KUYANG
Achmad Benbela
Prolog
Ada yang janggal di kampung ini. Penduduknya hanya beberapa orang saja.
Itupun rata-rata berusia sudah tua. Wajah mereka sangat muram dengan
pakaian yang lusuh. Tubuh mereka kurus dan pucat, seperti orang yang terkena
penyakit. Tatapan mereka kosong tanpa pengharapan, seolah-olah ajal siap
menjemput mereka kapan saja.
Istriku mencengkram erat pergelangan tanganku. Kami bergegas menuju
tempat yang kami tuju. Rumah-rumah penduduk yang terbuat dari kayu, rupanya
banyak yang kosong tanpa penghuni. Seperti sengaja ditinggalkan dalam keadaan
terburu-buru. Banyak yang sudah lapuk tertutup tanaman merambat. Sebagian lagi
sudah rata dengan tanah, tertutup rerumputan dan belukar. Hanya ada anjing liar
dengan tubuh kurus kering penuh lalat yang menghuni rumah-rumah tersebut.
Dan yang lebih aneh lagi, tidak terlihat satupun anak kecil di kampung ini.
-1-
-2-
KaliBmAB 1a: ntan
2018.
Akhirnya, aku dan istriku menginjakkan kaki di Kalimantan. Tanah harapan
dan impian, setelah bertahun-tahun hidup tanpa penghasilan yang cukup di
tanah kelahiranku, Gunung Kidul, Yogyakarta.
“Tolong serahkan amplop ini serahkan kepada Pak Kasno, ya. Dia akan mengu
rus segala keperluan di sana. Ingat.. enam bulan lagi prajabatan di provinsi. Nanti
akan ada surat pemanggilan. Kamu akan berangkat bersama-sama CPNS lainnya.
Nanti akan dilepas langsung oleh Pak Bupati.”
“Inggih, Pak. Terima kasih banyak. Akan saya sampaikan salam Bapak buat
Pak Kasno”.
Aku kemudian menyimpan amplop dari lelaki setengah baya tersebut ke dalam
tas punggung yang kubawa. Aku sisipkan di antara berkas-berkas lainnya, yang
disatukan dalam wadah plastik khusus untuk menyimpan berkas.
Setelah keluar ruangan, beberapa orang lainnya kemudian masuk ke ruang
an tersebut. Sama seperti diriku, mereka adalah CPNS yang akan ditugaskan ke
sekolah masing-masing, sebelum nantinya secara resmi dikukuhkan sebagai abdi
negara.
Aku kemudian segera pergi dari gedung dinas Pendidikan Barito Utara, meng
gunakan ojek menuju penginapan dimana istriku telah menunggu.
***
-3-
Setiba di penginapan, aku segera bergegas menuju kamar kami yang ada di
lantai dua. Kubuka pintu menggunakan kunci cadangan, istriku masih tertidur
pulas setelah menempuh perjalanan darat selama 10 jam dari Banjarmasin.
Wajahnya teduh, khas wajah wanita Jawa yang hitam manis.
Sebenarnya aku ingin dia tinggal dulu bersama mertuaku di Jawa, menanti
hingga aku resmi dilantik sebagai PNS. Namun ia bersikeras, takut aku kepincut
gadis lain di tanah rantau dan menghilang tanpa kabar katanya. Apalagi omongan
tetangga yang mengatakan bahwa pulau yang kujejaki ini penuh hal mistis, di
bumbui cerita tentang banyaknya orang Jawa yang tidak bisa pulang setelah me
nikah dengan orang Dayak, membuat istriku semakin memaksa untuk ikut.
Orangtuaku juga sempat melarang, takut peristiwa yang menimpa Mas Tarno,
tetangga kami, juga terjadi kepadaku.
Aku masih teringat peristiwa beberapa tahun lalu. Saat Mas Tarno baru sampai
di halaman rumah, ibunya langsung teriak histeris dan memeluknya dengan isakan
tangis. Saudaranya yang lain juga berhamburan menyambut Mas Tarno, karena me
ngira ia telah meninggal dunia di tanah perantauan.
Sehari setelah kedatangannya, keluarga Mas Tarno langsung mengada
kan malam syukuran atas kepulangannya. Setelah Isya, Aku dan para tetangga
lainnya turut hadir, sekaligus penasaran dengan cerita Mas Tarno selama bekerja
di Kalimantan. Rumah orang tua Mas Tarno yang kecil, penuh warga yang duduk
berdesakan. Kami ingin mendengar langsung tentang pengalamannya selama di
Kalimantan. Apalagi, baru sehari tiba di kampung halaman, sudah beredar kabar
bahwa Mas Tarno seharusnya sudah mati, tapi dihidupkan lagi oleh orang Dayak.
Aku dan Herman, sengaja memilih duduk agak dekat dengan mas Tarno. Siapa
tahu, ada informasi menarik yang bisa kami dapatkan, misalnya informasi tentang
lowongan pekerjaaan.
“Bim, kamu lihat gak? Di leher Mas Tarno ada bekas luka tebasan. Pasti dia
bikin ulah dengan orang Dayak. Iya, kan?” tanya Herman yang duduk di sampingku.
Aku yang dari tadi sibuk dengan ponselku, segera mengalihkan perhatian dan
memandang bagian leher Mas Tarno. Benar juga, di bagian lehernya terdapat bekas
luka memanjang.
***
-4-
“Sstt... Jangan keras-keras, nanti didengar mas Tarno atau keluarganya, nggak enak,”
kataku sambil berbisik pada Herman.
Mas Tarno memang dikenal sebagai pemuda yang pemberani di kampungku.
Meski tidak pernah bersikap sok preman, ia tak takut untuk menghajar apabila
ada pemuda atau warga yang berlagak sok jagoan. Ditambah lagi, ia salah seorang
pelatih silat sebuah perguruan yang berasal dari Madiun, sehingga ia memiliki
banyak murid yang siap membantunya bila terlibat perkelahian. Bahkan, banyak
murid perguruannya yang berasal dari beberapa kampung sebelah, sehingga
namanya semakin disegani.
Usai Pak Ustaz membacakan doa, giliran Pak Kades memberikan sambutan.
Kemudian, tibalah giliran Mas Tarno diminta menceritakan tentang pengalamannya
selama di Kalimantan.
“Kalian lihat luka bekas tebasan di leher saya ini? Leher saya hampir putus
ditebas. Waktu itu saya kira saya akan mati di tanah perantauan, di tengah hutan.
Tapi Alhamdulillah, Allah masih mengizinkan saya hidup sampai sekarang”.
Warga pun tiba-tiba hening saat Mas Tarno memulai ceritanya, terhanyut
akan suasana dan cerita yang ia kisahkan kembali. Raut wajah takjub dan heran
memenuhi ruangan saat itu.
“Suatu saat, aku memeriksa kebun karet milik perusahaan tempat saya
bekerja. Biasanya tugas seperti itu kami lakukan dua hingga tiga orang. Namun,
entah kenapa, dua orang temanku tidak bisa datang sehingga saya nekat berangkat
sendirian. Untuk jaga-jaga, saya membawa mandau, senjatanya orang Dayak. “
“Nah... Saat sudah di kebun yang berada di tengah hutan, saya bertemu dengan
seorang warga lokal. Sepertinya waktu itu dia sedang berburu, sebab dia tidak
hanya membawa mandau, tapi juga sumpit dan memakai tas punggung terbuat
dari anyaman rotan. Kalian tahu sumpit senjata khas Kalimantan? Bentuknya
seperti pipa, diisi oleh anak sumpit runcing dan diolesi racun dari tumbuhan. Cara
menombak sasarannya dengan meniup pangkal pipa.”
Mas Tarno lalu menyeruput kopi dan mengisap rokok kreteknya yang tinggal
seperempat batang, kemudian melanjutkan ceritanya.
***
-5-
“Saat itu kami saling bertatap mata. Mungkin karena merasa jemawa, aku tidak takut
sedikit pun saat itu. Toh, aku sudah sering berkelahi juga di kampung halaman, satu
orang Dayak bukanlah masalah pikirku. Hanya saja, aku terbiasa berkelahi tangan
kosong, tidak pernah berniat untuk mencabut nyawa orang”
Mas Tarno kemudian menghela nafas, mengumpulkan serpihan-serpihan
memori yang bisa diingatnya tentang peristiwa tersebut. Ia meraba bekas luka di
lehernya.
“Yang aku tidak sangka, ketika kami berkelahi, niat orang itu sudah pasti ingin
membunuh. Bukan hanya sekedar menghajar agar musuhnya jera.”
“Mungkin saja, waktu itu dia ingin menjajal kemampuanku, sebab sepertinya
dia tahu kalau aku bawa bekal ke Kalimantan. Saat sudah hampir berpapasan, tiba-
tiba saja mandaunya sudah menebas leherku. Aku yang tidak siap dapat serangan
tiba-tiba, langsung saja kabur ke arah sungai”
“Aku ingat sekali, baju yang kupakai sudah bermandikan darah. Orang itu
tidak mengejar, tetapi mengarahkan sumpitnya. Beruntunglah, belum sempat ia
meniup sumpitnya aku sudah terjun ke sungai Barito”
“Setelah terbawa arus, aku lalu diselamatkan warga yang menjala ikan.
Aku kemudian dibawa ke kampung dan diobati oleh tetua adat, orang Dayak
menyebutnya mantir. Leherku yang luka diolesi minyak yang disebut minyak
bintang. Kata Pak Mantir, kalau malam ini terlihat bintang, maka aku masih bisa
selamat. Tapi kalau tidak ada bintang, maka aku akan meninggal. Alhamdulillah,
malam itu ada bintang terlihat, sehingga aku masih selamat. Sepertinya Allah masih
ingin aku panjang umur. Kalau tidak, mungkin aku sudah meninggal di tanah
orang”
“Wah... pasti Mas Tarno menggoda istri orang, makanya ditebas orang asli
sana,” celetuk Pak Kades sehingga semua yang hadir tertawa.
***
“Itu gimana rasanya mas, waktu dikasih minyak bintang. Apa urat-uratnya
nyambung lagi atau gimana?” tanya salah seorang warga yang penasaran.
“Waktu itu saya sudah nggak sadar lagi, Mas. Antara hidup dan mati. Saya
hanya pasrah. Saya ditaruh di luar rumah biar terkena cahaya bintang.
Rasanya sakit sekali saat urat-urat leher dan daging saya kembali menyam
bung. Kretek… kretek... kretek... bunyi yang saya dengar saat urat-urat leher saya
kembali menyatu,”
-6-
Aku menyaksikan orang-orang yang mendengarkan cerita Mas Tarno me
nganga, sebagian lagi bergidik ngeri. Jelas saja! Bayangkan luka sayatan yang dalam
tersambung lagi, sampai ke urat-uratnya.
“Wah...benar juga ya, orang Dayak itu sakti... yang katanya bisa jalan di atas air,
atau mandau terbang itu benar nggak, mas?” tanya Pak Kades lagi.
“Kalau itu saya nggak pernah ketemu, Pak. Sebenarnya orang sana ya sama
seperti kita juga. Asal ga diganggu, mereka juga gak akan ganggu kita. Cuma
memang salahnya saya waktu itu mungkin tatapan mata saya kurang ramah dan
seperti ngajak ribut. Namanya juga lagi kesal karena teman saya nggak datang ikut
kerja.” Isapan panjang rokok Mas Tarno menjadi jeda yang terdengar jelas olehku
di tengah suasana tenang karena semua fokus ingin mendengar lanjutan cerita Mas
Tarno.
“Yang penting, kita berperilaku sopan di kampung orang. Gak usah petantang
petenteng, nanti kayak saya. Merasa jagoan, merasa punya ilmu, malah hampir mati
di tanah orang. Hahaha...”
Melihat mas Tarno tertawa, warga lain pun otomatis ikut tertawa. Setelah mulai
reda, aku memberanikan diri untuk bertanya.
“Nuwun sewu, Mas Tarno... jenengan kan udah 14 tahun gak pulang kampung.
Itu kenapa, Mas? Apa benar mas Tarno dipelet orang Dayak?”
Mas Tarno kemudian menoleh ke arahku. Jujur, saat itu aku kaget, takut
dia marah atau tersinggung. Tapi kemudian senyum mengembang di wajahnya,
sehingga aku pun kembali tenang
“Maaf nggih, adek ini sinten ya? Maklum... saya sudah lama gak pulang
kampung. Jadi agak lupa sama tetangga”
***
“Saya Bimo, Mas... anaknya Pak Supri,” ujarku sambil menunjuk dengan jempol
ke arah ayahku yang duduk beberapa jarak di samping Pak Kades. Ayahku lalu
mengangguk kepada Mas Tarno.
“Owalah... Si Bimo, udah gede toh, Le… dulu masih SD, sekarang udah besar.
Sebentar lagi punya istri, atau malah sudah punya anak, hehehe...”
“Belum, Mas... Baru lulus kuliah. Sekarang masih cari kerja yang layak”
“Iya...iya… “ Mas Tarno tampak mengangguk angguk.
-7-
“Sebenarnya, setelah setahun pertama di Kalimantan saya sudah berniat
pulang”
Mas Tarno lalu menghentikan kalimatnya, kembali menyalakan rokok lalu
menyeruput kopi. Warga kembali hening, antusias mendengar cerita Mas Tarno.
“Apalagi, baru beberapa bulan di Kalimantan saya sudah hampir kehilangan
nyawa. Saya takut jika saya diserang lagi. Tapi Alhamdulillah, setelah itu saya gak
pernah punya masalah lagi di Kalimantan”
“Namun anehnya, setiap kali saya ingin pulang, tiba-tiba saja saya sakit. Entah
demam, entah terluka saat bekerja, yang mengharuskan saya harus dirawat beberapa
hari di klinik perusahaan.”
“Saya bahkan beberapa kali sudah tiba di pelabuhan Trisakti Banjarmasin.
Hanya tinggal menaiki tangga kapal, saya tiba-tiba tanpa sadar langsung kembali ke
daerah pedalaman Barito. Begitu sadar, saya sudah berada di mes karyawan. Begitu
pula saat tiba di bandara, saya pasti kembali tanpa sadar ke mes perusahaan.”
Warga kembali hening. Terdiam. Seakaan takut peristiwa yang dialami Mas
Tarno juga menimpa mereka atau keluarga mereka yang di pulau yang jauh.
“Kenapa nggak pernah kirim kabar mas? Kan ada Hp atau Facebook?” tanya
salah seorang warga.
“Itulah masalahnya, Mas. Tempat saya bekerja tidak ada sinyal. Sinyal hanya ada
di kecamatan. Jaraknya lumayan jauh. Sekitar dua jam. Begitu sampai kecamatan,
saya selalu lupa menghubungi keluarga. Sepertinya ada yang sengaja menghalangi
saya kasih kabar buat keluarga di kampung”
“Terus... akhirnya bisa pulang kampung itu bagaimana ceritanya mas?” tanya
Pak Kades lagi.
“Kata kawan saya yang orang Dayak, saya kemungkinan kena palarangan.
Guna-guna orang asli sana. Saya lalu berobat ke orang pintar, juga beberapa ustaz
di Martapura. Tapi gak juga berhasil. Saya baru terbebas setelah dimandikan oleh
orang Dayak Maanyan. Kata beliau, saya kepuhunan”
“Kepuhunan...? Apa itu, Mas?” Aku kembali bertanya penuh penasaran.
-8-
MenujuBAB 2 : Petaka
“Sudah selesai, Mas?” Pertanyaan istriku membuyarkan segala ingatanku
tentang Mas Tarno.
“Alhamdulillah... Sudah selesai. Tinggal berangkat aja ke tempat tugas.”
Aku meletakan tas punggungku di sebelah lemari, lalu mengganti kemaja yang
kukenakan dengan kaus.
“Kira-kira kapan, Mas, kita berangkat?”
“Nanti subuh, jam 2.”
“Hah...!?” Istriku kaget mendengar jawabanku barusan.
“Kenapa nggak besok pagi aja, Mas? Atau siang sekalian? “
“Kata tukang ojek tadi, desa tempatku bertugas cukup terpencil. Hanya bisa
ditempuh lewat jalur sungai. Perahu motor yang menuju ke sana hanya ada di
ibu kota kecamatan, dan mereka adanya cuman pagi. Kalau tidak, kita terpaksa
menunggu sehari lagi. Jadi, kita harus sudah ada di ibu kota kecamatan saat pagi.
Makanya kita harus berangkat subuh, sebab ibu kota kecamatan lumayan jauh dari
sini. Sekitar dua jam.”
Istriku menghela napas, terlihat agak kesal. Rupanya rasa lelahnya masih
belum hilang. Namun, apa boleh buat, inilah resiko yang harus kami tempuh bila
ingin memperbaiki nasib. Aku mendekati istriku yang duduk di pinggir ranjang,
mengelus rambutnya lalu mencium keningnya.
“Kita cari makan aja yuk.. aku lapar.” Istriku tersenyum mendengar ajakanku.
-9-
“Yuk, Mas... aku juga lapar. Sekalian ingin merasakan kuliner kalimantan.
Tunggu sebentar ya, aku pasang jilbab dulu.”
“Aku tunggu di depan penginapan, ya. Sekalian mau ngerokok.”
“Iya...”
***
Aku sengaja memilih menunggu di depan penginapan, karena istriku untuk urusan
memakai jilbab saja bisa hampir satu jam.
Aku duduk di salah satu kursi panjang yang ada di depan penginapan.
Menikmati rokok dan kopi dingin botolan yang di jual di lemari pendingin.
Di depanku, membentang sungai Barito yang begitu megah. Sungai-sungai di
Jawa seolah tidak ada artinya dibandingkan lebarnya sungai ini. Saya perkirakan,
lebarnya 5 kali lapangan sepak bola. Mungkin juga lebih. Kapal-kapal tongkang
pengangkut batu bara, perahu dan speed boat terlihat lalu lalang. Di pinggirnya,
terdapat taman yang luas yang tertata rapi, sehingga membuat pemandangan dari
tepian Barito sungguh indah. Mungkin karena masih siang dan cuaca sedang terik,
tidak ada seorang pun di situ.
Jujur, aku malu pada diriku sendiri.
Ternyata Kalimantan tidak semengerikan yang kubayangkan. Dulu, Kalimantan
yang kubayangkan hanyalah hutan, daerah tertinggal, dan hal-hal mistis. Kini
aku sadar, berbagai stereotip tentang Kalimantan hanya kudapatkan dari televisi,
koran maupun internet. Berbagai informasi tersebut ternyata juga mempengahuri
orang tuaku dan mertuaku. Terutama ibuku. Aku ingat beberapa minggu lalu dia
bersikeras agar membatalkan niatku untuk bekerja di Kalimantan, setelah aku
dinyatakan lolos tes CPNS.
Sore itu, hanya ada aku, Ibu dan Ayah di rumah. Sementara istriku sedang
memberi les tambahan kepada beberapa anak tetangga yang cukup kaya. Dua orang
adikku, Bagus dan Irma, sudah kebiasaan mereka kalau sore hari bermain entah di
mana, dan baru pulang menjelang magrib.
“Le... Apa gak bisa dibatalkan saja. Ibu khawatir. Nanti kamu seperti mas Tarno.
Gak pulang bertahun-tahun.”
-10-
Suara Ibu parau, jelas sekali kalau dia cemas tentang nasibku dan istri bila
nekat merantau ke Kalimantan. Cerita dari Mas Tarno beberapa tahun lalu rupanya
masih menghantui pikiran Ibu.
“Gapapa, Bu, cuman ini kesempatan saya memperbaiki nasib. Ibu tahu sendiri
kan berapa gaji guru honorer. Itupun kadang telat. Ngasih les tambahan juga gak
cukup. Saya tidak mungkin terus bergantung pada ayah dan ibu. Apalagi saya
sekarang sudah punya istri.”
Aku berusaha menjelaskan sebisanya pada ibuku, berharap dia memberikan
restunya tentang keinginanku untuk merantau.
Ibu menoleh pada ayah, berharap mendapat dukungan. Ayah yang sedari tadi
hanya mendengarkan perbincangan kami, akhirnya mulai bicara.
“Bimo sudah dewasa bu, sudah beristri. Apalagi dia laki-laki, dia kepala
keluarga. Kita sebagai orang tua sudah tidak berhak ikut campur urusannya. Siapa
tahu, setelah di Kalimantan hidupnya berubah. Mungkin saja, rezekinya di seberang
pulau.” ujar ayahku panjang lebar.
Mendengar perkataan Ayah, ibuku langsung merengut. “Huh... Dasar, ayah
dan anak sama saja. Ini pasti gara-gara si Sri, menantu kesayanganmu. Sejak dia ada
di rumah, kalian selalu menentang aku”
“Ibu..! Istriku gak ada sangkut pautnya dengan keinginanku.” Suaraku langsung
meninggi mendengar Ibu yang selalu berusaha menyalahkan istriku.
“Mas, kok melamun?” tepukan istriku di pundak membuat aku tersadar dari
lamunan.
“Tadi habis video call sama Si Mbok juga Bapak. Kalau ayah lagi di luar.
Sedangkan ibu, seperti biasa, cerewet. Makanya lama baru keluar kamar.”
Simbok dan Bapak adalah panggilan istriku untuk orang tuanya. Sedangkan
ayah dan ibu adalah panggilannya untuk orangtuaku, mengikuti kebiasaanku.
***
Aku dan istriku berjalan-jalan di sekitar penginapan untuk memilih salah satu
warung makan yang kira-kira cocok dengan selera kami. Sepanjang jalan, istriku
bercerita bahwa betapa cerewetnya ibuku yang meminta istriku untuk selalu mem
-11-
perhatikanku, mengingatkanku untuk makan dan sebagainya. Ibuku memang
kadang berlebihan dalam mengurusku. Sudah beristripun, dia masih saja ikut
campur urusanku. Sejak kecil, perhatian ibu memang selalu lebih besar kepadaku
dibanding kedua adikku.
Setelah berjalan hampir 100 meter, akhirnya pilihan kami jatuh pada salah satu
rumah makan yang agak ramai pengunjung. Kami berdua sama-sama memilih lauk
ikan sungai. Aku memilih ikan Lais bakar sedangkan istriku memilih ikan Baung
bakar. Untuk sayur, kami mencoba merasakan rotan rebus dan juga kulit cempedak
gorek, dengan sambal daging durian goreng yang disebut Tampuyak.
Istriku kembali bercerita betapa senangnya bisa terbebas dari mertua cerewet
seperti ibuku. Aku hanya mendengarkan segala curhatnya, dan sesekali menasehari
bila sudah berlebihan.
Beberapa saat kemudian, dua orang pelayan mengantarkan pesanan kami. Ikan
bakarnya memang enak,tapi untuk sayur rasanya masih asing dengan lidah kami.
Demikian juga sambalnya. Untung saja, di meja juga tersedia sambal biasa.
“Tadi aku sudah ketemu dengan orang yang bisa mengantarkan kita ke ibu kota
kecamatan. Saudaranya tukang ojek yang antar jemput saya ke Dinas Pendidikan
tadi pagi. Nanti, kita akan dijemput di penginapan jam 2 subuh.”
“Ongkosnya berapa mas?” tanya istriku.
“Lumayan mahal. Tapi, mau gimana lagi, kita gak ada pilihan lain”
Usai dari warung makan, aku dan istri jalan-jalan sebentar di sekitar penginapan,
menikmati pemandangan di tepian sungai Barito. Lalu istriku mengajakku berhenti
di salah satu toko yang menjual cinderamata khas Dayak. Istriku membeli dua
gelang yang terbuat dari anyaman rotan serta beberapa gantungan kunci model
perisai dan mandau, lalu kami kembali ke penginapan.
***
Pukul setengah 2 malam, aku terbangun dari tidur. Dari tadi tidurku memang tak
nyenyak. Aku gelisah memikirkan tentang perjalanan nanti ke tempat tugas. Ada
rasa bahagia juga bercampur keraguan. Bahagia karena masa depanku cerah, dalam
6 bulan kedepan aku akan resmi dinyatakan sebagai PNS. Namun juga ragu, karena
tempatku bertugas sebagai guru berada jauh di pelosok Kalimantan yang terisolir
-12-
dan jauh dari peradaban. Aku tidak mengenal siapa-siapa, juga adat istiadatnya.
Bahkan, warga lokal saja tidak berminat mengisi formasi CPNS di tempat itu.
Kutatap wajah istriku yang tertidur pulas di sampingku. Salah satu alasannya
memaksa ikut, karena tidak betah dengan sikap ibuku. Entah kenapa, ibuku
selalu berusaha mencari-cari kesalahan istriku. Apalagi setelah lebih dari 3 tahun
menikah, kami belum diberikan momongan. Lengkaplah kalimat tidak enak yang
keluar dari mulut ibu kepada istriku.
“Mas, kalau aku tinggal di tempat orangtuaku selama mas di Kalimantan, nanti
omongan ibu semakin macam-macam. Nanti dibilangin istri tidak taat suami. Aku
capek mas dengar celotehan Ibu,” ucap istriku beberapa waktu lalu, sewaktu kami
belum berangkat ke Kalimantan.
Aku membuka jendela agar angin segar masuk ke dalam kamar. AC yang tidak
menyala sempurna membuat kamar terasa cukup pengap. Membuang kejenuhan,
aku menyulut rokok dan menyalakan televisi. Baru seperempat batang, panggilan
telpon di whatsapp-ku berbunyi. Tertera nama Junai, sopir yang akan mengantarkan
kami ke Ibu Kota Kecamatan.
“Mas Bimo...ini Junai mas, sopir yang tadi siang ketemu. Saya udah di depan
penginapan. Gimana ? Udah siap?”
“Oh iy, Mas...sebentar ya, kami siap-siap dulu. Tunggu aja di depan. Sebentar
lagi kami turun.”
Setelah mematikan sambungan telepon aku membangunkan istriku. Setengah
sadar, dia mengucek-ngucek matanya sambil menguap. Istriku menanyakan ulang
apa yang aku ucapkan, setelah mendengar jawaban ia segera bangun dan menuju
kamar mandi untuk cuci muka. Keluar dari kamar mandi, istriku lalu mengenakan
jilbabnya. Dia lalu memasukan peralatan mandi yang dibungkus kresek hitam ke
dalam tas punggungnya. Setelah itu, dia memasukan beberapa snack untuk bekal
perjalanan ke tas kresek hitam. Snack itu terdiri dari dua botol air mineral ukuran
sedang, beberapa roti dan kue kering, kacang telur dan Taro, serta beberapa biji
telur asin kegemaranku.
Selesai berkemas, kami kemudian segera menuruni tangga penginapan.
Masing-masing dari kami membawa satu tas punggung dan satu koper besar berisi
pakaian. Setelah selesai urusan check out di resepsionis, kami berdua segera keluar
penginapan.
-13-
Di depan penginapan telah terparkir mobil Hilux double cabin. Di bagian
bak, penuh muatan yang ditutup terpal berwarna biru. Melihat kami berdua keluar
dari pintu penginapan, Bang Junai langsung menyambut kami dengan senyuman.
Beberapa meter di belakangnya, berdiri seorang pria yang wajahnya seperti ku
kenal. Sambil mengisap rokoknya, pria itu menatapku penuh selidik, lalu mendekat.
“Loh... Mas Tarno?!” tanyaku kaget. Tanpa kutahu, perjumpaan dengan
Mas Tarno adalah awal dari petaka yang segera menimpaku dan istri di tanah
Kalimantan.
-14-
BAB 3 :
Perjalanan
di Tengah Belantara
“Owalah... Kalian kok bisa nyasar ke Kalimantan, sih?” Mas Tarno juga tak
kalah kaget begitu mengetahui bahwa orang yang dari ditunggunya adalah
aku dan istri.
“Loh... kalian kok saling kenal?” Bang Junai mengernyitkan dahinya pada Mas
Tarno.
“Mereka ini tetanggaku satu kampung,” ujar Mas Tarno sembari menyurungkan
tangan kepadaku dan istri bergantian.
“Ini istrimu, Bim ? Wah, cantik ternyata. Namamu siapa, Nduk?” Mas Tarno
bertanya kepada istriku.
“Sriatun, Mas... Dulu satu kampus sama mas Bimo. Cuman beda jurusan.”
Istriku memperkenalkan diri sambil tersenyum, berusaha untuk ramah.
Mas Tarno memang tak mengenal istriku, karena pada saat pernikahan kami
dia telah pergi entah kemana bersama anak dan istrinya. Setahun kepulangannya,
mas Tarno menikah dengan mbak Ajeng, masih satu kampung dengan kami.
Seingatku, mereka hanya pulang setahun sekali saat lebaran.
“Asal dari mana ?”
“Magelang, Mas. Kaliangkrik,” kawab istriku.
“Oh iya..iya.. yaudah masukin barang kalian ke mobil. Perjalanan kita masih
panjang. Nanti masalah ongkos gampang lah... bisa didiskon. Iyakan, Jun?” Mas
Tarno menoleh kepada Bang Junai, meminta penegasan.
-15-
“Gampang lah, bisa diatur,” ujar Bang Junai.
Mereka lalu membantu kami memasukkan barang bawaan kami ke mobil. Aku
dan istri duduk di kursi belakang. Bang Junai bertindak sebagi sopir, sedangkan
Mas Tarno bertugas sebagai kernet.
Ada perasaan tenang dan bahagia, bertemu orang satu kampung di tanah
perantauan. Perasaan yang tidak bisa dilukiskan, hanya orang-orang yang merantau
yang bisa merasakannya.
Perlahan, mobil kami dengan bak belakang penuh muatan bergerak kearah
luar kota. Di samping jok kiri kanan mobil bagian depan, terselip masing-masing
satu buah Mandau. Bagian gagangnya yang berhiaskan rambut, terlihat jelas olehku
yang duduk di jok belakang.
Selain itu, juga ada sebuah senapan angin kaliber besar, cukup untuk
membunuh seekor babi hutan.
“Buat jaga-jaga, soalnya kita lewat hutan.” ucap Bang Junai, seolah tahu
pertanyaan di kepalaku.
“Kalian, kok, bisa nyasar ke Kalimantan ini gimana ceritanya?” tanya mas
Tarno.
Aku lalu menceritakan awal mula perjalananku dan istri hingga sampai ke
sini. Berawal dari ikut tes CPNS akhir tahun lalu di Palangkaraya, ketidak setujuan
ibuku, hingga akhirnya tiba di sini.
Kulihat istriku sudah tertidur. Kepalanya menyender pada jendela, sedangkan
jaketnya iya jadikan selimut.
“Mbak Ajeng dan anak-anak juga di sini, Mas?”
“Iya Bim... kami masih tinggal di kontrakan. Kapan-kapan kalian mainlah.
Sesama satu kampung harus sering-sering silaturahmi”
Malam semakin sepi, tidak ada satu pun kendaraan yang lewat. Obrolan
semakin panjang, sesekali Bang Junai juga ikut terlibat. Mobil kami mulai memasuki
jembatan sungai Barito. Di plank jembatan bagian atas, tertulis ucapan Selamat
Jalan dari Kota Muara Teweh.
“Setelah menikah, aku sempat buka warung bakso di Sleman. Namun tidak
sampai setahun sudah bangkrut. Setelah itu aku merantau ke Surabaya dan
Bandung, lalu kembali lagi ke sini. Istri dan anak-anakku juga kuboyong sekalian.”
-16-
Mas Tarno lantas mulai menceritakan perjalanan hidupnya, sejak awal mula
ia merantau hingga kembali lagi ke tanah perantauan. Ternyata Bang Junai adalah
kawannya ketika masih bekerja di perusahaan dulu. Bang Junai-lah orang yang dulu
mendadak sakit, sewaktu mereka ditugaskan untuk memeriksa kebun karet milik
perusahaan.
Setelah berhenti dari pekerjaannya, Bang Junai membeli mobil dengan uang
pesangon yang ia dapat dari perusahaan. Mobil itu ia gunakan untuk membuka
usaha jasa antar angkut muatan ke daerah pedalaman. Muatannya sebagian besar
sembako, kadang juga BBM, sesekali ia juga membawa penumpang. Pelanggannya
adalah para pedagang besar di pedalaman, namun lebih sering mengangkut pesanan
perusahaan.
“Beginilah hidup Bim, kadang di atas kadang di bawah. Kalau Junai gak ngasih
aku pekerjaan jadi kernetnya, keluargaku mungkin mati keparan.”
“Hussh...kamu ini ngomong sembarangan. Pamali..!” Ujar Bang Junai. Mas
Tarno hanya tertawa mendengar ucapan sahabatnya itu.
Setelah melewati jembatan, mobil terus melaju melewati jalan beraspal yang
naik turun dan berkelok-kelok. Rumah-rumah penduduk segera berganti dengan
tanaman pohon sawit di kiri-kanan jalan.
Tikungan yang mendadak serta jalan yang tiba-tiba menanjak dan tiba-tiba
menurun, membuat kepalaku pusing. Padahal, selama di Jawa aku tak pernah
mabuk darat. Daripada muntah, aku pamit untuk tidur pada mas Tarno dan Bang
Junai.
Jalanan beraspal berganti dengan tanah merah yang dilapisi kerikil. Pohon-
pohon sawit di kiri kanan jalan sudah berganti dengan hutan belantara. Aku yang
sudah tidak kuat lagi menahan kantuk lalu tertidur bersender pada jendela mobil.
***
Hentakan demi hentakan pada mobil, membuat aku terbangun dari tidur.
Disebelahku, istriku masih terlelap berjaketkan selimut. Di bagian depan, Mas
Tarno dan Bang Junai asyik mengobrol dalam bahasa Dayak. Aku kagum dengan
mas Tarno, ternyata ia sudah menyatu dengan budaya setempat.
Karena pusingku belum hilang, aku masih menyender pada jendela mobil.
Kuperhatikan pemandangan melalui jendela, hanya ada pohon-pohon besar yang
terlihat seperti bayangan yang menakutkan karena langit masih gelap.
-17-
Akar-akar yang menggantung di pepohonan seperti tangan-tangan panjang
yang melambai-lambai kearah kami.
Sedangkan belukar yang lebat di bagian bawah, bila terkena lampu mobil
bagaikan sekelompok mahluk mirip manusia dengan posisi sedang jongkok namun
dengan tubuh pucat, yang antusias memperhatikan mobil kami yang lewat di depan
mereka.
Aku mencoba kembali memejamkan mata untuk menghilangkan pikiran-
pikiran yang hanya membuatku takut. Namun sekilas, aku melihat cahaya di antara
pepohonan yang terbang seperti nyala bola api. Hanya sekejap, cahaya itu kemudian
menghilang dibalik pepohonan.
“Ahh... Palingan hanya bintang jatuh atau meteor.” Bathinku. Mobil terus
melaju di tengah belantara hutan. Tiba-tiba berbelok saat menurun, lalu tiba-tiba
menanjak lagi membuat aku malah semakin susah tidur.
Dan tiba-tiba saja, hanya beberapa meter di belakang kami, cahaya itu
menyebrang menuju hutan di seberang jalan. Jelas sekali itu bukanlah meteor atau
bintang jatuh, melainkan bola api.
Selama beberapa detik, aku hanya duduk mematung. Tidak percaya dengan
yang baru kulihat. Mas Tarno dan Bang Junai masih asyik mengobrol dan sesekali
tertawa. Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan pikiran. Sakit
kepalaku tiba-tiba saja hilang karena kekagetanku.
Setelah detak jantungku mulai teratur, aku berusaha memberi tahu Mas Tarno
dan Bang Junai tentang yang kulihat barusan. Namun belum sempat mengucapkan
kata, bola api tadi kembali muncul di antara pepohonan. Bola api itu terbang seolah
sengaja mengikuti mobil kami.
Bodohnya aku, tubuhku lagi-lagi tidak bisa bergerak. Mulutku tiba-tiba
terkunci. Jantungku berdegub semakin kencang. Aku berusaha untuk memberitahu
Mas Tarno dan Bang Junai, tapi tak ada satu kata pun yang keluar. Ternyata
ketakutanku lebih besar daripada nyaliku.
Bola api itu semakin mendekat ke arah kami, dan kini hanya beberapa meter
dari jendela mobil. Bukan, itu bukanlah bola api. Tapi itu adalah kepala manusia. Iya,
jelas sekali itu adalah kepala manusia dengan isi perutnya. Nyala api tadi ternyata
berasal dari jantungnya. Rambutnya terlihat acak-acakan dengan wajah yang tidak
kalah menyeramkan. Matanya menatap tajam ke arahku. Dua taring menyembul di
celah bibirnya. Dan di mulutnya....
-18-
“Astagfirullahullazzim...” Aku hanya bisa berdoa dalam hati. Di mulutnya
ternyata ada seorang bayi. Taring-taringnya yang tajam menancap di perut bayi
malang yang sudah tak bernyawa itu, darah segar menetes dari perutnya.
Aku membaca ayat kursi dalam hati, namun bacaanku malah amburadul.
Mahluk itu kemudian menyeringai, seperti sengaja memamerkan bayi tak berdosa
yang di mulutnya, lalu kembali melesat ke dalam hutan.
Aku bernapas lega. Mahluk itu menghilang di balik gelapnya malam. Tubuhku
kembali bisa digerakkan, meski degub jantungku belum normal. Meski AC mobil
sangat dingin, tubuhku justru bermandikan keringat.
Aku lalu mencoba memberitahu mas Tarno tentang apa yang kulihat barusan.
Namun, belum sempat aku mengucapkan sesuatu, tiba-tiba...
....Braakk....
Ada benturan keras diatas atap mobil. Istriku terbangun dan langsung menjerit.
“Allahu akbar...” Mas Tarno berteriak.
“Allahu akbar...allahu akbar….” Mas Tarno terus berteriak. Di sampingku,
istriku terus menjerit ketakutan.
-19-
-20-
GanBAgBg4 :uan
di Tengah Perjalanan.
Benturan tadi membuat mobil kami oleng ke kiri dan ke kanan. Jalan tanah yang
berlapis pasir dan kerikil membuat mobil semakin tidak bisa dikendalikan.
Mas Tarno masih saja meneriakan takbir, sedangkan istriku menjerit histeris
sambil menangis. Aku berusaha menjangkau istriku, tetapi laju mobil yang liar
membuat aku terpaksa berpegangan dengan apa saja yang bisa kugapai.
Bang Junai berusaha mengendalikan laju mobil. Namun sia-sia, mobil kami
telah keluar dari badan jalan dan meluncur kearah jurang. Aku pasrah, ajal kami
telah tiba.
....Braaakkkk....
Kembali terdengar suara benturan, tapi kali ini suaranya berasal dari samping
kiri. Mobil seketika berhenti, raungan suara mesin menggema di tengah kegelapan.
Kami semua terdiam, bungkam di kursi masing-masing. Tubuhku kembali kaku
tidak bisa digerakkan, tangganku bergetar tanpa terkendali. Suara nafas yang
memburu terdengar di sampingku. Kuperhatikan, istriku menggigit bibirnya. Air
mata mengalir di kiri kanan batang hidungnya.
“Semua keluar….” suara Bang Junai kembali menyadarkan kami. Akupun
sudah mulai menguasai keadaan. Tanganku yang masih bergetar meraih gagang
pintu mobil yang dingin. Kami semua keluar dari pintu sisi kanan.
Setelah menginjakkan kaki di tanah, kubantu istriku keluar dari mobil
secara perlahan. Begitu kedua kakinya sudah berada di atas tanah, tubuhnya
-21-
langsung lemas. Segera kuraih badannya agar tidak jatuh, mas Tarno juga sigap
membantu. Kami papah tubuhnya beberapa meter agak menjauh dari mobil, dan
mendudukannya dia atas tanah yang ditumbuhi rerumputan.
“Kalian tidak apa-apa?” Bang Junai bertanya sambil menyodorkan satu botol
air mineral. Air itu lalu kuminumkan pada istriku yang masih shock.
“Tidak apa-apa, Bang, hanya sedikit shock,” ujarku dengan napas tersengal-
sengal.
Headlamp terpasang di kepala Bang Junai, cahayanya yang terang menembus
pekatnya kabut belantara.
Satu headlamp diserahkan pada Mas Tarno yang sudah berdiri di sampingku,
satu buah senter ia serahkan kepadaku.
“Kalian tenangkan diri saja, kami mau memeriksa mobil dulu,” ucap masTarno,
lalu mereka berdua mulai memeriksa keadaan mobil. Mesin mobil dimatikan, hanya
lampu depan dan belakang yang terus menyala.
Istriku merangkul erat pinggangku. Ia terus menangis tanpa suara. Sesekali,
tubuhnya bergoncang karena sesenggukan. Aku mencoba menangkannya,
mengelus-mengelus bagian belakang kepalanya yang tertutup jilbab.
Langit masih gelap, hanya ada cahaya bintang yang bertebaran. Di sini, di jalan
yang berada di tengah belantara, kami terdampar jauh dari peradaban manusia.
Angin bertiup dari arah hutan, menggerakkan dedaunan dan juga belukar. Di padang
gelap seperti ini, pepohonan bisa terlihat seperti sosok hitam yang mengerikan.
Suara jangkrik bersahutan, diiringi suara burung hantu dan binatang
malam lainnya. Bayangan setan kepala dengan bayi di mulutnya tadi, membuat
bulu kudukku merinding. Aku berusaha menghilangkan pikiran-pikiran yang
membuatku takut. Namun, semakin coba dihilangkan justru pikiran itu terasa
semakin menjadi-jadi.
Aku menyalakan rokok, mencoba menghilangkan rasa takut, sekaligus
menenangkan diri atas kecelakaan yang hampir saja merenggut nyawa kami. Udara
terasa dingin, namun aku dan istri justru bermandikan keringat. Keringat juga
membasahi tubuh Mas Tarno dan Bang Junai yang tengah mengotak-atik mobil.
...brum...brum...
Suara mesin mobil kembali menyala, meraung-raung di tengah belantara.
-22-
“Bimo...!” Mas Tarno memanggil namaku, melambaikan tangan, memberi
kode agar kami segera mendekat.
Aku dan istri lalu berdiri dan melangkahkan kaki ke arah Mas Tarno dan Bang
Junai.
“Mobil aman. Hanya penyok sedikit di sebelah kiri. Kamu bantu Tarno
mendorong mobil ya, agar bisa kembali ke badan jalan.” Pinta Bang Junai.
Aku mematikan rokok dengan menginjaknya di tanah, dan menyerahkan
senter pada istriku. Aku segera bergeser ke samping mas Tarno di belakang mobil.
Sedangkan Bang Junai sudah duduk di kursi sopir. Istriku berdiri satu meter di
belakang kami, membantu memberi cahaya kepadaku dan Mas Tarno dengan
senter yang dipegangnya.
Cahaya senter dari istriku mengenai sebuah pohon yang ada di samping mobil.
Rupanya, mobil kami tertahan oleh pohon sawit yang besar. Suara keras di bagian
samping tadi adalah suara benturan badan mobil dengan pohon sawit ini. Beberapa
langkah di sampingnya menganga jurang yang sangat besar. Karena hari masih
gelap, dasar jurang itupun tidak terlihat.
“Untung saja ada pohon sawit ini, kalau tidak, entah bagaimana nasib kita.”
ujar Mas Tarno.
Bulu-bulu di tangan dan tengkukku langsung merinding, membayangkan
betapa ngerinya kalau saja mobil kami tadi tidak terhalang pohon sawit. Mobil
kami pasti sudah jatuh berguling-guling kedalam jurang di tengah hutan. Kalau itu
terjadi, bisa saja tidak ada seorangpun yang menyadari tentang peristiwa kecelakaan
kami.
“Untung saja, kita tidak kepuhunan.” lanjut Mas Tarno. Walau tidak mengerti
yang dikatakannya, aku mengangguk tanda setuju.
“Iya mas. “ balasku.
Mendengar aba-aba dari Bang Junai, aku dan mas Tarno mengerahkan seluruh
tenaga untuk mendorong mobil. Suara mesin terus meraung-raung, dan ban mobil
berputar sangat cepat. Tapi, mobil tetap saja tidak mau bergeser dari tempatnya.
Sudah hampir 20 menit, namun usaha kami tetap sia-sia. Istriku juga turut
membantu, tapi tetap percuma. Tenaga kami sudah hampir habis, keringat terus
keluar, namun mobil tetap tidak bergerak barang satu senti. Padahal, lubang yang
-23-
menenggelamkan ban belakang sebelah kanan, tidak begitu dalam. Tidak lebih dari
seperempat ban.
“Istirahat sebentar ! “ucap Mas Tarno sambil berteriak kepada Bang Junai.
Istriku menyerahkan sebotol air mineral yang diletakkan di tanah dekat mobil
kepada mas Tarno. Mas Tarno langsung menenggak air itu hingga tumpah-tumpah
di mulutnya. Istriku lalu bergegas kedalam mobil, mengambil dua botol air mineral
yang tadi kami bawa, lalu menyerahkan satu botol kepadaku.
Setelah mematikan mesin, Bang Junai turun dari mobil, menghampiri kami
di bagian belakang lalu menyalakan rokok. Hanya lampu depan dan belakang
dibiarkan tetap menyala.
“Aneh sekali, padahal lubangnya gak terlalu dalam tapi kok bisa amblas seperti
ini.” Bang Junai menghela nafas, lalu kembali menghisap rokoknya. Tubuhnya
bersandar pada badan mobil, beberapa langkah di samping mas Tarno yang juga
bersandar.
“Mungkin ada yang ikut.” Ucap Mas Tarno.
“Hushh...jangan macam-macam. Kita ini di tengah hutan.” balas Bang Junai.
Kami lalu tenggelam dalam pikiran kami masing-masing. Mungkin karena
iseng, istriku mengarahkan senter ke segala penjuru. Cahayanya mengarah ke
pepohonan di kiri kanan jalan, lalu ke semak belukar, lalu kembali lagi ke pepohonan.
“ Sudah...kamu itu penakut. Nanti malah melihat yang bukan-bukan, malah
repot.” tegurku pada istriku.
“Gapapa...daripada bete.” ucap istriku kesal, mungkin jengkel dengan
teguranku barusan.
Tiba-tiba, sorot cahaya senter istriku mengarah pada satu titik di semak
belukar. Dia tertegun, hidungnya kembang kempis dan wajahnya pucat.
“Mas... Apa itu?” Dia menggigit bibirnya, sedangkan tangannya yang me
megang senter terlihat gemetaran.
Aku langsung menoleh kearah belukar yang tersorot cahaya. Mas Tarno dan
Bang Junai juga melakukan hal yang sama.
Namun, tidak terlihat apa-apa di sana. Sejenak, kami bernapas lega. Beberapa
saat berlalu, terdengar suara krasak krasuk dari belukar. Bang Junai merebut senter
dari tangan istriku, mengarahkan cahayanya untuk mencari sumber suara. Sorot
-24-
cahaya itu bergerak ke kanan dan ke kiri, kadang ke belukar di seberang jalan.
Pandangan kami mengikuti arah cahaya senter dengan perasaan waswas. Di satu
titik, sorot cahaya senter berhenti, sekitar 10 meter dari titik sorotan istriku tadi.
Belukar itu tampak bergoyang-goyang, pucuk-pucuknya membelah karena
ada sesuatu yang bergerak disitu. Kini sudah jelas, suara krasak krasuk disebabkan
gesekan sesuatu itu dengan belukar. Jarak kami dengan sesuatu di belukar itu hanya
100 meter.
Mas Tarno bergegas ke dalam mobil, lalu kembali lagi dengan dua buah
mandau dan sebuah senapan angin.
“Sri... masuk ke dalam mobil!” perintah mas Tarno pada istriku. Tanpa banyak
suara, istriku langsung masuk ke dalam mobil dengan panik.
Aku dan Bang Junai kini masing-masing memegang mandau. Bang Junai
mengikat mandau di pinggangnya, lalu menghunuskan bilahnya yang berwarna
hitam mengkilat dengan tangan kanannya. senter di tangan kirinya tetap menyorot
kearah belukar yang terus bergoyang.
Mas Tarno mengarahkan senapan angin ke arah belukar itu, siap menarik
pelalatuknya sewaktu-waktu. Mungkin saja itu binatang buas, entah beruang atau
ular. Sedangkan aku, aku tidak tahu apa yang harus kulakukan dengan mandau ini.
Tubuhku gemetaran, dan jantungku berdetak lebih kencang. Sesuatu dari belukar
itu mulai keluar ke badan jalan secara perlahan.
“Astagfirullahulazzim !” Bang Junai berteriak sangat kencang. Ternyata yang
keluar dari belukar bukanlah binatang buas, melainkan sebuah peti mati.
-25-
-26-
KeBApB 5u: hunan
“Semua masuk ke mobil. Ada Raung!” Bang Junai berteriak memberi perintah.
Ia menyarungkan Mandaunya terburu-buru lalu bergegas masuk ke kursi
sopir dengan panik.
Sepersekian detik, kami semua sudah di dalam mobil. Istri langsung merangkul
erat lenganku. Dengan mata terpejam, mulut istriku komat kamit membaca ayat
kursi. Suaranya bergetar bercampur tangis dan rasa takut. Aku juga membaca ayat
kursi, yang lagi-lagi bacaannya salah-salah, tertukar dengan ayat yang lain. Di saat
panik seperti ini aku kesulitan untuk konsentrasi. Teriakan Takbir dan Istighfar
terus keluar berulang-ulang dari mulut Mas Tarno.
“Allahu Akbar... Astagfirullahulazim,” ucap Mas Tarno dengan lantang,
berharap peti mati itu pergi menjauh.
...brum..brum...sssshhhh...
Beberapa kali distarter, mesin mobil selalu gagal menyala. Aku mengintip
ke belakang dari balik jendela. Peti mati itu sudah berada di bahu jalan, bergerak
terseok-seok menempel di atas tanah. Setiap satu langkah orang dewasa, peti itu
berhenti, lalu bergerak lagi, bagaikan ada yang menyeretnya.
Warnanya hitam pekat, dengan kondisi papan yang kelihatan lapuk termakan
usia. Di beberapa sisi terlihat ukiran pahat dengan motif yang rumit.
-27-
Terus bergerak tertatih, peti mati itu sudah berhasil mencapai badan jalan,
sedangkan mesin mobil tetap gagal menyala. Walaupun berhasil menyala, belum
tentu kami bisa lepas dari lobang yang dari tadi mengganjal di ban belakang mobil.
...sreeekkk....sreeekkk....
Suara gesekan peti mati dengan tanah berpasir menimbulkan suara yang
membuat jantung hampir lepas. Peti mati itu terus mendekat, tidak menghiraukan
lantunan ayat suci yang keluar dari mulut istriku maupun pekikan takbir dari Mas
Tarno.
......sreeekkk....sreeekkk....
Suaranya semakin jelas terdengar, menandakan ia semakin dekat. Bang Junai
yang putus asa memukul-mukul setir mobil, sumpah serapah keluar dari mulutnya.
“Aneh...! Ada yang aneh...ada yang janggal,” ucap bang Junai sambil terus
memukul-mukul setir mobil.
Lalu ia berhenti, mencoba berpikir tenang di tengah ketakutannya. Dari kursi
depan, Bang Junai menoleh kepada kami.
“Apa kalian bawa ketan, atau telur?” Nada suara Bang Junai tinggi penuh emosi.
Aku dan istri saling pandang, tidak mengerti maksud pertanyannya.
“Apa kalian ada bawa ketan atau telur?” Bentak mas Tarno.
“I-iya mas...telur asin,” ucap istriku ketakutan. Ia lalu mencari-cari bungkusan
kresek hitam perbekalan kami tadi di bagian kolong tempat pijakan kaki. Aku
bergegas membantu, setelah ketemu, aku langsung mengangkat bungkusan kresek
hitam itu.
Bang Junai langsung menyambar bungkusan di tanganku, menurunkan kaca
jendela kemudian melempar bungkusan snack kami melalui jendela ke arah peti
mati yang semakin dekat.
Masih dalam keadaan panik, Bang Junai kembali mencoba menstarter mesin
mobil, dan...
...brum..brum..
Anehnya, mesin mobil langsung menyala. Bergerak perlahan, terseok-seok dan
bergoncang-goncang, mobil akhirnya berhasil kembali ke badan jalan.
-28-
Dari balik jendela, aku melihat peti mati itu terus bergerak, lalu berhenti
beberapa meter dari kantongan kresek yang tadi dilempar bang Junai. Peti mati itu
lalu berdiri di tengah jalan, tutupnya terbuka menghempas tanah.
Ada sesuatu yang keluar dari peti itu. Sepasang kaki melangkah dengan bentuk
tidak sempurna. Bagian tulang tungkainya terlihat, karena dagingnya banyak yang
lepas. Rambutnya sangat panjang hingga menyapu tanah yang berlapis kerikil dan
pasir. Mayat hidup, batinku. Belum sempat kulihat wajahnya, tiba-tiba pandanganku
menjadi gelap.
“Jangan dilihat !” ujar Mas Tarno. Rupanya ia telah mematikan lampu belakang.
Mobil terus melaju menembus kegelapan, di antara hutan belantara dan kabut
tipis yang mulai naik.
****
Sisa perjalanan kami hanya ada kesunyian. Tidak ada seorang pun yang berniat
untuk membicarakan perihal kejadian mengerikan yang kami lalui beberapa saat
lalu. Aku menggenggam jari-jari istriku, dan ia membalas menggengamnya, lalu
menyandarkan kepalanya di pundakku. Sungguh tidak terpikir, baru beberapa hari
di tanah rantau kami sudah mengalami kejadian yang di luar nalar.
Akhirnya, jalan tanah berganti aspal dan langit mulai terang. Jalan aspal yang
membelah hutan terasa mulus, tidak ada getaran di dalam mobil. Matahari yang
dikelilingi warnah merah kekuning-kuningan muncul di balik deretan bukit yang
berselimut kabut.
“Sebentar lagi kita sampai,” ujar bang Junai.
Hutan yang lebat mulai berganti dengan perkebunan sawit yang tumbuh di kiri
kanan jalan. Rumah penduduk berbahan kayu mulai kelihatan di antara pohon-
pohon sawit.
Rumah itu jaraknya saling berjauhan, lalu makin lama semakin rapat hingga
kami tiba di gerbang selamat datang. Melewati gerbang kecamatan, laju mobil mulai
berkurang. Kami melewati para pelajar SD hingga SMA yang jalan kaki. Sebagian
lagi menggunakan sepeda motor dengan knalpot berisik tanpa helem.
“Alhamdulillah, Mas... ibu kota kecamatan,” ucap istriku lega. Wajahnya sudah
mulai rileks.
“Iya… Alhamdulillah,” balasku sambil tersenyum.
-29-
“Kalian kami antar ke dermaga, setelah itu kita sarapan sama-sama,” kata Mas
Tarno sembari merapikan senapan angin dan juga mandau ke tempat semula.
Mobil terus bergerak di dalam ibu kota kecamatan yang ternyata cukup luas
dan ramai penduduk. Dibandingkan kota Muara Teweh, jalannya lebih sempit.
Beberapa kali mobil harus mepet hingga selokan karena berpapasan dengan mobil
lainnya.
Pengendara sepeda motor juga lalu lalang tanpa helm. Setelah beberapa saat,
kami tiba di dermaga di tepi sungai Barito. Bang Junai lalu memarkir mobil ke tanah
kosong yang agak lapang, persis di samping kantor Polsek. Beberapa mobil dan
sepeda motor juga terparkir di sana.
Jam di telpon genggamku menunjukan pukul 07.10. Lewat satu jam dari
rencana semula, pikirku. Tapi tak masalah, yang penting kami bisa selamat. Aku
dan istri lantas mengirim pesan WA kepada orangtua masing-masing, namun
belum ada balasan.
Aku melemparkan pandang pada orang-orang yang lalu lalang di dermaga.
Jarak dermaga dengan tepian sungai kurang lebih 10 meter, terpisahkan tangga
dari kayu ulin selebar 3 meter. Aku dan istri melepas jaket kami, memasukan ke
koper bawaan kami. Sambil menggendong tas punggung masing-masing, kami
meniti tangga selangkah demi selangkah. Didepanku, Bang Junai dan Mas Tarno
membantu membawakan tas koper kami. Istriku lagi-lagi merangkul tanganku,
takut jatuh katanya. Padahal, kami berdua sama-sama tidak bisa berenang.
Sampai di dek dermaga, Bang Junai dan mas Tarno menunggu kami yang
masih di belakang. Setelah semua berkumpul, kami menggerakkan kaki ke salah
satu warung rumah terapung di sekitar dek dermaga.
Selain kami, beberapa orang juga tengah menikmati sarapan dengan menu nasi
kuning yang dibungkus daun pisang.
“Kopi hitam tiga, teh panas satu, Cil..!” pesan bang Junai kepada ibu yang
menjaga warung. Baru aku tahu, Acil adalah panggilan kepada wanita yang lebih
tua atau dihormati di Kalimantan.
Di dalam warung, kami duduk di salah satu meja yang kosong. Tas kami
letakkan di bawah meja, beradu dengan kaki kami yang kelelahan.
“Mas, aku mau ke WC,” ujar istriku.
-30-
“Di dalam aja mbak, jangan di dermaga. Banyak orang. Gak baik kalau buat
perempuan,” celetuk acil penjaga warung dari meja kasir. Ia lalu mengantar istriku
ke wc di bagian dapur, yang ternyata lebih tepat disebut jamban.
Dermaga ini lumayan ramai. Orang-orang hilir mudik dengan kesibukan
masing-masing. Mereka saling bicara dengan bahasa daerah setempat. Beberapa
perahu motor, yang disebut kelotok, bertambat pada beberapa sisi dermaga.
Sebagian lagi lalu lalang membawa penumpang di sungai Barito. Terdapat juga
sebuah speed boat yang sarat penumpang.
Beberapa orang terlihat sedang berteriak-teriak di atas atap kelotok sambil
melambaikan tangan untuk memanggil penumpang. Seorang lelaki muda dengan
perawakan kurus dan bertopi, beberapa kali turun dari atap kelotok lalu kembali
lagi membawa tas. Tas itu ia taroh di atas atap kelotok yang memiliki penyangga
dari kayu di kiri kanannya.
Acil penjaga warung yang tadi mengantar istriku, menghampiri meja kami
membawa teh dan kopi yang masih panas, lalu kembali lagi ke meja kasir untuk
melayani pengunjung lain.
“Aku mau ngerokok dulu sambil ngopi. Tadi subuh hampir kepuhunan,” ujar
bang Junai sambil menyalakan sebatang rokok. Mas Tarno juga sudah menikmati
rokok dan kopinya yang masih mengepul, lalu asyik dengan handphone nya.
“Kepuhunan itu apa, Bang? Dari kemarin saya dengar kepuhunan terus,”
tanyaku sambil merogoh rokok dari kantong celanaku, lalu menyalakan sebatang.
“Kepuhunan itu celaka, sial, apes. Gara-gara mau minum kopi tapi gak jadi.
Malah langsung berangkat aja.” jelas bang Junai.
“Lain kali, kalau perjalanan jauh, jangan bawa ketan atau telur. Di Kalimantan,
itu pamali. Bisa ada makhluk halus yang ikut,” lanjutnya.
Aku hanya mengangguk saja mendengar perkataan Bang Junai. Tidak berapa
lama, istriku kembali ke meja kami. Wajahnya tampak lebih segar setelah cuci muka.
Kami lalu menikmati sarapan kami. Aku dan istri memilih nasi kuning dengan lauk
ikan haruan, sedangkan Bang Junai dan mas Tarno memilih lauk ayam dan telur.
Air putih sudah disiapkan pemilik warung di setiap meja. Di masing-masing meja,
tersedia eskan platisk berisi air matang, lengkap dengan gelas dan sendok.
“Bang, yang tadi subuh, peti mati... itu apa, Bang? “ tanya istriku pelan kepada
Bang Junai. Sambil menyantap hidangannya, Bang Junai menatap wajah kami satu
per satu. Setelah menghela napas, ia lalu berucap.
-31-
“Peti mati itu namanya Raung. Dulu, orang Dayak kalau meninggal peti
matinya gak dikubur. Tapi digantung di pohon di tengah hutan. Setelah beberapa
tahun, tulangnya diambil kemudian diadakan ritual Tiwah. Tulang-tulang itu
disimpan di rumah kecil yang disebut Sandung, yang dibangun di depan rumah
keluarga yang meninggal.”
“Terus, kok bisa ngejar kaya tadi subuh?” tanya istriku lagi.
“Yang bisa ngejar itu, biasanya sewaktu masih hidup dia punya ajian, tapi
keluarganya gak ada yang nerusin. Karena takut, Raungnya dibiarkan di tengah
hutan tidak terurus. Makanya Raung itu gentayangan cari mangsa. Raung itu makan
daging manusia, dengan harapan mereka bisa hidup lagi jadi manusia.”
“hiihh... ngeri. Amit-amit dimakan Raung,” ucap istriku bergidik.
Nyaliku juga langsung ciut mendengar penjelasan Bang Junai. Sedangkan Mas
Tarno, dia tampak santai menikmati hidangannya. Dugaanku, bertemu Raung
seperti subuh tadi bukanlah hal yang pertama baginya.
Kami lantas kembali menikmati sarapan kami. Tidak laman kemudian,
seorang pria muda menghampiri kami. Perawakannya kurus dan ia memakai topi
yang sudah kusam.
“Mau kemana, Bang ? Ke hulu atau ke hilir?”
“Desa Muara Tapah.”
Lelaki muda itu tampak bingung dengan jawabanku. Seakan tidak percaya, ia
mengulang pertanyaannya.
“Kemana, Bang?” Ia bertanya sekali lagi dengan tatapan yang ganjil.
“Desa Muara Tapah. Memang Kenapa?”
Lelaki muda itu kemudian melepas topinya, lalu ia gunakan untuk mengipas-
ngipas wajahnya.
“Sudah 10 tahun terakhir, hampir tidak ada orang yang datang dan pergi dari
Desa Muara Tapah.”
Aku, istriku, Bang Junai dan Mas Tarno, menatap wajah pemuda itu dengan
penasaran.
“Terakhir, 5 tahun lalu ada seorang penumpang ke Desa Muara Tapah. Orang
Jawa. Katanya ia tugas jadi kepala sekolah. Setelah itu, ia tidak pernah terlihat lagi
meninggalkan Desa Muara Tapah.”
-32-