The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by SMA NEGERI 1 PAMONA UTARA, 2023-07-20 00:42:44

cerita pendek fls2n axel lusikooy

cerita pendek fls2n axel lusikooy

“CAT MINYAK” Oleh : Axel Lusikooy Siswa SMA N 1 Pamona Utara


“CAT MINYAK” Bunyi konstruksi yang sudah tidak asing menyapa pagiku disertai dengan aroma masakan ibuku. Bunyi dari berbagai alat berat dan perkakas datang dari seberang jalan. “Ah.... sumpah rindu suasana beginian,” aku berkata kepada diriku sendiri sambil berbaring di atas kasur dengan senyuman kecil. Ini mengingatkan kembali tentang masa mudaku sebelum aku pergi ke kota untuk mengejar cita-cita ku menjadi seorang seniman. Tidak lama kemudian, waktu mengenangku dipotong singkat oleh teriakan ibuku yang memanggil aku untuk datang sarapan bersama dan aku pun segera menuju ke ruang makan. Di ruang makan sudah ada adik perempuan ku


bernama Frida yang terlihat seperti ia sedang menungguku. “Kenapa?” aku bertanya kepada adikku “Eehhmm, kak Fauzi… anu…itu…” katannya dengan gugup “Hah?” “Kan tujuh belas agustus tidak lama lagi.... terus Frida dengar ada lomba menggambar untuk anak SD, Frida mau ikut. Boleh kak Fauzi bantu Frida?” “Bantu apaan? Kalo bantu menggambar yah.... tentu tidak bisa, kan Frida yang ikut lombanya gambar sendiri lah, jangan curang dong.” “Yah, okelah,” Frida membalas dengan raut wajah kecewa, “tapi kalau kak jadi kritik Gambar Frida boleh?” “Kalau itu boleh.” Sepertinya respons ku ini membuat wajah Frida kembali bahagia.


Setelah menerima permintaan dari adikku dan selesai sarapan, akupun kembali ke kamarku untuk bermalas-malasan seharian sampai aku ketiduran. Aku akhirnya terbangun karena adanya bunyi ketukan di pintu kamarku aku merasa terkejut, karena waktu yang selalu berjalan ternyata lebih cepat daripada dugaanku. “Kak Fauzi sudah bangun? Ini sudah mau malam loh,” adikku berteriak dari luar sambil mengetuk pintu. “iya.. iyaaa,” sambil aku membuka pintu, dimana adikku sudah menunggu di depan pintu. Ia terlihat sangat bersemangat untuk menunjukan sesuatu kepadaku dan kedua matanya terlihat seperti berkilau karena saking semangatnya.


Aku bisa melihat dia menyembunyikan sesuatu dibelakang tubuh mungilnya, bisa kutebak sesuatu itu adalah hasil karya lukisanya, dikarenakan bau cat minyak yang datang dari tubuhnya. “Nilai dengan jujur ya,” kata Frida sambil menunjukan lukisannya. Lukisannya menggambarkan lima orang yang berpegangan tangan sambil mengenakan pakaian adat yang berbeda beda, hal yang cukup mengejutkan bagiku adalah pewarnaannya yang sangat rapi, aku tidak tahu apakah ini pertama kalinya Frida menggunakan cat minyak tapi hasilnya cukup bagus. Walaupun pewarnaanya yang cukup rapi, tingkat kualitas dan detail dari lukisan ini sama seperti Gambar anak SD pada umumnya, mulai dari warna yang agak terlalu terang dan tidak


cocok saat digunakan bersama sampai dengan bentuk dari lima karakter yang ada di lukisannya yang berbentuk sangat simpel dan tidak memiliki leher. Tentu saja masih banyak hal-hal yang bisa aku komentari tentang lukisannya, tetapi apakah semua kritikan ku wajar diberikan untuk lukisan yang diciptakan untuk lomba tingkat sekolah dasar? “Frida, kamu mau kak sejujur apa?” tanyaku dengan hati-hati. “Sejujurnya,” dengan senyuman yang membuat aku jadi tidak tega mengkritik lukisannya, karena aku yakin dia bekerja keras untuk membuat lukisan itu. “Okeh, pertama kakak mau tanya tema lombanya apa?” “Temanya keberagaman menginspirasi.”


Sekarang keberadaan lima orang yang ada di lukisannya jadi lebih masuk akal. “Menurutku…lukisanmu sudah bagus kok untuk tingkat sekolah dasar, tapi....”tapi apa kak?” Tanya adikku dengan nada tinggi, “banyak hal yang menurut kakak bisa ditambahkan contohnya seperti latar belakang, kan tidak mungkin mereka berlima terbang kan? Terus menurut kakak orangnya bisa digambar lebih detail lagi agar nanti jurinya tau mereka pakai pakaian apa dari mana. Tapi ini sudah cukup bagus kok.” Ekspresi wajah Frida terlihat mulai berubah dari penuh semangat menjadi terlihat agak sedih. Hal ini membuat aku merasa bersalah. “Mungkin seharusnya tadi aku bilang sudah bagus saja ya...” kukatakan kepada diriku sendiri sambil bergumam.


“Tapi Frida maunya sangat bagus bukan cukup bagus..... Tanggal mengumpul karyanya kan masih beberapa hari lagi kalau begitu boleh tidak kak Fauzi ajarkan Frida?” “boleh…!” kataku dengan senyuman agar adikku lebih bersemangat. Mendengar kata-katanya membuat aku legah dan rasa bersalahku mulai hilang. Jujur mendengarnya ingin belajar lebih banyak membuat ku cukup bangga. Akupun langsung mengeluarkan buku sketsaku dan mulai menunjukan proses pembuatan Gambarku. Aku mulai mengajarkan dasar dasar menggambar kepada Frida dan dia terlihat sangat serius mengamatinya. Aku memberikan dia pelajaran dasar tentang seni mulai dari teori warna, sketsa, dan gelap terang. Frida kelihatan


sepertinya ia menikmati pelajaran yang sedang kuberikan. Karena suara teriakan perutku yang mulai keroncongan dan kedengaran lebih keras daripada suara yang ada di kepalaku, aku meninggalkan Frida dan imajinasinya untuk berkarya menggunakan peralatan menggambar yang tersedia di kamarku, sementara aku pergi ke ruang makan untuk menikmati berbagai hidangan yang telah disediakan oleh ibuku untuk malam ini. “Uzi, kalau sudah selesai makan tolong pergi beli sabun cuci piring, bawang, dan telur di kios ibu Ayu ya?. Itu duitnya ambil aja dilemari,” kata ibuku yang sedang menonton drama Korea kesukaanya di ruangan sebelah. “Iya mak sebentar selesai makan.” Jawabku dengan semangat.


Setelah aku memuaskan keinginan perutku yang sudah menunggu berjam-jam untuk diberikan makanan, akupun segerah menuju keluar. Di jalan aku tidak bisa menahan diri melihat pemandangan langit tanpa polusi yang dipenuhi dengan bintang-bintang gemerlap. Aroma dari beragam jenis bunga yang ditanam di pinggir jalan serta udara dingin yang mampu menembus tiga lapisan pakaian sangat berbeda dengan suasana di kota sana. Saat aku tiba di kios ibu Ayu, ternyata kiosnya sudah tutup. Terpaksa aku harus berjalan lebih jauh lagi ke minimarket terdekat. “Kalau tau udah tutup tadi aku bawa mobil aja...” Setelah aku sampai di minimarket, aku bertemu wajah familiar. “Eh, Abdul? Apa kabar bro!”


“Lah. Fauzi? Lu pulang kampung? Kok baru tahu gua.” Abdul terkejut


“Udah dari minggu lalu gua disini, ngomong ngomong lu kerja disini ya? Yang gua dengar lu kerja jadi tukang di bangunan seberang rumah gua yang nggak pernah jadi-jadi.” “Gua ngekasir disini malam doang nggak lama ini shift gua dikit lagi selesai, kalau pagi sampe sore baru gua kerja di situ. Tapi lu sombong banget ya mentang-mentang udah jadi orang kota nunjukin wajah aja nggak pernah. Bisanya gua kerja depan rumah lo terus gua gak tau ada lu.” “ehehe, iya…iya nanti gua mampir, gua belanja dulu ya. Ngomong-omong kan shift lu udah mau selesai, antar gua pulang ya karumah, capek kaki gua.” “aduh, iya deh.”


Setelah sesampainya aku di rumah, aku meletakan belanjaan di ruang makan lalu aku segera menuju ke kamarku. Disitu aku melihat adik kecilku yang berbaring tertidur sangat nyenyak di kasurku dalam posisi yang memakan banyak tempat, aku yakin bahkan suara ratusan warga tidak dapat membangunkannya. Disamping tubuhnya terdapat buku gambar yang berbaring bersamanya. Aku membuka buku gambar tersebut dan aku terkejut. Ternyata selama aku pergi Frida bereksperimen dan benar benar mempraktekan hal hal yang baru saja aku ajari. Terdapat coretan coretan pensil warna dan cat minyak, beserta ada juga Gambar potret dirinya sendiri yang digambar menggunakan pensil grafit biasa. Jika dibandingkan dengan lukisan yang dia tunjukan kepadaku beberapa jam yang lalu, perkembangannya sungguh drastis. Aku hanya


bisa tersenyum dan merasa bangga. Karena aku tidak ingin menganggu adikku yang terlihat seperti seekor kucing dengan caranya tidur di atas kasur ku, aku terpaksa tidur di lantai. Keesokan harinya aku terbangun dengan rasa sakit di tulang belakangku yang diakibatkan tempat tidur yang tidak layak, dan seperti biasanya suara perkakas dan alat berat dari lokasi konstruksi menjadi hal yang pertama ku dengar setelah membuka mata. Kali ini aku memutuskan untuk mengunjungi Abdul saat dia sedang beristirahat. “Ma bro!” diteriakan Abdul yang melihat aku keluar dari pintu. Akupun segera menuju di tempat ia duduk.


Setelah sudah beberapa tahun tidak ketemu, aku dan abdul mulai menceritakan tentang hidup masing masing. “Fauzi, lu di kota sana kerja apaan?”


“Yaa... sekarang ini gua masih freelancer gitu, kalau ada orang yang butuh skill gua contohnya ada orang yang nyuruh minta ngelukisin dinding gitu yah gua lukis deh dindingnya , terus gua juga biasa jual gambar di internet walaupun nggak terlalu untung sih soalnya yang pesan orang indo semua. Kalau lu gimana Dul? Udah kerja disini terus di minimarket lagi, jangan bilang masih ada lagi pekerjaan lu. Jangan jangan masih ngejar mimpi jadi musisi ya?” aku katakan dengan nada bercanda. “Enggak, dua pekerjaan ini aja udah capek sekali gua, plus gaji kerja disini udah oke banget. Walaupun kerja disini sumpah horror, peralatan yang di pakai aja enggak jelas kualitasnya terus perancah yang kita pakai cuman dibuat dari kayu dan bambu doang, yang penting orang tua dan


adik adik gua bisa hidup enak tiap hari gua semangat kerja.” Percakapan kita berdua tiba tiba diinterupsi oleh adikku yang tiba tiba muncul tanpa peringatan di sampingku, yang mengakibatkan aku dan Abdul sedikit terkejut. “kak sudah jadi!” dikatakan Frida dengan semangat. “Frida mulai lukis ini dari bangun tidur tadi dan barusan selesai loh.” Frida menunjukan karyanya. Gambar yang dia ciptakan kali ini terbagi menjadi empat kuadron dalam satu kanvas yang berbentuk kotak. Di pojok kanan atas ada lukisan candi Borobudur dengan karakter kartun lucu didepannya yang mengenakan atribut adat yang aku asumsi berasal dari Jawa tengah. Di bagian kiri atas ada lukisan sebuah pantai mungkin ini


adalah sebuah pantai di bali, kali ini ada sosok seorang yang kelihatan seperti ia sedang berlibur, jika sekilas dilihat sosok tersebut memiliki kemiripan dengan Hotman Paris. “Waduh ada Hotman Paris,” sudah kuduga Abdul akan mengomentari tentang hal itu. Di bawah lukisan pantai tersebut terdapat lukisan sebuah pulau dengan seekor komodo, sudah pasti ini adalah Pulau Komodo. Dan kuadron yang terakhir menunjukan lukisan Danau Toba dari pandangan mata burung. Seluruh lukisan ini kelihatannya telah dilukis menggunakan cat air dan dibantu oleh pena untuk memperkuat detailnya. Dia pasti menggunakan cat air milikku. “Wah, keren banget Frida. Fauzi, hati hati lu, dikit lagi skill lu udah mau dilampaui adik lu,” Abdul berkata sambil mengelus kepala Frida.


“hehe,” aku dan Frida tertawa kecil mendengar komentar Abdul. Akan tetapi komentar Abdul tidak sepenuhnya salah. Karya ciptaan Frida yang kali sulit untuk dibandingkan dengan karya sebelumnya, perbedaan antara keduanya bagaikan siang dan


malam. Untuk anak seumurannya aku harus mengakui hal yang dia mampu lakukan layak disebut impresif, serta konsep dari Gambarnya cukup unik. Jujur saja, potensi yang dimiliki Frida membuat aku sedikit takut. “Kamu datang kesini pasti untuk minta pendapat ya? Menurut kakak perkembangan kemampuan menggambarmu sangat impresif. Tapi makna dari Gambar mu terlalu gampang untuk dipahami. Maksudnya tentu... setiap orang bebas untuk mengartikan sebuah karya seni sesuai pemahaman mereka, tapi masalah ku terhadap karyamu ada disitu. Menangkap arti dari karya mu dan alasan kenapa kamu menciptakan karya tersebut terlalu mudah. Bahkan orang buta yang hanya pernah mendengar deskripsi dari Gambarmu bisa memahaminya.” Ekspresi wajah


Frida perlahan-lahan berubah menjadi suatu ekspresi yang menunjukan kesedihan serta kekecewaan. “Jadi... Gambar Frida.... tidak bagus ya,” dikatakan Frida sambil menahan air mata dan sinar ambisi yang memenuhi matanya mulai pudar. “Bukan itu maksud kakak, tapi-“ Omongan ku terpotong oleh Frida yang lari kembali ke dalam rumah sebelum aku bisa menyelesaikan kalimat ku. “Lu kok kejam sekali sama adik lo,” ditanyakan Abdul “Enggak. Kalau dia sudah merasa jago seharusnya dia bisa terima kritik yang lebih tajam dong.” “Tapi tetap loh Fauzi, itu Gambar untuk lomba tujuh belas agustus nanti kan? Dia masih anak SD


woi. Anak SD bisa gambar pohon duren aja itu hebat, ini adik lu udah bisa melukis pemandangan terus ada Hotman Paris-nya lagi, harusnya kamu bangga dong. Pergi minta maaf sana.” “Iya deh.. nanti gua minta maaf sama dia.” Saat aku kembali ke rumah, aku tidak bisa menemukan Frida dimanapun. Sepertinya ia mengurung diri di dalam kamarnya. Akhirnya aku melihatnya lagi saat makan malam bersama, aku berusaha menjelaskan padanya bahwa aku tidak bermaksud menyebut hasil kerja kerasnya jelek, tetapi Frida seakan-akan tidak mendengar katakata ku. Setelah perlakuan ku kepadanya aku merasa bahwa aku pantas diperlakukan seperti ini. “Kalian berdua kenapa?” ibuku bertanya


“ tidak tahu...” hanya itu respons yang bisa aku keluarkan dari mulutku. Hari esok telah tiba dan hampir pergi. Aku berbaring di kasur dengan rasa khawatir karena satu-satunya interaksi ku dengan Frida hari ini hanyalah saat aku memintanya tolong kepadanya untuk mengambil sambal botol. Lomba menggambar tidak menjadi topik pembicaraan sekalipun hari ini. Rasa bersalah yang tak hilanghilang membuat aku merasa kewalahan. “aghhhh. Gua harus benar-benar minta maaf besok.” Sekali lagi tidak terasa satu hari penuh sudah dilalui, aku sudah mencoba meminta maaf kepada Frida, bahkan aku sudah mencoba membujuknya dengan cemilan. Aku tidak tahu apakah dia masih marah kepadaku atau apakah dia sudah memafkanku. Tiba-tiba aku


mendengar ketukan kecil yang datang dari luar kamarku. Aku segera membuka pintu dengan harapan Frida menunggu ku di luar sana dan bukan sebuah hantu yang datang untuk menghukumku, saat aku membuka pintu aku sedikit kaget saat melihat sosok pucat yangmengenakan gaun tidur berwarna putih, tapi untungnya bagiku yang berdiri di depan pintu kamarku adalah Frida dan bukan hal aku tidak inginkan. “kak... boleh temenin Frida mengumpul Gambar Frida?” dikatakan Frida yang kelihatan gugup dan takut. Hal pertama yang aku perhatikan adalah seberapa besar kantung mata Frida, sepertinya ia juga bergadang sampai jam empat subuh demi melakukan sesuatu sama seperti aku. Hal kedua


yang aku perhatikan adalah kedua tanganya yang sedeng memegang sesuatu dan diletakan dibelakang tubuh kecilnya. Aku jadi teringat kembali bagaimana Frida menunjukan karya pertamanya kepada ku, tetapi kali ini Frida menyembunyikan sesuatu dibelakang tubuhnya dengan tujuan untuk menyembunyikannya dan bukan untuk mengejutkan aku. “Ehmm.. batas pengumpulanya besok- ... eh maksud Frida hari ini jam 5 sore. Katanya dikumpul di kantor kepala desa... tapi Frida tidak tahu itu dimana... tolong... kak...” “Iya kakak janji besok bakal antar Frida, tapi tunjukin dulu dong karya baru Frida” “eh!” Frida terkejut saat aku merampas selembar kertas buku gambar yang ia genggam di belakang tubuhnya


“Kak! Jangan,” teriak Frida ditemani lompatan kecil yang dilakukannya sebagai usaha merampas kembali kertas yang berada di tanganku.


Aku perlu beberapa detik untuk memahami Gambar yang sedang berada di kertas buku gambar ini. Oh. Akhirnya aku paham artinya. Aku tidak bisa berhenti tersenyum karena Gambar ini adalah bukti bahwa Frida tetap mendengarkan kritikkan kasar yang telah kuberikan padanya. Sepertinya melihat aku ternsenyum sambil melihat Gambarnya membuat Frida lebih percaya diri. Aku mengambil kuas kecil yang tergeletak lantai kamarku, lalu aku mengajak Frida pergi ke gudang. Aku mengambil bekas cat minyak yang masih tersisa dan memberikanya beserta kuas kepada Frida. “Ini karya terbaik mu sejauh ini, tapi kelihatanya ada yang kurang, aku yakin kamu pasti ingin menambahkan sesuatu tetapi kamu tidak punya alat dan bahanya saat kamu mengurung diri di


kamar mu kan?” ku katakan dengan nada bercanda. “Ya!” dikatakan Frida dengan senyuman lebar sambil menganggukan kepalanya. Setelah Frida selesai menaruh sentuhan terakhir Gambarya pun telah selesai. Gambar yang akan ia serahkan untuk lomba menggambar adalah Gambar tangan kecil yang digambar dengan gaya fotorealistik yang sedang berlindung dibawah naungan pohon. Jika aku harus menebak, sepertinya dia menggunakan tanganya sendiri sebagai referensi karena ukurannya yang kecil sama seperti tangan yang ada di Gambarnya. Tangan ini berada di bawah bayangan daun dan ranting pohon yang memiliki celah-celah sehingga masih ada berbagai bintik cahaya dengan ukuran dan tingkatan kecerahan yang


beragam di tangan tersebut yang menciptakan efek seakan-akan kulit tangan tersebut memiliki semua nuansa warna kulit masyarakat indonesia mulai dari seputih kertas dan segelap grafit pensil yang digunakan untuk menggambar tangan tersebut. Lalu terdapat gelang berwarna merah putih yang dilukis menggunakan cat minyak Keesokan paginya, saat Frida berbalik kebelakang Frida melihat sebuah piala kecil yang diletakan di sampingku di kasur. Ada sebuah catatan diikatkan di salah satu pegangan piala itu yang berbunyi, “Dari kak Fauzi untuk adikku yang sudah bekerja keras. Catatan: cepat bangun aku punya hadiah untuk mu.” Di piala itu sendiri ada tulisan, “Adik terbaik #1” yang ditulis dengan cat minyak.


Click to View FlipBook Version