“Watu Mpoga’a”
PENGANTAR Ceritera-ceritera yang termuat dalam buku ini sudah dikenal masyarakat Pamona melalui tuturan turun-temurun dan ada pula sebagian yang tertulis untuk memperlengkapi bahasan dalam tulisan Dr. Albert C. Kruyt (Wawo nTana), tetapi singkat-singkat saja. Dari tuturan warga Pamona dan buku ini penulis berupaya mengangkatnya dan memperluas pembahasa-annya agar lebih menarik bagi pembaca. Ada ceritera yang bernuansa sejarah bahkan dianggap sebagai sejarah pada hal belum memenuhi kriteria sejarah, ada karena gejala-gejala alam serta bentukan alam dan manusia yang menginspirasi penutur menyusun ceritera dan ada pula yang bersifat mithos/legenda (dongeng) semata. Di seputaran danau Poso, terdapat sejumlah ceritera, akan tetapi pada kesempatan melalui tulisan ini tentu belum dapat merangkum semuanya disebabkan keterbatasan penulis melacaknya, termasuk keterbatasan narasumber yang masih mengenal dengan sempurna semua ceritera. Terima kasih kepada semua pihak yang berkontribusi bagi terbitnya buku ini, kiranya bermanfaat untuk semua kalangan khususnya warga sekolah yang senantiasa membutuhkan sarana bagi pengembangan pendidikan di bidang kesusasteraan lokal. Juga bagi peminat tulis-menulis dapat menjadikan materi pengembangan selanjutnya. Tidak terkecuali untuk pembaca yang membutuhkan hiburan. “S e l a m a t m e m b a c a !” Tentena, 24 September 2018. Penyusun, =Jan Pieter Rantung=
2. WATU MPOGA’A Di Bukit kampung Pamona sebelah barat hulu sungai Poso terdapat lempengan-lempengan batu megalith (batu besar) entah zaman mana kehadirannya, yang jelas adalah hasil buatan manusia. Tepat lokasinya berada di kompleks Gereja Jemaat Bethel Pamona. Jumlah batu yang sekarang tertancap di depan gedung gereja ada 7 buah. Tapi dalam tuturan warga dan ada yang tertulis mengatakanada 5 buah, 6 buah dan 7 buah batu. Misalnya Dr. A.C. Kruyt dalam bukunya Wawo nTana menyebut 6 buah berdasarkan persebaran etnis Pamona menjadi To Lage, To Pebato, To Onda’e, To Salu Maoge, To Payapi dan yang tertinggal To Wingke mPoso. Bilangan mana yang benar, belum ada kesepakatan. Beberapa tahun lalu lempengan batu hanya ada 3 buah bentuk dan jenis batu serupa, jelas bahwa dibuat oleh manusia. Bila sekarang terdapat 7 buah, teranglah baru ditambahkan entah apa maksudnya. Tambahan 4 buah batu
berbeda dengan yang 3 buah terdahulu, tidak ada tanda- tanda buatan manusia. Apabila kita memperhatikan bentuknya, nampaknya batu- batu ini serupa dengan yupa yang terdapat di Kutai (Kalimantan Timur) yang muncul pada awal hadirnya kerajaan Kutai (pengaruh Hindu). Kelebihan yupa Kutai terdapat tulisan (prasasti) dalam huruf Pallawa Kuno, sehingga diperkirakan masanya abad ke-4 M, pemiliknya Mulawarman dan fungsinya untuk tempat mengikat hewan kurban persembahan (sapi) dan tulisan lainnya. Nah, berita itu dapat mengungkap peristiwa sejarah Kutai. Di Bukit Pamona batunya polos, tanpa tulisan, tidak ada motif dan relief atau inskripsi yang dapat memberi petunjuk kesejarahan To Pamona, kecuali hanya mengandalkan tuturan turun-temurun. Maka untuk sementara kita kategorikan saja mithos bermuatan sejarah. Kapan, siapa pemilik batu tersebut dan apa pentingnya batu itu ada. Dalam uraian ceriteranya penulis mengacu pada bilangan 5 buah batu (“alima watu ndapomuya”-- sebaris lagu cipt. Simeon Nggasi). Ikuti ceriteranya dikisahkan sesuai alur ceritera yang sudah dikenal masyarakat dengan pengem- bangan gaya bahasa narasi sejarah.
RUMBENUNU RAJA BIJAKSANA Sejarah To Pamona sejak Lasaeo sampai pada Rumbenunu (bila dianggap sejarah) agaknya terputus pengenalan masya- rakat, tidak runtun. Setelah masa Lasaeo yang hidup bersama istrinya Rumongi pra surutnya air danau (Poso), muncullah ceritera Datu (Raja) Rumbenunu pasca air danau surut seperti sekarang ini. Rumbenunu dianggap sebagai Datu To Pamona suatu periode. Lasaeo bermukim di Lane (Tendea Dongi) di tepi pantai ketika luas danau melebihi yang ada sekarang ini. Panjangnya sekitar 50 Km (dari Lane sampai Mayoa) dan lebarnya sekitar 15 Km (bagian tengah). Rumbenunu bertakhta di Bukit Pamona. Kata ‘pamona’; ada yang mengatakan nama sejenis tumbuhan yang kini tak dikenal lagi (bd. Majapahit < buah maja yang rasanya pahit), ada mengartikan ‘permulaannya’ (A.C. kruyt – Van Heyden tot Christen) dan segelintir masyarakat menyebut ‘perceraian’ mengacu pada telusuran historis). Mengingat kebiasaan pemberian nama lokasi kecenderungannya nama tumbuhan. Sampai abad 17 M (perkiraan) penduduk To Pamona yang tersebar di beberapa pemukiman di tepian hulu dan aliran sungai (Wingke mPoso) terbilang sudah cukup banyak. Tetapi titik-titik lokasi pemukiman berada di bukit-bukit dan lereng gunung. Semua penduduk yang tersebar menjadi kelompok masyarakat besar yang dikenal To Bare’e (=tidak) karena mereka memakai bahasa yang sama, tradisi yang seragam dan corak kehidupan yang serupa. Pemerintahan masih sporadis, artinya setiap kelompok pemukim diatur/dipimpin oleh seseorang yang dipercayakan warga kepadanya. Ia digelar ‘tadulako’. Tidak ada saling mengganggu, sehingga situasi aman, tenteram. Kelompok pemukiman pada umumnya (sebut saja kampung) di huni oleh warga yang masih terkait keluarga (genealogis territorial).
Pemerintahan semacam ini mula-mula muncul di Yunani disebut ‘polis’ (negara kota). Kira-kira seperti itu adanya masa awal To Pamona (=kerajaan-kerajaan kecil) dalam pengertian wilayah otonomi yang sesungguhnya. Mengapa penduduk memilih pemukiman di perbukitan ? Ada beberapa alasan dapat dikemukakan: 1.Mendekati lahan huma (perladangan – belum mengenal persawahan) yang mudah diolah dengan sistem slash & burn (tebang dan bakar) tanpa olah secara tekhnologi. Ada lahan yang bisa dimanfaatkan berulang-ulang karena kondisi tanah yng subur, ada yang tidak demikian, sehingga yang terakhir ini menjadi kelompok nomaden (berpindah-pindah). Keuntungannya, penduduk dengan sendirinya tersebar ke mana-mana, kerugiannya lingkungan hidup menjadi rusak. 2.Dapat memantau keadaan sekeliling dari kemungkinan adanya gangguan keamanan warga, misalnya serangan dari kelompok lain. Dipertegas lagi dengan membangun benteng- benteng sekeliling pemukiman. 3.Lebih mudah memperdengarkan bunyi-bunyian sebagai tanda dalam situasi atau suasana yang sedang terjadi di satu tempat, seperti alat pukul ‘padengko’ (tebuat dari kayu) dan ‘tibuu/buburoo’ (bahan seruas bambu). Misalnya hal bertani, duka, ancaman atau pesta dengan irama yang berbeda-beda sesuai kesepakatan. Dalam perkembangan selanjutnya terjadi pembauran antara lain oleh adanya kawin-mawin antar kampung. Makin sering pembauran terjadi tentu memicu kehendak untuk hidup dalam pengaturan bersama, termasuk kehidupan politik yang tujuannya mengatur kebersamaan hidup dalam berbagai bidang (ekonomi, sosial, budaya). Maka sepakatlah mereka mengangkat
seseorang (tokoh) untuk memimpin kelompok masyarakat bersatu. Statusnya tidak lagi hanya sekedar tadulako tetapi ‘datu’ (raja). Kelak berubah jadi ‘mokole’. Bedanya, datu (raja) adalah penguasa tertinggi sedangkan mokole masih ada yang mengaturnya. Nampak ketika muncul zaman pemerintahan Kolonial. Terpilihlah seorang dari antara kampung-kampung di sebaran tepi danau dan aliran sungai. Siapa yang terpilih tidak diketahui, akan tetapi nampaknya berasal dari kampung Pamona. Dan itulah awal pemerintahan suku Bare’e di bawah pemerintahan seorang datu / raja. Begitulah terciptanya kerajaan mula-mula di negeri To Pamona yang karena kehendak bersama mendirikan sebuah imperium baru di samping kerajaan-kerajaan yang sudah terbentuk baik di selatan kerajaan Luwu dan di barat laut kerajaan Sigi (Kaili). Di daerah Sulawesi Selatan sampai adad 17 M telah lama berdiri sebuah kerajaan yang berpusat di Wotu (kelak pusat kerajaan berpindah ke daerah pantai (Palopo) dikenal dengan kerajaan Luwu, terlepas dari kerajaan Goa di Makasar. Wilayah taklukannya begitu luas dan masih ingin memperluasnya sampai ke daerah-daerah Sulawesi bagian tengah. Mendengar berita tentang adanya sebuah kerajaan baru di sekitar danau (Poso) mereka bergegas untuk mencoba menaklukkannya dengan mengutus delegasi melakukan kesepakatan untuk tunduk ke Raja Luwu. Misi tersebut ditolak oleh raja baru To Pamona. Maka utusan berikutnya adalah pasukan tentara Luwu di bantu tentara dari kerajaan Goa. Hasil dari agresi tersebut, raja To Pamona ditangkap dan ditawan, kemudian diserahkan kepada raja Luwu.
Kehadiran seorang tawanan apalagi tokoh penting di sebuah wilayah, tidak sebagaimana layaknya perlakuan seoorang tawanan. Raja To Pamona (tawanan) ini justru mendapat perlakuan istimewa dari raja Luwu. Ia diberi jabatan tinggi di lingkungan istana sekalian dikawinkan dengan putri Luwu. Perlakuan istimewa sang datu To Pamona ini membuat ia tidak pulang lagi ke Pamona selamanya sampai turun-temurun. 1) Dengan demikian terjadilah kekosongan pemerintah di Bukit Pamona (Wingke mPoso). Penduduk merasa bagai ‘anak ayam ditinggalkan induknya’. Muncullah seseorang yang sebenarnya dalam posisi ‘primus interpares’ (seorang tokoh yang bukan raja) seorang pejabat teras kampung, tetapi dari kalangan kabosenya. Dia bernama ‘Rumbenunu’. Bila menilik nama ini rupanya bukan nama asli tetapi gelar setelah kemudian terpilih menjadi datu /raja, arti gelarnya adalah ‘peri penjaga/bersemayam di beringin’. Siapakah Rumbenunu ini ? Dia adalah kerabat dari raja yang telah hijrah ke Luwu. Bila raja tersebut adalah turunan Lasaeo, maka Runbenunu pun tentu generasi Lasaeo. Dalam ceritera sebelumnya (Lasaeo & Rumongi), nama Dori alias Tuwu nColo merupakan putra satu-satunya tinggalan Lasaeo. Kemungkinan besar si Dori inilah yang menghadirkan generasi selanjutnya, termasuk sang raja pertama dan berikutnya Rumbenunu. Rumbenunu dipilih menajdi raja (datu) pengganti dia yang ‘tertawan dan tak kembali lagi. Rumbenunu mengatur rakyat nya dari takhta pemerintahanya di Bukit Pamona dengan arif bijaksana. Kepadanya penduduk menumpukkan harapan membangun negeri dan mensejahterakan rakyat. Maka tak salah apabila kemunculannya sebagai penguasa To Pamona tetap bergaung sampai sekarang
tersimpan dalam kenangan warga To Poso pada umumnya. Satu hal yang tetap diingat oleh masyarakat Pamona bahwa sang Datu Rumbenunu membangun kolam pemandian di sebelah timur istananya terletak di dataran tepian hulu sungai. Apa fungsi utamanya ? Bila itu semata-mata semacam kolam renang, sungai Poso lebih luas apalagi hanya sekedar tempat membersihkan tubuh. Sebagaimana terjadi pada agama Hindu dan sebagian agama suku, sebuah kolam pemandian dibangun untuk kepbutuhan ritual keagamaan, petirthaan (<tirtha= air) yang berfungsi tempat penyucian diri. Kolam yang dibangun oleh Rumbenunu disebut ‘Ue Datu’ (harafiah = air/tirtha raja). Sayangnya tidak terbuat dari bahan tahan sepanjang masa, bila itu terjadi maka pastilah ada petunjuk tentang kepercayaan yang dianutnya. Dapat diduga Rumbenunu seorang yang taat pada kepercayaannya. Kegemaran santap dari Datu Rumbenunu memang agak aneh. Setiap kali makan mesti ada ikan betik (kosa), tetapi hanya otaknya saja yang Datu makan (diisap-isap). Berapa besar jumlah otak ikan ini ( uta ngkosa), hanya 1-3 millimeter kubik (gram) per-ekor. Dan mesti berapa banyak jumlah ikan kosa harus dimasak untuk memenuhi kebutuhan sekali makan. Gambaran bahwa tentu ikan tersebut banyak terdapat di mana-mana dan sangat mudah memperolehnya. Berikut minuman kegemaran lainnya (selain air biasa tentu), adalah air buah pinang yang masih muda. Setiap biji pinang menyimpan hanya sekitar 1 mililiter (cc), berarti satu kali teguk saja jumlahnya 100 biji. Dan itulah kegemaran yang langka dan aneh untuk datu ini. 2) Suatu ketika datang menghadap sang Datu sekelompok orang menyampaikan kehendak. Mereka
bertanya bila Datu berkenan mengizinkan, akan berangkat ke negeri Luwu me- ngikuti mantan raja To Pamona sebelumnya. “Baik, kalau begitu kalian tak akan kembali lagi ke sini,” jawab sang Datu Rumbenunu. Kelompok ini terhisap kerabat mantan raja dan tentu kerabat sang Datu pula. Atas pernyataan Datu mereka diam saja. “Jika demikian kehendak hatimu, alangkah baiknya kita melakukan pertemuan bersama tokoh-tokoh masyarakat To Pamona lainnya, dan besok kalian boleh datang lagi.” Keesokan hari terkumpullah sejumlah tokoh mengadakan gombo (rapat) istimewa di istana Datu (Bukit Pamona). Datu menyampaikan rencana sekelompok warga yang hendak ke wilayah Luwu (selatan) dan bertanya kepada peserta rapat lain : “Apakah kehendak yang serupa ada pada benak kalian semua?” Semua diam, dan Datu tidak mau mendesak mereka, ia diam juga sambil makan pinang. Kasak-kusuk terjadi di antara peserta, sementara Datu tetap diam menanti respon. Tiba-tiba seseorang bersuara menyampaikan pendapatnya : “Maaf tuan raja, aku rasa tak mungkin lagi kehendak kelompok pengusul itu dicegah. Baiklah kita berpencar saja sesuai arah mata angin untuk menempati wilayah yang masih jarang penduduknya, akan tetapi kami tetap bagian dari wilayah kekuasaan tuan Datu.” Atas saran peserta ini sang Datu bersabda: “Baik sekali pendapatmu, itu artinya ada yang ke utara, ke timur, ke barat dan ke selatan. Ke selatan termasuk yang pergi ke Luwu, dan tentu tetap ada yang tinggal bersamaku, setuju !?” Semua peserta menganggukkan kepala. “Aku lanjutkan,” demikian Datu berucap. “Sebagai tanda perpisahan kita dan sekali gus tanda kita saling mengingat, bersatu dalam keterpisahan, kita mendirikan tanda masing-masing satu lempeng batu ditancapkan di depan istanaku.” Atas titah Datu semua sepakat dan mewujudkan
perintah Datu. Maka ‘alima watu ndapomuya’ sebagai simbol pisah dalam kebersamaan. Wilayah yang di tuju menghasilkan pemukiman baru orang yang menamakan diri To Pamona (berasal dari Pamona), sehingga di setiap wilayah tersebut merupakan tempat persebaran orang yang berasal dari Bukit Pamona, dan nama Pamona menjadi identitas penduduk yang menyebar, etnis. Tempat-tempat yang dimaksud adalah, ke utara To Lage, ke timur To Onda’e, ke barat To Payapi dan keselatan To Pu’umboto, sementara pecahan To Pamona yang terus ke wilayah Luwu di sebut ‘Padoe’ (=tersingkir). 3) Karena itu sampai sekarang hubungan Pamona dengan Luwu tak dapat diputuskan oleh macam-macam kepentingan. To Payapi sebelah barat berpencar lagi ke Pebato dan ada yang sampai di Sedoa (Napu). Sebenarnya kebiasaan To Payapi betah hidup di hutan-hutan, sebab mereka menganggap leluhur mereka ada di dalam hutan, seperti lokasi gunung Tangkambulonci sebelah barat. Tetapi kemungkinan bertahan hidup yang layak tidak terjamin, mereka terpencar mencari kerabat di mana saja bermukim, tetapi tetap di sebelah barat aliran sungai sesuai kapitulasi di Bukit Pamona. Demikian itulah Watu mPoga’a terjadi sebagai peringatan penting dalam kisah persebaran To Pamona. 4) =Memper- hatikan kisah ini, yang paling pas “moga’a ri kasamba’- mba’a”. Anggap saja motto ‘Pamona Bersatu’= Sampai usia menjadi uzur, manusia pasti kembali ke Penciptanya. Tiba pula ajal Sang Datu setelah mengatur rakyatnya yang tertinggal dan semua yang terpencar tetap terpaut hati ke Pamona dan tak berkeinginan membentuk pemeritahan sendiri lepas dari Datu Rumbenunu. Membuk- tikan kecintaan mereka semua
atas kebijaksanaan Datu yang demikian demokratis. Datu Luwu pun sampai kurun waktu tertentu tetap eksis mengahargai adanya pmerintahan etnis Pamona di Bukit. Sang Datu Rumbenunu mangkat lalu dimakamkan di sebuah lokasi di dataran rendah sebelah barat Bukit Pamona’ berjarak sekitar 1 Km dari istana. Di lokasi tersebut terdapat bongkahan batu besar (mono stone) memanjang selatan- utara yang dianggap tepat bagi kuburan seorang raja. Batu itu jenis andesit kemudian dipahat lagi membentuk ceruk yang dapat menyimpan jasad sang raja. Itu berarti kuburan semacam waruga atau sarkopag (peti mayat dari batu). =Kebiasaan seperti ini muncul pada Zaman Megalithi- cum, tetapi masa itu berbeda pada setiap regional. Sekarang saja masih ada kelompok yang berada pada tingkat megalithic (buatan manusia dari batu-batu besar), ditandai dengan corak kehidupan zaman akhir Neolithicum (masih dalam kurun waktu pra-sejarah)= Berita mangkatnya junjungan mereka, serta-merta rakyat yang berpencar ke segala penjuru berdatangan dengan membawa sepikulan tanah untuk menimbun kuburan batu Sang Datu Rumbenunu kecintaan mereka. Ada beberapa hal yang mendorong mereka membawa dan sekali gus menim- bunkan pada peti mayat Datu, sebut saja 2 hal : 1. menyatakan bahwa tanah yang menjadi tempat bermukim adalah milik sang Datu yang mereka persembahkan, 2. melindungi kubur raja dari gangguan atau alasan lain. Dengan demikian terbentuklah sebuah bukit dengan luas areal sekitar 5.000 M2 (50 are) yang oleh masyarakat setempat menyebutnya ‘Bukit Toimola’. 5) Lantas bagaimana nasib kerajaan To Pamona sepeninggal Datu Rumbenunu ?
Pejabat tinggi asal Pamona di Luwu sudah meninggal pula, membuat hubungan damai antara Luwu dan Pamona menjadi kabur pula. Kita tahu bahwa antara mantan datu To Pamona dan datu penggantinya (Rumbenunu) mempunyai hubungan perkerabatan, sehingga keadaan Pamona aman-aman saja dari intervensi Raja Luwu. Pemerintahan kedatuan To Pamona kosong. Keadaan ini memberi peluang bagi Raja Luwu yang baru mengincar wilayah etnis Pamona untuk menjadi daerah taklukannya. Tersebutlah turunan mantan raja To Pamona ingin Kembali mendudukitakhta kerajaan sebagai kelanjutan dinasti Lasaeo (rantai dinasti yang terputus dalam ingatan To Pamona). Apakah pengganti Rumbenunu berhasil mempertahankan ke- jayaannya tanpa kekuasaan Luwu ? Kenyataan tidak demikian, karena jauh setelah kisah Rumbenunu, Pamona menjadi salah satu wilayah taklukan Luwu dan pusat pemerintahan berpindah ke Towale, sebuah lokasi di pantai timur danau tempat berpindahnya penduduk terbanyak. Kisah takluknya kerajaan To Pamona ini masih segar dalam ingatan masyarakat dan makin terang menuju ke- sejarah. Sampai akhirnya pemerintah Kolonial Belanda memutuskan hubungan kekuasaan Luwu terhadap Poso (baru muncul kata ‘poso’) pada permulaan abad 20 M dalam posisi Poso, Mori, Tojo menghamba ke Luwu selama kurang lebih satu abad. Disamping kerajaan Sigi (Kaili) merdeka yang menguasai wilayah barat Sulawesi bagian tengah. Demikianlah kisah ‘Watu mPoga’a’ yang bermuatan sejarah disajikan dengan gaya bahasa nuansa sejarah. Tetapi hendaklah dipahami oleh pembaca budiman bahwa kisah ini bukan sejarah dalam arti keilmuan. Mungkin dapat merangsang para peneliti sejarah untuk benar-benar menghasilkan karya sejarah. Maksimal kita kategorikan ceritera sejarah tetapi bukan mithos (dongeng) semata.
Catatan & Komentar 1) Disinggung oleh Dr. A.C. Kruyt dalam bukunya Wawo nTana, 1916. 2)Dokter bilang, kalau terus-terusan kita mengkonsumsi makanan yang kita gemari penyakit stroke atau sejenisnya mudah menyerang tubuh kita. Lha, barangkali Rumbenunu mengidap penyakit ini, sebab salah satu alasan kuburnya harus disembunyikan oleh warga, karena rupa dan wajahnya menunjukkan keanehan dan dianggap kehendak Dewa. 3)Warga Pamona Padoe bermukim di Mangkutana (Mungku Tana ?) dan sekiatarnya. Tetap memelihara budaya dan hahasa asalnya. Kemungkinan selain yang ‘eksodus’ terdapat pula turunan/ buyut mantan raja To Pamona yang hijrah ke Luwu tempo dulu. 4)Di zaman Purba sampai zaman Kuno, batu-batu besar merupakan bahan berharga bagi momen-momen penting dalam masyarakat, khususnya yang berkaitan dengan penyembahan dan peringatan akan peristiwa tertentu. Contoh, di Minahasa terdapat batu besar dikenal ‘Watu Pinawetengan’ di Bukit Tonderukan. Batu tersebut diyakini sebagai tempat berikrar untuk bersatu. Di Bukit Pamona, batu peringatan cerai berai, tapi ujung-ujungnya serupa demi kehi- dupan bersama. 5)Kata ‘Toimola’; belum ada kesepakatan tentang arti kata, tetapi pendapat berikut mungkin dapat memberi inspirasi untuk mengkaji lebih tepat. Kata sebagian orang ‘toimola’ < toyu dan maleo (telur (burung) maleo, unggas yang langka di Sulawesi. Di Lore ada lokasi Yang disebut ‘Mungku Molo’ (Bukit Maleo) yang tempo dulu katanya terdapat banyak burung Maleo di situ. Bisa serupa, tapi Bukit Toimo- tidak disebut ‘mungku maleo’, di Pamona, sebab bukit ini buatan ma- nusia rupanya. Bila pembaca meneliti keberadaan Bukit Toimola, di- situ tidak terdapat sisa-sisa kulit kerang sebagaimana terdapat di se- mua bukit se-putaran danau. Tanahnya berongga-rongga dan bera- gam warna. Tidak ada batu karang seperti pada bukit-bukit teta- ngganya. Di tengah bukit terdapat batu besar seperti digambarkan di
atas, panjang 3 M. Batu itu kini tepat berada di tengah bangunan gereja Jemaat Bukit Moria Pamona. Sayang sekali ketika penggalian fondasi gedung para tukang tidak bersedia mencari tahu (usul penu- lis 31 Maret 1997). Apakah semua ini bukti kebenaran kubur Datu ? Pendapat berikut mengacu pada tulisan A.C. Kruyt menyebut kata ‘toyu lamoa’, harafiah = telur dewa, maknanya ‘butir-butir (kalung) dewa’. Oleh gejala bahasa metatesis (betukar suku kata) jadilah se- butan ‘toimola’. Bandingkan dengan ‘kalung Tasbih (Islam) dan ka- lung Rosario (Katolik), mayat orang penting tempo dulu selalu ada kalung. Pendapat terakhir lebih dekat bila dilihat dari etimologinya.