KEPOMPONG ITU
kepompong yang tergantung di daun jambu itu mendengar kutukmu yang kacau terhadap hawa
lembab ketika kau menutup jendela waktu hari hujan
kepompong itu juga mendengar rohmu yang bermimpi dan meninggalkan tubuhmu: melepaskan diri
lewat celah pintu, melayang di udara dingin sambil bernyanyi dengan suara bening dan bermuatan
bau bunga
dan kepompong itu hanya bisa menggerak‐gerakkan tubuhnya ke kanan‐kiri, belum saatnya ia
menjelma kupu‐kupu; dan, kau tahu , ia tak berhak bermimpi
KETIKA MENUNGGU BIS KOTA, MALAM‐MALAM
"Hus, itu bukan anjing; itu capung!" katanya. Tapi capung tak pernah terbang malam,
bukan? Capung tak suka ke tempat sampah
‐‐ biasanya ia hinggap di ujung daun rumput waktu pagi hari,
dan kalau ada gadis kecil akan menangkapnya ia pun terbang ke balik pagar sambil mendengarkan
suara "aahh!" Tubuhnya mungil, bukan?
Sedangkan yang kulihat tadi jelas anjing kampung yang ekornya buntung, menjilatjilat tempat
sampah yang di seberang halte itu, mengelilinginya,
lalu kencing di sudutnya.
Hanya saja, aku memang tak melihat ke mana gaibnya.
"Itu capung!" katanya. Sayang sekali bahwa kau merasa tak melihat apa pun di seberang sana tadi.
KISAH
Kau pergi, sehabis menutup pintu pagar sambil sekilas menoleh namamu sendiri yang tercetak di
plat alumunium itu. Hari itu musim hujan yang panjang dan sejak itu mereka tak pernah melihatmu
lagi.
Sehabis penghujan reda, plat nama itu ditumbuhi lumut sehingga tak bisa terbaca lagi.
Hari ini seorang yang mirip denganmu nampak berhenti di depan pintu pagar rumahmu, seperti
mencari sesuatu. la bersihkan lumut dari plat itu, Ialu dibacanya namamu nyaring‐nyaring.
Kemudian ia berkisah padaku tentang pengembaraanmu
KUKIRIMKAN PADAMU
kukirimkan padamu kartu pos bergambar, istriku,
par avion: sebuah taman kota, rumputan dan bunga‐bunga, bangku dan beberapa orang tua,
burung‐burung merpati dan langit yang entah batasnya.
Aku, tentu saja, tak ada di antara mereka.
Namun ada.
KUTERKA GERIMIS
Kuterka gerimis mulai gugur
Kaukah yang melintas di antara korek api dan ujung rokokku
sambil melepaskan isarat yang sudah sejak lama kulupakan kuncinya itu
Seperti nanah yang meleleh dari ujung‐ujung jarum jam dinding yang berhimpit ke atas itu
Seperti badai rintik‐rintik yang di luar itu
LIRIK UNTUK LAGU POP
jangan pejamkan matamu: aku ingin tinggal di hutan yang gerimis
‐‐ pandangmu adalah seru butir air tergelincir dari duri mawar (begitu nyaring!); swaramu adalah
kertap bulu burung yang gugur (begitu hening!)
aku pun akan memecah pelahan dan bertebaran dalam hutan; berkilauan serbuk dalam kabut
‐‐ nafasmu adalah goyang anggrek hutan yang mengelopak (begitu tajam!)
aku akan berhamburan dalam grimis dalam seru butir air dalam kertap bulu burung dalam goyang
anggrek
‐‐ ketika hutan mendadak gaib
jangan pejamkan matamu:
PERAHU KERTAS
Waktu masih kanak‐kanak kau membuat perahu kertas dan kau layarkan di tepi kali; alirnya Sangat
tenang, dan perahumu bergoyang menuju lautan.
"Ia akan singgah di bandar‐bandar besar," kata seorang lelaki tua. Kau sangat gembira, pulang
dengan berbagai gambar warna‐warni di kepala.
Sejak itu kau pun menunggu kalau‐kalau ada kabar dari perahu yang tak pernah lepas dari rindu‐mu
itu.
Akhirnya kau dengar juga pesan si tua itu, Nuh, katanya,
"Telah kupergunakan perahumu itu dalam sebuah banjir besar dan kini terdampar di sebuah bukit."
PERISTIWA PAGI TADI
kepada GM
Pagi tadi seorang sopir oplet bercerita kepada pesuruh kantor tentang lelaki yang terlanggar motor
waktu menyeberang.
Siang tadi pesuruh kantor bercerita kepada tukang warung tentang sahabatmu yang terlanggar
motor waktu menyeberang, membentur aspal, Ialu beramai‐ramai diangkat ke tepi jalan.
Sore tadi tukang warung bercerita kepadamu tentang aku yang terlanggar motor waktu
menyeberang, membentur aspal, lalu diangkat beramai‐ramai ke tepi jalan dan menunggu setengah
jam sebelum dijemput ambulans dan meninggal sesampai di rumah sakit.
Malam ini kau ingin sekali bercerita padaku tentang peristiwa itu
PERTAPA
Jangan mengganggu:
aku, satria itu, sedang bertapa dalam sebuah gua, atau sebutir telur, atau. sepatah kata ‐‐ ah, apa
ada bedanya. Pada saatnya nanti, kalau aku sudah dililit akar, sudah merupakan benih, sudah
mencapai makna ‐‐ masih beranikah kau menyapaku, Saudara?
PESAN
Tolong sampaikan kepada abangku, Raden Sumantri, bahwa memang kebetulan jantungku
tertembus anak panahnya.
Kami saling mencinta, dan antara disengaja dan tidak disengaja sama sekali tidak ada pembatasnya.
Kalau kau bertemu dengannya, tolong sampaikan bahwa aku tidak menaruh dendam padanya, dan
nanti apabila perang itu tiba, aku hanya akan
PESTA
pesta berlangsung sederhana. Sedikit tangis, basa‐basi itu; tinggal bau bunga gemetar pada tik‐tok
jam, ingin mengantarmu sampai ke tanah‐tanah sana yang sesekali muncul dalam mimpi‐mimpinya
. . . di sumur itu, si Pembunuh membasuh muka, tangan, dan kakinya
PUISI CAT AIR UNTUK RIZKI
angin berbisik kepada daun jatuh yang tersangkut kabel telpon itu, "aku rindu, aku ingin
mempermainkanmu! "
kabel telpon memperingatkan angin yang sedang memungut daun itu dengan jari‐jarinya gemas,
"jangan berisik, mengganggu .
hujan!"
hujan meludah di ujung gang lalu menatap angin dengan tajam,
hardiknya, 'lepaskan daun itu!"
SAJAK SUBUH
Waktu mereka membakar gubuknya awal subuh itu ia baru saja bermimpi tentang mata air. Mereka
berteriak, "Jangan bermimpi!" dan ia terkejut tak mengerti.
Sejak di kota itu ia tak pernah sempat bermimpi. Ia ingin sekali melihat kembali warna hijau dan
mata air, tetapi ketika untuk pertama kalinya. Ia bermimpi subuh itu, mereka membakar tempat
tinggalnya.
"Jangan bermimpi!" gertak mereka.
Suara itu terpantul di bawahjembatan dan tebing‐tebing sungai. Api menyulut udara lembar demi
lembar, lalu meresap ke pori‐pori kulitnya. Ia tak memahami perintah itu dan mereka memukulnya,
"Jangan bermimpi! "
Ia rubuh dan kembali bermimpi tentang mata air dan .....
SAJAK TELUR
dalam setiap telur semoga ada burung dalam setiap burung
semoga ada engkau dalam setiap engkau semoga ada yang senantiasa terbang menembus silau
matahari memecah udara dingin
memuncak ke lengkung langit menukik melintas sungai
merindukan telur
SERULING
Seruling bambu itu membayangkan ada yang meniupnya, menutup‐membuka lubang‐lubangnya,
menciptakan pangeran dan putri dari kerajaan‐kerajaan jauh yang tak terbayangkan merdunya ....
Ia meraba‐raba lubang‐lubangnya sendiri yang senantiasa menganga.
SETANGAN KENANGAN
Siapakah gerangan yang sengaja menjatuhkan setangan di lorong yang berlumpur itu. Soalnya,
tengah malam ketika seluruh kota kena sihir menjelma hutan kembali, ia seperti menggelepar‐
gelepar ingin terbang menyampaikan pesan kepada Rama tentang rencana ....
SIHIR HUJAN
Hujan mengenal baik pohon, jalan, dan selokan
‐‐ swaranya bisa dibeda‐bedakan;
kau akan mendengarnya meski sudah kaututup pintu dan jendela.
Meskipun sudah kau matikan lampu.
Hujan, yang tahu benar membeda‐bedakan, telah jatuh di pohon, jalan, dan selokan
‐ ‐ menyihirmu agar sama sekali tak sempat mengaduh waktu menangkap wahyu yang harus
kaurahasiakan
TAJAM HUJANMU
tajam hujanmu
ini sudah terlanjur mencintaimu:
payung terbuka yang bergoyang‐goyang di tangan kananku,
air yang menetes dari pinggir‐pinggir payung itu,
aspal yang gemeletuk di bawah sepatu,
arloji yang buram berair kacanya,
dua‐tiga patah kata yang mengganjal di tenggorokan
deras dinginmu
sembilu hujanmu
TEKUKUR
Kautembak tekukur itu. Ia tak sempat terkejut, beberapa lembar bulunya lepas; mula‐mula
terpencar di sela‐sela jari angin, satu‐dua lembar sambar‐menyambar sebentar, lalu bersandar pada
daun‐daun rumput. "Kena!" serumu.
Selembar bulunya ingin sekali mencapai kali itu agar bisa terbawa sampai jauh ke hilir, namun angin
hanya meletakkannya di tebing sungai. "Tapi ke mana terbang burung luka itu?" gerutumu.
Tetes‐tetes darahnya melayang : ada yang sempat melewati berkas‐ berkas sinar matahari,
membiaskan wama merah cemerlang, lalu jatuh di kuntum‐kuntum bunga rumput.
"Merdu benar suara tekukur itu," kata seorang gadis kecil yang kebetulan lewat di sana; ia merasa
tiba‐tiba berada dalam sebuah taman bunga.
TELINGA
"Masuklah ke telingaku," bujuknya.
Gila
ia digoda masuk ke telinganya sendiri
agar bisa mendengar apa pun
secara terperinci ‐‐ setiap kata, setiap huruf, bahkan letupan dan desis
yang menciptakan suara.
"Masuklah," bujuknya.
Gila ! Hanya agar bisa menafsirkan sebaik‐baiknya apa pun yang dibisikkannya kepada diri sendiri.
TUAN
Tuan Tuhan, bukan? Tunggu sebentar,
saya sedang ke luar.
YANG FANA ADALAH WAKTU
Yang fana adalah waktu. Kita abadi:
memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga
sampai pada suatu hari
kita lupa untuk apa.
"Tapi, yang fana adalah waktu, bukan?"
tanyamu.
Kita abadi.