The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

e-book ini digunakan sebagai bahan materi penyuluhan tentang upakara

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by wiraswastini, 2022-09-24 12:10:55

CANANG DALAM AKTIVITAS KEAGAMAAN UMAT HINDU DI BALI

e-book ini digunakan sebagai bahan materi penyuluhan tentang upakara

CANANG DALAM
AKTIVITAS KEAGAMAAN

UMAT HINDU
DI BALI

Oleh:
Ni Wayan Wiraswastini



CANANG DALAM
AKTIVITAS KEAGAMAAN UMAT HINDU

DI BALI

Oleh :
Ni Wayan Wiraswastini

CANANG DALAM
AKTIVITAS KEAGAMAAN UMAT HINDU

DI BALI

Pendahuluan

Umat Hindu di Bali pada umumnya menggunakan berbagai sarana untuk memantapkan
hati dalam mewujudkan rasa bhakti kehadapan Ida Sang Hyang Widhi. Sarana-sarana tersebut
merupakan visualisasi dari ajaran-ajaran agama yang tercantum dalam kitab Veda. Sarana
persembahan tersebut yaitu ada daun, bunga, buah, ada juga air dan dupa. Umat Hindu Bali
biasanya merangkai berbagai sarana tersebut dengan berbagai bentuk dan rupa yang indah.
Salah satu bentuk rangkai persembahan dalam aktivitas keagamaan umat Hindu di Bali yaitu
canang. Canang sangat erat dalam aktualisasi kehidupan umat Hindu di Bali, hampir setiap hari
dan setiap saat kita mendengar dan menjumpai canang dalam kehidupan umat Hindu Bali. Pada
setiap hari-hari suci kita juga menggunakan canang dalam aktivitas keagamaan. Canang juga
menjadi sarana utama di dalam pembuatan upakara, dari upakara tingkatan kecil sampai
tingkatan besar, canang menjadi sarana utama di dalamnya. Mengingat begitu pentingnya
keberadaan canang dalam setiap aktivitas keagamaan umat Hindu di Bali maka dipandang
perlu untuk mengkaji secara lebih mendalam lagi tentang. Apa pengertian canang? Bagaimana
Makna Filosifi Canang? Dan Jenis-jenis canang apa saja yang digunakan dalam aktivitas
keagamaan umat Hindu di Bali? Hal tersebut akan diuraikan dalam pembahasan sebagai
berikut.

1. Pengertian Canang

Kata canang berasal dari Bahasa Jawa Kuno yang pada mulanya berarti sirih untuk
disuguhkan kepada tamu yang sangat dihormati (Lestari dan Cahyadi, 2022: 45). Sirih pada
jaman dahulu adalah benda yang bernilai tinggi. Pada jaman dahulu sirih adalah lambang
penghormatan, dan setelah Agama Hindu berkembang di Bali sirih juga menjadi unsur
terpenting dalam upacara keagamaan di Bali. Sirih sebagai inti dari segala macam bentuk
banten atau canang, karena sirih adalah sebagai unsur terpenting yang harus ada dalam canang
dan upakara. Jadi canang adalah salah satu sarana upakara untuk memuja dan menghormati
para leluhur, Sang Hayang Widhi Wasa beserta segala manifestasi-Nya.

2. Makna Filosofi Canang

Menurut Bhagawadgita IX, 26 ada disebutkan sebagai berikut:

“Patram puspam palam toyam
Yo me bhaktya prayacchati
Tad aham bhakty-upahrtam
Asnami prayatatmanah”

(Bagavadgita IX, 26)

Artinya:

Siapapun yang dengan sujud bhakti kepada-Ku mempersembahkan sehelai daun,
sekuntum bunga, sebiji buah-buahan, seteguk air, aku terima sebagai bhakti
persembahan dari orang yang berhati suci (Pudja, 2004:239).

Dari petikan sloka tersebut dapat kita tarik suatu hikmah bahwa dalam
mempersembahkan sesuatu kehadapan Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa
hendaknya dilandasi dengan penuh ketulusan hati dan tanpa pamrih. Walaupun sekecil apapun
yang kita persembahkan apabila didasari atas ketulusan hati maka yang kecil itu akan menjadi
yang utama.

Berbicara tentang makna filosofi canang, tentunya tidak terlepas dari membahas pada
setiap unsur yang membentuk dari canang tersebut. Canang sebagai sarana persembahyangan
terdiri dari beberapa unsur yang mempunyai arti tersendiri. Unsur-unsur dari canang yaitu,
porosan, plawa, jejahitan, urassari, dan bunga.

Porosan terdiri dari, pinang, kapur dibungkus dengan sirih. Dalam lontar Yadnya
Prakerti disebutkan, pinang, kapur dan sirih adalah lambang pemujaan kepada Ida Sang Hyang
Widhi Wasa dalam manifestasinya sebagai Sang Hyang Tri Murti. Pinang lambang Dewa
Brahma, kapur adalah lambang Dewa Siwa, sirih adalah lambang Desa Wisnu. Arti dan makna
porosan adalah untuk memohon tuntunan kepada Sang Hyang Widhi Wasa sebagai Tri Murti
yang mempunyai tiga kekuatan yang disebut Tri Kona (Stiti, Utpeti, Pralina), agar dapat
mencipta yang patut diciptakan, memelihara yang patut dipelihara, dan meniadakan yang patut
ditiadakan, guna mendapat hidup yang semakin baik.

Ceper pembuatannya dilakukan dengan cara melipat janur sehingga berbentuk segi empat.
Kemudian ditutup dengan dua potong janur yang dijahit melintang sperti tapak dara. Bentuk
segi empat melambangkan Catur Loka Pala atau empat arah mata angin, dan setelah
ditambahnya penututupnya akan memiliki makna delapan mata arah angin atau “astadala”.

Unsur lain dari canang adalah plawa, yaitu daun-daunan yang merupakan lambang
tumbuhnya pikiran yang hening dan suci, seperti yang disebutkan dalam lontar Yadnya
Prakerti. Jadi dalam memuja Tuhan sangat dibutuhkan pikiran yang suci dan hening, karena
pikiran yang suci dan hening yang mampu menangkal pengaruh-pengaruh buruk dari hawa
nafsu duniawi. Unsur canang selajutnya adalah bunga. Bunga adalah lambang keikhlasan.
Dalam memuja Tuhan tidak boleh ragu-ragu, harus didasari dengan keikhlasan yang benar-
benar tulus dari lubuk hati yang paling dalam. Unsur canang selanjutnya yaitu jejahitan,
reringgitan dan tetuasan adalah lambang ketetapan dan kelanggengan pikiran. Ketetapan dan
kelanggengan pikiran sangat dibutuhkan dalam memuja Tuhan agar apa yang dicita-citakan
dan diharapkan bisa tercapai.

Urassari yaitu berbentuk garis silang yang menyerupai tampak dara yaitu bentuk
sederhana dari pada hiasan Swastika. Urassari yang tersusun dengan jejahitan, tetuasan, dan
reringitan akan kelihatan berbentuk lingkaran Padma Asta Dala yaitu lambang stana Ida Sang
Hyang Widhi Wasa dengan delapan penjuru anginnya. Jadi Urassari adalah lambang Padma
Asta Dala, sebagai permohonan kepada Tuhan Yang Maha Esa semoga alam lingkungan kita
selalu selaras dan seimbang.

Selain sarana-sarana tersebut di atas pada canang juga dilengkapi dengan kembang
rampe atau irisan-irisan daun pandan harum. Kembang rampe digunakan diatas rangkaian
bunga dan dilengkapi dengan aroma-aroma yang harum. Tujuan penggunaan kembang rampe
adalah untuk memudahakan memusatkan pikiran di dalam melaksanakan persembahyangan.
Selain itu menurut filosofinya kembang rampe juga bermakna sebagai penghormatan kepada
Dewa Siwa. Diceritakan pada jaman dahulu alam semesta dilanda kemarau panjang. Semua
tumbuh-tumbuhan, binatang dan seluruh isi dari alam semesta mati karena kekurangan air.
Melihat keadaan itu seorang rsi merasa terharu selanjutnya melakukan tapa brata yoga samadhi
agar bisa mendapat anugrah hujan atau air. Saking tekunnya maha rsi tersebut bertapa sehingga
Dewa Siwa merasa iba, dan turun menemui para rsi tersebut. Setelah bertemu Dewa Siwa,
Maha Rsi memohon agar Dewa Siwa menurunkan air dari Dewi Gangga untuk menolong
semua makhluk di bumi. Akan tetapi Dewa Siwa tidak serta merta mengabulkan permohonan
dari Maha Rsi tersebut karena air dari Dewi Gangga sangat deras, dan bumi tidak kuat untuk

menyangga derasnya aliran air tersebut. Akhirnya Dewa Siwa menemukan jalan keluar, yakni
dengan mengikat badan Dewi Gangga agar aliran airnya tidak terlalu deras ke bumi. Nah,
ketika air dari Dewi Gangga tersebut mengalir ke bumi, rambut yang mengikat Dewi Gangga
tersebut sedikitnya ikut terbawa arus, dan di bumi rambut-rambut Dewa Siwa tersebut tumbuh
menjadi pandan harum. Itulah sebabnya pada setiap pembuatan canang hendaknya dilengkapi
dengan kembang rampe.

3. Fungsi Canang

a. Fungsi Ritual
a. Canang sari sebagai sarana persembahan sehari-hari. Sesaji canang sari merupakan
sarana terpenting yang selalu digunkan dalam kegiatan persembahan yadnya sehari-
hari, ini terlihat dari banyaknya canang sari yang bisa dijumpai pada setiap pekarangan
rumah, tempat-tempat suci seperti pura dan sanggah/merajan, tepi jalan atau setiap
persimpangan jalan dan di depan-depan toko-toko pedagang.
b. Canang sari sebagai pelengkap ritual upacara yadnya Canang sari merupakan sarana
paling utama sehingga menjadi pelengkap pada setiap upacara yadnya yang
dilakssanakan. Hal ini bisa dilihat dari berbagai jenis sesaji yang dipersembahkan pada
setiap upacara, unsur yang paling atas selalu diletakkan sesaji canang sari sebagai
pelengkapnya. Bahkan bila kekurangan jenis sesaji lainnya canang sari bisa digunakan
sebagai pengganti dalam suatu upacara yadnya.
c. Canang sari sebagai simbolis Tuhan, Manusia dan Alam Semesta Canang sari
merupakan sarana simbolisasi bagi umat Hindu Bali. Tri Hita karana merupakan konsep
keseimbangan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesama manusia dan
manusia dengan lingkungan Alamnya. Sehingga konsep tersebut juga dipresentasikan
dalam sesaji canang sari yang dibuatnya yaitu canang sari merupakan simbolisasi
Tuhan (Tri Murti), Manusia dan Alam semesta atau yang biasa disebut konsep
makrokosmos dan mikrokosmos (Bhuana Agung dan Bhuana Alit).

b. Fungsi Sosial
a. Canang sari sebagai sarana pengikat solidaritas masyarakat. Canang sari merupakan
hasil dari produk kebudayaan masyarakat Hindu Bali sebagai sarana menumbuhkan
rasa persudaraan atau menyama braya dalam mempererat dan membangun struktur
kebudayaannya yang kuat.

b. Canang sari sebagai presentasi estetis. Canang sari merupakan sebuah karya seni yang
tergolong dalam karya seni rupa yang memiliki nilai estetis yang tinggi. Canang sari
sebagai sarana ritual merupakan konsep benda seni yang berawal dari konsep sesajian
atau penyajian yang indah kepada para tamu. Sehingga dalam proses membuat sajian
yang indah ini dibutuhkan nilai estetis yang tinggi karena canang sari akan ditujukan
kepada Tuhan sebagai tanda rasa syukur masyarakatnya.

c. Canang sari sebagai nilai ekonomis. Canang sari merupakan hasil dari pekerjaan
masyarakat mulai dari memanen bahannya hingga jadi. Ini dapat meningkatkan nilai
ekonomisnya apalagi jika dibuat dengan indah dan masih segar. Sehingga canangsari
juga dapat diperjualbelikan berdasarkan kebutuhan dan permintaan masyarakat.

4. Jenis-jenis Canang
Ada beberapa jenis canang yang digunakan dalam aktivitas keagamaan agama Hindu
di Bali. Diantaranya, canang genten, canang lenga wangi burat wangi, canang sari, canang
tadah sukla, canang pangraos, cane dan cang raka (Putra, 1974:17-19). Beberapa jenis canang
tersebut akan diuraikan sebagai berikut.

a. Canang Genten

Canang genten adalah canang yang paling sederhana diantara canang yang lainya.
Walaupun perlengkapan banten ini sangat sederhana, tetapi hampir semuanya mempunyai arti
simbolis. dalam lontar Yadnya Prakerti disebutkan bahwa dalam canang genten memiliki arti
diantaranya:

- Jejaitan/tetuwasan reringgitan, melambangkan kelanggengan/kesungguhan hati,
- Plawa /daun-daunan melambangkan ketenangan hati.

- Porosan yang terdiri dari Sirih, melambangkan Dewa Wisnu, kapur melambangkan
DewaSiva, pinang melambangkan Dewa Brahma, suci bersih,

- Bunga mengambarkan hati yang tulus ikhlas dan suci
- Pandan harum/wangi-wangian sebagai alat untuk menenangkan pikiran kearah

kesegaran dan kesucian.
Canang ini, baik besar maupun kecil bahkan selalu digunakan untuk melengkapi
sesajen-sesajen yang lain, hanya saja bentuk alat serta porosannya berbeda-beda.

b. Canang Lengawangi – Buratwangi

Bentuk banten ini seperti canang genten dengan ditambahkan “burat wangi” dan dua
jenis “lenga wangi”. Perlengkapan tersebut masing-masing dialasi kojong atau tangkih. Burat
wangi dibuat dari beras dan kunir yang dihaluskan dicampur dengan air cendana atau mejegau.
Ada kalanya dicampur dengan akar-akaran yang berbau wangi. Lenga Wangi berwarna
kehitam-hitaman dibuat dari minyak kelapa dicampur menyan dan kacang putih, komak yang
digoreng sampai gosong lalu dihaluskan. Secara keseluruhan dimaksudkan adalah : “lenga-
wangi” dan “burat-wangi” melambangkan Hyang Sambhu. Menyan melambangkan Hyang
Siva, Majegau melambangkan Hyang Sadasiva, Cendana melambangkan Hyang Paramasiva.
Banten ini dipergunakan pada hari-hari tertentu seperti pada hari Purnama, Tilem, hari raya
Saraswati dan melengkapi sesajen-sesajen yang lebih besar.

c. Canang Sari

Canang sari dibagi menjadi dua bagian yaitu :
Bagian bawahnya bisa berbentuk bulat ataupun segiempat seperti ceper atau taledan,
berisi pelawa, porosan, tebu, kekiping (sejenis jajan dari tepung beras), pisang emas atau yang
sejenis dan beras kuning yang dialasi dengan tangkih, dapat pula ditambah dengan burat wangi
dan lengawangi seperti pada canang buratwangi. Di atasnya barulah diisi bermacam-macam
bunga diatur seindah mungkin dialasi dengan sebuah “uras sari/sampian uras”. Perlengkapan
seperti tebu, kekiping, dan pisang emas disebut “raka-raka”. Raka-raka melambangkan Hyang
Widyadhara-Widyadhari. Pisang emas melambangkan Mahadewa, secara umum semua pisang
melambangkan Hyang Kumara, Tebu melambangkan Dewa Brahma. Canang sari
dipergunakan untuk melengkapi persembahan lainnya atau dipergunakan pada hari-hari
tertentu seperti: Kliwon, Purnama, Tilem atau persembahyangan di tempat suci.

d. Canang Pengeraos

Canang pengeraos terdiri atas dua buah aled atau ceper. Pada bagian bawah berisi
kapur, pinang, gambir, tembakau yang dialasi dengan kojong. disusuni beberapa lembar daun
sirih, sedangkan aled atau ceper yang lain berisi bija serta minyak wangi yang dialasi celemik
atau kapu-kapu kemudian dilengkapi bunga yang harum.

e. Canang Tadah Pawitrah / Tadah Sukla

Bentuknya seperti canang genten ditambahkan dengan pisang kayu yang mentah,
kacang komak, kacang putih, ubi dan keladi. Semua perlengkapan digoreng dan masing-
masing dialasi tangkih dan kojong. Banten ini dipergunakan untuk melengkapi beberapa jenis
sesajen seperti: daksina Pelinggih dan lain-lainnya.

f. Cane
Cane dipergunakan terutama pada waktu upacara melasti dijunjung mendahului pratima
atau daksina pelinggih. Cane juga digunakan pada rapat-rapat desa adat untuk memohon agar
pertemuan berjalan lancar. Cara pembuatan cane, dialasi sebuah dulang kecil dihiasi dengan
sesertiyokan dari janur. Ditengah-tengahnya ditancapkan batang pisang. Disekitarnya diisi
perlengkapan lain seperti: bija, air cendana dan burat wangi, masing-masing dialasi dengan
empat buah tangkir atau mangkuk kecil. Dilengkapi pula dengan kojong empat buah yang
berisi tembakau, pinang dan lekesan yaitu, 2 lembar sirih yang dilengkapi dengan gambir dan
kapur dan diikat dengan benang. Dapat pula ditambah dengan rokok dan korek api sebanyak
empat batang. Bunganya ditancapkan menlingkar pada batang pisang dan paling diatas diisi
cili atau hiasan-hiasan lainnya.

g. Canang Meraka
Sebagai alas dari canang ini digunakan ceper atau tamas, diatasnya diisi tebu, pisang,
buah-buahan, beberapa jenis jajan dan sebuah “sampian” disebut “Srikakili” dibuat dari janur
berbentuk kojong diisi plawa, porosan serta bunga. Sesungguhnya masih banyak jenis-jenis
canang tubungan, Canang Gantal, Canang Yasa. Pada umumnya bahan yang diperlukan hampir
sama, hanya bentuk porosan dan cara pengaturannya yang berbeda.

Kesimpilan

Canang adalah salah satu sarana upakara untuk memuja dan menghormati para leluhur,
Sang Hayang Widhi Wasa beserta segala manifestasi-Nya. Makna filosofi canang dapat dikaji
berdasarakan unsur-unsur yang membentuk canang tersebut. Alasnya yang berupa ceper
merupakan sombol catur loka phala dan padma asta dala, porosan lambang tri murti dengan
kekuatan tri kona, plawa simbol tumbuhnya pikiran yang suci, bunga sombil lascarya/
keikhlasan, reringgitan simbol ketetapan atau kelanggengan pikiran, dan pandan simbol
keharuman. Fungsi canang yaitu ada dalam fungi ritual dan fungsi sosial. Ada beberapa jenis
canang yang digunakan dalam aktivitas keagamaan agama Hindu di Bali. Diantaranya, canang
genten, canang lenga wangi burat wangi, canang sari, canang tadah sukla, canang pangraos,
cane dan cang raka.

Sumber bacaan

Swara Vidya / Volume II Nomor 1 2022 Jurnal Prodi Teologi Hindu STAHN Mpu Kuturan
Singaraja

Pudja, Gede, 2004 Bhagavad Gita. Paramita Surabaya
Putra, I.G.A Mas, 1974 Upakara Yadnya. I. H. D Denpasar


Click to View FlipBook Version