Thanks To….
Untuk segalanya, aku ingin berterima kasih kepada Allah SWT sudah
mengabulkan cita-citaku untuk menjadi seorang penulis.
Aku ingin berterima kasih kepada seorang perempuan yang mandiri,
sabar, dan penyayang. Wanita yang selalu melindungiku dari segala hal,
perempuan yang selalu berjuang sendirian untuk menghapus kesedihanku.
Dia adalah perempuan paling kuat yang pernah aku kenal. Dia selalu
tersenyum di hadapanku walaupun aku tahu hatinya sedang terluka. Dia
juga perempuan yang paling berharga dalam hidupku. Dia adalah ibuku
tersayang. I love you, Mama.
Terakhir, terima kasih yang paling special akan aku ucapkan untuk
AYAHKU. Terima kasih sudah meninggalkanku dan memberiku luka yg
amat dalam. Mungkin, kalau kau tetap berada di sisiku, aku tidak akan
mendapatkan inspirasi untuk menjadi penulis. Jika kau membuatku
tersenyum dan memelukku di saat aku menangis, mungkin cerita ini tidak
akan pernah muncul. Terima kasih ayah terima kasih sudah menorehkan
luka hingga membuatku belajar untuk menjadi perempuan yang kuat
sampai menjadi seperti sekarang. Sekali lagi, aku ucapkan terima kasih.
Daftar Isi 3
5
Thanks To 6
Prolog 9
Anastasia Mysha: Bulan 13
Alister Reygan: Benci 19
Teman? 25
Marah 30
Dia lagi 36
Suatu Hari Nanti 41
Jangan Ganggu Dia!
Biodata Penulis
Prolog
Aku sudah biasa menerima luka. Namun, kenapa kali ini lukanya terasa
lebih menyakitkan saat kamu bersikap biasa saja?
Ya, aku menyerah. Ada kalanya aku harus berhenti memperhatikan
orang yang sama sekali tidak pernah melihatku.
Inilah titik akhirnya. Kamu dan aku memang ditakdirkan seperti lautan
di Teluk Alaska, tidak pernah bisa bersatu.
-Anastasia Mysha-
Anastasia Mysha: Bulan
Buku pink tebal tebal yang lusuh tersebut terbuka menunjukkan coretan
dari jari tangannya yang lentik. Ana tersenyum, di bawah cahaya bulan
purnama penuh ia tetap menulis setiap kegiatan yang ia lakukan di hari ini.
Jendela yang terbuka mempersilakan angin untuk masuk, mengibaskan
setiap rambutnya yang ikal dengan indah. Ana menghirup dalam-dalam
aroma malam yang tidak berubah, masih sama seperti malam-malam
kemarin dengan angin kencang yang menyapu setiap inci wajahnya.
Tok…tok…tok…
Terdengar seseorang mengetuk pintu, Ana yakin itu adalah ibunya.
“Masuk, Ma.”
Pintu terbuka, seperti biasa. Diana membawakan anak kesayangannya itu
segelas susu cokelat sebelum tidur.
Ia tersenyum kecil melihat pemandangan yang tidak pernah berubah. Ya,
melihat anaknya, Anastasia Mysha menulis catatan hariannya di buku pink
tua yang lusuh tersebut.
“Minum susunya, ya. Jangan tidur terlalu malem juga, nanti di sekolah
ngantuk loh,” ucap Diana seraya menaruh susu tersebut.
“Iya, Ma. Makasih ya.”
Ana berhenti melakukan aktivitasnya, lalu mencium pipi Diana.
“I love you, Ma.”
“Love you too, tidur nyenyak ya.”
Ana mengangguk, tak lama Diana pergi meninggalkan kamar Ana.
Dengan cepat ia segera menghabiskan segelas susu yang di bawakan oleh
ibunya.
Perlahan matanya menatap jam berwarna pink yang ada di dinding.
Ternyata sudah menunjukkan jam 8 malam. Ana menguap lalu menutup
bibirnya dengan tangan kanannya. Ia memang sudah mengantuk sejak jam
7 malam tadi.
Satu hal yang ia tunggu, yaitu kehadiran bulan dan teman-temannya,
bintang.
Ana mengambil pulpen pink-nya. Ia lalu menyelesaikan kalimat terakhir
untuk malam ini yang akan ia tulis di buku pink nya.
Selamat malam bulan.
Sinarmu sudah menyapa wajahku.
Terimakasih sudah menemaniku mala mini.
Jenguk aku setiap malam, ya.
Karena aku sangat merindukanmu
Kalau kau tidak ada satu hari pun.
Terimakasih Anastasia Mysha
Selesai.
Ana menutup bukunya, lalu menyimpannya di lemari. Ia mengunci rapat-
rapat lemarinya, Ana tidak mau ada seorangpun yang melihat catatannya.
Walau ibunya sekalipun.
Ia berjalan ke tempat tidurnya, tak lama ia lupa satu hal. Ya, ia lupa
menutup jendelanya.
Sesaat sebelum menutup jendela rumahnya, ia menatap bulan sambil
tersenyum
Terimakasih sudah menjadi temanku satu-satunya, Bulan. Ucap ana dalam
hati.
Semuanya sudah selesai, ia kembali ke tempat tidurnya, lalu menarik
selimut pink nya yang hangat.
Bulu matanya yang lentik kini tertutup, dengan dinginya malam, ia tertidur
pulas dan siap menyambut esok hari yang cerah.
Atau mungkin esok hari yang menyeramkan.
Alister Reygan:Benci
Dentuman musik begitu kencang, kerlap-kerlip keindahan malam menyapa
setiap insane yang tengah asik menari di atas dancefloor.
Cowok tampan yang tengah berjalan masuk ke dalam sebuh club tersebut
riuh oleh teman-temannya.
Cowok itu tersenyum manis, senyumannya mampu melumpuhkan setiap
cewek yang melihatnya, begitu memabukkan.
‘Rey!” panggil Iqbal sambil melambaikna tangannya.
“Lo telat 20 menit bro!”
Alister atau yang sering disapa dengan rey itu menatap jam di tangannya, ia
langsung mengedikkan bahunya seperti tak berdosa.
“Santai… Baru jam 12 malem.”
“Semakin malem semakin semangat dong pastinya,” balas Iqbal
Rey menaikkan kedua alisnya tanda setuju.
“Lo liat cewek yang lagi joget di sana?” Tanya Iqbal sambil menunjukkan
cewek yang sedang menari dengan rok mini.
“Uh seksi banget bro.”
Rey berdecak sambil tertawa meremehkan. “Dasar cowok murahan!”
Rey dan Andra saling menatap heran, mereka tertawa kecil sambil
mengacak-ngacak rambut Iqbal.
Tak lama, cewek tersebut membalikkan wajahnya, mereka dapat melihat
kecantikan dan juga kesan nakal dari cewek itu. Iqbal langsung tersenyum,
tapi ternyata ia malah menatap Alister, ia tersenyum genit padanya
membuat Alister jijik.
“Rey, dia senyum sama lo tuh,” ucap Andra
“Padahal gue yang senyum,” balas Iqbal memelas.
“Selalu. . . Saja Alister Reygan.”
Rey mengacuhkan mereka, ia menggoyangkan kakinya untuk menikmati
setiap alunan musik.
Rasanya cowok itu ingin bergoyang untuk melepaskan penat, tapi ia lebih
memilih duduk dan minum dengan temannya.
Di dancefloor terlalu banyak cewek, ia yakin saat ia datang ke sana akan
banyak cewek yang memperbutkannya untuk bisa menari bersamanya.
Membonsankan.
Apa tidak ada hal yang lebih menarik lagi?
“Kita balik kapan nih? Besok masuk sekolah, hari senin lagi. Lo tau kan hari
senin itu gurunya siapa?” Tanya Andra kepada Iqbal.
“Dasar bocah lo! Kebiasaan, jam segini lo pasti ngajak balik.”
“Gue males aja dengerin nyokap gue ngomel-ngomel.”
Alister mengacuhkan mereka, ia mengekuarkan rokok lalu menghisapnya
dengan perlahan.
“Alana sama Tasya ke mana?”
‘Mereka lagi ke toilet.”
Ya. Iqbal, Andra, Alana dan Tasya. Mereka adalah teman satu genk Alister.
Mereka berlima selalu dijuluki sebagai penguasa sekolah karena tidak ada
yang berani kepada mereka.
Terutama yang selalu menjadi sorotan semua orang, Alister Reygan. Cowok
yang sering di panggil Rey itu sering disebut sebagai pemimpin dari genk
mereka.
Mereka berlima adalah biang masalah di sekolah, tidak ada satupun siswa
dan siswi yang tidak mengenal mereka berlima. Terakhir, Alister mendapat
masalah karena sudah memukul ketua osis yang berani menghalanginya.
Entahlah, Alister sangat tidak suka dengan ketos itu.
“Rey!”
“Rey!”
Alana dan Tasya berlari mendekati Rey dengan semangat. Mata mereka
berbinar saat melihat Rey datang.
“Gue piker lo ga bakal datang, Rey,” ucap Alana.
“Biasanya, bokap lo langsung nyusul dan-“ ucap Tasya berhenti saat
melihat pria paruh baya dengan wajah sangat marah datang menghampiri
mereka.
“Maksa lo pulang,” lanjut Tasya pelan.
Alister dengan santai menatap papanya yang terlihat marah besar melihat
anaknya hampir tiap malam menghabiskan waktu di club.
“Sial!” Alister menggebrakkan meja lalu mematikan rokoknya.
“Nggak usah dipaksa, bisa pulang sendiri kok,” ucap Alister pada Budi, papa
kandungnya.
“Rey, dengerin Papa!”
“Rey!”
Alister langsung berjalan melewati papanya begitu saja, ia keluar dari club
tersebut dan memasuki mobilnya.
Kesal, rasanya sangat kesal memiliki papa yang over protective. Cowok itu
membanting stir dan dengan kecepatan penuh ia pulang menuju rumahnya.
Sesampainya di rumah, Alister memicingkan matanya, menatap mama yang
sudah menunggu kepulangannya.
“KENAPA?!” bentak Alister.
“Rey! Mama sama Papa khawatir, kenapa kamu terus-terusan pulang
malem kaya gini? Ini udah jam satu malem. Belum lagi besok kamu sekolah,
Mama nggak suka kamu-“
“Cukup, Ma. Rey capek.”
Alister langsung pergi ke lantai atas menuju kamarnya, kesal rasnaya
mendengar ocehan Mama dan Papa setiap hari. Ia mengembuskan napas
beberapa kali dan menutup matanya di atas kasur.
Ia tersenyum kecil, mengingat besok hari senin dan banyak sekali tugas
yang belum ia kerjakan. Tenang saja, ia bisa meminta teman sekelasnya
untuk mengerjakan tugasnya.
Teman sekelas yang selalu ia pekerjakan sebagai budak.
Mungkin besok akan menjadi hari yang sangat menyenangkan untuk
Alister.
Tak lama kemudian, cowok itu terlelap dengan dinginnya malam.
Teman?
Ana berjalan lurus melewati gerbang sekolahnya. Cewek itu memasukkan
tangannya pada jaket rajut pink miliknya, rambutnya yang ikal di ikat agar
terlihat rapi.
Seperti biasa, Ana selalu datang paling pagi sampai belum ada siapa-siapa
di sekolahnya.
Tapi sepertinya tidak untuk hari ini, ia mendapatkan seorang cewek
berambut lurus sebahu tengah duduk di samping bangkunya.
Ana tersenyum canggung, ia sama sekali tidak mengenal cewek itu.
“Hai,” ucapnya sambil tersenyum manis.
“Hai,” balas ana dengan jantung yang berdebar-debar.
Baru kali ini ada yang mau menyapanya, semenjak ia menjadi bahan bully-
an Genk Alister, semua cowok dan cewek tidak ada yang mau menyapanya
lagi. Menyedihkan.
“Ka-kamu. . . Murid baru ya?” Tanya Ana dengan gemetar
“Hehe iya, kenalin aku Bulan.” Cewek itu tanpa ragu memberikan
tangannya pada Ana.
Deg
“Bulan?”
Ana terpikir sesuatu akan nama itu, nama yang selalu ia tunggu tiap malam
di balik jendela. Namanya seperti bulan yang selalu menyapanya dan
menjadi teman cewek itu satu-satunya.
“Iya, Bulan. Kenapa? Kok kaya heran gitu.”
“Ah gak papa, kenalin aku Anastasia.” Mereka bersalaman, senyuman cerah
terpancar di wajah mereka.
“Tadi aku habis dari ruang tata usaha, terus malah langsung dianterin ke
sini. Wali kelas aku katanya belum datang.”
Sungguh, Ana sangat canggung untuk memulai obrolan terlebih dahulu.
Tapi sepertinya murid baru bernama Bulan ini sangat ramah dan. . .
cerewet. Untunglah, membuatnya sedikit merasa lega.
Ana hanya mengangguk kecil mendengarnya, tiba-tiba Bulan berkata lagi.
“Ikut organisasi?”
“Nggak,” jawab Ana sambil tersenyum malu.
“Oh kalau gitu, ikut estrakurikuler apa?” Tanya Bulan.
Ana menggelengkan kepalanya tanda kalau ia tidak ikut organisasi apapun.
Karena kebiasaannya sejak dulu adalah sehabis bel pulang, ia langsung
pergi ke rumahnya.
Tidak mau keluar sama sekali.
“Kalo aku dulu ikut ekstrakurikuler teater, organisasi juga ikut. Malah aku
jadi ketua OSIS ya di sana.”
Ana berpikir sejenak, sepertinya ia tidak bertanya apapun tentang Bulan. Ia
dengan santai menceritakan apapun tentang dirinya pada Ana.
Sementara Ana? Tentu saja ia hanya diam mendengarkan dengan baik.
“Eh, aku suka loh sama kamu. Kayanya kamu tuh diem-diem gimana gitu,”
ucap Bulan dengan sumbringah karena bahagia memiliki teman sebangku
seperti Ana.
“Oh gitu ya, ehem. . . Kamu mendingan duduk di bangku samping deh,” ucap
Ana sedikit kaku.
Bukan apa-apa, ia tidak bermaksud untuk mengusir Bulan. Tapi ia tidak
mau Bulan menjadi sasaran Genk Alister.
“Kenapa? Di sini udah ada yang ngisi ya?” Tanya Bulan tidak enak.
“Bukan-bukan, Cuma. . .”
Belum sempat Ana mengatakan semuanya, ternyata murid-murid yang tadi
nongkrong di koridor mulai masuk ke dalam kelas.
Mereka kaget melihat Ana sedang mengobrol, mereka pun saling berbisik.
“Ih kasihan ya kalo dia duduk bareng si Ana.”
“Bener banget, gimana kalo dia jadi korban?”
“Nah itu dia, mending lo kasih tau dia deh.”
“Ogah banget, gimana pas gue ngobrol sama mereka tiba-tiba Genk Alister
dating.”
Mereka berbisik tapi sangat jelas terdengar oleh Ana, cewek itu hanya bisa
merunduk diam dan tak berkutik.
Lebih tepatnya, Ana hanya mengabaikan mereka. Ia tidak peduli dengan
apapun yang dikatakan mereka.
“Em. . . Anastasia, aku-“ ucap Bulan terpotong.
“Ana, panggil aku Ana.”
Ana kembali tersenyum seolah tak terjadi apapun, hatinya benar-benar
sudah kuat menghadapi segala ucapan mereka.
“Jadi gimana, aku boleh duduk di sini?”
Ana sangat bingung, ia tidak mau cewek itu menjadi korban. Tapi di sisi
lain, ia tidak enak untuk memintanta pindah.
“Mendingan pindah aja ya,” balas Ana dengan tatapan memelas.
Bulan terdiam, ia yakin ada sesuatu yang disembunyikan oleh Ana. Terlihat
dari cara bicaranya yang sangat gugup, seperti sedang menyembunyikan
sesuatu.
Brakkk
Pintu terbuka dengan kencang, mungkin Ana dan murid lainnya sudah
biasa dengan suara pintu itu. Berbeda dengan Bulan yang sangat kaget.
2 orang yang cewek dan 3 orang cowok masuk kelas. Semua murid diam
saat melihat kedatangan mereka.
Siapa lagi kalau bukan Alister dan teman-temannya.
Mereka langsung menyimpan tas mereka di bangku paling belakang di
pojok kiri. Sementara Alister, ia terdiam di samping Ana, di bangku paling
depan dengan tatapan kesal.
“Lo siapa berani duduk di situ?” Tanya Alister
Kancing atasnya terbuka , bajunya dikelurka, dan juga wajah yang
berantakan membuat Bulan tidak takut sama sekali.
“Gue temenya, Ana. Gue murid baru di sini. Kenapa?” Tanya Bulan sedikit
menantang.
“Woah, murid baru udah berani,” balas Tasya sambil bertepuk tangan.
Teman-teman Alister mulai menatap Bulan tidak suka, cewek itu membuat
mereka kesal.
“Udah. Udah. Bulan, plis pindah tempat duduknya ya. . .” ucap Ana
memohon.
“Tapi. . .”
“Bulan plis. . .”
Ana terus memohon pada Bulan, sementara Genk Alister hanya tertawa
melihatnya. Mereka tidak suka ada seorangpun yang dekat dengan Ana.
Terutama Tasya dan Alana, mereka berdua sangat tidak menyukai jika ada
siapapun yang dekat dengan Ana. Mereka yakin mereka berdua lah cewek
paling cantik di sekolah, bukan Anastasia Mysha.
“Kerjain pr gue, buruan!” ucap Alister sambil memberikan bukunya.
“Ini waktunya buat upacara, bukan buat ngerjain pr!” ucap Bulan tiba-tiba
membuat seisi ruangan kaget.
Sudah cukup, kesabaran Alister habis. Anak baru ini benar-benar
membuatnya kehilangan kesabaran. Alister langsung menatapnya tajam
dan menggebrakkan meja.
“Lo murid baru, berani lo ngelawan sama gue? Lo gak tau gue siapa?”
bentak Alister.
Genk Alister tersenyum, itulah yang mereka harapkan dari tadi, melihat
Alister marah kepapda cewek sok berani itu.
“Bukan urusannya gue lo siapa,” ucap Bulan.
Ia memegang tangan Ana lalu tersenyum manis.
“Buka jaketnya, kita ke lapangan sekarang.”
Ana langsung membuka jaketnya dan membawa topi di dalam tasnya. Baru
kali ini ada yang mau membelanya di depan kelas.
Wajahnya masih terlihat kaget. Jantungnya terus berdebar tak karuan.
Bulan, siapakan dia sebenarnya?
“Eh lo songong banget jadi murid baru, cantik nggak, pinter nggak, mulut
doang yang pinter!” bentak Alana yang tidak terima Alister direndahkan
seperti itu.
Bukan Cuma Ana yang kaget, semua murid yang ada di kelas sama kagetnya
dengan dia.
“Jijik bet gue litany, Al,” batas Tasya sambil melipat kedua tangannya
dengan sombong.
“Ayo kita ke lapangan,” ajak Bulan pada Ana sekali lagi.
Ana mengangguk, ia langsung mengikuti Bulan lalu keluar kelas.
“Huuuuuu. . .” Genk Alister menyoraki kepergian dua cewek itu.
Sementara Alister mengeratkan tangannya, kesal. Tidak boleh ada yang
membela Ana.
Saat itu, ketua OSIS yang sok jago itu membela Ana mati-matian, dan pada
akhirnya Alister menghajarnya sampai babak belur.
Haruskah ia melakukannya pada murid baru itu?
Sepertinya tidak.
Kedua teman ceweknta lah yang akan semangat melakukan hal itu. Tasya
dan Alana. Ia yakin baik Bulan maupun Ana tidak ada yang akan selamat
dari mereka.
Tunggu saja pulang sekolah nanti.
Marah
Setelah upacara, seluruh siswa berhamburan ke segala arah. Ada yang
menuju blok IPA, blok IPS, ataupun ke kantin untuk sekedar membeli
minuman.
Ana pergi menuju kelasnya bersama Bulan, entah bagaimana Bulan mau
menjadi temannya. Seperti hujan yang membasahi gurun, sangat tidak
mungkin.
“Bulan. . .” panggikl Ana pelan
“Hmmm?”
“Kok kamu ga ngomong gue elo sih sama aku?” Tanya Ana polos membuat
Bulan tertawa kecil.
“Aku sih kadang pake gue elo ke siapa aja, tapi. . . ke kamu kok beda ya, aku
juga gak tau kenapa.”
Ana mengangguk tanda mengerti, kemudian saat mereka sudah sampai di
pintu kelasnya, ia mengernyitkan keningnya pada bangkunya yang berada
di paling depan.
Banyak sekali tipe-x yang ada di mejanya, padahal sudah jelas kalau
peraturan di sekolah melarang semua murid untuk tidak mencoret-coret
fasilitas sekolah.
Mereka menatap meja tersebut, di sana bertulis.
Ana dan Alister.
Aku cinta mati sama Alister.
Alister segalanya buat aku tapi Alister nolak aku beberapa kali.
Ana melotot melihat tulisan itu, cewek itu berani bersumpah kalau ia tidak
pernah menulis hal tersebut.
Apalagi menulis kalau ia mencintai Alister dan berkata kasar seperti itu.
Dan ia berani bertaruh kalau mejanya tadi pagi masih bersih tak bernoda
sama sekali.
Ada apa ini?
Biasanya ia bisa bersabar dan sedikit melawan pada Genk Alister. Tapi kali
ini, ia sudah tidak bisa menahan gejolak amarah yang ada di hatinya.
“Wow, liat tuh. Ternyata Ana suka sama Alister!” teriak Tasya di balik pintu
dengan tawa yang dahsyat.
“Diem-diem suka juga dia, dasar cewek genit!” balas Alana.
Mereka berdua terus tertawa dengan lantang membuat semua orang
menoleh ke arah Ana.
“Huuuuu, kacian yang ditolak mulu sama Alister. Lagian lo harus tahu ya,
tipe cewek Alister tuh bukan kaya lo!” ucap Tasya.
“Ga nyadar diri lo, gak punya kaca ya?!”
Semburat senyuman terpancar dari bibirnya, ia ingin marah tapi mungkin
hanya membuang-buang waktu saja. Dan pada akhirnya selalu seperti ini.
Ia terus tersenyum dan tersenyum lagi.
Ia selalu ingat apa yang dikatakan oleh mamanya.
Jangan membalas api dengan api, kamu harus membalasnya dengan air,
agar api itu kalah. Karena kalau kamu membalasnya dengan api lagi, maka
api itu akan semakin besar.
Hembuskan napas keluar dari bibirnya, menahan setiap emosi yang
bergejolak dan menutupinya dengan senyuman.
“Ana, jangan diem aja dong!” ucap Bulan tidak mau kalah.
“Santai aja ko, lagian kalo bu guru nanyain juga gak mungkin percaya.”
“Maksudnya?”
“Kalo aku ditolak sama Alister, ga mungkin juga kan ngaku apalagi sampe
nulis di meja. Malu-maluin aja,” balas Ana dengan santai membuat Bulan
tersenyum puas.
“Bagus! Untung aja kau sebangku sama kamu. Kita liat aja siapa yang
menang oke?”
Bulan mengedipkan satu matanya ke arah Ana, menbuat Ana tertawa kecil.
Bernarkah Ana tertawa? Biasanya ia hanya tersenyum tanpa
memperlihatkan gigi putihnya tapi kali ini ia tertawa.
Semuan orang tercengang termasuk Tasya dan Alana, dengan wajah
masam, mereka langsung duduk di bangku mereka.
Bu Ai pun masuk, ia adalah wali kelas dari 12 IPS 3. Dan ia langsung
tersenyum kea rah Bulan karena tahu ia adalah murid baru di kelas.
Selang beberapa detik Alister dan dua temannya lagi masuk ke kelas,
mereka langsung duduk di samping Tasya dan Alana.
“Ada murid baru ya, ayo kedepan kita perkenalan dulu,” ucap Bu Ai.
Bulan dengan percaya diri maju ke depan, ia tersenyum ke semua orang
lalu berkata.
“Aku Bulan Alexa. Panggil aja aku Bulan. Aku dulu sekolah di Jakarta utara.
Alasan aku pindah ke bandung karena pekerjaan Ayah dipindahkan ke sini
sebagai kepala sekolah baru di SMA ini.”
Mereka semua menganga mendengarnya, pantas saja Bulan yang murid
baru sama sekali tidak takut dengan Genk Alister, ternyata ia adalah anak
dari kepala sekolah yang baru.
Ini sebuah ancaman baru bagi mereka, apalagi ia tiba-tiba saja dekat
dengan Ana.
“Nah sekarang, kamu boleh pilih tempat duduk, Bulan. Cari tempat yang
masih kosong.”
Tanpa ragu, ia berkata. “Di depan Bu, bareng Ana.”
Bu Ai tersenyum lalu mempersilahkan cewek pemberani itu untuk duduk.
Tapi sebelum duduk Bulan kembali berkata.
“Tapi Bu, bangku Ana kotor. Ada yang corat-coret bangkunya.”
Bagai tersengat lebah, Tasya dan Alana merasa tersindir atas perkataan
Bulan.
Bu Ai lansung melihat tulisan yang ada di meja tersebut, ia
menghembuskan napas kasar lalu beralih menatap Alister dengan tajam.
“Alister Reygan, pulang sekolah bersihin kelas ini sendirian selama satu
minggu. Hapus juga tulisan ini dan tiap tugas yang ibu kasih kamu yang
maju ke depan!” bentak Bu Ai.
Apa? Satu Minggu?
Kenapa Cowok itu?
Alister sama sekali tidak melakukan apapun, bahkan ia juga tidak tahu apa
yang ditulis di bangku Ana.
“Loh Bu, ko gitu sih!”
“Jangan ngebantah!”
Alister mengepalkan tangannya kesal, sepertinya kali ini ia harus pasrah
dengan hukuman tersebut. Mungkin dengan hukuman membersihkan kelas
sendirian itu bukan masalah, tapi tugas?
Bu Ai adalah guru matematika.
Ia masuk jurusan IPS karena ingin memusnahkan matematika dari dunia
ini, tapi ternyata ia salah, masih saja ada celah matematika untuk terus
menghantui hidupnya.
Ia berdecak kesal seraya memicingkan matanya kepada guru menyebalkan
itu.
“Siapa takut!” jawab Alister dengan santai.
***
Sepulang sekolah,ada perasaan yang mengganjal di hati Ana, terlebih
terlihat dari ekspresi Alister kalau ia tidak melakukan hal itu.
Di balik semua tulisan itu, ia tahu kalau Tasya dan Alana yang menulisnya
bukan Alister.
Bulan sudah pamit pulang bersama ayahnya, entah dia menunggu di ruang
kepala sekolah atau lansung pulang, ia tidak tahu. Yang pasti kini, ia sedang
berada di gerbang.
Satu hal yang dilakukan Ana, cewek itu malah berbalik menuju kelasnya.
Dan ia tahu resiko yang akan ia terima.
“Biar aku yang sapuin sama pel, kamu yang angkatin bangku,” ucap Ana
membuat Alister tersentak kaget.
“Ngapain lo di sini, sana pulang!” balas Alister.
Untuk apa Ana kemari? Sementara teman-temannya yang lain malah
meninggalkannya. Menyebalkan sekali.
Kenapa harus Ana si kutu buku dengan segala keculunannya?
Jaket pink? Buku pink? Semua berwarna pink seperti bocah TK.
“Aku tau bukan kamu yang nulis,” balas Ana
“Terus lo mau pura-pura baik depan gue?”
“Enggak juga.”
“Gue gak peduli, mendingan lo yang beresin ini semua dan gue pulang
sekarang juga!” Alister berkata dengan keras, juga tatapan yang penuh
dengan kebencian ia pancarkan kepada Ana.
Tapi bukannya takut Ana malah tersenyum dan menjawab.
“Oke,” ucap Ana lalu mengangkat bangku satu-satu.
Alister terkejut, tapi persekian detik ia langsung menghilangkan ekspresi
terkejutnya.
Tanpa ragu, cowok itu meninggalkan Ana begitu saja sendirian di kelas.
Kenapa cewek itu gak pernah marah? Tanya Alister dalam hatinya.
Kemudian, ia menjalankan mobilnya yang ia simpen di luar sekolah menuju
tempat tongkrongan nya.
“Eh bro, cepet banget, udah beres lagi?” Tanya Andra. Sementara Iqbal
terus menatap bokong cewek yang ada di depannya.
“Si Ana yang beresin.” Balas Alister santai.
“Bagus, biar tau rasa tuh bocah!” ucap Tasya sambil berkacak pinggang.
Entah kenapa ada sedikit rasa tidak tega terbesit dalam benaknya, teman-
temannya yang melakukan kesalahan, cewek itu yang lagi-lagi kena.
Alister terdiam, tidak biasanya ia seperti itu. Tidak, bagaimanapun karena
cewek itu ia di hukum.
Anastasia Mysha.
Dia Lagi
Beres. Ana menghela napas sejenak, tangan mungilnya terasa pegal karena
membereskan kelas sendirian. Tapi tidak apa, ia bisa bernapas lega kali ini.
Ana langsung keluar kelas, ia berjalan menuju gerbang. Saat ini ia tidak
mau langsung pulang ke rumahnya, ia menaiki bus kota.
Tapi setelah itu bus kota berhenti, ia mendapatkan Alister naik bus.
Benarkah itu Alister? Sekali lagi, ia berusaha tidak peduli. Ia tidak mau ada
keributan di bus.
Tapi. . . Kemana mobil Alister? Semua orang pasti tahu kalau cowok itu
selalu membawa mobil.
Tiba-tiba seseorang duduk di samping Ana, dia yakin itu Alister, cewek itu
terus mengalihkan pandangannya pada jendela, melihat mobil yang lalu
lalang di kota ini.
“Lo pura-pura gak tau ya gue ada di sini?” Tanya cowok itu.
Ana jelas sudah mengetahui suara itu, siapa lagi kalau bukan Alister
Reygan. Perlahan wajahnya menatap Alister.
“Iya,” jawab Ana singkat padat dan jelas.
“Ngapain lo pura-pura? Takut ya gue bully di bus?”
“Engga, bully aja gak papa ko.”
“Gue duduk di sini bukan gue yang mau ya, inget! Gue duduk di sini gara-
gara tempat duduknya penuh!” balas Alister yang di hiraukan oleh Ana.
Alister menatap Ana tajam, karena Ana hanya terdiam dan membuang
muka darinya. Jangan-jangan ia menertawakannya karena tidak memakai
mobil.
“Lo mau bully gue kan, gara-gara gue nggak pake mobil?” Tanya Alister
menbuat Ana menggelengkan kepalanya.
Sungguh, entah kenapa Ana ingin tertawa mendengar Alister berkata
seperti itu.
Sedikitpun tidak terbesit dalam benak nya untuk mem-bully Alister.
“Banyak ko siswa yang nggak bawa mobil, itu bagus. Mereka taat aturan.
Buat apa nge-bully orang yang taat aturan, terus. . .”
Alister mengangkat alisnya, ia penasaran dengan kata-kata yang akan
diucapkan cewek ini.
“Aku gak mau nyakitin perasaan orang lain, karena aku tahu sakitnya kaya
gimana.”
Alister terdiam, ucapan Ana barusan sepertinya ditunjukkan untuknya. Apa
Anastasia Mysha baru saja menyindirnya? Menyebalkan.
Dan tidak seperti biasanya. Alister kali ini terdiam tidak berkutik dan tidak
membentaknya sama sekali.
“Cukup aku aja yang sakit, orang lain gak usah iku-ikuan sakit juga.”
Alister menatap Ana, cewek itu kini tengah tersenyum sambil menatap
jalanan dan kembali menyingkirnya wajahnya dari tatapannya.
“Lo ngomong apa sih?” Tanya Alister.
Saat itu juga Ana kembali menatap Alister, mata cokelatnya kini menatap
cowok itu dengan senyuman indah dari bibirnya.
“Ngomongin kamu.”
Deg
Benarkan, Ana menyindirnya.
Tapi tiba-tiba Ana berdiri, hendak turun dari bus itu. Alister langsung
menatap jalan, tunggu. Ini bukan perumahan ataupun jalan ramai. Lebih
tepatnya ini seperti. . . hutan?
“Lo mau ke mana?” Tanya Alister.
Ana tidak menjawab, bukan urusan Alister juga untuk mengetahui Kemana
ia akan pergi. Dan kenapa juga ia tiba-tiba jadi ingin tahu?
“Woy! Gue belum bully lo sama sekali, ngapain lo turun di sini?”
Ana tidak menjawab lagi dan lagi, ia langsung turun dari bus tersebut.
Sementara Alister tidak bisa memalingkan pandangannya pada cewek itu.
Apa lagi saat Ana masuk ke dalam hutan itu. Membuat Alister terkejut,
tidak mungkin rumahnya berada di sana kan?
Cowok itu tiba-tiba berdiri, tapi tak lama ia sadar. Apa yang akan ia
lakukan? Mengikuti cewek cupu itu? Tidak. Ini bukanlah perilaku seorang
Alister Reygan.
Ia kembali duduk, untuk apa juga ia memikirkan cewek itu? Tidak berguna
sama sekali.
Lima belas menit kemudian, Alister sampai di rumahnya menggunakan bus
tersebut, seperti hari-hari kemarin, hanya ada bibi di rumahnya. Baik
Mama ataupun Papanya tidak pernah ada saat ia pulang sekolah.
Entahlah, ia teringat dengan tugas yang diberikan Bu Ai. Besok bukankah
pelajarannya lagi? Sebagai wali kelas juga guru BK dan Matematika, Bu Ai
masuk seminggu tiga kali. Itu artinya ia akan di hukum tiga kali untuk mau
ke depan.
Sepertinya besok akan menjadi hari tersialnya sepanjang masa.
***
Keesokan harinya, alarm berbunyi jam 05.00 dari ponsel Alister, setengah
sadar Alister mematikan alarmnya lalu tidur kembali.
Jam 05.10 alarm berbunyi kembali, dan lagi Alister mematikan alarmnya
lagi. Begitupun seterusnya. Jam 05.15, jam 05.20 dan berakhir jam 05.30.
Saat ia menatap ponselnya, ia berbicara dalam hati. ‘Masih ada waktu 30
menit lagi.’
Ia kembali tertidur pulas sampai tiba-tiba saja ia dibangunkan oleh alarm
sejati.
“ALISTER BANGUN! UDAH JAM 7 CEPETAN!” ucap Marni ibu Alister.
Alister terlonjak kaget, dan saat ia bangun lalu menatap jam di ponselnya
ternyata baru jam 6 pagi, menyebalkan!
Ia mengacak-acak rambu frustasi
“Argh! Mamaaa!” teriak Alister.
Sudah tidak bisa tidur kembali, ia langsung mengambil handuk lalu mandi
menggunakan air hangat.
Setelah siap, ia menuruni anak tangga dan di sambut oleh Mama dan
Papanya yang sedang sarapan. Mereka terlihat rapi, mereka sudah siap
untuk bergelut dengan pekerjaan mereka masing-masing.
“Hmmm,” gumam Alister yang melihat pemandangan itu setiap hari.
“Makan dulu sayang,” ucap Marni sambil tersenyum manis saat melihat
anaknya sudah siap.
“Males, nanti aja deh.”
Tiba-tiba suara bariton itu mulai memancing keributan dengan Alister.
“Ke mana mobil? Bukannya kemarin kamu bawa mobil ke sekolah?” Tanya
Budi kesal karena melihat mobil anaknya tidak ada.
Alister tidak menjawab, ia langsung meminum segelas susu dan
meninggalkan papanya.
“Jawab Papa, Alister!”
“Alister, jangan bikin kita khawatir,” ucap Marni karena takut terjadi
keributan antara mereka.
“Urusin aja pekerjaan kalian, ga usah sok khawatir!”
Bugh
Alister membanting pintu dengan keras dan langsung pergi berangkat
sekolah. Budi dan Marni terlonjak kaget.
“Pa, kenapa Alister jadi kaya gini?” ucap Marni kecewa.
Budi menggelengkan kepalanya. “Papa bingung harus gimana lagi, Ma. Apa
lagi buat misahin Alister dari temen-temennya yang nggak bener.”
Sesikit kesal memang, lebih baik ia berangkat sekolah dari pada berdebat
panjang dengan Papanya.
Tadi malam, ia tidak keluar, lebih tepatnya ia bermain mobile legend di
kamarnya sampai larut, karena mobilnya tidak ada.
Jadi saat di bus sekolah ia sangat ngantuk dan tidak bisa menahan matanya.
Di sisi lain, Ana kesiangan. Ia lari sekencang mungkin agar tidak tertinggal
bus sekolah ronde kedua.
Tapi saat ia naik, cewek itu melihat Alister sedang tidur sambil memakai
headset di telinganya.
Alister? Lagi?
Suatu Hari Nanti
Ana menangis, tetesan air mata mulai turun membasahi pipinya. Ia tidak
bisa menahan air matanya lagi.
“Pake nangis lagi!”
Tiba-tiba cowok tampan dengan baju acak-acakan itu menghampiri mereka
lalu berkata.
“Tasya, Alana. Berhenti! Biar gue yang urus bocah ini, mending kalian
pulang aja!” ucap Alister.
Ana mendongak sambil menatap pilu kepada Alister, akankah cowok itu
menyakitinya lebih dari ini? Sepertinya ia harus menguatkan mental kuat-
kuat.
Terlebih saat melihat Tasya dan Alana tersenyum penuh kemenangan,
seolah pertanda akan terjadi sesuatu yang lebih buruk kepadanya.
“Oke kita pulang, Rey.”
Tapi sebelum pulang Tasya dan Alana saling menatap, seolah pertanda agar
salah satu dari mereka berani berbicara kepada Rey, akhirnya Tasya
memberanikan diri untuk berbicara.
“Rey, mo-mobil lo masih kita pinjem nggak papa kan?”
Rey menaikkan kedua alisnya bingung, jika mereka berdua bukan
sahabatnya, ia malas sekali untuk meminjamkan mobilnya.
Tapi cowok itu terlalu pusing mendengar ocehan mereka, Alister tidak
ingin ambil pusing. Entah dipakai untuk apa mobilnya yang jelas, apapun
akan ia berikan untuk sahabatnya.
“Soalnya nanti malem gue-“
“pake aja, nggak papa.”
Tasya dan Alana tersenyum senang, mereka saling bersorak riang karena
Rey mau meminjamkan mobilnya, lagi.
“Thanks, Rey.”
“Selamat bersenang-senang sama si cewek cupu itu!” Mereka berdua
tertawa gembira, entah memiliki dendam apa, tapi dimata mereka Ana
tidak pernah benar, apapun yang ia lakukan selalu bersalah.
“Kecentilan, dasar ulet bulu!” ucap Bulan.
“Kalian piker ini lucu apa, gue laporin sama bokap gue tau rasa tuh!”
tambah Bulan kesal, ia gemas, ia ingin melaporkan ini semua, mulutnya
sudah tak tahan.
Baru sehari ia masuk di sekolah ini sudah bagai neraka untuk Ana,
bagaimana ia bisa sabar selama bertahun-tahun?
“Gue beresin kelas dulu,” ucap Alister santai.
“Terus abis beresin kelas, lo mau bully dia lagi?” balas Bulan sambil
memeluk Ana.
“Mendingan lo balik sana!”
“Gue nggak bakal ninggalin Ana!”
“Lo nggak tau siapa gue?” Tanya Alister dengan memasang wajah penuh
amarah, melihat wajahnya yang seperti itu, Bulan mundur beberapa
langkah dari Alister agar sedikit menjauh dari cowok itu.
“Udah. Udah. Bulan, mending kamu pulang aja nanti Papa kamu nanyain,”
lerai Ana agar tak terjadi perselisihan yang lebih rumit.
“Tapi. . .”
Ana tahun Bulan akan menolaknya, tapi dengan senyuman dan wajah yang
penuh keberanian, Ana berhasil meyakinkan Bulan agar meninggalkannya
di kelas ini.
“Plis, aku minta kamu nggak nolak permintaan aku.”
“Oke, aku pulang. Tapi kalo dia macem-macem bilang sama aku ya.”
Ana mengangguk, dengan langkah yang berat Bulan meninggalkan mereka
berdua di kelas, sebelum ia pergi ia menatap Alister tajam.
“Awas lo!” ucap Bulan pada Alister.
Bulan pun pergi, sementara Alister mengabaikan kepergiannya. Cowok itu
beralih menatap Ana yang tengah berdiri di hadapannya.
“Em-gue mau,” ucap Alister terbata-bata
“Gue mau. . .”
“Minta tolong buat bersihin kelas?” potong Ana
Ana bingung melihat sikap cowok itu yang tiba-tiba gelagapan tanpa sebab.
Sebaliknya, Alister bingung kenapa Ana tidak pernah marah padanya,
padahal ia sangat sering menyakiti Ana.
Alister terdiam, sebenarnya ia ingin minta maaf karena sudah mendorong
Ana sampai berdarah seperti itu. Cowok itu sadar kalau dia sangat jahat,
tapi tidak sampai dengan fisik seper itu, apa lagi sampai berdarah.
“Ya udah, ayo aku bantuin.”
Saat Ana mau mengangkat bangku, Rey langsung menghentikannya.
“Tunggu!”
Ana menatap Rey bingung.
“Biar gue aja yang angkat bangku, lo yang sapuin.”
Jadi. . . Kali ini mereka mau bekerja sama? Dan ada anugerah apa sampai
Alister mau membantunya.
Apa hanya karena kasihan? Ana dapat melihat dari mata Alister kalau ia
melakukan itu hanya semata-mata karena kasihan kepadanya.
Tapi. . . Tidak apa, ini lebih baik dari pada sebelumnya.
Mereka pun selesai membereskan kelas, mereka membereskan kelas
penuh dengan keheningan, tidak seperti biasanya. Alister cerewet tiba-tiba
saja menghilang beberapa jam yang lalu.
Kini mereka sedang duduk di bus sekolah, Ana hanya menatap jalanan kota
yang sangat ramai sementara Alister gugup setengah mati.
“Lo kenapa nggak pernah marah sama gue?” Tanya Alister tiba-tiba.
“Kalau aku lawan kalian, kalian bakal semakin kasar sama aku. Kalo aku
diem kalian nanti bakal capek sendiri.”
“Dan gue nggak pernah capek!”
“Terserah, tapi aku yakin ko suatu hari nanti kamu bakal berenti.” Ana
tersenyum dengan percara diri. Keyakinan dalam hatinya sangat terpancar
dari matanya sampai membuat Rey terdiam.
Tak lama, Rey kembali memalingkan matanya lalu berkata.
“Gue nggak bakal berenti!”
“Oke, nggak papa.” Ana tersenyum, entah kenapa tiap senyuman yang
terpancar dari bibirnya seperti sedang menyembunyikan sesuatu
Apakah ia hanya pura-pura tersenyum?
***
Tengnong. . .
Bel rumah Ana berbunyi beberapa kali, yang memencet bel sangat tidak
sabaran, ia memencet bel beberapa kali sampai membuat telinga Ana
pusing.
Ana membuka pintu, ternyata di hadapannya ada Alister membuat Ana
kaget.
“Ada apa?”
“Bisa keluar dulu sebentar.” Alister menggaruk kepalaya yang tak gatal. Ia
hanya sedikit bingung apa yang akan ia katakana pada Ana.
“Masuk aja,” ucap Ana sambil melebarkan pintu rumahnya, pertanda kalau
ia mengizinkan Alister untuk masuk ke rumahnya.
“Eh. . . Nggak. Nggak. Gue maunya di luar, bukan di dalem.”
Ana mengerutkan keningnya bingung sampai ia menatap tajam Alister
dengan tatapan mencurigakan.
“Mau ngapain?”
“Keluar aja dulu.”
Ana keluar, Alister kemudian berjalan dan meminta Ana untuk mengikuti
langkah kakinya.
“Dari mana kamu tau rumah aku?” Tanya Ana bingung.
“Lo tadi kan turun dari bis depan rumah banget, ya udah gue samperin.
Nggak kaya kemarin. Ngapain coba ke hutan sendirian.”
Ana terdiam, sekali lagi dalam hatinya ia berkata. Bukan urusan Alister
untuk tahu kenapa ia pergi ke hutan tersebut.
Alister hanya orang lain.
Lebih tepatnya, orang yang selalu menyakitinya.
“Oh.”
“Sini duduk,” ucap Alister pada Ana sambil menunjuk ke sebuah kursi
putih yang menghiasi taman tersebut.
“Ngapain?” Tanya Ana.
“Nggak usah banyak Tanya!”
Ana mengehla napas, ia hanya bisa mengikuti apa yang diucapkan oleh
Alister. Ana pun duduk di kursi putih itu, sementara Alister jongkok lalu
membersihkan luka yang ada di kaki Ana dengan air.
“Kamu ngapain?”
“Punya mata nggak? Ya obtain luka lo lah!”
Ana mendengus kesal, Alister terus berkata dengan nada tinggi. Mungkin
itu kebiasaannya, tapi mengobati lukanya? Ini sama sekali bukan Alister!
Tangannya perlahan memberikan obat merah pada luka Ana dan
membalutnya dengan perban.
“Gue. . .”
“Gue. . . mau mi-minta maaf, Ana.”
Jangan Ganggu Dia!
“Gue. . . mau mi-minta maaf, Ana.”
Manik matanya membulat penuh saat mendengar kata ‘maaf’ dari Alister,
seperti ada sesuatu yang meremas hatinya. Perlahan matanya yang
menatap lukanya kini beralih menatap Alister.
“Ke-kenapa?” Tanya Ana tak percaya
Benar, apakah kali ini ia bermimpi kalau cowok itu tengah meminta maaf
padanya? Bukankah sejak dulu memang tidak ada yang peduli padanya?
Setengah dari hatinya tidak percaya kalau Alister sedang meminta maaf.
Tapi. . . Setengah hatinya lagi merasa terenyuh, apa lagi dengan
kesungguhan yang terlihat dari tatapan Alister, begitu menggertakan
hatinya.
“Gue minta maaf, Ana. Kok malah nanya kenapa. Lo pasti tau kan salah gue
di mana?”
“Kenapa? Bukannya dari dulu aku emang kaya gini terus?”
“Aku nggak tau salah aku apa sama kalian, aku juga nggak tau kenapa
kalian terus nyakitin aku hiks.”
Ana tidak kuat lagi, jika mengingat mereka yang selalu menyakitinya. Ya,
Ana menangis, perlahan air matanya turun membasahi pipinya.
Alister merunduk dihadapan Ana seperti orang yang sedang berlutut,
dengan semilir angin meniup setiap tetesan air matanya yang keluar.
“Aku pengen marah, aku pengen teriak sekencang mungkin. Tapi kalian
terus cengkram aku kuat, kalian terus dorong aku, sampai aku jatuh dan
aku akhirnya nggak bisa ngapa-ngapain selain senyum.”
“Ana, gue beneran minta maaf. Gue tau ini keterlaluan apa lagi sampe bikin
lo berdarah kaya gini.”
Alister mengeratkan tangannya, menatap Ana dengan tatapan yang belum
pernah Ana lihat sebelumnya, yaitu tatapan menyesel.
“Gue emang jahat. Tapi sejahat-jahatnya gue sama lo, gue nggak maku lo
terluka kaya gini. Gue juga masih punya hati. Dan lo harus tau, semua yang
gue omongin ini serius!”
Oke, kali ini Ana tidak boleh menangus. Bagaimanapun ia harus kuat. Kali
ini, Ana menyeka air matanya lalu tersenyum manis pada cowok itu.
Cowok yang selalu menyakitinya.
Deg
Entah kenapa hati Alister sedikit bergetar saat melihat Ana tersenyum. Ya,
perlu cowok itu akui kalau Ana memang cantik, apa lagi saat Ana
tersenyum. Mungkin hanya penampilannya saja yang cupu dan serba pink
seperti anak kecil.
Tapi. . . Baru kali ini Alister bertemu dengan cewek sekuat dan setegar Ana.
Cewek itu selalu tersenyum dan terus tersenyum.
“Alister, aku. . .” ucap Ana terpotong karena tiba-tiba Diana memanggilnya.
“Ana. . . Ayo makan dulu!” ajak Diana sambil menghampiri mereka berdua.
Alister langsung berdiri lalu beralih dari tempatnya. Tatapan Diana yang
dingin begitu membuatnya merinding, terlebih saat Diana menarik Ana
untuk menjauh darinya. Seperti tidak suka dengan kehadiran Alister di sini.
“Mama, tumben nyusul aku keluar,” ucap Ana sambil tersenyum, sementara
Diana terus menatap Alister dengan tatapan tidak suka.
“Kamu juga tumben di luar lama,” balas Diana sambil mengeratkan
pegangan tangannya pada Ana.
“Em. . . Tante.”
Alister berusaha menyapanya, mencairkan suasana yang begitu mencekam
akibat tatapan Diana terhadapnya. Cowok itu dibuat bingung, apa yang
harus ia lakukan? Bahkan Diana tak menggubrisnya sama sekali.
“Ana, coba liat ke dapur, Mama lupa matiin kompor,” ucap Diana.
Ana mengangguk, cewek itu tidak berkata apa-apa selain pergi
meninggalkan mereka berdua.
Tinggalah Alister ysng terdiam seperti patung, tangannya tidak bisa diam,
ia sangat gelisah ditinggal dengan Diana.
“Tempat ini sederhana, tempat ini sepi, tempat ini penuh cinta dan
kedamaian. Jadi tolong, jangan ganggu anak saya!”
Tanpa perlu dijelaskan dengan kata-kata seperti itupun cowok itu sudah
tahu kalau Diana memang tidak suka kepadanya.
Alister hanya memalingkan wajahnya, pura-pura tidak mendengar ucapan
Diana.
“Saya ke sini nggak ganggu Ana ko, saya ke sini mau-“
“Mau ada urusan apapun, kamu gak bakal pernah diterima di sini. Jadi
sekali lagi saya bilang sama kamu, tolong jauhin Ana!”
Mata Diana berkaca-kaca, bagaimanapunia sangat tahu siapa Alister. Anak
dari Budi dan Marni yang sangat terkenal kenakalannya.
Diana sangat kaget saat melihat Alister dateng, ia sangat takut kalau Ana
disakiti oleh cowok aneh seperti Alister.
Sangat tidak pantas!
“Udah sore, mending kamu pulang, Alister. Tempat ini gak pantes buat
kamu!”
Alister menghela napas, semua orang selalu mengusirnya padahal ia tidak
melakukn apapun.
Seburuh itukah sosok Alister di mata mereka?
‘Ya dari dulu gue emang buruk . dan seterusnya kaya gini, gak bakal ada
yang berubah’ ucap Alister dalam hati.
“Oke,” balas Alister ia langsung pulang tanpa mengucapkan sepatah
katapun pada Ana.
Sementara Ana setelah mematikan kompor, ia sudah menyediakan minum
terlebih dahulu. Bukankah tidak baik jika seorang tamu dibiarkan begitu
saja?
Ana membawa minuman untuk Alister tapi saat Ana membuka pintu
rumahnya, yang cewek itu dapatkan adalah Alister yang pergi
meninggalkan rumahnya.
Manik cokelatnya dapat melihat dengan jelas punggung Alister yang
menjauh darinya, lagi dan lagi.
Pemandangan seperti ini terus terulang.
Ana tersenyum tipis, ia sangat yakin kalau ibunya sudah mengusir Alister.
Kalau sudah begini apa yang bisa ia lakukan?
Memang seperti inikah takdirnya? Semua orang harus meninggalkannya
dengan satu alasan yang membuat dadanya sesak.
Agar tidak ada yang tersakiti.