91 Penyebab Terjadinya Gout dan Rheumatoid Arthritis 5
92 elalui bab ini, mahasiswa akan dipandu untuk memahami penyebab terjadinya Gout dan Rheumatoid Arthritis (RA), dua kondisi muskuloskeletal yang sering kali memengaruhi kualitas hidup individu secara signifikan. Dalam konteks Gout, mahasiswa akan diajak untuk menjelajahi mekanisme terjadinya hiperurisemia, yaitu penumpukan asam urat dalam darah, dan bagaimana kondisi ini memicu pembentukan kristal asam urat yang kemudian menyebabkan peradangan akut pada sendi dan jaringan lainnya. Sementara itu, dalam pembahasan RA, mereka akan memahami bagaimana gangguan autoimun menyebabkan sistem kekebalan tubuh menyerang jaringan sinovial, memicu peradangan kronis yang merusak sendi, tulang rawan, dan jaringan lainnya di dalam tubuh. Melalui pemahaman yang mendalam tentang kedua kondisi ini, mahasiswa akan dapat mengidentifikasi perbedaan penyebab, mekanisme patologis, dan implikasi pengelolaan serta perawatan yang tepat bagi pasien yang menderita Gout dan RA (McCleary & Stevens, 2022). A. Faktor Risiko yang Berhubungan dengan Gout Gout adalah penyakit inflamasi kronis yang disebabkan oleh penumpukan asam urat dalam tubuh. Asam urat merupakan produk limbah normal dari metabolisme purin. Ketika kadar asam urat dalam darah tinggi, kristal asam urat dapat terbentuk di sendi dan jaringan lain, menyebabkan peradangan dan rasa sakit yang parah. Beberapa faktor dapat meningkatkan risiko terkena gout, antara lain: 1. Riwayat keluarga Riwayat keluarga adalah faktor risiko utama yang dapat meningkatkan kemungkinan seseorang terkena M
93 gout. Jika seseorang memiliki anggota keluarga, seperti orang tua atau saudara, yang menderita gout, maka risiko untuk mengembangkan kondisi ini akan lebih tinggi. Faktor genetik mungkin berperan dalam peningkatan risiko ini, di mana adanya kecenderungan genetik dalam keluarga dapat membuat individu lebih rentan terhadap penumpukan asam urat yang berujung pada gout. Penelitian menunjukkan bahwa ketika seseorang memiliki riwayat keluarga dengan gout, kemungkinan mereka untuk mengalami kondisi ini bisa dua hingga empat kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan individu tanpa riwayat keluarga yang serupa. Meskipun mekanisme persisnya belum sepenuhnya dipahami, namun adanya faktor genetik dalam keluarga yang meningkatkan kemungkinan terjadinya gout menekankan pentingnya peran genetik dalam kondisi ini. Oleh karena itu, bagi seseorang dengan riwayat keluarga gout, lebih disarankan untuk menjalani gaya hidup sehat, mengelola berat badan, dan memperhatikan pola makan yang seimbang guna mengurangi risiko terjadinya gout. 2. Jenis kelamin Perbedaan risiko antara pria dan wanita dalam terjadinya gout adalah fenomena yang telah lama diamati dalam penelitian medis. Pria memiliki kecenderungan yang lebih tinggi untuk mengalami gout daripada wanita, dan biasanya risiko ini meningkat setelah mencapai usia 40 tahun. Hal ini terutama terkait dengan perbedaan dalam metabolisme asam urat antara kedua jenis kelamin. Pada umumnya, pria memiliki kadar asam urat dalam darah yang lebih tinggi daripada wanita, sehingga meningkatkan kemungkinan terjadinya kristalisasi asam urat yang merupakan ciri khas dari gout.
94 Hormon testosteron, yang secara alami lebih dominan pada pria, juga diyakini memiliki pengaruh terhadap metabolisme asam urat dalam tubuh. Meskipun begitu, bukan berarti wanita sepenuhnya terbebas dari risiko gout. Wanita juga dapat mengalami gout, terutama setelah menopause ketika kadar hormon estrogen menurun. Pada wanita yang mengalami menopause, penurunan hormon estrogen dapat menyebabkan perubahan dalam metabolisme asam urat, yang pada akhirnya dapat meningkatkan risiko terjadinya gout. Selain itu, faktor genetik juga dapat memainkan peran dalam menentukan risiko gout pada wanita. Meskipun risiko gout pada wanita umumnya lebih rendah daripada pria, namun pemahaman tentang perbedaan risiko antara kedua jenis kelamin ini penting dalam pengelolaan gout, terutama dalam mengidentifikasi faktor risiko tambahan yang mungkin memengaruhi prognosis dan pengobatan yang tepat bagi pasien. 3. Usia Usia merupakan faktor penting yang berperan dalam risiko terjadinya gout. Secara umum, risiko gout cenderung meningkat seiring dengan bertambahnya usia seseorang. Hal ini karena, seiring dengan proses penuaan, berbagai perubahan dalam metabolisme tubuh terjadi, termasuk dalam proses pembentukan dan pengeluaran asam urat. Seiring bertambahnya usia, ginjal cenderung menjadi kurang efisien dalam mengeluarkan asam urat dari tubuh, yang kemudian dapat menyebabkan peningkatan kadar asam urat dalam darah. Penumpukan asam urat yang berlebihan ini dapat memicu terjadinya kristalisasi asam urat di dalam sendi, yang merupakan salah satu ciri khas dari gout. Selain itu, gaya hidup yang tidak sehat seperti diet
95 tinggi purin, konsumsi alkohol berlebihan, serta kurangnya aktivitas fisik, yang sering kali terkait dengan penuaan, juga dapat memperburuk kondisi gout pada usia lanjut. Oleh karena itu, penting bagi individu yang telah memasuki usia lanjut untuk memperhatikan pola makan, gaya hidup, dan mengelola berat badan secara efektif guna mengurangi risiko terjadinya gout dan mempertahankan kualitas hidup yang baik di masa tua. 4. Obesitas Obesitas adalah faktor risiko yang signifikan dalam terjadinya gout. Individu yang mengalami obesitas memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengembangkan kondisi ini dibandingkan dengan mereka yang memiliki berat badan normal. Hal ini terkait dengan beberapa mekanisme yang terjadi dalam tubuh orang yang obesitas. Pertama, obesitas sering kali berhubungan dengan peningkatan produksi asam urat dalam tubuh dan penurunan kemampuan ginjal untuk mengeluarkan asam urat melalui urine. Kedua, orang yang obesitas cenderung memiliki tingkat peradangan yang lebih tinggi dalam tubuh, yang dapat memperburuk kondisi gout. Selain itu, obesitas juga dapat menyebabkan peningkatan tekanan pada sendi, terutama sendi yang menopang berat badan seperti lutut dan panggul, sehingga meningkatkan risiko terjadinya peradangan dan kristalisasi asam urat di dalam sendi tersebut. Oleh karena itu, penurunan berat badan dan adopsi gaya hidup sehat, termasuk pola makan yang seimbang dan aktivitas fisik teratur, sangat penting bagi individu yang mengalami obesitas guna mengurangi risiko terkena gout dan menjaga kesehatan sendi mereka.
96 5. Diet Diet berperan penting dalam risiko terjadinya gout, terutama melalui konsumsi makanan tinggi purin. Makanan yang kaya akan purin, seperti daging merah, jeroan, makanan laut, dan kacang-kacangan, dapat meningkatkan produksi asam urat dalam tubuh. Asam urat yang berlebihan ini kemudian dapat mengendap dan membentuk kristal asam urat di dalam sendi, yang merupakan salah satu ciri khas dari gout. Selain itu, alkohol, terutama bir dan minuman beralkohol lainnya, juga dapat meningkatkan risiko terjadinya gout karena alkohol dapat mengganggu metabolisme asam urat dalam tubuh. Di sisi lain, beberapa jenis makanan seperti buah-buahan, sayuran, dan susu rendah lemak diketahui memiliki kandungan purin yang lebih rendah, sehingga dapat membantu mengurangi risiko terjadinya gout. Oleh karena itu, penting bagi individu yang memiliki risiko gout untuk memperhatikan pola makan mereka, dengan mengurangi konsumsi makanan tinggi purin dan meningkatkan asupan makanan rendah purin, guna mengurangi penumpukan asam urat dalam tubuh dan mencegah terjadinya serangan gout yang menyakitkan.. 6. Minuman beralkohol Mengkonsumsi alkohol, terutama bir, dapat meningkatkan risiko terjadinya gout. Alkohol dapat mengganggu metabolisme asam urat dalam tubuh dengan beberapa cara. Pertama, alkohol dapat meningkatkan produksi asam urat dalam tubuh. Selain itu, alkohol juga dapat mengurangi kemampuan ginjal untuk mengeluarkan asam urat melalui urine, sehingga menyebabkan peningkatan kadar
97 asam urat dalam darah. Konsumsi alkohol yang berlebihan juga dapat menyebabkan dehidrasi, yang dapat mempengaruhi kemampuan tubuh untuk mengeluarkan asam urat melalui urine. Secara khusus, bir seringkali diidentifikasi sebagai jenis alkohol yang paling berisiko dalam meningkatkan risiko gout. Ini karena bir mengandung purin, yang merupakan zat yang dapat menghasilkan asam urat ketika dipecah dalam tubuh. Oleh karena itu, bagi individu yang memiliki risiko gout, mengurangi atau menghindari konsumsi alkohol, terutama bir, dapat membantu mengurangi risiko terjadinya serangan gout yang menyakitkan.. 7. Obat-obatan Beberapa obat-obatan, seperti diuretik dan obat penurun tekanan darah, dapat meningkatkan risiko terjadinya gout. Diuretik, atau sering disebut sebagai "pil air," digunakan untuk mengobati kondisi medis seperti hipertensi (tekanan darah tinggi) dan edema (penumpukan cairan dalam tubuh). Diuretik bekerja dengan meningkatkan produksi urine, sehingga membantu mengeluarkan kelebihan cairan dan garam dari tubuh. Namun, diuretik juga dapat meningkatkan kadar asam urat dalam darah dengan mengurangi kemampuan ginjal untuk mengeluarkannya melalui urine. Hal ini dapat meningkatkan risiko terjadinya gout atau memperburuk kondisi bagi mereka yang sudah menderita gout. Selain itu, beberapa obat penurun tekanan darah, seperti beta-blocker dan ACE inhibitor, juga telah diketahui dapat meningkatkan risiko terjadinya gout. Oleh karena itu, penting bagi individu yang mengonsumsi obat-obatan ini untuk konsultasi dengan dokter mereka tentang risiko gout dan cara mengelola kondisi ini secara efektif. Dokter mungkin akan menyesuaikan dosis atau jenis obat
98 untuk meminimalkan risiko terjadinya gout dan memastikan bahwa pengobatan tetap efektif dalam mengelola kondisi medis yang mendasarinya. 8. Penyakit lain Penyakit lain dapat menjadi faktor risiko yang berkontribusi terhadap terjadinya gout. Beberapa kondisi medis yang dapat meningkatkan risiko gout termasuk diabetes, hipertensi, penyakit ginjal, dan psoriasis. Diabetes, khususnya diabetes tipe 2, seringkali terkait dengan kelebihan berat badan dan resistensi insulin, yang dapat meningkatkan kadar asam urat dalam darah. Hipertensi, atau tekanan darah tinggi, juga dikaitkan dengan peningkatan risiko gout karena penggunaan diuretik yang umumnya digunakan dalam pengobatan tekanan darah tinggi. Selain itu, penyakit ginjal, terutama penyakit ginjal kronis, dapat mengganggu kemampuan tubuh untuk mengeluarkan asam urat melalui urine, sehingga meningkatkan risiko penumpukan asam urat dalam darah. Psoriasis, kondisi kulit yang menyebabkan pembentukan plak merah dan bersisik, juga dikaitkan dengan peningkatan risiko gout karena peradangan kronis yang terjadi dalam tubuh dapat memicu produksi asam urat yang lebih tinggi. Oleh karena itu, bagi individu yang menderita kondisi medis yang terkait dengan gout, penting untuk menjaga kesehatan secara menyeluruh, mengelola kondisi medis mereka dengan baik, dan berkonsultasi dengan dokter untuk strategi pengelolaan yang tepat guna mengurangi risiko terjadinya gout. 9. Faktor genetik Faktor genetik memainkan peran penting dalam meningkatkan risiko terjadinya gout. Beberapa studi menunjukkan bahwa sebagian besar individu yang
99 menderita gout memiliki riwayat keluarga dengan kondisi serupa. Artinya, ada kecenderungan genetik yang dapat meningkatkan kemungkinan seseorang mengembangkan gout jika ada riwayat keluarga dengan kondisi ini. Meskipun belum semua gen yang terlibat dalam gout teridentifikasi, beberapa penelitian menunjukkan bahwa varian genetik tertentu, seperti polimorfisme di lokus gen transporter urat dan gen regulator metabolit purin, dapat berperan dalam meningkatkan risiko gout. Namun demikian, faktor genetik tidaklah menjadi satu-satunya penentu risiko gout, karena faktor lingkungan seperti pola makan, gaya hidup, dan kondisi medis lainnya juga dapat mempengaruhi kemungkinan terjadinya kondisi ini. Sehingga, pemahaman tentang faktor genetik yang terlibat dalam gout dapat membantu dalam mengidentifikasi individu yang berisiko tinggi dan merancang strategi pencegahan dan pengelolaan yang tepat untuk mengurangi dampak kondisi ini.. 10. Paparan timbal Paparan timbal merupakan faktor lingkungan yang juga dapat berperan dalam meningkatkan risiko terjadinya gout. Keracunan timbal dapat terjadi melalui paparan jangka panjang terhadap logam berat ini, yang seringkali terjadi di lingkungan kerja atau melalui paparan polusi udara dan tanah yang terkontaminasi. Timbal dapat masuk ke dalam tubuh melalui pernapasan, konsumsi makanan atau air yang terkontaminasi, atau kontak langsung dengan kulit. Ketika timbal masuk ke dalam tubuh, ia dapat mengganggu metabolisme asam urat dengan mengganggu fungsi ginjal atau mengubah proses penguraian asam urat dalam tubuh. Sebagai hasilnya, terjadinya peningkatan kadar asam urat dalam darah dapat meningkatkan risiko terjadinya gout. Selain itu, keracunan timbal juga dapat
100 menyebabkan gangguan sistem saraf, kerusakan ginjal, dan berbagai masalah kesehatan lainnya. Penting untuk meminimalkan paparan timbal melalui langkah-langkah perlindungan di lingkungan kerja dan rumah tangga serta mengidentifikasi dan mengobati kasus keracunan timbal segera untuk mencegah terjadinya komplikasi kesehatan yang lebih serius, termasuk gout. Tidak semua orang dengan faktor risiko ini akan terkena gout. Tingkat keparahan gout tergantung pada beberapa faktor, seperti durasi penyakit, tingkat keparahan serangan gout, dan apakah gout diobati atau tidak. B. Faktor Risiko yang Berhubungan dengan Rheumatoid Arthritis Rheumatoid arthritis (RA) adalah penyakit autoimun kronis yang menyerang sendi dan organ lainnya. Pada RA, sistem kekebalan tubuh menyerang jaringan sinovial, lapisan tipis yang melapisi sendi, menyebabkan peradangan dan kerusakan sendi. Beberapa faktor dapat meningkatkan risiko terkena RA, antara lain: 1. Riwayat keluarga Riwayat keluarga adalah faktor risiko utama dalam mengembangkan rheumatoid arthritis (RA). Memiliki anggota keluarga dengan RA meningkatkan risiko seseorang untuk mengalami kondisi ini secara signifikan. Ini menunjukkan adanya faktor genetik yang berperan dalam perkembangan RA. Studi menunjukkan bahwa individu yang memiliki saudara kandung atau orang tua dengan RA memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengembangkan kondisi ini
101 dibandingkan dengan individu tanpa riwayat keluarga RA. Meskipun tidak semua orang dengan riwayat keluarga RA akan mengembangkan kondisi ini, namun keberadaan riwayat keluarga ini menjadi poin penting dalam evaluasi risiko dan penanganan klinis. Dengan demikian, ketika seseorang memiliki anggota keluarga yang menderita RA, penting untuk melakukan pemantauan yang lebih ketat dan adopsi gaya hidup sehat untuk mengurangi risiko atau memperlambat perkembangan penyakit. Selain itu, pemahaman tentang riwayat keluarga ini dapat membantu dalam konseling genetik dan memberikan wawasan yang lebih baik tentang faktor risiko individu untuk mengembangkan RA. 2. Jenis kelamin Selain riwayat keluarga, jenis kelamin juga menjadi faktor risiko yang signifikan dalam pengembangan rheumatoid arthritis (RA). Wanita memiliki risiko yang lebih tinggi untuk terkena RA daripada pria, dengan rasio kejadian sekitar 2:3. Meskipun alasan pasti di balik perbedaan ini belum sepenuhnya dipahami, namun beberapa penelitian menunjukkan bahwa hormon seks wanita, terutama estrogen, mungkin berperan dalam meningkatkan kerentanan terhadap penyakit autoimun seperti RA. Selain itu, perbedaan dalam sistem kekebalan tubuh antara pria dan wanita juga dapat memainkan peran dalam risiko yang berbeda untuk mengembangkan RA. Oleh karena itu, pemahaman tentang peran jenis kelamin dalam perkembangan RA penting untuk pengelolaan klinis dan pengembangan intervensi yang tepat..
102 3. Usia Usia juga merupakan faktor risiko yang signifikan dalam perkembangan rheumatoid arthritis (RA). Penyakit ini paling sering terjadi pada orang dewasa antara usia 30 dan 60 tahun. Meskipun RA dapat terjadi pada segala rentang usia, prevalensinya cenderung meningkat dengan bertambahnya usia. Penelitian menunjukkan bahwa risiko mengembangkan RA meningkat secara signifikan setelah usia 40 tahun. Hal ini mungkin disebabkan oleh perubahan dalam sistem kekebalan tubuh dan kerusakan struktur sendi yang terjadi seiring dengan proses penuaan. Oleh karena itu, usia merupakan faktor penting yang perlu dipertimbangkan dalam evaluasi risiko dan manajemen RA, terutama dalam pengaturan diagnosis dan pengobatan. 4. Merokok Merokok merupakan faktor risiko utama yang secara signifikan meningkatkan risiko terkena rheumatoid arthritis (RA). Penelitian menunjukkan bahwa merokok dapat meningkatkan risiko RA hingga tiga kali lipat dibandingkan dengan individu yang tidak merokok. Paparan asap rokok mengandung berbagai zat kimia beracun yang dapat memicu reaksi autoimun dan peradangan dalam tubuh, yang pada gilirannya dapat memicu perkembangan RA pada individu yang rentan. Selain itu, merokok juga dikaitkan dengan perburukan gejala RA dan peningkatan risiko komplikasi. Oleh karena itu, menghindari merokok atau berhenti merokok adalah langkah yang penting dalam mencegah perkembangan RA atau mengelola kondisi RA pada mereka yang sudah terdiagnosis. Kesadaran akan dampak negatif merokok pada kesehatan sendi dapat menjadi
103 motivasi tambahan bagi individu untuk mengubah perilaku merokok mereka. 5. Obesitas Obesitas juga merupakan faktor risiko yang signifikan dalam pengembangan rheumatoid arthritis (RA). Individu yang mengalami obesitas memiliki risiko yang lebih tinggi untuk terkena RA disbandingkan dengan individu dengan berat badan yang normal. Hal ini terkait dengan berbagai faktor, termasuk peradangan kronis yang terjadi pada jaringan adiposa (lemak), perubahan dalam komposisi mikrobiota usus, dan peningkatan kadar adipokina (hormon yang diproduksi oleh jaringan adiposa) yang dapat memengaruhi respons imun tubuh. Selain itu, obesitas juga dapat menyebabkan tekanan tambahan pada sendi, khususnya pada sendi yang telah mengalami peradangan akibat RA, yang dapat memperburuk gejala dan menyebabkan kerusakan sendi yang lebih lanjut. Oleh karena itu, pengelolaan berat badan yang sehat dan mengurangi obesitas dapat menjadi strategi penting dalam pencegahan dan manajemen RA. 6. Paparan lingkungan Paparan lingkungan terhadap zat-zat tertentu dapat meningkatkan risiko terkena rheumatoid arthritis (RA). Beberapa zat yang telah dikaitkan dengan peningkatan risiko RA termasuk silika dan asap rokok. Silika, yang sering terdapat dalam debu mineral, dapat menyebabkan peradangan kronis dalam jaringan paru-paru dan sistem kekebalan tubuh, yang pada gilirannya dapat memicu perkembangan RA pada individu yang terpapar. Sementara itu, asap rokok mengandung berbagai zat kimia beracun yang dapat memicu reaksi autoimun
104 dan peradangan dalam tubuh, juga meningkatkan risiko RA. Paparan terhadap zat-zat ini, terutama pada tingkat yang tinggi dan dalam jangka waktu yang lama, dapat menjadi faktor risiko yang signifikan dalam pengembangan RA. Oleh karena itu, mengurangi paparan terhadap zat-zat tersebut melalui langkah-langkah pencegahan dan pengendalian lingkungan dapat menjadi strategi penting dalam mencegah perkembangan RA. 7. Faktor genetik Faktor genetik memainkan peran penting dalam meningkatkan risiko terkena rheumatoid arthritis (RA). Beberapa varian gen tertentu, terutama yang terkait dengan sistem kekebalan tubuh, telah diketahui berhubungan dengan peningkatan risiko RA. Salah satu contohnya adalah gen HLA-DR4 atau HLA-DRB1, yang merupakan bagian dari kelompok gen yang disebut Human Leukocyte Antigen (HLA). Individu yang memiliki varian gen HLA-DR4 atau HLA-DRB1 memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengembangkan RA dibandingkan dengan mereka yang tidak memiliki varian ini. Gen-gen ini berperan dalam mengatur respons kekebalan tubuh terhadap infeksi dan penyakit, dan perubahan atau mutasi dalam gen-gen ini dapat menyebabkan sistem kekebalan tubuh menyerang jaringan sendi, menyebabkan peradangan dan kerusakan yang terkait dengan RA. Namun, penting untuk diingat bahwa memiliki faktor genetik tertentu tidak secara otomatis menyebabkan seseorang mengembangkan RA, karena faktor lingkungan dan gaya hidup juga dapat mempengaruhi perkembangan penyakit ini. Oleh karena itu, pemahaman tentang faktor genetik individu dapat membantu dalam identifikasi individu
105 yang berisiko tinggi untuk RA dan mengarah pada pencegahan atau manajemen dini yang lebih efektif. 8. Infeksi Beberapa infeksi, termasuk virus Epstein-Barr, telah diidentifikasi sebagai faktor lingkungan yang mungkin memicu perkembangan rheumatoid arthritis (RA), terutama pada individu yang memiliki kerentanan genetik. Virus Epstein-Barr adalah virus yang umum dan dapat menyebabkan mononukleosis infeksius, yang merupakan penyakit yang terkait dengan reaksi autoimun dan peradangan dalam tubuh. Studi menunjukkan bahwa paparan terhadap virus Epstein-Barr atau infeksi virus lainnya dapat memicu respons kekebalan tubuh yang berlebihan pada individu yang rentan secara genetik, yang pada gilirannya dapat menyebabkan peradangan pada sendi dan perkembangan RA. Meskipun hubungan antara infeksi virus dan RA masih menjadi subjek penelitian yang aktif, pemahaman tentang peran infeksi dalam perkembangan RA dapat membantu dalam mengidentifikasi faktor risiko tambahan dan merancang strategi pencegahan yang lebih efektif. 9. Ketidakseimbangan hormon Ketidakseimbangan hormon seks, seperti estrogen dan progesteron, telah diidentifikasi sebagai faktor yang mungkin berperan dalam perkembangan rheumatoid arthritis (RA), khususnya pada wanita. Hormon-hormon ini memainkan peran penting dalam regulasi sistem kekebalan tubuh, dan fluktuasi atau ketidakseimbangan hormon tersebut dapat memengaruhi respons kekebalan tubuh terhadap peradangan dan autoimunitas. Studi menunjukkan bahwa kadar estrogen yang rendah atau fluktuasi hormon yang terjadi selama periode seperti kehamil-
106 an, menopause, atau siklus menstruasi dapat meningkatkan risiko RA pada wanita. Meskipun mekanisme pasti di balik hubungan antara hormon seks dan RA masih belum sepenuhnya dipahami, pemahaman tentang peran hormon dalam regulasi sistem kekebalan tubuh dapat membantu dalam pengembangan strategi pencegahan dan manajemen yang lebih efektif, terutama pada populasi wanita yang berisiko tinggi untuk RA. 10. Faktor epigenetik Faktor epigenetik, seperti modifikasi DNA yang tidak mengubah urutan nukleotida, telah menjadi bidang penelitian yang semakin penting dalam memahami perkembangan rheumatoid arthritis (RA). Modifikasi epigenetik, seperti metilasi DNA dan modifikasi histon, dapat memengaruhi aktivitas gen secara langsung, mengatur ekspresi gen tertentu tanpa mengubah urutan DNA. Penelitian telah menunjukkan bahwa perubahan epigenetik ini dapat terjadi sebagai respons terhadap faktor lingkungan, seperti paparan zat-zat beracun atau infeksi, dan dapat meningkatkan risiko seseorang untuk mengembangkan RA. Selain itu, faktor-faktor epigenetik juga dapat mempengaruhi respon terhadap terapi dan progresi penyakit pada individu dengan RA. Meskipun peran faktor epigenetik dalam RA masih terus diteliti lebih lanjut, pemahaman tentang bagaimana modifikasi epigenetik memengaruhi regulasi gen dapat membuka pintu bagi pengembangan strategi pencegahan dan pengobatan yang lebih terarah dan personalisasi bagi individu dengan RA.
107 Rangkuman Faktor risiko yang berhubungan dengan gout meliputi asupan makanan yang kaya akan purin, konsumsi alkohol berlebihan, obesitas, riwayat keluarga, serta penyakit penyerta seperti hipertensi dan diabetes. Di sisi lain, faktor risiko yang berkaitan dengan rheumatoid arthritis (RA) mencakup riwayat keluarga, jenis kelamin perempuan, usia paruh baya, merokok, paparan lingkungan tertentu seperti infeksi virus Epstein-Barr, dan faktor genetik seperti varian gen HLA-DR4 atau HLA-DRB1. Selain itu, fluktuasi hormon seks seperti estrogen dan progesteron, serta faktor epigenetik seperti modifikasi DNA, juga telah diidentifikasi sebagai faktor yang berperan dalam perkembangan RA. Pemahaman mendalam tentang faktor-faktor risiko ini penting untuk diagnosis dini, pencegahan, dan manajemen efektif dari kedua kondisi ini.
108 Evaluasi 1. Apa saja faktor risiko yang berhubungan dengan gout, dan mengapa faktor-faktor ini dianggap sebagai pemicu yang potensial bagi kondisi tersebut? 2. Jelaskan peran riwayat keluarga dalam pengembangan rheumatoid arthritis (RA), dan mengapa faktor ini dianggap sebagai salah satu faktor risiko yang signifikan untuk kondisi tersebut? 3. Bagaimana fluktuasi hormon seks, seperti estrogen dan progesteron, dapat memengaruhi risiko seseorang terkena rheumatoid arthritis (RA)? Jelaskan mekanisme yang mungkin terlibat dalam hubungan ini. 4. Mengapa paparan lingkungan, seperti infeksi virus Epstein-Barr, dipertimbangkan sebagai faktor risiko potensial untuk rheumatoid arthritis (RA)? Bagaimana paparan ini dapat memicu respons autoimun dalam tubuh? 5. Apa yang dimaksud dengan faktor epigenetik dalam konteks perkembangan rheumatoid arthritis (RA), dan bagaimana modifikasi DNA tersebut dapat mempengaruhi regulasi gen yang berkontribusi pada kondisi ini?
109 Obat-obatan dan Terapi Gout dan Rheumatoid Arthritis 6
110 etelah mempelajari bab ini, mahasiswa akan memperoleh pemahaman yang mendalam tentang berbagai jenis obatobatan dan terapi yang digunakan dalam pengelolaan gout dan rheumatoid arthritis (RA). Mereka akan mempelajari konsep farmakologi dasar yang terkait dengan obat-obatan yang digunakan, termasuk NSAID (obat antiinflamasi nonsteroid), yang sering diresepkan untuk meredakan peradangan dan nyeri pada kedua kondisi tersebut. Selain itu, mahasiswa juga akan mempelajari penggunaan obat antiinflamasi biologis, yang merupakan terapi yang menargetkan komponen spesifik dalam sistem kekebalan tubuh untuk mengurangi peradangan pada RA. Selain pengobatan farmakologis, mereka juga akan memahami pentingnya terapi non-farmakologis seperti terapi fisik, yang mencakup latihan dan rehabilitasi untuk meningkatkan mobilitas dan mengurangi rasa sakit. Perubahan gaya hidup juga akan dibahas, termasuk diet dan manajemen berat badan, yang dapat memengaruhi perkembangan dan progresi kedua kondisi tersebut. Dengan pemahaman yang komprehensif tentang berbagai pendekatan pengelolaan yang tersedia, mahasiswa akan siap untuk merencanakan dan memberikan perawatan yang holistik kepada pasien dengan gout dan RA. A. Farmakologi 1. Obat Pereda Nyeri Berikut adalah contoh-contoh obat pereda nyeri yang digunakan dalam pengelolaan gout dan rheumatoid arthritis (RA): a. Colchicine Colchicine digunakan untuk mengobati serangan gout akut dan sebagai terapi profilaksis jangka panjang. Obat ini bekerja dengan menghambat pergerakan sel darah putih dan mengurangi peradangan. Efek samping yang mungkin terjadi S
111 termasuk mual, muntah, dan diare. Dosis dan Interval Pemakaian: o Serangan gout akut: Dosis awal: 1.5 mg per oral, diikuti 0.5 mg setiap 1-2 jam hingga maksimal 6 mg dalam 24 jam. Pasien usia lanjut: Dosis awal 1 mg per oral, diikuti 0.5 mg setiap 2 jam hingga maksimal 3 mg dalam 24 jam. o Terapi profilaksis jangka panjang: Dosis: 0.5 mg per oral sekali sehari atau 0.5 mg per oral 3 kali sehari. Pasien usia lanjut: Dosis awal 0.5 mg per oral sekali sehari, yang dapat ditingkatkan menjadi 0.5 mg per oral 2 kali sehari jika diperlukan. Colchicine memiliki banyak nama paten, termasuk: oColcrys oCol gout oCycolcyst oMiticol oRowatine oZycolcin b. Kortikosteroid Kortikosteroid, seperti prednisone, digunakan untuk meredakan peradangan parah dalam jangka pendek. Meskipun efektif, penggunaan jangka panjang dapat menyebabkan efek samping seperti penambahan berat badan, osteoporosis, diabetes, dan tekanan darah tinggi (FitzGerald et al., 2020). o Dosis: Dosis kortikosteroid untuk gout bervariasi tergantung pada tingkat keparahan peradangan. Biasanya, dokter akan meresepkan dosis awal
112 yang tinggi, yang kemudian diturunkan secara bertahap selama beberapa minggu. o Contoh: Prednisone: 30-60 mg per oral sekali sehari selama 3-10 hari, kemudian diturunkan secara bertahap 5-10 mg per minggu. o Interval Pemakaian: Kortikosteroid hanya boleh digunakan dalam jangka pendek, biasanya tidak lebih dari 10 hari. Penggunaan jangka panjang dapat menyebabkan efek samping yang serius. o Nama Paten: Kortikosteroid memiliki banyak nama paten, termasuk: - Prednisone - Prednisolone - Methylprednisolone - Dexamethasone - Betamethasone 2. Obat Penurun Asam Urat: Obat-obatan yang digunakan untuk menangani gout termasuk allopurinol, febuxostat, dan probenecid: a. Allopurinol Obat ini bekerja dengan menghambat enzim xantin oksidase, yang bertanggung jawab untuk menghasilkan asam urat dalam tubuh. Allopurinol digunakan untuk menurunkan kadar asam urat dalam darah dan mencegah serangan gout. Meskipun efektif, allopurinol dapat menyebabkan efek samping seperti ruam kulit dan pembentukan batu ginjal. o Dosis: Dosis allopurinol untuk gout tergantung pada beberapa faktor, termasuk tingkat keparahan gout, fungsi ginjal, dan obat lain yang Anda konsumsi. Dokter Anda akan menentukan dosis yang tepat untuk Anda.
113 o Contoh: Orang dewasa dengan fungsi ginjal normal: 300 mg per oral sekali sehari. Orang dewasa dengan fungsi ginjal ringan hingga sedang: 100-200 mg per oral sekali sehari. o Orang dewasa dengan fungsi ginjal berat: 100 mg per oral setiap 2-3 hari. Interval Pemakaian: Allopurinol harus diminum setiap hari, bahkan saat Anda tidak mengalami serangan gout. Mungkin perlu beberapa bulan untuk melihat efek penuh dari allopurinol. o Nama Paten: Allopurinol memiliki banyak nama paten, termasuk: - Zyloprim - Alopurinol - Allopur - Purinol - Zyloric b. Febuxostat Seperti allopurinol, febuxostat juga bekerja dengan cara menghambat enzim xantin oksidase. Namun, febuxostat dianggap lebih efektif dan memiliki efek samping yang lebih sedikit dibandingkan allopurinol. Obat ini juga digunakan untuk menurunkan kadar asam urat dalam darah dan mencegah serangan gout. o Dosis: Dosis febuxostat untuk gout tergantung pada beberapa faktor, termasuk tingkat keparahan gout, fungsi ginjal, dan obat lain yang Anda konsumsi. Dokter Anda akan menentukan dosis yang tepat untuk Anda. o Contoh: Orang dewasa dengan fungsi ginjal normal: 40 mg per oral sekali sehari. Orang dewasa dengan fungsi ginjal ringan hingga sedang: 40 mg per oral sekali sehari atau 20 mg
114 per oral dua kali sehari. Orang dewasa dengan fungsi ginjal berat: 20 mg per oral sekali sehari. o Interval Pemakaian: Febuxostat harus diminum setiap hari, bahkan saat Anda tidak mengalami serangan gout. Mungkin perlu beberapa minggu untuk melihat efek penuh dari febuxostat. o Nama Paten: Febuxostat memiliki nama paten Uloric c. Probenecid Obat ini membantu tubuh membuang asam urat melalui ginjal dengan meningkatkan ekskresi asam urat. Digunakan untuk menurunkan kadar asam urat dalam darah dan mencegah serangan gout. Meskipun efektif, probenecid juga dapat menyebabkan efek samping seperti pembentukan batu ginjal dan ruam kulit. o Dosis: Dosis probenecid untuk gout tergantung pada beberapa faktor, termasuk tingkat keparahan gout, fungsi ginjal, dan obat lain yang Anda konsumsi. Dokter Anda akan menentukan dosis yang tepat untuk Anda. o Contoh: Orang dewasa dengan fungsi ginjal normal: 500 mg per oral dua kali sehari. Orang dewasa dengan fungsi ginjal ringan hingga sedang: 500 mg per oral sekali sehari. Orang dewasa dengan fungsi ginjal berat: 250 mg per oral sekali sehari. o Interval Pemakaian: Probenecid harus diminum setiap hari, bahkan saat Anda tidak mengalami serangan gout. Mungkin perlu beberapa minggu untuk melihat efek penuh dari probenecid. o Probenecid memiliki banyak nama paten, termasuk Benemid, Probalan, dan Probenecid
115 3. Obat Antirematik Modifikasi Penyakit (DMARDs) Obat Antirematik Modifikasi Penyakit (DMARDs) adalah jenis obat yang digunakan untuk mengobati rheumatoid arthritis dengan menargetkan sistem kekebalan tubuh yang menyerang sendi. Contoh DMARDs termasuk methotrexate, leflunomide, dan sulfasalazine. DMARDs memerlukan waktu beberapa minggu untuk bekerja secara optimal, dan sering kali memiliki efek samping yang serius yang perlu dipantau dengan cermat selama penggunaan. Meskipun demikian, mereka merupakan komponen penting dalam manajemen jangka panjang dari rheumatoid arthritis karena kemampuan mereka dalam mengurangi peradangan dan kerusakan sendi yang disebabkan oleh penyakit ini. B. Penggunaan NSAID NSAID (Non-Steroidal Anti-Inflammatory Drugs) adalah jenis obat yang umum digunakan untuk meredakan nyeri dan peradangan. Contoh NSAID yang sering digunakan meliputi ibuprofen (Brufen), naproxen (Aleve), dan celecoxib (Celebrex). Mekanisme kerja NSAID adalah dengan menghambat enzim COX (cyclooxygenase), yang merupakan enzim yang bertanggung jawab untuk menghasilkan prostaglandin, sebuah zat kimia yang memicu peradangan dan nyeri. Dengan menghambat COX, NSAID dapat mengurangi peradangan dan nyeri yang terkait dengan berbagai kondisi, termasuk arthritis (Singh et al., 2021). Meskipun efektif dalam meredakan nyeri dan peradangan, penggunaan NSAID juga dapat menyebabkan beberapa efek samping yang tidak diinginkan. Salah satunya adalah risiko sakit perut dan iritasi pada saluran pencernaan, yang dapat menyebabkan pendarahan
116 saluran pencernaan. Selain itu, NSAID juga dapat menyebabkan kerusakan ginjal jika digunakan dalam jangka panjang atau dalam dosis tinggi. Oleh karena itu, penggunaan NSAID harus dilakukan dengan hati-hati dan sebaiknya dengan resep dokter. NSAID juga dapat berinteraksi dengan obat-obatan lain yang dikonsumsi oleh pasien, termasuk obat-obatan resep dan obat-obatan bebas. Interaksi obat ini dapat meningkatkan risiko efek samping atau menurunkan efektivitas obat yang lain. Oleh karena itu, penting bagi pasien untuk memberi tahu dokter mereka tentang semua obat yang mereka konsumsi sebelum memulai pengobatan dengan NSAID (Kayani et al., 2022). Penggunaan jangka panjang NSAID juga perlu dipertimbangkan dengan hati-hati pada pasien dengan riwayat penyakit tertentu, seperti gangguan pencernaan, penyakit ginjal, atau penyakit jantung. Dokter akan menilai manfaat dan risiko penggunaan NSAID dalam kasus-kasus ini sebelum meresepkan obat ini kepada pasien. Selain itu, NSAID juga tidak disarankan untuk digunakan pada ibu hamil, terutama selama trimester ketiga, karena dapat meningkatkan risiko komplikasi pada bayi yang belum lahir. Selain itu, penggunaan NSAID juga perlu dipantau dengan cermat pada pasien lanjut usia atau pasien dengan gangguan hati atau ginjal (Li et al., 2020). Dalam beberapa kasus, alternatif pengobatan seperti fisioterapi atau obat lain yang lebih aman mungkin menjadi pilihan yang lebih baik daripada NSAID. Sebelum memulai pengobatan dengan NSAID, penting bagi pasien untuk berdiskusi dengan dokter mereka tentang manfaat dan risiko penggunaan obat ini, serta opsi pengobatan lain yang mungkin tersedia bagi mereka.
117 C. Penggunaan Obat Antiinflamasi Biologis Penggunaan obat antiinflamasi biologis telah menjadi salah satu terapi yang signifikan dalam pengobatan rheumatoid arthritis (RA), terutama pada kasus yang lebih parah dan tidak merespons baik terhadap DMARDs (Disease-Modifying Anti-Rheumatic Drugs). Obat-obatan ini bekerja dengan menargetkan protein spesifik dalam sistem kekebalan tubuh yang terlibat dalam peradangan sendi, seperti tumor necrosis factor-alpha (TNF-alpha), interleukin-6 (IL-6), atau reseptor interleukin-1 (IL-1). Contoh obat antiinflamasi biologis yang sering digunakan dalam pengobatan RA meliputi adalimumab (Humira), infliximab (Remicade), dan etanercept (Enbrel). Ketiga obat ini bekerja dengan cara berbeda namun memiliki tujuan yang sama, yaitu mengurangi peradangan dan meredakan gejala RA (Latourte et al., 2020). Penggunaan obat antiinflamasi biologis umumnya disarankan untuk pasien RA dengan kondisi sedang hingga berat, terutama ketika terapi DMARDs tidak efektif atau tidak dapat ditoleransi. Namun, penggunaan obat ini juga harus dipertimbangkan dengan hati-hati karena memiliki efek samping yang serius, terutama terkait dengan peningkatan risiko infeksi. Efek samping lain dari penggunaan obat antiinflamasi biologis termasuk reaksi lokal di tempat suntikan, reaksi hipersensitivitas, atau reaktivasi infeksi laten, seperti tuberkulosis. Oleh karena itu, pasien yang menjalani terapi dengan obat-obatan ini perlu dipantau secara ketat oleh dokter mereka, dan mereka juga harus melakukan skrining infeksi sebelum memulai pengobatan.
118 Selain itu, karena obat antiinflamasi biologis bekerja dengan cara menekan sistem kekebalan tubuh, ada risiko pengembangan penyakit autoimun lain atau bahkan kanker pada beberapa pasien. Oleh karena itu, penting untuk menimbang manfaat dan risiko penggunaan obat ini secara individual untuk setiap pasien, dengan mempertimbangkan faktor-faktor seperti riwayat medis dan respons terhadap terapi sebelumnya. Pada beberapa kasus, kombinasi terapi antara obat antiinflamasi biologis dengan DMARDs atau terapi nonfarmakologis seperti fisioterapi dapat memberikan hasil terbaik dalam pengelolaan RA. Sebelum memulai pengobatan dengan obat antiinflamasi biologis, pasien dan dokter mereka harus memiliki diskusi mendalam tentang manfaat, risiko, dan opsi pengobatan alternatif yang tersedia. D. Non-Farmakologi Terapi non-farmakologi memiliki peran penting dalam manajemen gout dan rheumatoid arthritis (RA), membantu mengurangi gejala, memperbaiki fungsi sendi, dan meningkatkan kualitas hidup pasien. Beberapa strategi non-farmakologi yang umum digunakan termasuk okupasi, modifikasi gaya hidup, terapi fisik, dan intervensi nutrisi. Terapi okupasi adalah pendekatan yang membantu pasien dengan rheumatoid arthritis (RA) dalam melakukan aktivitas sehari-hari dengan lebih mudah. Para terapis okupasi dapat merekomendasikan alat bantu atau modifikasi tugas untuk menghemat energi dan mengurangi stres pada sendi. Sementara itu, akupunktur telah diteliti sebagai metode alternatif untuk meredakan nyeri pada orang dengan RA. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa akupunktur dapat memberikan
119 manfaat dalam mengurangi tingkat nyeri (Akram et al., 2021). Perubahan gaya hidup juga merupakan komponen penting dalam manajemen RA. Penurunan berat badan merupakan langkah penting untuk mengurangi tekanan pada sendi yang menahan beban, seperti lutut dan pinggul. Selain itu, menjaga diet sehat dengan mengkonsumsi makanan kaya buah-buahan, sayuran, dan whole grains, serta membatasi makanan olahan, daging merah, dan makanan tinggi purin, dapat membantu mengurangi peradangan dan mengelola berat badan. Olahraga secara teratur juga penting untuk meningkatkan kekuatan dan fleksibilitas sendi, serta membantu menjaga berat badan ideal. Selain itu, manajemen stres juga dapat membantu dalam manajemen RA. Teknik relaksasi seperti yoga, meditasi, dan pernapasan dalam dapat membantu mengurangi rasa sakit dan meningkatkan kualitas hidup bagi individu dengan RA. Dengan menggabungkan terapi okupasi, akupunktur, perubahan gaya hidup, dan manajemen stres, pasien dengan RA dapat merasakan perbaikan dalam gejala mereka dan meningkatkan kesejahteraan secara keseluruhan. Intervensi nutrisi juga dapat berkontribusi pada manajemen gout dan RA. Misalnya, mengonsumsi makanan antiinflamasi seperti buah-buahan, sayuran, dan makanan berlemak sehat dapat membantu mengurangi peradangan dan meredakan gejala. Sebaliknya, menghindari makanan proinflamasi seperti makanan olahan, makanan cepat saji, dan makanan tinggi purin dapat membantu mengontrol kadar asam urat dan peradangan. Pendidikan pasien juga merupakan komponen penting dari terapi non-farmakologi. Pasien perlu
120 dipahamkan tentang penyakit mereka, gejala yang mungkin muncul, dan pentingnya mengikuti rencana perawatan yang disarankan oleh dokter mereka. Dengan memahami kondisi mereka dengan baik, pasien dapat berperan aktif dalam manajemen penyakit mereka dan memainkan peran penting dalam merawat kesehatan mereka sendiri. E. Terapi Fisik Terapi fisik adalah komponen penting dalam manajemen penyakit seperti rheumatoid arthritis (RA). Tujuannya adalah untuk membantu pasien meningkatkan kekuatan otot, fleksibilitas, dan mobilitas sendi. Program terapi fisik biasanya disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan individu, dengan mempertimbangkan tingkat keparahan penyakit, kondisi kesehatan secara keseluruhan, dan tujuan yang ingin dicapai oleh pasien. Dalam RA, terapi fisik dapat membantu meredakan nyeri, mengurangi kekakuan sendi, dan meningkatkan kemampuan pasien untuk melakukan aktivitas sehari-hari (Walrabenstein et al., 2021). Salah satu pendekatan dalam terapi fisik untuk RA adalah latihan kekuatan dan kelenturan. Latihan kekuatan bertujuan untuk memperkuat otot di sekitar sendi yang terkena arthritis, sehingga dapat membantu menopang dan melindungi sendi. Latihan kelenturan bertujuan untuk meningkatkan fleksibilitas dan rentang gerak sendi, yang penting untuk mencegah kekakuan sendi dan memungkinkan pasien untuk melakukan gerakan dengan lebih leluasa. Kedua jenis latihan ini dapat membantu meningkatkan fungsi sendi dan menurunkan risiko kecacatan pada pasien RA. Selain latihan, terapi fisik juga dapat mencakup teknik seperti mobilisasi sendi, pijat, dan modalitas fisik lainnya
121 seperti pemanasan atau pendinginan dengan kompres. Mobilisasi sendi melibatkan gerakan lembut atau manipulasi pada sendi untuk meningkatkan pergerakan dan mengurangi kekakuan. Pijat dapat membantu mengurangi ketegangan otot dan meningkatkan sirkulasi darah, yang dapat meredakan nyeri dan meningkatkan kenyamanan. Modalitas fisik seperti pemanasan atau pendinginan dengan kompres juga dapat memberikan manfaat yang signifikan dalam mengelola nyeri dan peradangan pada sendi RA. Selain dari aspek fisiknya, terapi fisik juga sering kali mencakup edukasi kepada pasien tentang manajemen penyakit, pencegahan cedera, dan teknik perawatan sendiri. Hal ini membantu pasien memahami kondisinya dengan lebih baik dan memberikan mereka alat dan pengetahuan untuk mengelola gejala mereka secara mandiri di rumah. Dengan melibatkan pasien secara aktif dalam perawatan mereka sendiri, terapi fisik dapat membantu meningkatkan kualitas hidup dan mengurangi dampak negatif RA terhadap kegiatan sehari-hari mereka. F. Perubahan Gaya Hidup Perubahan gaya hidup, seperti penurunan berat badan, merupakan bagian penting dari manajemen penyakit seperti rheumatoid arthritis (RA). Penurunan berat badan dapat membantu mengurangi tekanan yang dikenakan pada sendi yang menahan beban, seperti lutut dan pinggul. Ini sangat penting karena RA dapat menyebabkan kerusakan sendi dan nyeri kronis, dan beban berlebih pada sendi yang terkena arthritis dapat memperburuk kondisi tersebut. Penurunan berat badan dapat dicapai melalui kombinasi diet sehat dan olahraga. Diet sehat melibatkan mengonsumsi makanan yang rendah lemak dan kalori
122 serta kaya akan nutrisi, seperti buah-buahan, sayuran, bijibijian utuh, dan protein rendah lemak. Makanan yang tinggi lemak jenuh dan gula sederhana sebaiknya diminimalkan, karena dapat menyebabkan peningkatan berat badan dan peradangan dalam tubuh. Selain itu, olahraga secara teratur juga dapat membantu dalam penurunan berat badan. Aktivitas fisik seperti berjalan, berenang, atau bersepeda dapat membakar kalori dan meningkatkan metabolisme, yang dapat mendukung penurunan berat badan. Latihan juga dapat membantu memperkuat otot dan sendi, meningkatkan fleksibilitas, dan meningkatkan kesehatan jantung dan kebugaran secara keseluruhan (Alghamdi et al., 2021). Perubahan gaya hidup lainnya yang dapat membantu dalam manajemen RA termasuk mengurangi stres, memperhatikan kualitas tidur, dan menghindari kebiasaan merokok dan konsumsi alkohol berlebihan. Stres dapat memperburuk gejala RA dengan meningkatkan peradangan dalam tubuh, sedangkan tidur yang baik dapat mendukung proses penyembuhan dan memperbaiki kondisi fisik dan mental. Merokok dan konsumsi alkohol berlebihan juga dapat memperburuk gejala RA dan meningkatkan risiko komplikasi kesehatan lainnya (Hasina et al., 2020). Dengan melakukan perubahan gaya hidup yang sehat dan berkelanjutan, pasien RA dapat mengurangi gejala mereka, meningkatkan kualitas hidup, dan mengelola kondisi mereka secara efektif. Itu sebabnya penting untuk bekerja sama dengan profesional kesehatan dan merencanakan strategi perubahan gaya hidup yang sesuai dengan kebutuhan dan kondisi individu
123 Rangkuman Materi ini mencakup berbagai pendekatan dalam pengobatan dan manajemen kondisi seperti arthritis, termasuk farmakologi yang mencakup penggunaan NSAID, obat antiinflamasi biologis, dan penggunaan non-farmakologi seperti terapi fisik dan perubahan gaya hidup. Pendekatan farmakologis melibatkan penggunaan obat-obatan seperti NSAID untuk meredakan peradangan dan nyeri, serta obat antiinflamasi biologis yang menargetkan protein dalam sistem kekebalan tubuh. Di sisi lain, pendekatan non-farmakologi melibatkan terapi fisik untuk meningkatkan kekuatan dan fleksibilitas sendi, serta perubahan gaya hidup seperti penurunan berat badan dan manajemen stres untuk mendukung manajemen penyakit arthritis secara keseluruhan..
124 Evaluasi 1. Jelaskan perbedaan antara NSAID dan obat antiinflamasi biologis dalam pengobatan arthritis. Apa keunggulan masing-masing jenis obat ini? 2. Apa saja efek samping yang mungkin terjadi dari penggunaan NSAID? Bagaimana cara mengurangi risiko efek samping tersebut? 3. Mengapa terapi fisik penting dalam manajemen arthritis? Sebutkan beberapa manfaat dari terapi fisik untuk pasien dengan arthritis. 4. Apa yang dimaksud dengan perubahan gaya hidup dalam manajemen arthritis? Berikan contoh perubahan gaya hidup yang dapat membantu mengurangi gejala arthritis. 5. Bagaimana pendekatan farmakologi dan non-farmakologi dapat bekerja bersama-sama dalam manajemen arthritis? Jelaskan pentingnya integrasi kedua pendekatan ini dalam perawatan pasien.
125 Daftar Pustaka Akram, M., Daniyal, M., Sultana, S., Owais, A., Akhtar, N., Zahid, R., Said, F., Bouyahya, A., Ponomarev, E., & Shariat, M. A. (2021). Traditional and modern management strategies for rheumatoid arthritis. Clinica Chimica Acta, 512, 142–155. Alghamdi, A. A., Mutlaqah, M. A., Labani, A. M. H., Alahmadi, L. M. A., Alahmari, A. F., Albalawi, R. A., Alsalim, B. S., Alghamdi, I. A., Alenezi, I. Q. M., & Alotaibi, A. H. (2021). Gout management in primary care approach; Literature Review. International Journal of Pharmaceutical Research and Allied Sciences, 10(1– 2021), 19–23. Danve, A., & Neogi, T. (2020). Rising global burden of gout: time to act. Arthritis & Rheumatology (Hoboken, NJ), 72(11), 1786. FitzGerald, J. D., Dalbeth, N., Mikuls, T., Brignardello‐ Petersen, R., Guyatt, G., Abeles, A. M., Gelber, A. C., Harrold, L. R., Khanna, D., & King, C. (2020). 2020 American College of Rheumatology guideline for the management of gout. Arthritis & Rheumatology, 72(6), 879–895. Geslaghi, K., & Krout, B. (2023). Rheumatoid Arthritis Misdiagnosed as Gout. In The Misdiagnosis Casebook in Clinical Medicine: A Case-Based Guide (pp. 499– 504). Springer. Hansildaar, R., Vedder, D., Baniaamam, M., Tausche, A.-K., Gerritsen, M., & Nurmohamed, M. T. (2021). Cardiovascular risk in inflammatory arthritis:
126 rheumatoid arthritis and gout. The Lancet Rheumatology, 3(1), e58–e70. Hasina, S. N., Khafid, M., Putri, R. A., & Rohmawati, R. (2020). Ergonomic Exercise Based on Spiritual Care in The Management of Pain Levels Reduction on Elderly With Gouty Arthritis. Kresna Social Science and Humanities Research, 1, 1–4. Huang, Q., Huang, Y., Guo, X., Chen, J., Zhong, Z., Liu, Y., Deng, W., & Li, T. (2021). The diagnostic value of synovial fluid lymphocytes in gout patients. Disease Markers, 2021, 1–6. Kayani, R. R., Shamim, R., Munir, S. S., Sultana, M., Nazir, S. U. R., Riaz, H., Nazir, T., Ali, M. M., & Islam, A. (2022). Medicinal plants and nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAIDs) in treatment of arthritis: a literature review. Altern Therap Health Med, 28, 58–64. Landgren, A. J., Dehlin, M., Jacobsson, L., Bergsten, U., & Klingberg, E. (2021). Cardiovascular risk factors in gout, psoriatic arthritis, rheumatoid arthritis and ankylosing spondylitis: a cross-sectional survey of patients in Western Sweden. RMD Open, 7(2), e001568. Landgren, A. J., Klingberg, E., Jacobsson, L. T. H., Bergsten, U., & Dehlin, M. (2023). Health-related quality of life in gout, psoriatic arthritis, rheumatoid arthritis and ankylosing spondylitis, results from a cross-sectional survey in Western Sweden. Scandinavian Journal of Rheumatology, 52(5), 506–518. Latourte, A., Pascart, T., Flipo, R.-M., Chalès, G., CoblentzBaumann, L., Cohen-Solal, A., Ea, H.-K., Grichy, J., Letavernier, E., & Lioté, F. (2020). 2020 Recommendations from the French Society of Rheumatology for the management of gout: Management of acute flares. Joint Bone Spine, 87(5),
127 387–393. Li, M., Yu, C., & Zeng, X. (2020). Comparative efficacy of traditional non-selective NSAIDs and selective cyclooxygenase-2 inhibitors in patients with acute gout: a systematic review and meta-analysis. BMJ Open, 10(9), e036748. McCleary, H., & Stevens, E. (2022). Discovering Potential Biomarkers for Osteoarthritis, Gouty Arthritis, and Rheumatoid Arthritis. Olaru, L., Soong, L., Dhillon, S., & Yacyshyn, E. (2017). Coexistent rheumatoid arthritis and gout: a case series and review of the literature. Clinical Rheumatology, 36, 2835–2838. Ouali, S., ZEMRI, K., KANOUN, K., HARIR, N., BENAISSA, Z., SELLAM, F., KAROUBI, K., & HEBRI, S. T. (2020). Association of Gout with Rheumatoid Arthritis and Pulmonary Toxicity of Methotrexate: A Case Report about Algerian Women. Journal of Drug Delivery and Therapeutics, 10(4), 216–218. Schäfer, C. (2022). Early description of polyarthritis possibly representing rheumatoid arthritis given by a patient, as recorded in a textbook on gout from 1788. Scandinavian Journal of Rheumatology, 51(1), 70–71. Singh, B. K., Trivedi, N., Das, R. R., Arora, R., Verma, A. K., & Verma, A. (2021). Rheumatoid Arthritis and gout: medicinal plants as a drug alternative. Journal of Advanced Scientific Research, 12(02 Suppl 1), 79–96. Susarti, A., & Romadhon, M. (2019). Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian rheumatoid arthritis pada lansia. Jurnal’Aisyiyah Medika, 4(3). Topless, R. K., Phipps-Green, A., Leask, M., Dalbeth, N., Stamp, L. K., Robinson, P. C., & Merriman, T. R. (2020). Gout, rheumatoid arthritis and the risk of death
128 from COVID-19: an analysis of the UK Biobank. MedRxiv, 2011–2020. Topless, R. K., Phipps‐Green, A., Leask, M., Dalbeth, N., Stamp, L. K., Robinson, P. C., & Merriman, T. R. (2021). Gout, rheumatoid arthritis, and the risk of death related to coronavirus disease 2019: an analysis of the UK Biobank. ACR Open Rheumatology, 3(5), 333–340. Walrabenstein, W., van der Leeden, M., Weijs, P., van Middendorp, H., Wagenaar, C., van Dongen, J. M., Nieuwdorp, M., de Jonge, C. S., van Boheemen, L., & van Schaardenburg, D. (2021). The effect of a multidisciplinary lifestyle program for patients with rheumatoid arthritis, an increased risk for rheumatoid arthritis or with metabolic syndrome-associated osteoarthritis: the “Plants for Joints” randomized controlled trial protocol. Trials, 22, 1–11. Wolf, J., França, E. B., & Assunção, A. Á. (2022). The burden of low back pain, rheumatoid arthritis, osteoarthritis, and gout and their respective attributable risk factors in Brazil: results of the GBD 2017 study. Revista Da Sociedade Brasileira de Medicina Tropical, 55, e0285- 2021.
129 Glosarium Artritis : Peradangan sendi yang dapat menyebabkan nyeri, kemerahan, dan pembengkakan. Gout Penyakit yang disebabkan oleh penumpukan kristal asam urat di dalam sendi NSAID (NonSteroidal AntiInflammatory Drugs) Obat pereda nyeri yang bekerja dengan menghambat enzim COX. DMARDs (DiseaseModifying AntiRheumatic Drugs) Obat yang mengubah perkembangan penyakit autoimun seperti rheumatoid arthritis Terapi Fisik Program latihan fisik untuk meningkatkan kekuatan dan fleksibilitas sendi Terapi Okupasi Pendekatan terapeutik untuk membantu individu dengan gangguan fisik melakukan aktivitas sehari-hari Akupunktur Metode pengobatan tradisional yang melibatkan penyuntikan jarum tipis ke dalam tubuh pada titik-titik tertentu Nefropati Kerusakan pada ginjal Hiperurisemia Kondisi dengan kadar asam urat yang tinggi dalam darah Prostaglandin Zat kimia yang memicu peradangan dan nyeri dalam tubuh Probenecid Obat yang membantu tubuh membuang
130 asam urat melalui ginjal Febuxostat Obat yang digunakan untuk menurunkan kadar asam urat dalam darah pada penderita gout Methotrexate Salah satu jenis DMARDs yang digunakan dalam pengobatan rheumatoid arthritis Erosi tulang rawan Kerusakan pada lapisan pelindung tulang di sendi Ankylosis Kondisi di mana dua tulang di dalam sendi menyatu, menyebabkan hilangnya pergerakan sendi Vaskulitis Peradangan pada pembuluh darah Peradangan synovial Peradangan pada lapisan membran yang melapisi sendi Osteoporosis Penyakit yang menyebabkan tulang menjadi rapuh dan mudah patah Paparan lingkungan Kontak dengan zat-zat tertentu yang dapat mempengaruhi kesehatan seseorang Manajemen stress Upaya untuk mengelola dan mengurangi stres dalam kehidupan sehari-hari Dehidrasi Kekurangan cairan dalam tubuh Peradangan kronis Peradangan yang berlangsung dalam jangka waktu yang lama. Psoriasis Penyakit kulit yang ditandai dengan munculnya plak kulit kering, tebal, dan merah Spondilitis ankilosa Penyakit autoimun yang menyebabkan peradangan pada tulang belakang Sindrom Sjögren Penyakit autoimun yang menyerang kelenjar air mata dan ludah
131 Kolesterol tinggi Kondisi dengan kadar kolesterol yang tinggi dalam darah Hipotiroidisme Kekurangan hormon tiroid dalam tubuh Nodul rheumatoid Benjolan keras yang terbentuk di bawah kulit di sekitar sendi pada rheumatoid arthritis Peradangan vascular Peradangan pada pembuluh darah Gaya hidup sehat Pola hidup yang mencakup diet seimbang, olahraga teratur, dan manajemen stres yang baik
132 Indeks A Akupunktur, 191 Artritis, 55, 120, 132, 190 B Benjolan, 192 C cairan, 5, 43, 44, 45, 46, 47, 48, 49, 58, 59, 60, 65, 73, 84, 86, 92, 102, 144, 192 D darah, 5, 7, 11, 15, 26, 28, 30, 32, 34, 37, 39, 41, 42, 43, 44, 45, 46, 47, 53, 55, 58, 59, 60, 61, 62, 75, 76, 78, 83, 84, 87, 89, 90, 91, 92, 96, 97, 98, 102, 116, 117, 119, 122, 129, 130, 134, 136, 137, 138, 140, 143, 144, 145, 148, 163, 165, 166, 167, 168, 179, 191, 192 Drugs, 170, 173, 190 G Gout, iii, v, vi, 1, 2, 4, 5, 6, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 21, 53, 54, 80, 81, 83, 86, 87, 88, 90, 94, 97, 112, 113, 115, 116, 119, 120, 122, 130, 133, 134, 135, 136, 137, 162, 184, 185, 187, 188, 190, 196 H Hiperurisemia, 116, 191 Hipotiroidisme, 95, 192 K kronis, 1, 6, 7, 8, 15, 17, 56, 62, 63, 64, 65, 69, 70, 71, 74, 77, 78, 80, 81, 87, 88, 89, 90, 93, 94, 98, 99, 100, 101, 102, 103, 104, 105, 107, 110, 112, 115, 116, 120, 121, 122, 123, 124, 126, 128, 130, 131, 132, 134, 135, 136, 137, 145, 149, 153, 154, 180, 192, 196 L lingkungan, 10, 11, 12, 13, 18, 23, 28, 29, 36, 38, 40, 48, 111,
133 124, 125, 132, 147, 148, 153, 155, 156, 158, 159, 160, 192 M manajemen, 14, 55, 62, 91, 101, 102, 107, 109, 111, 112, 151, 153, 155, 157, 159, 162, 170, 175, 176, 177, 179, 180, 181, 182, 183, 192 Methotrexate, 187, 191 N Nefropati, 58, 83, 101, 191 O Okupasi, 190 P pembuluh, 7, 28, 34, 42, 43, 45, 46, 47, 61, 75, 78, 87, 89, 98, 122, 129, 191, 192 Prostaglandin, 191 S sehat, 2, 3, 10, 53, 59, 62, 87, 88, 89, 91, 93, 96, 108, 110, 138, 140, 142, 150, 153, 176, 177, 180, 181, 192 sendi, 1, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 15, 16, 17, 18, 19, 21, 32, 33, 53, 54, 55, 64, 65, 66, 67, 68, 69, 70, 71, 72, 73, 74, 75, 76, 77, 78, 79, 80, 81, 83, 92, 93, 94, 98, 99, 100, 101, 104, 105, 112, 113, 115, 116, 117, 119, 120, 121, 122, 123, 124, 126, 127, 128, 129, 130, 131, 132, 134, 135, 136, 137, 140, 141, 142, 149, 151, 152, 153, 155, 156, 170, 173, 175, 176, 178, 179, 180, 181, 182, 190, 191, 192, 196 stress, 192 T Terapi, vi, 74, 76, 77, 113, 128, 162, 164, 175, 177, 190 tulang, 6, 15, 16, 21, 25, 32, 33, 34, 35, 36, 37, 44, 54, 56, 57, 65, 66, 67, 68, 69, 70, 71, 72, 73, 80, 81, 104, 105, 106, 121, 127, 132, 134, 135, 136, 191, 192, 196 V Vaskulitis, 75, 191
134 Tentang Penulis Penulis bernama Alifahtul Khairani. Penulis lahir pada tanggal 03 Agustus 2001 di Payakumbuh. Penulis menempuh pendidikan TK Aisyiyah Mungka (2007-2008). SDN 03 Sungai Antuan (2008-2014), SMP N 02 Kec Mungka (2014-2017), dan SMA N 01 Kec Payakumbuh (2017-2020). Penulis melanjutkan studinya disalah satu perguruan tinggi swasta yaitu Universitas Fort De Kock Bukittinggi dengan mengambil program studi S1 Farmasi. Penulis bernama Annisa Surya Ramadhani. Penulis lahir pada tanggal 08 Oktober 2001 di Galang, Medan. Penulis menempuh pendidikan TK Dharma Wanita Muaro Takung, Sijunjung (2007-2008). SDN 15 Muaro Takung, Sijunjung (2008-2014), SMP N 11 Sijunjung (2014-2017), dan SMK N 4 Sijunjung, Jurusan Perkantoran (2017-2020). Penulis melanjutkan studinya disalah satu perguruan tinggi swasta yaitu Universitas Fort De Kock Bukittinggi dengan mengambil program studi S1 Farmasi.
135 Saya memiliki nama lengkap Adinda Riyadi,lahir di Solok 15 Januari 2004.sekarang saya berumur 20 tahun.berikut riwayat pendidikan yang saya tempuh,tahun 2012- 2017 saya menempuh pendidikan sekolah dasar di SDN 06 X koto singkarak. Kemudian tahun 2017-2019 saya melanjutkan pendidikan di Smp 03 X koto singkarak. Setelah itu tahun 2019-2022 masuk SMK Farmasi imam Bonjol Bukittinggi,dan tahun 2022-sekarang saya menempuh pendidikan di perguruan tinggi swasta yaitu universitas fort de Kock Bukittinggi dengan mengambil program studi Farmasi. Saya memiliki nama lengkap Kurnia Julita ,lahir di Tanjung Aur ,23 Juli 2003 .sekarang saya berumur 20 tahun.berikut riwayat pendidikan yang saya tempuh, tahun 2012- 2017 saya menempuh pendidikan sekolah dasar di SDN 12 Enam lingkung.kemudian tahun 2017-2019 saya melanjutkan pendidikan di SMPN 01 enam lingkung.setelah itu tahun 2019-2022 masuk SMK Kesehatan mandiri lubuk Alung dan tahun 2022 - sekarang saya menempuh pendidikan di perguruan tinggi swasta yaitu Universitas fort de Kock Bukittinggi dengan mengambil program studi S1 Farmasi. selama kuliah saya bergabung ke organisasi kampus dan sampai sekarang sebagai mahasiswa aktif organisasi seperti menjadi staff Sekretaris HIMA Farmasi, mengikuti kepanitiaan sebagai anggota divisi acara, sekretaris mubes UKM LDK keifo
136 al Muttaqin, anggota divisi Humas,dan masih banyak kepanitiaan lainnya .dan sekarang ini saya merupakan anggota aktif dewan perwakilan mahasiswa (DPM) sebagai Sekretaris umum dan juga aktif di berbagai bidang kegiatan atau event "luar kampus. Saya memiliki nama lengkap Dexaminda Irma ,lahir di Payakumbuh 21 Desember 2003.sekarang saya berumur 20 tahun. berikut riwayat pendidikan yang saya tempuh,tahun 2012-2017 saya menempuh pendidikan sekolah dasar di SDN 05 banja loweh.kemudian tahun 2017-2019 saya melanjutkan pendidikan di MtsN 03 lima puluh kota.setelah itu tahun 2019-2022 masuk SMK Farmasi imam Bonjol Bukittinggi,dan tahun 2022-sekarang saya menempuh pendidikan di perguruan tinggi swasta yaitu universitas fort de Kock Bukittinggi dengan mengambil program studi Farmasi.selama kuliah saya sering bergabung ke organisasi kampus seperti menjadi anggota HIMA Farmasi, mengikuti kepanitiaan,dan sekarang saya merupakan anggota aktif dewan perwakilan mahasiswa (DPM). Saya memiliki nama lengkap Ary Pangestuning Tiyas, lahir di Lubuklinggau, Palembang 15 Januari 2004.sekarang saya berumur 20 tahun.berikut riwayat pendidikan yang saya tempuh,tahun 2012-2017 saya menempuh pendidikan sekolah dasar di SDN 02
137 Suakarame, Lubuklinggau. Kemudian tahun 2017-2019 saya melanjutkan pendidikan di SmpN Sukamulya. Setelah itu tahun 2019-2022 masuk SMK Teknologi Informasi Dan Komunikasi Purwodadi ,dan tahun 2022-sekarang saya menempuh pendidikan di perguruan tinggi swasta yaitu Universitas Fort De Kock Bukittinggi dengan mengambil program studi Farmasi. Saya memiliki nama lengkap Dini Auliya Putri, lahir di Sungai ipuh 16 Februari 2004.sekarang saya berumur 20 tahun.berikut riwayat pendidikan yang saya tempuh,tahun 2012-2017 saya menempuh pendidikan sekolah dasar di SDN 18 sungai ipuh.kemudian tahun 2017-2019 saya melanjutkan pendidikan di MtsN 01 solok selatan.setelah itu tahun 2019-2022 masuk SMA 5 solok selatan,dan tahun 2022-sekarang saya menempuh pendidikan di perguruan tinggi swasta yaitu universitas fort de Kock Bukittinggi dengan mengambil program studi Farmasi.selama kuliah saya sering bergabung ke organisasi kampus seperti menjadi anggota HIMA Farmasi, mengikuti kepanitiaan. Saya memiliki nama lengkap Ahmad Gustian Maryadi, lahir di Payakumbuh 9 Maret 2004,sekarang saya berumur 20 tahun.berikut riwayat pendidikan yang saya tempuh,tahun 2012-2017 saya menempuh pendidikan sekolah dasar di SDN 21
138 Payakumbuh,kemudian tahun 2017-2019 saya melanjutkan pendidikan di SMPN 1 Payakumbuh,setelah itu tahun 2019- 2022 masuk SMAN 2 Payakumbuh,dan tahun 2022-sekarang saya menempuh pendidikan di perguruan tinggi swasta yaitu universitas fort de Kock Bukittinggi dengan mengambil program studi S1 Farmasi.Selama kuliah saya sering bergabung ke organisasi kampus seperti menjadi anggota Himpunan Mahasiswa Farmasi (Himfar), mengikuti kepanitiaan,dan sekarang saya merupakan anggota aktif Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM). Penulis bernama Anisa Permata Sari. Penulis lahir pada tanggal 9 Januari 2004 di Sijunjung.Penulis menempuh pendidikan TK Dharma Wanita Tanjung Gadang (2011- 2012).SDN 14 Tanjung Gadang (2012-2017), SMP N 5 Sijunjung (2017-2019),dan SMK Farmasi Imam Bonjol Bukittinggi (2019- 2022).Penulis melanjutkan studinya disalah satu perguruan tinggi swasta yaitu Universitas Fort De Kock dengan mengambil program studi farmasi.Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif di kegiatan non akademik seperti bergabung di organisasi HIMA Farmasi serta mengikuti berbagai kepanitiaan lainnya. Saya memiliki nama lengkap Amanda Rezka lahir di Jorong Simpang, 10 Oktober 2003. Sekarang saya berumur 20 tahun. Berikut riwayat pendidikan yang saya tempuh,tahun 2012-2017 saya menempuh pendidikan sekolah dasar, di SDN 05 Koto Balingka. Kemudian
139 tahun 2017-2019 saya melanjutkan pendidikan di SMPN 1 Koto Balingka. Setelah itu di tahun 2019-2022 masuk SMAN 1 Pasaman dan tahun 2022-sekarang saya menempuh pendidikan di perguruan tinggi swasta yaitu universitas fort de Kock Bukittinggi dengan mengambil program studi Farmasi. Saya memiliki nama lengkap Aorora Galuh Melvia, lahir di Padang panjang 23 Juni 2004.sekarang saya berumur 20 tahun.berikut riwayat pendidikan yang saya tempuh,tahun 2012-2017 saya menempuh pendidikan sekolah dasar di SD fransiscus Padang panjang.kemudian tahun 2017-2019 saya melanjutkan pendidikan di SMP 5 Padang panjang.setelah itu di tahun 2019-2022 masuk SMA 3 Padang panjang,dan tahun 2022-sekarang saya menempuh pendidikan di perguruan tinggi swasta yaitu universitas fort de Kock Bukittinggi dengan mengambil program studi Farmasi. Saya memiliki nama lengkap Anggel Clendia, lahir Bengkulu,10 Mei 2005, sekarang saya berumur 19 tahun. Berikut riwayat pendidikan saya 2012-2017 saya menempuh pendidikan sekola dasar SDN 04 Selagan raya, tahun 2017- 2019 saya melanjutkan pendidikan di SMPN 25 Mukomuko setelah itu tahun 2019-2022 saya masuk SMAN 10 Mukomuko. Sekarang saya menempuh perguruan tinggi swasta di Universitas Fort de Kock Bukittinggi dengan mengambil Program Stdui Farmasi. Selama kuliah saya mulai
140 bergabung di Organisasi Kampus menjadi anggota BEM dan mengikuti beberapa kepanitiaan lainnya.