DIMENSI BUTA DALAM AL-QUR’AN: STUDI AYAT-AYAT A’MĀ
DENGAN APLIKASI METODE TAFSIR TEMATIK AL-FARMĀWĪ
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh:
Al-Ikhsan Saing
NIM. 1113034000009
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
(UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1440 H./2019 M.
DIMENSI BUTA DALAM AL-QUR’AN: STUDI AYAT-AYAT A’MĀ
DENGAN APLIKASI METODE TAFSIR TEMATIK AL-FARMĀWĪ
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh:
Al-Ikhsan Saing
NIM. 1113034000009
Pembimbing,
Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA
NIP. 19711003 199903 2 001
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
(UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1440 H./2019 M.
SURAT PERNYATAAN
Penulis yang bertandatangan di bawah ini:
Nama : Al-Ikhsan Saing
NIM : 1113034000009
Judul skripsi : “Dimensi Buta Dalam Al-Qur’an: Studi Ayat-Ayat A’mā
Dengan Aplikasi Metode Tafsir Tematik Al-Farmāwī”
menyatakan bahwa: 1) Skripsi ini merupakan hasil karya asli penulis yang
diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; 2) Semua sumber yang penulis gunakan dalam
penulisan ini telah penulis cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; 3) Apabila ternyata dikemudian hari tidak benar
atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka penulis bersedia
menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 01 Juli 2019
Yang menyatakan,
Al-Ikhsan Saing
NIM. 1113034000009
ii
TIM PENGUJI SKRIPSI
Skripsi ini telah diuji pada Sidang Terbuka pada:
Hari, tanggal : Rabu, 14 Agustus 2019
Pukul : 13.15-14.30 WIB
Tempat : Lantai VII Ruang Munaqasyah Fak. Ushuluddin
Pembimbing : Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA
Ketua Sidang : Kusmana, MA.,Ph.D
Sekretaris : Fahrizal Mahdi, Lc.,MIRKH
Tim Penguji : 1. Dr. Faizah Ali Syibromalisi, MA
2. Hasanuddin Sinaga, MA
iii
ABSTRAK
Al-Ikhsan Saing (1113034000009), “Dimensi Buta dalam Al-Qur’an: Studi
Ayat-Ayat A’mā dengan Aplikasi Metode Tafsir Tematik Al-Farmāwī”.
Skripsi Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2019.
“Buta” diartikan tidak dapat melihat karena rusak matanya (atau disebut
dengan tunanetra). Buta juga dimaknai tidak tahu atau tidak mengerti sedikitpun
tentang sesuatu. Ada juga yang memaknai tidak melihat tanda-tanda kebesaran
Allah. Lebih luas lagi, buta juga dimaknai orang-orang bodoh tidak dapat
mengerti lagi keras kepala dan buruk (watak) perangainya. Untuk itu, penelitian
ini didasari bahwa al-Qur’an menyebutkan arti buta dalam lafadz a’mā dan
derivasinya. Dari kata (lafadz) ini memiliki arti atau sebuah konsep dan
mempunyai makna yang lebih luas. Yang dimaksud dengan buta dalam penelitian
ini yakni bukan hanya sesuatu yang tidak dapat terlihat secara kasat mata. Artinya
ada kemungkinan pemaknaan lain sehingga menjadi unsur pemahaman terhadap
maksud tertentu. Maka, pokok masalah yang menjadi bahasan dalam skripsi ini
adalah: bagaimana konsep buta dalam perspektif al-Qur’an?
Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif dengan metode
pengumpulan data menggunakan library research. Khusus dalam pembahasan
penelitian ini menggunakan metode deskriptif-analisis. Adapun metode yang
dipakai merupakan metode mawḍū’i yang dirumuskan al-Farmāwī. Metode
mawḍū’i dipilih karena dinilai paling tepat untuk mengkaji konsep-konsep al-
Qur’an tentang suatu masalah, bila diharapkan suatu hasil yang utuh dan
komprehensif. Sumber primer yang penting adalah Ibnu Kathīr, al-Marāghī dan
al-Mishbah. Kolaborasi ketiga tafsir ini diharapkan menemukan interpretasi baru
terhadap konsep buta.
Hasil penelitian ini menujukkan bahwa al-Qur’an mengkonstruk atau
membangun sistem makna dari term a’mā ( )أعمىdan derivasinya terlahir makna-
makna yang lebih luas. Buta dalam al-Qur’an banyak perhatiannya terhadap kaum
yang dianggap buta secara Psikis (batiniah) dan sebagai bentuk apresiasi al-
Qur’an sebagian kecil disebutkan buta secara Fisik (lahiriah).
Kata Kunci: buta, a’mā, al-farmāwī, al-qur’an.
v
KATA PENGANTAR
Kita diwajibkan belajar, bukan diwajibkan untuk memjadi pintar. Kita
diwajibkan bekerja, tidak diwajibkan untuk berhasil. Kita diwajibkan
berikhtiyar semampu kita, tapi tidak diwajibkan meraih sesuai keinginan kita.
Sehebat apapun manusia ia tetap tak mampu mengalahkan kuasa Allah. Allah
memberi yang kita butuhkan, bukan yang kita inginkan.
Puji Syukur kehadirat Allah swt., Dzat yang memberikan nikmat, yakni
hembusan nafas, pandangan mata, sehingga dapat memandang indahnya alam
semesta dan nikmat-nikmat lain yang tidak mampu dihitung oleh hamba-Nya.
Penulis panjatkan atas segala rahmat dan karunia-Nya. Ṣalawat serta salam
semoga selalu tercurahkan kepada sosok Raḥmatan li al-‘Ālamīn, cahaya di atas
cahaya, manusia paling sempurna, Nabi Muhammad saw., Rasul penutup para
Nabi, serta doa untuk keluarga, sahabat, dan para pengikutnya hingga zaman
menutup mata.
Alḥamdulillāh, berkat rahmat dan ‘inayah Allah swt. penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini. Penyelesaian skripsi ini adalah karena keterlibatan
berbagai pihak yang jika tanpanya karya ini tidak akan terselesaikan. Kepada
beliau-beliau penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-
tingginya.
Melalui upaya dan usaha yang melelahkan, akhirnya dengan limpahan
karunia-Nyalah, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan sebaik-baiknya.
Berbagai kesulitan, cobaan dan hambatan yang penulis rasakan dalam penyusunan
skripsi ini, alḥamdulillāh dapat teratasi berkat tuntunan serta bimbingan-Nya dan
bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan
vi
ungkapan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada:
1. Prof. Dr. Amany Burhanuddin Umar Lubis, MA selaku Rektor UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Yusuf Rahman, MA selaku Dekan Fakultas Ushuluddin UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, beserta para Wakil Dekan.
3. Dr. Eva Nugraha, MA selaku Ketua Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan
Tafsir. Fahrizal Mahdi, MIRKH, selaku Sekretaris Program Studi Ilmu
Al-Qur’an dan Tafsir.
4. Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA., selaku pembimbing yang selalu
memberikan dedikasinya kepada penulis, bersabar memberikan ilmu dan
bimbingannya selama penulis berada di bawah bimbingannya. Juga
melalui beliau, tumbuh ide-ide baru, pemikiran baru, sehingga penulis
ada gairah semangat dalam menyelesaikan skripsi ini.
5. Kepada Tim Penguji, Kusmana, MA,Ph.D., Dr. Faizah Ali Syibromalisi,
MA, dan Hasanuddin Sinaga, MA yang telah memberikan saran dan
kritikan terhadap penulisan skripsi ini.
6. Seluruh dosen Fakultas Ushuluddin yang telah memberikan dedikasinya
mendidik penulis, memberikan ilmu, pengalaman, serta pengarahan
kepada penulis selama masa perkuliahan.
7. Kedua orang tua tercinta, ayahanda Muhammad Saing Mamang dan
ibunda Nur ‘Ain Nurdin, yang telah mengarahkan, dengan penuh kasih
sayang tanpa pamrih, tak pernah lelah dan tak bosan dalam memberikan
vii
dukungan moral maupun materil, serta do’a yang selalu membanjiri hati
buah hatimu ini.
8. Adik-adik tercinta Nahda Saing, Ridhallah Saing, Mulia Ghina Nafsi
Saing, Mukhlas Saing, serta tante Aminah dan om Irfan yang mana
kalian senantiasa memberikan dukungan dan do’a.
9. Seluruh teman-teman Tafsir Hadis Angkatan 2013 khususnya kelas A,
Salman Alfarisi, Halim Tarmidzi, Muslih Muhaimin, Iqbal Firdaus, Iqbal
Sahid, dan lain-lain yang tidak dapat disebutkan. Kalian lah yang selalu
memberi indahnya persahabatan.
10. kepada Al-Ahsan Sakino yang selalu memberi masukan yang
bermanfaat, Luqman Ahmad yang selalu memberikan support, kepada
teman seperjuangan di Madinah, ustadz Luqman Hakim, Faisal Abdan,
Faris dan seterusnya yang selalu kompak memberikan warna-warni
indahnya persahabatan.
11. Kepada pihak-pihak yang turut membantu dan berperan dalam proses
penyelesaian skripsi ini, namun luput untuk penulis sebutkan, tanpa
mengurangi rasa terima kasih penulis.
Harapan penulis semoga skripsi ini sedikit banyak dapat bermanfaat bagi
pembaca dan semoga Allah swt. selalu memberkahi dan membalas semua
kebaikan pihak-pihak yang turut serta membantu penyelesaian skripsi ini.
Āmīn yā Rabb al-Ālamīn.
Ciputat, 01 Juli 2019
viii
PEDOMAN TRANSLITERASI
A. Konsonan ═زz ═قq
’═ء ═سs ═كk
═بb ═ شsh ═لl
═تt ═صṣ ═مm
═ ثth ═ضḍ ═نn
═جj ═طṭ ═وw
═حḥ ═ظẓ ه/ ═ ةh
═ خkh ( ‘ ═ عayn) ═يy
═دd ═ غgh
═ ذdh ═فf Diftong
═رr
Vokal Panjang ═ ِ ىī
B. Vokal dan Diftong ═ َ وْوaw
═ َ —اā ═ َ ْويay
Vokal Pendek ═ َ —ىá
═ ُ —وū
َ ═a
ِ ═i
ُ ═u
C. Keterangan Tambahan
1. Kata sandang ( الalif lam maʽrifah) ditransliterasi dengan al-, misalnya
( )الجزيةal-jizyah, ( )الآثارal-āthār dan ( )الذمةal-dhimmah. Kata sandang ini
menggunakan huruf kecil, kecuali bila berada pada awal kalimat.
2. Tashdīd atau shaddah dilambangkan dengan huruf ganda, misalnya al-
muwaṭṭaʽ.
3. Kata-kata yang sudah menjadi bagian dari bahasa Indonesia, ditulis sesuai
dengan ejaan yang berlaku, seperti al-Qur’an, hadis dan lainnya.
ix
DAFTAR ISI
PENGESAHAN PEMBIMBING ............................................................... i
LEMBAR PERNYATAAN ......................................................................... ii
TIM PENGUJI SKRIPSI ............................................................................ iii
PERSETUJUAN TIM PENGUJI ............................................................... iv
ABSTRAK .................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ................................................................................. vi
PEDOMAN TRANSLITERASI ................................................................. ix
DAFTAR ISI ................................................................................................ x
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................ 1
1
A. Latar Belakang Masalah ........................................................... 5
B. Indentifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah ................ 7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................ 8
D. Metode Penelitian ..................................................................... 11
E. Tinjauan Pustaka ...................................................................... 15
F. Sistematika Penulisan ............................................................... 17
BAB II AL-FARMĀWĪ DAN METODE TAFSIR TEMATIKNYA ... 17
A. Biografi Al-Farmāwī ................................................................ 21
B. Sejarah Perkembangan Tafsir Tematik .................................... 24
C. Metode Tafsir Tematik Al-Farmāwī ........................................ 31
BAB III KLASIFIKASI DAN KATEGORISASI KATA A’MĀ ............ 33
A. Pengertian Kata A’mā dalam Al-Qur’an ................................. 36
B. Penggunaan Kata A’mā dalam Al-Qur’an ................................ 39
C. Kategorisasi Kata A’mā dalam Al-Qur’an ............................... 41
BAB IV DIMENSI BUTA DALAM AL-QUR’AN .................................. 41
A. Buta Fisik (Lahiriah) ................................................................ 41
51
1. Perlakuan terhadap Orang Buta (Tunanetra) ....................... 51
B. Buta Psikis (Batiniah) ...............................
1. Buta Tidak Melihat Tanda-tanda Kebenaran Al-Qur’an .....
x
2. Buta Mata Hati ………………………................................. 61
BAB V PENUTUP ..................................................... 67
67
A. Kesimpulan ............................................... 68
B. Saran ......................................................... 70
DAFTAR PUSTAKA ...................................................
xi
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Al-Qur‟an merupakan kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad melalui Malaikat Jibril, di dalamnya terdapat segudang rahasia
kehidupan, baik itu melalui masa yang lalu maupun berkaitan dengan masa yang
akan datang, itulah salah satu keistimewaan yang dimiliki al-Qur‟an. Al-Qur‟an
merupakan kitab suci terakhir yang diwahyukan Allah kepada Nabi Muhammad
saw. untuk dijadikan sebagai pedoman hidup (way of life) bagi umat manusia, dan
sekaligus sebagai sumber nilai norma disamping al-Sunnah. Al-Qur‟an juga telah
memperkenalkan dirinya antara lain sebagai hudān li al-nās. Al-Qur‟an pada
dasarnya adalah kitab keagamaan yang berfungsi sebagai petunjuk (hidāyah)
kepada umat manusia, baik secara teoritis maupun praktis dalam menjalani
kehidupan di dunia ini.1
Kandungan ajaran al-Qur‟an yang memandang manusia sama derajatnya
di sisi Allah kecuali hanya derajat ketaqwaannya menunjukkan semangat
humanisme yang sangat tinggi. Kiranya sangat indah bila ajaran tersebut mampu
diaktualisasikan umat Islam untuk menciptakan keharmonisan hidup
bermasyarakat. Banyak ayat-ayat yang secara jelas menyinggung persoalan
tersebut. Salah satunya adalah Surat „Abasa yang berisi teguran Allah terhadap
Nabi atas sikap beliau yang telah bermuka masam terhadap penyandang tunanetra.
1 Muhammad Nor Ichwan, Tafsir ‘Ilmi (Yogyakarta: Menara Kudus dan Rasail, 2004), h.
23.
1
2
Ayat tersebut sebenarnya sangat jelas, namun yang menjadi persoalan mengapa
ayat tersebut tidak banyak teraktualisasikan?2
Pernyataan di atas menunjukkan bahwa Islam sangat menghormati dan
menghargai hak-hak orang penyandang difabel. Begitu perhatiannya terhadap
penyandang cacat, Allah swt. pernah mengingatkan Rasulullah saw. dalam surat
„Abasa tersebut ketika beliau bermuka masam kepada sahabat „Abdullāh Ibn
Ummi Maktūm yang buta (tunanetra). Di ayat lain juga, Allah telah
menginformasikan bahwa tidak ada hinaan atau celaan mengundang orang difabel
untuk makan bersama (QS. al-Nūr [24]: 61).3
Ayat di atas sebagai sikap manusia agar senantiasa memperlakukan kaum
tunanetra (buta) atau difabel dengan baik. Islam mengajarkan semua manusia
sama derajatnya di sisi Allah, kecuali ketakwaannya. Dengan demikian, sebagai
ulasan awal di atas, penelitian ini tidak hanya mengarah pada perhatian al-Qur‟an
terhadap penyandang tunanetra. Artinya, perlu pelacakan lebih serius agar
ditemukan bahwa al-Qur‟an memberikan gambaran luas terhadap konsep buta
secara utuh dan komprehensif.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, “buta” diartikan tidak dapat
melihat karena rusak matanya (atau disebut dengan tunanetra). Buta juga
dimaknai tidak tahu atau tidak mengerti sedikitpun tentang sesuatu.4 Dalam al-
2 Hindatulatifah, “Apresiasi al-Qur‟an terhadap Penyandang Tunanetra: Kajian Tematik
terhadap QS. „Abasa.”, Aplikasia: Jurnal Aplikasi Ilmu-ilmu Agama, Vol. IX, No. 2 Desember
2008, h. 91.
3 Siti Nurhayah Dahliana, “Perlakuan terhadap Penyandang Difabel Perspektif Al-Qur‟an:
Analisis Penafsiran Sayyid Qutb dalam Tafsir Fi Zilal al-Qur’an” (Skripsi Program Studi Tafsir
Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2016), h. 1.
4 Tim Redaksi, Kamus Besar Bahasa Indonesia – Edisi Keempat (Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, 2012), h. 229.
3
Qur‟an, kata buta disebutkan berulang-ulang kali, salah satunya adalah kata
‘umyun ( )عميyang dimaknai tidak melihat tanda-tanda kebesaran Allah (QS. al-
Baqarah [2]: 18). Ayat ini ditegaskan sebagai wujud peringatan Allah kepada
manusia juga sebagai wujud anugerah yang berbentuk alat-alat (pancaindera)
supaya manusia menggunakannya untuk memperoleh petunjuk.5 Selain itu, buta
dalam al-Qur‟an disebut ummīyūn ( )أُ ِميُّونdalam QS. al-Baqarah [2]: 78, kata ini
dimaknai orang-orang bodoh tidak dapat mengerti lagi keras kepala dan buruk
(watak) perangainya.6 Makna lain juga disebutkan bahwa ummīyūn ()أُ ِميُّون
diartikan orang-orang yang tidak memiliki pengetahuan tentang kitab suci atau
bahkan mereka yang buta huruf.7 Akan tetapi, M. Quraish Shihab memaknai kata
ummīy tidak hanya buta huruf, akan tetapi lebih dari itu. Untuk memperluas arah
pembahasannya, M. Quraish Shihab mengkelompokan kata ummīy menjadi tiga,
antara lain; ummīy-nya Yahudi, ummīy-nya masyarakat Arab, dan ummīy-nya
Nabi Muhammad saw itu sendiri. Pada pembahasan berikutnya, penulis hanya
membahas ummīy-nya Yahudi.
Pemaknaan di atas menunjukan adanya konsep buta memiliki arti atau
makna yang luas. Untuk memperkuat argumen tersebut, Eva Nugraha dalam
artikelnya sebagaimana ia mengutip pendapat al-Qurṭūbī, bahwa buta lebih
tepatnya disebut ummīy. Selain pada QS. al-Baqarah [2]: 78, kata tersebut juga
terdapat pada QS al-A‟rāf [7]: 157-158, ayat ini dinisbahkan kepada al-ummah al-
ummīyah, atau umat yang sejak awal tidak mengetahui apapun sebagaimana saat
5 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an
(Jakarta: Lentera Hati, 2002), vol. 1, h. 114.
6 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, vol. 1, h. 239.
7 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, vol. 1, h. 240.
4
bayi baru lahir. Mereka belum mempelajari cara membaca dan menulis. Riwayat
Ibn „Umar menegaskan bahwa ummah ummīyah adalah kondisi ketidakmampuan
membaca dan menulis. Kesimpulan ini merupakan argumen atas QS. al-„Ankabūt
[29]: 48.8 Dalam hal ini ummīy di sini dimaknai sebagai buta huruf.9
Perbincangan mengenai konsep ummīy sebenarnya bukan merupakan suatu
yang baru dalam pengkajian Islam. Konsep itu telah menjadi salah satu wacana
intelektual semenjak ulama salaf (terdahulu). Meskipun demikian, telaah
terhadapnya masih tetap merupakan tema yang menarik sampai sekarang.
Persoalan ummīy menjadi menarik ketika dikaitkan dengan Nabi Muhammad saw.
yang dikatakan tidak dapat membaca dan menulis atau yang disebut buta huruf.10
Akan tetapi, dalam penelitian ini, penulis mencoba lebih jauh membicarakan
konsep buta secara keseluruhan dalam al-Qur‟an. Dari pelacakan penulis,
penyebutan al-Qur‟an yang mengandung arti buta di sini ditemukan lafadz a’mā
dan derivasinya. Dari kata (lafadz) ini memiliki arti penting dan mempunyai
makna yang lebih luas. Yang dimaksud dengan konsep buta dalam penelitian ini
yakni bukanlah sesuatu yang tidak dapat terlihat secara kasat mata. Artinya ada
kemungkinan pemaknaan lain sehingga menjadi unsur pemahaman terhadap
maksud tertentu.
8 Eva Nugraha, “Konsep al-Nabiy al-Ummī dan Implikasinya pada Penulisan Rasm”,
Refleksi: Jurnal Ilmu-ilmu Ushuluddin, Vol. XII, No. 2, Oktober 2011, h. 103.
9 A.W. Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap (Surabaya: Pustaka
Progressif, 1984), h. 40.
10 Dalam tulisan Usep Dedi Rostandi dalam tulisannya, pendapat yang masyhur
mengatakan bahwa yang dimaksud ummīy dalam semua konteks, baik berkaitan dengan Nabi,
masyarakat Arab, maupun Yahudi adalah buta huruf. Lihat Usep Dedi Rostandi, “Konsep Ummi
dalam Al-Qur‟an (Telaah Tematis)”, Falasifa: Jurnal Pendidikan dan Studi Keislaman, Vol. 5,
No. 2 September 2014, h. 291-292.
5
Dari pemaparan di atas, maka penelitian skripsi ini layak untuk dilakukan
dengan beberapa alasan; pertama, belum ada peneliti sebelumnya yang membahas
secara utuh tentang konsep buta dalam perspektif al-Qur‟an. Kedua, ada beberapa
peneliti baik dari kalangan orientalis11 maupun akademisi yang fokus membahas
terhadap konsep ummīy, sekaligus penelitian lain fokus membahas perhatian al-
Qur‟an terhadap kaum difabel/disabilitas atau tunanetra dalam perspektif al-
Qur‟an. Ketiga, kebanyakan orang awam memahami bahwa buta adalah sesuatu
atau perkara yang tidak dapat dilihat oleh kasat mata. Keempat, penelitian ini
bertujuan untuk menemukan cara al-Qur‟an mengkonstruk sistem makna dari kata
(lafadz) yang disebutkan di atas. Oleh karena itu, penulis memilih judul “Dimensi
Buta dalam al-Qur‟an: Studi Ayat-Ayat A’mā dengan Aplikasi Metode Tafsir
Tematik Al-Farmāwī” dengan harapan dapat memberikan pemikiran yang luas
baik terhadap penulis dan para pembaca.
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Dari topik yang diuraikan di atas, ada beberapa masalah yang dapat
diidentifikasikan, diantaranya:
a. Kebanyakan penelitian yang sudah ada fokus membahas perhatian al-
Qur‟an terhadap kaum difabel/disabilitas atau tunanetra dalam
11 Eva Nugraha dalam artikelnya menyebutkan nama-nama orientalis seperti Samuel
Marinus Zwemer, Isaiah Goldfeld dan Khalil Athamina yang mempertanyakan apakah Nabi
Muhammad bisa menulis dan membaca. Lihat Eva Nugraha, “Konsep al-Nabiy al-Ummī dan
Implikasinya pada Penulisan Rasm,” Refleksi: Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin, Vol. XII, No. 2,
Oktober 2011, h. 101. Sedangkan Usep Dedi Rostandi menyebutkan R. Paret dan Philip K. Hitti.
Lihat Usep Dedi Rostandi, “Konsep Ummi dalam Al-Qur‟an (Telaah Tematis).” Jurnal Falasifa,
Vol. 5, No. 2 September 2014, h. 291.
6
perspektif al-Qur‟an. Maka, penelitian ini perlu peninjauan kembali
untuk menyisir kata a’mā dari berbagai derivasinya.
b. Kebanyakan kalangan/orang awam memahami bahwa buta adalah
sesuatu atau perkara yang tidak dapat dilihat oleh kasat mata.
c. Secara sempit, buata adalah kehilangan sebagian atau seluruh
kemampuan untuk melihat, sedangkan pengertian dalam arti luas
adalah kehilangan penglihatan.
d. Dalam al-Qur‟an sebagaimana mufassir yang ada memaknai bahwa
buta tidaklah sesuatu yang dapat dilihat oleh kasat mata (lihat poin b),
artinya buta di sini memiliki makna-makna lain. Maka, penelitian ini
bertujuan untuk menemukan cara al-Qur‟an mengkonstruk sistem
makna dari kata (lafadz) a’mā.
2. Pembatasan Masalah
Hasil pelacakan dalam al-Qur‟an yang menunjukkan arti buta yakni term
a’mā ( )أعمىdan serta derivasinya. Berdasarkan hasil penelusuran Mu’jam al-
Mufahras li Alfāẓ al-Qur’ān al-Karīm terulang sebanyak 34 kali dalam 30 ayat
serta tersebar dalam 27 surat. Term ini terdapat dalam QS. al-Baqarah [2]: 18,
171; QS. al-Mā‟idah [5]: 71, QS. al-An‟ām [6]: 50, 104, QS. al-„A‟rāf [7]: 64, QS.
Yūnus [10]: 43, QS. Hūd [11]: 24 & 28, QS. al-Ra‟d [13]: 16, 19, QS. al-Isrā‟
[17]: 72, 97, QS. Ṭāhā [20]: 124-125, QS. al-Ḥajj [22]: 46, QS. al-Nūr [24]: 61,
QS. al-Furqān [25]: 73, QS. al-Naml [27]: 66, 81, QS. al-Qaṣaṣ [28]: 66, QS. al-
Rūm [30]: 53, QS. Fāṭir [35]: 19, QS. Ghāfir [40]: 58, QS. Fuṣṣilat [41]: 17 & 44,
7
QS. al-Zukhruf [43]: 40, QS. Muḥammad [47]: 23, QS. al-Fatḥ [48]: 17, QS.
„Abasa [80]: 2.12
Dari term yang digunakan al-Qur‟an tersebut, penulis membatasi hanya
pada QS. al-Baqarah [2]: 18, QS. al-Mā‟idah [5]: 71, QS. al-An‟ām [6]: 50 dan
104, QS. al-„A‟rāf [7]: 64, QS. Yūnus [10]: 43, QS. Ṭāhā [20]: 124-125, QS. al-
Nūr [24]: 61, QS. al-Fatḥ [48]: 17, QS. „Abasa [80]: 2. Alasan penulis membatasi
ayat-ayat terpilih ini sebagai pokok bahasan, karena ayat-ayat ini memberi
informasi atau ulasan terkait pemaknaan buta dalam arti luas dibanding ayat-ayat
yang lain sebagaimana tema yang dibahas dalam skripsi ini, dan ayat-ayat yang
lain sebagai pelengkap jika ada kaitannya dengan munasabah ayat. Selain itu,
ayat-ayat terpilih nantinya akan dianalisis yang akhirnya terbentuk sebuah konsep
yang utuh.
3. Perumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah di atas, perumusan masalah skripsi ini
adalah; bagaimana konsep buta dalam perspektif al-Qur’an?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Sejalan dengan permasalahan di atas, orientasi penelitian ini diarahkan
pada upaya memahami serta menganalisis kandungan ayat dalam penafsiran
ulama. Dengan mengetahui pandangan atau pendapat ulama, jelasnya penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui konsep buta dalam perspektif al-Qur‟an secara
utuh dan komprehensif. Selain itu, penelitian ini bertujuan untuk menemukan cara
12 Muḥammad Fuad „Abd al-Bāqi, al- Mu’jam al-Mufahras li Alfāẓ Al-Qur’ān al- Karīm
(Kairo: Dār al-Ḥadīth, 1364 H), h. 488-489.
8
al-Qur‟an mengkonstruk sistem makna dari kata (lafadz) a’mā ( )أعمىdan
derivasinya sehingga terlahir makna-makna yang lebih luas.
Adapun manfaat dari penulisan skripsi ini:
1. Memberikan gambaran secara menyeluruh atau ideal terkait konsep buta
dalam perspektif al-Qur‟an.
2. Penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk para peneliti al-Qur‟an
terkait tentang konsistensi penggunaan kata (lafadz) dalam al-Qur‟an. Dari
penelitian tersebut nantinya akan membuat rumusan konsep-konsep
tertentu yang utuh.
D. Metode Penelitian
1. Metode Pengumpulan Data
Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif dengan metode
pengumpulan data menggunakan library research¸ yaitu penelitian yang datanya
didasarkan pengambilan data dari kajian pustaka atau literatur.13 Hal ini berarti
semua data penelitian diperoleh dari bahan-bahan yang tertulis yang bertemakan
dengan tema yang dibahas di dalamnya. Karena penelitian ini berkaitan langsung
dengan al-Qur‟an, maka sumber penelitian pertama adalah al-Qur‟an.
Data primer merupakan data yang diperoleh dari obyek penelitian.14 Data
pokok yang menjadi rujukan pembahasan skripsi ini berupa penafsiran ayat-ayat
buta dalam al-Qur‟an yang terdapat dalam tafsir Ibnu Kathīr, al-Marāghī dan al-
Mishbah, dan serta diperkuat tafsir-tafsir lain untuk memperkuat argument jika
13 Suharsini Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktis (Jakarta: Rineka
Cipta, 1993), h. 10.
14 Jujun S Sumantri dan Tim Lembaga Penelitian IKIP Jakarta, “Prosedur Penelitian Ilmu,
Filsafat dan Agama”, Jurnal Ilmu dan Penelitian Parameter, IKIP Jakarta, h. 45.
9
diperlukan. Alasan penulis mengambil ketiga tafsir ini adalah adanya perbedaan
masa penulisan pada kitab tafsir tersebut, yaitu tafsir Ibnu Kathīr pada masa
klasik, al-Marāghī pada masa modern dan al-Mishbah pada masa kontemporer.
Supaya dapat diketahui apakah ada perbedaan penafsiran ayat-ayat tentang konsep
buta antara penafsiran pada masa klasik, modern sampai sekarang ini.
2. Metode pembahasan
Dalam pembahasan penelitian ini, penulis menggunakan metode
deskriptif-analisis. Adapun metode yang dipakai merupakan metode mawḍū’ī.
Lebih spesifik, penulis memakai langkah operasional15yang dipakai adalah
sebagai berikut:
a. Memilih atau menetapkan topik (obyek) kajian yang akan dibahas
berdasarkan ayat-ayat al-Qur‟an.16
b. Melacak dan menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan tema buta
yang telah ditetapkan.17
c. Menyusun ayat-ayat tersebut secara runtut menurut kronologi masa
turunnya ayat atau asbāb al-nuzūl.
d. Mengetahui kolerasi ayat-ayat tersebut di dalam masing-masing
suratnya.
15 Dalam penerapan metode mawḍū’i„, penulis merujuk pada: „Abd al-Hayy al-Farmāwī,
Al-Bidāyah fī al-Tafsīr al-Mawḍū’i. Terj. Suryan A. Jamrah (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,
1994), h. 45.
16 Dalam penelitian ini, penulis mengkaji ayat yang terdapat kata kunci yaitu: a’mā ()أعمى
dan derivasinya, dengan menelusuri kitab karya Muḥammad Fuad „Abd al-Bāqi, al- Mu’jam al-
Mufahras li Alfāẓ Al-Qur’ān al- Karīm (Kairo: Dār al-Ḥadīts, 1364 H).
17 Dalam pelacakan ini, penulis menggunakan Aplikasi al-Qur‟an digital – Qur‟an
Kemenag RI (www.quran.kemenag.go.id)
10
e. Menyusun tema bahasan di dalam kerangka yang pas, sistematis,
sempurna dan utuh.
f. Melengkapi pembahasan dan uraian dengan hadis bila perlu, sehingga
pembahasan menjadi semakin jelas.
g. Mempelajari ayat-ayat tersebut secara tematik dan menyeluruh dengan
cara menghimpun ayat-ayat yang mengandung pengertian serupa,
mengkompromikan antara pengertian yang ‘am dan khash, antara yang
muṭlaq dan muqayyad, mengsingkronkan ayat-ayat yang lahirnya
tampak kontradiktif, menjelaskan ayat nāsikh dan mansūkh, sehingga
semua ayat tersebut bertemu pada satu muara, tanpa perbedaan dan
kontradiksi atau tindakan pemaksaan terhadap sebagian ayat kepada
makna-makna yang sebenarnya tidak tepat.
Dengan langkah tersebut, penulis menggambarkan secara cermat ayat-ayat
yang sudah ditentukan, dengan merujuk kepada tafsir-tafsir yang disebutkan di
atas dan kemudian penulis juga menganalisis pesan-pesan yang terkandung di
dalamnya.
3. Teknik penulisan
Teknik penulisan dalam penelitan ini mengacu pada Pedoman Penulisan
Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun
2017,18 kecuali pedoman transliterasi. Teknik penulisannya menggunakan model
APA (American Psychology Association), Turabian dan MLA (Modern Language
Association). Model-model tersebut merupakan sistem sitasi yang banyak
18 Lihat Keputusan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta No. 507 Tahun 2017 tentang
Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
11
digunakan dalam penulisan artikel ilmiah baik makalah, jurnal, tesis, dan
disertasi.19
E. Tinjauan Pustaka
Penelitian tentang konsep buta dalam perspektif al-Qur‟an belum
ditemukan, hanya saja terkait perlakuan terhadap penyandang cacat atau difabel
dalam al-Qur‟an telah banyak dilakukan, baik dalam bentuk artikel, skripsi dan
tesis sebagai berikut:
Siti Nurhayah Dahliana menulis skripsi dengan judul Perlakuan terhadap
Penyandang Difabel Perspektif Al-Qur’an (Analisis Penafsiran Sayyid Qutb
dalam Tafsir Fi Zilal al-Qur’an.20 Penelitian ini mencoba mengkaji penafsiran
ayat-ayat al-Qur‟an tentang perlakuan terhadap penyandang difabel dengan
memakai tafsiran Sayyid Quṭb. Tujuan dari tulisan Dahliana ini dapat
menumbuhkan sikap kepedulian terhadap penyandang difabel dan meminimalisasi
sikap abai terhadap mereka. Skripsi yang hampir sama juga ditulis oleh
mahasiswa UIN Yogyakarta yakni, Cici Afridawati menulis dengan judul Respon
Al-Qur’an terhadap Difabilitas (Kajian Tematik terhadap Ayat-ayat Difabel).21
Tak jauh dari penelitian Dahliana, penelitian Cici Afridawati juga mengulas
bagaimana respon al-Qur‟an terkait difabilitas, sebab menurut Afridawati kaum
difabilitas selalu termaginalkan dan masih banyak paradigma-paradigma negatif
19 Lihat Pedoman Penulisan Tesis dan Disertasi Program Magister dan Doktor Sekolah
Pascasarjana (SPs) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2018, h. 26.
20 Siti Nurhayah Dahliana, “Perlakuan terhadap Penyandang Difabel Perspektif Al-
Qur‟an: Analisis Penafsiran Sayyid Qutb dalam Tafsīr Fī Zilāl al-Qur’ān” (Skripsi Program Studi
Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2016)
21 Cici Afridawati, “Respon Al-Qur‟an terhadap Difabilitas (Kajian Tematik terhadap
Ayat-ayat Difabel)” (Skripsi Jurusan Ilmu Al-Qur‟an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan
Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2018).
12
lain yang diberikan kepada kaum minoritas ini. Ada juga artikel karya
Hindatulatifah dengan judul Apresiasi al-Qur’an terhadap Penyandang
Tunanetra: Kajian Tematik terhadap QS. ‘Abasa.22 Hindatulatifah menegaskan
bahwa al-Qur‟an menghormati penyandang difabel dan tidak ada diskriminasi
perlakuan terhadap mereka. Penyandang difabel mendapatkan hak pribadi dan
sosial yang sama dengan yang non-difabel. Hindatulatifah mendasarkan
kesimpulannya pada surat „Abasa dengan menggunakan metode tematik dalam
penjelasannya.
Selain tulisan Dahliana, Cici Afridawati, dan Hindatulatifah, penelitian
serupa juga dilakukan Rofi‟atul Khoiriyah dengan judul Difabilitas dalam Al-
Qur’an.23 Skripsi ini hendak mengulas eksistensi difabel dan perhatian al-Qur‟an
terhadap al-Qur‟an. Dalam tulisan ini ditemukan bahwa al-Qur‟an menyebutkan
dua jenis difabel yaitu tunanetra dan tunadaksa, yang dalam al-Qur‟an
memberikan perhatian penuh terhadap kaum difabel, yakni dengan tidak
membeda-bedakan antara satu dengan yang lainnya, baik seseorang dalam
keadaan cacat atau sempurnanya.
Sebagai pelengkap karya di atas, penelitian lain yang serupa juga
dilakukan Sri Handayana dengan judul Difabel dalam Al-Qur’an.24 Tulisan ini
bertujuan mendeskripsikan pandangan serta sikap al-Qur‟an terhadap difabel.
Penafsiran dimulai dari menelusuri ayat-ayat yang berhubungan dengan difabel
22 Hindatulatifah, “Apresiasi al-Qur‟an terhadap Penyandang Tunanetra: Kajian Tematik
terhadap QS. „Abasa.”, Aplikasia: Jurnal Aplikasi Ilmu-ilmu Agama, Vol. IX, No. 2 Desember
2008.
23 Rofi‟atul Khoiriyah, “Difabilitas dalam Al-Qur‟an” (Skripsi Jurusan Tafsir Hadis
Fakultas Ushuluddin UIN Walisongo Semarang, 2015).
24 Sri Hadayana, “Difabel dalam Al-Qur‟an”, INKLUSI: Journal of Disability Studies,
Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2016.
13
dan selanjutnya dihubungkan dengan realitas sosial. Sekalipun al-Qur‟an
mengajarkan kesetaraan dan keragaman, sikap umat Islam terhadap difabel
mungkin saja berbeda tergantung perspektif mereka terhadap difabel dan
lingkungan sosial di mana mereka berada. Tulisan ini juga mencoba untuk
mengeksplorasi secara mendalam pesan-pesan sosial tersembunyi dari al-Qur‟an
terkait difabel sehingga dapat diimplementasikan pada zaman sekarang.
Penelitian di atas membuktikan bahwa judul-judul terkait difabel atau
disabilitas dalam al-Qur‟an ataupun sejenisnya sudah banyak yang dilakukan.
Seperti Khairunnas Jamal dkk. menulis artikel dengan judul Eksistensi Kaum
Difabel dalam Perspektif Al-Qur’an.25 Tulisan ini berusaha untuk melihat
bagaimana al-Qur‟an berbicara mengenai penyandang cacat serta eksistensinya
dalam tatanan hukum dan sosial. Terminologi yang digunakan al-Qur‟an untuk
menunjukkan keberadaan penyandang cacat adalah a’ma, akmah, bukm, dan
shum.
Penelitian sejenis dengan mengkolaborasikan pada aspek pendekatan nilai
hukumnya dilakukan M. Khoirul Hadi dengan judul Fikih Disabilitas: Studi
Tentang Hukum Islam Berbasis Maṡlaḥaḥ.26 Penelitian ini berbasis penelitian
pustaka untuk mengangkat tema disabilitas dalam kajian hukum Islam. Khoirul
Hadi menguraikan hukum Islam yang tengah menghadapi sejumlah problem
kontemporer seperti ketidakadilan gender, lingkungan, terorisme dan lainnya.
25 Khairunnas Jamal dkk., “Eksistensi Kaum Difabel dalam Perspektif Al-Qur‟an”, Jurnal
Ushuluddin, Vol. 25 No.2, Juli-Desember 2017.
26 M. Khoirul Hadi, “Fikih Disabilitas: Studi Tentang Hukum Islam Berbasis Maṡlaḥaḥ.”
PALASTREN, Vol. 9, No. 1, Juni 2016.
14
Artikel ini menyimpulkan satu bahwa isu disabilitas telah didiskusikan sejak lama
dalam kitab fikih meskipun pembahasannya masih samar.
Sebagai pelengkap judul-judul di atas, jenis penelitian lapangan dilakukan
Sastya Eka Pravitasari dkk. dengan judul Pemberdayaan Bagi Penyandang
Tunanetra Guna Meningkatkan Kualitas Sumber Daya Manusia (Studi Pada UPT
Rehabilitasi Sosial Cacat Netra Malang).27 Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui dan menganalisis pemberdayaan yang dilaksanakan oleh UPT
Rehabilitasi Sosial Cacat Netra (RSCN) Malang bagi penyandang tunanetra guna
meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Hal ini dikarenakan penyandang
tunanetra merupakan bagian dari masyarakat yang mempunyai hak dan kewajiban
serta peran yang sama di segala aspek kehidupan sehingga mereka perlu
diberdayakan agar hidup mandiri.
Selain tulisan-tulisan di atas, penulis juga menemukan pembahasan pada
satu konsep dengan mengambil dari satu term yang sudah banyak dilakukan
antara lain: Pertama, karya Muji Basuki dengan judul “Ummī dalam Al-Qur‟an
Kajian Tematik Tafsir Al-Misbah Karya M. Quraish Shihab.”28 Di dalam karya
tulis ini hendak membahas tentang hakikat makna ummī dalam al-Qur‟an
berdasarkan perspektif M. Quraish Shihab dalam kitab tafsirnya al-Misbah.
Tujuan dari tulisan ini memberi gambaran secara lebih luas mengenai golongan
yang disebut ummī dalam al-Qur‟an. Ummī yang dalam al-Qur‟an tidak bisa
27 Sastya Eka Pravitasari dkk, “Pemberdayaan Bagi Penyandang Tunanetra Guna
Meningkatkan Kualitas Sumber Daya Manusia (Studi Pada UPT Rehabilitasi Sosial Cacat Netra
Malang).” Jurnal Administrasi Publik (JAP), Vol. 2, No. 1, (tth)
28 Muji Basuki, “Ummī dalam Al-Qur‟an Kajian Tematik Tafsir Al-Misbah Karya M.
Quraish Shihab.” (Tesis Program Studi Ilmu Keislaman Program Pascasarjana Iinstitut Agama
Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, 2013).
15
diukur dengan standar kebutahurufan (kebodohan) pada masa sekarang. Kedua,
karya Wan Z. Kamaruddin bin Wan Ali, “Konsep Ummī Nabi Muhammad saw
dari Perspektif Al-Qur‟an.”29 Ketiga, Usep Dedi Rostandi, “Konsep Ummi dalam
Al-Qur‟an (Telaah Tematis).”30 Keempat, Eva Nugraha, “Konsep al-Nabiy al-
Ummī dan Implikasinya pada Penulisan Rasm.”31 Kelima, Mukmin, “Konsep
Keummian Nabi Muhammad dalam Al-Qur‟an (Tela‟ah Kritis terhadap pemikiran
Agus Mustofa dalam perspektif ilmu balaghah).”32 Keenam, Aris Fauzan, “Al-
Nabiy al-Ummiy dalam Telaah Historis-Semiotik.”33
Penelitian-penelitian di atas hanya mewakili sebagai tinjaun pustaka.
Sebetulnya masih banyak karya lain terkait difabel atau disabilitas, konsep ummī,
ataupun sejenisnya yang dirasa tidak perlu ditampilkan, karena penelitan-
penelitian tersebut tidak memberikan informasi atau pemikiran yang menyeluruh
dari penulisan skripsi ini.
F. Sistematika Penulisan
Adapun penulisan ini dilakukan dengan membagi beberapa bab dan sub-
bab. Masing-masing bab dan sub-bab memiliki keterkaitan yang erat dan tak
terpisahkan. Demikian pula antar masing-masing bab. Singkatnya, skripsi penulis
terbagi menjadi lima bab dengan sistematika sebagai berikut:
29 Wan Z. Kamaruddin bin Wan Ali, “Konsep Ummi Nabi Muhammad saw dari
Perspektif Al-Qur'an.” Jurnal Ushuluddin, Vol. 7, 1998.
30 Usep Dedi Rostandi, “Konsep Ummi dalam Al-Qur‟an (Telaah Tematis).” Jurnal
Falasifa, Vol. 5, No. 2 September 2014.
31 Eva Nugraha, “Konsep al-Nabiy al-Ummī dan Implikasinya pada Penulisan Rasm,”
Refleksi: Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin, Vol. XII, No. 2, Oktober 2011.
32 Mukmin, “Konsep Keummian Nabi Muhammad dalam Al-Qur‟an (Tela‟ah Kritis
terhadap pemikiran Agus Mustofa dalam perspektif ilmu balaghah),” Prosiding Konferensi
Nasional Bahasa Arab III, Malang, 7 Oktober 2017.
33 Aris Fauzan, “Al-Nabiy al-Ummiy dalam Telaah Historis-Semiotik.” Fokus: Jurnal
Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan, Vol. 3, No. 01, Juni 2018.
16
Bab I, Pendahuluan, mendiskusikan latar belakang masalah, identifikasi,
perumusan dan pembatasan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metodologi
penelitian, kajian pustaka, dan sistematika penulisan.
Bab II, Al-Farmāwī dan Metode Tafsir Tematiknya mencakup biografi al-
Farmāwī, sejarah perkembangan tafsir tematik, dan metode tafsir tematik al-
Farmāwī.
Bab III, Klasifikasi dan Kategorisasi Kata A’mā. Pada bab ini penting
dibahas untuk menguraikan secara detail penggunaan kata a’mā. Kata ini akan
ditelusuri satu per satu ayat ayat. Pembahasannya terdiri dari pengertian kata a’mā
dalam al-Qur‟an, penggunaan kata a’mā dalam al-Qur‟an, dan kategorisasi kata
a’mā dalam al-Qur‟an.
Bab IV, Wawasan Al-Qur‟an tentang Buta. Pembahasan bab ini
menghasilkan dua kategorisasi; Pertama, buta fisik (lahiriah), yang
menggambarkan perlakukan terhadap orang buta (tunanetra); Kedua, buta psikis
(batiniah), buta tidak melihat tanda-tanda kebenaran al-Qur‟an, dan buta mata
hati.
Bab V, Penutup, menjawab persoalan permasalahan ini dan memberikan
saran untuk studi labih lanjut.
BAB II
AL-FARMĀWĪ DAN METODE TAFSIR TEMATIKNYA
A. Biografi Al-Farmāwī
„Abd al-Ḥayy Hussein al-Farmāwī lahir pada tahun 1942 di Desa Kafr
Tablouha, Distrik Tala, Provinsi Menoufia, Mesir. Pendidikan awalnya dimulai di
salah satu kuttāb di desanya. Setelah berhasil menamatkan hafalan untuk seluruh
al-Qur‟an, ia kemudian mendaftar pada jenjang pendidikan dasar di Ahmadi
Institute, Tanta, pada tahun 1955. Selanjutnya setelah menamatkan pendidikan
menengah atas di tahun 1965, ia mendaftar sebagai mahasiswa di Fakultas
Ushuluddin Universitas al-Azhar di Assiut, dan lulus sebagai sarjana jurusan
Tafsir Hadis pada tahun 1969. Ia kemudian bekerja sebagai staff pembantu di
universitas sambil melanjutkan Program Master di bidang Tafsir dan „Ulum al-
Qur‟an yang diselesaikannya pada tahun 1972, dan setelah itu ia diangkat menjadi
asisten dosen. Ketika ia menyelesaikan program doktor di bidang Tafsir dan
„Ulum al-Qur‟an pada tahun 1975, maka barulah ia diangkat sebagai dosen penuh.
Ia kemudian dipromosikan untuk jabatan Asisten Professor pada tahun 1980, dan
baru diangkat sebagai professor penuh sejak tahun 1985 hingga akhir hidupnya. Ia
wafat pada dinihari Jumat tanggal 12 Mei 2017, meninggalkan empat anak
perempuan dan dua orang anak lelaki.
Dalam perkembangan karirnya, jabatan tertinggi yang pernah dipegangnya
adalah sebagai Wakil Dekan Fakultas Ushuluddin Universitas Al-Azhar di Kairo.
Ia juga pernah menjabat sebagai Ketua Jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin
Universitas Al-Azhar di Kairo, anggota Lajnah al-Ilmiyyah al-Da‟imah yang
17
18
bertugas mempromosikan jabatan profesor di Universitas al-Azhar, anggota senat
Fakultas Ushuluddin Universitas al-Azhar Kairo, anggota Komisi Pengembangan
Kurikulum Universitas-universitas Islam dalam Asosiasi Universitas Islam,
Sekretaris Jenderal pada anggota klub fakultas di Universitas Al-Azhar, Penasihat
Agama Federasi Organisasi Mahasiswa Negara Islam, Anggota Dewan Tertinggi
Urusan Islam (Mesir), Anggota Majelis Rakyat Republik Arab Mesir, dan
Anggota Dewan Tertinggi Orangtua dan Guru di Al-Azhar Al-Sharif. Sementara
itu, beberapa rihlah ilmiyah yang dilakukannya antara lain sabbatical leave
selama dua periode di Universitas Umm al-Qura, Makkah selama empat tahun
antara tahun 1978-1982; dan enam tahun antara tahun 1995-2000; serta menjadi
profesor tamu (visiting professor) untuk masa selama tiga bulan pada tahun 1992
di Universitas Imam Muhammad Ibn Sa‟ud di Madinah.1
Menurut Moh. Anwar Syarifuddin dalam tulisannya, tercatat sedikitnya
ada tiga puluh judul karya yang ditulis oleh Farmāwī dalam rentang kajian Islam
kontemporer. Berikut ini karya-karyanya, antara lain:2
1. “ ”الأخىح… غزٌق اىظؼذاal-Ikhwah Ṭarīq al-Su’adā’;
2. “ ً ثٍِ اىفزض واىزفط فً ٍٍشاُ الإطلا.. ”الإرهبةal-Irhāb bayn al-Farḍ wa al-
Rafḍ fī Mīzān al-Islām;
1 Moh. Anwar Syarifuddin, “Teori Penafsiran Tematik „Abd al-Ḥayy al-Farmāwī (1942-
2017)” diakses pada 17 Agustus 2019 dari
https://ulumulquran2010.wordpress.com/2018/04/04/teori-penafsiran-tematik-abd-al-
%E1%B8%A5ayy-al-farmawi-1942-2017/
2 Moh. Anwar Syarifuddin, “Teori Penafsiran Tematik „Abd al-Ḥayy al-Farmāwī (1942-
2017)” diakses pada 17 Agustus 2019 dari
https://ulumulquran2010.wordpress.com/2018/04/04/teori-penafsiran-tematik-abd-al-
%E1%B8%A5ayy-al-farmawi-1942-2017/
19
3. “ وّدبح فً اَخزح، فلاذ فً اىذٍّب.. ”الاطتقبٍخal-Istiqāmah Falāḥ fī al-Dunyā
wa Najāh fī al-Ākhirah;
4. “ً ”اىجذاٌخ فً اىتفظٍز اىَىظىػal-Bidāyah fī al-Tafsīr Mawḍū’ī;
5. “ٌٌ ”تذوٌِ اىقزآُ اىنزTadwīn al-Qur’ān al-Karīm;
6. “( وتؼيٍق, ”تهذٌت تفظٍٍز اثِ مثٍز(تحقٍقTahdzīb Tafsīr Ibn Katsīr (editor);
7. “ ثٍِ اىتشزٌغ الإطلاًٍ واىىاقغ اىَؼبصز.. ”خزاحخ اىتدٍَوJarāḥat al-Tajmīl
bayna al-Tasyrī’ al-Islāmī wa al-Wāqi’ al-Mu’āṣir;
8. “ ً أطجبة وأحنب..ً ”حزة اىخيٍح فً ٍٍشاُ الإطلاḤarb al-Khalīj fī Mīzān al-
Islām, Asbāb wa Aḥkām;
9. “ صىرهب – أطجبثهب – ػلاخهب.. ”اىخلافبد اىشوخٍخal-Khilafāt al-Zawjiyyah:
Ṣuwaruhā, Asbābuhā, ‘Ilājuhā;
10. “ ”دروص تزثىٌخ ٍِ اىهدزح اىْجىٌخḌurūs Tarbawiyyah min al-Hijrah al-
Nabawiyyah;
11. “ ٍِ ”رطٌ اىَصحف ثٍِ اىَؤٌذٌِ واىَؼبرظRasm al-Muṣḥaf bayn al-
Mu’ayyidīn wa al-Mu’āṣirīn;
12. “( ”ساد اىذػبح ٍِ هذي اىقزآُ اىنزٌٌ (ثلاثخ أخشاءZād al-Da’wah min Hady al-
Qur’ān al-Karīm (3 volume);
13. “ ثٍِ اىتشزٌغ الإطلاًٍ واىىاقغ اىَؼبصز.. ”سٌْخ اىَزآحZīnat al-Mar’ah: bayna al-
Tasyrī’ al-Islāmī wa al-Wāqi’ al-Mu’āṣir;
14. “ً ”اىظلاً فً الإطلاal-Salām fī al-Islām;
15. “( سمً ّدٍت ٍحَىد. ”صحىح فً ػبىٌ اىَزأح (رد ػيى دṢaḥwah fī ‘Ālam al-
Mar’ah (Radd „alā Duktūr Zakī Najīb Maḥmūd);
16. “ ”اىصزثٍىُ… خْبسٌز أوروثبal-Ṣarbiyyūn Khānāzir al-Urūba;
20
17. “ اىتىثخ إىى الله.. ”غزٌق اىظؼبدحṬarīq al-Sa’ādah al-Tawbah ilā Allāh;
18. “ ً 1994 ”ػشز ٍخبىفبد شزػٍخ فً وثٍقخ ٍؤتَز اىظنبُ واىتٍَْخ – اىقبهزحAsyr
Mukhālafāt Syar’iyyah fī Watsīqah Mu’tamar al-Sukkān wa al-
Tanmiyyah, Kairo 1994;
19. “( ”قصص الأّجٍبء ىلإٍبً اثِ مثٍز (تحقٍقQaṣaṣ al-Anbiyā’ li al-Imām Ibn
Kathīr;
20. “ ”قصخ اىْقػ واىشنو فً اىَصحف اىشزٌفQiṣṣat al-Nuqṭ wa al-Syakl fī al-
Muṣḥaf al-Sharīf;
21. “( ”متبثخ اىقزآُ ثبىزطٌ الإٍلائً أو اىحزوف اىلاتٍٍْخ (اقتزاحبد ٍزفىظخKitābat al-
Qur’ān bi al-Rasm al-Imlā’ī aw al-Ḥurūf al-Lātiniyyah (Iqtirāḥāt
Marfūḍah);
22. “ فً اىنتبة واىظْخ.. ”ىٍيخ اىقذرLaylat al-Qadr fī al-Kitāb wa al-Sunnah;
23. “ ”اىَظيَىُ ثٍِ الأسٍخ واىْهعخal-Muslimūn bayn al-Azmah wa al-Nahḍah;
24. “ ”ٍشزوع ثزّبٍح تزثىي لإصلاذ اىْفضMasyrū’ Barnāmij Tarbawī li Iṣlāḥ al-
Nafs;
25. “ ”ٍقذٍخ فً ػيٌ اىتفظٍزMuqaddimah fī ‘Ilm al-Tafsīr;
26. “( ىلإٍبً اثِ اىدشري (تحقٍق..ٍِ ”ٍْدذ اىَقزئٍِ وٍزشذ اىطبىجMunjid al-Muqri’īn
wa Mursyid al-Ṭālibīn li al-Imām Ibn al-Jazarī (editor);
27. “ًٍ ”اىَىد فً اىفنز الإطلاal-Mawt fī al-Fikr al-Islāmī;
28. “( ىلإٍبً اىغشاىً (تحقٍق.. ”اىَىد وأهىاه اىقٍبٍخAl-Mawt wa Aḥwāl al-Qiyāmah
li al-Imām al-Ghāzāli (editor);
29. “1 ”ٍىطىػخ اىتفظٍز اىَىظىػً جMawsū’ah al-Tafsīr al-Mawḍū’ī; dan
30. “ ”وصبٌب طىرح الإطزاءWaṣāyā Sūrah al-Isrā’.
21
Dari judul-judul karya di atas, nampak bahwa perhatian utama Farmāwī
berada dalam disiplin ilmu al-Qur‟an dan tafsīr, meskipun juga didapati karya-
karya populer Islam dan karya-karya di bidang dakwah dan hukum Islam, juga
tasawwuf. Terkait dengan bahasan tafsir tematik, ada dua dari karyanya yang
dapat dimasukkan ke dalam kategori ini yaitu; Al-bidāyah fī al-tafsīr al-mawḍū’ī
dan Mawsū’ah al-Tafsīr al-Mawḍū’ī. Al-Bidāyah ditulis selepas ia lulus program
doktor dan kemudian diangkat menjadi dosen secara penuh di universitas al-
Azhar. Sementara itu, tidak ada informasi yang menerangkan tentang karya yang
kedua, yang nampaknya hanya merupakan koleksi karya-karya yang dapat
dikategorikan sebagai karya penafsiran tematik al-Qur‟an.
Khusus al-Bidāyah fī al-Tafsīr Mawḍū’ī, karya al-Farmāwī ini ditulis dan
disajikan dengan penekanan pada pembahasan metodologis, dan karya ini
menitikberatkan pada pembahasan dan uraian mengenai metode tafsir mawḍū‟ī
beserta cara-cara pembahasan yang digunakan di dalam metode ini. Di dalam
kitab ini juga dijelaskan bagaimana cara mengungkap dan menyajikan segala
masalah yang dikandung oleh al-Qur‟an, serta bagaimana cara menggali dan
memahami segala petunjuknya.3
B. Sejarah Perkembangan Tafsir Tematik
Menurut Didi Junaedi dan Aisyah dalam artikelnya, bahwa dasar-dasar
tafsir mawḍū‟ī telah dimulai oleh Nabi saw.4 sendiri ketika menafsirkan ayat
3 Sebuah pengantar, „Abd al-Ḥayy al-Farmāwī, al-Bidāyah fī al-Tafsīr al-Mawḍū’ī:
Dirāsah Manhajiah Mawḍū’īyah, terj. Suryan A. Jamrah, Metode Tafsir Mawdhu’iy: Suatu
Pengantar (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1994), h. XVI.
4 Contoh tafsir mawḍū‟ī pada masa Nabi ialah seperti penafsiran beliau terhadap kata al-
ẓulm dalam ayat 82 surat al-An‟ām: “ ُ”اىذٌِ أٍْىا وىٌ ٌيجظىا إٌَبّهٌ ثظيٌ اوىئل ىهٌ الأٍِ وهٌ ٍهتذو. Yang
beliau tafsirkan dengan kemusyrikan yang terdapat dalam ayat 13 surat Luqmān: “ ٌإُ اىشزك ىظي
22
dengan ayat, yang kemudian dikenal dengan nama tafsir bi al-ma’thūr. Seperti
yang dikemukakan al-Farmāwī bahwa semua penafsiran ayat dengan ayat bisa
dipandang sebagai tafsir mawḍū’ī dalam bentuk awal. Menurut M. Quraish
Shihab, tafsir tematik berdasarkan surah digagas pertama kali oleh seorang guru
besar jurusan Tafsir, Fakultas Ushuluddin Universitas al-Azhar, Syaikh Maḥmūd
Shaltūt, pada Januari 1960. Karya ini termuat dalam kitabnya, Tafsīr al-Qur’ān
al-Karīm. Sedangkan tafsir mawḍū‟ī berdasarkan subjek digagas pertama kali
oleh Aḥmad Sayyid al-Kūmīy, seorang guru besar di institusi yang sama dengan
Syaikh Maḥmūd Shaltūt, Jurusan Tafsir, Fakultas Ushuluddin Universitas Al-
Azhar, dan menjadi Ketua Jurusan Tafsir sampai tahun 1981. Model tafsir ini
digagas pada tahun 1960-an. Buah dari tafsir model ini menurut M. Quraish
Shihab di antaranya adalah karya-karya Abbas Mahmud al-Aqqad seperti; al-
Insān fī al-Qur’ān, al-Mar’ah fī al-Qur’ān, dan karya Abul A‟lā al-Mawdūdī, al-
Ribā fī al-Qur’ān. Kemudian tafsir model ini dikembangkan dan disempurnakan
lebih sistematis oleh „Abd al-Ḥayy al-Farmāwī, pada tahun 1977, dalam kitabnya
al-Bidāyah fī al-Tafsīr al-Mawḍū‘ī: Dirāsah Manhajiyah Mawḍū‘iyah.5
Kaitannya dengan tafsir tematik berdasar surah al-Qur‟an, Badr al-Dīn
Muḥammad al-Zarkashī (745-794/1344-1392), dengan karyanya al-Burhān fī
‘Ulūm al-Qur’ān misalnya adalah salah satu contoh yang paling awal yang
menekankan pentingnya tafsir yang menekankan bahasan surah demi surah.
ٌٍ”ػظ. Dengan penafsiran Nabi tersebut, telah menanamkan benih tafsir mawḍū‟ī dan
mengisyaratkan bahwa lafadz-lafadz sesuatu ayat yang sukar diketahui maksudnya perlu dicari
penjelasannya dari lafadz-lafadz ayat yang lain. Lihat Abdul Djalal, Urgensi Tafsir Maudlu’i pada
Masa Kini: Sebuah Studi Perbandingan (Jakarta: Kalam Mulia, 1990), h. 87.
5 Didi Junaedi, “Mengenal Lebih Dekat Metode Tafsir Maudlu‟i”, Diya al-Afkar, Vol. 4
No.01 Juni 2O16, h. 25.
23
Demikian juga al-Suyūṭī (w. 911/1505) dalam karyanya al-Itqān fī ‘Ulūm al-
Qur’ān. Sementara tematik berdasar subyek, diantaranya adalah karya Ibn
Qayyim al-Jauzīyah (1292- 1350H.), ulama besar dari mazhab Ḥanbalî, yang
berjudul al-Bayān fī Aqsām al-Qur’ān; Majāz al-Qur’ān oleh Abū „Ubaid;
Mufradāt al-Qur’ān oleh al-Rāghib al-Isfahānī; Asbāb al-Nuzūl oleh Abū al-
Ḥasan al-Wahīdī al-Naisābūrī (w. 468/1076).6
Adapun kedudukan tafsir mawḍū‟i, Abdul Djalal menjelaskan bahwa tafsir
mawḍū‟ī adalah tafsir yang memamakai metode khusus, yang mengumpulkan
beberapa ayat yang membicarakan satu judul/topik, yang satu ditafsirkan dengan
ayat yang lain. Sehingga tafsir mawḍū‟ī ini termasuk tafsir bi al-ma‟thūr yang
paling tinggi tingkatannya, karena merupakan tafsir al-Qur‟an dengan al-Qur‟an
atau tafsir ayat dengan ayat.
Abdul Djalal pun menegaskan bahwa dalam hal ini tidak ada seorangpun
yang menambah keistimewaan metode tafsir mawḍū‟ī ini, dan metode ini lebih
baik daripada metode-metode tafsir yang lain. Sebab tafsir mawḍū‟ī ini memakai
sumber penafsiran yang paling tinggi dan paling baik, karena memakai sumber
ayat-ayat al-Qur‟an yang sudah barang tentu lebih tinggi dan lebih baik daripada
sumber hadis, atau riwayat sahabat maupun riwayat tabi‟in.7
Menurut al-Farmāwī dan Abdul Djalil sebagaimana mereka mengutip
Ahmad Mihna bahwa cukup banyak para penafsir di tahun-tahun terakhir ini yang
menulis karya tafsir berdasar metode tafsir ini. Begitu juga pendapat Maḥmūd
Shaltūt, bahwa metode tafsir mawḍū‟ī adalah metode tafsir yang paling ideal,
6 Aisyah, “Signifikansi Tafsir Maudhu'i dalam Perkembangan Penafsiran al-Qur'an”,
Tafsere, Volume 1 Nomor 1 Tahun 2013, h. 27-28.
7 Abdul Djalal, Urgensi Tafsir Maudlu’i pada Masa Kini, h. 93.
24
yang perlu diperkenalkan kepada khalayak umum dengan maksud untuk
membimbing mereka mengenal macam-macam petunjuk yang dikandung oleh al-
Qur‟an, dan untuk menegaskan kepada mereka bahwa masalah-masalah yang
dikandung oleh al-Qur‟an tersebut tidak melulu bersifat teoritis semata tanpa
memiliki hubungan yang riil dengan apa yang dialami oleh individu dan
masyarakat serta segala aspek kehidupan mereka.8
C. Metode Tafsir Tematik Al-Farmāwī
Kata metode berasal dari bahasa Yunani, methodos, yang berarti cara atau
jalan. Dalam bahasa Inggris, kata ini ditulis method, sedangkan bangsa Arab
menerjemahkannya dengan ṭarīqat dan manhaj. Dalam bahasa Indonesia, kata
tersebut mengandung arti: cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai
maksud (dalam ilmu pengetahuan dan sebagainya); cara kerja yang bersistem
untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai suatu yang
ditentukan.9
Adapun pengertian tafsir, menurut Manna‟ al-Qaṭṭān, kata tafsir adalah
bentuk taf’il dari kata fassara, artinya menerangkan, membuka, dan menjelaskan
(al-bayān). Dalam bahasa Arab, kata al-fasru berarti membuka arti yang sukar
sedang kata al-tafsīr berarti membuka atau menjelaskan arti yang dimaksudkan
dari lafal-lafal yang sulit. Sementara al-Zarkashī mengatakan, kata tafsir berasal
dari kata tafsirah, artinya steteskop, yaitu alat yang dipakai oleh dokter untuk
memeriksa para pesien, fungsinya adalah membuka dan menjelaskan. Dengan alat
8 „Abd al-Ḥayy al-Farmāwī, al-Bidāyah fī al-Tafsīr al-Mawḍū’ī, h. 48. Lihat juga Abdul
Djalal, Urgensi Tafsir Maudlu’i pada Masa Kini, h. 94.
9 Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir (Bandung: Tafakur, 2011), h. 97.
25
tersebut seorang dokter dapat menjelaskan penyakit yang diderita oleh seorang
pasien. Demikian pula seorang mufassir, dengan tafsir ia dapat menjelaskan ayat-
ayat al-Qur‟an.10
Adapun pembagiannya, tafsir dapat diklasifikasikan melalui tiga tinjauan
yakni dari segi sumber, metode, dan corak. Dari segi sumber tafsir dapat
dikategorikan menjadi dua yakni al-tafsīr bi al-mathūr dan al-tafsīr bi al-ra’yi.
Kemudian dari segi metodologinya, tafsir dapat dibagi menjadi empat yaitu al-
tafsīr al-taḥlīlī, al-tafsīr al-ijmālī, al-tafsīr al-muqarran dan al-tafsīr al-mawḍū’ī.
Sementara dari segi corak, setidaknya ada beberapa corak yang sering disebutkan
oleh para ulama antara lain tafsir bercorak hukum (fiqh), sastra budaya (al-adāb
al-ijtimā’ī), ilmiah (al-ilmī), sufistik (al-ishārī/al-ṣūfī), dan filsafat (al-falsafī).11
Khusus metode tafsir tematik. Tematik dalam bahasa Arab disebut
mawḍū’ī. Al-Farmāwī dalam al-Bidāyah fī al-Tafsīr al-Mawḍū’ī: Dirāsah
Manhajiah Mawḍū’īyah menjelaskan bahwa tafsir mawḍū‟ī adalah istilah baru
dari ulama zaman sekarang dengan pengertian menghimpun ayat-ayat al-Qur‟an
yang mempunyai maksud yang sama dalam arti sama-sama membicarakan satu
topik masalah dan menyusunnya berdasar kronologi serta sebab turunnya ayat-
ayat tersebut. Kemudian penafsir mulai memberikan keterangan dan penjelasan
serta mengambil kesimpulan. Secara khusus, penafsir melakukan studi tafsirnya
ini dengan metode mawḍū’ī, dimana ia meneliti ayat-ayat tersebut dari seluruh
seginya, dan melakukan analisis berdasar ilmu yang benar, yang digunakan oleh
penyaji untuk menjelaskan pokok permasalahan, sehingga ia dapat memahami
10 Alimin Mesra (ed.), Ulumul Qur’an (Jakarta Selatan: Pusat Studi Wanita [PSW] UIN
Jakarta, 2005), h. 216.
11 Alimin Mesra (ed.), Ulumul Qur’an, h. 218-219.
26
permasalahan tersebut dengan mudah dan bentul-betul menguasainya, sehingga
memungkinkan baginya untuk memahami maksud yang terdalam dan dapat
menolak segala kritik.12
Menurut M. Sja‟roni, di masa sekarang ini, tafsir tematik memegang peran
penting, karena dapat menyelesaikan problem-problem yang dihadapi masyarakat.
Persoalan-persoalan yang muncul dibelahan bumi dapat di lihat solusinya lewat
pendekatan penafsiran al-Qur‟an dengan menggunakan metode tematik.
Penafsiran al-Qur‟an dengan metode tematik sangat meluas di era informasi dan
globalisasi, karena disamping disusun secara praktis dan sistematis dengan
mengikuti kronologi turunnya ayat juga dapat menjawab tantangan zaman, karena
itu dapat dikatakan ṣaḥīḥ likulli zamān wa makān, dapat mengikuti perkembangan
zaman dengan menyesuaikan disegala tempat, situasi dan kondisi.13
Untuk mengetahui teori penggunaan metode mawḍū’ī yang dirumuskan al-
Farmāwī lebih spesifik langkah operasionalnya adalah sebagai berikut:14
a. Memilih atau menetapkan topik (obyek) kajian yang akan dibahas
berdasarkan ayat-ayat al-Qur‟an.15
b. Melacak dan menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan tema buta
yang telah ditetapkan.16
12 „Abd al-Ḥayy al-Farmāwī, al-Bidāyah fī al-Tafsīr al-Mawḍū’ī, h. 36-37.
13 M. Sja‟roni, “Studi Tafsir Tematik”, Jurnal Study Islam Panca Wahana I Edisi 12,
Tahun 10, 2014, h. 1.
14 Dalam penerapan metode mawḍū’i„, penulis merujuk pada: „Abd al-Hayy al-Farmāwī,
Al-Bidāyah fī al-Tafsīr al-Mawḍū’i. Terj. Suryan A. Jamrah (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,
1994), h. 45-46.
15 Dalam penelitian ini, penulis mengkaji ayat yang terdapat kata kunci yaitu: a’mā ()أػَى
dan derivasinya, dengan menelusuri kitab karya Muḥammad Fuad „Abd al-Bāqi, al- Mu’jam al-
Mufahras li Alfāẓ Al-Qur’ān al- Karīm (Kairo: Dār al-Ḥadīts, 1364 H).
16 Dalam pelacakan ini, penulis menggunakan Aplikasi al-Qur‟an digital – Qur‟an
Kemenag RI (www.quran.kemenag.go.id)
27
c. Menyusun ayat-ayat tersebut secara runtut menurut kronologi masa
turunnya ayat atau asbāb al-nuzūl.
d. Mengetahui kolerasi ayat-ayat tersebut di dalam masing-masing
suratnya.
e. Menyusun tema bahasan di dalam kerangka yang pas, sistematis,
sempurna dan utuh.
f. Melengkapi pembahasan dan uraian dengan hadis bila perlu, sehingga
pembahasan menjadi semakin jelas.
g. Mempelajari ayat-ayat tersebut secara tematik dan menyeluruh dengan
cara menghimpun ayat-ayat yang mengandung pengertian serupa,
mengkompromikan antara pengertian yang ‘ām (ًٌّ)ػبَا م17 dan khāṣ
( ٌّ)خبَا م,18 antara yang muṭlaq () ٍُ ْطياَق19 dan muqayyad () ٍُقاٍََّذ,20
mengsingkronkan ayat-ayat yang lahirnya tampak kontradiktif,
menjelaskan ayat nāsikh dan mansūkh, sehingga semua ayat tersebut
17 ‘Ām ialah naṣ yang memberikan pengertian umum. Yakni yang menunjukkan kepada
lebih dua hakikat, tanpa hingga atau mencakup segala afrad-nya, seperti perkataan al-rijāl (orang
laki-laki) atau al-nās (manusia). Kata itu mengenai lebih dari dua orang dengan umum; yakni
mengenai ini dan mengenai itu sekaligus. Keumuman pentunjuknya kepada lebih dari dua orang,
dinamai umum. Lihat Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah & Pengantar Ilmu Al-
Qur’an dan Tafsir (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009), h. 167.
18 Khāṣ ialah naṣ yang menunjuk kepada yang tertentu, seperti perkataan Aḥmad. Dan
juga dipandang khās kalimat yang umum dari satu jurusan, menjadi khāṣ dari jurusan yang lain,
seperti perkataan mu’minūn (orang-orang mukmin). Dari jurusan ini dinamai ‘ām. Tetapi
perkataan itu memisahkan orang-orang yang tidak beriman, maka dari jurusan ini khāṣ namanya.
Tegasnya, kata khāṣ ialah kata yang hanya menunjuk kepada satu golongan saja, tidak yang lain.
Yakni kata yang tidak mengenai dua benda sekaligus. Lihat TM. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah &
Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, h. 167.
19 Muṭlaq ialah nāṣ yang menunjuk kepada satu saja, tetapi tidak dikaitkan dengan sesuatu
pengaitnya. Umpamanya, perkataan seorang budak saja tetapi tidak ditentukan budak yang
bagaimana. Dari jurusan tidak dikaitkan, ia menyerupai umum. Tetapi dari jurusan mengenai
seorang saja, dinamakan muṭlaq. Petunjuk demikian dinamai iṭlaq. TM. Hasbi Ash-Shiddieqy,
Sejarah & Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, h. 168.
20 Muqayyad ialah naṣ yang menunjuk kepada satu yang dikaitkan dengan sesuatu sifat.
Umpamanya, seseorang berkata: “Seorang budak yang beriman”. Naṣ ini mengeluarkan budak
yang tidak beriman. TM. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah & Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir,
h. 168.
28
bertemu pada satu muara, tanpa perbedaan dan kontradiksi atau
tindakan pemaksaan terhadap sebagian ayat kepada makna-makna yang
sebenarnya tidak tepat.
Dengan langkah tersebut, dapat digambarkan secara cermat ayat-ayat yang
telah ditentukan, dan kemudian akan dianalisis pesan-pesan yang terkandung di
dalamnya.
Adapun teori tematik yang dirumuskan al-Farmāwī ini dikembangan oleh
Abdul Mustaqim dengan hasil macam-macam jenis penelitian. Menurutnya,
memakai metode tematik dapat mengontrol bias-bias ideologi yang dipaksakan
dalam penafsiran al-Qur‟an. Sebab akurasi sebuah penafsiran al-Qur‟an dapat
dilacak dengan mempertimbangkan struktur logis dan hubungan ayat-ayat yang
se-tema yang sedang menjadi obyek kajian. Dengan begitu, maka gagasan non-
qur‟ani dalam penafsiran al-Qur‟an dapat dieliminir sedemikian rupa.21 Dengan
demikian, Abdul Mustaqim menyebutkan bahwa macam-macam penelitian
tematik antara lain:
1. Tematik surat, yakni model kajian tematik dengan meneliti surat-surat
tertentu. Misalnya, meneliti tema “Penafsiran surat al-Ma‟un: Kajian
tentang Pesan Moral dalam Surat al-Ma‟un”. Hal yang dilakukan
adalah bagaimana menjelaskan penafsiran ayat-ayat surat al-Ma‟un,
dimana asbab al-nuzulnya, bagaimana situasi dan konteks yang
melingkupi di saat ayat itu turun, dan apa saja isi pokok pikiran dari
surat al-Ma‟un tersebut dan apa pesan-pesan moral di dalamnya.
21 Abdul Mustaqim, Metode Penelitian Al-Qur’an dan Tafsir (Yogyakarta: Idea Press
Yogyakarta, 2017), h. 60-61.
29
Pendekatan yang dipakai juga tergantung obyek formal yang hendak
dikaji. Hal ini dapat menggunakan pendekatan linguistik misalnya
pragmatik, atau stalistika al-Qur‟an, dan atau hermeneutika.
2. Tematik term, yakni model kajian tematik yang secara khusus meneliti
term (istilah-istilah) tertentu dalam al-Qur‟an. Misalnya, meneliti
dengan judul “Penafsiran Term Fitnah dalam al-Qur‟an”.22 Berapa kali
kata tersebut disebut dalam al-Qur‟an? Apa saja maknanya, dan dalam
konteks apa saja kata tersebut disebut di dalam al-Qur‟an. Hal-hal ini
yang harus dicermati dan diuraikan. Pendekatan semantik dalam
konteks riset ini menjadi tepat untuk dipilih. Sebab dalam pendekatan
semantik akan tampak dinamika perkembangan makna fitnah, baik
sinkroni maupun diakronik, bagaimana pula jejaring makna dalam
medan semantik dapat dieksplorasi dengan baik, kemudian dapat
menangkap world view (pandangan dunia) al-Qur‟an tentang term
fitnah.
3. Tematik konseptual, yakni riset ada konsep-konsep tertentu yang
secara eksplisit tidak disebut dalam al-Qur‟an. Tetapi secara subtansial
ide tentang konsep itu ada dalam al-Qur‟an. Misalnya tema, “Difabel
dalam perspektif al-Qur‟an”. Term difabel jelas tidak disebut secara
eksplisit dalam al-Qur‟an, tetapi ayat yang berbicara tentang difabel
dapat ditemukan di berbagai ayat al-Qur‟an. Cara pelacakannya adalah
22 Penelitian yang sama juga pernah dilakukan oleh Lilik Ummi Kaltsum dengan judul
“Fitnah dalam Al-Qur‟an (Suatu Kajian Tafsir Tematik)” Skripsi Jurusan Tafsir Hadis Fakultas
Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 1998. Atau dapat dilihat di
https://independent.academia.edu/LilikUmmiKaltsum/CurriculumVitae
30
melalui term al-a’mā (orang buta), al-ṣum (tuli), al-bukm (bisu) dan
lain-lain.
4. Tematik tokoh, yakni kajian tematik yang dilakukan melalui tokoh.
Misalnya, ada tokoh yang punya pemikiran tentang konsep-konsep
tertentu dalam al-Qur‟an. Seperti contoh “Konsep poligami menurut
Fakhr al-Dīn al-Rāzī dalam Tafsīr al-Kabir”, dan lain sebagainya.23
Melihat langkah-langkah operasional tafsir mawḍū‟ī di atas tampak lebih
mudah dan sederhana. Padahal, pada praktiknya terasa berat, sulit, dan rumit.
Karena itu, menurut Ahmad Izzan sebagaimana ia setuju dengan M. Quraish
Shihab yang mengingatkan bahwa menerapkan metode mawḍū‟ī memerlukan
keahlian akademis sehingga sikap hati-hati dan tekun sangat diperlukan.24
23 Abdul Mustaqim, Metode Penelitian Al-Qur’an dan Tafsir, h. 61-63.
24 Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir, h. 116.
BAB III
KLASIFIKASI DAN KATEGORISASI KATA A’MĀ
Dengan bantuan aplikasi al-Qur‟an digital (Qur‟an Kementerian Agama)
versi 1.3.3.91 dengan menginput kosa kata kategori buta didapat informasi bahwa
dalam al-Qur‟an digunakan beberapa kata untuk menunjukkan penyandang cacat,
yaitu a’mā ( )أ ْع َمىatau ‘umyun (ٌ) عُع ْم ي, ummīy (ّ)أُع ِم ُي, akmah (َ )أَ ْ َمdan berbagai
derivasinya serta ṭamsa ( )طمسuntuk menunjukkan makna buta (tunanetra). Akan
tetapi pada penelitian ini hanay mengulas term a’mā ( )أعمىdan derivasinya
sehingga terlahir makna-makna yang lebih luas.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, buta diartikan tidak dapat melihat
karena rusak matanya (atau disebut dengan tunanetra). Buta juga dimaknai tidak
tahu atau tidak mengerti sedikitpun tentang sesuatu.2 Dari Persatuan Tunanetra
Indonesia (Pertuni) 2004 mendefinisikan tunanetra ialah mereka yang tidak
memiliki penglihatan sama sekali (buta total) hingga mereka yang masih memiliki
sisa penglihatan tetapi tidak mampu menggunakan penglihatannya untuk
membaca tulisan dalam keadaan cahaya normal meskipun dibantu dengan
kacamata. Ini berarti bahwa seorang tunanetra mungkin tidak mempunyai
penglihatan sama sekali meskipun hanya untuk membedakan antara terang dan
gelap. Orang dengan kondisi ini kita katan sebagai “buta total”. Di pihak lain, ada
tunanetra yang masih mempunyai sedikit sisa penglihatannya sehingga mereka
masih dapat menggunakan sisa penglihatannya itu untuk melakukan berbagai
1 www.quran.kemenag.go.id
2 Tim Redaksi, Kamus Besar Bahasa Indonesia – Edisi Keempat (Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, 2012), h. 229.
31
32
kegiatan sehari-hari termasuk membaca tulisan berukuran besar setelah dibantu
dengan kacamata.3
Pengertian tunanetra atau buta di sini memiliki pengertian secara luas,
pengertian tunanetra secara sempit adalah kehilangan sebagian atau seluruh
kemampuan untuk melihat, sedangkan pengertian dalam arti luas adalah
kehilangan penglihatan demikian banyak sehingga tidak dapat dibantu dengan
kacamata biasa. Jadi, tunanetra adalah anak yang mengalami kelainan atau
kerusakan pada satu atau kedua matanya sehingga tidak dapat berfungsi secara
optimal.4 Orang tunanetra yang masih mempunyai sisa penglihatan yang
fungsional seperti ini kita sebut sebagai orang “kurang awas” atau lebih dikenal
dengan sebutan low vision.5
Dalam sub-bab ini juga penulis akan menguraikan secara detail klasifikasi
dan kategorisasi kata a’mā ()أعمى. Kata ini akan ditelusuri satu persatu ayat-
ayatnya. Masing-masing ayat akan diklasifikasikan dalam dua hal yaitu
penggunaan bentuk kata isim dan fi’il yang dipergunakan, kemudian
dikategorisasikan ayat-ayat yang terkait buta fisik (lahiriah) dan psikis (batiniah).
Pelacakan bentuk kata mengacu kepada gramatikal bahasa Arab. Kalimat dalam
bahasa Arab terdiri dari tiga yaitu isim, fi’il, dan huruf. Namun penelitian pada
bab ini hanya membahas isim dan fi’il saja. Isim menurut bahasa ialah sesuatu
3 Ardhi Wijaya, Seluk Beluk Tunanetra & Strategi Pembelajarannya (Yogyakarta:
Javalitera, 2012), h. 12.
4 Aqila Smart, Anak Cacat Bukan Kiamat: Metode Pembelajaran & Terapi untuk Anak
Berkebutuhan Khusus (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2010), h. 36.
5 Low vision adalah mereka yang bila melihat sesuatu mata harus didekatkan, atau mata
harus dijauhkan dari objek yang dilihatnya, atau mereka yang memiliki pemandangan kabur ketika
melihat objek. Untuk mengatasi permasalahan penglihatannya, para penderita low vision ini
menggunkan kacamata atau kontak lensa. Lihat Aqila Smart, Anak Cacat Bukan Kiamat, h. 36.
33
yang menunjukkan benda atau nama. Menurut istilah pakar nahwu, isim adalah
kata yang menunjukkan atas makna pada dirinya sendiri tanpa terikat dengan
zaman atau waktu tertentu.6 Fi’il menurut bahasa adalah kejadian yang baru.
Sedangkan menurut istilah pakar nahwu ialah kata kerja yang menunjukkan
maksud atau makna dengan terikat waktu tertentu.7 Tujuan dari pelacakan bentuk
kata diperlukan untuk memperoleh data bentuk kata yang paling sering dipakai al-
Qur‟an. Banyaknya pengulangan bentuk kata dapat memberikan indikator makna
dari ayat-ayat tersebut. Maka, dari cara penelusuran kata-kata tersebut akan
terlahir makna-makna yang lebih luas.
Disamping penggunaan bentuk kata (fi’il dan isim), penelusuran
dilanjutkan pada pencarian kategorisasi ayat-ayat buta. Dari hasil pelacakan ini,
maka pentingnya dalam pembahasan bab ini akan dapat ditemukan ayat mana
yang mengulas atau mencakup tentang buta secara fisik dan ayat mana yang
mencakup buta secara psikis.
A. Pengertian Kata A’mā dalam Al-Qur’an
Term a’mā ( )أعمىatau ‘umyūn () عُع ْم ٌي. Berdasarkan hasil penelusuran
Mu’jam al-Mufahras li Alfāẓ al-Qur’ān al-Karīm terulang sebanyak 33 kali dalam
30 ayat serta tersebar dalam 21 surat. Term ini terdapat dalam QS. al-Baqarah [2]:
18, 171; QS. al-Mā‟idah [5]: 71, QS. al-An‟ām [6]: 50, 104, QS. al-„A‟rāf [7]: 64,
6 Muḥammad Muḥy al-Dīn „Abd al-Ḥamid, al-Tuḥfat al-Asaniyyah bi Syarh al-
Muqaddimah al- Ājurumiyyah: Fī Qawāid al-Naḥw wa al-I’rāb (Damaskus: Mu‟assasah al-
Risalah Nāsyirun, 1393 H/2016), h. 39. Lihat juga Muḥammad Ṣāliḥ al-„Uthaimin, Syarh al-
Ājurumiyyah (Riyād: Maktabah al-Rusyd Nāsyirun, 2003), h. 36. Lihat juga Muh. Haris
Zubaidillah, Pengantar Ilmu Nahwu: Belajar Bahasa Arab Sampai Bisa (Hulu Sungai Utara:
Penerbit Hemat, t.t), h. 10.
7 Muḥammad Muhy al-Dīn „Abd al-Ḥamid, al-Tuḥfat al-Asaniyyah bi Syarh al-
Muqaddimah al- Ājurumiyyah, h. 39. Muḥammad Ṣāliḥ al-„Uthaimin, Syarh al-Ājurumiyyah, h.
36. Muh. Haris Zubaidillah, Pengantar Ilmu Nahwu, h. 10.
34
QS. Yūnus [10]: 43, QS. Hūd [11]: 24, QS. al-Ra‟d [13]: 16, 19, QS. al-Isrā‟ [17]:
72, 97, QS. Ṭāhā [20]: 124-125, QS. al-Ḥaj [22]: 46, QS. al-Nūr [24]: 61, QS. al-
Furqān [25]: 73, QS. al-Naml [27]: 66, 81, QS. al-Qaṣaṣ [28]: 66, QS. al-Rūm
[30]: 53, QS. Fāṭir [35]: 19, QS. Ghāfir [40]: 58, QS. Fuṣṣilat [41]: 17, QS. al-
Zukhruf [43]: 40, QS. Muḥammad [47]: 23, QS. al-Fatḥ [48]: 17, QS. „Abasa
[80]: 2.8
Kata a’mā ( )أعمىsecara literal berarti orang yang buta secara fisik.
‘Umyūn ( ) عُع ْم ٌيsecara etimologi berarti hilangnya daya penglihatan,9 begitu juga
dalam kitab Lisān al-‘Arāb disebutkan bahwa ‘umyūn ( ) عُع ْم ٌيberarti hilangnya
penglihatan pada kedua mata. Dalam al-Qur‟an term ini mempunyai dua arti, yaitu
difabel secara fisik (orang yang cacat fisiknya) dan difabel mental (orang yang
cacat teologinya).
Mengambil dari penjelasan QS. Ṭāhā [20]: 124 terkait pemaknaan buta,
Ibn Katsīr menjelaskan term buta pada ayat di atas yakni mereka yang selama
hidupnya berpaling dari peringatan Allah orang yang menyalahi perintah yang
telah Allah turunkan kepada Rasul-Nya, melupakannya, dan mengambil selain
petunjuk dari Rasul-Nya. Nanti mereka akan dibangkitkan dalam keadaan buta
mata lahir dan batin.10 Al-Marāghī menjelaskan term buta dimaksudkan buta
terhadap surga, karena kejahilan yang pernah dilakukan di dunia akan tetap
8 Muḥammad Fuad „Abd al-Bāqi, al- Mu’jam al-Mufahras li Alfāẓ Al-Qur’ān al- Karīm
(Kairo: Dār al-Ḥadīts, 1364 H), h. 488-489.
9 CD ROM Maktabah Syamilah, Al-Mu’jam al-Wasith, juz. 1, h. 1086.
10 Muhammad Nasib ar-Rifa‟i, Taisir al-Alliy al-Qadir Li Ikhtisari Tafsir Ibnu Katsir,
terj. Syihabuddin (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), Jilid 3, h. 275.
35
melekat di akhirat kelak.11 M. Quraish Shihab juga memaknai term buta dengan
buta terhadap jalan menuju surga. Kehidupan yang sempit adalah kehidupan yang
sulit dihadapi, lahir dan batin. Kehidupan yang sedemikian menjadikan seseorang
tidak pernah merasa puas, dan selalu gelisah, karena tidak menoleh kepada hal-hal
yang bersifat rohaniah, tidak merasakan kenikmatan ruhani karena mata hatinya
buta dan jiwanya terbelenggu oleh hal-hal yang bersifat material.12 Seseorang
yang dianggap buta, dalam al-Qaṣaṣ [28]: 66 disebutkan tidak melihat sesuatu
serta gelap baginya alam raya ini. Dari sini buta yang dimaksud dapat dipahami
dalam arti gelap atau tidak melihat. Yang dimaksud adalah mereka tidak
menemukan jawaban.13
Penjelasan lain terkait pemaknaan term buta diungkapkan Ibn Kathīr
dengan merujuk QS. Fāṭir [35]: 19 sebagai bentuk perumpamaan kaum muslimin
dan kaum kafir. Kaum mukmin bagaikan orang yang hidup, sedangkan kaum kafir
bagaikan orang yang mati. Keduanya tidaklah sama. Orang mukmin dapat melihat
dan berjalan di dunia dan di akhirat sehingga dia sampai di surga. Sementara
orang kafir itu buta tuli dan berjalan dalam kesesatan sehingga ia sampai pada
neraka.14 Begitu juga pendapat al-Maraghi yang menyimpulkan bahwa buta pada
QS. Fāṭir [35]: 19 merupakan perumpamaan orang-orang kafir yang berjalan
dalam kegelapan-kegelapan, dia tak bisa keluar dari padanya. Sehingga ia terseret
menuju neraka. Sedang orang yang melihat adalah orang mukmin, mendengarkan
11 Aḥmad Musṭafā al-Marāghī, Tafsīr Al-Marāghī, terj. Bahrun Abu Bakar dkk,
(Semarang: PT Karya Toha Putra Semarang, 1993), Jilid 16, h. 295.
12 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah; Pesan Kesan dan Keserasian al-Qur’an
(Jakarta: Lentera Hati, 2002), Volume 11, h. 700.
13 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Volume 10, h. 387.
14 Muhammad Nasib ar-Rifa‟i, Taisirul al-Alliyul Qadir Li Ikhtisari Tafsir Ibnu Katsir,
Jilid 3, h. 963.
36
dan berhati terang. Dia dapat berjalan pada jalan yang lurus di dunia dan akhirat,
sehingga memantapkan keadaannya sampai masuk ke surga.15
Pendapat Ibn Kathīr dan al-Marāghī juga dikuatkan M. Quraish Shihab,
bahwa kata buta pada ayat di atas merupakan keadaan orang-orang kafir. Orang
kafir yang disamakan dengan orang buta. Seorang yang buta bisa saja mengetahui
sesuatu, tetapi pengetahuannya atas dasar pandangannya sama sekali nihil hingga
pada akhirnya pengetahuannya sangat kurang dan diliputi oleh ketidakpastian.
Kafir, kalaupun mengetahui sesuatu, yang diketahuinya hanyalah fenomena
kehidupan duniawi, bukan fenomena kehidupan ukhrawi, karena ia tidak dapat
memiliki pandangan hati yang mampu menunjukkan kepadanya makna hidup
ukhrawi itu.16 Begitu juga pendapat Maulana Muhammad „Ali. Ia berpendapat
bahwa a’mā ( )أعمىatau buta itu secara ibarat dapat digunakan sehubungan dengan
jiwa, dalam arti sesat; adapun hubungan antara dua arti itu ialah tidak menemukan
jalan kebenaran, tidak mengambil jalan kebenaran, atau buta jiwanya.17
B. Penggunaan Kata A’mā dalam Al-Qur’an
Kata ( أَ ْع َمىa’mā) atau ‘( عُع ْمumyun). Secara literal kata ( أَ ْع َمىa’mā) atau
‘( عُع ْمumyun) ini berasal dari mufradat bahasa Arab dalam bentuk fi’il (kata kerja)
( َع َمىfi’il māḍī), ( يَ ْع َمىfi’il muḍāri’), sedangkan bentuk fā’il-nya (subjek) adalah
أَ ْع َمىdan ُعع ْمadalah bentuk maṣdar-nya (infinitive), dimana kosa kata ini
memiliki makna hilangnya seluruh pengelihatan,18 membutakan atau menjadikan
15 Aḥmad Musṭafā al-Marāghī, Tafsīr Al-Marāghī, Jilid 22, h. 212.
16 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Volume 11, h. 48.
17 Maulana Muhammad „Ali, The Holy Quran, terj. H.M. Bachrun, Qur’an Suci Terjemah
& Tafsir (Jakarta: Darul Kutubil Islamiyah, 2006), Juz XXIV, h. 1315.
18 Ibnu Mazhūr, Lisān al-‘Arāb, jilid 4 (Kairo: Dār al-Ma‟ārif, 2010), h. 3115.
37
buta.19 Pengertian ini sesuai dengan kata „buta atau tunanetra‟ dalam bahasa
Indonesia.20 Sedangkan dalam Qāmūs Mushthalahāt al-‘Ulūm al-Ijtimā’iyah al-
Injilizī wa al-‘Arābī, kata a’ma berarti suatu keadaan terhambatnya pengelihatan
yang mencakup kebutaan total maupun keadaan-keadaan lain yang mendekatinya,
yang dalam bahasa Inggris disebut blindness.21 Dalam al-Qur‟an term ini
mempunyai dua arti, yaitu difabel secara fisik (orang yang cacat fisiknya) dan
difabel mental (orang yang cacat teologinya). Maka, untuk mengetahui pembagian
term a‟mā dan derivasinya berdasarkan bentuk kata (fi’il) dapat dilihat pada tabel
berikut ini:
Kata Jumlah Ayat Fi‟il
A’mā ()أعمى - Māḍī Muḍāri‟ Amr
عموا 2 kali dalam 1 -
ayat - - -
َ َع مِم 1 kali dalam 1 al-Mā‟idah [5]: 71 (2) -
ْ َ َع ِّمم ayat -
ْ َ ُعع ّمِم 1 kali dalam 1 al-An‟ām [6]: 104 -
تعمى ayat -
1 kali dalam 1 al-Qaṣaṣ [28]: 66 -
ayat -
2 kali dalam 1 Hūd [11]: 28 -
ayat -
- al-Ḥajj [22]:
46 (2)
Yang kedua, kata a’mā ( )أعمىdan derivasinya berdasarkan bentuk isim
dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Kata Jumlah Ayat Maṣdar Isim Maf‟ūl
- -
A’mā ( )أعمى14 kali dalam Fā‟il
14 ayat,
tersebar al-An‟ām [6]: 50,
Hūd [11]: 24, al-
Ra‟d [13]: 16 &
19 Lihat aplikasi al-Ma’ānī Likulli Rasm Ma’nā
20 Tim Redaksi, Kamus Besar Bahasa Indonesia – Edisi Keempat (Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, 2012), h. 229.
21 Muslih al-Shālih, Qāmūs Musthalahāt al- ‘Ulum al-Ijtimā’iyah Injilizī wa al-‘Arābī
(Riyāḍ: Dār al-„Alam al-Kutūb, 1419 H), h. 69.
38
dalam 11 19, al-Isrā‟ [17]:
surat 72 (2), Ṭāhā [20]:
124-125, al-Nūr
[24]: 61, Fāṭir
[35]: 19,
Muḥammad [47]:
23, al-Fatḥ [48]:
17, Ghāfir [50]:
58, „Abasa [80]: 2
ٌ عم ي6 kali dalam al-Baqarah [2]: 18 - -
6 ayat, dan & 171, Yūnus
tersebar [10]: 43, al-Naml
dalam 5 surat [27]: 81, al-Rūm
[30]: 53, al-
Zukhruf [43]: 40
عم ا2 kali dalam - - al-Isrā‟
2 ayat [17]: 97,
al-Furqān
ااعَ َم ىٰى1 kali dalam Fuṣṣilat [41]: 17 [25]: 73
--
1 ayat Fuṣṣilat [41]: 44 - -
َعم ًىى1 kali dalam - al-A‟rāf [7]: 64 -
1 ayat
َع ِمم ْ َه1 kali dalam
1 ayat - al-Naml [27]: 66 -
عمون1 kali dalam
1 ayat
Tabel di atas menunjukkan bahwa secara garis besar al-Qur‟an
menggunakan kata a’mā ( )أعمىserta derivasinya dalam dua bentuk yaitu, bentuk
fi’il dan isim. Fi’il adalah kata kerja yang memiliki waktu tertentu yaitu waktu
lampau (māḍī), sekarang atau akan datang (muḍāri’) dan kata kerja perintah
(amr). Sedangkan isim adalah kata benda. Ada tiga bentuk kata benda yaitu kata
kerja yang dibendakan (maṣdar), bentuk yang menunjukkan subyek (fā’il), dan
bentuk yang menunjukkan obyek (maf’ūl). Hasil penelusuran penelitian ini
menunjukkan bahwa al-Qur‟an menggunakan kata a’mā ( )أعمىdalam bentuk fi’il-