The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Variabilitas Cuaca dan Iklim di Indonesia

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by Widya Pustaka SMP N 5 Melaya, 2022-05-11 01:05:28

Variabilitas Cuaca dan Iklim di Indonesia

Variabilitas Cuaca dan Iklim di Indonesia

Keywords: Variabilitas,Cuaca,Iklim

ISBN: 978-979-1458-81-8

Variabilitas Cuaca dan Iklim
di Indonesia

Penanggung Jawab:
Halimurrahman, M.T.

Penyunting Isi:
Penyelia:

Suaydhi, M.Sc
Anggota:

Prof. Dr. Eddy Hermawan
Drs. Arief Suryantoro, M.Si
Drs. Bambang Siswanto, M.Si
Drs. Sri Kaloka Prabotosari

Penyunting Naskah:
Farid Lasmono, ST
Aisya Nafiisyanti, ST

Fanny Aditya Putri, S.Si

Penerbit CV. Andira
Bandung

Perpustakaan nasional RI: Data Katalog dalam Terbitan
(KDT)
Judul/Penyunting Isi: Variabilitas Cuaca dan Iklim di
Indonesia/ Suaydhi, M.Sc, Prof. Dr. Eddy Hermawan, Drs.
Arief Suryantoro, M.Si, Drs. Bambang Siswanto, M.Si, Drs.
Sri Kaloka Prabotosari
- Cetakan Pertama – Bandung CV. Andira 2014

vii + 140 hal. ; 18 x 25 cm
ISBN: 978-979-1458-81-8

Variabilitas Cuaca dan Iklim di Indonesia – Buku 1

ISBN: 978-979-1458-81-8
©2014 Andira

Diterbitkan oleh CV. Andira
Anggota IKAPI

Penyunting Isi:
Penyelia: Suaydhi, M.Sc
Anggota: Prof. Dr. Eddy Hermawan

Drs. Arief Suryantoro, M.Si
Drs. Bambang Siswanto, M.Si
Drs. Sri Kaloka Prabotosari

Penyunting Naskah: Farid Lasmono, ST, Aisya Nafiisyanti, ST, dan
Fanny Aditya Putri, S.Si,
Desain Isi dan Kulit Muka: Aisya Nafiisyanti, ST

Dicetak oleh CV. Andira
Cetakan Pertama, 2014

Penerbit Andira
Istana Pasteur Regency Blok CRB 70, Sukaraja Bandung.
Tlp/Fax: (022) 86065361
Email: [email protected]

Buku ini dilindungi oleh Undang-Undang Hak Cipta.
Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini dalam
bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit.

ii

Dari Penerbit

DARI PENERBIT

Sebagai salah satu dari dua kepusatan dibawah Kedeputian
Bidang Sains, Pengkajian, dan Informasi Kedirgantaraan Lembaga
Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), Pusat Sains dan
Teknologi Atmosfer (PSTA) mempunyai visi untuk menjadi pusat
keunggulan sains atmosfer. Visi ini dicapai dengan misi
membangun kompetensi dan kapasitas di bidang pemodelan
atmosfer, komposisi atmosfer, dan teknologi atmosfer.

Dalam rangka mencapai misi tersebut, salah satunya adalah
dengan meningkatkan kuantitas dan kualitas media publikasi
ilmiah. Selain penyelenggaran seminar dan publikasi hasil
penelitian dalam bentuk prosiding dan jurnal, PSTA juga
melakukan publikasi pada buku ilmiah.

Buku ilmiah Variabilitas Cuaca dan Iklim di Indonesia
memuat hasil-hasil penelitian yang dilakukan di PSTA, yang
diharapkan dapat menjadi sarana meningkatkan kemampuan
dalam menyampaikan hasil penelitian bagi para penulis, dan dapat
memberikan pemahaman akan topik-topik seputar sains atmosfer
bagi para pembaca.

Penerbit CV Andira
[email protected]

iii

Kata Pengantar

KATA PENGANTAR

Dengan mengucap syukur kehadirat Allah SWT, Buku Ilmiah
Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer (Buku PSTA) tahun 2014 dapat
diterbitkan pada waktunya. Ada dua Buku PSTA yang diterbitkan
pada tahun 2014 ini. Buku pertama diberi judul "Variabilitas Cuaca
dan Iklim di Indonesia" dan buku kedua diberi judul "Kualitas
Udara dan Komposisi Atmosfer Indonesia". Semua makalah dalam
Buku PSTA 2014 telah menjalani tahapan review dan
penyuntingan.

Buku ini adalah buku pertama dari Buku PSTA 2014 yang
berjumlah 10 makalah yang membahas tentang variabilitas cuaca
dan iklim di Indonesia. Makalah-makalah tersebut membahas
berbagai permasalahan, mulai dari evaluasi dan penggunaan data
reanalisis untuk kawasan Indonesia, analisis tentang fenomena
yang terjadi di atmosfer dan perairan Indonesia, penentuan awal
musim, analisis hujan diurnal dari model, sampai ke rancang
bangun instrumen pengamatan. Data pengamatan untuk kawasan
Indonesia sering tidak lengkap baik dari segi ruang maupun waktu.
Oleh karena itu, keberadaan data reanalisis sangat membantu
dalam kajian cuaca dan iklim di Indonesia. Evaluasi tentang data
reanalisis mana yang paling sesuai untuk kawasan Indonesia akan
bermanfaat bagi kajian-kajian selanjutnya.

Pemahaman tentang fenomena atmosfer, seperti curah hujan
dan monsun, dan suhu permukaan laut perairan Indonesia sangat
berguna dalam penentuan awal musim dan dalam melakukan
evaluasi luaran model. Sifat diurnal pada curah hujan di Indonesia
sangat kuat, karena kawasan ini terdiri dari banyak pulau dan
banyak menghasilkan awan konvektif. Awan ini bisa dideteksi
melalui radar X-band. Namun, alternatif penggunaan radar yang
lebih kecil dan lebih murah, seperti radar Furuno, juga akan sangat
bermanfaat dalam menunjang pengamatan curah hujan di
Indonesia.

Penelitian cuaca dan iklim memerlukan banyak instrumen
pengamatan. Banyak di antara instrumen pengamatan tersebut
sangat mahal harganya dan alokasi anggaran penelitian yang ada
sering tidak mencukupi untuk membeli peralatan baru. Usaha
untuk membangun instrumen sendiri, seperti Wind Profiling Radar
(WPR), tentu akan sangat bermanfaat dalam menunjang penelitian

iv

Kata Pengantar

atmosfer di Indonesia. Meskipun masih jauh dari sempurna, hasil
awal dari rancang bangun FMCW WPR yang dimuat dalam buku ini
patut kita apresiasi.

Demikian gambaran sekilas dari makalah-makalah yang
diterbitkan dalam buku ini. Ucapan terima kasih kami sampaikan
kepada para penulis yang telah berpartisipasi dalam Buku PSTA
tahun 2014 ini, para penyunting isi dan penyunting naskah yang
telah bekerja keras dalam memperbaiki isi dan tampilan makalah-
makalah dalam buku ini. Semoga isi buku ini bisa bermanfaat bagi
perkembangan penelitian atmosfer di Indonesia.

Bandung, November 2014
Dewan Redaksi

v

Daftar Isi

DAFTAR ISI

Dari Penerbit iii
Kata Pengantar iv
Daftar Isi vi

1. VARIABILITAS CURAH HUJAN DI BENUA MARITIM 1
DARI EMPAT SISTEM REANALISIS TERBARU 16
Suaydhi 29
38
2. ESTIMASI SUMBER PANAS BERBASIS REANALISIS 52
MERRA DI INDONESIA
Sinta Berliana Sipayung dan Indah Susanti 62
80
3. STUDI KARAKTERISTIK KONVEKTIF TERKAIT
MONSUN DI INDONESIA
Krismianto

4. ANALISIS PENGARUH DINAMIKA ATMOSFER DAN
LAUT TERHADAP ANOMALI HUJAN WILAYAH
INDONESIA PERIODE JANUARI SAMPAI JUNI 2013
Lely Qodrita Avia

5. KARAKTERISTIK SUHU PERMUKAAN LAUT
PERAIRAN INDONESIA
Martono

6. PENENTUAN AWAL MUSIM HUJAN, KEMARAU DAN
TRANSISI DI YOGYAKARTA DAN KAWASAN
SEKITARNYA BERBASIS DATA INDEKS MONSUN
GLOBAL
Eddy Hermawan dan Naziah Madani

7. KARAKTERISTIK CURAH HUJAN DIURNAL LUARAN
MODEL WEATHER RESEARCH FORECASTING
(WRF) DI WILAYAH INDONESIA
Iis Sofiati, Didi Satiadi, Farid Lasmono, Halimurrahman,
dan Suaydhi

vi

Daftar Isi

8. KARAKTERISTIK FREKUENSI PERTUMBUHAN 97
AWAN KONVEKTIF DI ATAS WILAYAH PANTAI
PAMEUNGPEUK DARI OBSERVASI X-BAND RADAR
Noersomadi, Ginaldi Ari Nugroho, Tiin Sinatra, dan Aries
Kurniawan

9. HASIL PENGAMATAN SCANNER HUJAN DAN AWS 112
PADA KEJADIAN HUJAN TANGGAL 2-3 MARET
2014 DI DAERAH BANDUNG DAN SEKITARNYA
Ginaldi Ari Nugroho, Soni Aulia Rahayu, dan Asif
Awaludin

10. RANCANG BANGUN FMCW WIND PROFILING 125
RADAR BERBASIS USRP N210 DAN GNU RADIO:
HASIL AWAL
Asif Awaludin dan Taufiq Wirahman

vii



Curah Hujan di Benua Maritim dari Empat Reanalisis Terbaru (Suaydhi)

VARIABILITAS CURAH HUJAN DI BENUA MARITIM DARI
EMPAT SISTEM REANALISIS TERBARU

Suaydhi
Bidang Pemodelan Atmosfer,
Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer, LAPAN
e-mail: [email protected]

ABSTRAK
Sistem reanalisis menggabungkan hasil pengamatan dan model
iklim untuk memberikan data sistem iklim empat dimensi secara
global yang mencakup banyak proses fisis dan dinamis.
Keberadaan sistem reanalisis sangat membantu studi iklim di
wilayah-wilayah tertentu yang terkendala oleh keterbatasan data
pengamatan, seperti wilayah Benua Maritim. Curah hujan adalah
besaran yang sangat penting dalam sistem iklim yang sangat sulit
dimodelkan untuk wilayah ini, sehingga kualitas data curah hujan
dari sistem reanalisis yang ada perlu dievaluasi. Dalam makalah ini
empat sistem reanalisis terbaru (ERA Interim, NCEP CFSR, NASA
MERRA, dan JRA-55) digunakan untuk meneliti variabilitas curah
hujan di wilayah Benua Maritim. Dua data analisis curah hujan
(GPCP dan CMAP) dipakai sebagai rujukan dan juga untuk
mengestimasi ketidakpastian dalam data pengamatan. Hasil
estimasi ketidakpastian ini menunjukkan bahwa curah hujan pada
bulan Mei dan Desember lebih bervariasi dari tahun ke tahun
dibandingkan pada bulan Juli, Agustus dan September.
Sedangkan, hasil analisis curah hujan dari data reanalisis
menunjukkan bahwa perubahan data yang diasimilasikan ke dalam
sistem reanalisis memengaruhi kualitas data reanalisis di wilayah
Benua Maritim. Dari keempat sistem reanalisis yang dievaluasi,
NASA MERRA menunjukkan kinerja paling baik untuk Benua
Maritim dan JRA-55 yang paling buruk. Oleh karena itu, JRA-55
sebaiknya tidak digunakan untuk kajian iklim di Benua Maritim.

Kata-kata kunci: variabilitas, curah hujan, Benua Maritim, sistem
reanalisis terbaru.

ABSTRACT
Reanalysis system combines observed data with a climate model to
provide 4-dimensional climate system data globally involving many
physical and dynamical processes. The existence of reanalysis
system has helped climate studies significantly in areas hindered by
the limited data availability, such as the Maritime Continent.
Rainfall is a very important variable in climate system that is very

1

Curah Hujan di Benua Maritim dari Empat Reanalisis Terbaru (Suaydhi)

difficult to be modeled for this area, so the quality of the rainfall data
from the available reanalysis system needs to be evaluated. In this
paper, four latest reanalysis systems (ERA Interim, NCEP CFSR,
NASA MERRA, dan JRA-55) are used to investigate the rainfall
variability over the Maritime Continent. Two analysed rainfall
datasets (GPCP and CMAP) are used as references and are also used
to estimate the uncertainty in the observational data. This estimate
shows that rainfall in May and December has more variability from
year to year than that in July, August, and September. Meanwhile,
the analysis of rainfall from the reanalyses data shows that a change
in the data assimilated into the system has significant impacts on
the quality of the reanalysis data over the Maritime Continent. From
the four evaluated reanalysis system, NASA MERRA has the best
performance for the Maritime Continent and JRA-55 is the worst.
Therefore, JRA-55 is not recommended for climate studies over the
Maritime Continent.

Key words: variability, rainfall, Maritime Continent, latest
reanalysis system.

1 PENDAHULUAN
Salah satu kendala utama dalam penelitian iklim dan cuaca,

terutama untuk wilayah Benua Maritim, adalah ketersediaan data
yang tidak teratur, baik dalam ruang maupun waktu. Sejak
pertengahan dekade 1990-an, penelitian iklim banyak terbantu
oleh data hasil reanalisis yang disebut dengan National Center for
Environmental Prediction/National Center for Atmospheric Research
(NCEP/NCAR) Reanalysis (Kalnay et al. 1996). Reanalysis adalah
kependekan dari retrospective analysis yang berarti analisis
mundur dalam waktu, karena sistem ini menggabungkan data
pengamatan yang sudah tersedia menggunakan suatu sistem
analisis yang terdiri atas suatu model prediksi iklim dan suatu
skema asimilasi data. Model iklim digunakan untuk menghasilkan
data dalam sistem grid yang seragam sesuai resolusi yang
diinginkan. Sedangkan skema asimilasi data digunakan untuk
memandu model iklim tersebut agar menghasilkan data yang tak
teramati konsisten dengan data-data yang memang teramati.

Meskipun produk datanya telah dipandu oleh suatu sistem
asimilasi data, hasil reanalisis masih mengandung ketidakpastian.
Fisika model dan ketidakpastian dalam pengamatan merupakan
sumber utama ketidakpastian pada hasil reanalisis. Curah hujan

2

Curah Hujan di Benua Maritim dari Empat Reanalisis Terbaru (Suaydhi)

merupakan salah satu kuantitas yang paling rentan terhadap
ketidakpastian ini, karena curah hujan dari model dihasilkan oleh
parameterisasi fisis. Curah hujan juga merupakan komponen
integral dalam siklus air, energi dan sirkulasi dinamis, maka curah
hujan bisa menjadi pengukur kualitas reanalisis dalam studi iklim
(Bosilovich et al. 2008).

Kajian tentang kinerja reanalisis sangat penting untuk studi
iklim di suatu wilayah. Secara umum, fitur curah hujan dari
reanalisis mirip dengan pengamatan, tetapi perbedaan secara
regional sangat mungkin banyak terjadi (Cullather et al. 1998).
Perbedaan ini sangat dipengaruhi oleh seberapa efektif masukan
dari hasil pengamatan dari wilayah tersebut yang digunakan dalam
sistem reanalisis (Bromwich et al. 2000). Hal ini bisa mengurangi
keakuratan suatu data reanalisis untuk wilayah-wilayah yang data
pengamatan curah hujannya tidak memadai dalam kehandalan
(reliability) dan kesinambungan (continuity), seperti Benua Maritim
Indonesia (Hamada et al. 2002).

Sistem reanalisis terus mengalami perbaikan. Sebagai contoh,
NCEP/NCAR Reanalysis (dikenal sebagai NR1; Kalnay et al. 1996)
diperbarui menjadi NCEP-Department of Energy (DOE) atau dikenal
sebagai NR2 (Kanamitsu et al. 2002), dan sistem reanalisis yang
paling baru adalah NCEP Climate Forecast System Reanalysis
(CFSR; Saha et al. 2010). Dalam penelitian ini, empat set data curah
hujan dari sistem reanalisis terbaru, yaitu NCEP CFSR, the interim
version of the European Centre for Medium-Range Weather Forecasts
(ECMWF) Reanalysis (ERA Interim; Dee et al. 2011), National
Aeronautics and Space Administration Modern Era Retrospective-
Analysis for Research and Applications (NASA MERRA; Rienecker et
al. 2011), dan Japanese 55-year Reanalysis (JRA-55; Ebita et al.
2011), akan digunakan dalam studi perbandingan kinerja data
reanalisis di wilayah Benua Maritim. Data dari keempat reanalisis
tersebut akan dibandingkan dengan data curah hujan dari Global
Precipitation Climatology Project versi 2 (GPCP; Adler et al. 2003).

Adler et al. (2001) menyebutkan bahwa data pengamatan
curah hujan global sendiri juga mempunyai ketidakpastian yang
cukup mendasar, terutama untuk daerah tropis. Salah satu cara
yang dipakai oleh Phillips and Gleckler (2006) untuk membuat
estimasi ketidakpastian dalam data pengamatan ini adalah dengan
membandingkan data GPCP dengan data dari Climate Prediction

3

Curah Hujan di Benua Maritim dari Empat Reanalisis Terbaru (Suaydhi)

Center (CPC) Merged Analysis Precipitation (CMAP; Xie and Arkin
1996). Hal ini dilakukan karena kedua set data tersebut
mempunyai persamaan dalam sumber data pengamatan, tetapi
keduanya menggunakan jaringan pengukuran penakar curah
hujan yang sedikit berbeda dan juga pemilihan algoritma yang
berbeda dalam interpolasi dari stasiun pengamatan ke grid datanya
(Phillips and Gleckler 2006).

Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan data
reanalisis yang paling sesuai untuk kawasan Indonesia dari empat
data reanalisis terbaru. Penentuan ini sangat berguna untuk
dipakai oleh basis kajian iklim wilayah Indonesia selanjutnya.

2 DATA DAN METODOLOGI
2.1 Data

Dalam penelitian ini GPCP versi 2 (Adler et al. 2003) dan CMAP
(Xie and Arkin 1996) dipakai sebagai data rujukan karena kedua
data ini merupakan data curah hujan gabungan antara penakar
hujan dipermukaan bumi dan pengamatan satelit. GPCP akan
dipakai sebagai rujukan utama, karena GPCP menggunakan
koreksi pada data mentah dari penakar curah hujan untuk
memperhitungkan error pengukuran sistematis yang diakibatkan
oleh penguapan, hujan yang tertiup oleh angin, dan sebagainya.
(Phillips and Gleckler 2006). Meskipun kedua data tersebut
diturunkan dari hasil pengamatan, keduanya tidak terlepas dari
ketidakpastian (mempunyai rentang error). Kedua data ini akan
dibandingkan satu sama lain untuk memperoleh estimasi
ketidakpastian.

Empat data reanalisis yang akan dikaji adalah ERA Interim,
NCEP CFSR, NASA MERRA, dan JRA-55. Periode analisis dalam
makalah ini adalah antara 1979 dan 2009 yang merupakan irisan
umum data yang tersedia dari dua data analisis dan empat data
reanalisis. Data GPCP dan CMAP tersedia dari Januari 1979 sampai
mendekati sekarang (near real time). Semua data reanalisis juga
tersedia dalam periode yang sama seperti data analisis, kecuali
NCEP CFSR yang baru tersedia sampai Desember 2009 dan JRA-
55 yang tersedia dari tahun 1958. Domain analisis dibatasi pada
wilayah antara 12°LS – 12°LU dan 90° – 150°BT.

Rata-rata bulanan dari masing-masing data reanalisis
digunakan untuk mengkaji klimatologi dan deret waktu curah

4

Curah Hujan di Benua Maritim dari Empat Reanalisis Terbaru (Suaydhi)

hujan di wilayah Benua Maritim. Dua data analisis, GPCP dan
CMAP, mempunyai resolusi horizontal 2,5° x 2,5°, sedangkan empat
data reanalisis mempunyai resolusi yang berbeda-beda. ERA
Interim mempunyai resolusi horizontal maksimum 0,75° x 0,75°,
NCEP CFSR mempunyai resolusi maksimum 38 km x 38 km, NASA
MERRA mempunyai resolusi maksimum 12 ° x 2 3 °, dan JRA
mempunyai resolusi maksimum 1,25° x 1,25°. Oleh karena itu,
semua data dikonversi ke grid GPCP untuk memudahkan dalam
komputasi statistik (korelasi spasial dan bias).

2.2 Metodologi
Dalam penelitian ini, diagram Taylor (Taylor 2001) digunakan

untuk membandingkan kinerja keempat reanalisis dengan data
analisis dari GPCP dan CMAP. Metode ini secara ringkas
menggabungkan kesesuaian pola beberapa kuantitas dalam hal
korelasi spasialnya dan nisbah simpangan bakunya pada sebuah
diagram sederhana. Korelasi spasial menunjukkan tingkat
kesesuaian pola suatu kuantitas terhadap kuantitas rujukan,
sedangkan simpangan baku membandingkan amplitudo
variasinya. Dalam penelitian ini, korelasi spasial dari curah hujan
rata-rata bulanan untuk CMAP dan semua data reanalisis terhadap
GPCP dihitung dan simpangan bakunya dibandingkan. Penyertaan
data CMAP dalam diagram Taylor merupakan salah satu cara
memperkirakan ketidakpastian yang terdapat pada data
pengamatan. Perbandingan GPCP dan CMAP tidak memberikan
ketidakpastian yang menyeluruh seperti dari pengamatan yang
berbeda sumber, sebab sumber data untuk kedua data analisis
tersebut hampir sama (data satelit dan data penakar curah hujan).
Perbandingan ini hanya memberi satu ukuran ketidakpastian
minimum yang diharapkan dari data reanalisis (Bosilovich et al.
2008).

Banyak faktor yang berpengaruh pada curah hujan, seperti
sirkulasi atmosfer umum, zona konvergensi tropis, topografi,
perbedaan darat-laut, sistem konveksi. Sistem-sistem tersebut bisa
mempunyai kemiripan pola dari tahun ke tahun, bahkan topografi
dan perbedaan darat-laut mungkin tak berubah sama sekali. Hal
ini memungkinkan adanya kemiripan yang mendasar pada pola
curah hujan bulanan dari tahun ke tahun. Sehingga ada

5

Curah Hujan di Benua Maritim dari Empat Reanalisis Terbaru (Suaydhi)

kemungkinan bahwa curah hujan dari bulan yang sama dan tahun
berbeda bisa menghasilkan korelasi positif. Korelasi ini disebut
“korelasi tak bersesuaian” (unmatched correlation) dan bisa
didefinisikan sebagai nilai minimum korelasi spasial antara dua set
data (Bosilovich et al. 2008), sementara nilai maksimumnya
didefinisikan dari korelasi dua set data dari bulan dan tahun yang
sama. Jika suatu set data mempunyai koefisien korelasi lebih
rendah dari nilai minimum ini, data tersebut bisa dikatakan tak
banyak berguna untuk wilayah yang sedang dikaji.

Formula untuk korelasi tak bersesuaian antara data curah
hujan GPCP (Pg) dan CMAP (Pc) adalah:

    Des 2009 2009 ………… (1)

korelasi Pgi,m,Pc j,m i, j

mJan i1979 j1979

dimana i, j  1 jika i  j.

Untuk memperoleh rata-ratanya, jumlah korelasi N

ditentukan dengan menjumlahkan ij , dan siklus musiman

korelasi tak bersesuaian (unmatched correlation) ini (menjumlahkan
hanya Januari, Februari, ...) juga dapat ditentukan. Nilai korelasi
tak bersesuaian ini mewakili rata-rata korelasi spasial dari tahun-
tahun yang berbeda. Nilai korelasi tak bersesuaian yang tinggi
berarti bahwa pola curah hujan tersebut terjadi secara teratur,
sedangkan nilai yang rendah berarti bahwa pola curah hujan
bervariasi dari tahun ke tahun (Bosilovich et al. 2008).

3 HASIL DAN PEMBAHASAN
Siklus tahunan nilai minimum dan nilai maksimum korelasi

spasial antara data GPCP dan CMAP ditunjukkan pada Gambar 1.
Kedua buah korelasi tersebut mempunyai koefisien lebih tinggi
pada musim kemarau dibandingkan pada musim hujan. Nilai
koefisien korelasi tak bersesuaian (diagram batang merah pada
Gambar 1) paling rendah terjadi pada bulan Mei dan Desember
(keduanya di bawah 0,4). Bulan Mei merupakan masa transisi dari
musim hujan ke musim kemarau dan bulan Desember merupakan
awal musim hujan. Koefisien korelasi tak bersesuaian yang rendah
ini mencerminkan bahwa pada bulan-bulan ini pola curah hujan di
Benua Maritim sangat bervariasi dari tahun ke tahun, seperti
dijelaskan di atas.

6

Curah Hujan di Benua Maritim dari Empat Reanalisis Terbaru (Suaydhi)

Korelasi spasial maksimum antara GPCP dan CMAP (garis
biru pada Gambar 1) mempunyai koefisien yang paling rendah
(kurang dari 0,6) pada masa transisi juga, yaitu bulan Maret dan
April. Sedangkan pada musim kemarau, koefisien korelasi
maksimum ini bisa mencapai 0,87. Hal ini menunjukkan adanya
perbedaan teknik dalam pemaduan data satelit dan data penakar
hujan dalam kedua set data analisis tersebut, perbedaan sumber
data curah hujan permukaan di wilayah Benua Maritim, serta
variabilitas curah hujan di wilayah ini.

Gambar 1. Perbandingan nilai minimum (diagram batang) dengan
nilai maksimum (garis biru) korelasi spasial antara data
GPCP dan CMAP untuk Benua Maritim.

Gambar 2 menunjukkan diagram Taylor untuk korelasi
bulanan dan simpangan baku untuk bulan Januari, April, Juli,
Oktober, dan rata-rata tahunannya dari tahun 1979 sampai dengan
2009 untuk data CMAP, ERA Interim, NCEP CFSR, NASA MERRA,
dan JRA-55. Bulan-bulan ini dipilih untuk mewakili musim hujan,
transisi ke musim kemarau, musim kemarau, dan transisi ke
musim hujan. Simpangan baku dari tiap data tersebut telah
dinormalisasi terhadap data GPCP, sehingga nilai 1,0
mencerminkan simpangan baku yang sama dengan simpangan
baku dari GPCP. Korelasi spasial ditunjukkan oleh garis radial dari
0,0 sampai 1,0, nilai minimum korelasi spasial antara data GPCP
dan CMAP ditunjukkan oleh garis radial warna coklat dan nilai
maksimum oleh garis radial warna biru.

Dengan rentang ketidakpastian data pengamatan yang cukup
lebar, semua data, kecuali JRA-55 berada di dalamnya untuk
bulan Januari (Gambar 2.a). NCEP CFSR mempunyai koefisien
korelasi spasial yang lebih kecil dan simpangan baku yang lebih
besar daripada ERA Interim dan NASA MERRA. Diagram Taylor

7

Curah Hujan di Benua Maritim dari Empat Reanalisis Terbaru (Suaydhi)

untuk bulan April (Gambar 2.b) mempunyai ketidakpastian yang
lebih sempit daripada Januari. Pada bulan April ini, NASA MERRA
dan NCEP CFSR mempunyai koefisien korelasi spasial yang lebih
tinggi daripada nilai maksimum rentang tersebut, sedangkan
koefisien korelasi JRA-55 umumnya lebih rendah daripada nilai
minimum. Pada bulan Juli dan Oktober (Gambar 2.c dan 2.d),
semua reanalisis berada di dalam rentang ketidakpastian yang
besar. Rentang ketidakpastian rata-rata tahunan yang sangat
sempit (Gambar 2.e), tetapi kondisi ini justru menunjukkan kinerja
data reanalisis secara umum. JRA-55 mempunyai koefisien korelasi
spasial yang rendah terhadap GPCP, sedangkan ERA Interim
mempunyai koefisien sedang. Dua data reanalisis yang lain
mempunyai koefisien korelasi spasial yang agak tinggi, tetapi NCEP
CFSR mempunyai simpangan baku lebih tinggi dari NASA MERRA.

Dari Gambar 2, NASA MERRA bisa dikatakan mempunyai
kinerja paling baik dan JRA-55 yang paling buruk untuk wilayah
Benua Maritim. Hal ini bisa dilihat dari bias curah hujan antara
masing-masing data reanalisis dengan data GPCP pada Gambar 3,
lajur kiri untuk musim DJF (Desember, Januari, Februari) dan lajur
kanan untuk musim JJA (Juni, Juli, Agustus). Di sini bias dari data
CMAP hanya dipakai sebagai pembanding dan tidak akan dibahas
secara khusus. NASA MERRA mempunyai bias paling kecil di
antara semua data reanalisis, baik untuk DJF maupun JJA. Bias
positif yang cukup menonjol untuk NASA MERRA hanya terlihat di
atas Papua. NCEP CFSR mempunyai bias positif cukup tinggi di
beberapa tempat (Sulawesi, Maluku dan Papua). Sementara itu,
ERA Interim selain mempunyai bias positif, juga mempunyai bias
negatif yang terlihat jelas di atas Kalimantan. JRA-55 juga
mempunyai bias negatif di atas Kalimantan, tetapi bias positif pada
JRA-55 di tempat lainnya lebih tinggi dan lebih meluas daripada
bias positif pada ERA Interim.

8

Curah Hujan di Benua Maritim dari Empat Reanalisis Terbaru (Suaydhi)

Gambar 2. Diagram Taylor untuk bulan Januari (a), April (b), Juli
(c), Oktober (d), dan rata-rata tahunan (e) dari data CMAP,
ERA Interim, NCEP CFSR, NASA MERRA, dan JRA-55.
Garis radial warna coklat adalah nilai minimum korelasi
spasial antara GPCP dan CMAP dan garis radial warna
biru adalah nilai maksimumnya.

9

Curah Hujan di Benua Maritim dari Empat Reanalisis Terbaru (Suaydhi)

Gambar 3. Bias curah hujan rata-rata dari data CMAP dan data
reanalisis untuk musim DJF (lajur kiri) dan JJA (lajur
kanan).

Deret waktu antar tahunan dan siklus tahunan dari korelasi
spasial dan bias curah hujan rata-rata bulanan seluruh wilayah
Benua Maritim ditunjukkan pada Gambar 4. Semua data reanalisis
menunjukkan kecenderungan (trend) membaiknya koefisien
korelasi spasial dari tahun 1979 ke tahun 2009 (Gambar 4.a). Tiga
sistem reanalisis (ERA Interim, NCEP CFSR, dan NASA MERRA)
mempunyai koefisien korelasi spasial yang hampir sama dari tahun
ke tahun, sedangkan JRA-55 mempunyai koefisien korelasi lebih
rendah dari yang lainnya. Trend antar tahunan ini menunjukkan
adanya peningkatan koefisien korelasi spasial antara JRA-55 dan

10

Curah Hujan di Benua Maritim dari Empat Reanalisis Terbaru (Suaydhi)

NASA MERRA dengan GPCP pada sekitar tahun 1987. Hal ini
disebabkan oleh awal penggunaan data SSM/I (Special Sensor
Microwave Imager) dalam sistem asimilasi kedua reanalisis tersebut
pada Juli 1987 (Ebita et al. 2011; Rienecker et al. 2011). Siklus
tahunan korelasi spasial juga menunjukkan koefisien korelasi
spasial dari JRA-55 lebih rendah dari tiga reanalisis lainnya
(Gambar 4.b). Namun, semua koefisien korelasi spasial dari data
reanalisis masih lebih rendah dari pada CMAP.

Gambar 4. Deret waktu antar tahunan (lajur kiri) dan siklus tahunan
(lajur kanan) korelasi ruang (baris atas) dan bias (baris
bawah) dari data CMAP dan data reanalisis terhadap

GPCP dari tahun 1979 sampai tahun 2009.

Koreksi bias curah hujan yang sangat mencolok dari JRA-55
dan NASA MERRA terhadap GPCP juga terlihat pada tahun 1987
(Gambar 4.c). Koreksi bias yang lebih kecil pada NASA MERRA
terlihat pada tahun 1990 dan 1991 akibat adanya penambahan
data dari kanal lain SSM/I pada sistem asimilasinya dan pada
tahun 2008 dan 2009 akibat tidak tersedianya data dari kanal-
kanal tertentu (Rienecker et al. 2011). Hal ini membuktikan dampak
yang signifikan perubahan sumber data pengamatan terhadap
kualitas data reanalisis. ERA Interim dan NCEP CFSR mempunyai
bias yang berfluktuasi dari tahun ke tahun, tetapi tak ada trend
yang jelas. Namun secara umum, bias dari tiga sistem reanalisis
(ERA Interim, NCEP CFSR, dan NASA MERRA) masih lebih baik dari
JRA-55. Siklus tahunan bias curah hujan ini (Gambar 4.d)
menunjukkan NASA MERRA (JRA-55) mempunyai bias paling

11

Curah Hujan di Benua Maritim dari Empat Reanalisis Terbaru (Suaydhi)

rendah (tinggi) untuk setiap bulan dibandingkan data reanalisis
lainnya. Bias klimatologi bulanan NASA MERRA bahkan lebih baik
dari pada CMAP.

Korelasi spasial curah hujan dari semua sistem reanalisis
menunjukkan koefisien paling rendah terjadi pada bulan Mei dan
Desember dan paling tinggi pada bulan Juli, Agustus dan
September, seperti halnya dengan data CMAP (Gambar 4.b).
Sedangkan, bias paling rendah pada bulan Agustus dan paling
tinggi pada bulan Desember. Bias yang rendah membuat korelasi
spasialnya tinggi dan sebaliknya. Hubungan berbanding terbalik
antara bias dan koefisien korelasi ini ditunjukkan oleh Gambar 5,
meskipun untuk kasus NCEP CFSR (Gambar 5.b) pengaruh bias
terhadap koefisien korelasi tidak begitu jelas.

Gambar 5. Korelasi antara bias data dan korelasi spasial klimatologi
bulanan (Januari sampai dengan Desember) dari data
reanalisis dan GPCP, a) ERA Interim, b) NCEP CFSR, c)

NASA MERRA, dan d) JRA-55.

Kemiripan dalam deret waktu koefisien korelasi dan bias, baik
antar tahunan maupun siklus tahunan, diantara tiga sistem
reanalisis (ERA Interim, NCEP CFSR dan NASA MERRA) mungkin
disebabkan oleh sumber data yang digunakan dalam ketiganya
mirip (Rienecker et al. 2011). Perbedaan-perbedaan yang terjadi

12

Curah Hujan di Benua Maritim dari Empat Reanalisis Terbaru (Suaydhi)

bisa disebabkan oleh sedikit perbedaan dalam data pengamatan,
cara memproses datanya, model yang digunakan, dan metode
analisis yang digunakan.

4 KESIMPULAN
Ketersediaan data yang teratur dalam ruang dan waktu

sangat diperlukan dalam studi iklim. Keberadaan data reanalisis
telah banyak membantu studi iklim di wilayah-wilayah yang
terkendala oleh keterbatasan data pengamatan, seperti wilayah
Benua Maritim. Penelitian ini telah mengkaji variabilitas curah
hujan di wilayah ini menggunakan empat sistem reanalisis terbaru
(ERA Interim, NCEP CFSR, NASA MERRA, dan JRA-55). Kinerja
keempat data reanalisis dibandingkan dengan data pengamatan.
Dalam hal ini, data GPCP dipakai sebagai data rujukan utama. Satu
data pengamatan lainnya, yaitu data CMAP, digunakan untuk
membuat estimasi ketidakpastian yang ada pada data pengamatan.

Korelasi spasial yang bersesuaian (dari bulan dan tahun yang
sama) dan korelasi spasial tak bersesuaian atau unmatched
correlation (dari bulan yang sama tapi dengan tahun-tahun yang
berbeda) antara GPCP dan CMAP telah memberikan informasi yang
sangat berguna. Rendahnya nilai korelasi tak bersesuaian
mengindikasikan bahwa curah hujan di wilayah Benua Maritim
sangat bervariasi dari tahun ke tahun untuk bulan Mei dan
Desember. Curah hujan pada musim kemarau tidak banyak
bervariasi, sehingga musim ini relatif lebih mudah diprediksi.

Kualitas data reanalisis untuk wilayah Benua Maritim
menunjukkan adanya peningkatan. Hal ini mungkin disebabkan
makin meningkatnya kualitas dan kuantitas data pengamatan
(terutama data pengamatan dari satelit) yang diasimilasikan ke
dalam sistem reanalisis tersebut. Diantara keempat reanalisis
terbaru ini, data curah hujan dari NASA MERRA menunjukkan
kinerja yang paling realistis. Sementara itu, data dari sistem JRA-
55 sebaiknya tidak digunakan untuk kajian curah hujan untuk
wilayah Benua Maritim.

Ucapan terima kasih
Data ERA Interim yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh
dari ECMWF data server.

13

Curah Hujan di Benua Maritim dari Empat Reanalisis Terbaru (Suaydhi)

DAFTAR RUJUKAN
Adler, R. F., C. Kidd, G. Petty, M. Morissey, and H. M. Goodman,

2001: Intercomparison of Global Precipitation Products: The
Third Precipitation Intercomparison Project (PIP-3). Bull.
Amer. Meteor. Soc., 82, 1377-1396
Adler, R. F., and Coauthors, 2003: The Version 2 Global
Precipitation Climatology Project (GPCP) Monthly
Precipitation Analysis (1979-Present). J. Hydrometeor., 4,
1147-1167
Bosilovich, M. G., J. Chen, F. R. Robertson, and R. F. Adler, 2008:
Evaluation of Global Precipitation in Reanalyses. Journal of
Applied Meteorology and Climatology, 47, 2279-2299
Bromwich, D. H., A. N. Rogers, P. Kalberg, R. I. Cullather, J. W. C.
White, and K. J. Kreutz, 2000: ECMWF analyses and
reanalyses depiction of ENSO signal in Antarctic
precipitation. J. Climate, 13, 1406-1420
Cullather, R. I., D. H. Bromwich, and M. L. Van Woert, 1998: Spatial
and temporal variability of Antarctic precipitation from
atmospheric methods. J. Climate, 11, 334-367
Dee, D. P., and Coauthors, 2011: The ERA-Interim reanalysis:
configuration and performance of the data assimilation
system. Q. J. Roy. Meteor. Soc., 137, 553-597,
10.1002/qj.828
Ebita, A., and Coauthors, 2011: The Japanese 55-year Reanalysis
"JRA-55": an interim report. Scientific Online Letters on the
Atmosphere, 7, 149-152
Hamada, J.-I., M. D. Yamanaka, J. Matsumoto, S. Fukao, P. A.
Winarso, and T. Sribimawati, 2002: Spatial and temporal
variations of the rainy season over Indonesia and their link
to ENSO. J. Meteor. Soc. Japan, 80, 285-310
Kalnay, E., and Coauthors, 1996: The NCEP/NCAR 40-Year
Reanalysis Project. Bull. Amer. Meteor. Soc., 77, 437-471
Kanamitsu, M., W. Ebisuzaki, J. Woollen, S.-K. Yang, J. J. Hnilo, M.
Fiorino, and G. L. Potter, 2002: NCEP-DEO AMIP-II
Reanalysis (R2). Bull. Amer. Meteor. Soc., 83, 1631-1643
Phillips, T. J., and P. J. Gleckler, 2006: Evaluation of continental
precipitation in 20th century climate simulations: The utility
of multimodel statistics. Water Resources Research, 42,
doi:10.1029/2005WR004313

14

Curah Hujan di Benua Maritim dari Empat Reanalisis Terbaru (Suaydhi)

Rienecker, M. M., and Coauthors, 2011: MERRA: NASA's Modern
Era Retrospective Analysis for Research and Applications. J.
Climate, 24, 3624-3648, 10.1175/JCLI-D-11-00015.1

Saha, S., and Coauthors, 2010: The NCEP Climate Forecast System
Reanalysis. Bull. Amer. Meteor. Soc., 91, 1015-1057,
10.1175/2010BAMS3001.1

Taylor, K. E., 2001: Summarizing multiple aspects of model
performance in a single diagram. J. Geophys. Res., 106,
7183-7192

Xie, P., and P. Arkin, 1996: Analysis of global monthly precipitation
using gauge observations, satellite estimates, and numerical
model predictions. J. Climate, 9, 840-858

15

Estimasi Sumber Panas Berbasis Merra di Indonesia (Sinta B.Sipayung)

ESTIMASI SUMBER PANAS BERBASIS REANALISIS MERRA
DI INDONESIA

Sinta Berliana Sipayung dan Indah Susanti
Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer - LAPAN

Jln. Dr. Djunjunan 133 Bandung 40173
e-mail: [email protected]

ABSTRAK
Pemanasan atmosfer yang beragam menurut ruang dan waktu
diduga memiliki peran yang cukup signifikan terhadap sirkulasi
atmosfer, khususnya yang terjadi di kawasan ekuator Indonesia.
Atas dasar itulah, maka penelitian ini dilakukan dengan tujuan
mengetahui hujan konvektif berdasarkan distribusi profil sumber
panas yang ada di Benua Maritim Indonesia (BMI) dan sekitarnya
berbasis hasil analisis data satelit dari reanalisis MERRA (Modern
Era Retrospective-Analysis for Research and Applications) selama 10
tahun pengamatan (2003-2012) untuk 11 level ketinggian. Dengan
menggunakan reverse method dari parameter suhu dan angin
dalam 3 dimensi, masing-masing zonal (Barat-Timur), meridional
(Utara-Selatan) dan vertikal (Atas-Bawah), maka diperoleh sumber
panas di BMI relatif kuat di permukaan dan merambat naik secara
perlahan hingga lapisan 850 mb (sekitar 1,45 km di atas
permukaan laut, dpl), khususnya untuk kawasan yang letaknya di
atas Belahan Bumi Selatan (BBS) yang didominasi hujan kuat
selama bulan basah (DJF). Pada waktu yang sama, terjadi pula
sumber panas minimum, tetapi di Belahan Bumi Utara (BBU).
Hasil analisis secara vertikal di atas kota Pontianak menunjukkan
bahwa pada saat terjadinya La-Nina 2010, Pontianak umumnya
didominasi oleh kumpulan awan-awan konvektif. Hal ini
dibuktikan dengan diperolehnya dua puncak sebaran panas,
masing-masing di lapisan 850 dan 600 mb atau setara dengan
ketinggian sekitar 1,45 dan 5 km dpl. Kumpulan awan-awan
konvektif ini justru sudah terbentuk di lapisan bawah (sekitar 1,45
km dpl). Jika hanya pada satu lapis atmosfer, mungkin curah
hujan yang dihasilkan tidak seberapa. Namun, terdapat dua
lapisan utama yang dicapai awan-awan konvektif sebagaimana
dijelaskan di atas. Ini mengindikasikan bahwa peranan awan-awan
konvektif cukup besar dalam memberi sumbangsih terjadinya
hujan di Pontianak. Jika Pontianak dapat dianggap mewakili BMI,
maka pada saat La-Nina 2010, BMI didominasi oleh kumpulan
awan-awan konvektif, walaupun ada juga kumpulan awan
stratiform, tetapi relatif kecil.

16

Estimasi Sumber Panas Berbasis Merra di Indonesia (Sinta B.Sipayung)

Kata-kata kunci: estimasi panas, presipitasi dan MERRA

ABSTRACT
Warming of the atmosphere that varies according to time and space
is suspected to have a significant role to the atmospheric
circulation, particularly in the equatorial region of Indonesia. On
this basis, the research was conducted with the aim of knowing the
convective rain based on the profile distribution of heat sources in
the Indonesian Maritime Continent (IMC) and the surrounding
satellite-based data analysis results of the reanalysis MERRA
(Modern Era Retrospective-Analysis for Research and Applications)
for 10 years of observation (2003-2012) to 11 altitude levels. By
using a reverse method of the parameters of temperature and wind
in 3 dimensions each zonal (West-East), meridional (North-South)
and vertical (Up-Down), the obtained heat source in IMC are
relatively strong in the surface and rises slowly going up to 850 mb
layer (approximately 1.45 km above mean sea level, msl),
particularly for the region that is located on top of the Southern
Hemisphere (SH) which is dominated by strong rains during the wet
season (DJF). At the same time, there is also a minimum heat
source, but in the Northern Hemisphere (NH). The results of the
analysis vertically above the city of Pontianak shows that at the
time of the La-Nina 2010, Pontianak generally dominated by a
collection of convective clouds. This is proved by obtaining two
peaks of heat distribution, one each in layers 850 and 600 mb,
equivalent to an altitude of about 1.45 and 5 km above sea level.
Set of convective clouds is actually already formed in the lower layer
(about 1.45 km msl). If only one layer of the atmosphere would,
perhaps resulting precipitation meager. However, there are two
main layers of the convective clouds reached as described above.
This indicates that the role of the convective clouds big enough to
contribute in the rain in Pontianak. If Pontianak can be considered
representative of BMI, then during La-Nina 2010, BMI collection is
dominated by convective clouds, although there is also a collection
of stratiform clouds, but relatively small.

Key words: estimation of heat, precipitation, and MERRA

1 PENDAHULUAN
Distribusi vertikal pemanasan atmosfer mempunyai peranan

sangat penting dalam menentukan sirkulasi atmosfer (Hartmann
dkk. 1984). Banyak studi telah menerapkan persamaan dinamis
untuk mengestimasi sumber panas di atmosfer dengan
membandingkan antara data pengukuran anomali profil panas

17

Estimasi Sumber Panas Berbasis Merra di Indonesia (Sinta B.Sipayung)

dengan beberapa model. Walaupun tidak terkait secara langsung
dengan topik di atas, diduga ada keterkaitan erat antara hujan
konvektif terhadap profil vertikal panas pada fase basah, yakni fase
musim hujan. Perilaku MJO (Madden-Julian Oscillation) di
sepanjang Samudra Hindia diduga terkait erat dengan aktivitas
panas. Ini merupakan penyebaran pemanasan skala besar dengan
anomali sirkulasi atmosfer (Murakami and Nakazawa 1985; Hagos
dkk. 2010; Lin and Johnson 1996 dan Yanai dkk. 1973, 2000).

Pemanasan laten merupakan komponen kunci dalam sumber
panas selama berlangsungnya presipitasi yang merupakan hasil
dari transisi fase air di atmosfer. Untuk memperoleh gambaran
yang lengkap mengenai proses pemanasan atmosfer, maka
diperlukan adanya satu pemahaman yang mendalam tentang
neraca uap air yang ada di atmosfer. Banyak usaha telah dilakukan
untuk menentukan distribusi spasial dan temporal sumber panas
atmosfer diantaranya menggunakan metode langsung (direct
method), yakni dengan cara mengestimasi radiasi, kondensasi, dan
komponen pemanasan sensibel secara bebas. Sementara, metode
pembalikkan (reverse method) adalah memperoleh pemanasan
netto dari sisi persamaan termodinamika dengan menggunakan
data rutin meteorologi seperti komponen angin zonal dan
meridional serta suhu.

Dalam direct method, Chen (1982) dan Johnson dkk (1987),
telah menghitung distribusi sumber panas di atas Dataran Tibet
berdasarkan keseimbangan radiasi atmosfer dengan menggunakan
data dari Earth Radiation Budget Experiment (ERBE). Hasilnya
menunjukkan keseimbangan panas permukaan dengan fitting
formula yang berasal dari radiasi permukaan panas sensibel dan
fluks panas di Asia adalah sama.

Berbeda dengan reverse method digunakan dalam distribusi
pemanasan vertikal, yaitu untuk menganalisis distribusi sumber
panas di wilayah Monsun Asia seperti mengestimasi distribusi
panas global berdasarkan data asimilasi global empat dimensi
selama Global Weather Experiment (Wei dkk, 1983), Nitta (1983)
telah menganalisis keseimbangan panas dan kelembaban dengan
menggunakan set data observasi udara atas FGGE II-b selama
musim panas tahun 1979, bahwa tingkat pemanasan nyata dalam
skala besar telah mengalami penurunan dari fase pre-onset Monsun
sampai post-onset Monsun pada periode 1978-1979 di Belahan

18

Estimasi Sumber Panas Berbasis Merra di Indonesia (Sinta B.Sipayung)

Bumi Selatan (Mukarami dkk, 1984). Hoskins dkk. (1989) telah
mengestimasi sumber panas atmosfer skala global untuk periode
1979-1989 dan menunjukkan adanya variabilitas interannual dan
musiman dari pemanasan atmosfer. Hal ini konsisten dengan
mekanisme sistem monsun India yang dinyatakan oleh
Krishnamurti dan Bhalme (1976).

Bo (2006) menyatakan bahwa diketahui terdapat ditribusi
pemanasan berupa tiga mesin panas di wilayah Monsun Asia, yaitu
pemanasan di Semenanjung India bagian barat dan Laut Arabia
Timur, serta pendinginan dari lautan Hindia Barat, begitu pula
pemanasan di atas Teluk Benggala dan pendinginan di atas Lautan
Hindia Tengah dan pemanasan di atas Laut Cina Selatan/Pasifik
Barat dan pendinginan di atas Australia.

2 DATA DAN METODOLOGI
2.1 Data

Data yang digunakan adalah set data reanalisis MERRA
(Modern Era-Restrospective Analysis for Research and Application)
bulanan dengan dimensi grid 288 bujur x 144 lintang (1,25°x1,25°),
untuk 42 level ketinggian mulai 1000 – 1 mb, dengan cakupan
wilayah bujur 80-150° dan lintang -20° – 20° dari tahun 2003
hingga 2012. Data tersebut dihitung dengan menggunakan reverse
method dari parameter suhu, komponen arah dan kecepatan angin
dalam tiga dimensi (angin zonal, meridional, dan vertikal).
Parameter yang digunakan ini, diambil dari data MERRA yang
merupakan data reanalisis atmosfer yang dikelola NASA untuk era
satelit dengan menggunakan versi baru dari the Goddard Earth
Observing System Data Assimilation System Version 5 (GEOS-5).
Data MERRA fokus pada analisis historis terhadap siklus
hidrologis dalam skala waktu iklim dan cuaca. Terdapat banyak
sumber data yang merupakan input bagi asimilasi data MERRA,
diantaranya adalah MODIS Winds, AIRS, TOVS, QuikScat, GEOS
Sounder, TRMM rain rate, SSM/I, Wind Profiler, radiosonde,
dropsonde, dan sebagainya. Versi data MERRA yang digunakan
adalah inst_3d_asm_Cp (MAI3CPASM atau MERRA IAU 3d
assimilated state on pressure).

19

Estimasi Sumber Panas Berbasis Merra di Indonesia (Sinta B.Sipayung)

2.2 Metodologi

Metode yang digunakan adalah berdasarkan distribusi

pemanasan reverse method, yaitu pemanasan wilayah Monsun Asia

di Semenanjung India bagian barat dan Laut Arabia timur, serta

pendinginan dari lautan Hindia barat, pemanasan di atas Teluk

Benggala dan pendinginan di atas Lautan Hindia Tengah dan

pemanasan di atas Laut Cina Selatan/ Pasifik Barat dan

pendinginan di atas Australia. Sumber panas dapat ditentukan

dengan menggunakan formula:

1 = ( ( + ∙ ∇ + ) ..………… (1)

)
0

dimana: = suhu, = suhu potensial, = kecepatan vertikal dan

= kecepatan zonal. Persamaan 1 banyak dirujuk oleh peneliti

lainnya. Salah satunya adalah Johnson dkk (2009) untuk

mengestimasi tingkat pemanasan radiatif terhadap aspek

termodinamika dan kinematika aliran dan distribusi panas serta

kelembaban di daerah Amerika Utara. Begitu juga Wong (2011)

memperkenalkan formula baru dalam mengestimasi sumber panas

di atmosfer yang diturunkan berdasarkan persamaan yang

diungkapkan oleh Bo (2011) dan Yanai (1973), bahwa estimasi

sumber panas (Q) adalah:

( , , , ) = + + + − . …………… (2)



dimana: = angin zonal dan = rasio udara kemarau.

Persamaan 2 di atas diterapkan untuk mengetahui estimasi

sumber panas (Q) dan dibandingkan dengan pembentukan awan-

awan aktif yaitu pada saat MJO aktif atau lemah pada 11 level

ketinggian untuk wilayah Indonesia yang akan dibahas pada

makalah ini. Hujan konvektif berdasarkan distribusi profil sumber

panas yang ada di Benua Maritim Indonesia (BMI) akan dijelaskan

pada 11 level ketinggian dengan menggunakan metode reverse

(reverse method).

3 HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambar 1 merupakan distribusi spasial estimasi sumber

panas selama periode DJF (Desember-Januari-Februari) pada
wilayah 20°LU-20°LS dan 80°BT-150°BT dimulai dari lapisan
permukaan (1000 mb), diikuti dengan lapisan di atasnya, masing-

20

Estimasi Sumber Panas Berbasis Merra di Indonesia (Sinta B.Sipayung)

masing 1000, 925, 850, 700, 600, 500, 400, 300, 250, 200, dan
150 mb.

Gambar 1. Sumber panas (Q) rata-rata untuk periode DJF pada 11
level ketinggian.

Estimasi sumber panas Benua Maritim Indonesia (BMI) relatif
kuat di permukaan dan merambat naik secara perlahan hingga
lapisan 850 mb (sekitar 1,45 km di atas permukaan laut, dpl),
khususnya untuk kawasan yang letaknya di atas Belahan Bumi
Utara (BBU) yang didominasi hujan kuat selama bulan basah
(DJF). Sementara, di Belahan Bumi Selatan (BBS) Indonesia,
terdapat pula sumber panas dengan intensitas yang relatif lebih
rendah, terutama di lapisan 925 mb selama musim DJF yang
didominasi hujan konvektif.

21

Estimasi Sumber Panas Berbasis Merra di Indonesia (Sinta B.Sipayung)

Gambar 2. Sumber panas (Q) rata-rata bulanan pada periode JJA
pada level 11 ketinggian.

Pada Gambar 2, terdapat sumber panas dengan intensitas
yang relatif lebih tinggi, terutama di lapisan 925 mb selama periode
JJA (Juni-Juli-Agustus). Wong (2011) juga mengungkapkan bahwa
di wilayah Teluk Benggala terjadi anomali yang menurun, yang
mengindikasikan adanya modifikasi dari sirkulasi Hadley regional.

Gambar 3 adalah distribusi spasial sumber panas rata-rata
bulanan selama 10 tahun (2003-2012) pada ketinggian 850mb.
Ketinggian ini pada dasarnya dapat mewakili 11 level karena
dianalisis paling jelas menunjukkan sumber panas di wilayah
Indonesia. Selain itu, level 850mb merupakan level dimana terjadi
peningkatan sumber panas yang paling besar. Gambar tersebut
dapat menjelaskan distribusi sumber panas di benua maritim
Indonesia selama 10 tahun pengamatan sejak 2003 hingga 2012.
Walaupun agak rumit untuk dijelaskan satu per satu, tetapi ada

22

Estimasi Sumber Panas Berbasis Merra di Indonesia (Sinta B.Sipayung)

satu hal menarik untuk dianalisis, yakni distribusi sebaran panas
yang terjadi berdasarkan perubahan warna. Jika warna merah
mengindikasikan adanya kumpulan sumber panas, sebaliknya,
warna biru menunjukkan sumber dingin.

Gambar 3. Profil sumber panas (Q) rata-rata bulanan selama 10
tahun (2003-2012) pada bulan Januari, April, Juli, dan
Oktober pada ketinggian 850 mb.

Untuk mengetahui lebih jauh hasil analisis di atas (Gambar
3), dilakukanlah analisis sumber panas yang terjadi selama musim
transisi dari musim kemarau ke musim penghujan, yakni selama
periode SON (September-Oktober-November) tahun 2010 seperti
nampak pada Gambar 4. Gambar ini menunjukkan sebaran panas
pada periode yang sama, tetapi hanya tahun 2010. Ini terkait
dengan adanya indikasi bahwa pada periode tersebut (SON 2010),
hampir seluruh kawasan Indonesia mengalami musim basah yang
relatif panjang, yakni saat terjadinya La-Nina. Hal ini terlihat jelas
adanya perbedaan yang signifikan antara distribusi pada SON
tahun 2010 pada ketinggian 850mb dengan kondisi pada saat
terjadinya La-Nina dengan tahun yang sama. Terlihat jelas adanya
perbedaan nilai intensitas pemanasan yang ditandai dengan
perubahan warna yang tadinya didominasi warna merah (konvektif
aktif) dan warna biru (konvektif lemah).

23

Estimasi Sumber Panas Berbasis Merra di Indonesia (Sinta B.Sipayung)

Gambar 4. Distribusi sebaran panas di atas wilayah Indonesia
(panel atas), dan distribusi curah hujan konvektif pada
periode yang sama, tetapi pada tahun 2010 saat

terjadinya La-Nina (panel bawah).

Sebagaimana diketahui, pada tahun 2010 BMI dilanda La-
Nina. Namun, satu hal yang harus dipahami bahwa tidak semua
kawasan di BMI sensitif terhadap dampak La-Nina. Oleh karena
itu, dipandang perlu untuk dilakukan analisis profil vertikal
sumber panas saat terjadinya La-Nina. Kota yang dipilih adalah
Pontianak yang terletak di garis ekuator. Dipilihnya kota ini selain
memiliki data pengamatan yang relatif lengkap, kota ini juga
memiliki dua kali puncak curah hujan (dikenal dengan istilah SAO,
Semi Annual Oscillation). Analisis ini lebih menarik manakala
dilakukan di saat La-Nina diduga melanda Pontianak dan kawasan
sekitarnya. Analisis di atas dapat dilihat di Gambar 5.

24

Estimasi Sumber Panas Berbasis Merra di Indonesia (Sinta B.Sipayung)

Gambar 5. Profil vertikal sumber panas, hujan konvektif dan hujan
stratiform pada periode yang sama, tahun 2010 saat
terjadinya La-Nina di Pontianak.

Walaupun agak rumit didiskusikan, tetapi dapat
disampaikan berdasarkan Gambar 5 di atas, terlihat jelas bahwa
profil vertikal panas (Q) mencapai maksimum di ketinggian sekitar
500 mb (setara dengan ketinggian sekitar 5,8 km di atas
permukaan laut, dpl). Nilai ini ternyata tidak jauh berbeda dengan
yang dicapai oleh tipe hujan stratiform pada ketinggian sekitar 400
mb (setara dengan 6,0 km dpl). Ini mengindikasikan bahwa pada
saat terjadinya La-Nina 2010 di atas Pontianak banyak terbentuk
kumpulan awan stratiform. Awan-awan ini memang diduga tidak
menghasilkan hujan karena memang terbentuk bukan akibat
adanya konveksi yang cukup kuat di Pontianak. Bisa saja,
kumpulan awan ini berasal dari kawasan sekitar Pontianak yang
memang bukan berasal dari lautan/samudera, sehingga diduga
relatif sedikit dengan kumpulan uap air.

Namun demikian, berdasarkan Gambar 5 di atas pula,
terdapat kumpulan awan lain, yakni konvektif yang justru
mencapai puncaknya di dua lapisan, masing-masing 850 dan 600
mb atau setara dengan ketinggian sekitar 1,45 dan 5 km dpl.

25

Estimasi Sumber Panas Berbasis Merra di Indonesia (Sinta B.Sipayung)

Kumpulan awan konvektif ini justru sudah terbentuk di lapisan
bawah (sekitar 1,45 km dpl). Jika hanya pada satu lapis atmosfer
saja, mungkin curah hujan yang dihasilkan tidak seberapa.
Namun, terdapat dua lapisan utama yang dicapai awan-awan
konvektif sebagaimana dijelaskan di atas. Ini mengindikasikan
bahwa peranan awan-awan konvektif cukup besar dalam memberi
sumbangsih terjadinya hujan di Pontianak.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penyebab utama
terjadinya peningkatan intensitas hujan tahun 2010 di Pontianak
dan kawasan sekitarnya, secara dominan disebabkan oleh adanya
kumpulan awan-awan konvektif yang mencapai puncaknya di dua
lapisan utama, yakni sekitar 850 dan 600 mb yang berada relatif
tepat di garis ekuator, diduga pada saat itu (tahun 2010) pengaruh
La-Nina cukup dominan di atas Pontianak.

4 KESIMPULAN.
Dengan menggunakan reverse method dapat disimpulkan

bahwa sumber panas di setiap level diketahui relatif kuat ada di
permukaan hingga mencapai puncaknya di ketinggian 850 mb
(sekitar 1,45 km di atas permukaan laut), terutama untuk Belahan
Bumi Selatan (BBS), yakni saat periode musim basah (DJF).
Sementara pada musim kemarau (JJA), sumber panas relatif kuat
di Belahan Bumi Utara (BBU). Adanya perbedaan ini diduga erat
terkait dengan adanya pergerakan semu matahari terhadap bumi,
dimana pada saat matahari di BBU, pusat pemanasan berada di
BBU, begitupun sebaliknya. Selain itu, diketahui adanya
perbedaan signifikan sebaran panas pada periode yang sama.
Dengan mengambil studi kasus tahun 2010 saat terjadinya La-
Nina, diperoleh indikasi bahwa pada periode tersebut, September-
Oktober-November (SON) 2010, hampir seluruh kawasan Indonesia
mengalami musim basah, yakni saat terjadinya La-Nina. Hal ini
dibuktikan dengan analisis profil vertikal sumber panas, hujan
konvektif dan hujan stratiform pada periode yang sama yang terjadi
di atas Pontianak. Hasilnya menunjukkan bahwa pada saat La-
Nina tidak hanya kumpulan awan stratiform saja yang terbentuk,
justru yang paling dominan adalah kumpulan awan-awan
konvektif, tidak hanya dominan di lapisan bawah saja sekitar 850
mb (setara dengan 1,45 km dpl), tetapi juga di lapisan atasnya
sekitar 600 mb (setara dengan 5 km dpl). Ini yang menyebabkan

26

Estimasi Sumber Panas Berbasis Merra di Indonesia (Sinta B.Sipayung)

efek (pengaruh) La-Nina begitu dirasakan di beberapa kawasan di
Indonesia, khususnya kawasan yang letaknya relatif dekat dengan
garis ekuator, seperti Pontianak.

DAFTAR RUJUKAN
Bo Z., C. Longxun, X. Jianmin, H. Jinhai, Z. Congwen, and L. Wei,

2006: Atmospheric Heat Sources and Their Characteristics
in Asia during Summer:Comparison of Results Calculated
using Multiple Reanalysis Datasets. J.Meteor. Res., 2009, 23
(5), 585-597
Bo, Z., C. Longxun, X. Jianmin, H.. Jinhai, Z. Congwen, L. Wei.,
2011: Atmospheric Heat Source and Their Characteristics in
Asia during Summer : Comparison of Result Calculated using
Multiple Reanalisis Dataset. ADVANCES IN ATMOSPHERIC
SCIENCES, 28, NO. 5, 1039-1048
Chen, L. X., and Li, W. L. 1982: The structure of monthly
atmosphere heat sources over the Asian Monsun region.
Proceedings of National Seminar on Tropical Summer
Monsun (II). pp. 246–255. Yunnan People’s Publishing
House, Kunming (in Chinese).
Hagos, S., and Coauthors., 2010: Estimates of tropical diabatic
heating profiles: Commonalities and uncertainties. J.
Climate, 23, 542–558
Hoskins, B. J., H. H. Hsu, I. N. James, M. Masutani, P. D.
Sardeshmukh, and G. H.White., 1989: Diagnostics of the
global atmospheric circulation based on ECMWF analyses
1979-1989. World Climate Research Programme-27,
WMO/TD-326, 217pp.
Hartmann, D. L., H. H. Hendon, and R. A. Houze Jr., 1984: Some
Implications of the Mesoscale Circulations in Cloud Clusters
for Large-Scale Dynamics and Climate. J. Atmos. Sci., 41,
113–121
Johnson, D.R., M. Yanai and T.K. Schaack, 1987: Global and
regional distributions of atmospheric heat sources and sinks
during the GWE. Monsun Meteorology, Edited by C.P. Chang
and T.N. Krishnamarti, Oxford University Press, 271-297
Johnson R. H., P. E. Ciesielski, T. S. L’ecuyer, and A. J. Newman.,
2009: Diurnal Cycle of Convection during the 2004 North
American Monsun Experiment. J. of Climate., 23, 1060-
1078
Krishnamurti, T. N. and H. N. Bhalme, 1976: Oscillations of a
Monsun system. Part I: Observational aspects, J. Atmos. Sci.,
33, 1937–1954

27

Estimasi Sumber Panas Berbasis Merra di Indonesia (Sinta B.Sipayung)

Lin, X., and R. H. Johnson., 1996: Heating, moistening, and rainfall
over the western Pacific warm pool during TOGA COARE. J.
Atmos. Sci., 53, 3367–3383

Murakami, T., T. Nakazawa, and J. He., 1984: On the 40-50 day
oscillation during 1979 Northern Hemisphere summer.
Part I: Phase propagation. J. Meteor. Soc. Japan, 62, 440–
468

Nitta, T., 1983: Observational study of heat sources over the eastern
Tibetan Plateau during the summer Monsun. J. Meteor.Soc.
Japan, 61, 590–605

Wei, M.-Y., D. R. Johnson, and R. D. Townsend, 1983: Seasonal
distributions of diabatic heating during the First GARP
Global Experiment, Tellus, 35A, 241-255

Yanai, M., S. Esbensen, and J.-H. Chu, 1973: Determination of bulk
properties of tropical cloud clusters from large-scale heat
and moisture budgets. J. Atmos. Sci., 30, 611–627

Yanai, M., B. Chen, andW.-W. Tung, 2000: The Madden–Julian
oscillation observed during the TOGA COARE IOP: Global
view. J. Atmos.Sci., 57, 2374–2396

28

Studi Karakteristik Konvektif Terkait Monsun di Indonesia (Krismianto)

STUDI KARAKTERISTIK KONVEKTIF TERKAIT MONSUN DI
INDONESIA

Krismianto
Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer
Jl. Dr. Djundjunan no. 133, Bandung 40173
e-mail : [email protected]

ABSTRAK
Pengaruh monsun terhadap distribusi curah hujan di wilayah Indonesia
sangat penting untuk dipelajari. Monsun yang sangat berpengaruh
terhadap distribusi curah hujan di Indonesia adalah monsun Asia-
Australia. Aktivitas konvektif memiliki karakteristik yang sama dengan
karakteristik curah hujan sehingga pengaruh monsun terhadap
distribusi curah hujan dapat dipelajari dengan melihat pengaruh
monsun terhadap karakteristik dari aktivitas konvektif. Tujuan dari
penelitian ini adalah ingin mengetahui seberapa besar pengaruh monsun
Asia-Australia terhadap aktivitas konvektif di masing-masing wilayah di
Indonesia. Analisis komposit terhadap monsun dan pengaruhnya
terhadap aktivitas konvektif di wilayah Indonesia telah dilakukan. Data
yang digunakan untuk analisis adalah data angin zonal dan meridional
dari NCEP/NCAR dan data TBB dari satelit MTSAT. Set data yang
digunakan adalah data tahun 1998 hingga tahun 2009. Hasilnya adalah
monsun Asia-Australia sangat besar pengaruhnya terhadap aktivitas
konvektif di wilayah Indonesia bagian selatan. Perubahan aktivitas
konvektif akibat monsun sangat jelas di wilayah tersebut. Monsun Asia
sangat berpengaruh terhadap peningkatan aktivitas konvektif
sedangkan monsun Australia sangat berpengaruh terhadap penurunan
aktivitas konvektif. Wilayah Indonesia yang berada di sekitar garis
ekuator, aktivitas konvektifnya relatif konstan tinggi sepanjang tahun.
Hal tersebut membuktikan bahwa pengaruh monsun lebih kecil di
wilayah tersebut. Khusus untuk wilayah Papua lebih didominasi oleh
sirkulasi Walker dan tidak terlalu terpengaruh oleh monsun.

Kata-kata kunci: Monsun, karakteristik, konvektif, Indonesia.

ABSTRACT
The influence of the monsoon on the distribution of rainfall in Indonesia
is very important to be learned. The most influential monsoon on rainfall
distribution in Indonesia is an Asian-Australian monsoon. Convective
activity has the same characteristics with the characteristics of rainfall
so that the influence of the monsoon on the distribution of rainfall can
be learned by looking at the influence of the monsoon on the
characteristics of convective activity. The purpose of this study is to

29

Studi Karakteristik Konvektif Terkait Monsun di Indonesia (Krismianto)

determine how much the influence of the Asian-Australian monsoon to
the convective activity in each region in Indonesia. Composite analysis of
the monsoon and its effect on convective activity in Indonesia has been
done. The data for analysis is the zonal and meridional wind data from
NCEP/NCAR and TBB data from MTSAT. The data is from 1998 to 2009.
The result is Asian-Australian monsoon have very large effect on
convective activity in the southern part of Indonesia. Changes due to
monsoon convective activity are very evident in that region. Asian
monsoon was very influential on the increase in convective activity while
the Australian monsoon was very influential on the decrease in
convective activity. As for Indonesia, which is located in the region around
the equator, the convective activity is relatively constant high throughout
the year. It is proved that the influence of the monsoon is smaller in that
region. Especially for the Papua region, it is dominated by the Walker
circulation and not too affected by the monsoon.

Keywords: Monsoon, characteristics, convective, Indonesia.

1 PENDAHULUAN
Salah satu fenomena global yang sangat berpengaruh terhadap

cuaca dan iklim di Indonesia adalah monsun. Monsun merupakan angin
yang berbalik arah secara musiman yang disebabkan oleh perbedaan
pemanasan antara daratan dan lautan. Salah satu ciri suatu wilayah
didominasi oleh pengaruh monsun adalah wilayah tersebut memiliki
perbedaan yang tegas antara musim hujan dan musim kemarau.

Monsun yang sangat berpengaruh terhadap distribusi curah hujan
di Indonesia adalah monsun Asia-Australia yang onsetnya berlangsung
dari barat laut ke tenggara (Aldrian, et al., 2003). Monsun Asia dapat
diidentifikasi menggunakan IMI (Indian Monsoon Index) dan WNPMI
(Western North Pacific Monsoon Index) (Wang, et al., 2001) serta WYMI
(Webster and Yang Monsoon Index) (Webster, et al., 1992), sedangkan
monsun Australia dapat diidentifikasi menggunakan AUSMI (Australian
Monsoon Index) (Kajikawa, et al., 2009).

Indonesia masuk dalam wilayah ekuatorial dan dilewati oleh garis
ekuator sehingga wilayah Indonesia ada yang berada di belahan Bumi
Bagian Utara (BBU) dan ada yang berada di Belahan Bumi Bagian
Selatan (BBS). Wilayah ekuatorial merupakan wilayah konveksi aktif
ditandai dengan banyaknya awan-awan konvektif yang tumbuh di
wilayah tersebut. Wilayah konveksi aktif tersebut merupakan bagian dari
daerah ITCZ (Intertropical Convergence Zone). ITCZ bergerak ke arah
utara dan selatan mengikuti gerak semu matahari. Pergerakan ITCZ

30

Studi Karakteristik Konvektif Terkait Monsun di Indonesia (Krismianto)

sangat dipengaruhi oleh gerak semu matahari, maka ITCZ yang berada
di wilayah Indonesia terkait erat dengan fenomena monsun.

Keterkaitan monsun dengan aktivitas konvektif telah banyak
dipelajari. Pertumbuhan dan pergerakan konvektif musiman telah
dianalisis di atas Darwin, Australia, untuk melihat karakteristiknya
secara statistik (May, et.al, 2006). Hasil analisis data 8 tahun radar
presipitasi dari satelit TRMM (Tropical Rainfall Measuring Mission)
menunjukkan bagaimana sistem konvektif memiliki kontribusi terhadap
presipitasi di wilayah monsun Asia Selatan (Romatschke, et.al, 2011).

Pengaruh monsun terhadap karakteristik konvektif di wilayah
Indonesia sangat penting untuk dipelajari karena karakteristik konvektif
sangat berpengaruh terhadap karakteristik distribusi curah hujan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh
monsun Asia-Australia terhadap aktivitas konvektif di masing-masing
wilayah di Indonesia.

2 DATA DAN METODOLOGI
Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data NCEP/NCAR

angin zonal dan meridional bulanan di ketinggian 850 mb tahun 1998
sampai dengan tahun 2009. Khusus untuk data angin zonal, selain akan
digunakan untuk mencari vektor angin juga akan digunakan untuk
mencari nilai indeks monsun. Indeks monsun yang akan digunakan
dalam penelitian ini adalah indeks monsun Asia dan indeks monsun
Australia (AUSMI). Indeks monsun Asia yang digunakan hanya WYMI
karena diasumsikan sudah mampu menggambarkan karakteristik dari
monsun Asia.

Tabel 1. Rumus mencari WYMI (Webster, et al., 1992) dan AUSMI
(Kajikawa, et al., 2009)

Indeks Rumus

Monsun

WYMI U850(40-110E,EQ-20N)-U200(40-110E,EQ-20N)

AUSMI U850(110-130E,15S-5S)

Keterangan: U=angin zonal

Selain data indeks monsun, pada penelitian ini juga akan
digunakan data suhu puncak awan (TBB) yang diperoleh dari data satelit
MTSAT (Multi-functional Transport Satellites) kanal IR1. Data TBB yang
digunakan adalah data TBB rata-rata bulanan tahun 1998 sampai

31

Studi Karakteristik Konvektif Terkait Monsun di Indonesia (Krismianto)

dengan tahun 2009. Data TBB digunakan untuk melihat aktivitas
konvektif dimana ketika TBB-nya rendah berarti aktivitas konvektifnya
tinggi dan sebaliknya.

Metode analisis yang digunakan pada penelitian ini adalah metode
analisis komposit. WYMI dan AUSMI dikompositkan sehingga diperoleh
data indeks rata-rata bulanan. Pola dari data indeks tersebut kemudian
dianalisis keterkaitannya dengan pola pergerakan arah angin serta
aktivitas konvektif di setiap wilayah di Indonesia.

3 HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan Gambar 1, dapat dilihat bahwa nilai AUSMI pada

bulan Maret sebesar 0,8, menurun drastis dari bulan sebelumnya yang
memiliki nilai AUSMI sebesar 1,7. Penurunan tersebut berlanjut hingga
bulan Mei serta mencapai nilai terendahnya yaitu sekitar -1,0 pada
bulan Juli dan Agustus. Pada bulan September, terlihat mulai ada
peningkatan nilai indeksnya meskipun hanya sedikit, tetapi terus
berlanjut hingga mencapai puncaknya pada bulan Februari sebesar 1,7.
Nilai WYMI berkebalikan dengan nilai AUSMI. Bulan Juli dan Agustus
justru mencapai nilai tertingginya dengan nilai indeks sebesar 1,5 dan
mulai bulan September terlihat nilai indeksnya mulai turun dan terus
turun hingga mencapai nilai terendahnya yaitu sebesar -1,1 pada bulan
Januari dan Februari. AUSMI dan WYMI memiliki pola yang
berkebalikan, ketika nilai AUSMI tinggi maka nilai WYMI rendah dan
sebaliknya.

AUSMI dan WYMI Bulanan
2.0 Rata-rata (1998 s/d 2009)

Indeks Monsun 0.0 AUSMI
(Normalized) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 WYMI

Gambar 1. -2.0 Bulan

Indeks monsun AUSMI dan WYMI bulanan rata-rata tahun
1998 hingga tahun 2009.

Pada saat nilai indeks monsun Asia mencapai nilai terendahnya
(sekitar -1,0) yaitu pada bulan Desember, Januari dan Februari (DJF),
pengaruh monsun Asia terhadap wilayah Indonesia justru mencapai
puncaknya. Pada bulan-bulan tersebut wilayah Indonesia di bagian

32

Studi Karakteristik Konvektif Terkait Monsun di Indonesia (Krismianto)

selatan didominasi oleh angin baratan yang kecepatannya ada yang
mencapai 10 m/s serta membawa banyak massa uap air dari Samudera
Hindia. Aktivitas konvektif di sebagian besar wilayah Indonesia bagian
selatan pada saat itu mencapai puncaknya ditandai dengan nilai TBB
kurang dari 260K seperti yang terlihat dalam Gambar 2. Angin baratan
kurang begitu terlihat di wilayah Indonesia bagian utara meskipun nilai
TBB-nya juga kurang dari 260K. Angin baratan bertubrukan dengan
angin dari Samudera Pasifik yang lebih kuat di wilayah tersebut sehingga
terlihat lebih didominasi oleh angin dari Samudera Pasifik.

Gambar 2. Vektor angin dan TBB di Indonesia pada bulan DJF.
Pada saat bulan Maret, April, dan Mei (MAM) dimana pada saat itu

nilai indeks monsun Asia mulai meningkat, terlihat jelas bahwa
pengaruh monsun Asia terhadap angin baratan yang banyak membawa
massa uap air dari Samudera Hindia justru mulai melemah. Hal tersebut
mengakibatkan menurunnya aktivitas konvektif di sebagian besar
wilayah Indonesia karena semakin menurunnya massa uap air yang
terbawa ke wilayah Indonesia (seperti yang terlihat dalam Gambar 3).
Penurunan aktivitas konvektif terbesar terjadi pada wilayah Indonesia
bagian selatan dekat Australia yang ditunjukkan dengan nilai TBB lebih
dari 275K. Wilayah Indonesia bagian utara dan bagian selatan yang
dekat dengan garis ekuator serta wilayah Papua, memiliki nilai TBB
berkisar antara 260K hingga 275K yang berarti aktivitas konvektifnya
sedang.

33

Studi Karakteristik Konvektif Terkait Monsun di Indonesia (Krismianto)

Gambar 3. Vektor angin dan TBB di Indonesia pada bulan MAM.
Pada saat bulan JJA, aktivitas konvektif di wilayah Indonesia

bagian selatan, kecuali Papua rendah sekali. Nilai TBB-nya sangat tinggi,
yaitu lebih dari 275K seperti yang terlihat dalam Gambar 4. Monsun
Australia yang menguat dan melemahnya monsun Asia mengakibatkan
wilayah Indonesia yang berada di bagian selatan didominasi oleh angin
timuran yang kuat dengan kecepatan hingga 10 m/s. Angin timuran
tersebut hanya sedikit membawa massa uap air karena berasal dari
Australia yang berupa daratan dan hanya melewati perairan antara
Australia dan Indonesia yang relatif tidak luas. Wilayah Indonesia yang
berada di sekitar garis ekuator, aktivitas konvektifnya masih relatif
sedang dengan nilai TBB-nya berkisar 260K hingga 275K meskipun
tampak angin timuran juga mendominasi di wilayah tersebut. Hal ini
disebabkan karena wilayah tersebut mengalami pemanasan yang relatif
tinggi dan konstan sepanjang tahun.

Gambar 4. Vektor angin dan TBB di Indonesia pada bulan JJA.

34

Studi Karakteristik Konvektif Terkait Monsun di Indonesia (Krismianto)

Pada saat bulan September, Oktober, dan Nopember (SON),
aktifitas konvektif di wilayah Indonesia mulai menguat. Hal tersebut
dapat diketahui dari nilai TBB yang mulai menurun hingga kurang dari
275K seperti yang terlihat dalam Gambar 5. Khusus untuk wilayah
Indonesia bagian selatan dekat Australia, aktivitas konvektifnya masih
relatif rendah dengan nilai TBB yang masih lebih tinggi dari 275K. Hal
ini disebabkan meskipun angin timuran akibat monsun Australia mulai
melemah (ditandai dengan kecepatannya yang menurun hingga kurang
dari 4 m/s) tetapi masih mendominasi.

Gambar 5. Vektor angin dan TBB di Indonesia pada bulan SON.
Pengaruh monsun terhadap karakteristik aktivitas konvektif di
wilayah Indonesia sekitar ekuator yang didominasi oleh wilayah berpola
hujan ekuatorial berbeda dengan aktivitas konvektif di wilayah Indonesia
bagian selatan yang didominasi oleh wilayah berpola hujan monsunal.
Berdasarkan Gambar 6 dapat dilihat bahwa pengaruh monsun hanya
terlihat jelas untuk wilayah Indonesia bagian selatan dengan dicirikan
oleh fluktuasi indeks konvektifnya yang tinggi.

Gambar 6. Indeks konvektif bulanan rata-rata tahun 1998 s/d 2009.

35

Studi Karakteristik Konvektif Terkait Monsun di Indonesia (Krismianto)

Khusus untuk wilayah Papua hanya dipengaruhi oleh monsun Asia
saja dan itu hanya terjadi pada bulan DJF dimana pada saat itu
kecepatan angin baratannya sangat kuat (sekitar 10 m/s). Aktivitas
konvektif di wilayah Papua relatif tinggi sepanjang tahun meskipun tidak
mendapatkan pemanasan yang relatif konstan tinggi sepanjang tahun
seperti wilayah yang berada di sekitar garis ekuator. Hal tersebut
disebabkan pengaruh sirkulasi Walker yang banyak membawa massa
uap air dari Samudera Pasifik seperti yang terlihat dalam Gambar 7.

DJF MAM

JJA SON

Gambar 7. Aktivitas konvektif di wilayah Papua lebih didominasi oleh
pengaruh dari sirkulasi Walker.

4 KESIMPULAN
Berbeda dengan pengaruh monsun Australia yang kuat ketika nilai

indeksnya besar (>1), pengaruh monsun Asia terhadap aktivitas
konvektif di wilayah Indonesia justru semakin kuat ketika nilai
indeksnya kecil (<-1). Tinggi rendahnya aktivitas konvektif dapat dilihat
dari nilai TBB-nya dimana jika nilai TBB-nya kurang dari 260K berarti
aktivitas konvektifnya tinggi, jika lebih dari 280K berarti aktivitas
konvektifnya rendah, dan jika diantara keduanya berarti aktivitas
konvektifnya sedang. Monsun Asia dan Australia sangat besar
pengaruhnya terhadap aktivitas konvektif di wilayah Indonesia bagian
selatan, kecuali Papua (10°LS–4°LS; 95°BT-130°BT). Perubahan aktivitas
konvektif akibat monsun sangat jelas di wilayah tersebut yang dicirikan
oleh nilai fluktuasi indeks konvektifnya yang sangat tinggi, yaitu antara

36

Studi Karakteristik Konvektif Terkait Monsun di Indonesia (Krismianto)

–2,5 hingga 1,5. Fluktuasi indeks konvektif di wilayah Indonesia sekitar
garis ekuator (4°LS–6°LU; 95°BT-130°BT) sangat rendah hanya berkisar
0,0 hingga 1,0 sehingga pengaruh monsun terhadap aktivitas konvektif
di wilayah tersebut kurang begitu terlihat. Rendahnya fluktuasi indeks
konvektif tersebut disebabkan penerimaan radiasi matahari yang relatif
tinggi sepanjang tahun di wilayah tersebut sehingga aktivitas
konvektifnya juga relatif tinggi sepanjang tahun. Khusus untuk wilayah
Papua (4°LS–EQ; 130°BT-140°BT) lebih didominasi oleh sirkulasi Walker
dan tidak terlalu terpengaruh oleh monsun. Meskipun demikian, secara
umum hasil penelitian ini sama dengan hasil penelitian sebelumnya
yang menyatakan bahwa wilayah Indonesia sangat dipengaruhi oleh
monsun Asia-Australia.

DAFTAR RUJUKAN
Aldrian, E., and R. D. Susanto, 2003: Identification of three dominant

rainfall regions within Indonesia and their relationship to sea
surface temperature. Int. J. Climatol., 23, 1435-1452
Kajikawa, Y., B. Wang and J. Yang, 2009: A multi-time scale Australian
monsoon index, Int. J. Climatol, doi: 10.1002/joc.1955
May, P. T., A. Ballinger, 2007: The Statistical Characteristics of
Convective Cells in a Monsoon Regime (Darwin, Northern
Australia). Mon. Wea. Rev., 135, 82–92
Romatschke, U., R. A. Houze, 2011: Characteristics of Precipitating
Convective Systems in the South Asian Monsoon. J. Hydrometeor,
12, 3–26
Wang, B., R. Wu, K.-M. Lau, 2001: Interannual variability of Asian
summer monsoon: Contrast between the Indian and western
North Pacific-East Asian monsoons. J. Climate, 14, 4073-4090
Webster, P. J. and S. Yang, 1992: Monsoon and ENSO: Selectively
interactive systems. Quart. J. Roy. Meteor. Soc., 118, 877-926

37

Anomali Hujan Indonesia Periode Januari Sampai Juni 2013 (Lely Q. Avia)

ANALISIS PENGARUH DINAMIKA ATMOSFER DAN LAUT
TERHADAP ANOMALI HUJAN WILAYAH INDONESIA
PERIODE JANUARI SAMPAI JUNI 2013

Lely Qodrita Avia
Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer-LAPAN

e-mail: [email protected]

ABSTRAK
Tingginya intensitas hujan yang terjadi sampai dengan musim
kemarau tahun 2013 ini telah memberikan dampak negatif di
wilayah Indonesia. Badan Nasional Penanggulangan Bencana
(2013) melaporkan bahwa selama semester pertama tahun 2013,
tampak kejadian bencana hidrometeorologi yang hampir mencapai
90% dari total kejadian bencana di Indonesia. Apa sesungguhnya
yang terjadi pada dinamika atmosfer dan laut di Indonesia dan
sekitarnya? Hal ini akan menjadi bahasan pada penelitian ini. Oleh
karena itu, data intensitas hujan dari satelit TRMM 3B43V7 dan
data-data iklim global di sekitar wilayah Indonesia periode Januari
sampai Juni 2013 digunakan sebagai data utama pada penelitian.
Diharapkan dari penelitian ini akan diperoleh pemahaman yang
lebih baik mengenai kaitan antara dinamika atmosfer dan laut
terhadap intensitas hujan di wilayah Indonesia. Hasil yang
diperoleh menunjukkan adanya peningkatan intensitas hujan
hampir di seluruh wilayah Indonesia dimana terlihat dominasi
anomali intensitas hujan yang positif mencapai 0,50 mm/jam.
Suhu permukaan laut di sekitar perairan Indonesia dan Samudera
Pasifik bagian barat tampak lebih hangat, yaitu lebih tinggi 0,5°C
sampai 1,5°C dari kondisi normalnya. Sedangkan suhu permukaan
laut di Samudera Pasifik bagian tengah dan timur relatif lebih
rendah dari pada suhu permukaan laut di sekitar perairan
Indonesia. Maka dari itu, penguapan di Indonesia cukup besar
sehingga meningkatkan intensitas hujan. Selain itu, tampak
pergerakan angin zonal di 850 mb pada bulan April sampai Mei
dominan menuju wilayah Indonesia baik angin timuran maupun
angin baratan dengan anomali kecepatan yang sama, yaitu 4 m/s
sampai 8 m/s. Hal ini menjadikan pertumbuhan awan-awan
konvektif tetap aktif di wilayah Indonesia.

Kata-kata kunci: anomali, intensitas hujan, iklim global, TRMM
3B43V7

38

Anomali Hujan Indonesia Periode Januari Sampai Juni 2013 (Lely Q. Avia)

ABSTRACT
The high intensity of rainfall occuring until the dry season of 2013
has a negative impact on the Indonesian territory. Reported by the
National Agency for Disaster Management (BNPB, 2013) during the
first semester of 2013, it seems the hydrometeorological disasters
almost reached 90% of the total disasters in Indonesia. What
actually happened in the dynamics of the atmosphere and the sea
in Indonesia and surrounding areas? This will be discussed in this
research. Therefore, rainfall data 3B43V7 of TRMM satellite data
and global climate data in the area around Indonesia from January
to June 2013 were used as the main data on the research. This
research is expected to obtain a better understanding of the
relationship between the atmosphere and ocean dynamics and the
intensity of rainfall in Indonesia regions. Result shows an increase
of the rainfall intensity in almost regions of Indonesia which the
dominance of positive rainfall intensity anomalies reached 0.50
mm/hour. The surface temperature around Indonesian water of
Indonesia and western Pacific Ocean seemed warmer from 0.5 °C
to 1, 5 °C from normal condition. While sea surface temperature in
eastern and central of Pacific Ocean relatively lower than the sea
surface temperature around the waters of Indonesia. Therefore,
evaporation in Indonesia is quite large to increase the intensity of
the rainfall. Furthermore, the movement of the zonal wind at 850
mb in April to May seems being dominant toward Indonesian region
which is both easterlies and westerlies wind with the same velocity
anomaly that is 4 m/s to 8 m/s. This makes the growth of
convective clouds remain active in Indonesia.

Key words: anomalies, rain rate, global climate index, TRMM
3B43V7

1 PENDAHULUAN
Laporan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB,

2013) selama semester pertama tahun 2013 ini hampir 90%
kejadian bencana di wilayah Indonesia masih didominasi oleh
bencana hidrometeorologi seperti banjir, tanah longsor dan puting
beliung. Sedangkan jumlah bencana lainnya sekitar 10% dari total
kejadian. Berdasarkan data BNPB tersebut, tampak bencana banjir
untuk setiap bulan dari Januari sampai Juni 2013 adalah
sebanyak 37, 36, 29, 50, 39, dan 31 kejadian. Dampak dari
bencana-bencana tersebut telah menyebabkan banyak keluarga
terpaksa mengungsi ke tempat yang lebih aman dan juga
menyebabkan rumah dan fasilitas lainnya menjadi rusak dalam

39

Anomali Hujan Indonesia Periode Januari Sampai Juni 2013 (Lely Q. Avia)

kategori parah, sedang dan ringan. Pada umumnya, kejadian
bencana banjir maupun longsor tersebut berkaitan dengan
intensitas hujan yang tinggi dan berlangsung dalam waktu yang
lama.

Iklim maupun cuaca berkaitan erat dengan atmosfer, tetapi
dipengaruhi oleh interaksi antara atmosfer dan laut, biosfer,
permukaan tanah, dan kriosfer. Oleh karena itu, iklim bervariasi
pada semua skala waktu dan ruang (Mitchell, 1976; NRC, 1995).
Variabel iklim ini memiliki pengaruh paling besar terhadap hidup
dan kesejahteraan manusia. Bahkan, iklim memiliki pengaruh
mendasar dari kegiatan ekonomi suatu negara (NRC, 1998). Curah
hujan merupakan salah satu dari variabel iklim yang paling
penting di Indonesia karena keragamannya sangat tinggi baik
menurut waktu maupun tempat.

Wilayah Indonesia memiliki banyak keunikan, terdiri dari
banyak pulau yang tersebar di daerah tropis bahkan dilalui garis
khatulistiwa, diapit oleh dua samudra dan dua benua. Posisi ini
menjadikan Indonesia sebagai daerah pertemuan sirkulasi
meridional (Utara-Selatan) yang dikenal sebagai sirkulasi Hadley
dan sirkulasi zonal (Timur-Barat) yang dikenal sebagai sirkulasi
Walker. Kedua sirkulasi tersebut sangat mempengaruhi
keragaman iklim di Indonesia. Terdapat tiga faktor utama yang
mempengaruhi iklim di Indonesia yaitu faktor global (El Nino/La
Nina dan Dipole Mode), faktor regional (sirkulasi monsoon Asia-
Australia, suhu permukaan laut, ITCZ), dan faktor lokal yang juga
tidak bisa diabaikan dimana kondisi topografi Indonesia yang
banyak gunung, lembah, dan pantai yang menyebabkan semakin
beragam kondisi iklim di Indonesia baik secara spasial maupun
temporal (BMKG, 2009).

Di samping itu, tampak adanya fenomena MJO (Madden
Julian Oscillation) yang merupakan suatu gangguan tropis dan
memiliki propagasi ke arah timur di sekitar daerah tropis global
dengan siklus 30 sampai 60 harian. MJO juga memiliki dampak
signifikan terhadap pola hujan yang meluas di daerah tropis dan
subtropis terutama di daerah Samudera Hindia tropis, kawasan
maritim kontinen dan daerah kolom hangat di Samudera Pasifik
bagian barat. MJO memberikan dampak terhadap sirkulasi
atmosfer, dan suhu permukaan di sekitar tropis dan subtropis
global (Madden and Julian, 1994; Zhang 2005; Lau, Waliser, 2005;

40

Anomali Hujan Indonesia Periode Januari Sampai Juni 2013 (Lely Q. Avia)

Gottschalck and Wayne, 2012). Menurut Wheeler, McBride (2005),
MJO mempengaruhi waktu awal dan mengatur variabilitas sistem
monsun antar musim di Australia dan Indonesia.

Terdapat anomali hujan yang tinggi melebihi kondisi
normalnya sejak awal tahun 2013. Bahkan, seharusnya masuk
musim kemarau tetapi di sebagian daerah hujan masih saja tinggi
sehingga menyebabkan banyak bencana seperti telah
dikemukakan di atas. Seberapa besarkah anomali intensitas hujan
yang terjadi? Apa sesungguhnya yang terjadi pada dinamika
atmosfer dan laut di sekitar Indonesia? Oleh karena itu, penelitian
ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui jawaban dari
beberapa pertanyaan tersebut agar diperoleh pemahaman yang
lebih baik akan kaitan antara dinamika atmosfer dan laut terhadap
intensitas hujan di wilayah Indonesia.

2 DATA DAN METODOLOGI
2.1 Data

Beberapa data digunakan pada penelitian ini. Pertama data
satelit TRMM 3B43V7 untuk parameter intensitas hujan bulanan
(monthly rain rate, dalam satuan mm/jam) yang diperoleh dari situs
http://disc.sci.gsfc.nasa.gov. Data TRMM 3B43V7 tersebut
merupakan data grid dengan resolusi temporal bulanan dan
resolusi spasial 0.25° x 0.25° lintang bujur. Data yang diolah
meliputi wilayah Indonesia dan sekitarnya (12°LU-12°LS; 90°BT-
145°BT) untuk periode bulan Januari sampai Juni tahun 2013.
Kedua adalah data SST (Sea Surface Temperature), data angin zonal
dan data MJO (Madden Julian Oscillation) di sekitar wilayah
Indonesia yang diperoleh dari situs
http://www.emc.ncep.noaa.gov. Ketiga Indeks Nino 3,4 berupa
anomali SST daerah Nino 3,4 di Samudera Pasifik, data DMI (Dipole
mode Index) di Samudera Hindia dan data OLR (Outgoing Longwave
Radiation) di wilayah Indonesia yang diperoleh dari situs
http://www.bom.gov.au.

2.2 Metodologi
Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah pertama

menentukan data intensitas hujan bulanan klimatologis untuk
masing-masing bulan yaitu Januari sampai Juni berdasarkan data
satelit TRMM 3B43V7 periode tahun 1998 sampai 2008.

41


Click to View FlipBook Version