenapa Cole?” tanya Nic, khawatir. “D-dia

manager kita, Joy.” Nic menutup mulutnya, tidak percaya akan situasi yang
sedang terjadi. “Ki-kita bakalan mati juga?!” teriak Shar, panik. Ada suara
menangis yang datang dari arah Ama. Kita semua menjadi panik ketakutan.
Selamat datang di game Trauma. “Itu suara apa?!” tanya Key. Diantara kalian
semua, hanya 2 orang yang bisa keluar dengan selamat. “Cuma dua orang?” ucap
Jessi dengan lemas. Sepertinya dia sudah membaik. Ternyata dugaanku benar.
Kita memang akan mati. Aku melihat ke arah Ama, dia masih menangis. Di

permainan ini, setiap babak akan ada 1 atau 2 orang yang mati. Pembunuhnya…
akan selalu salah satu dari kalian. Aku terpatung. Salah satu dari kita akan
menjadi pembunuh? Kalian tidak akan bisa keluar jika tidak ada yang mati. Jika
kalian ingin keluar, pilihannya membunuh atau dibunuh. Setiap babak akan
memiliki pembunuh yang berbeda. Tugas kalian adalah untuk memilih siapa yang
menurut kalian pembunuh diantara kalian. Siapapun yang memiliki suara
terbanyak, walaupun dia bukan pelakunya akan dibunuh oleh kita. “Jadi,
walaupun kita gak bersalah tapi kita mendapat suara terbanyak, kita dibunuh?”
Tanya Ama khawatir. “Sepertinya,” jawab Clyde. Akan ada waktu di awal babak
dimana semua lampu akan mati dan jika kamu ingin membunuh, lakukan di waktu
tersebut. Maksimal orang dibunuh dalam 1 babak hanya 2 orang. 2 orang
terakhir yang tidak mati, akan keluar dari ruangan ini dengan selamat. Setiap
akhir babak akan kita beri 3 nama. Diantara 3 nama tersebut adalah
pembunuhnya. Kalian akan diberikan petunjuk untuk menemukan pembunuh
sebenarnya. Orang yang dibunuh sudah 1 orang. Ada 3 kertas berisi nama dan
petunjuk yang ada di d alam ruangan ini. Kalian mungkin bisa selamat, tetapi
apakah mental kalian kuat untuk menghadapi trauma? Good luck. Tidak ada yang
mengatakan apa-apa. Aku terlalu syok untuk mengatakan sesuatu dan sepertinya,
mereka juga sama. “Kita sekarang mau ngapain?” tanya Brodin, khawatir. “Kita
emangnya harus bener-bener ngikutin perintah orang gak jelas itu? Kenapa gak
kita cari jalan keluar laina aja?” tanya Nic. “Kayaknya, kita emang harus ngikutin
perintah orang itu deh,” jawab Cole. Saat itu juga, meja terbuka dan tubuh Joy

terbawa turun secara perlahan. Kalian dipersilahkan untuk berdiri dari kursi dan
mencari petunjuk yang ada. Muncul lagi suara yang mulai aku benci. Aku yakin
bahwa dialah yang menjebak kita semua dan membuat kita bermain game aneh
ini. Kita semua mulai berdiri dan aku langsung bergerak ke Ama untuk
menenangkannya. “Aaron, gue takut. Gue gak mau mati. Tolong gue Aaron,”
ucap Ama sambil menangis. “Gue bakal tetep ngelindungin lu kok. Percaya sama
gue.” Ama menatap ku dengan matanya yang sembab. Dia tersenyum dan
mengangguk. “Eh itu apaan?” ucap Brodin. Dia mengambil sebuah kertas di
pojok ruangan yang bertuliskan semua akan terungkap jika kembar tiga ini

bersentuhan dengan meja. “Kalau kembar tiga, artinya kita harus nyari kertas itu
2 lagi terus kita taruh di atas meja,” ucap Key. Dia adalah orang dengan iq
tertinggi di sekolah. Problem solving dia sangat bagus dan dia selalu memakai
logika hampir setiap saat. “Gue nemuin yang kedua!” teriak Brodin. “Lu nemuin
terus sih,” ucap Shar, “hehehe, gue emang suka main escape room dari dulu, jadi
udah kebiasa nyari petunjuk-petunjuk.” Tidak ada yang bisa menemukan petunjuk
terakhir. Kita mencari sudah lumayan lama, sekitar 7-8 menit. “Gue nemu!” teriak
Ama. “Loh kok bisa? Emangnya dimana?” tanyaku penasaran. “Gue nemunya
dibawah meja ini,” jawab Ama. Aku bahkan tidak memikirkan untuk melihat
disekitar meja. “Yaudah, langsung taruh aja di atas meja, kita liat nama siapa yang
keluar.” Ama meletakkan kertas terakhir di meja. Sebuah cahaya keluar dari arah
kertas. Kita semua terkejut. Aku memberanikan diri untuk mendekati kertas itu.
Aku tidak percaya tulisan yang tertulis di kertas itu.

“Tulisan di situ apa?” tanya Nic, khawatir. Aku mulai membacakan apa
yang tertulis, “Di kertas pertama Jade, Joy adalah anak teman ibunya, iri akan
kehidupannya dan Joy merebut kesempatan Jade untuk menjadi aktor.” Semua
mata langsung tertuju di Jade. “A-apa? Mana mungkin gue ngebunuh dia. Gue
bukan pembunuh!” ucap Jade, marah. Yang tertulis di kertas ini memang masuk
akal karena selain menjadi ketua klub bahasa Inggris, dia juga menjadi ketua klub

teater, dan aktingnya Jade memang bagus sehingga masuk akal jika dia ingin
menjadi aktor. “Kertas kedua,” aku melanjutkan membaca, “Shar. Sebelum Joy
menjadi manajer, dia bekerja sebagai penagih utang. Ketika dia menagih hutang
keluarga Shar, dia menyakiti ayahnya sampai dirawat dirumah sakit.” Semua
orang melihat kearah Shar. Muka Shar terlihat seperti dia tidak percaya. “Gak gak
gak, itu pasti salah, ITU PASTI SALAH,” Shar tiba-tiba teriak. Dia langsung
menangis dan Jessi membantu menenangkan Shar. “Kertas ketiga,” aku berhenti.
“Kenapa stop? Siapa yang ketiga?” tanya Cole. Aku sebenarnya tidak ingin
mengatakan ini keras-keras. Tetapi, aku harus melakukannya demi kita semua.
“Ama,” aku langsung melihat ke arah Ama yang sekarang ekspresi wajahnya
menunjukkan ketidakpercayaan. Aku bertanya-tanya, apakah benar Ama yang

membunuh Joy? Aku melanjutkan membaca yang tertulis di kertas itu, “adik Joy
sangat membenci Ama. Joy dan teman-temannya melabrak dan memukuli Ama.”
Ama terjatuh menangis. Aku bergegas ke arah Ama. “Jadi, salah satu pembunuh
Joy diantara mereka bertiga? Dan kita harus memilih siapa pembunuh Joy untuk
dibunuh?” tanya Key. “Sepertinya,” Jawab Clyde. Tiba-tiba ditengah meja, ada
timer yang muncul. “Itu apa?!” tanya Jessi, “kita cuma punya waktu 8 menit?!”
ucap Nic, “kita harus ngomongin ini, fast,” ucap Clyde. “Ama,” “I-iya Clyde?”
jawab Ama sambil menahan tangisnya, “emang bener, Joy ngelabrak lu?” “iya,
tapi itu udah lama banget. Waktu itu adiknya Joy minta maaf dan udah gue maafin
juga. Gue bener-bener gak ada dendam,” “Tapi itu yang lu bilang, bisa aja
perasaan asli lu berkata lain,” ucap Clyde, masih curiga. “Ama gak mungkin
bunuh Joy,” aku membela Ama. “Tapi lu tau dari mana,” tanya Shar, “iya Ama
gak mungkin bunuh orang, dia bener-bener gak ada masalah sama siapa-siapa di
sekolah,” sambung Brodin. “Sekarang Shar,” lanjut Clyde, “kalo ayah gue bisa
sampe masuk rumah sakit, gue bisa aja sih balas dendamnya ngebunuh orang itu,”
“lu gila? Gue ga sedendam itu sampe gue bakal ngebunuh orangnya. Lagipula
ayah gue juga udah keluar dari rumah sakit. This is nonsense.” Aku memikirkan
jawaban Shar. Memang kalau salah satu keluarga kita bisa masuk rumah sakit

hanya karena utang, aku akan marah banget sih, tapi bakalan sampe bunuh orang
itu gak? “Yang terakhir, Jade,” Jade hanya mengangguk. “Jadi Joy pernah
ngerebut kesempatan lu jadi aktor?” “Iya, itu udah lama banget. Jujur sebelum
dibacain Aaron, gue udah ngelupain kejadian itu. Kejadian itu emang bener-bener
bikin hati sama mimpi gue hancur, makanya gue pengen lupain.” Kalau ada
kejadian yang bikin kita sakit, emang mending dilupain sih. “Jade satu hal lagi,”
ucap Key, “dari tadi kenapa lu diem aja?” “Gue gak suka interaksi sama orang.”
Dia memang sangat pendiam di sekolah jadi aku percaya itu. Waktu tersisa 2
menit, silahkan pikirkan orang yang akan kalian pilih. “Jadi kita harus pilih siapa
nih,” Nic terdengar resah saat dia mengucapkan itu. “Jujur, tiga-tiganya terdengar
sama-sama bersalah, tapi menurut gue yang paling bersalah itu,” Cole berhenti,
“siapa Cole?” tanya Nic, “Jade.” Muka Jade langsung berubah menjadi amarah.
“HAH? BUKAN GUE YANG NGEBUNUH SUMPAH” teriak Jade. “Please

please percaya sama gue.” “Tapi kalo menurut gue,” lanjut Clyde “Shar yang
paling bersalah.” Shar langsung membantah, “gue udah bilang, gue gak sedendam
itu. Ayah gue sekarang juga sehat-sehat aja, ngapain gue dendam.” Saatnya
voting, Silahkan duduk di kursi dengan nama kalian. Kita semua kembali duduk
di kursi kita. Votingnya akan bekerja seperti ini. Di depan kalian, sudah ada 3
nama. Kalian hanya perlu memencet nama orang yang ingin kalian pilih. Jika
sudah semua, hasilnya akan saya umumkan. Orang dengan suara terbanyak akan
menghadapi konsekuensinya. Voting ini merupakan anonymous vote, yang berarti
tidak ada yang tahu pilihan kalian. Di akhir eksekusi orang suara terbanyak,
akan diberi tahu apakah kalian menebak pembunuhnya dengan benar atau tidak.
Good luck. Di depan kita semua muncul 3 nama, Ama, Shar, dan Jade. Aku
memencet nama Shar. Menurutku, dia hanya bohong ke kita tentang perasaannya
dan sebenarnya dia masih dendam dengan Joy. Hasil voting telah masuk, saatnya
pengumuman. Suasana ruangan menjadi lebih tegang dari sebelumnya. Salah satu
nama disitu akan mati. Hasil voting tiba-tiba muncul di depan kita semua dan
mengatakan,

Jade: 5
Shar: 4
Ama: 1
“Ga-gak mungkin.” Jade menangis, “KENAPA KALIAN MILIH GUE? UDAH
GUE BILANG BUKAN GUE PEMBUNUHNYA! GUE GAMAU MATI.”
“Jade, maafin gue,” ucap Brodin. Saat itu juga, ada besi yang melingkari tangan,
leher, kaki, dan badan Jade. “TOLONG SIAPAPUN GUE GAMAU MATI,” Jade
berteriak sebaring kursi Jade ditarik kebawah. Teriakan Jade terus bergema
diruangan. Kita tidak bisa melakukan apa-apa kecuali mendengar teriakan Jade
yang sedang menemui ajalnya. Teriakan Jade berhenti. Ruangan menjadi sangat
hening dan suasana ruangan ini menjadi mencekam. Hal yang dialami Jade, bisa
terjadi ke siapapun dari kita. Jade sudah menjalani hukumannya. Saatnya
pengumuman. Jade bukanlah pembunuhnya. Kita semua kaget. Kita baru saja
membunuh orang tidak bersalah. Selamat karena kalian telah selamat sampai
babak 2. Apakah kalian bisa terus selamat? “Ja-jadi, Jade gak salah apa-apa?”

tanya Key, “iya…” jawab Clyde. Suasana ruangan menjadi suram, berapa orang
tidak bersalah yang akan kita bunuh?

Saat ini kita sedang menunggu dimulainya babak 2. Sudah 10 menit
setelah Jade mati dan tidak ada yang mengatakan apa-apa. “Okay, kita bakalan
diem aja atau mengakui fakta kalo kita baru aja ngebunuh orang yang gak
besalah?” tanya Cole. “Emangnya siapa sih yang milih Jade?” aku bertanya ke
semuanya. “Maaf,” jawab Ama, “gue juga minta maaf,” lanjut Brodin. “Kalian
mau minta maaf juga gak bisa ngilangin fakta kalo Jade udah mati. Emang harus
kayak gini kalo kita pengen hidup,” Jessi mengatakan itu dengan nada kesal.
“Kalian gak merasa bersalah apa?” tanya Brodin ke Shar dan Jessi. “Ya emang
mau gimana lagi. Gue Cuma milih orang yang keliatannya paling bersalah,”
jawab Shar, “kalian juga ngevote orang lain kan? Emang udah kayak gini
peraturannya. Kalo kalian pengen hidup, mending ikutin aja,” lanjut Jessi. “Tapi

kalian bener-bener gak nunjukkin perasaan apa-apa. Gak ada rasa bersalah sedikit
pun apa?” selesai Brodin mengatakan itu semua lampu mati dan kita tidak bisa
melihat apa-apa. “Eh kalian dimana,” ucap satu orang, “kenapa lampunya mati?”
Sepertinya babak kedua sudah mulai. Suasana ruangan menjadi gaduh. Babak 2
dimulai, lampu akan hidup dalam 5 detik. Aku tetap diam ditempat. Lampu
menyala, butuh beberapa waktu untuk menyesuaikan penglihatanku. Ama
berteriak. Di sampingnya, ada tubuh Brodin yang sudah tidak bernyawa. Ada 5
pisau yang menancap di punggung Brodin, sepertinya itu adalah cara
pembunuhnya membunuh Brodin. Dia padahal salah satu orang yang paling
berguna dalam mencari petunjuk. Sepertinya pembunuhnya tidak ingin kita
menemukan petunjuk-petunjuknya. “Kenapa harus ada orang yang mati lagi,
kenapa gak kita stop aja?” tanya Key resah, “kalo lu emang pengen hidup, emang
harus gini Key bodoh,” jawab Jessi dengan nada kesal. “Lu bilang gue apa?!”
“bodoh!” “udah stop!” teriak Clyde, “Kalian kalo mau mulai drama jangan
sekarang, kita harus fokus ke tujuan kita yaitu keluar dari sini,” “gue setuju sama
Clyde,” sambung Cole, “mending kita nyari petunjuknya sekarang!” Lantai
dibawah tubuh Brodin terbuka dan membawanya perlahan kebawah. Kita mulai

mencari 3 petunjuk yang ada, tetapi petunjuknya disembunyikan dnegan sangat
baik. Sudah 10 menit kita mencari tetapi kita tidak menemukan apa-apa. “Dimana
sih petunjuknya,” ucap Shar dengan nada kesal. “Mungkin petunjuknya bukan
dalam bentuk benda, tapi dalam bentuk kata-kata?” “Terus kata-katanya mau
ditaro dimana Nic?” jawab Shar. “Gangerti lagi de- OW,” “kenapa Clyde?” “ini
pas gue duduk tiba-tiba ada yang ganjel.” Clyde mengeluarkan sebuah bola dari
kantung celananya. “Eh ini apaan?” tanya Clyde kebingungan, “kayaknya itu
petunjuknya deh, coba taro di meja,” jawab Cole, “yang lain coba cek di
kantungnya!” Kita semua mulai meraba-raba kantung di baju kita. “Gue ketemu!”
“ini gue juga!” ucap Nic dan Key. “Kalian dari tadi gak ngerasa apa-apa?” “gue
bener-bener gak sadar ada petunjuk di kantung gue sumpah,” jawab Nic. Harus
kuakui memang agak mencurigakan. Apakah mereka sengaja menyembunyikan

petunjuknya dari kita semua. Cole menaruh bola terakhir di meja dan 3 kertas
keluar dari tembok. Kertas itu berada di sebelah Shar. “Coba bacain Shar,”
“yaudah deh,” jawab Shar, malas. “Nama pertama, Ama,” aku tidak
mempercayainya. Nama Ama sudah 2 kali berturut-turut keluar di kemungkinan
pembunuh. Memang dia yang membunuh Brodin? Raut wajah Ama sudah lelah
dan pasrah, “teman dekat Brodin. Tidak mungkin membunuhnya.” Petunjuk yang
kita dapat sangat pendek dan simple dari sebelumnya dan sepertinya, kita
ditunjukkan alasan kenapa nama-nama ini tidak mungkin membunuhnya. “Nama
kedua,” Shar berhenti sebentar, “gak mungkin,” “emang siapa Shar?” “gak ini
salah, dia gak mungkin ngebunuh.” Cole merebut kertasnya dari tangan Shar
karena sudah tidak tahan. “Nama kedua, Jessi,” “APA?! KERTAS ITU PASTI
SALAH!” bantah Jessi. “Sahabat Brodin di SD. Tidak mungkin membunuhnya.”
Brodin dan Jessi sudah saling kenal? Kita semua memandang Jessi dengan
kebingungan. “Lu kenal Brodin dari SD?” tanya Nic, “apa sih, udah gue bilang
kertas itu salah! Gue aja baru kenal dia disini. Sahabat apaan.” Jawaban Jessi
sangat mencurigakan dan susah dipercayai. “Nama ketiga, Nic,” aku sama sekali
tidak menduga nama Nic akan disebutkan. Muka Nic menjadi penuh ketakutan
dan ketidakpercayaan. Nic mulai menangis, “Brodin adalah-“ Cole dipotong Nic,
“gue gabakal bunuh adik gue sendiri.” Mataku melebar, tidak percaya perkataan

Nic. “ADIK?!” teriak Shar, “kenapa dia yang harus mati? KENAPA KALIAN
NGEBUNUH ADIK GUE,” ucap Nic dengan penuh amarah. “KENAPA GAK
BUNUH GUE SEKALIAN?” “Nic, please tenangin diri lu dulu” aku berusaha
menenangkan Nic. Dia tidak seperti Nic yang biasanya. Nic orangnya biasanya
tenang dengan muka ramahnya, tetapi sisi Nic yang berbeda keluar. Dia seperti
sudah menahan rasa sakit ini sejak lama. “Nic, kita gak ada yang tau kalo Brodin
adik lu. Bahkan gue gak tau,” ucap Cole. “Gue emang sengaja gak ngasih tau dia
adik gue biar dia gak terlalu dapet banyak perhatian, karena gue tau orang-orang
pasti gak bakal berhenti gangguin dia kalo semuanya tau dia adik gue. Gue juga
sengaja gakngasihtau agensi kita,” jawab Nic. “Dia satu-satunya keluarga yang

gue punya setelah Ibu gue meninggal dan Papa ninggalin kita buat cewek lain.”
Terdengar suara tepuk tangan lambat, “akting lu bagus banget ya Nic. Gue bahkan
sempet percaya loh,” ucap Jessi. “Jessi! Kenapa lu bisa mikir kayak gitu?” tanya
Key, “Iya Jessi. Nic baru aja kehilangan keluarganya,” lanjut Ama. “Kalian bodoh
apa? Dia jelas-jelas akting biar dia gak di vote! Why would you let this person
manipulate you?” Sepertinya Nic sudah benar-benar marah. Aura yang
dikeluarkannya sudah bukan aura ramah yang sama. “Justru gue yang harusnya
curiga sama lu, sebelum Brodin mati, kan kalian sempet debat. Lu yang ngebunuh
dia kan?” tanya Nic dengan nada dan emosi yang sangat menyeramkan. “Menurut
lu, cuma gara-gara gue debat sama adik palsu lu gue ngebunuh dia? Ya gak
mungkin lah!” bantah Jessi. “Inget gue kakaknya, gue tau apa yang lu lakuin ke
dia pas SD.” Muka Jessi langsung berubah dari percaya diri menjadi panik. “A-
apa, gue aja beda SD sama Brodin,” “emang mereka ada masalah apa?” tanya
Clyde. “Saat SD, Jessi pernah bersumpah untuk membunuh Brodin karena
keluarga kita udah bikin dia susah. Brodin langsung cerita ke gue pas dia pulang.
Dia sangat ketakutan, dan sepertinya ketakutan dia telah menjadi kenyataan,”
“OMONG KOSONG! JANGAN PERCAYA SAMA PEMBOHONG INI!” Aku
melihat kearah Shar. Dia hanya diam. Aku sudah tak habis pikir. Bagaimana bisa
sumpah bertahun-tahun lalu bisa terlaksanakan. Saatnya voting, Silahkan duduk di
kursi dengan nama kalian. Saatnya voting, Silahkan duduk di kursi dengan nama
kalian. Aku sudah tahu ingin memilih siapa, dan sepertinya kita semua juga sudah

tahu. Aku memencet nama Jessi. Dia memang terlihat yang paling salah diantara
mereka bertiga, dan sepertinya kita semua sepemikiran. Hasil voting telah masuk,
saatnya pengumuman. Muka Jessi lebih tidak tenang dari sebelumnya. Shar tiba-
tiba menangis. “Kenapa Shar?” tanya Cole, “maafin gue Jess.” Pada saat itu juga
hasil voting muncul didepan kita dan mengatakan,
Ama: 0
Jessi: 6
Nic: 1

Jessi menangis, “bahkan Shar milih gue, selamat tinggal semua.” Besi yang
menahan Jade, muncul lagi di kursi Jessi. Jessi ditarik kebawah dan kita bisa
mendengar teriakan Jessi. Aku selalu membenci bagian ini. Aku membenci
mendengar teriakan orang yang sedang tersiksa. Aku benar-benar benci
semuanya.

Setelah teriakan Jessi berhenti, kami menunggu pengumumannya. Jessi
sudah mendapatkan hukumannya. Saatnya pengumuman. Jessi adalah
pembunuhnya. Shar tambah menangis. “Shar, kita harus melakukannya, atau
orang gak bersalah bakalan mati lagi,” ucap Ama untuk menenangkan Shar. Shar
mengangguk. Aku menghampiri Nic. “Nic, lu gak papa?” aku khawatir akan
keadaan Nic. “Oh, iya gak papa kok. Maaf tadi gue agak beda kayak biasanya.
Gue udah gabisa nahan emosi gue. Gue akan berusaha ngehindarin kejadian itu
biar gak terjadi lagi oke?” ucap Nic dengan ceria. Aku tersenyum dan
mengangguk. Kita sekarang menunggu dimulainya babak ketiga. Ama
menghampiriku. “Kita beneran harus ngelakuin ini sampe sisa 2 orang?” tanya
Ama. “Sayangnya iya,” “Gue bener-bener gak suka denger teriakan orang-orang
yang dihukum. Gue takut nanti gue yang bakal dihukum padahal gue gak
bersalah,” “tenang aja Ama. Gue kan udah janji bakal lindungin lu,” “makasih
Aaron.” Saat itu juga lampu mati. “Ama pegang tangan gue.” Ada tangan yang
memegang ku. Aku tidak siap apa yang akan terjadi. Aku takut jika Ama kenapa-
kenapa. Lampu ruangan mati lebih lama dari babak sebelumnya. Babak 3 dimulai,
lampu akan hidup dalam 5 detik. Suara yang ku benci itu muncul. Aku

mempersiapkan diri untuk apapun yang terjadi. Lampu menyala, dan bukan 1
orang yang mati, tetapi 2. Key ditemukan di atas meja. Ekspresi dia masih
dipenuhi ketakutan. Ada bekas di leher Key, sepertinya dia dicekik sampai mati.
“Cole…” aku berputar ke belakangku untuk melihat Cole tidak bernyawa. Dia
digantung oleh tali. Siapapun pembunuhnya sepertinya suka membuat orang
kehabisan nafas orang. “Sekarang gue bener-bener gak punya siapa-siapa,” Nic

mengucapkan hal itu dengan nada yang sedih. “Nic, lu gak papa?” aku sangat
khawatir dengan Nic, “iya iya gue gak papa. Gue gak mau breakdown kayak tadi.
Sekarang kita cari petunjuknya aja.” Kita semua setuju dan mulai mencari. Tubuh
Key dan Cole dibawa turun seperti tubuh-tubuh yang lain. “Ini pertama kalinya
ada 2 orang sekaligus yang mati,” ucap Shar. Aku baru menyadari hal itu. Apakah
selanjutnya akan 2 orang lagi? “Tunggu,” ucap Clyde “ada yang aneh. Pintunya
kenapa berkurang jadi 5? Bukannya harusnya ada 6 pintu?” Ternyata yang
diucapkan Clyde benar. Salah satu pintu di ruangan ini menghilang. “Kok bisa
sih, maksudnya kan itu pintu, kenapa tiba-tiba bisa ilang?” tanya Ama, cemas.
Aku memikirkan hal yang sama. Secara logis, itu merupakan hal yang tidak
mungkin terjadi. “Kita sisa berlima, mungkin pintu itu ngikutin jumlah kita?”
jawab Nic, “bisa sih, tapi kita masih perlu nyari petunjuknya.” Aku sudah tidak
tahan di lubang neraka ini. Aku sudah tidak tahan melihat orang-orang yang aku
kenal mati begitu saja. Aku ingin cepat-cepat keluar. “Aku nemu 1 kertas!” ucap
Shar, “eh, ini isinya cuma campuran kata doang,” “emang apa aja?” tanya Clyde.
“Ini aneh banget, Cuma ada hurf S O N,” “kita belom coba taruh kertas itu di meja
kan? Coba taruh aja dulu,” ide Nic. Aku mendekat ke meja dan melihat isi kertas
itu. Satu persatu nama mulai muncul hingga akhirnya terbentuklah petunjuk yang
bertuliskan,
Shar -> S
Clyde -> O
Aaron -> N
Namaku muncul di kertas itu. Aku sudah tahu bukan aku pembunuhnya, tetapi
aku tidak yakin dengan Shar dan Clyde. Clyde adalah sahabatku sehingga aku
lebih percaya dia. “SON? Maksudnya apa?” tanya Ama kebingungan, “gimana

cara kita nemuin pembunuhnya kalo alasannya cuma dikasih itu doang?” lanjut
Nic. “Dari sisi ku, pembunuhnya adalah Shar,” ucap Clyde, “loh kenapa tiba-tiba
gue? Emangnya lu punya bukti?” “yang gue tau bukan gue pembunuhnya, Aaron
sahabat gue jadi kemungkinan dia membunuh kecil yang berarti sisanya lu. Lu

pembunuh babak ini.” Aku bisa mengatakan hal yang sama dengan Clyde.
“Gue… setuju sama Clyde,” “lu juga ngira gue pembunuhnya Aaron?” “posisi
gue sama kayak Clyde. Kemungkinan dia ngebunuh kecil dan gue tau bukan gue
pembunuhnya, artinya sisa lu.” Muka Shar berubah menjadi marah, sedih, dan
kecewa di saat yang bersamaan. “Kalian bodoh,” “lu bilang apa?” “GUE
BILANG KALIAN BODOH!” Aku hanya bisa diam. “ITU LOGIKA TERANEH
YANG PERNAH GUE DENGER. CUMA GARA-GARA KALIAN
SAHABATAN, BUKAN BERARTI KALIAN GAK AKAN NGEBUNUH
ORANG LAIN. ITU ALASAN TERLEMAH YANG PERNAH GUE
DENGER.” Itu memang menjadi sebuah kemungkinan bahwa Clyde adalah
pembunuh sebenarnya, tetapi instingku mengatakan bahwa Shar adalah
pembunuhnya. “Gue kayaknya ngerti alasan itu,” ucap Ama, “nama Shar
menunjuk huruf S. Nama Shar berawalan dengan huruf S. Aaron menunjuk huruf
N, dan nama Aaron berakhir dengan huruf N. Satu-satunya nama yang menunjuk
huruf tapi tidak ada di nama dia sendiri itu Clyde. Clyde lah pembunuhnya.” Aku
terkejut saat mendengar logika Ama. “Clyde?” aku memanggil Clyde. Clyde tiba-
tiba tertawa. Aku tidak pernah mendengar suara tawa yang sangat menyeramkan
seperti ini. “Kalian pikir gue bakalan ngebunuh orang? Logika Ama itu sampah.”
Waktu tersisa 2 menit, silahkan pikirkan orang yang akan kalian pilih. Hatiku
masih bimbang. Di satu sisi, firasatku mengatakan sangat kuat bahwa
pembunuhnya Shar dan bukan Clyde. Tapi di satu sisi lagi, aku ingin
mempercayai logika Ama. “Aaron, gue tau lu bimbang, tapi please percaya sama
gue dan pilih Clyde. Dia pembunuhnya,” bujuk Ama, “AHAHAHAHAHA, lu
pikir Aaron bakal percaya sama logika sampah lu itu? Dia lebih pinter dari itu.
Mau lu bujuk juga dia gak bakal percaya, karena dia tau pembunuh sebenarnya itu
Shar,” lanjut Clyde. Aku tidak pernah melihat sisi Clyde ini. Jika aku boleh jujur,
aku tidak suka Clyde bersikap seperti ini. Dia menjadi lebih aneh. “Aaron, please

percaya sama Ama,” ucap Shar, “dan jangan ngikutin Clyde gila ini.” Saatnya
voting, Silahkan duduk di kursi dengan nama kalian. Aku masih bimbang. Aku

benar-benar tidak tahu siapa yang benar. Aku ssudah memikirkannya berulang
kali, tetapi hasil akhirnya tidak ada yang masuk akal bagiku. Aku memutuskan
untuk mengikuti firasatku. Hasil voting telah masuk, saatnya pengumuman. Aku
benar-benar tidak tahu apa yang akan terjadi. “Aaron, lu pilih siapa?” tanya Shar,
“maaf, tapi gue ngerasa gue lebih percaya sama firasat gue.” Shar menangis, Ama
melihatku dengan penuh kekecewaan dan amarah. Pengumuman pilihan pun
muncul dan bertuliskan,
Shar: 2
Clyde: 2
Aaron: 1
“Seri?!” Kita semua tidak percaya hal ini. Apa yang terjadi kalau seri? “Nic, lu
pilih Aaron ya?” tanya Ama. “Iya. Lagian kalian dari tadi berdebat terus gue jadi
bingung. Gue tau vote gue pasti jadi vote penentu. Aaron gak mungkin ada yang
pilih, jadi gue pilih dia biar seri.” Sepertinya terjadi seri dalam pemilihan. Kita
akan memilih orang yang mendapat hukumannya secara random. Good luck! “Ja-
jadi, kita gak tahu siapa yang bakal mati?” tanya Shar, “iya…” jawab Clyde.
Muncul timer di tengah meja yang berhitung mundur dari 5. Dalam 5 detik kita
tahu siapa yang akan mati. Timer habis, besi yang melilit muncul di kursi Shar.
“Tolong siapapun, gue gak mau mati. GUE GAK MAU MATI.” Shar dibawa
turun perlahan. Teriakan Shar memenuhi ruangan lebih lama dibanding Jade dan
Jessi. Setelah teriakan Shar berhenti, ruangan menjadi hening dan kita tahu Shar
sudah mati. Shar sudah menjalani hukumannya. Saatnya pengumuman. Shar
bukanlah pembunuhnya. Jantungku berhenti berdetak untuk seseat setelah
mendengar pengumuman itu. Orang tidak bersalah terbunuh, karena aku tidak
mau mendengar logika. Kemarahan di diriku mulai meluap. Aku melihat kearah
Clyde. Clyde memberikan senyuman yang membuat ku tidak tenang. Akulah
alasan kenapa Shar mati. Aku tidak mempercayai Ama. Aku lebih memilih
mempercayain instingku. Aku mempercayain Clyde.

Setelah kita diperbolehkan berdiri ke kursi kita aku langsung menuju

Clyde. Aku memegang kerah Clyde. “Lu pembunuhnya kan?” tanya ku dengan
nada marah. Clyde tertawa sedikit, “kan udah gue bilang, gue gak bakal bunuh
orang,” “LU BENERAN MASIH MAU BOHONG?! KITA BARU AJA
NGEBUNUH ORANG GAK BERSALAH! EMPATI LU MANA SIH?” “lu
beneran masih mau ngungkit ini? Lu gak inget suara itu ngomong apa?
Membunuh atau dibunuh. Itu adalah satu-satunya cara lu selamat. Kalo lu mau
hidup, lu harus egois. Jangan terlalu peduli sama orang lain.” Clyde mendorong
ku. Aku hanya bisa melihat Clyde dengan sinis. Ama dan Nic menghampiriku.
Aku memikirkan perkataan Clyde. Apakah aku harus menjadi egois? Aku duduk
di ujung ruangan. “Aaron, lu gapapa?” tanya Ama cemas, “mending lu sekarang
istirahat dulu. Kayaknya banyak hal yang lagi lu pikirin,” lanjut Nic, “makasih.”
Itu adalah satu-satunya kata yang bisa aku keluarkan. “Gue bakalan ngomong
sama Clyde,” ucap Nic. Terlalu banyak hal yang aku pikirkan hingga aku tidak
sadar bahwa lampu sekarang mati. Aku terlalu mendalam di pikiranku hingga aku
melamun. Babak 4 dimulai, lampu akan hidup dalam 5 detik. Lampu menyala,
aku tersadar dari lamunanku. Aku berdiri dan melihat Nic dan Ama berdiri
menghadap tembok. Aku berjalan menuju mereka dan melihat tubuh Clyde di
pojok ruangan. Aku sudah tidak tahu ingin bereaksi apa. Dia memang sahabatku,
tapi dia juga pembunuh. Aku sudah melihat dan mendengar banyak orang mati
hari ini. Aku merasa emosiku sudah hilang. “Jadi, salah satu dari kita yang
ngebunuh Clyde,” ucap Nic. “Iya,” jawab Ama, “dan hanya 2 dari kita yang bisa
keluar dengan selamat. Aku melihat sekitar kita, dugaanku benar, “pintunya, sisa
3.” Ama dan Nic melihat ruangan ini. Mereka terlihat khawatir. “Kalau kalian
mau pake logika sahabat, silahkan. Gue juga yang pasti mati. Kalian gak mungkin
kan vote eachother?” tanya Clyde pasrah. Ama terlihat ragu. Aku yakin dia pasti
akan memilihku jika aku pembunuhnya, tapi dia tidak mau mengakuinya.
“Ama…” aku memanggilnya dengan nada sedih. Dia melihatku dengan mata
berkaca-kaca dan dia mengangguk. “Kita sekarang cari petunjuknya, gue gak mau
salah pilih.” Ama mengatakan itu dengan amarah di dalam suaranya. Tubuh Clyde
mulai dibawa turun dengan perlahan. Aku tahu ini adalah kali terakhir aku akan

melihat Clyde. Kita semua mencari cluenya. Sekali lagi, kita tidak menemukan
apa-apa. “Kenapa kita selalu gak nemu petunjuknya dah?” tanya Nic dengan nada
kesal. “Brodin emang bener-bener ngebantu ya,” Jawab Ama sedih. “Yang pasti
orang yang ngebuat game pengen kita susah kan? Makanya dia naro petunjuknya
di tempat yang lebih tersembunyi dari babak sebelumnya,” ucap Nic. Aku
terpikirkan satu hal. “Ada satu tempat yang kita belum cari,” “dimana Aaron?”
“kita belum pernah coba buka pintu-pintu itu kan?” Ama dan Nic terkejut. “Oiya,
yaudah kita masing-masing coba buka pintunya.” Aku bergerak menuju pintu
terdekatku. Aku memutar roda yang ada di pintu dan tiba-tiba pintuku terbuka.
Aku sedikit terkejut sehingga aku berjalan mundur. Ama dan Nic muncul
disebelahku. Pintu itu terbuka menuju lorong yang cukup gelap. “Jadi, siapa yang
mau masuk?” Tanya Nic. Aku dan Ama mundur satu langkah yang membuat Nic
menjadi paling depan. “Oh Nic, makasih banget udah jadi sukarela,” ucap Ama
bercanda. Nic menunjukan muka kesalnya ke kita dan akhirnya masuk ke ruangan
itu. Aku dan Ama menunggu sekitar 30 detik hingga akhirnya Nic berteriak,
“ketemu!” Nic berlari menuju pintu keluar dan tiba-tiba pintu itu tertutup lagi.
Aku mencoba membukanya lagi tetapi tidak akan terbuka. Nic menaruh
petunjuknya, yang berupa kertas kecil di atas meja. Di kertas kecil itu muncul
tulisan N/A. “N/A? Bukannya itu kependekan dari Not Available ya?” ucap Ama.
“Jadi, kita gak dikasih clue buat babak terakhir?!” tanya Nic, aku hanya diam dan
menunduk. Aku sudah mencoba memikirkan hal lain apa yang berhubungan
dengan N/A, tapi aku tidak terpikirkan apa-apa. “Jadi, kita milihnya gimana? Dan
jujur, gue gak mau milih salah satu dari kalian,” “Aaron…” ucap Ama. “Gue juga,
kita udah ngelewatin banyak hal bareng-bareng,” lanjut Nic. Ama terlihat sedih.
Aku yakin dia juga tidak ingin memilih karena dia memang orang yang sangat
berbaik hati. “Ta-tapi, kita harus milih salah satu, atau kita bisa terjebak
selamanya disini,” ucap Ama, “gue masih mikirin tentang petunjuk ini. Walaupun
gue bener-bener gak mau vote kalian, gue tetep gak mau ngebunuh orang gak
bersalah.” Apa yang dikatakan Ama benar, aku lebih memilih membunuh orang

berasalah dibanding membunuh orang yang tidak bersalah. Waktu tersisa 2 menit,
silahkan pikirkan orang yang akan kalian pilih. Suara itu muncul lagi. “Kita harus

pilih orang yang bersalah,” ucap ku dengan nada monoton, “tapi kita gak tau N/A
artinya apa. Kode? Cuma huruf? Inisial?” “Tunggu!” teriak Nic, “kayaknya gue
ngerti, dilihat dari nama kita, semuanya punya huruf N dan A. Tapi ada 1 yang
beda. Nama gue cuma punya N tapi gak ada A, nama Ama cuma punya A tapi gak
ada N. Aaron…punya huruf A sama N. Aaron itu pembunuhnya.” Ama menutup
mulutnya tidak percaya. “Tapi kan Aaron tadi cuma bengong! Pas kita nemuin
Clyde juga Aaron masih duduk di tempat yang sama. Aaron ini gak bener kan?
Please bilang ini semua gak bener, PLEASE.” Saatnya voting, Silahkan duduk di
kursi dengan nama kalian. Ama terjatuh dilantai sambil menangis. Aku
menghampiri Ama dan memeluknya. “Maafin gue Ama, gue udah ngecewain lu.
Tapi gue udah ngelindungin lu sampe akhir kan? Jangan nangis lagi ya.” Kita
semua duduk di kursi kita masing-masing. Aku memencet nama ku dan sepertinya
yang lainnya juga melakukan hal itu. Aku memang yang membunuh Clyde. Satu-
satunya alasan aku membunuh sahabtku sendiri adalah aku ingin melindungi
Ama. Yang Ama tidak ketahui adalah orang tua Ama meminta ku secara khusus
untuk melindungnya. Aku sudah berjanji dan aku bukan tipe orang yang suka
ingkar janji. Hasil voting telah masuk, saatnya pengumuman. Pengumuman
muncul di depan mata kita yang bertuliskan,
Nic: 0
Ama: 0
Aaron: 3
Ama tambah menangis melihat hasil itu. “Ama, jangan merasa bersalah,” besi-
besi mulai melingkari tangan, leher, kaki, dan perutku. “Selamat tinggal Ama,
Nic,” aku menutup mataku sebaring kursiku yang dibawa kebawah.

Teriakan Aaron memenuhi ruangan. Ama menutup kupingnya, tidak ingin
mendengar sahabat masa kecilnya mati. Setelah teriakan Aaron berhenti, salah

satu pintu terbuka. Aaron sudah menjalani hukumannya. Saatnya pengumuman.
Aaron adalah pembunuhnya. Ama dan Nic terlihat sedih. Tenaga mereka sudah
terkuras melihat teman-teman mereka mati. Selamat Ama dan Nic. Kalian adalah
pemenang dari game Trauma. Kalian bisa keluar dan menikmati hidup kalian
seperti dulu lagi, dengan memori dan trauma baru yang tidak akan kalian

lupakan. Ama dan Nic terkihat kesal dengan suara itu. “Nic, ayuk kita langsung
keluar.” Nic mengangguk. Ama dan Nic keluar melalui pintu yang terbuka dan
mereka ada di komplek apartemen. “Tunggu, ini komplek apartemen ku,” ucap
Nic, “kita bakal ketemu lagi gak?” “pasti, ini gue kasih kontak gue.” Nic
mengasih selembar kertas dengan nomornya ke Ama. Mereka berdua berpelukan
dan Ama jaln menuju rumahnya. Dia berjalan sambil memikirkan kejadian yang
baru saja terjadi. Ama terpikir dengan kursi ke 12 yang tidak pernah ada namanya,
tetapi dia terlalu capek untuk memikirkannya lebih dalam. Nic dan Ama sudah
melalui banyak hal, mereka bahkan tidak mengerti apa yang harus mereka
jelaskan ke keluarga mereka. Seperti apa yang suara itu katakan, mereka melalui
suatu pengalaman yang tidak akan pernah mereka lupakan. Pengalaman trauma.

Selamat Pagi Dunia
Azzura A

Selamat pagi dunia, tapi apakah hanya ini yang tersedia untukku, dunia?
Hidupku sangat sederhana. Rutinitas setiap hari selalu sama, sangat
membosankan. Aku bosan selalu bangun di rumah sakit ini yang menurutku lebih
mirip penjara. Situasi dan lingkungannya selalu sama. Yang bisa berbeda hanya
bajuku yang sengaja aku ganti-ganti warnanya setiap hari untuk mewarnai
hidupku yang hitam putih ini. Biarkan saja aku seperti badut, setidaknya itu
membuatku senang.
Ah, itu dia ketukan pintu di pagi hari. Tepat seperti jadwal. "Pagi Dea, ini
sarapan kamu," kata perawat yang selalu di utus untuk datang ke kamarku.
Akupun tersenyum saja. Berusaha terlihat baik-baik saja karena aku orangnya
gaenakan. Perawat itupun berbicara lagi, "apa kabarmu hari in-," "kapan
aku bisa
keluar dari rumah sakit ini?" Oh tidak. Aku tidak sengaja memotong pembicaraan
orang. Ada apa denganku? Biasanya aku tak berani memotong saat orang
berbicara karena ku rasa itu tak sopan. Dengan cepat ku balas, "eh, ma-maaf
kenapa tadi?" Perawat itu menghela nafas panjang dan tersenyum. "Tidak
apa-
apa. Kamu ada sakit kepala? Atau pegal-pegal?" katanya. Aku menggeleng,
memberi kode aku tidak kenapa-napa.
“Lihat trik baruku kakak!” mulailah dia memutar-mutarkan piring yang
diseimbangkan di atas tongkat baseball di atas kepalanya itu. Sangat
menakjubkan bukan? Akupun tidak tahu bagaimana dia bisa melakukannya. Tapi
adikku ini menakjubkan dengan atraksi-atraksinya. Dia memang seorang badut
yang luar biasa. Badut yang seperti inilah yang kusuka. Tidak berwajah menor,
pakaiannya juga tidak terlalu mencolok, hanya warnanya saja yang bervariasi agar
terlihat ceria.
Ya, adikku ini datang sekitar 20 menit setelah perawat tadi keluar dari

kamarku. Oh iya, aku belum menyebut bahwa yang masih memberiku kesenangan
itu hanya bajuku yang sengaja aku variasikan warnanya, dan adikku yang sering
menunjukkan kepadaku atraksi-atraksi yang sudah dilatihnya seolah-olah dia
sedang beratraksi di panggung sirkus. Aku sangat menghargai adikku yang
menyempatkan waktunya walau cuma sebentar untuk menjengukku di sini.

Aku bingung sebenarnya bagaimana dia bisa melakukan semuanya. Bekerja
di sirkus 8 jam setiap hari, membayar biaya rumah sakitku, menyempatkan
menjengukku, dan tetap ceria sambil mengerjakan dan memikirkan semua itu.
Hari ini termasuk hari yang istimewa karena jarang-jarang dia diliburkan sehari
oleh tempat kerjanya. Sangat seganlah aku dengan adikku ini.
Kami juga hanya berdua di keluarga. Ibu dan ayah kami meninggal di
kecelakaan mobil saat kami berumur 20 tahun. Sejak itu kami berdua
mendedikasikan waktu kami tidak bersekolah dan langsung mencari uang menjadi
talent di sirkus. Tapi karena aku jatuh sakit begini, terpaksa Ade bekerja sendirian
di sana. Kami berdua sangat bersyukur dulu sering diajari ibu dan ayah trik yang
simple dan karena itu kami bisa tertarik untuk belajar yang lebih kompleks secara
bertahap. Kami beruntung juga kakak beradik seperti ini. Lebih tepatnya sih
kembar, tapi Ade lebih suka dipanggil adik karena dia telat 10 menit lahirnya, dan
namanya juga Ade, hehehe. Jadi, setidaknya walaupun ibu dan ayah kami terpaksa
meninggalkan kami dan pergi ke tempat yang lebih baik di sana, kami tetap
memiliki satu sama lain.
Tidak banyak yang bisa kulakukan di rumah sakit ini. Setelah Ade pamit
pulang kepadaku sekitar jam 5 sore, akupun beres-beres bekas cemilan kami tadi
dan siap-siap ke lantai bawah untuk makan malam, setelah itu tidur dan
mengulang rutinitas yang sama untuk hari esok dan seterusnya.
Keesokan harinya adalah hari yang sangat spesial. Aku diundang Ade ke
pertunjukan sirkusnya! Aku sangat senang mendengar berita itu. Ini merupakan
hal yang istimewa karena jarang-jarang ku diperbolehkan keluar dari rumah sakit
ini.

Sesampainya di tempat sirkus, banyak sekali memori yang kembali kepadaku.
Akupun menuju tempat dudukku yang V.I.P. booking-annya Ade. Dan itu dia
adikku bersiap-siap melakukan atraksinya yang dia tau itu faforitku juga. Ade
sangat lihai dengan atraksi talinya itu. 2 babak ia lakukan dengan amat indahnya.
Ayo Ade! Satu lagi, kamu bisa!
Namun, saat ronde ketiga, ternyata Tuhan berkata beda. Tak habis pikir
betapa teganya Ia membiarkan Ade jatuh melewati safety net dan ke lantai. Ya

Tuhan, jantungku rasanya mau copot. Tolonglah jangan biarkan dia
meninggalkanku!
Sudah telat, dia sudah meninggal. Dia telah meninggalkanku di dekapanku.
Aku menangis tersedu-sedu dengan mataku tertutup. Tapi apa ini? Saat buka mata
mengapa aku ada di posisi Ade seolah-olah aku ada di badannya? Aku masih
hidup tetapi badanku lemah sekali. Aku melihat ke bawah dan kakiku sudah
lumpuh. Aku panik sekali, tapi ini kan memang keadaanku selama aku di rumah
sakit.
Aku sangat panik dan terkejut sehingga terbangun dari mimpi itu. Ku lihat ke
samping ranjang rumah sakit sudah ada perawat regulerku berdiri di situ. “Dea,
kamu sudah sadar total?” katanya. Aku mengangguk lesu, memang sudah siuman
total tapi mimpi tadi masih mengejutkanku. “Sesuai catatan, minggu ini memori
kamu harusnya sudah kembali lagi. Bisa kamu ingat-ingat?” kata perawat yang
sekarang aku tahu mengapa aku selalu lupa namanya. Aku jawab sambil
mengingat segala hal dengan perlahan, “nama saya Dea Hermawan. Saya seorang
pasien di rumah sakit jiwa ini karena saya mulai kehilangan akal setelah
kehilangan segalanya di dunia ini. Yaitu kedua orang tua saya dan bagian diri saya
yang mampu melakukan satu-satunya hal yang membuat saya ingin bertahan
hidup yaitu atraksi sirkus. Saya kira berhalusinasi mempunyai teman akan
membuat saya tenang dan tidak sendirian, walaupun di hati kecil, saya menyadari
bahwa Ade hanyalah sebuah kesenangan yang tak nyata. Saya membuat karakter
Ade karena dialah yang selalu ada untukku, satu-satu orang yang selalu bisa

kupercaya dan andalkan. Yaitu diriku sendiri”.
Perkataan ku sukses direkam oleh perawatku dan memori yang hilang itupun
sukses menghadirkan dirinya kembali. Aku mulai mengingat betapa depresinya
aku waktu itu. Ku rasa semua itu tak bisa ku atasi sendiri dan akhirnya berusaha
mengobati luka itu dengan cara yang salah. Akupun terdiam menatap langit-langit
kamarku di rumah sakit ini. Perawat yang tadi masih stand-by di samping
ranjangku, bersiap-siap membantuku bangkit dari posisi tidur.

Namun, aku mulai pusing lagi saat aku ingin membangkitkan tubuhku ini.
Akupun mengikuti apa kata tubuhku dan tiduran lagi. Tapi semuanya menjadi
gelap dan semakin gelap. Sebelum ku sadari akupun tak tersadarkan lagi.
Selamat pagi dunia, tapi apakah hanya ini yang tersedia untukku, dunia?

RAJIN BELAJAR

Benaya Azarel XI IPS 1

Hari Senin yang sangat cerah. Setelah anak-anak selesai malaksanakan upacara
bendera, mereka semua

menuju kelas nya masing masing untuk belajar di kelas nya.

Hari ini ada empat mata pelajaran yakni, matematika, Bahasa indonesia, Bahasa Inggris,
dan Sejarah.

Mata pelajaran yang pertama adalah matematika. Bapak guru menyuruh untuk
,engerjakan halaman 7

sampai 8.

Suasana di dalam kelas nampak hening ketika para siswa sedang mengerjakan soal
yang di berikan oleh

bapak guru tersebut.

Setelah selesai, kemudian pak guru berpesan kepada murid-muridnya untuk mempelajari
materi per-

kalian dan pembagian dengan soal cerita karena sewaktu-waktu akan diadakan tes
dadakan.

Setelah selesai melaksanakan proses belajar di sekolah, para siswa kemudian pulang
kerumahnya

masing-masing.

Dinda, Nuryati, dan Indah pulang bersama, mereka bertiga berjalan kaki karena memang
jarak sekolah

kerumah mereka tidak terlalu jauh.
“Setelah makan siang nanti kita bermain bersama ya?. Di rumahku ada boneka baru yang
di belikan
ayahku dari Bandung.” Pinta Indah kepada kedua temanya.
“Asyik.” Ucap Dinda dengan penuh kegembiraan.
“Gimana, Nur, kamu bisa ikut gak?”
“Aku tidak bisa ikut. Aku mau belajar saja, karena tadi kan pak guru berpesan untuk
belajar untuk
persiapan karena akan ada tes dadakan.” Sanjang Nuryati dengan polosnya.

Sesampai di rumahnya, Tika langsung ganti baju, makan siang, kemudian tidur siang
agar malamnya dia

bisa belajar dengan tenang dan bisa konsentrasi.

Sesekali ia bertanya kepada ayahnya jika ada yang kurang paham dengan materi di
buku.

Sedangkan Dinda dan Indah asyik bermain boneka hingga larut sehingga mereka tidak
sempat

mempelajari materi. Keesokan harin nya mereka berangkat bersama, sesampai di kelas,
ternyata

memang ada tes dadakan.

Dinda dan Indah merasa kesulitan mengerjakan soal-soal yang diberikan oleh pak guru
dan akhirnya

mereka mendapat nilai jelek sehingga mereka harus mengulang tes susulan.

Lain halnya dengan Nuryati. Ia mendapat nilai terbaik di antara teman satu kelas nya
karena dia sudah

belajar dengan sungguh-sungguh sesuai nasihat gurunya. Bapak guru meminta agar
Dinda dan Indah

belajar dengan temannya, Nuryati.

“Wah, Nur, selamat ya, kamu mendapa nilai terbaik. Besok kita akan ikut belajar
denganmu ya.” ucap

Dinda pada Nuryati.

Tentang Bahagia
Bianda Syahira

“Dirga!” teriak Sekar kepada Dirga yang baru datang ke kantin dengan antek-anteknya.
Bisa dilihat dari tempat duduknya sekarang, Dirga memisahkan diri dari gerombolan
teman-temannya menuju tempat duduk Aluna dan Sekar.
“Kenapa?”
“Beliin jasjus jambu,” ucap Sekar dengan senyum manisnya sambil menyodorkan uang
senilai sepuluh ribu.
“Dih, gamau.”
“Sumpah-sumpah, ih Dirga jahat banget!” Dirga membalik badan, berniat pergi.
“Dirga Al Malik! Ih, males banget sumpah ah,” rengek Sekar sambil berdiri memukul
meja.
“Ngga sehat, Sekar,” Sekar langsung diam.
Aluna yang sedari tadi menonton juga ikut, “iya, Sekar. Dengerin tuh pacarnya.”
Aluna langsung mendapat dorongan kecil di bahu dari Sekar juga tatapan bingung dari
Dirga. Sekar dan Dirga adalah sepasang sahabat kecil yang tidak terpisahkan. Sejak bayi
hingga kini SMA, mereka selalu bersama. Status mereka seratus persen hanya sahabat,
sejak dulu tidak ada yang terbawa perasaan.
Aluna yang gemas akan mereka berdua, selalu berusaha untuk menjodohkan mereka
agar
cepat jadian. Ya contohnya seperti ucapannya tadi, yang akhirnya ia akan mendapat
hujatan dari kedua manusia itu.
Ingatan seminggu lalu di kantin kembali datang lagi ke pikirannya, Aluna kini masih
diselimuti duka yang mendalam. Sekar telah pergi meninggalkan dunia akibat sakit yang
dialaminya. Aluna benar-benar merasa hampa sampai hari ini.
Tidak banyak waktu yang Aluna dan Sekar habiskan di rumah sakit kala itu. Aluna juga
tidak banyak bercerita, ia hanya mau mendengarkan ocehan-ocehan lucu dari Sekar
yang

ternyata menjadi ocehan terakhir yang Aluna dengarkan.
Hari ini untuk menghibur Aluna, Saga—pacar Aluna, dengan inisiatif mengajaknya
makan. Aluna bersyukur memiliki orang-orang baik di sekitarnya seperti Sekar juga Saga.
Sejenak Aluna bisa melupakan kesedihannya yang kemarin rasanya tak kunjung usai.

Makan bersama Saga dan sesekali mendengar lelucon receh dari Saga, membuatnya
benar-benar terhibur hari ini.
“Aku juga ngga paham banget sama dia. Naik mobil pake helm, pembalap kali?” Aluna
masih menertawakan cerita Saga tentang temannya itu.
“Ngga kuat banget ih, kenapa sih dia, Ya Allah,” ucap Aluna di sela tawanya.
Setelah perdebatan membayar makanan, akhirnya Saga menang dan membayar
makanan
mereka. Bagian paling tidak disukai Aluna kalau makan bersama Saga, pasti Saga selalu
memaksa dia yang membayar. Padahal Aluna selalu memaksa untuk membayar
sendiri-sendiri atau patungan, tapi Saga selalu punya cara untuk menolak itu.
Ketika Saga membayar, Aluna berjalan-jalan disekitar lobi parkiran yang tidak jauh dari
kasir, tiba-tiba ada seseorang yang memanggil namanya.
“Na,” merasa namanya disebutkan, ia mencari asal suara tersebut dan menemukan
Dirga.
“Eh, Dirga?” jujur saja selama dua tahun berteman dengan Sekar, Aluna tidak merasa
begitu dekat dengan Dirga. Maka dari itu setiap Sekar berbicara dengan Dirga, Aluna
selalu diam dan menyimak.
Terakhir Aluna dan Dirga bertemu, seminggu yang lalu di pemakaman Sekar. Kalau saat
sekolah, kemarin Aluna benar-benar tidak ada tenaga untuk berjalan jadi ia berdiam
dikelas.
“Sendiri?” tanya Dirga.
“Engga, gue kesini bareng pa-pacar gue. Lo sendiri?”
“Engga, lagi nunggu Mama ketemu temennya.”
“Oh gitu,” Aluna menengok kebelakang untuk memastikan Saga ada dimana, dan
laki-laki itu sudah selesai membayar dan berdiri lobi, menatap ke arah Aluna dan Dirga.

Muhammad Sagara Pramudito adalah seorang yang dikenalkan oleh Sekar empat tahun
yang lalu, laki-laki paling gentle yang pernah Aluna kenal. Makanya Aluna benar-benar
jatuh hati kepada sosok laki-laki itu. Baik, gentle, plus tampan sepertinya paket lengkap
yang Tuhan berikan kepada Aluna.
Dua tahun berteman, kemudian Saga mengungkapkan perasaanya benar-benar
mendadak
saat itu. Meski mendadak dan terpisah jarak karena berbeda sekolah, hubungan mereka
berjalan sampai sekarang.

Aluna memanggil Saga untuk menghampirinya, memang Saga orangnya sangat
menghormati privasi seseorang contohnya saja tadi ia memilih berdiri jauh dari Aluna dan
Dirga daripada menghampiri mereka karena Saga kira mereka sedang membicarakan
sesuatu yang penting bagi mereka.
“Dirga tau Saga ngga?” tanya Aluna saat Saga menghampiri mereka.
“Temennya Sekar ya?”
“Iya, nih Ga, kenalin, Dirga,” ucap Aluna kepada Saga yang telah sampai.
“Sagara.”
“Dirga.” Aluna pamit dan mereka berpisah.
Kekurangan Saga, ia paling ahli dalam menyembunyikan perasaan tapi Aluna yang suka
menerka pada akhirnya yang disembunyikan Saga selalu terungkap juga. Saat ini mereka
di mobil, tiba-tiba Saga sedikit berubah daripada saat mereka berangkat.
“Ga, kok diem?” Saga menggeleng kemudian tersenyum mengalihkan pertanyaan Aluna
dan berharap Aluna tidak bertanya lagi.
“Ih, kenapa deh?”
Hening.
1... 2... 3...
“Kamu deket sama Dirga?” Aluna tersenyum puas, ternyata tebakkanya benar. Pasti
karena Dirga.
“Engga kok.”
Ya, ini salah satu kekurangannya juga, mudah cemburu tapi kadang hanya ia

sembunyikan saja.
Saat masuk sekolah Aluna tidak sendiri, ia sering diajak teman yang lain untuk ke kantin
bersama, berbincang bersama, dan bermain bersama. Meskipun rasanya tidak seakrab
Sekar namun Aluna bisa menjalani hari-harinya dengan baik.
Salah satu dari teman Aluna punya pacar yang merupakan sahabatnya Dirga, jadi
kadang
Dirga sering datang ke kelas Aluna untuk bermain disana. Aluna dan Dirga menjadi
akrab.

Aluna jadi lebih mengenal Dirga, ternyata Dirga tidak seperti yang ia bayangkan.
Orangnya baik, ramah, asik, dan cerdas pula. Dirga juga sangat peka dengan sekitarnya.
Persis seperti yang diceritakan Sekar.
Kini disekolah Dirga bisa ia sebut sebagai temannya juga karena semakin hari hubungan
mereka semakin baik. Bahkan Aluna sering berbincang hal yang tidak penting kepada
Dirga. Kalau dilihat mereka sudah seperti berteman sejak lama.
-
Semenjak Sekar pergi, Dirga sering pergi sendiri. Biasanya Sekar akan meminta untuk
diantar namun sekarang sudah tidak. Tidak, Dirga tidak sedih, sesuai janjinya kepada
Sekar untuk jangan pernah bersedih jika dirinya benar-benar akan pergi dulu.
Perginya ia selalu tidak ada tujuan, ia hanya berkeliling sekitar rumah dengan mobilnya.
Kadang jika ada penjual dipinggir jalan, ia akan berhenti untuk membeli sekalian berbagi
seperti yang dulu Sekar lakukan.
Sekalian memenuhi perintah ibunya, Dirga menuju ke toko alat tulis untuk membeli
kebutuhan ibunya. Tidak sengaja Dirga bertemu dengan
Perginya ia selalu tidak ada tujuan, ia hanya berkeliling sekitar rumah dengan mobilnya.
Kadang jika ada penjual dipinggir jalan, ia akan berhenti untuk membeli sekalian berbagi
seperti yang dulu Sekar lakukan.
Sekalian memenuhi perintah ibunya di group chat keluarga, Dirga menuju ke toko alat
tulis untuk membeli kebutuhan ibunya. Tidak sengaja Dirga bertemu dengan Tita—pacar
sahabatnya Dirga.

"Dirga?" panggil Tita agak ragu.
Dirga menengok, "eh, Ta, sama Rio?"
"Bukan, sama Luna lagi mau nugas."
"Luna?" Tita mengangguk.
"Maksud lo Aluna?"
"Iya Dirga, kenapa? Mau ketemu? Bentar," Tita berbalik kemudian berteriak memanggil
Aluna, benar-benar kencang sampai pegawai membulatkan matanya. Bahkan ada yang
loncat.
"Ta, Ya Allah.. pacarnya Rio," Dirga tidak habis pikir dengan Tita itu. Bisa-bisanya dia.

"Kenapa, T- Eh, Dirga?" Aluna muncul dari sebelah kanan, matanya langsung berbinar
kala melihat Dirga.
"Di cariin tuh sama Dirga, kangen katanya," ledek Tita enteng kemudian meninggalkan
keduanya disana, untuk mencari barang lain.
"Buat tugas juga?" tanya Aluna basa-basi, tidak seperti pertemuan pertama, kali ini
mereka tidak terlihat canggung sama sekali.
"Mama minta beliin batre buat tongsis katanya." Sekarang kalo ngomong panjang pake
penjelasan.
"Buat lo ya tongsisnya?"
"Yang bener aja," kemudian Aluna tertawa, dasar receh.
"Bisa aja Dirga diem-diem fotonya pake tongsis kan?"
"Gue mah keren kalo foto kayak model."
"Pede banget sih lo yaampun, untung beneran cakep."
Deg.
"Hey pasutri," kejut Tita, "udahan dong pacarannya ntar lagi."
"Haduh, si Tita," Aluna pasrah dengan kelakuan Tita.
"Dirga, ntar lo ikut Rio aja kalo mau lanjut pacaran. Rio mau ke rumah gue. Nanti lo
jemput Aluna, ceilah."
Akhir-akhir ini Saga susah sekali dihubungi, waktu itu pernah bisa dihubungi kemudian
sambungannya mati kembali. Aluna pikir Saga sepertinya sedang sibuk dengan urusan

sekolahnya, mengingat Saga sekarang sudah kelas 12.
Aluna chat juga dibalas beberapa jam setelahnya, bahkan pernah sampai dua hari
setelahnya. Saga belum menjelaskan mengapa ia sesibuk itu, Aluna juga tidak mencari
tahu karena ia juga sedang sibuk dengan ujian praktek akhir semester.
Jadi Tita yang notabene baru dekat dengan Aluna karena tugas kelompok ini tidak tahu
bahwa Aluna sudah punya pacar.

Dirga benar-benar mengikuti apa yang Tita katakan. Ia datang menjemput Aluna. Dan
disinilah mereka sekarang, Warung Tenda Mang Umang. Dengan dua porsi nasi goreng
di atas meja, mereka menikmati hidangan sederhana disana.
"Na, jangan mikir aneh-aneh ya, gue dateng beneran di ajak Rio terus tadi daripada lo
nunggu dijemput, yaudah sekalian aja sama gue. Searahkan kita?"
"Siapa yang mikir aneh-aneh sih, Ga?"
"Izin ke pacar lo dulu deh, Saga anak main, takut."
"Demi apapun, Dirga lebay banget," Aluna menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Lagi ngga baik-baik aja ya, Na?"
Aluna tertawa sumbang, "ngga paham juga gue, ngga biasanya dia begini. Gue capek
juga
buat nyari tau gara-gara ada praktek ini. Mungkin dia sibuk juga sama ujiannya ngga sih?
Eh, maaf banget biasanya gue cerita kayak gini ke Sekar. Gue kangen Sekar, Ga."
"Gapapa, Na. Aduh, gue gamau kedengeran kayak buaya tapi beneran gapapa cerita ke
gue. Sekar nitip lo ke gue."
"Hah? Beneran, Ga?" Dirga mengangguk.
"Dia bilang, tolong jagain Luna. Deketin aja, Luna anaknya gampang deket sama orang.
Baik, seru, santai, cakep," Dirga terkekeh karena Aluna juga malu, "Trus dia bilang lo
boleh- Ah, ya gitu deh pokoknya."
"Ih, boleh apa? Kenapa dipotong?"
"Udah pokoknya lo harus bahagia. Bahagia ya?" Dirga sok imut, Aluna tertawa.
-
"Ga, bisa ketemu?"

Kafe 101 menjadi pilihan Aluna untuk bertemu dengan Saga. Membicarakan yang sudah
ia simpan sekitar hampir dua bulan ini.
Disini mereka duduk, ditempat yang sama seperti saat pertama kali mereka bertemu
kemudian membangun sebuah hubungan yang entah kapan akan menjadi sebuah
hubungan yang berdiri kokoh.

Setelah beberapa basa-basi yang tidak seperti biasanya dilakukan saat bertemu, Saga
menemukan intinya.
"Kamu mau putus?"
"Kamu mau?"
"Aku ikut jawaban kamu."
Aluna mengangguk.
Kafe 101, tempat duduk dekat kaca telah resmi menjadi saksi awal dan akhir hubungan
Aluna dan Saga.
Hari berikutnya, Aluna dan Dirga datang ke makam Sekar untuk kesekian kalinya.
Mendo'akan sahabat mereka dan merealisasikan pesan yang disampaikan Sekar kepada
mereka, untuk tetap bahagia.
Dari makam, mereka berencana untuk pergi ke puncak. Pergi siang, pulang sore. Hanya
mau melihat pemandangan dari atas bukit.
Sesampainya disana, mereka hanya menyender di kap mobil. Menikmati cuaca cerah
ditambah udara yang dingin di siang menuju sore ini.
Aluna menikmati pemandangan disebelah Dirga sambil menyedot susu stroberi
kesukaannya yang tadi ia beli di rest area.
"Ga, tempat yang jauh, tenang, yang adem, ngga bikin stress selain di puncak, dimana
ya?" celetuk Aluna membuat Dirga tertarik untuk menjawab.
"Hm, di surga kayaknya, Na."
"Eh, kok? Bukan itu Dirga serem-"
"Lagian ada yang betah banget disana, berartikan nyaman banget disana."
"Dirga kangen Sekar ya?"
Dirga hanya tersenyum sambil kembali memandang pemandangan didepannya, "tapi

disini ada orang yang dititipin ke gue. Gue disuruh buat dia bahagia katanya, padahal
gue
ngga bakat bikin orang bahagia. Malah dia yang bikin gue bahagia."
Ini bukan cerita yang punya ujung indah, hanya tentang dua manusia yang sama-sama
rapuh, yang sedang menyembuhkan luka dengan saling mengobati.

Cerita ini hanya ingin mengingatkan bahwa ketika duniamu sedang berduka, dunia
sekitarmu masih tetap ada. Mereka masih menunggumu untuk kembali keluar dan
berbahagia.
Ada sedih ada bahagia, ada masalah ada solusinya, ada awal ada akhirnya. Hadapilah
meski berat, karena setelahnya semua terasa sangat bermakna.

SELESAI

Pertemuan Singkat
Cut Kiarra A

05 November, 2014

Sore yang dilengkapi gerimis terlihat dari luar jendela kamarku. Suasana seperti ini
sangat
membuatku susah untuk beranjak dari kasur. Menurutku, bermalas-malasan diatas kasur
adalah
ide yang bagus disaat cuaca seperti ini. Ku raih handphone dan earphone milikku dan
memilih
lagu yang akan menemaniku saat ini. Buatku, musik adalah teman yang paling tepat
ketika aku
merasa sendiri.

Perkenalkan, namaku Monika, seorang remaja perempuan yang mempunyai cita-cita
sebagai
penulis novel. Aku sangat suka membaca novel-novel fiksi karena untukku, itu adalah
salah satu
cara untuk aku pergi sejenak dari realita yang kadang membuatku lelah. Membaca novel
membuatku seolah-olah aku berada di dalam cerita tersebut, yang turut merasakan
emosi yang
dialami oleh karakter yang ada di dalam buku yang kubaca. Hal lain yang membuatku
jatuh cinta
dengan novel adalah, kata-kata atau kalimat-kalimat indah yang dituliskan oleh si penulis.
Kalimat yang tak pernah ku sangka akan kubaca dan memiliki pengaruh besar dalam
hidupku.
Bahkan aku sampai menuliskan kalimat-kalimat favoritku di buku jurnal milikku, hanya
untuk
kepuasan diri sendiri. Salah satu kalimat favoritku adalah “So, I guess we are who we are
for
alot of reasons. And maybe we'll never know most of them. But even if we don't
have the power


Click to View FlipBook Version