4. Merangsang Anak Bicara
Untuk menstimulis kemampuan bicara anak, ada beberapa hal yang bisa di lakukan orang
tua, diantaranya sebagai berikut.
1. Bicara pada anak,bicara pada anak tidak sama artinya dengan memberi perintah ataupun
melarang ini-itu. Sayangnya, orang tua sering sudah merasa cukup dan bicara dalam bentuk
perintah hanya‖Jangan kesitu nanti jatuh‖. Perintah-perintah satu arah seperti itutentu saja
tidak memberi kesempatan kepada anak untuk bicara.
2. Melontarkan pertanyaan terbuka,usahakan selalu untuk memberikan pertanyaan terbuka
atau alias pertanyaan yang tidak cukup dijawab hanya dengan ―ya‖ atau ‖tidak‖. Misalnya,
bukan “Kakak sudah makan belum?” tetapi “Kakak tadi makan apa?” dengan mengajukan
pertanyaan ini,mau tidak mau anak tidak tertantang untuk memberi jawaban yang lebih
panjang.
3. Dongeng, mendongeng juga bermanfaat menambah perbendaharaan kata anak. Melalui
dongeng anak bisa diperkenalkan dengan kosakata baru, seperti, raksasa, gunung, bidadari,
dan kata-kata yang lain tidak biasa digunakan dalam percakapan sehari-hari. Ketika
mendongeng, pancing untuk menceritakan kembali isi dongeng yang telah di dengarnya,
selain bisa mengembangkan kemampuann bicara anak,juga mampu merangsang kemampuan
kognitifnya.
4. Betulkan ucapan anak: sering kali bahasa ―anak-anak‖muncul kembali di sela-sela
kalimatnya yang sudah mulai runut. Untuk mengatasinya, jangan menyalahkan anak dengan
mengatakan seperti,‖Adek apa-apaan sih ngomongnya seperti anak kecil”melainkan beri
contoh yang tepat dengan mengulangi kalimatnya. Dengan begitu anak mengerti mana yang
salah dan mana ucapan yang seharusnya.temperamen anak yang beragam bisa membawa
dampak yang berbeda pula.
Parenting (2008) mengatakan agar jangan membiarkan anak terlalu sering menonton
televis.televisi tidak memberikan stimulus apa-apa terhadap perkembangan anak-anak dan hanya
membuat anak menjadi pendengar pasif.
5. Ganguan Artikulasi
Anak yang bicaranya tidak jelas atau sulit ditangkap dalam istilah psikiatri disebut
mengalami gangguan artikulasi atau fonlogis.ganggua fonologis di sebabkan oleh factor usia yg
47
mengakibatkan alat bicara atau otot-otot yang digunakan untuk berbicara (speech motor) belum
lengkap atau belum berkurang sempurna dari susunan gigi, bentuk rahang, sampai lidah yang
mungkin masih kaku. Beberapa kasus gangguan ini malah berkaitan dengan keterbelakangan
mental. Anak yang kecerdasannya tidak begitu baik, perkembangan bicara umumnya juga akan
terganggu.
6. Gangguan Proses Pendengaran
Klasifikasi klinis dari gangguan proses pendengaran dan pengenalan tuturan antara lain:
1.Cortical Deafness
Gangguan ini disebabkan oleh kerusakan pada lapisan luar sistem pendengarannya yg
menyebabkan penderita tidak dapat menerima stimuli secara total:tidak bisa mendengar
apapun
Auditory Agnosia
Gangguan ini juga di sebabkan oleh kerusakan sebagian kecil lapisan luar sistem
pendengaran manusia,yg menyebabkan penderita tidak dapat mengenali kata-kata yang
umum dan yang sering dipakai dalam kehidupan sehari-hari.penderita dapat mendengar
stimulasi suara, tapi tidak bisa mengenalinya ;suara yang didengar tidak jelas.
7. Pendidikan dan Asosiasi Terapi Wicara
Untuk menjadi ahli terapi yang profesional, diperlukan pengetahuan tentang linguistik
dan neurologi. Kedua profesi ini harus dipelajari dengan sungguh-sungguh untuk dapat
mendirikan sebuah clinical linguistics. Sparachheilpadagogik dan examinierte
sparachheilpadagogik harus sejalan karena kedua profesi ini tidak memiliki perbedaan yang
menyolok. Area kerjanya indentik dengan paramedis dalam mendiagnosis gangguan berbahasa
dan berbicara seorang penderita. Bahkan untuk menyelesaikan pendidikan sparachheilpadagogik
ini harus mengambil program diploma yang menempuh masa lebih kurang lima tahun sampai
menjadi sarjana. Dengan demikian, sparachheilpadagogik ini adalah pendidikan akademik di
bawah persetujuan pemerintah. Namun untuk pelatihan bahasa dapat ditempuh paling sedikit dua
tahun dengan mendapatkan abitur sebagai prasyarat dikeluarkannya sertifikat (Sastra, 2011)
Pendidikan tentang gangguan pernafasan, gangguan bicara, dan gangguan suara, metode
pelatihannya dapat ditempuh selama tiga tahun. Satu-satunya negara yang memiliki sekolah
pelatihan ini adalah Jerman, tepatnya d ikota Badan Nenndorf dekat Hanover. Program ini dapat
48
dimasuki setelah menyelesaikan pendidikan di sekolah menengah dan lulus ujian kualifikasi,
sedangkan praktek objek pelatihan kasusnya dapat dicari sendiri atau disediakan oleh sekolah
pelatihan. Jerman juga satu-satunya negara di Eropa yang memiliki sekolah nonakademik secara
profesional di bidang terapi wicara yang sangat aktif. Pada tingkat Uni-eropa saat ini pendidikan
profesional terapi wicara mulai dikembangkan walaupun sampai tahun 2006 hanya satu-satunya
ada di Jerman. Beberapa organisasi terapi lainnya mulai bergabung dengan beberapa federasi
terapis di Jerman dengan membuat kerjasama pelatihan. Beberapa organisasi terapi wicara yang
ada di Republik Federal Jerman antara lain adalah:
1. Asosiasi wicara Akademik Federal Jerman, berpusat di Moers yang berdiri tahun 2007.
Asosiasi ini mewakili sparachheilpadagogik, klinik ahli bahasa, ilmuwan terkait lainnya, dan
klinik pidato patholinguistics (dsb).
2. Asosiasi Pernafasan, Tuturan, dan Suara Federal Jerman, berpusat di Hamburg, mewakili
Persatuan Guru Schlaffhorst-Andersen (dba).
3. Asosiasi Occupational Therapy (dbl), berpusat di Frechen yang berdiri tahun 2007. Asosiasi
ini mewakili para terapis yang bekerja di rumah sakit, klinik spesialis dan rehabilitasi, medikal
klinik, dan ahli terapi wicara.
Asosiasi ini khusus menangani gangguan mendengar dan wicara anak-anak. Para terapis
yang telah menamatkan sekolah khusus terapi wicara atau Frunhorderbereich, dapat bekerja di
kantor-kantor kesehatan masyarakat, dan mengajar disekolah khusus wicara dan kemampuan
mendengar anak-anak. Selain itu, para terapis bisa juga lulusan dari ilmu pendidikan dan dari
lembaga penelitian terapis wicara bidang terkait seperti neurologi, terapi sudah banyak kemitraan
dengan Federasi Jerman. Asosiasi profesional terapi wicara, berpusat di Neuhaus/Inn dan berdiri
tahun 2008. Asosiasi ini mewakili seluruh terapi wicara (Kanssenzulassungsfahige therapys),
baik gangguan suara, bertutur, artikulasi, menelan, maupun bernafas.
Di Swiss tidak terdapat perbedaan antara ahli terapi wicara dengan Sparachheilpadagogik
atau pendidikan terapi bahasa. Istilah Sprachheillehrer atau Sparachheilpadagogik ini kemudian
lebih dikenal dengan Logopedics di Swiss. Tahun 1978 berdiri Swiss Acociation for Logopedics
yang profesional ini selain mempelajari aspek linguistik, juga aspek medis dan psikologis serta
komponen sosial lainnya.
49
Antara Swiss dan Jerman terdapat link yang sama-sama mengembangkan aspek terapi
wicara, yang dikenal dengan Deutsch Linguist Verband ( DLV) di Jerman, berpusat di Zuirch
yang didirikan tahun 2007. Asosiasi ini berfungsi sebagai payung secara nasional yang sering
mengadakan konferensi. DLV ini sering mempromosikan bahwa terapi wicara sebagai pelayanan
penting untuk mengembangkan potensi setiap individu. Komitmennya yang bagus melalui
pendidikan yang profesional dan komprehensif memiliki keberlanjutan dalam berbagai diskusi,
sehingga pemerintah memiliki kepercayaan untuk menjadikan lembaga ini sebagai tempat yang
tepat dalam meningkatkan dan memperbaiki kelemahan yang dimiliki oleh masyarakat. Anggota
dari Asosiasi DLV ini termasuk yang ada di Swiss awalnya hanya berjumlah 15 orang yang
memiliki sertifikat ahli terapi wicara, tetapi kemudian meningkat pesat karena banyaknya kasus
yang ditangani.
50
BAB VI
TERAPI WICARA
Tujuan Instruksional Khusus
Pada bab ini di harapkan pembelajar dan pembaca memahami, bahwa berbagai gangguan
berbahasa dan berbicara pada seseorang dapat di hilangkan atau dikurangi. Pendekatan logopadie
(baca: logopedi) atau terapi wicara merupakan cara yang efektif dalam ilmu neurolinguistik
untuk menangani kasus gangguan berbahasa dan berbicara. Sebagai bentuk terapi, ilmu
logopadie sudah berkembang di negara-negara maju yang ditangani oleh tenaga profesional di
bidangnya. Berbagai metode yang dilakukan dalam proses terapi dibicarakan dalam bab tujuh
ini, dengan demikian diharapkan model ini dapat membantu masalah berbagai gangguan yang
terjadi dalam hal berbahasa dan berbicara di Indonesia.
A. Pengertian Logopadie
Logipadie, berasal dari bahasa Yunani, yaitu logos = kata dan = padeuein yang berarti
mendidik, sedangkan dalam bahasa Yunani modern, berasal dari kata + = pedion, berarti daerah
dalam mulut. Logopadie sudah digunakan sejak tahun 1913 dan diperkenalkan oleh seorang
dokter dari Wina "Froschel Emil" pada tahun 1924. Sekarang lebih dikenal dengan terapi bahasa,
atau terapi medis berkait dengan usaha, lidah, gangguan pendengaran yang terbatas pada
keterampilan komunikasi secara pribadi.
Terapi bahasa dan bertutur (wicara, termasuk pidato) secara teori dan prakteknya terkait
dengan pencegahan, konseling, diagnosis, perawatan dan rehabilitasi. Penelitian dan proses
pendidikan perlu dilakukan secara serius dilakukan terhadap penderita yang mengalami
gangguan berbahasa dan berbicara serta gangguan dalam menelan.
B. Sejarah Logopadie
Kursus terapi wicara sudah dimulai pertama kali di Postdam pada tahun 1886, yang
disebut dengan Sprachheikundler. Lima tahun kemudia di Berlin juga dilatih sebanyak 115 orang
yang juga menawarkan kursus bagi anak-anak yang dikenal dengan Sprachgebrechliche. Kursus
ini berlangsung selama 3-4 bulan dengan jumlah anak berkisar 8-10 anak per kelas untuk jangka
51
waktu 1-2 jam setiap hari. Sejak tahun 1918, penelitian tentang terapi wicara secara signifikan
terus berkembang, baik kurikulumnya maupun klien yang akan mengikuti kursus semakin
banyak. Hasil penelitian di bidang psikoanalisis dan psikologi individual mendorong lahirnya
metode-metode baru dalam melakukan terapi wicara.
Istilah logopadie atau terapi wicara, telah digunakan pertama kali pada tahun 1913,
namun baru diperkenalkan tahun 1924 oleh Emil Froschels ketika diadakannya kongres
internasional Logopedi dan Phoniatrics di Wina. Terapi wicara waktu itu sudah menjadi dasar
ilmiah dalam berbagai penelilian fonologi dan neurologi. Sampai tahun 1945, belum ada
lembaga pendidikan independen yang membuka kursus ini. Pelatihan di lakukan tergantung pada
kepentingan dan kasus secara individual yang ada di kota besar seperti di Berlin, Munich, dan
Munchen. Manajemen kursus belum begitu baik waktu itu dan tidak memberikan sertifikat dan
hanya di anggap sebagai pelatihan secara pribadi. Namun kemudian, muncul tempat-tempat
pelatihan yang resmi dan di akui oleh pemerintah, yaitu dengan berdirinya kantor pusat wicara
dan Sprachkranke pada tahun 1949 di Berlin. Istilah lembaga menjadi Terapi Wicara baru
muncul tahun 1957 di Berlin. Kursus berlangsung selama 2 bulan dan setelah selesai pelatihan
akan menerima pengakuan dari pemerintah Jerman dalam bentuk sertifikat.
Pada tahun 1974, pemerintah Jerman mengeluarkan undang-undang asuransi kesehatan
untuk rehabilitasi wicara penderita gangguan wicara. Lembaga asuransi kesehatan sampai
pensiun mengeluarkan dana untuk berbagai gangguan kesehatan, termasuk untuk terapi wicara
mulai dari anak-anak sampai orang tua. Persetujuan untuk dapat diterima melakukan pelatihan di
lembaga terapi berdasarkan rekomendasi dari pihak sekolah dan ahli saraf yang mengetahui
kondisi gangguan wicara penderita. Tahun 1997 dikembangkanlah sebuah tempat pelatihan yang
profesional di kenal dengan lembaga terapi wicara yang di dalamnya terdapat berbagai kegiatan,
seperti pencegahan, konseling, deteksi, pengobatan, dan pelatihan. Murid yang diterima di
lembaga ini dari berbagai kelompok umur.
Lembaganya penguasaan linguistik anak-anak usia dini, lebih banyak di temukan datanya di
lapangan, baik kosa kata, tatabahasa, maupun fonologi. Selain itu ditemukan juga berbagai
gangguan berbicara dan gangguan ekspresif. Sejak usia TK atau persekolahan, banyak anak-anak
yang terakumulasi dalam keterlambatan berbicara, misalnya gangguan sintaksis dalam
52
menggunakan bentuk-bentuk jamak. Selain itu juga ada gangguan artikulasi (dyslalia), kelalaian,
penggantian dan perubahan bunyi (gangguan fonologi).
Terhadap penderita yang mengalami balbuties (gagap) juga dapat dilakukan terapi wicara
karena terganggunya otot myofunctional, sehingga menimbulkan ketidak seimbangan suara.
Selain itu juga terhadap penderita stroke dan gangguan neurologi lainnya seperti afasia, apraksia
atau gangguan artikulasi, fazialnerves atau gangguan pergerakan, dan disartria pada saraf
sehingga artikulasi terganggu yang mengakibatkan terganggunya pernafasan serta kesulitan
menelan. Akhir-akhir ini, terapi wicara juga menangani masalah peningkatan frekuensi anak-
anak di sekolah yang mengalami kesulitan dalam menulis yang dikenal dengan disleksia dan
disgrafia.
C. Bidang Terapi Wicara
Langkah-langkah terapi wicara meliputi diagnostik, konseling, pengobatan gangguan
berbicara, gangguan pernafasan, suara, fungsi mulut, pendengaran, gangguan menelan, dan
kognisi. Terapi dilakukan secara teratur baik pada anak-anak maupun orang dewasa menurut
jadwal yang telah di tetapkan melalui kegiatan schewergestorten. Terapi wicara merupakan suatu
cara untuk meningkatkan kemanpuan berkomunikasi dalam kehidupan sehari-hari.
Beberapa bidang aplikasi terapi wicara antara lain adalah :
Dyslalia (fonetik) ; ganguan wicara, cadel, dan kesalahan artikulasi.
Gangguan fonologi: lautverwendung yang sering terjadi, misalnya subsitusi,
penghilangan, dan penambahan.
Dysgrammatism (ganguan dalam keterampilan tatabahasa).
Kehilangan kosa kata, baik secara aktif maupun pasif.
Gangguan bertutur dan keterlambatan bicara pada anak-anak.
Bersifat membisu dan autisme.
Myotheraphy; ortofacial otot, sebagai bentuk kerja sama yang erat dengan dokter
gigi.
Gangguan fluency atau kelancaran seperti gagap dan gemuruh bicara.
53
Dysfagia atau gangguan dalam menelan yang disebabkan oleh pola makan yang
salah sehingga lidah menonjol.
Neurologis disfasia, misalnya setelah stroke.
Gangguan menelan pascaoperasi, misalnya operasi dibagian tenggorokan atau
lidah karena adanya tumor.
Neurologis aphasias, misalnya setelah seseorang mendapat kecelakaan sehingga
terjadi stroke yang menyebabkan penderita mengalami trauma.
Dysphonia atau gangguan suara.
Dysarthria, ketidaknormalan koordinasi suara, artikulasi, pernafasan akibat
penyakit parkinson, ALS (Arnyothrophische Lateral Sclerosis), multiple,
sclerosis, stroke, dan trauma craniocerebral.
Wicara dan gangguan bahasa dalam konteks dimensia seperti alzheimers.
Sperechtonanderung, terapi psikologis gender akibat gangguan bicara dan bahasa
yang diderita penderita.
D. Pendidikan dan Asosiasi Terapi Wicara
Untuk menjadi ahli terapi yang profesional, diperlukan pengetahuan tentang linguistik
dan neurologi. Kedua profesi ini harus dipelajari dengan sungguh-sungguh untuk dapat
mendirikan sebuah clinical linguistics. Sparachheilpadagogik dan examinierte
sparachheilpadagogik harus sejalan karena kedua profesi ini tidak memiliki perbedaan yang
menyolok. Area kerjanya indentik dengan paramedis dalam mendiagnosis gangguan berbahasa
dan berbicara seorang penderita. Bahkan untuk menyelesaikan pendidikan sparachheilpadagogik
ini harus mengambil program diploma yang menempuh masa lebih kurang lima tahun sampai
menjadi sarjana. Dengan demikian sparachheilpadagogik ini adalah pendidikan akademik
dibawah persetujuan pemerintah. Namun untuk pelatihan bahasa dapat ditempuh paling sedikit
dua tahun dengan mendapatkan abitur sebagai prasyarat dikeluarkannya sertifikat (Sastra, 2011)
Pendidikan tentang gangguan pernafasan, gangguan bicara, dan gangguan suara, metode
pelatihannya dapat ditempuh selama tiga tahun. Satu-satunya negara yang memiliki sekolah
pelatihan ini adalah Jerman tepatnya dikota Badan Nenndorf dekat Hanover. Program ini dapat
dimasukin setelah menyelesaikan pendidikan di sekolah menengah dan lulus ujian kualifikasi,
sedangkan praktek objek pelatihan kasusnya dapat dicari sendiri atau disediakan oleh sekolah
54
pelatihan. Jerman juga satu-satunya negara di Eropa yang memiliki sekolah nonakademik secara
profesional di bidang terapi wicara yang sangat aktif. Ditingkat Uni-eropa saat ini pendidikan
profesional terapi wicara mulai dikembangkan walaupun sampai tahun 2006 hanya satu-satunya
ada di Jerman. Beberapa organisasi terapi lainnya mulai bergabung dengan beberapa federasi
terapis di Jerman dengan membuat kerjasama pelatihan. Beberapa organisasi terapi wicara yang
ada di Republik Federal Jerman antara lain adalah:
1. Asosiasi wicara Akademik Federal Jerman, berpusat di Moers yang berdiri tahun
2007. Asosiasi ini mewakili sparachheilpadagogik, klinik ahli bahasa, ilmuwan
terkait lainnya, dan klinik pidato patholinguistics (dsb).
2. Asosiasi Pernafasan, Tuturan, dan Suara Federal Jerman, berpusat di Hamburg,
mewakili Persatuan Guru Schlaffhorst-Andersen (dba).
3. Asosiasi Occupational Therapy (dbl), berpusat di Frechen yang berdiri tahun 2007.
Asosiasi ini mewakili para terapis yang bekerja dirumah sakit, klinik spesialis dan
rehabilitasi, medikal klinik, dan ahli terapi wicara.
Asosiasi ini khusus menangani gangguan mendengar dan wicara anak-anak. Para
terapis yang telah menamatkan sekolah khusus terapi wicara atau Frunhorderbereich, dapat
bekerja di kantor-kantor kesehatan masyarakat, dan mengajar di sekolah khusus wicara dan
kemampuan mendengar anak-anak. Selain itu, para terapis bisa juga lulusan dari ilmu pendidikan
dan dari lembaga penelitian terapis wicara bidang terkait seperti neurologi, terapi sudah banyak
kemitraan dengan Federasi Jerman.
Asosiasi profesional terapi wicara, berpusat di Neuhaus/Inn dan berdiri tahun 2008.
Asosiasi ini mewakili seluruh terapi wicara (Kanssenzulassungsfahige therapys), baik gangguan
suara, bertutur, artikulasi, menelan, maupun bernafas.
Di Swiss tidak terdapat perbedaan antara ahli terapi wicara dengan
Sparachheilpadagogik atau pendidikan terapi bahasa. Istilah Sprachheillehrer atau
Sparachheilpadagogik ini kemudian lebih dikenal dengan Logopedics di Swiss. Tahun 1978
berdiri Swiss Acociation for Logopedics yang profesional ini selain mempelajari aspek linguistik,
juga aspek medis dan psikologis serta komponen sosial lainnya.
55
Antara Swiss dan Jerman terdapat link yang sama-sama mengembangkan aspek terapi
wicara, yang dikenal dengan Deutsch Linguist Verband ( DLV) di Jerman, berpusat di Zuirch
yang didirikan tahun 2007. Asosiasi ini berfungsi sebagai payung secara nasional yang sering
mengadakan konferensi. DLV ini sering mempromosikan bahwa terapi wicara sebagai pelayanan
penting untuk mengembangkan potensi setiap individu. Komitmennya yang bagus melalui
pendidikan yang profesional dan komprehensif memiliki keberlanjutan dalam berbagai diskusi,
sehingga pemerintah memiliki kepercayaan untuk menjadikan lembaga ini sebagai tempat yang
tepat dalam meningkatkan dan memperbaiki kelemahan yang dimiliki oleh masyarakat. Anggota
dari Asosiasi DLV ini termasuk yang ada di Swiss awalnya hanya berjumlah 15 orang yang
memiliki sertifikat ahli terapi wicara, tetapi kemudian meningkat pesat karena banyaknya kasus
yang dipercaya untuk menanganinya, yakni sebanyak 1986 anggota yang tercatat sampai 2009.
E. Kajian Praterapi
Sebelum dilakukan speech therapy, ada beberapa halaman yang perlu dikaji terhadap
klien. Hoeman (1996) menjelaskan beberapa hal yang perlu dikaji sebelum dilakukan terapi
wicara, diantaranya adalah:
1. Mengkaji riwayat kesehatan klien, terutama yang berhubungan dengan predisposisi dan
presipitasi terjadinya gangguan bicara.
2. Kajian tingkat perkembangan klien terhadap kemampuan kognitif, kemampuan
berkomunikasi dan penyajian dalam komunikasi.
3. Evaluasi secara komprehensif fungsi dari komunikasi seperti bahasa, kesadaran, pragmatis
dan berbicara.
4. Kajian kemampuan bicara klien secara spontan. Perhatian kesesuaian antara bahasa verbal
dengan bahasa tulisan klien. Selama berkomunikasi kita lihat kelancaran klien berbicara,
kecepatannya, lihat adanya kesalahan kata-kata, kesalahan gramatikal dan perhatikan
respon klien saat kita ajak berbicara.
5. Kaji kemampuan menyebutkan nama, mengulang, membaca da menulis.
Untuk melihat secara komprehensif kata-kata dalam berbicaraan kita lakukan:
a. Minta klien untuk mengikuti perintah yang sederhana seperti duduk, berdiri.
b. Minta klien untuk menunjukkan sesuatu dengan tangan sesuai perintah, contoh tunjuk
pintu, jendela, lantai, dan lain-lain.
56
c. Tingkatkan kekompleksan perintah dengan lebih dari 2 tindakan yang harus diikuti.
6. Mengkaji kemampuan bahasa tulisan secara menyeluruh, yaitu dengan cara:
a. Minta klien membaca dengan keras, minta klien untuk menulis sesuai perintah,
b. Jika mengalami klien mengalami kesulitan dalam membaca. Minta klien menyusun
kembali kata-kata dalam surat.
7. Kaji kemampuan klien menyebut nama. Contoh titik2 minta klien menyebutkan salah satu
objek dalam ruangan.
8. Melihat kemampuan mengulang:
a. Minta klien menulis secara spontan Apa yang dipikirkan dalam bentuk kalimat, jika
tidak bisa bantu klien dengan memberikan banyak tuntunan. Contoh: tulislah kalimat
yang berhubungan dengan makan pagi hari ini.
b. Minta klien menulis kalimat berdasarkan perintah kita, misal: hari ini cerah sekali.
9. Kaji penggunaan secara spontan tentang gestur selama percakapan:
a. Apakah klien menggunakan penekanan secara tepat dalam suaranya, terutama untuk
menjawab pernyataan yang berhubungan dengan emosi.
b. Apakah klien menggunakan emosi dan sikap yang sesuai dengan situasi.
10. Kaji kemampuan mengulang, meniru, kesesuaian penggunaan bahasa kalimat dengan
penekanan suara:
a. Pilih penggunaan kalimat dengan kata-kata tidak emosional, contoh: ini dingin.
b. Minta klien untuk mengulang kalimat dengan nada sikap yang sama dengan
pemeriksa, contoh: senang, sedih, capai, marah dan lain-lain.
11. Kaji kemampuan mendengarkan secara komprehensif:
a. Pilih kalimat yang tidak melibatkan emosi.
b. Berdiri di samping client bila tidak bisa melihat ekspresi wajah dan bahasa isyarat,
minta klien untuk mengidentifikasi suara yang dikeluarkan oleh terapis.
12. Kaji kemampuan memperlihatkan bahasa isyarat titik terapis mengucapkan kalimat dengan
bahasa isyarat (nonverbal) yang berada dengan isi kalimat, kemudian minta klien untuk
mengidentifikasi.
13. Kaji kognitif klien seperti:
a. Ingatan
57
b. Perhatian, Apakah client berfokus pada rangsangan dari luar dan apa reaksi klien,
Adakah gangguan orientasi perilaku.
c. Konsentrasi titik Adakah gangguan konsentrasi, Apakah klien memperhatikan dan
berespon terhadap pertanyaan, Apakah klien memerlukan arahan kembali Saat ditanya.
d. Memori baru atau memori jangka pendek.
e. Memori jangka panjang.
f. Formasi konsep rumah apakah klien mengalami salah persepsi tentang informasi,
g. Fungsi eksekutif, kita kaji motivasi, tujuan rumah perencanaan program yang dibuat,
monitoring diri dan penggunaan umpan balik.
Semua pengkajian tersebut akan lebih baik jika diperoleh dari hasil observasi pada klien
dalam situasi komunikasi perawat klien sehari-hari, tanpa klien merasa sedang dikaji. Pengkajian
ini penting dilakukan secara teliti untuk mengetahui jenis gangguan bicara yang terjadi serta
penyebab dari gangguan tersebut, sehingga dapat memberikan intervensi yang tepat.
F. Intervensi Terapi
Usaha untuk meningkatkan kemampuan anak, dibutuhkan tim yang Solid yang terdiri
dari guru, speech language pathologist, audiologist, dan orang tua. Namun sebelumnya dokter
anak akan mengidentifikasi si gangguan komunikasi apa yang dialami anak Oma salah satunya
dengan mengecek fungsi pendengaran anak yang bekerja sama dengan dokter spesialis THT
(telinga hidung tenggorokan).
Speech-language pathologist akan membantu anak yang mengalami gangguan
komunikasi dengan cara memberikan terapi sesuai dengan kebutuhan spesifik anak. Dia juga
akan mengkonsultasikan kondisi anak dengan guru di sekolah sehingga diharapkan pihak
sekolah dapat mengakomodasi anak. Selain itu itu perlu adanya kerja sama dengan pihak sekolah
untuk mendiskusikan teknik-teknik terapi yang yang paling efektif dan paling cocok diterapkan
untuk masalah spesifik anak. Penggunaan alat bantu dengar sangat bermakna bagi anak dengan
gangguan dengar sedang sampai berat. Anak yang tuli membutuhkan timula si Dini yang
konsisten dan juga alat bantu komunikasi lain seperti "sign language" finger spelling", bahasa
isyarat dan juga tentunya alat bantu dengar. Teknologi yang canggih juga banyak membantu
anak-anak yang mengalami gangguan bicara/bahasa akibat keterbatasan fisik titik penggunaan
58
media komunikasi elektronik dapat membantu individu berkomunikasi tanpa bicara langsung
sehingga mereka tetap dapat mengomunikasikan isi pikirannya. Semua masalah tersebut dapat
diatasi atau dikembalikan seperti fungsi semula melalui program speech therapy. Menurut hsdc
(2005), terapi ini dimulai dari 24 jam klien stroke masuk rumah sakit (bila kondisi fisiknya telah
memungkinkan), dan kemudian dilakukan secara berkelanjutan 1—2 tahun post stroke.
Rehabilitasi secara Dini akan mempercepat proses penyembuhan, rehabilitasi ini harus rutin
sehingga otak mampu untuk mengingatnya. Adapun tujuan dari rehabilitasi ini adalah untuk
melatih sel-sel yang tidak rusak. salah satu untuk mengatasi gangguan berbicara dan berbahasa
adalah dengan speech therapy.
Speech therapy adalah penyediaan pelayanan yang diberikan oleh health care profesional
untuk membantu seseorang dalam memperbaiki komunikasi. Di dalamnya meliputi bagaimana
membuat suara dan bahasa, termasuk pengertian dan pemilihan kata yang digunakan. Pelayanan
speech therapy diberikan oleh speech therapist, yang mengetahui kelainan ucapan dan bahasa.
Speech therapist adalah seseorang yang tamat dari pendidikan tinggi khusus terapi, atau perawat
dokter yang telah mendapatkan pendidikan khusus terapi (occupational therapist). Program
speech therapy ini selalu berkembang, sehingga seseorang terapis harus selalu mengikuti
perkembangannya.
G. Kaidah Terapi
Kaidah terapi yang banyak digunakan untuk kasus stroke adalah terapi perilaku visual,
terapi intonasi melodi, dan terapi perbandingan pendengaran (Sastra, 2005). Kaidah terapi
perilaku visual dan terapi intonasi melodi digunakan untuk penderita yang menjalani perawatan
awal mulai dari sebulan pertama, Sedangkan untuk perawatan dua sampai tiga bulan digunakan
kaidah terapi perbandingan pendengaran (Marshal, 1981). Kaidah terapi perbandingan
pendengaran bertujuan melatih artikulasi sehingga penderita mampu bertutur secara sederhana
sampai normal.
H. Terapi perilaku visual
Terapi ini bertujuan melatih penderita menggunakan gerak dalam berkomunikasi. Kaidah
ini digunakan karena anggapan bahwa penderita mengalami gangguan pada hemisfer kanannya
masih normal, kenormalan hemisfer kanannya menyebabkan penderita ta mampu berkomunikasi
59
secara nonverbal seperti menggunakan gerakan titik program terapi ini terdiri dari tiga tingkat
kesulitan sehingga penderita harus menjalani nya secara bertahap menurut tingkat kesulitannya.
Peringkat pertama terdiri dari 12 tahap, sedangkan yang kedua terdiri dari 7 tahapan. Kedua
belas peringkat tersebut adalah: (1) latihan mencari jejak, agar penderita mampu mengenal
gambar dengan objek yang tepat, (2) menyamarkan objek pada gambar dengan ukuran yang
tepat, (3) menyamakan objek pada gambar ukuran kecil, (4) menggunakan objek, (5) latihan
menggunakan objek sesuai gambar perilaku, (6) mengikuti penggunaan objek sesuai gambar
perilaku, (7) peragaan gerak pantomim, (8) mengenal gerak pantomim, (9) latihan gerak
pantomim, (10) melakukan gerak pantomim, (11) latihan gerak menggunakan objek, dan (12)
mengulang tahapan kesebelas. Peringkat kedua dan ketiga mengulang kembali tahapan ketujuh
sampai kedua belas (Sastra, 2008). Ketiga perangkat ini dilakukan kan untuk mengaktifkan
hemisfer kanan. Dengan demikian penderita pada minggu pertama dan kedua perawatan
diharapkan mampu berkomunikasi dengan menggunakan gerakan sederhana.
I. Terapi Intonasi Melodi
Terapi intonasi melodi dilakukan apabila hemisfer kanan penderita stroke mampu
menafsirkan proses nonverbal seperti musik atau melodi. Kaidah ini menggunakan nada musik
yang terbatas 3 sampai 4 nada saja (Sastra, 2008) intonasi melodi mempunyai tempo yang
lambat, bersifat lirik, dan Mempunyai tekanan yang berbeda.tetapi dimulai dengan kalimat dan
frase yang diucapkan dengan intonasi ,kemudian menuntun penderita secara bersmaan. Tetapi
juga dilakukan secara bertahap ,berulang ulang ,dan mempunyai tingkat kesulitan yang berbeda
.peringkat terapi ini antar lain : (1) member isyarat pada penderita agar tidak mengulang ,(2)
member contoh yang dilkukan dang menyuruh penderita mengulangnnya , (3) memberikan
contoh yang dilagukan untuk menyuruh penderita mengulangi secara bersama sama (4) member
isyarat pada penderita untuk mendengarkan ,kemudian menyuruh penderita untuk
mengulanginya dan (5) membuat kalimat tanya dan menyuruh penderita untuk menjawab,
membetulkan jawaban, dan melagukan bersama sama sambil mengetuk irama.
Kaidah terapi intonasi melodi ini dapat meningkatkan kemampuan berbahasa pada
penderita ,khussnya penderita stroke .penderita dibimbing secara bersama sama dan pelan pelan
menggunakan segmen bunyi.kesabaran dalam melakukan terpai linguistik dengan menggunakan
kaidah intonasai melodi, dirasakan lebih efektif guna menyalurkan fungsi saraf pendengaran oleh
60
korteks pendengaran primer di hemisfer kiri. Karena hemisfer kiri belum berfungsi dengan baik,
maka pengaktifan fungsi saraf pendengaran perlahan – lahan akan baik. Dengan demikian, akan
terjadi tuturan verbal yang bersifat melodi atau berirama pada tahap awal proses terapi.
J. Terapi perbandingan pendengaran
Terapi dengan menggunakan kaidah perbandingan peendengaran dilakukan pada tingkat
akhir ,karena terapi ini berguna untuk melatih pemantapan artikulasi. Pada masa ini ,penderita
juga dapat melakukan terapi lain bersamaan dengan terapi bahasa, seperti berolahraga ringan
guna mengaktifkan otot – otot bagian badan sebelah kanan .untuk itu ,terapis boleh saja melatih
pendengaran sambil mengamati kemajuan kemampuan komunikasi penderita.
Namun demikian, kemampuan linguistik penderita sangat ditentukan oleh aspek
nonlinguistiknya sepertinrasa percaya diri ,keinginan untuk sehat ,dan sikap keluarga dan
masyarakat lingkungannya terhadap penderita (Sastra, 2005).
K. Terapi linguistik
Terapi linguistik adalah terapi yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kemampuan
berkomunikasi para penderita gangguan berbahasa dan gangguan berbicara secara linguistik .
terapi ini melibatkan pengetahuan leksikal, semantik, dan emosional penderita (termasuk di
dalamnya pemahaman pragmatik) . Sastra (2008) mengatakan bahwa kemampuan berkomunikasi
penderita gangguan berbahasa dengan kasus stroke dapat ditingkatkan. Melalui perhitungan
leksikal tingkat kesalah penderita , dapat diukur indeks nonkesilapan semakin naik yang
berbanding lurus dengan kemampuan berkomunikasi penderita .sastra menyebutkan bahwa
penderita srtoreke mengalami gangguan pada hemisfer kiri, atau lesi tertentu menyebbkan ia
mengalami berbagai kesulitan leksiko – semantik .penderita mengalami kesulitan dalam
menemukan kata – kata ,namum apbila kata – kata tersebut sering dipakai , maka dapat dikenali
sebagai satu keseluruhan yang mempunyai arti semantik .
L. Pencapaian metode terapi perilaku linguistik
Pengetahuan leksikal (pengartian) kata penderita akan disimpannya pada hemisfer kiri,
tetapi dengan kemampuan mengenali aspek –aspek visual melalui gambar gambar, menandakan
bahwa konsep itu juga tersimpan di hemisfer kanan .penderita stroke umumnya sulit dalam
61
memahami isi yang diucapkan atau ditulis, tetapi kalau ditunjukkan sebuah gambar dari kata itu,
maka kata tersebut akan dipahaminya. Apabila kedua cara tersebut sudah dicoba,namun
penderita masih juga tidak memahami kata tersebut, maka dapat disebut bahwa penderita
mengalami kerusakan didaerah kesikal. Penyimpanan pengetahuan mengenai hubungan
intrakonseptual atau hubungan yang dijalin melalui analisis ciri – ciri dalam berbagai
konsep,tidak dapat dijelaskan oleh penderita, namun hubungan tematis apabila diceritakan secara
umum dapat dipahami oleh penderita.
Perasaan atau emosi juga berpengaruh terhadap pengetahuan leksikal dan semntik
penderita, baik pengalaman perasaan primer (yang dibawa sejak lahir) maupun perasaan –
perasaan tertentu ,sedangkan emosi keseluruhan dapat memanggil respons-respons kimia yang
mempengaruhi proses kognitif .Maka sebuah perasaan saling berhubungan dengan pengalaman.
Oleh sebab itu, melalui gambar –gambar maka emosi- emosi akan terus diadaptasikan oleh
penderita dalam memaknai berbagai konsep leksikal. Perbandingan ketiganya adalah :90 persen
indeks pengetahuan,70 persen semantic, dan 60 persen perasaan (Sastra, 2008).
M. Perilaku linguistik
Berkomunikasi dengan penderita stroke ketika masa penyembuhan sebagai bentuk
terapi ,tidak saja lingual ,tetapi dapat dilakukan secara auditif dan visus (penglihatan) dan taktil
(perabaan).penangannnya dapat melalui metode terapi prilaku secara pemeriksaan. Model Prins
(2004)sangat tepat digunakan dalam mengamati pengolahan informasi otak seperti berikut.
Informasi akan ditangkap melaui pendengaran ,penglihatan serta perabaan dan sampai
diotak posterior.pada tingkat kortikal terjadi pengolahan secara sadar.pengintegrasian terus
terjadi pengolahan secara sadar pengintegrasian terus terjadi melalui berbagai stimulus
.pengetahuan semantik dan arti emosional dalam hal ini terjadi .oleh sebab itu terapi prilaku
(terkait dengan persaan\emosi) sangat diperlukan dalam menangani gangguan berbahasa
penderita stroke terutama masa penyembuhannya ,karena diperkirakan fungsi hemisfer kanannya
tidak mengalami gangguan.
Pada tingkat kortikal , pengolahan daya ingat terus terintegrasi dari berbagai stimulus
pancaindera.kemudian penderita akan membandingkan dengan pengetahuan seemantik. Sebuah
tindakan akan dipertimbangkan di daerah pre- frontal dan dilakukan berbagai pilahan. Akhirnya
62
sebuah pikiran menjadi implus dalam menjalankan proses selektif dari berbagai leksikal yang
tersimpan diotak.
Pencapaian metode terapi perilaku sebagai upaya peningkatan kemampuan
berkomunikasi penderita stroke ,diperoleh peningkatan grafik ondeks nonkesilapan berdasarkan
perhitungan kesilapan fonologi,leksikal dan semantik.
63
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Arifuddin. 2010. Neuropsikolinguistik. Jakarta: Rajawali Press.
Azhar, Arsyad. 2011. Media Pembelajaran. Jakarta: Rajawali Press.
Baihaqi, M. Luthfi. 2011. ―Kompetensi Fonologis Anak Penyandang Down Syndrome di SLB C
Negeri 1 Yogyakarta‖. Jurnal Widyariset. Vol. 14, No.1.
Bakker, Menno. 2001. ―Wavepad Sound Editor Master Edition v.5.55: Distributed by NCH
software Licensed Software.‖ www.nch.au/wavepad: (diakses pada tanggal 24 Januari
2017).
Chaer, Abdul. 2009. Fonologi Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.
Chaer, Abdul. 2003. Psikolinguistik Kajian Teoretik. Jakarta: Rineka Cipta.
Crowley, Terry. 1992. an Introduction to Historical Linguistics. New York: Oxford University
Press.
Ekovani, Roby Joi. 2016. ―Kemampuan Reseptif dan Produktif Penderita Tuna Rungu Ringan:
Studi Kasus Kurrata Ayuni Siswi SLB Negeri 1 Padang.‖ Skripsi pada Fakultas Ilmu
Buadaya. Padang: Universitas Andalas.
Hasan, Maimunah. 2010. Pendidikan Anak Usia Dini. Jogjakarta: Diva Press.
Irawan, Yusup. 2017. Fonetik Akustik. Bandung: Angkasa.
Johan, Mhd. 2014. ―Gangguan Reseptif Mahasiswa Dalam Menjawab Soal-soal Listening: Suatu
Kajian Neuropragmatik.‖ Tesis Pada Program Studi Lingusitik Fakultas Ilmu Budaya.
Program Pascasarjana. Universitas Andalas.
Kusumawati, Anita. 2013. ―Penanganan Kognitif Anak Down Syndorme Menggunakan Metode
Kartu Warna di TK Permata Bunda Surakarta Tahun Ajaran 2013/2014.‖ Skripsi
Jurusan Pendidikan Anak Usia Dini. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan.
Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Muslich, Masnur. 2008. Fonologi Bahasa Indonesia: Tinjauan Deskriptif Sistem Bunyi Bahasa
Indonesia. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Nababan, Sri Utari Subyakto. 1992. Psikolinguistik: Suatu Pengantar. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama.
Okkie, Rizkie Namira. 2013. ― Komunikasi Instruksional Guru dengan Anak Down Syndrome di
Sekolah Inklusi.‖ Jurnal Kajian Komunikasi (JKK) Universitas Padjajaran. Vol.1,
No.2.
64
Prins, Dharmaperwira. 2004. Gangguan-gangguan Komiunikasi pada Disfungsi Hemisfer Kanan
dan Pemeriksaan Komunikasi Hemisfer Kanan (PKHK). Jakarta: Djambatan.
Purnawinadi, I Gede. 2012. ―Penggunaan Spektogram Speech Analyzer pada Kidung Tantry
Nandakaharana‖. Jurnal Linguistika. Vol. 22, No. 42.
Putrayasa, Ida Bagus. 2008. Kajian Morfologi (Bentuk Derivasional dan Infleksional). Bandung:
Refika Aditama.
Ramlan, M. 2009. Morfologi Suatu Tinjauan Deskriptif. Yogyakarta: Karyono.
Sastra, Gusdi. 2016. ―Model Terapi Wicara Untuk Peningkatan Komunikasi Anak Tunagrahita
Penyandang Disabilitas Verbal.‖ Jurnal Prosiding. Padang: Universitas Andalas.
Sastra, Gusdi. 2016. ―Analisis Bioakustik Menggunakan Spektogram SA Terhadap Penderita
Disabilitas Pendengaran.‖ Jurnal Prosiding. Padang: Universitas Andalas.
Sastra, Gusdi. 2011. Neurolinguistik Suatu Pengantar. Bandung: CV ALFABETA.
Sastra, Gusdi. 2005. ―Ekspresi Verbal Penderita Strok dari Sudut Analisis Neurolinguistik‖.
Disertasi. Kuala Lumpur: Universiti Putra Malaysia.
Soepardi, Efiaty Arsyad, dkk. 2012. Buku Ajar Ilmu Kesehatan: Telinga Hidung Tenggorok
Kepala dan Leher (Edisi Ketujuh). Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Sri Samiwasi Wiryadi. 2014. ―Pola Asuh Orang tua Dalam Upaya Pembentukan Kemandirian
Anak Down Syndrome X Kelas D1/C1 di SLB Negeri 2 Padang (Studi Kasus Di SLB
Negeri 2 Padang)‖. Jurnal Ilmiah Pendidikan Khusus. Vol.3, No.3.
Sriwilujeng, Dyah. 2006. Pendidikan Kewarganegaraan KTSP 2006. Jakarta: Erlangga.
Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta: Duta Wacana
University Press.
Sudaryanto. 2015. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa: Pengantar Penelitian Wahana
Kebudayaan Secara Linguistis. Yogyakarta: Sanata Dharma University Press.
Yesi Fitria Dewi. 2014. ―Kemampuan Morfologis Pada Tuturan Anak Down Syndrome yang
Tergolong Mampu Latih.‖ Skripsi pada Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Bahasa dan
Sastra. Universitas Pendidikan Indonesia.
Yoffie Kharisma Dewi. 2013.―Disfungsi Bahasa Anak Retardasi Mental: Studi Kasus pada
Tuturan Yogi.‖ Tesis Pada Program Studi Lingusitik Fakultas Ilmu Budaya. Program
Pascasarjana. Universitas Andalas.
Yusuf, Suhendra. 1998. Fonetik dan Fonologi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
65