The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by DURI TIMES, 2020-08-28 04:32:34

Indonesia Tidak Untuk Dijual

Indonesia Tidak Untuk Dijual

AGUNG MARSUDI
Duri Institute, Penulis Buku Chevronomics

Polemik Freeport

Indonesia Tidak Untuk Dijual

Kemelut Pemerintah versus Freeport, merambat kemana-mana, semua angkat bicara. Dari persoalan
divestasi, pembangunan smelter, PHK karyawan, isu pelanggaran HAM, hingga hutang ekologis dan
kerusakan lingkungan. Bahkan seorang juru bicara serikat pekerja Freeport mengatakan sengketa
berlarut-larut antara pemerintah dengan Freeport bisa memicu tuntutan referendum di Papua.

Tanggal 1 Juni 2001, bertepatan dengan hari Pancasila, Presiden ke-6 SBY akan menegosiasi ulang
kontrak-kontrak sumberdaya alam. Dalam bahasa presiden, kontrak pertambangan itu “sangat
mencederai keadilan”. Sebelumnya Presiden ke-3 BJ Habibie mengingatkan jangan sampai kita terjebak
dalam bahaya globalisasi yang bisa membawa kita ke zaman VOC baru, dan sekarang Presiden Jokowi
berani Peringatkan Freeport.

Kontrak Karya Baru

Catatan penguasaan kekayaan emas dan tembaga Indonesia oleh Freeport dimulai tanggal 7 April 1967
ketika Ketua Presidium Kabinat Ampera, Jenderal Soeharto memberikan persetujuan kepada Menteri
Pertambangan Slamet Bratanata, untuk menandatangani kontrak karya penambangan tembaga di
Ertsberg, Irian Barat antara Pemerintah Indonesia dengan Freeport Indonesia Incorporated. Jangka
waktu perjanjian mulai dari tanggal 7 April 1967 hingga 7 April 1997 (Kontrak Karya I). Usulan
perpanjangan perjanjian kontrak karya dapat dilakukan paling sedikit 2 tahun sebelum kontrak berakhir
atau tahun 1995.

Tetapi pada 30 desember 1991 sebelum berakhirnya Kontrak Karya I, Pemerintah Indonesia membuat
Kontrak Karya II yang merupakan kontrak karya baru dan bukan kontrak karya perpanjangan. Saat itu
pemerintah Indonesia diwakili Ginandjar Kartasasmita, selaku Menteri Pertambangan dan Energi.
Kontrak Karya II itu berlaku 30 tahun, hingga tahun 2021, dengan pilihan perpanjangan 2 kali selama 10
tahun. Artinya bila kontrak karya II berjalan lancar, maka Kontrak Freeport masih akan berakhir pada
tanggal 30 Desember 2041.

Penandatanganan kontrak karya baru itu dilakukan ketika ditemukan cadangan baru di Grasberg sebesar
770 juta ton metrik, sedang di Ertsberg cadangan total sekitar 100 juta ton metrik. Menurut Laporan
keuangan Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc., 2012, cadangan Ertsnerg dan Grasberg mencapai
1,624 miliar ton metrik.

Perubahan signifikan dalam Kontrak Karya II, adalah adanya kewajiban royalti. Perhitungan royalti pada
Kontrak karya II tahun 1991 itu dikenakan terhadap tembaga, emas dan perak. Lengkap dengan rumus

perhitungannya, berkisar antara 1,5-3,5 persen. Persoalannya adalah ketentuan royalti dalam kontrak
karya ini tidak pernah dipenuhi oleh Freeport. Faktanya, pemerintah Indonesia telah mengeluarkan PP
No.45/2003 pada 31 Juli 2003 yang menetapkan besaran royalti emas jadi 3,7 persen, dan perubahan
royalti tak pernah terlaksana hingga hari ini. Hingga keluarnya PP No.1 Tahun 2017, ketika Menteri
ESDM Ignasius Jonan mengumumkan bahwa pemerintah Indonesia akan memberi kelonggaran ekspor
mineral mentah dengan beberapa persyaratan.

Tiga persyaratan yang harus dipenuhi agar perusahaan tambang dapat mengekspor mineral dalam
bentuk konsentrat. Pertama, perusahaan tambang yang memiliki Kontrak Karya harus mengubah izinnya
menjadi IUPK (Izin Usaha Pertambangan Khusus) jika ingin mengekspor dalam bentuk konsentrat
mineral. IUPK berlaku selama lima tahun dan dapat diperpanjang, maksimal sebanyak dua kali. Kedua,
perusahaan tambang yang memiliki IUPK wajib membangun smelter dalam waktu lima tahun.
Pemerintah akan melakukan evaluasi setiap enam bulan untuk memeriksa perkembangan
pembangunan smelter. Dan ketiga, perusahaan tambang juga wajib melakukan divestasi hingga 51%
secara bertahap dalam waktu sepuluh tahun.

Perubahan kebijakan inilah yang membuat gonjang-ganjing Freeport yang kontraknya akan berakhir
pada 2021. Hingga CEO Freeport-McMoRan, Richard C. Adkerson, bereaksi keras, menyatakan akan
membawa persoalan ini ke arbitrase internasional. Dia menuding pemerintah melanggar ketentuan
kontrak karya tahun 1991 dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara.
Freeport menyatakan berhak mengekspor konsentrat tembaga ke luar negeri. Hak tersebut, menurut
Richard, telah dibatalkan sepihak oleh Kementerian Energi sejak 12 Januari 2017. Freeport menolak IUPK
dengan dalih membutuhkan kepastian untuk kelancaran investasi tambang bawah tanah sebesar US$ 15
miliar hingga 2041. Perusahaan itu juga menolak kewajiban divestasi hingga 51 persen.

Freeport telah berencana membangun smelter seluas 100 hektar di Gresik, Jawa Timur. Sementara
santer terdengar Cina yang akan besar-besaran berinvestasi membangun smelter di Indonesia,
termasuk di Papua. Hingga saat ini Freeport baru mendivestasi 9,36% sahamnya. Kemelut ini
mengkonfirmasi, kenapa drama Papa Minta Saham, beberapa waktu yang lalu menggegerkan. Hingga
membuat Ma’ruf Syamsudin dan terakhir Cheppy Hakim mengundurkan diri, dari kursi panas petinggi
Freeport. Ada shadow management yang sedang dimainkan Freeport.

Tirani Korporasi

Karena Freeport telah membongkar gunung-gunung emas, dan tembaga di Papua, sudah saatnya
Indonesia berani membongkar apa yang sesungguhnya terjadi. Indonesia harus berani menghitung
kerugian ekonomis sepanjang Kontrak I dan Kontrak II, negara harus mengaudit secara seksama terkait,
pajak, lingkungan (hutang ekologis), ekspor bijih tanpa peleburan dan pemurnian (smelting), bahkan
kerugian besar karena Freeport menolak mematuhi pembayaran royalti emas dan tembaga berdasarkan
PP No.45 tahun 2003 hingga kini. Sedang PP No.1 tahun 2017, konsisten dengan UU N0.4 Tahun 2009
tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang mendorong terwujudnya pembangunan fasilitas
pemurnian di dalam negeri. Kepemilikan pemerintah dengan divestasi 51% sehingga, sesuai dengan

semangat konstitusi bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya harus dikuasai
oleh negara, dan digunakan sebesar-besar untuk kemakmuran rakyat.

Indonesia sebagai negara keempat berpopulasi tinggi di dunia, tidak dapat menghindari untuk tetap
menghadapi kompleksitas yang tinggi dalam pengelolaan sumberdaya alam yang tidak bisa
diperbaharui. Freeport sudah setengah abad di Indonesia, sudah saatnya pemerintah membuka mata
pada kian banyaknya aset vital dan menguntungkan negara yang jatuh ke tangan asing. Tirani korporasi
lahir karena kedaulatan negara telah dibajak oleh kedaulatan pasar. Indonesia tak perlu takut dengan
ancaman arbritase, apalagi takut dengan perseroan terbatas. Freeport tak perlu memainkan isu Papua,
dan menggertak dengan kehadiran pasukan marinir AS di Australia.

Sambil menunggu para negosiator berunding, menarik bila gonjang-ganjing Freeport ini dinikmati
sampai 100 hari ke depan, sambil menikmati puisi, Seni Lapak Cikini, di pelataran Taman Ismail Marzuki,
Seoreang seniman jalanan, membacakan puisi berjudul Indonesia Error, penggalannya begini:

Ini rezim nasakong, ngomong gotong royong
Tapi bersekutu dengan cukong,
Ibu pertiwi menangis, melihat anak-anaknya dipaksa
Menjadi kuli di negeri sendiri

Koloni banteng proxy, piawai mengelabui negeri
Kepalanya ngaku nasionalis, leher ke perut kapitalis
Bawah perut liberalis

Indonesia tidak untuk dijual, apalagi diobral
Pada kompeni-kompeni multi nasional
Atas nama kerjasama atau kontrak karya,
Negara tak boleh kalah dengan mafia
Sebab tuan rumah, tak seharusnya berunding
dengan maling

Jakarta, 2017


Click to View FlipBook Version