The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by Resita Wahyu Febiratri, 2022-01-06 00:42:10

PESTA BUNUH DIRI

Timur Trilogi #1

PESTA BUNUH DIRI

A NOVEL BY

DANIEL AHMAD

PROLOG ­­ ­ ­­ ­­ ­­ ­ ­

“Bagaimana aku bisa menentukan arah? Aku saja tidak tahu dari arah mana
mulai berjalan.”

Deru napas terdengar mendekat. Berirama dengan langkah kaki yang cepat.
Pemuda itu berlari dengan segenap sisa tenaganya. Entah ia lari dari sesuatu, atau
sedang mengejar sesuatu. Di bawah pohon ia berhenti. Bersandar pada batang
ketapang basah. Pakaiannya lusuh. Kakinya penuh luka. Pemuda itu tak tahu lagi
sudah sejauh mana ia pergi. Berapa lama ia mulai berlari. Yang ia tahu, ia sudah
mencapai batas. Napasnya mulai menipis dan melengking. Jarak tiap embusannya
makin dekat. Kakinya sedikit mati rasa. Kotor dibalur lumpur dan ditabur rumput
hutan.

Masih berusaha mengatur napas yang berantakan. Rambut keritingnya tampak
lepek dan kotor sekali. Usianya masih 15 tahun, tapi hutan telah membuatnya
terlihat jauh lebih tua. Diraihnya kantong air yang terbuat dari kulit hewan. Tak
banyak yang bisa ia diteguk dari tetesan terakhir air sungai. Namun, ia bertahan.
Harus bertahan. 

“Apa aku sudah cukup jauh ke selatan? Atau ini masih di jantung hutan?”
gumamnya.

Perlahan punggungnya merosot dari batang pohon lalu duduk di tanah basah.
Berhari-hari hujan mengguyur hutan Tambalur. Membuatnya semakin subur dan
mengerikan. Namun, hari ini cuaca sedang cerah. Hari yang tepat bagi burung-
burung hutan untuk bernyanyi. Lagu pembuka setelah badai sepekan. Setidaknya,
harmonisasi angin, kicau burung, dan gemerisik daun sedikit memberi nuansa
santai, membuat pemuda itu terbuai dan nyaris terlelap.

-V-

Angin berembus menyapa ranting demi ranting hingga sampai ke rongga ­ ­­ ­­ ­ ­­ ­­ ­­­ ­­­ ­­ ­ ­ ­­ ­ ­­
hidung pemuda itu. Tercium olehnya bau kebebasan. Bau yang hanya akan ia
dapatkan bila terus berjalan ke selatan. Bau bangkai, bau kematian. Ia tertawa.
Semakin lama semakin keras.  Burung-burung berhenti bernyanyi karena tawa
pemuda itu merusak harmonisasi.

“Tidak salah lagi,” gumamnya. “Tempat itu pasti sudah dekat. Sudah sangat
dekat. Perjalananku tidak sia-sia.” Lalu ia pun menyambung tawa. 

Tawa itu perlahan hilang. Mulutnya mengatup. Tatapannya menajam penuh
tekad. Bersamaan dengan itu, ia berusaha bangkit dari peristirahatan untuk kembali
melanjutkan perjalanan. Kali ini cukup dengan berjalan. Kakinya terlalu lemah
untuk dipacu. Langkahnya pelan. Tidak ada lagi alasan untuk buru-buru. Kaki
telanjangnya penuh luka, tapi berjalan di permukaan kasar tidak berpengaruh apa-
apa. Yang ada di kepalanya saat ini hanyalah berjalan lurus ke selatan, melewati
pohon demi pohon, menyibak semak-semak, hingga membawanya ke sebuah tanah
lapang, yang di tengahnya menjulang sebatang pohon besar.

Kedua lutut pemuda itu membentur tanah seolah tak sanggup menahan
beratnya rasa kecewa. Apa yang dilihatnya setelah berjalan jauh ke selatan, tidak
sesuai dengan apa yang dijanjikan. Sekarang matanya tak berkedip. Serasi dengan
wajahnya yang tanpa emosi. Lalu, setelah hening sejenak, pemuda itu kembali
tertawa. Tawa putus asa.

Kengerian membutakan pandangan dan perlahan merenggut kesadarannya.
Semua terjadi manakala si pemuda melihat mayat dengan leher tergantung di
pohon besar itu, serta bangkai manusia yang berserakan di bawahnya. Tak akan ada
waktu untuk trauma, bila mati adalah akhir dari perjalanannya.

-VI-

CHAPTER 1
ALAS

Telaga Merah bukan tempat bermain yang wajar bagi anak seusia Alas. Lima
belas tahun memang terlalu dini untuk dibilang pemuda, tapi Alas selalu
menganggap dirinya sudah dewasa. Ia mulai merasa tidak nyaman bergaul dengan
anak seusianya dan lebih sering pergi bersama Rayan, termasuk ke tempat yang
terlarang seperti Telaga Merah. Telaga itu tidak terlalu dalam, juga tidak terlalu luas.
Tidak sekali pun ada penampakan buaya dan hewan buas. Namun, penduduk desa
menganggap Telaga Merah adalah tempat keramat. Tempat itu punya sejarah yang
membuatnya dilindungi, dan ada sebuah mitos yang membuatnya ditakuti.

Pagi menjelang siang. Alas berbaring di atas rumput, di pinggir Telaga Merah
sambil memandangi langit pagi. Termenung mengagumi ragam bentuk awan. Para
sesepuh selalu bilang bahwa masa depan ada di depan mata. Namun bagi Alas, masa
depannya ada di atas sana, karena di desa ini, ke mana pun ia memandang, yang ada
di depan mata hanyalah barisan kokoh pepohonan. Hutan membungkus desanya
tanpa celah, dan lautan mengasingkannya dari peradaban.

Rerumputan hijau di samping telaga masih basah oleh sisa embun. Alas
membiarkan ternaknya berkeliaran menyambung hidup. Ironisnya, kelak ternak itu
akan mati demi menyambung hidup Alas dan keluarga. Tidak banyak yang Alas
gembalakan. Hanya empat ekor kambing kurus dengan bulu yang berantakan. 

“Kakak, kambing kita kurang satu.”
Suara itu membubarkan barisan khayalan yang sudah Alas siapkan di
kepalanya. Pemuda berambut ikal itu bangkit, lalu melihat sekeliling telaga. Satu,
dua, tiga, hanya ada tiga ekor kambing, minus yang paling besar yang saat ini tidak
lagi terlihat. Alas memalingkan wajah paniknya pada Mira, adik perempuannya
yang baru berusia tujuh tahun. Miralah yang menyadari hilangnya salah satu ternak
mereka.

-2-

“Harusnya kamu jaga kambing-kambing kita, bukan malah keluyuran!” tegur
Alas.

Mira memang masih kecil, tapi ia mengerti bahwa teguran itu tidak pantas
keluar dari mulut orang yang sejak tadi hanya rebahan di tepi telaga. Namun, Mira
adik yang baik. Ia sayang pada kakak dan juga emak. Ia tidak berani protes. Berbeda
dengan Alas, Mira sangat menyayangi kambing-kambingnya.

Di sisi lain telaga, Rayan tampak sedang mengikat ranting-ranting pohon hasil
pungutannya. Pria 30 tahun itu belum menyadari kebingungan Alas dan Mira.

“Kakak mau tanya Kang Rayan dulu. Siapa tahu dia lihat. Kamu tunggu di sini.
Jaga kambing-kambing kita!”

Alas bergegas menghampiri Rayan. Ia tinggalkan adik perempuannya
sendirian.

“Kang,” sapa Alas. “Apa Kang Rayan lihat kambing saya? Kambing yang paling
besar, yang ada kain merah di kakinya.”

Rayan memperhatikan kambing-kambing Alas. Memang benar kambingnya
kurang satu ekor.

“Kamu jaganya yang benar, dong! Masa kambing di depan mata bisa hilang?”
nasihat Rayan. Sedikit dongkol.

Alas sedang tidak butuh nasihat. Ucapan Rayan malah terdengar seperti
bentakan, dan itu membuat Alas semakin galau. Matanya mulai sedikit basah. Ia
memang tidak sesayang itu pada kambingnya. Alas hanya takut membayangkan se-
seorang yang akan menghukumnya di rumah.

Melihat wajah itu, Rayan mendesah. Raut wajahnya melunak. Ia pun coba
menenangkan Alas.

“Tidak usah nangis. Kambing kalian tidak akan pergi jauh,” hiburnya.

Alas melihat ke sekeliling Telaga Merah. Hampir setiap tepinya ditumbuhi
rumput panjang yang menghalangi pandangan. Telaga itu berada dalam rengkuhan
Hutan Tambalur. Pepohonan mengelilinginya bak barisan pagar pelindung.
Kambing Alas bisa jadi ada di sisi lain telaga, terhalang oleh rerumputan tinggi.
Tebersit niat Alas untuk menyusuri Telaga Merah, mengitarinya dari titik ke titik,
dan berharap menemukan kambingnya yang hilang. Namun, dengan semua cerita
seram yang selama ini ia dengar, sepertinya itu bukan ide yang bagus. Alas kembali
memandangi Rayan, wajahnya seolah meminta petunjuk.

-3-

Tatapan melas itu tak bisa Rayan tolak. Ia meninggalkan ranting-ranting yang ­ ­­ ­ ­ ­ ­ ­ ­ ­ ­
sejak tadi dipungutinya, lalu menepuk pundak Alas seraya berkata, “Kita cari sama-
sama, tapi kalau tidak ketemu, sebaiknya kita pulang saja. Lupakan kambing itu!”

“Tapi, Kang—”

“Alas, kamu tahu, kan, apa akibatnya kalau kita masuk ke hutan? Seekor
kambing tidak lebih berharga dari nyawamu dan nyawa Mira. Sudahlah, nanti aku
bantu jelaskan pada emakmu. Jangan takut.”

Ringan diucapkan Rayan, tapi berat dirasakan Alas. Ia tahu kambing itu belum
pergi jauh, tapi kalau sampai kambingnya masuk ke dalam hutan beberapa langkah
saja, maka masalah ini akan jadi pertaruhan hidup dan mati. Bahkan Rayan pun
tidak berani melewati pagar pembatas, apalagi Alas. Kalau kambingnya tidak
ketemu, ia harus siap pulang dengan hanya tiga ekor, dan berharap Rayan benar-
benar membantunya bicara pada emak.

“Kita cari berdua saja. Mira tidak boleh ikut,” tegas Rayan.

Alas terdiam. Kali ini kekhawatirannya bukan lagi pada kambing yang hilang,
melainkan pada adiknya. Saat Alas berpaling ke tempatnya rebahan tadi, Alas tidak
lagi melihat Mira.

“Kang, Mira tidak ada. Tadi saya suruh dia tunggu di sana.” Alas menunjuk ke
tempat ia meninggalkan Mira dan tiga ekor kambingnya.

Tergopoh-gopoh Alas dan Rayan berlari ke tempat Mira.

“Mira!” panggil Rayan. “Mira, ke mana kamu?”

Alas dan Rayan berpencar. Berharap Mira tidak lagi bertindak bodoh seperti
biasanya. Gadis kecil itu sudah tiga kali hilang, dan setiap kali itu terjadi, warga
selalu menemukannya di pinggiran hutan. Rasa penasaran Mira yang tinggi mem
buatnya kerap kali bermain di tempat-tempat terlarang tanpa pengawasan. Benar-
benar anak yang merepotkan.

“Alas, kamu cari di sebelah sana, tapi ingat, jangan sampai melewati pagar
merah!” perintah Rayan.

Pagar yang dimaksud Rayan terbuat dari bambu, dicat merah, dan dipasang di
sekeliling hutan sebagai pembatas, sekaligus peringatan bahwa itulah jarak terjauh
yang boleh dilewati warga. Warga percaya jika melewati batas itu tanpa seizin
tetua, makan petaka akan mendatangi mereka. Namun, sepertinya petaka itu tidak
berlaku untuk Mira. Alas yakin adiknya pasti pergi mencari kambing mereka yang

-4-

hilang, tapi kalau sampai sesuatu yang buruk terjadi juga pada Mira, Alas tidak tahu­ ­ ­ ­ ­­ ­ ­­
lagi apa yang akan dilakukan emak padanya.

“Matilah aku,” gumamnya cemas.
“Mira, kamu di mana?” Rayan masih belum menyerah. Ia sendiri sudah
semakin mendekati pagar.
Sementara itu, Alas tak mau berpangku tangan. Ia menyusuri pinggiran telaga
seorang diri sambil menahan takut. Sesekali pandangannya menyeberangi barisan
pagar merah. Menyelidik ke sela-sela pepohonan yang gelap. Hutan itu jadi semakin
mengerikan dilihat dari dekat. Alas ingat benar semua cerita emak tentang telaga
dan hutan di desa mereka. Tidak satu cerita pun yang berakhir indah.
Langkah kaki telanjang Alas berhenti. Takut maju, tetapi enggan mundur.
Ia baru saja mendengar suara gemerisik dari semak-semak di balik pagar. Tidak
mungkin Mira ada di sana, begitu pikir Alas. Semak-semak itu bergerak pelan.
Sama pelannya dengan kaki Alas yang mulai melangkah mundur. Dia siap berlari
kencang kalau-kalau sesuatu yang mengerikan muncul dari balik semak-semak itu.
“Mi-Mira. Kau, kah itu?”
Pandangan Alas semakin lekat pada pergerakan, sampai akhirnya sesuatu
bertanduk dan berbulu muncul dari balik semak-semak. Mengembik. Memberi
kejutan.
“Kang Rayan!” panggil Alas.
Rayan yang sedang berada di sisi lain telaga mendengar teriakan Alas. Tanpa
pikir panjang, ia berlari menghampiri. Bagaimana pun ia tetap harus bertanggung
jawab jika terjadi sesuatu yang buruk pada Alas dan Mira. Persetan dengan kambing
nya, begitu pikir Rayan, sampai akhirnya kekhawatiran itu berhenti manakala
Rayan melihat Alas baik-baik saja.
“Jangan dipegang!” seru Rayan, mencoba menghentikan tangan alas yang
hendak menyentuh kambingnya.
Alas menurut. Ia urungkan niatnya barusan.
“Ketemu di mana?” tanya Rayan.
“Di sana, Kang. Dia keluar dari pagar itu.”Alas menunjuk pagar merah yang
rusak.
“Apa kambingmu yang merusak pagar?” tanya Rayan.

-5-

­ ­ ­­ ­ ­ ­ ­“Tidak tahu, Kang.”
Rayan memerhatikan pagar merah yang tergerletak di tanah. Ada bekas
patahan di kedua sisinya. Melihat dari arah jatuhnya, pagar itu seperti didorong dari
dalam, dari sisi hutan. Semoga saja memang kerjaan kambing ini, Rayan membatin.
“Mira belum ketemu?”
Alas menggeleng sedih.
“Kalau benar Mira sedang mencari kambingnya, dia tidak mungkin pergi jauh
dari sini,” gumam Rayan, mencoba berpikir positif.
Namun, mengingat Mira sudah berkali-kali membuat warga pusing, Rayan
harus bersiap untuk kemungkinan terburuk. Alas dan Rayan menghamparkan
pandangan mereka pada luasnya telaga, memperhatikan air yang tenang tak beriak.
Mereka sepakat bahwa tenggelam adalah jawaban yang paling mustahil, karena
meskipun Mira gegabah dan susah diatur, Mira bukanlah anak bodoh yang dengan
mudahnya tercebur.
“Kakak. Kang Rayan!”
Alas dan Rayan menoleh. Mereka terkejut mendapati Mira tiba-tiba muncul
di belakang. Gadis kecil itu tersenyum polos, seperti tidak tahu betapa khawatirnya
Alas dan Rayan. Sama seperti tadi, saat Alas hendak menyentuh adiknya, Kang
Rayan menahan Alas dengan tangannya.
“Tunggu,” katanya pada Alas. “Dan kamu tunggu di sana, jangan mendekat!”
perintahnya pada Mira. “Dari mana saja kamu?” Rayan lanjut bertanya.
“Mencari kambing,” jawab Mira polos, “Eh, kambingya sudah ketemu, yei!”
girangnya saat melihat kambing yang hilang sedang mengembik di belakang Alas.
“Mira, jawab yang jujur. Kamu tidak pergi ke hutan, kan? Tidak melewati pagar
merah, kan?”
Rayan menanyakannya dengan wajah serius yang di mata Mira justru terlihat
menakutkan. Gadis kecil itu melirik sang kakak, meminta pembelaan. Namun
pembelaan itu tidak dia dapat, karena Alas juga takut pada Rayan. Tetap saja
Rayan enggan melunak. Bagi Rayan, pertanyaan barusan sangat penting untuk
menentukan tindakan selanjutnya.
“Tidak, Kang,” jawab Mira pelan.
“Benarkah?”

-6-

“Benar, Kang. Mira tidak ke hutan.” Mira meyakinkan. ­­ ­ ­ ­ ­ ­­­
Rayan masih memandang tajam pada Mira. Dia tidak ingin dibohongi oleh
anak kecil. Apalagi ini Mira, gadis yang terkenal pernah mengecoh warga satu
desa. Setelah memperhatikan kaki Mira yang bersih, tidak ada lumpur, tanah,
atau noda apa pun yang bisa didapatkan bila melewati pagar pembatas, Rayan pun
memutuskan untuk percaya.
“Baiklah, aku percaya. Namun, jadikan ini pelajaran terakhir buat kalian
berdua, bahwa jangan sekali-sekali melewati pagar pembatas. Apa pun yang terjadi,
paham?”
“Paham, Kang,” jawab Alas dan Mira serempak dengan wajah tertunduk
menyesal.
Tangan kekar Rayan memeriksa pipi, leher, lengan, kaki, dan anggota badan
Mira lainnya untuk memastikan anak itu baik-baik saja.
“Kamu nyari kambing ke mana?” tanya Alas.
“Ke sana.” Mira menunjuk jalan setapak menuju desa. “Mira pikir, kambingnya
sudah pulang duluan,” lanjutnya beralasan.
Rayan tidak menemukan satu lecet pun pada Mira selain luka lama yang Mira
dapatkan dari semua petualangan kecilnya.
“Ya, sudah, sekarang kita pulang!”
Rayan beranjak pergi sembari menggandeng tangan Mira. Sementara Alas
menghampiri kambingnya yang sedang makan di tepi telaga. Dia bersyukur bisa
pulang dengan keadaan yang sama seperti saat dia berangkat tadi. Tidak perlu lagi
Alas khawatir dimarahi Emak.
“Alas, tinggalkan kambing itu di sana! Ikat di pohon itu!”
Perintah Rayan tidak hanya menuai protes dari Alas, tapi juga Mira.
“Kenapa, Kang? Kita sudah susah payah mencarinya, kenapa harus ditinggal?”
tanya Alas
“Iya, Kang, Mira takut dimarahi emak, Kang,” sambung Mira.
“Biar aku yang bicara sama emak kalian. Kita pulang, tapi tidak dengan
kambing itu. Kalian boleh membawanya pulang besok, kalau kambing itu masih di
sana,” tegas Rayan.

-7-

Alas tidak ingin berdebat. Dengan berat hati dia mengikat kambing itu di
pohon dekat telaga. Mira pun tampak sangat sedih, tapi dia tidak ingin melihat
wajah marah Rayan lagi. Gadis kecil itu hanya melambaikan tangan mungilnya.

“Dadah, Mbek, jangan ke mana-mana, ya, besok Mira jemput.”
Mereka bertiga pergi diiringi bunyi si kambing yang seolah tidak rela ditinggal.
Tidak lupa, sebelum pulang Rayan membawa ranting-rantingnya. Alas menggiring
sisa ternaknya pulang. Matahari semakin meninggi, pertanda sudah cukup lama
mereka berada di sana. Dalam perjalanan pulang, Alas masih belum bisa menepis
rasa penasarannya. Dia pun bertanya.
“Kenapa kita harus meninggalkan kambing itu, Kang? Padahal kambing saya
itu masih sehat.”
Tanpa menoleh pada Alas, Rayan menjawab.
“Kambing itu sudah jadi milik hutan ini, dan semua yang menjadi milik hutan,
harus tetap berada di hutan.”

-8-

CHAPTER 2
PONDRA

Di Desa Taman Kembar, pendidikan adalah hal yang langka. Tidak semua orang
bisa memiliki buku, karena tidak semua orang bisa membaca. Hanya para
tetua dan orang pilihan saja yang menganggap buku bermanfaat. Biasanya, warga
menemukan buku di tempat pembuangan, dan mereka tahu harus memberikannya
pada siapa.

Namanya Pondra. Usianya baru 28 tahun, tapi posisinya bisa dibilang setara
dengan para tetua. Semua penduduk Taman Kembar hormat padanya. Pondra
adalah seorang tabib satu-satunya di desa itu. Jasanya yang besar membuat Pondra
diyakini sebagai utusan yang Maha Kuasa untuk melindungi dan memberkati warga
desa dengan kesehatan serta pengetahuan. Sejujurnya, Pondra sangat membenci hal
itu. Ia sering dibuat jengkel oleh tingkah warga Taman Kembar yang bodoh dan
berlebihan—bodoh yang berlebihan.

“Kami tidak tahu lagi apa yang harus kami berikan untuk menebus kebaikan
Nak Tuan. Berkat Nak Tuan Pondra, kondisi suami saya semakin hari semakin
membaik. Kami yakin, tidak lama lagi akan kembali sehat,” tutur seorang nenek
yang pagi ini berkunjung ke rumah Pondra bersama cucunya dengan membawa
bungkusan dari kulit pisang.

“Nek, sudah sembilan kali nenek datang ke sini, andai saja nenek bisa
berhitung. Sudah sembilan kali juga saya tegaskan untuk tidak membawa apa pun
sebagai imbalan, apalagi persembahan, andai saja nenek tidak pikun,” keluh Pondra
dengan sopan, walau tak bisa menyembunyikan jengkel yang ia tahan. Pondra
menarik napas, lalu melanjutkan ceramahnya. “Obat yang saya berikan cuma bisa
mengurangi rasa sakit. Tidak untuk memperpanjang usianya. Cepat atau lambat
semua yang tua akan mati.”

-9-

Nenek itu masih tersenyum. Selain karena tempo bicara Pondra yang cepat, ­ ­­­ ­­­ ­ ­­­­ ­ ­­ ­­
pendengaran si nenek pun sangat tidak sehat.

“Terima kasih, Nak Tuan. Semoga Nak Tuan Pondra selalu sehat,” ucap nenek
itu. Tangan keriput gemetarnya menyodorkan bungkusan daun pisang ke hadapan
Pondra. Setelah itu, nenek dan cucunya yang masih balita pun pergi.

Tinggallah Pondra di gubuk sederhananya. Duduk selonjor beralas kain
lusuh di lantai tanah. Atap jerami dan dinding bambu tak mampu menghalangi
pandangannya yang menerawang jauh entah ke mana. Beberapa buku usang tertata
rapi di rak kayu. Semua sudah dibaca, semua sudah dicerna habis oleh Pondra, tapi
dia masih saja haus akan bacaan. Ada banyak hal yang belum diketahuinya, dan itu
tidak akan pernah diraihnya selama dia masih berada di Taman Kembar.

“Kakak jangan terlalu kasar bicara sama orang,” protes Nirna, istri Pondra yang
sejak tadi hanya diam saja di kamar.

Pondra bisa melihat sekilas wajah kesal Nirna lewat celah tirai kain yang
memisahkan ruang tamu dan kamarnya. Rumah Pondra sempit, tapi bila dibandingkan
dengan rumah penduduk desa yang lain, rumah Pondra adalah salah satu yang paling
luas. Hunian itu masih bisa dibagi jadi tiga ruangan. Ruang tamu, dapur, ruang tidur,
dan ruang kerja Pondra.

“Jujur aku lelah, Dik. Semakin banyak aku belajar, entah kenapa aku merasa
semakin salah. Ilmu pengetahuan, warisan, sejarah, budaya, dan adat yang selama
ini kita jalankan semuanya terasa salah. Aku bahkan mulai merasa salah mengobati
orang-orang di desa.” Pondra mengungkapkan kegelisahannya.

“Hus, hati-hati dengan omongan kakak. Belajarlah dari kedua mendiang
sahabat kakak dulu. Mereka yang banyak belajar akan diangkat derajatnya oleh
tetua, tapi mereka yang banyak bertanya, kakak tahu sendiri akibatnya.”

Nasihat Nirna masih sama setiap kali topik ini keluar di perbincangan mereka.
Namun, yang Pondra butuhkan saat ini bukanlah nasihat, melainkan sebuah
jawaban.

“Pondra, boleh aku masuk?”
Suara itu terdengar dari balik pintu. Seketika itu juga Pondra tahu siapa yang
datang. Hanya sedikit orang yang berani memanggilnya dengan menyebut nama.
“Silakan masuk, Rayan.”

-10-

Rayan membuka pintu. Rupanya dia tidak sendirian. Pondra juga kedatangan ­ ­ ­­ ­ ­ ­ ­ ­ ­ ­ ­­ ­ ­ ­­
dua tamu kecil yang sudah tidak asing baginya.

“Walah, ada apa dengan dua buce (bocah) ini? Kenapa mereka bersamamu?”
tanya Pondra.

Rayan duduk bersila diikuti oleh Alas dan Mira yang menunduk takut. Rayan
lalu menceritakan semuanya yang barusan mereka alami di tepi telaga. Pondra
mendengarkan dengan saksama, hingga sesuatu menggugah rasa penasarannya.

Pondra menarik tangan Mira, meminta gadis kecil itu duduk di pangkuannya.

“Bing (panggilan untuk anak perempuan), kamu tidak masuk ke dalam hutan,
kan?” tanya Pondra sambil memeriksa leher, pipi, tangan dan punggung Mira.

“Tidak Pak Pondra. Mira tidak bohong,” jawab Mira ketakutan.

Ini kedua kalinya ada orang dewasa menanyakan hal serupa dengan wajah
yang sama pula; wajah yang menakutkan bagi Mira.

Pondra mengerti itu. Segera dia melunakkan raut wajahnya dan mengelus
rambut panjang Mira.

“Bagus. Anak baik tidak boleh melanggar aturan, dan pastinya tidak boleh
berbohong.” Pondra menasihati.

“Tapi Kang Rayan bilang kami tidak boleh membawa pulang kambing itu,”
protes Alas yang masih belum ikhlas kambingnya ditinggal di tepi telaga.

Keluguan dua anak itu memantik senyum Pondra. Kumisnya yang hanya tumbuh
di samping itu terangkat. Alisnya meninggi hingga nyaris menyentuh ikat kepalanya.
Tanggung jawab Pondra bukan hanya kesehatan penduduk Taman Kembar, tapi juga
pendidikannya. Memang tidak banyak anak kecil di desa itu, tapi Pondra sangat
menyayangi delapan orang muridnya. Setiap sore mereka datang untuk belajar apa
pun ilmu yang bisa Pondra ajarkan. Pondra yakin, mereka adalah generasi Taman
Kembar yang kelak akan memberikan banyak perubahan.

“Sudah, tidak usah berdebat. Kang Rayan hanya menjalankan aturan desa, dan
tentunya demi kebaikan kalian juga. Ibu kalian pasti mengerti. Jadi, jangan takut
dimarahi,”

ujar Pondra.

Nirna yang sejak tadi diam mendengarkan dari kamar, akhirnya memutuskan
ke luar dan duduk di antara mereka. Mira dan Alas jadi tersipu melihat betapa
anggun dan cantiknya istri Pondra itu.

-11-

“Alas dan Mira suatu saat akan jadi pemuda dan pemudi yang gagah, juga ­ ­ ­ ­­ ­ ­ ­ ­ ­ ­ ­ ­ ­
orang tua yang gigih. Belajar dari sekarang untuk menjadi bijak, agar tua nanti tidak
terinjak. Ini, berikan pada emak kalian. Sampaikan juga salam Pak Guru Pondra
untuk tetap jaga kesehatan.” Nirna memberikan bungkusan daun pisang dari nenek
tadi kepada Alas. Kedua anak itu tampak senang walau tidak tahu apa isinya.
Mereka pun berpamitan dan bergegas pulang.

Tinggallah Rayan, Pondra, Nirna, dan topik pembicaraan mereka yang sedikit
memanas.

“Mungkin sekali-kali mereka memang harus ditindak tegas. Ini bukan yang
pertama. Sudah ada lima kasus anak yang ketahuan bermain di dekat hutan tanpa
pengawasan orang tua. Tiga dari kasus itu adalah ulah Mira,” gerutu Rayan.

“Sudahlah, jangan terlalu dipikirkan. Selagi mereka tidak melewati pagar
merah, aku yakin kita akan baik-baik saja,” kata Pondra.

“Ah, kamu memang selalu memanjakan murid-muridmu. Ingat, kehidupan
mereka nanti akan sangat keras. Mereka bukan hanya perlu belajar menjadi bijak
tapi juga menjadi tangguh,” timpal Rayan.

Nirna hanya diam saja. Selalu begitu setiap kali suami dan kakaknya berdebat.
Apa boleh buat, Rayan belum menikah, jadi belum tahu rasanya menjadi ayah.
Namun, bukan berarti Pondra dan Nirna lebih beruntung daripada Rayan. Mereka
sudah lama menikah dan dianugerahi seorang putra. Sayangnya, buah hati mereka
harus meninggal saat usianya masih balita.

Perbincangan mereka harus terhenti karena tiba-tiba terdengar suara gaduh di
luar. Pondra dan Rayan beranjak dari tempat duduknya lalu pergi menuju sumber
suara.

Ada sepetak tanah di tengah desa yang menjadi pusat kegiatan warga. Mereka
menyebutnya Tanah Lingkar. Ke sanalah Pondra dan Rayan pergi. Begitu sampai di
tujuan, Pondra dan Rayan mendapati keramaian penduduk yang sedang memenuhi
Tanah Lingkar. Mereka menerobos. Menyibak kerumunan untuk merebut barisan
terdepan.

“Mulai lagi,” geram Pondra.

Seorang tetua hadir di antara kerumunan penduduk. Riuh itu redam seketika.
Hening pun tercipta. Di belakang tetua, seorang pria sedang menarik gerobak kayu
dengan roda goyang yang berdecit. Beberapa orang berjalan mengiringi gerobak.

-12-

Bermuka sedih dan bermata sembab. Ada juga yang masih terisak. Salah satu dari ­ ­ ­ ­ ­ ­­­­­ ­­
mereka adalah orang yang Pondra kenal. Iring-iringan itu bergerak ke utara, ke arah
Telaga Merah.

“Perempuan yang sedang menangis itu baru kemarin pulang dari rumahku,”
kata Pondra. “Dan sepertinya orang di gerobak itu adalah suaminya. Jadi, akhirnya
dia mati juga.”

“Dia pasienmu?” tanya Rayan. “Sepertinya kali ini obatmu tidak bekerja
dengan baik.”

“Ya, dan aku sangat marah.” Tangan Pondra mengepal.
Rayan mengerti perasaan adik iparnya. Ia hanya tidak tahu harus berkata apa.
Ritual ini sudah jadi tradisi Taman Kembar. Orang yang sudah meninggal akan
dibawa ke Telaga Merah. Tangan dan kaki jenazah akan diikat dengan pemberat,
lalu ditenggelamkan. Walau terdengar kejam, upacara ini adalah penghormatan
yang paling layak. “Kalau aku mati, aku juga akan ada di gerobak itu,” ucap Rayan.
“Aku tidak akan membiarkanmu mati,” sahut Pondra.
“Itu bukan keputusanmu. Kau hanya tabib, bukan Tuhan.”
“Ya, tapi tidak ada Tuhan di Taman Kembar.”
Rayan melepas napas panjang. “Kamu benar-benar pemarah. Kamu marah
pada apa pun.”
“Aku hanya marah pada cara kita hidup. Aku lebih marah pada cara kita mati.”
“Ah, Pondra. Hal itu sudah berkali-kali dibahas sama para tetua.” Rayan geleng
kepala. Heran dengan keras kepalanya Pondra. “Percayalah. Ini lebih baik daripada
menguburnya di tanah. Taman Kembar tidak punya cukup lahan untuk menanam
pangan, apalagi untuk mengubur manusia. Lagi pula, kamu tahu sendiri, kan, apa
yang terjadi pada mayat-mayat yang dikubur di hutan ini? Ingat, mereka lapar. Sangat
lapar. Mereka akan makan apa pun asal perut mereka berhenti teriak.”
Kedua bahu Pondra tampak merendah, pertanda amarahnya reda. Ada getir
di nada bicara Rayan ketika menyebut tentang ‘Mereka’. Dan getir itu mengalahkan
semua logika. Membuat Pondra sedikit maklum dengan segala kegilaan adat desa.

-13-

CHAPTER 3
ZUROH

Pelototan Zuroh berhasil menakuti Alas dan Mira. Kedua anak itu bersimpuh di
hadapan emaknya dan tidak ada yang berani mengangkat wajah. Alas dan Mira
tahu betul jika ibunya berhenti mengunyah daun sirih, maka sesuatu yang buruk
akan terjadi.

“Anak-anakku sayang,” ucap Zuroh. Ia merekahkan senyuman manis, “Barusan
emak bertemu sama Kang Rayan. Dia cerita banyak hal, termasuk tentang salah satu
anak emak yang lagi-lagi keluyuran tanpa pengawasan.” Zuroh melirik Mira.

Alas dan Mira menelan ludah nyaris serempak. Telapak tangan mereka mulai
basah.

“Ah, tapi emak bersyukur kalian berdua pulang dengan selamat. Tidak bisa emak
bayangkan kalau terjadi sesuatu sama anak-anak kesayangan emak,” tutur Zuroh
sembari mengusap kepala Alas dan Mira.

Kedua anak itu tersenyum. Meski hanya senyum terpaksa, setidaknya ucapan
Zuroh barusan tidak mengandung ancaman. Itu artinya, mereka berdua aman.

“Tapi ....”
Senyum mereka pun redup. Satu kata dari Zuroh berhasil membunuh suasana.
Mereka berdua mengumpulkan tenaga pada satu titik, yakni telinga.
“GARA-GARA KALIAN KAMBING KITA TINGGAL TIGA EKOR!
GENDENG!”
Mira memeluk lengan kurus Alas. Berharap sang kakak dapat memberinya
perlindungan. Namun, ia tak melihat jika saat ini Alas juga sedang ketakutan.
Zuroh sudah terbiasa dengan wajah-wajah itu. Alas dan Mira selalu
menggunakannya sebagai kedok saat sedang dimarahi. Jadi, kali ini Zuroh tidak
peduli. Amarahnya sudah terlanjur tinggi. Tinggi sekali.

-14-

“Kalau dipikir-pikir, nyawa kalian berdua jauh lebih penting buat emak,” lanjut
Zuroh, sambil kembali mengusap kepala Alas dan Mira.

“TAPI ITU SATU-SATUNYA KAMBING BETINA YANG KITA PUNYA!
GENDENG!”

Zuroh memukul kepala Mira sekali, sedangkan Alas dua kali. Biasanya Alas
selalu protes, tapi kali ini dia diam saja. Alas yang paling tua, paling tinggi, paling
dekat dengan sial. Ia tidak mau protes kalau hanya akan dapat pukulan ketiga.
Sekarang, dua bersaudara itu sedang memegangi kepalanya masing-masing.

“Tapi, Mak, Kang Rayan yang larang kita bawa pulang kambing itu. Padahal
kambingnya sudah ketemu. Katanya kambing itu sudah jadi punya hutan.” Mira
membela diri, walau takut setengah mati.

Wajah Zuroh melunak. Alisnya yang nyaris menyambung itu kini berjarak.
Luka gores di alis bagian kanannya jadi tampak jelas. Zuroh kembali mengunyah
daun sirihnya, oleh-oleh Alas dan Mira yang mereka dapat dari Pondra. Tadinya,
mereka berharap daun sirih itu bisa meluluhkan hati Zuroh. Namun, nyatanya Mira
dan Alas masih saja kena marah, kendati oleh-olehnya dikunyah dengan lahap.

Zuroh memperhatikan Alas dan Mira yang sudah menunjukkan tanda-tanda
jera. Sejatinya, kedua anak itu adalah satu-satunya harta Zuroh yang paling berharga.
Terlepas dari kerasnya cara dia mendidik anak, Zuroh sangat menyayangi Alas dan
Mira. Dan itu tidak bisa ditukar oleh apa pun, apalagi hanya seekor kambing.

“Ya, kamu benar. Harusnya Kang Rayan saja yang emak hajar. Berani-beraninya
dia meninggalkan ternak kita sendirian di telaga. Meski begitu, kalau emak ada di
posisi dia, emak akan melakukan hal yang sama. Emak yakin kalian sudah tahu
betul betapa bahayanya hutan di desa kita,” tutur Zuroh.

Kedua anak itu tidak perlu diingatkan. Mereka sudah paham betul semua
larangan tentang pagar merah. Namun, selama ini mereka hanya mendapatkan
larangan tanpa penjelasan. Jiwa muda dan kepala penuh rasa penasaran itu kerap
kali bertanya, kenapa semua warga dilarang melewati pagar? Kenapa semua
warga dilarang memasuki hutan, kecuali saat ada jadwal ke tempat pembuangan?
Sebenarnya ada apa di dalam hutan? Hewan buas? Hantu?

“Ah, sudahlah. Nanti juga kalian akan mengerti. Sekarang sudah malam.
Waktunya tidur.”

Alas dan Mira pergi ke tempat tidurnya, sebuah kain lusuh di atas tumpukan
jerami dengan pelepah pisang sebagai bantal. Tidak lupa mereka memadamkan

-15-

api dan segala sumber penerangan. Mira memperhatikan emaknya. Berharap ­­ ­­ ­ ­ ­ ­­­­ ­­­­ ­ ­­ ­ ­ ­ ­ ­ ­­ ­­ ­ ­­ ­
emaknya segera menyusul Mira tidur. Sudah lama sejak ia dibelai sampai terlelap.
Mira merindukan hal itu. Namun, tampaknya Zuroh masih sibuk mempersiapkan
sesuatu untuk pergi ke tempat pembuangan besok. Mira tahu diri. Matanya me
mejam dan ia tak banyak berharap lagi.

Petang sudah di Taman Kembar. Zuroh masih terjaga. Duduk di luar rumah
sambil mengunyah daun sirih pemberian Pondra dan Nirna. Rumah Zuroh
berhadapan langsung dengan Tanah Lingkar, berseberangan dengan rumah Rayan.
Mata Zuroh menerawang dalam gelapnya desa. Cahaya bulan sedikit memberi
penerangan, menerobos celah-celah kecil dari lebatnya daun pepohonan tinggi.
Membuat siluet penduduk samar-samar terlihat. Sebagian dari mereka melakukan
apa yang Zuroh lakukan, duduk di depan rumah beralaskan dedaunan. Menikmati
megahnya purnama dan bebunyian magis pedalaman hutan.

Terdengar suara kentungan bambu dari gerbang barat. Suara itu memecah
ketenangan. Beberapa warga terepekik karenanya. Bukan nyaringnya kentungan yang
mengejutkan mereka, tapi makna dari setiap ketukan itu yang membuat getir.

Serempak warga bergegas masuk ke rumah masing-masing, termasuk Zuroh.
Suara pintu ditutup terdengar bersahutan. Sebelum Zuroh melakukan hal yang
sama, ia memalingkan pandangannya ke arah gerbang barat. Obor di barat mulai
dipadamkan. Derap kaki para penjaga gerbang terdengar semakin dekat, pertanda
mereka pun mulai mengabaikan pos jaga dan memilih pulang ke rumah, berlindung
di balik selimut daun yang tak membuat hangat.

“Mereka datang lagi,” gumam Zuroh. Akhirnya ia menutup pintu rumahnya
rapat. Melintangkan balok kayu sebagai pertahanan tambahan.

Dari kejauhan, sayup suara terdengar ke telinga Zuroh. Suara langkah kaki
perlahan mendekat. Tidak hanya satu dan dua, tapi berkelompok. Menyusul
kemudian suara erangan serta geraman yang mendominasi kesunyian Taman
Kembar.

Zuroh masih bersandar di balik pintu. Memastikan apa pun yang sedang
melintasi desa tidak mendatangi rumahnya. Hampir semua hunian penduduk
Taman Kembar terbuat dari kayu dan bilik bambu. Jika mereka mau, mereka bisa
melihat dengan jelas melalui celah di dinding, apa yang saat ini sedang berkeliaran
di desanya. Namun, butuh keberanian untuk melakukan itu, dan Zuroh tidak
memilikinya.

-16-

Zuroh dikejutkan oleh suara yang berasal dari dalam rumahnya. Terdengar ­ ­ ­ ­ ­ ­ ­­­ ­ ­­­ ­ ­ ­ ­
seperti gesekan pada permukaan kayu. Suara itu mengirimkan sinyal awas,
membuat kewaspadaan Zuroh meningkat. Ia berjalan pelan di tengah kegelapan
rumah. Mencari asal suara. Kendati rumahnya tidak luas, dan ia hafal benar
tata letaknya, Zuroh masih saja meraba-raba agar tidak tersandung meja, atau
menginjak pisau yang belum sempat ia bereskan setelah membuat persiapan untuk
pergi ke penggalian besok. Namun, apa yang Zuroh temukan tidak seperti yang ia
bayangkan.

Mira tidak tidur. Ia tidak bisa tidur. Bahkan saat anak seusianya sedang terlelap,
Mira masih terjaga dan masih mencari masalah. Zuroh mendapati Mira sedang
berdiri kaku menghadap dinding rumah bagian belakang. Tanpa pikir panjang,
Zuroh menarik tubuh anaknya, memeluk dan membawanya bersembunyi di balik
lemari kayu.

“Mira, apa yang kamu lakukan, nak?” isak Zuroh menahan takut dan marah.
Diperhatikannya wajah Mira yang melotot dengan mulut ternganga. Tubuhnya
masih kaku. Napasnya pun tersendat. Zuroh tidak tahu apa yang baru saja Mira
lihat. Namun, sepertinya itu lebih menakutkan dari wajah Zuroh saat sedang marah.
Diciumnya kening Mira, lalu ditidurkannya di lantai, di samping lemari kayu.

Zuroh menarik napas, berdiri, lalu secepat kilat berlari ke arah dinding tempat
Mira memaku pandangannya barusan. Dengan sigap, Zuroh mengambil potongan
pelepah pisang di lantai, kemudian menggunakannya untuk menyumbat lubang se
besar kepalan tangan orang dewasa yang entah sejak kapan ada di sana. Lubang itu
tercipta di waktu yang sangat tidak tepat.

Apa yang Zuroh lakukan barusan tidak butuh banyak tenaga. Namun, saat ini
tubuhnya terasa sangat lelah. Ia duduk bersandar pada dinding di bawah lubang.
Dia yakin, lubang itu dibuat oleh Mira. Ia tidak terkejut kalau memang itu ulah
anaknya. Yang membuat Zuroh nyaris pingsan adalah, sesuatu yang tanpa sengaja
ia lihat saat hendak menutup lubang. Melalui celah sebesar kepalan tangan itu, ia
melihat wajah putih pucat yang dipenuhi lubang-lubang kecil sedang mengintip ke
dalam rumah.

Zuroh menunggu sampai tenaganya pulih. Sampai suara langkah kaki di
luar rumahnya terdengar menjauh pergi. Setelah itu, ia menghampiri Mira lalu
membawanya kembali ke tempat tidur. Gadis kecilnya masih menunjukkan tanda
trauma. Namun, wajah Zuroh saat ini pun tidak jauh berbeda. Sudah lama sejak

-17-

terakhir kali Zuroh melihat wajah mengerikan itu. Ia menyesal karena ini adalah
yang pertama bagi Mira. Akan butuh waktu lama bagi gadis itu untuk menghapus-
nya dari ingatan.

Mulai terdengar suara langkah kaki mengelilingi rumah Zuroh. Rupanya
lubang yang dibuat Mira sudah menarik perhatian mereka yang sedang berkeliaran
di desa. Suara langkah itu berhenti, berganti dengan suara napas di sekeliling rumah
yang terdengar serak dan sangat berat.

Berada dekat dengan sesuatu yang paling ditakuti warga Taman Kembar, dan
hanya dipisahkan oleh dinding bambu tipis, membuat Zuroh tidak bisa lagi berpikir
jernih. Dalam kegelapan, matanya berusaha keras mencari sesuatu. Sebuah senjata
yang mungkin bisa menjadi pelindung. Namun, ke mana pun tajam pandangan itu
diarahkan, kegelapanlah yang ia dapatkan.

“Emak?”
Zuroh terperanjat oleh wajah dekil yang tiba-tiba muncul di hadapannya.
Ia mendesis, memberi isyarat pada Alas untuk diam. Bebannya semakin
bertambah dengan bangunnya Alas. Tidak ada yang bisa dilakukan Zuroh selain
duduk sembari memeluk Alas yang menggigil takut, dan Mira yang masih me-
melototi kekosongan. Mereka bertiga harus tetap seperti itu sampai pagi datang.
Menghabiskan malam tanpa tidur, tanpa cahaya, tanpa suara selain suara dinding
rumahnya yang sedang dicakar, dan geraman rendah yang terdengar mengepung di
luar layaknya hewan kelaparan.

-18-

CHAPTER 4
BALI

Selain bertani dan beternak, mata pencaharian warga Taman Kembar
adalah memulung. Setiap dua hari sekali, lima orang akan dikirim ke lokasi
pembuangan sampah yang berada cukup jauh di selatan. Untuk sampai ke sana,
mereka harus masuk hutan, dan hanya orang-orang pilihan yang boleh ikut. Mereka
selalu berangkat dini hari agar bisa sampai di lokasi saat siang. Waktu memulung
pun terbatas karena mereka harus kembali ke desa sebelum malam.

Mereka pergi bukan semata untuk jalan-jalan melepas kebosanan. Bukan pula
momentum meraup kekayaan, atau sekadar mencari kenyang. Mereka pergi dengan
sadar bahwa taruhannya adalah nyawa. Tidak hanya sekali dua kali ada warga yang
gagal pulang ke desa. Jika ada yang terluka, warga sepakat untuk meninggalkannya
karena sudah pasti akan jadi beban. Lagi pula, mereka sengaja berangkat dengan
tangan kosong agar bisa pulang membawa harta yang banyak. Tidak ada ruang
untuk memapah tetangga yang pincang, atau menggendong sahabat yang pingsan.

Lima orang warga dipilih bergiliran dua hari sekali. Salah satu syarat untuk ikut
ke tempat pembuangan adalah sehat, kuat, dan diutamakan laki-laki. Lima orang
itu tidak pergi sendiri. Mereka didampingi oleh dua orang pemandu yang ditunjuk
langsung oleh para tetua. Salah satu pemandu itu bernama Bali.

Tanggung jawab Bali sangat besar. Ia dan rekannya harus memastikan kelima
warga yang berangkat ke tempat pembuangan bisa pulang dengan selamat. Mereka
mempertaruhkan hidup agar bisa pulang membawa sesuatu yang berharga untuk
keluarga. Sesuatu yang tidak mungkin mereka dapatkan di desa.

Dini hari, Bali dan enam orang lainnya pulang dengan tiga gerobak penuh hasil
memulung. Semakin hari, yang mereka bawa pulang semakin sedikit. Sering kali
para penggali pulang dengan wajah tertunduk kecewa, karena yang mereka dapat
tidak sebanding dengan perjuangan mereka yang berat.

-19-

Bali mulai kehabisan kata-kata untuk disampaikan pada keluarga dari mereka ­­ ­­ ­­­ ­ ­ ­ ­­ ­­ ­ ­­ ­­ ­
yang gugur dalam perjalanan. Walaupun sebagian besar menerima dengan lapang
dada, karena mengerti betapa berbahayanya hutan yang mengelilingi desa.

“Buka gerbangnya!” seru salah seorang penjaga gerbang timur yang sedang
bertugas.

Gerbang kayu itu pun terbuka, memberi jalan bagi Bali dan rombongannya
untuk kembali ke rumah. Kembali merasa aman dan hangat setelah berjam-jam
merasakan teror hutan.

Kedatangan mereka disambut dengan mimik penasaran para warga.
Beruntungnya kali ini jumlah mereka masih sama seperti ketika berangkat kemarin.
Jadi, tidak ada drama, tangis, dan jeritan histeris yang harus Bali hadapi. Tidak
perlu juga Bali memikirkan ucapan belasungkawa yang ia sendiri nyaris bosan
mengucapkannya.

Tentang wajah-wajah kecewa dan beberapa karung serta gerobak yang kosong,
biarkan para pemulung yang menjelaskan sendiri pada keluarga masing-masing.
Termasuk alasan kenapa dalam penggalian kali ini mereka terpaksa menginap
semalam di lokasi. Bali hanya menjamin keselamatan mereka. Ia tidak bertanggung
jawab atas rezeki mereka.

“Aku ada kepentingan dengan tetua,” bisik Bali pada Muji, rekannya sesama
pemandu. Segera ia serahkan kendali gerobaknya lalu pergi meninggalkan
rombongan.

Bali berjalan melewati rumah demi rumah menuju ke arah sungai tempat
rumah para tetua berada. Ada rasa tentram di benak Bali kala melihat pemandangan
desanya lagi. Setiap kali ia berangkat memandu para pemulung, ia selalu berpikir
tentang kemungkinan ia tidak bisa kembali pulang. Kemungkinan itu semakin hari
semakin besar, tapi di sinilah Bali sekarang. Ia selalu pulang dengan selamat.

Dalam perjalanan ke rumah tetua, Bali berpapasan dengan dua orang anak
kecil yang sedang menganyam.

“Hei, buce. Selama kami pergi, adakah orang yang dimakamkan?” tanya Bali

“Ada, Pak Mahmod. Emak bilang sakitnya sudah parah, jadi dibawa ke Telaga
Merah.”

Bali terdiam. Ia kenal orang yang dimaksud. Ia dedikasikan semenit waktunya
untuk mengheningkan cipta. Mahmod adalah guru yang banyak mengajarinya

-20-

tentang sejarah desa. Dia pernah berkata bahwa Taman Kembar ibarat sebuah ­ ­ ­ ­ ­ ­ ­­ ­ ­­ ­ ­ ­
kendi yang terisi penuh oleh air, yang tidak ada ruang lagi untuk air baru, kecuali
membiarkannya meluap.

Menyedihkan. Mengerikan. Bali pernah menentang keras adat Taman
Kembar yang mengharuskan orang meninggal untuk diikat dengan batu, dan
ditenggelamkan di Telaga Merah. Ia pernah mendengar dari Mahmod bahwa di
luar sana—di luar pulau terpencil ini—orang yang meninggal akan dikubur dan
didoakan keselamatannya. Dari cara Mahmod bercerita kala itu, sepertinya ia ingin
jenazahnya juga dikubur. Tidak ada yang rela mati untuk kemudian jadi makanan
ikan.

Bali mengelus kepala anak kecil di hadapannya. Bagi anak-anak Taman
Kembar, Bali adalah sosok jagoan. Mereka mengagumi kekuatan dan wibawa Bali.
Semua orang tahu Bali adalah pemburu yang andal. Ia juga mahir menggunakan
tombak. Sudah berkali-kali nasib sial mencoba mencelakai, tapi Bali seolah punya
kemampuan menolak mati. Terakhir kali ia terkepung kawanan serigala—waktu itu
masih berusia 17 tahun—ia masih bisa pulang dengan selamat walaupun tangan
kanannya harus ia relakan menjadi milik hutan. Bali hidup dengan satu tangan, tapi
itu tidak sedikit pun membuatnya terlihat lemah.

Bali melanjutkan perjalanan hingga sampailah ia di rumah Baidawi, salah satu
dari empat tetua desa. Di Taman Kembar, gelar tidak berpengaruh banyak terhadap
kesejahteraan hidup. Kendati dinobatkan sebagai tetua, rumah Baidawi tidak jauh
berbeda dengan rumah penduduk lainnya.

Bali mengetuk pintu. Tak berapa lama kemudian, pintu itu terbuka. Seorang
perempuan yang usianya sedikit lebih tua dari Bali, keluar dari rumah Baidawi
sambil mengunyah daun sirih. Perempuan itu berambut hitam panjang yang bagi
an atasnya diikat ke belakang, sementara bagian bawahnya dibiarkan terurai. Dia
adalah Zuroh. Bali tidak kenal baik dengan janda yang sering kali membantu ibu
hamil di Taman Kembar melahirkan. Mereka pun hanya berpapasan tanpa sapa,
tanpa permisi, tanpa basa-basi.

“Oh, Bali,” sapa Baidawi. “Senang melihatmu pulang dengan utuh. Ah, tentunya
selain tangan kirimu yang memang sudah buntung itu.” Baidawi cekikikan. Candaan
itu tidak disambut baik oleh Bali. Selalu saja begitu. Baidawi sudah mengasuh Bali
sejak kecil. Ia adalah satu-satunya keluarga yang Bali punya, walaupun sering kali
Bali dibuat jengkel oleh candaanya yang kekanak-kanakan.

-21-

­ ­ ­ ­­­ ­­“Ada kepentingan apa dukun beranak itu ke sini?” tanya Bali seraya menutup
pintu.

“Zuroh? Dia perempuan yang malang,” jawab Baidawi. “Dia sudah mengalami
malam terburuk sepanjang hidupnya.”

Baidawi dan Bali duduk bersila beralaskan kain lusuh yang Baidawi dapatkan
dari tempat pembuangan.

“Di desa ini, setiap malam adalah malam yang buruk bagi semua orang,” kata
Bali.

Baidawi tahu benar kegelisahan anak angkatnya itu, dan apa yang membuatnya
berkata demikian.

“Tadi malam, anak perempuan Zuroh melihat mereka.” Baidawi bertutur.
“Kamu tahu, kan, anak yang sering bikin masalah itu. Dia nekat mengintip ke luar
rumah, dan tanpa sengaja melihat mereka. Jaraknya dekat pula. Kejadian itu pasti
menyisakan trauma yang sangat hebat baginya.”

Bali mengernyit. “Sejak kapan kawanan Sisik Hitam berani mendekati rumah
warga?” tanyanya.

Baidawi menggeleng. Mengangkat kedua bahunya.
“Entahlah. Kita tidak tahu siapa dan apa yang jadi tujuan mereka sebenarnya.
Tapi selama mereka tidak mengganggu penduduk Taman Kembar, kita tidak perlu
terlalu mengkhawatirkannya,” tutur Baidawi.
“Bisakah untuk sekali saja jenengan berhenti bicara seperti para tetua? Ayolah!
Kita semua tahu ada yang tidak beres dengan desa ini. Masih ingat ketika para
tetua memaksa kita percaya bahwa kawanan Sisik Hitam melewati desa kita hanya
untuk pergi mengambil air ke Telaga Merah?” Nada bicara Bali sedikit meninggi.
“Masih ingat ketika mereka bilang kawanan Sisik Hitam adalah nenek moyang kita,
penghuni pulau dan hutan ini jauh sebelum desa ini ada? Masih ingat ketika mereka
bilang bahwa kawanan Sisik Hitam adalah mahkluk gaib yang hanya dengan
melihatnya saja kita akan terkena kutukan?”
“Hati-hati!” Baidawi memperingatkan. “Meragukan Tetua Agung adalah
pengkhianatan. Kamu bisa diasingkan di hutan seumur hidup, atau ditenggelamkan
ke Telaga Merah hidup-hidup, dan aku tidak ingin melihat salah satunya terjadi
padamu!” tegasnya.

-22-

­­ ­­­ ­ ­ ­ ­Ada keheningan sesaat di rumah itu. Bali dan Baidawi bingung siapa yang
harus bicara lebih dulu. Di satu sisi, Baidawi memahami perasaan Bali. Di sisi lain,
Bali mengerti kekhawatiran bapak angkatnya. Ia tidak ingin berdebat lagi. Masih
banyak tugas menanti Bali. Ia beranjak dari tempat duduknya, menuju pintu lalu
berkata rendah.

“Tiga dari lima gerobak pulang dalam keadaan kosong. Mereka tidak membawa
apa pun kecuali kecewa. Tempat itu hampir tidak punya apa pun untuk dibawa
pulang. Mungkin sudah saatnya kamu bicara pada Tetua Agung tentang izin me
lakukan pelayaran, atau kita tidak akan bertahan sampai tahun depan.”

Baidawi mengangguk dengan enggan. Bali mengerti, itu hanya tanda bahwa
bapak angkatnya mendengar, bukan mengiyakan. Tanpa sepatah kata lagi, pria
buntung itu meninggalkan rumah Baidawi.

-23-

CHAPTER 5
BUSRAWI

Rumah Busrawi ada di di sudut desa, mepet dengan pagar bagian barat, dan
merupakan satu-satunya rumah yang terkesan menyendiri. Rumah itu terpisah
dari rumah warga lain yang cenderung berdekatan karena alasan keamanan.
Busrawi dikenal sebagai penyendiri. Usianya sudah menginjak 40 tahun, tapi masih
memilih tinggal sendiri. untuk beberapa alasan, warga Taman Kembar tidak berani
mengganggunya, dan untuk sebuah alasan, beberapa orang terpaksa berurusan
dengannya. Biasanya dalam hal yang ilegal.

Pagi ini, Busrawi baru pulang mengambil air di sumur yang berada di dekat
sungai. Ia membawa dua ember yang dipikulnya di bahu mengunakan bambu. Dua
orang anak kecil mengiringinya, mengajak Busrawi mengobrol entah apa, yang jelas
Busrawi tampak antusias mendengarkan. Ia memang dingin dan misterius, tapi
punya sisi lembut untuk anak kecil. Saat melewati Tanah Lingkar, Busrawi melihat
kerumunan warga. Ia memutuskan untuk menonton dalam diam. Busrawi me-
letakkan kedua embernya di tanah, lalu berdiri, bersedekap di bawah pohon.

Kerumunan itu sedang membahas tentang tempat pembuangan sampah. Sejak
dulu aturannya sudah jelas, siapa cepat dia dapat, siapa lemah dia terinjak. Biasanya,
akan ada komentar dengki dari warga karena melihat tetangganya membawa pulang
pakaian bersih, tanaman obat, dan barang-barang berharga yang tidak mungkin
mereka tanam di desa. Bagi mereka yang terlalu lemah untuk ikut memulung, maka
cukuplah ubi, sayur-mayur, buah-buahan, dan biji-bijian sebagai pengganjal perut.

Keramaian itu bubar lebih cepat dari biasanya. Setelah melihat kondisi gerobak
yang kosong, sama kosongnya dengan tatapan kecewa mereka, Busrawi jadi tahu
alasannya. Apa yang dikhawatirkan warga sudah jadi kenyataan. Benda berharga
yang bisa mereka temukan di lokasi pembuangan semakin berkurang. Dan dengan

-24-

segala batas yang membelenggu desa, mereka mulai bingung ke mana akan mencari
makan.

Busrawi menyandarkan punggungnya pada pohon, saat kemudian seseorang
menghampirinya. Seseorang yang Busrawi tidak suka.

“Hei, hei, Kang Busrawi. Usia Sampean sudah tidak pantas untuk melamun,
andai Sampean sadar itu.”

Busrawi tidak mau buang waktu untuk menoleh. Suara serak dan cara bicara
yang menyebalkan itu hanya dimiliki oleh Pondra. Kedatangannya selalu berhasil
membuat Busrawi gelisah. Orang bernama Pondra Paisan ini memang spesial, tapi
menjengkelkan dan berbahaya untuk suatu alasan.

“Menjadi tabib tidak lantas menyembuhkan tabiat burukmu, heh? Haruskah
saya ajarkan cara bicara yang sopan pada orang tua?” sindir Busrawi.

“Itu.” Pondra menjentikkan jari. “Itu yang saya suka dari Sampean. Selalu cepat
tersinggung dan marah, dan itu tidak baik buat kesehatan, loh. Saya punya ramuan
peredam amarah, andai saja Sampean mau mencoba,” balas Pondra.

Sudah cukup bagi Busrawi. Ia tidak ingin berdebat lagi. “Yang sebelah kanan,”
kata Busrawi seraya menunjuk salah satu embernya yang tidak berisi air.

Pondra melihat sekeliling untuk memastikan tidak ada orang yang melihat,
kemudian ia mengambil sebuah kotak di dalam ember yang dimaksud. Girang tak
tertahan, si tabib tersenyum lebar hingga gigi depannya terlihat jelas. Bagaimana
tidak? Tiga buah buku kini berada di tangannya. Pesanan pribadi yang selalu
Pondra nantikan dari Busrawi. Tentu saja transaksi mereka adalah sesuatu yang
ilegal. Terlepas dari posisi Pondra sebagai seorang tabib, kepemilikan buku, kitab,
dan sumber ilmu pengetahuan lain harus mendapat izin dari Tetua Agung.

Sadar akan risiko yang harus diterima tidak lantas membuat mereka berdua
berhenti. Ini adalah transaksi kelima yang mereka lakukan tanpa memedulikan
hukuman mati.

“Cepat sembunyikan benda itu dan juga gigi-gigimu! Kalau sampai ada yang
melihat, aku pun bisa kena akibatnya,” tegur Busrawi. 

Segera Pondra menyembunyikan buku-buku itu ke dalam tas kulitnya, tanpa
menyembunyikan giginya. Hari ini dan beberapa minggu ke depan, semua warga
Taman Kembar akan melihat wajah girang Pondra. Tentu saja hanya Busrawi yang
tahu penyebabnya.

-25-

“Oh, ya, Kang. Sudah sejak lama saya memikirkan hal ini, dan semoga Sampean ­­ ­ ­ ­ ­ ­ ­ ­­ ­
bisa memberi saya pencerahan. Buku dan hewan ternak bukanlah barang yang bisa
kita dapatkan dengan mudah, termasuk dari tempat pembuangan sampah. Jadi,
izinkan saya bertanya, dari mana Sampean bisa mendapatkan semua itu?”

Tangan kekar Busrawi menyambar kerah baju Pondra. Cengkramannya begitu
kuat, hingga tubuh Pondra nyaris terangkat dan ikat kepalanya hampir lepas.
Walaupun sedikit, tindakan Busrawi sudah berhasil menakuti Pondra. Seketika
tabib itu menyembunyikan giginya. Tidak tersenyum, tidak lagi tertawa, hanya raut
wajah takut yang berusaha Pondra tutupi. Kejadian itu sempat menarik perhatian
beberapa warga sekitar.

“Aku senang. Ternyata semua buku yang aku bawa ada manfaatnya. Setiap hari
kamu semakin pandai bicara,” tutur Busrawi geram. “Masih ingat, kah, dulu kamu
pernah bertanya hal serupa, dan berakhir dengan lebam di muka? Aku bisa-bisa
melakukannya lagi kalau kamu mau,” hardiknya.

Wajah Pondra merah padam. Semakin padam ketika dia sadar bahwa warga
yang mayoritas pasiennya tengah melihat kejadian itu. Tidak ingin wibawanya
hilang, dia pun segera meminta maaf.

“Baik,” katanya tertahan. “Baiklah. Aku mengaku salah. Aku tidak akan
mengulanginya lagi, andai saja Sampean berbaik hati.”

Busrawi melepaskan cengkraman tangannya dengan kasar, menyisakan kusut
di kerah baju Pondra. Sedikit canggung, tapi masih bersikap seolah tidak terjadi
apa-apa, Pondra pun merapikan kerah bajunya.

“Beberapa tahun lalu, tahun-tahun sebelum kamu,   tahun-tahun aku masih
bisa memanah tiga menjangan dalam satu tarikan napas, seorang tabib yang juga
sahabat karibku berkata,” 

“Hutan ini hidup lebih lama dari kita. Mereka tumbuh lebih cepat dari yang
kita duga. Semakin lama akar-akarnya semakin mendekat, memakan sari bumi
dan melahap habis tanah kita. Taman Kembar akan semakin sempit, semua akan
mengungsi di tengah, di sana akan penuh oleh orang-orang yang kehilangan rumah.”

Pondra mendengarkan dengan saksama. Busrawi melanjutkan ceritanya.

“Jika saat itu tiba, tidak ada pilihan lain selain berlari ke hutan. Tempat terlarang
yang sangat kita takuti akan jadi satu-satunya tempat berlindung. Namun, ke mana

-26-

­ ­­­ ­ ­ ­ ­ ­­tujuan kita sebenarnya? Tidak ada yang tahu ada apa di ujung belantara ini. Tidak
ada yang tahu seberapa jauh pulau ini dari peradaban lain. Akhirnya, hutan ini akan
jadi rumah, tempat berlindung dari terik siang, dan mencari makan saat malam.
Selanjutnya, roda akan berputar lagi, dan terus berputar tanpa akhir.”

Busrawi bercerita dengan wajah sedih. Sahabat karibnya sudah lama
meninggal, menyisakan banyak kenangan dan pelajaran baginya. Tanpa ia duga,
tiba-tiba Pondra melanjutkan.

“Pohon-pohon tidak pernah berdusta. Mereka tidak pernah meminta nyawa.
Mereka rendah hati serendah akarnya yang semakin tua semakin membumi. Mereka
menyediakan tempat bagi kita untuk mati, dengan cara sendiri, dengan upacara yang
sangat meriah, sebuah pesta abadi, pesta bunuh diri.”

Busrawi menemukan kebencian di wajah Pondra. Tidak pernah ia duga kata-
kata barusan keluar dari mulut Pondra. Semua itu adalah penggalan paragraf dari
sebuah buku yang ditulis oleh mendiang sahabat karibnya.

“Tidak usah terkejut. Aku tidak akan pernah lupa semua ilmu yang diberikan
mendiang sahabat karib Sampean itu. Aku bahkan tidak pernah lupa semua
nasihatnya. Beliau adalah guru terbaik di hidupku. Beliau adalah ayah yang selalu
aku banggakan, yang dipercaya oleh seluruh penduduk desa, tapi dikhianati di
ujung usianya,” tutur Pondra dengan geram.

Busrawi menepuk pundak anak dari mendiang sahabatnya itu. “Dia adalah
pendidik yang cerdas, tapi penduduk yang bodoh,” ucap Busrawi. “Kelemahan
terbesarnya adalah rasa penasarannya. Kesalahan terberatnya adalah dia berani
bertanya.”

“Aku tidak akan melakukan kebodohan yang sama. Aku akan tetap penasaran,
bahkan sampai aku mati. Aku tidak akan bertanya, karena aku akan mencari tahu
sendiri jawabannya,” ucap Pondra dengan senyuman yang membuat Busrawi
bertanya-tanya, apa sebenarnya yang sedang Pondra rencanakan?

-27-

CHAPTER 6
MIRA

Banyak yang bilang, hutan ini bukan tempat untuk seekor kambing. Banyak
dedaunan tidak berarti semua adalah makanan. Mira tahu kambingnya tidak
pergi jauh. Yang tidak mira tahu adalah, dirinya sudah pergi terlalu jauh. Barisan
pagar bercat merah nyaris tak terlihat lagi di belakang. Mira tidak peduli lagi pada
peraturan. Ia lebih takut pada ibunya.

“Mbek, kamu di mana? Ayo pulang!” Mira memanggil kambingnya.
Dengan sangat hati-hati, kaki mungil beralas kaki karet itu menapaki tanah
lembap yang ditaburi dedaunan, akar pohon melintang, dan bebatuan kecil yang
sedikit menusuk. Sesekali tangan Mira berpegangan pada batang pohon karena
sulitnya medan yang dilalui. Hati kecilnya berkata ini sudah melampaui batas, tapi
selama pemandangan telaga masih terlihat saat dia menoleh ke belakang, baginya ini
masih area aman.
Dengung kawanan lebah mengagetkan Mira. Nyaring sekali terdengar di
telinganya. Begitu menoleh, Mira menyadari dengung itu berasal tidak hanya
dari satu, tapi belasan atau mungkin puluhan lebah hutan. Tidak ada waktu untuk
menghitung. Segera saat serangga itu mengerumuni kepalanya, Mira kabur tanpa
melihat arah.
“Hus! Hus!” usir Mira sambil menepis udara. Berharap kawanan lebah itu
segera pergi, tapi percuma. Mira makin terbirit-birit karena salah satu hewan
berbulu halus itu menyusupi bajunya.  Kaki Mira tersandung akar pohon. Ia pun
terjerembab. Masuk ke dalam semak-semak halus.
“Aduh, sakit!” Mira mengaduh.
Sakit memang, tapi berkat nasib sialnya itu, kawanan lebah tadi berhenti
mengejarnya. Mira berusaha bangun dengan berpegangan pada batang belukar.

-28-

Beruntung, tanaman itu tidak berduri, jadi Mira tidak perlu khawatir ada luka gores
yang harus dia sembunyikan dari emaknya nanti. Sembuh bisa terjadi seiring waktu,
tapi marahnya emak siapa yang bisa membendung? Mira juga tidak mau diolesi
tumbukan daun-daun aneh hasil racikan Pondra yang membuat lukanya panas.

Saat sedang membersihkan debu di pakaiannya, tanpa sengaja Mira melihat
sesuatu. Sejak kecil Mira selalu mudah penasaran, tapi kali ini untuk pertama
kalinya dia merasa ketakutan. Tepat di samping semak-semak tempat ia jatuh,
ada sebuah pohon besar dan paling tinggi daripada sekitarnya. Daunnya rindang,
batangnya berkulit tebal, berwarna gelap, keriput, dan sedikit bergetah. Mira tidak
pernah melihat pohon seperti ini sebelumnya. Pertanda bahwa ia sudah terlalu jauh
ke dalam hutan.

“Kakak ....” rengek Mira memanggil sang kakak.

Alas tidak akan mendengar. Selain karena jauh, suara Mira sangat kecil dan
bergetar rendah. Perlahan ia mundur. Matanya masih melotot ke depan. Bukan
pohon itu yang membuatnya takut, tapi sesuatu atau bahkan seseorang yang meng-
intip di baliknya. Sosok itu berwajah manusia, tapi gelap sekali. Kulit wajahnya
penuh lubang kecil, tampak seperti kulit buah mengkudu. Sebelah tangannya
sedang memeluk pohon. Nyaris tidak terlihat oleh Mira karena warna dan tekstur
kulit tangan tampak senada dengan batang pohon. Sosok itu melotot, mulutnya
terbuka, memperlihatkan gigi kuning dengan pinggiran bibir merah seperti daging
yang matang.

“Kakak ....”

Sedikit saja makhluk itu membuat pergerakan, Mira bersiap lari seribu langkah
ke belakang. Ia mundur sedikit demi sedikit. Sebelum akhirnya makhluk itu
menghardik Mira, mencoba menerkam gadis kecil itu. Mira terpekik. Teriakannya
melengking di belantara yang mendadak gelap.

“MIRA?”

Mira tersadar dari mimpi buruk. Sangat buruk sampai-sampai bisa datang
saat Mira sedang tidak tidur. Ia masih duduk selonjor di atas tikar. Wajah pucatnya
tidak berubah sejak tadi pagi. Bahkan saat Alas datang pun, Mira sama sekali tidak
bergairah menyambutnya.

“Kamu harus banyak istirahat. Daripada melamun, sebaiknya tidur,” saran
Alas.

-29-

Mengangguk saja sudah cukup bagi Mira. Ia masih enggan membuka suara ­ ­ ­­­ ­ ­ ­­ ­ ­
sejak kejadian semalam. Lalat menari-nari mengelilingi singkong rebus di
sampingnya. Sampai sore pun, singkong rebus itu belum Mira sentuh. Ia sama sekali
belum mau makan. Apa yang sudah dilihatnya semalam masih belum hilang dari
ingatan. Namun, untuk bercerita pada sang kakak Mira tidak berani.

“Tadi kakak pergi ke Telaga Merah sama Kang Rayan. Kambing kita sudah
tidak ada. Jangan sedih, ya. Kita tunggu kambing lainnya beranak lagi,” hibur Alas
yang lagi-lagi hanya dibalas sebuah anggukan. Mira terlalu pandai untuk dibohongi.
Ia tahu betul kambing yang hilang adalah satu-satunya betina. Itu artinya, tidak ada
kambing baru untuk Mira dan emak. Sementara Mira tahu kalau emaknya sudah
malas berurusan dengan orang bernama Busrawi yang dulu membawakannya dua
ekor kambing.

Alas semakin mengkhawatirkan adiknya. Selama emaknya tidak ada, Mira
adalah tanggung jawabnya. Namun kalau seperti ini terus, kondisi Mira akan
semakin buruk.

“Wajah mengerikan yang dipenuhi lubang kecil. Itukah yang kamu lihat?”
tanya Alas.

Mira merespons pertanyaan Alas itu. Punggungnya yang sejak tadi bersandar
ke dinding kini sedikit maju. Walaupun sekilas, tapi tanda-tanda kehidupan sudah
kembali ke wajahnya. Matanya memandang Alas heran. Pandangan yang berisi
pertanyaan yang tanpa diucapkan pun Alas ingin menjawabnya.

“Tidak perlu kaget begitu. Hampir semua orang dewasa di desa ini pernah
melihatnya. Larangan itu hanya berlaku untuk anak kecil, yang kalau dilanggar
akibatnya, ya, seperti yang kamu alami sekarang ini. Trauma,” tutur Alas.

Apa yang dikatakan Alas tak sekadar bualan agar Mira mau bicara. Semua
warga Taman Kembar pernah, bahkan sering melihat kawanan Sisik Hitam, begitu
mereka menyebutnya.

“Kakak tidak bohong, kan?” tanya Mira

“Tentu saja tidak. Kakak melihat dengan mata kepala sendiri, kok!” jawab Alas
sedikit canggung.

“Sebenarnya mereka itu apa? Kenapa mereka sering datang ke desa kita?” tanya
Mira.

Alas tampak kebingungan. Jika kali ini dia salah menjawab, bisa-bisa adiknya
semakin ketakutan.

-30-

“Entahlah. Kakak juga tidak tahu. Kita tidak bisa berbuat apa-apa selain ­­ ­ ­­ ­ ­ ­ ­ ­ ­­ ­ ­
mematuhi peraturan desa. Kakak harap, kali ini kamu jera dan tidak lagi bertindak
gegabah.”

Mira terdiam. Wajah penuh rasa bersalah sedang berusaha ia sembunyikan.
Tidak hanya sekali ini Mira membuat emak dan kakaknya khawatir. Namun, setelah
kejadian ini, Mira berjanji pada diri sendiri untuk tidak mengulangi.

Alas pun pamit pergi ke rumah Pondra. Setiap sore adalah waktunya mereka
belajar. Seharusnya Mira ikut menimba ilmu bersama teman-temannya yang lain,
tapi sore ini dia di rumah saja. Masih ada hal yang bisa dipelajarinya di atas pem
baringan. Peristiwa tadi malam akan selalu jadi pelajaran berharga bagi Mira yang
tidak akan dia dapatkan dari siapa pun.

Kesendirian Mira tidak lantas membuat suasana rumah menjadi sunyi.
Keramaian manusia di luar masih mampu menembus dinding bambu. Kalau sudah
begini, bagaimana Mira bisa tidur? 

Mira menghabiskan waktu untuk melamun. Sejak dulu, Mira sering berbohong
pada emak dan kakaknya. Bahkan, kemarin dia berbohong pada Kang Rayan. Entah
sampai kapan dia akan merahasiakan pengalamannya memasuki hutan dan melihat
wajah seram di balik pohon itu. Wajah yang sama dengan yang dilihatnya semalam. 

Memikirkan semua kebohongan itu membuat Mira teringat akan rahasia
terbesarnya. Sesuatu yang sejak kemarin disembunyikan dari kakak dan juga
emaknya. Perlahan, Mira mengangkat lengan bajunya. Wajah mira mendadak pucat
pasi karena melihat bintik hitam mulai menggerogoti lengan kanan Mira.

-31-


Click to View FlipBook Version