BIOGRAPHY
IBNU SINA
FATHER OF MODERN MEDICINE
By MIKHAEL HANA
XII TKJ-2
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat
rahmat dan limpahan hidayah-Nya, sehingga saya
dapat menyusun buku ini dengan lancar dan tepat waktu.
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada :
1) Ibu Verra Rousmawati selaku Guru Fisika
2) Ibu Novita Ambarwati selaku Guru Kimia
3) Ibu Ismawardani selaku Guru Matematika
4) Ibu Fatimah selaku Guru Simulasi Digital
5) Ibu Lidya Rachmawati selaku Guru Bahasa Indonesia
6) Miss Ana Susilowati selaku Guru Baha Inggris
Yang telah membimbing kami sedari awal dalam
pembelajaran, hingga sampai pembuatan project US ini.
Tak lupa ucapan terima kasih kami sampaikan juga kepada
seluruh pihak yang terlibat.
Harapan kami dengan disusun buku ini, dapat
memperkaya pengetahuan pembaca mengenai biografi
seorang tokoh besar dari umat Islam yaitu Ibnu Sina yang
telah berkontribusi banyak dalam dunia kesehatan.
Adapun pengetahuan tersebut dapat dijadikan wawasan
oleh pembaca ataupun pihak yang membutuhkan sebagai
bahan refleksi maupun proses pembelajaran di kemudian
hari.
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan buku
ini masih jauh dari kesempurnaan. Maka dengan rasa
hormat dan kebesaran hati kami kepada pembaca, untuk
dapat menyampaikan kritik dan saran yang membangun
jika diperlukan, demi kesempurnaan buku ini di kemudian
hari.
Depok, 23 Mei 2022
Penyusun
DAFTAR ISI
Halaman Sampul.............................................................. i
Kata Pengantar................................................................ ii
Daftar Isi ........................................................................ iv
A. Biodata Singkat Ibnu Sina .......................................5
B. Masa Kecil Hingga Remaja Ibnu Sina....................6
C. Pemikiran Filsafat Ibnu Sina...................................9
D. Sumbangsih Ibnu Sina di Bidang Kedokteran dan
Kesehatan .....................................................................16
E. Karya Ibnu Sina .....................................................18
Referensi................................................................21
Sumber Gambar.............................................................21
Ringkasan Buku..............................................................22
A. Biodata Singkat Ibnu Sina
Nama : Abu `Ali al-Husain ibnu `Abdillah ibn Hasan
ibnu Ali Sina
Dikenal : Ibnu Sina, Avicenna
Nama Lain : Sharaf al-Mulk, Hujjat al-Haq, Sheikh
al-Rayees
Lahir : Afshona, Uzbekistan, 22 Agustus 980 M
Wafat : Hamedan, Iran, Juni 1037
Orang Tua : Abdullah (ayah), Setareh (ibu)
Karya : Kitab Qanun fi al-Tibb (Canon of Medicine).
Julukan : Bapak Kedokteran Modern
Gambar 1 : Ibnu Sina
B. Masa Kecil Hingga Remaja Ibnu Sina
Ibnu Sina merupakan anak dari mazhab Islamiyah yang
sudah biasa mendengarkan pembahsan ilmiah dan filsafat.
Ayahnya sendiri juga gemar mempelajari tentang ilmu
filsafat, astronomi, matematika dan lain sebagainya. Hal
inilah yang membuat Ibnu Sina sudah terbiasa dengan
bahasan ilmu dari sejak dini, itu membuat dia belajar
otodidak dan juga terpengaruh dari pemikiran sang ayah.
Saat berusia 10 tahun dia banyak mempelajari ilmu
agama Islam dan berhasil menghafal Al-Qur'an. Ia
dibimbing oleh Abu Abdellah Natili, dalam mempelajari
ilmu logika untuk mempelajari buku Isagoge dan
Prophyry, Eucliddan Al-Magest Ptolemus. Setelah itu dia
juga mendalami ilmu agama dan Metaphysics Plato dan
Arsitoteles. Ibnu Sina merupakan anak yang cerdas, dapat
dilihat dari
capaiannya yang sudah bisa menghafal Al-Qur’an di usia
yang dini.
Dia mempelajari kedokteran pada usia 16, dan tidak
hanya belajar teori kedokteran, tetapi melalui pelayanan
pada orang sakit, melalui perhitungannya sendiri,
menemukan metode – metode baru dari perawatan.
Dengan mempelajari kedokteran sejak awal,
membuat beliau sangat senang dalam mempelajarinya,
dan berpendapat bahwa kedokteran itu lebih mudah
daripada ilmu matematika, metafisika, astronomi dan ilmu
lain,
maka dari itu beliau dapat mempunyai progress yang
sangat nampak di bidang kedokteran.
“Kedokteran tidaklah ilmu yang sulit ataupun
menjengkelkan, seperti matematika dan metafisika,
sehingga saya cepat memperoleh kemajuan; saya menjadi
dokter yang sangat baik dan mulai merawat para pasien,
menggunakan obat – obat yang sesuai.” (Ibnu Sina) dalam.
Ibnu Sina sudah dapat melakukan perawatan terhadap
pasien sesuai dengan obat-obat yang diperlukan,
ini merupakan capaian yang sangat cemerlang, mengingat
usianya yang baru 18 tahun pada waktu itu.
Beliau pun menjadi terkenal, sehingga Raja Bukhara
Nuh bin Mansur yang memerintah antara tahun 366
hingga 387 hijriyah saat jatuh sakit memanggil Ibnu Sina
untuk merawat dan mengobatinya. Ibnu Sina pun berhasil
menyembuhkan penyakit yang diderita oleh sang raja.
Setelah menyembuhkan Penguasa Bukhara tersebut,
sebagai imbalan Sultan mengizinkan.
Ibnu Sina memanfaatkan perpustakaan pribadinya, sejak
itu ia memuaskan dirinya dengan berbagai bahan bacaan
ilmu pengetahuan (De Boer, t,t: 165) dalam (Herwansyah,
2017: 56). Sejak saat itu Ibnu Sina merasa senang dan
sngat menikmati masa remajanya yang dilengkapi dengan
banyak bacaan yang digemarinya dan dapat
mengembangkan penelitian-penelitiannya lebih lanjut.
Dalam usia Ibnu Sina memasuki 20 tahun, ayahnya
meninggal dunia. Ia kemudian pindah ke Jurjan, karena
terjadi kekacauan politik pada waktu itu, dari kota ini
kemudian ia ke Hamazan (bagian barat Iran)
(Herwansyah, 2017: 56). Ibnu Sina juga pernah diangkat
sebagai menteri di Istana Syam Al-Daulah. Dari sini beliau
mulia ikut berkecimpung di dunia politik. Walaupun ikut
berkecimpung di dunia politik, namun Ibnu Sina tetap
membuat tulisan dan mengahsilkan berbagai karya, yang
berupa buku-buku tebal yang isinya memuat berbagai ilmu
pengetahuan yang ditulis dalam bahasa Arab dan Persia.
Buku-buku ini banyak memberi pengaruh pada
generasi sesudahnya, karena dengan bahasa yang mudah
dimengerti tanpa harus mengalihbahasakannya.
Ibnu Sina sangat gemar menulis dan dapat
mengimbangi dari beberapa aktivitasnya, sebagai politikus,
fisikawan, maupun praktisis kesehatan. Tak lupa pula Ibnu
Sina juga merupakan peneliti yang sudah menghasilkan
banyak karya.
Gambar 2 : Salah Satu Hasil Karya Ibnu Sina
Ibnu Sina di umur yang dikatakan masih sangat muda
sudah dapat menunjukkan kehebatan, kecerdasan, dan
keuletannya kepada khalayak umum. Hal ini membuat
keluarga dan kerabat menjadi bangga, dan tentunya sudah
berkontibusi terhadap berbagai bidang disiplin keilmuan
di dunia yang dipakai sampai sekarang.
C. Pemikiran Filsafat Ibnu Sina
Selanjutnya akan dibahas mengenai pemikiran filsafat
yang pernah dicetuskan oleh Ibnu Sina. Walaupun
terkenal dengan kecerdasannya, Ibnu Sina juga sempat
kesulitan saat mempelajari filsafat alam Aristoteles, beliau
sudah membaca buku yang membahas ini sebanyak 40
kali namun tetap tidak bisa memahami hal tersebut. Ia
akhirnya terbantu oleh sebuah risalah pendek karangan Al-
Farabi,
yang didapatnya secara kebetulan di toko loak saat
belajar di pinggir pasar. dengan demikian, Ibnu Sina
sendiri mengakui bahwa Al-Farabi sebagai guru keduanya
(Al-Mu‟allimu al-tsani) (Ali, 1991: 59). Setelah mengakui
Al-Farabi sebgai guru keduanya, Ibnu Sina semakin
semangat dalam mempelajari filsafat. Beliau mempelajari
ajaran-ajaran filsafat dari Yunani yang sudah
diterjemahkan oleh para ahli sebelumnya.
Objek kajian falsafah [hikmah],menurut Ibnu Sina
terbagi menjadi dua bagian: Pertama, hikmah nadzariyah
(ilmu teoritis) adalah bertujuan untuk membersihkan jiwa
melalui ma’rifat. Yang termasuk ilmu ini adalah
membahas masalah-masalah metafisika (ketuhanan),
riyadhiyah (Matematika), dan thabi’iyah (Fisika). Kedua
hikmah ‘Amaliyah (Ilmu-Ilmu Praktis) (Ghozali,
2016:25).
Yang termasuk bagian dari ilmu-ilmu praktis adalah:
Etika (Khuluqiyah), mengatur pergaulan keluarga dalam
rumah tangga, ekonomi (Tadbir al-Manzil), mengatur
pergaulan umat dalam Negara (Tadbir al-Madinah) dan
kenabian (Anwar, 2008) dalam (Ghozali, 2016:25-26).
Pembagian yang dilakukan oleh Ibnu Sina ini agar dapat
lebih mudah dalam seseorang mempelajari tentang teori
filsafat yang dicetuskannya. Ibnu Sina sendiri dijuuki
sebagai “Filosof Wujud” karena bahasan filsafat Ibnu Sina
lebih menekankan pada aspek Ontology. Aspek Ontology
sendiri merupakan cabang filsafat yang membahas
keberadaan sesuatu yang bersifat konkret.
Ini ada tiga hukum yang dicetuskan oleh Ibnu Sina
mengenai Teori Ontology atau aspek wujud:
1. Al-Wajib al-Wujud (wujud yang wajib) adalah
realitas yang harus ada, dan tidak bisa tidak ada.
Hanya ada satu realitas dan itu al-Wajib al-Wujud,
yakni Tuhan.
2. Al-Munkin al-Wujud menurut Ibn Sina adalah
kontingensi yakni transendensi rantai wujud dan
tatanan eksistensi cosmis dan dunia yang bersifat
pluralistis adalah kontingen (tergantung) kepada
al-Wajib al-Wujud. Menurutnya Wajib al-
Wujuditu adalah azali, jadi Mungkin al-Wujud juga
harus azali. Alam adalah kontingen jadi alam itu
azali, dan yang azaliitu adalah Hayulani-nya
(materi awal), ia tidak diciptakan tapi terbit dengan
sendirinya.
3. Al-Mumtani’ al-wujud(mustahil) adalah wujud
yang tidak mungkin.
(Ghozali, 2016:26)
Dari tiga hukum yang dicetuskan oleh Ibnu Sina
ini, dapat disimpulkan bahwa sesuatu yang ada itu tidak
selalu berwujud nyata. Ada sesuatu yang ada namun
keberadaannya itu melalui essensinya. Hanya ada satu Zat
yang demikian itu, yaitu Allah, wujud yang wajib adanya.
Sementara keberadaan benda dan alam sebagian
mempunyai dua aspek yaitu essensi dan eksistensi karena
benda ada karena mereka eksis dan terlihat wujudnya dan
bisa dirasakan.
Paripatetik (Ibnu Sina) dan kaum Sufi menyatakan
bahwa yang berhubungan dengan realitas eksternal adalah
eksistensi, sedangkan essensi hanya abstraksi mental. Ibnu
Sina memandang wujud berhubungan dengan realitas
eksternal berupa keberadaan sesuatu dan realitas mental
yang berupa keyakinan kita akan adnya suatu benda
tersebut. Begitulah teori Ontology yang dicetuskan oleh
Ibnu Sina, yang berpandangan kepada agama yang
dianutnya yaitu Islam.
Selanjutnya ada Teori Emanasi yang juga
dicetuskan oleh Ibnu Sina. Sebenarnya teori ini sudah
dikemukakan lebih dahulu oleh Al-Kindi yang membuka
jalan bagi Al-Fârabî untuk membahasnya secara
terperinci,
yaitu dimulai dari Tuhan sebagai “Wujud
Pertama” dan “Akal Murni”(al-‘aql al muhaddah) di mana
ia sebagai subjek pikir sekaligus menjadi objeknya. (Nur ,
2009:109). Jadi Ibnu Sina disini lebih mengembangkan
dari teori yang sudah ada sebelumnya, yang dibahas oleh
Al-Kindi dan Al-Farabi yang juga dianggap sebagai
gurunya.
Pada dasarnya teori emanasi Ibnu Sina adalah
pengeluaran akal sebagaimana yang dikemukakan oleh
gurunya, Al-Fârabî . Namun ada bedanya, yaitu tatkala
“Akal Pertama” ber-ta’aqqul mengeluarkan “akal kedua”
di sampingnya juga mengeluarkan dua wujud yang lain,
jadi bukan satu wujud saja seperti yang dikemukakan Al-
Fârâbî, yaitu apa yang disebutnya jarama al-fulk al-‘aqsâ
(langit dengan semua planetnya) dan nafs al-fulk al-‘aqsâ
(jiwa dari langit dengan semua planetnya) (Poerwantana,
1993:148)
Jadi letak perbedaan antara keduanya adalah teori
emanasi Al-Fârâbî mengalirkan bentuk ganda,
(thanâwiyyah), yaitu “Akal Pertama” berpikir tentang
asalnya yang wâjib al-wujûd dan berpikir tentang dirinya
sendiri yang mumkin al-wujûd , sedangkan emanasi Ibnu
Sina mengalirkan bentuk tiga-tiga (thalâthiyyah), yaitu
“Akal Pertama” berpikir terhadap Allah sebagai asal
kejadiannya,
berpikir terhadap dirinya yang wajib al
wujud dan berpikir pada dirinya yang mumkin al-wujûd.
Perbedaan pandangan ini merupakan jalan keluar terhadap
kesulitan yang dialami oleh para filosof Yunani dahulu
kala (Ali, 1991:64). Jadi teori Ibnu Sina merupakan
pengembangan dari gurunya sendiri yaitu Al-Farabi, akal
pikiran mereka berbeda dalam melihat sebuah masalah
sehingga ada perbedaan, namun keduanya tetap saling
menghormati karena ini hanyalah sekedar teori. Jadi Ibnu
Sina disini menyebutkan ada tiga aliran akal pikiran untuk
mengetahui wujud sesuatu.
Ibnu Sina juga berpendapat bahwa akal pertama
yang paling kuat pengaruhnya, disusul akal kedua, akal
ketiga dan seterusnya. Dengan demikian menurut Ibnu Sina
dengan terlimpahnya “akal pertama” dari Tuhan,
dan seterusnya hingga kepada “akal kesepuluh”. Tidak
dimaksudkan oleh Tuhan dan tidak pula di atas tabiatnya
dengan alasan bahwa kalau Tuhan menginginkan sesuatu
untuk diri-Nya atas pelimpahan-Nya kepada “akal
pertama", maka itu berartibarang yang diingini itu lebih
tinggi tingkatannya dari pada yang mengingini, yaitu
Tuhan sendiri, sehingga pelimpahan berjalan di atas
kerelaan yang dipikirkan (al-fayd ridâ’ ma’qûl) oleh
Tuhan. (Poerwantana, 1993:149).
Dapat disimpulkan bahwa Ibnu Sina beranggapan
bahwa akal pertama ini mempunyai tiga objek pikiran,
yaitu pemikiran mengenai tuhan, dirinya sendiri yang
menghasilkan jiwa-jiwa, dan pikiran mengenai dirinya
yang menimbulkan langit-langit ataupun alam.
Teori yang ketiga adalah Falsafah Kenabian, di dalam
teori ini dijelaskan bahwa manusia dapat memiliki akal
materil yang mampu langsung berhubungan dengan tuhan,
sehingga dapat menerima wahyu dari Sang Pencipta.
Nsmun akal ini hanya dimiliki oleh para nabi. Akal ini
sangat kuat tanpa melalui latihan, sehingga yang memiliki
akal ini adalah orang yang spesial.
Dari ketiga teori filsafat yang dijelaskan ini, dapat
disimpulkan bahwa Ibnu Sina adalah seorang filsuf yang
berpandangan terhadap asal-usul penciptaan sesuatu,
wujud sesuatu, dan akal pikiran manusia mengenai hal-hal
tersebut. Bahasan yang diambil oleh Ibnu Sina ini bersifat
mendasar sekali yang memang seharusnya dipelajari lebih
lanjut untuk meluruskan sesuatu kedepannya agar lebih
baik dan tidak terjerumus. Beliau juga tidak lupa akan
kekuasaan Sang Pencipta yaitu Allah SWT yang selalu
disebut
dalam teori yang dikemukakan. Hal ini
menunjukkan bahwa ilmuwan muslim pasti tetap dalam
koridor keimanan walaupun mereka memiliki daya pikir
dan pengetahuan yang sangat tinggi untuk menentang
akan keberadaan tuhan. Inilah perbedaan ilmuwan muslim
denga ilmuwan eropa yang notabene kebanyakan non-
muslim, mereka kebanyakan meragukan akan adanya
tuhan setelah mempelajari mengenai filsafat dasar
mengenai alam dan penciptaannya.
D. Sumbangsih Ibnu Sina di Bidang Kedokteran
dan Kesehatan
Pada bidang Hirudoterapi, Ibnu Sina adalah
peletak dasarnya dan dikembangkan oleh Abd-
el-latif pada abad ke-12 M. pada abad
pertengahan, Terapi Lintah menjadi salah satu
metode yang disukai masyarakat Eropa. Ibnu
Sina juga mengenalkan penggunaan lintah
sebagai perawatan untuk penyakit kulit dalam
kitabnya The Canon of Medicine. Pada Journal of
the International Society for the History of
Islamic Medicine,Nurdeen Deuraseh, dalam
karyanya berjudul "Ahadith of the Prophet on
Healing in Three Things (al-Shifa' fi Thalatha):
An Interpretational."
Ibnu Sina juga menciptakan ramuan bernama
“Zarnab” yang menggunakan Taxus Baccata L, yang
digunakan sebagai obat jantung, yang ditulis dalam
bukunya The Canon of Medicine. Ramuan ini diakui oleh
ilmuwan barat juga dan dipatenkan sebagai hasil karya Ibnu
Sina,
atau yang biasa dikenal Avicena di Eropa.
Selanjutnya Ibnu Sina juga menyumbangkan pikirannya di
bidang psikoterapi bersama Al-Razi. Disini beliau
bersama Al-Razi menggunakan ilmu-ilmu psikologi untuk
mengatasi gangguan mental dan kejiwaan. Ilmu yang
digunakan oleh Ibnu Sina adalah ilmu Nafs, yang
berpendapat bahwa semua yang ada didunia ini memiliki
jiwa, ini erat kaitannya dengan ilmu psikologi juga.
Dalam bidang terapi kanker, Ibnu Sina alias Avicenna
adalah dokter pertama yang berhasil melakukan terapi
kanker. Patricia Skinner dalam bukunya “Unani-tibbi:
Encyclopedia of Alternative Medicine” mengakui
keberadaan Ibnu Sina yang pertama melakukan metode
bedah yang disertai pemotongan atau pembersihan
pembuluh darah. Hal ini juga yang membuat Ibnu Sina
sebagai pencetus metode bedah pertama kali.
Salah satu karya yang fenomenal dari Ibnu Sina
adalah buku The Canon of Medicine, yang berisi banyak
mengenai pengobatan, metode kedokteran, serta
pengetahuan mengenai banyak aspek tentang kedokteran
dan kesehatan. Buku ini merupakan ensiklopedia
kesehatan yang berisi satu juta kata yang sudah banyak di
cetak ulang untuk digunakan di seluruh penjuru dunia.
Buku ini juga digunakan sebagai rujukan dokter di Eropa
dan dunia sampai abad ke 18. Ibnu Sina memberi
sumbangan pada Bakteriologi yakni Ilmu yang
mempelajari kehidupan dan klasifikasi bakteri. Ibnu Sina
juga digelari Bapak Kedokteran Modern atas
rekomendasinya pada tujuh aturan dasar dalam uji klinis
atas suatu obat.
E. Karya Ibnu Sina
1. Al-Syifa, berisikan uraian tentang filsafat yang
terdiri atau empat bagian, yaitu: Ketuhanan, fisika,
matematika, dan logika.
2. Al-Najat, berisikan ringkasan dari kitab al-Syifa.
Karya tulis ini ditujukan buat orang terpelajar
khususnya yang ingin mengetahui dasar-dasar
ilmu hikmah secara lengkap.
3. Al-Qanun fi al-Thibb, berisikan ilmu kedokteran,
yang terbagi menjadi lima kitab yang terdiri dari
berbagai disiplin ilmu medis dan nama jenis-jenis
penyakit dan lain-lain.
4. Al-Insyarat wa al-Tanbihat, kitab yang
mengandung uraian tentang ilmu logika dan
hikmah (Al-Fakhury, 1963: 444). Dalam
(Herwansyah, 2017:56-57).
5. Kitab fi Aqsami al-‘Ulumi al-‘Aqliyyah. Sebuah
karya kitab dalam bidang ilmu fisika. Buku ini
ditulis dalam bahasa Arab dan masih tersimpan
dalam berbagai perpustakaan di Istanbul,
penerbitannya pertama kali dilakukan di Kairo
pada tahun 1910 M, sedangkan terjemahannya
dalam bahasa Yahudi dan Latin masih terdapat
hingga sekarang.
6. Kitab Lisanu al-‘Arab. Kitab ini merupakan hasil
karyanya dalam bidang sastra Arab. Kitab
ini berjumlah mencapai 10 jilid. Menurut suatu
informasi menjelaskan bahwa buku ini Ibn Sina
susun sebagai jawaban terhadap tantangan dari
seorang pujangga sastra bernama Abu Manshur al-ubba’I
di hadapan Amir ‘Ala ad-Daulah di Ishfaha.
Gambar 3 : Manuskrip The Canon of Medicine
Gambar diatas merupakan manuskrip dari salah satu
karya Ibnu Sina yang dijadikan sebagai rujukan dokter
dunia, yaitu The Canon of Medicine.
REFERENSI
Ali, Y. Perkembangan Pemikiran Falsafi Dalam Islam.
Aksara: Jakarta. 1991.
Ghozali, M. 2016. Agama dan Filsafat dalam Pemikiran
Ibnu Sina. Jurnal Aqidah dan Filsafat Islam
https://journal.uinsgd.ac.id/index.php/jaqfi/article/down
load/1712/1166 Diakses pada 28 April 2019.
Herwansyah. 2017. Pemikiran Filsafat Ibnu Sina. Jurnal
el-fikr Volume 01 Nomor 01
jurnal.radenfatah.ac.id/index.php/elfikr/article/view/15
71/1268 Diakses pada 28 April 2019.
Nur, A. 2009. Ibnu Sina: Pemikiran Fisafatnya Tentang
Al-Fayd, Al-Nafs, Al-Nubuwwah, Dan Al-Wujûd. Jurnal
Hunafa, Vol. 6, No.1.
https://www.jurnalhunafa.org/index.php/hunafa/article/
view/123 Diakses pada 28 April 2019.
Poerwantana. 1993. Seluk-Beluk Filsafat Islam. Bandung:
Remaja Rosdakarya.
Sumber gambar :
Gambar 1: republika.co.id
Gambar 2: www.cakrawalamedia.co.id
Gambar 3: www.biografiku.com
RINGKASAN BUKU
Ibnu Sina merupakan salah satu ilmuwan Muslim terkenal di
dunia. Dia adalah seorang ilmuwan dengan pemikiran
cerdas yang mendasari ilmu kedokteran modern. Sampai
saat ini Ibnu Sina disebut sebagai “Bapak Kedokteran
Modern”. Ibnu Sina disebukan sebagai "Ilmuwan Islam yang
Paling Terkenal sekaligus merupakan Salah Satu ilmuwan
Yang Paling Terkenal di Semua Wilayah Tempat, dan
Waktu.”
Ia lahir pada masa keemasan peradaban Islam, sehingga
disebut sebagai tokoh Islam dunia. Nama lengkap Ibnu Sina
adalah Abū 'Alī al-Husain bin 'Abdullāh bin Snā. Ibnu Sina
lahir tahun 980 M pada daerah Afsyahnah dekat Bukhara,
yang sekarang berganti menjadi Uzbekistan (kemudian
Persia). Ibnu akrab dengan sebuah diskusi ilmiah, terutama
diskusi ilmiah yang disampaikan oleh ayahnya. Orang
tuanya adalah pejabat tinggi di pemerintahan Dinasti
Saman.
Ia dibesarkan di Bukharaja dan belajar filsafat dan ilmu-ilmu
agama Islam. Ibnu Sina lahir pada masa keemasan
Peradaban Islam. Saat itu, para ilmuwan muslim banyak
mengeluarkan karya berupa terjemahan teks-teks ilmiah
dari Yunani, Persia dan India.
BOOK SUMMARY
Ibnu Sina is one of the most famous Muslim scientists in
the world. He was a scientist with intelligent thinking that
underlies modern medical science. Until now, Ibnu Sina is
called the "Father of Modern Medicine". Ibnu Sina has been
called the "Most Famous Islamic Scientist and One of the
Most Famous Scientists in All Regions of Place, and Time."
He was born in the golden age of Islamic civilization, so he
is called a world Islamic figure. Ibnu Sina's full name was
Abū'Alī al-Husayn bin 'Abdullāh bin Snā. Ibn Sina was born
in 980 M in the Afsyahnah area near Bukhara, which is now
Uzbekistan (later Persia). Ibnu is familiar with a scientific
discussion, especially the scientific discussion delivered by
his father. His parents were high officials in the government
of the Saman Dynasty.
He grew up in Bukharaja and studied philosophy and
Islamic religious sciences. Ibnu Sina was born in the golden
age of Islamic Civilization. At that time, many Muslim
scientists issued works in the form of translations of
scientific texts from Yunani, Persia and India. The
technology that Ibnu Sina made in Yunani from the time of
Plato to Aristotle has been widely developed and
translated by great Islamic scientists.