UTS : Tata Kelola Sektor Publik
Dosen : Isnaini Muallidin, S. IP.,MPA/ [email protected]
Reviewer : Sumardi (20171040032)/ [email protected]
Magister Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Jurnal Review
Administrative reform in South Korea:
New Public Management and the bureaucracy
Author: Sunhyuk Kim (Korea University, South Korea)
Reviewer : Sumardi (20171040032)
Email: [email protected]
Magister Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
A. Pendahuluan
Penataan tata kelola administrasi penyelenggaraan pemerintahan yang
lebih demokratis, efektif, efisien, adaptif, inovatif dan responsif menuju clean
government dan good governance merupakan prasyarat terjadinya reformasi
adminitrasi dalam sistem pemerintahan di berbagai negara termasuk di Korea
Selatan dan Indoensia. Menariknya adalah reformasi yang terjadi di negara-
negara tersebut semuanya di awali atas adanya krisis multidimensional yang
kemudia menghendaki perubahan secara total dalam roda pemerintahan suatu
negara.
Ikhwal reformasi secara historical dan teorisasi selalu mengedepankan
pendekatan New Public Mangement (NPM) dan Birokrasi, kedua pendekatan
tersebut merupakan dua mata rantai yang saling mempengaruhi satu sama
lain, NPM menitik beratkan pada kuasa sektor swasta sementara birokrasi
sebagai penentu kebijakan memiliki kuasa dalam mengendalikan berbagai
sektor. Namun sebagai wujud atas kolaborasi keduanya adalah orintasinya
dalam menciptakan sistem dan mekanisme pelayanan publik dan market
modern dalam rangka merespon tuntutan golabalisasi yang semakin masif.
Hal itu sejalan dengan suatu paradigma yang mengemukakan bahwa
reformasi birokrasi merupakan bagian dari strategi besar dalam ilmu perilaku
organisasi yang dikenal dengan manajemen perubahan. Melaksanakan
reformasi birokrasi sama dengan melakukan manajemen perubahan dalam
birokrasi (Nugroho, 2013:15). Manajemen perubahan dalam birokrasi saat ini
terus digulirkan melalui inovasi dan kreativitas pemerintah daerah ditengah
tuntutan publik dan keterbatasan sumberdaya yang dimiliki. Beberapa
UTS : Tata Kelola Sektor Publik
Dosen : Isnaini Muallidin, S. IP.,MPA/ [email protected]
Reviewer : Sumardi (20171040032)/ [email protected]
Magister Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
pemerintah daerah mampu mengelola perubahan birokrasi tersebut secara
optimal, sehingga menghadirkan kualitas pelayanan publik yang unggul dan
tingkat kepuasan masyarakat yang semakin membaik.
Namun patut dicermati bahwa pembaharuan sistem administrasi
melalui reformasi dengan mengadopsi New Public Management (NPM) di
suatu sisi membuka peluang penyelenggaraan sistem administrasi dan
pelayanan masyarakat yang memadai, efektif, efisien dan kompetetif. Namun
disisi lain harus disadari kepetingan privat dan keutungan birokrasi atas hasil
dari reformasi tersebut. Dua negara yakni Korea Selatan dan Indonesia
menrut hemat penulis merupakan contoh konkrit yang mengalami kebablasan
dalam mengadopsi NPM. Walaupun disi lain jaminan pelayanan kepada
masyarakat diyakini lebih dekat dengan prinsip desentralisasi, namun disi
yang lain terjadi pemborosan APBN untuk membiayai kuata pajabat publik
yang menjamur di setiap lembaga birokrasi dan ini tentunya telah keluar dari
tuntutan reformasi, dimana reformasi dilakukan tidak lain karena merepon
krisis multidimensional juga sebagai usaha untuk membangkitkan gairah
kesejahteraan masyarakat melalu akses pelayaan yang terakomodasi dengan
baik.
B. Jurnal Review
Reformasi administrasi sering merupakan alat yang sangat menarik
untuk meningkatkan legitimasi dan popularitas pemerintah. Apabila reformasi
administrasi berhasil dilakukan maka bisa dipastikan membawa perubahan
mendasar dalam menata aparatur pemerintahan dan pembuatan kebijakan
sekaligus menjadi ilustrasi dalam menafsirkan terhadap problem atas tugas-
tugas birokrasi.
Reformasi adaministrasi selama beberapa dekade terakhir tidak
terlepas dari sejumlah model atau pendekatan yang digunakan misalnya
reformasi administrasi di Korea Selatan yang menggunakan pedekatan New
Public Management (NPM) dan Birokrasi. Suksesi penyelenggaraan
reformasi administrasi melalui pendekatan NPM awalnya populer dan suskes
di beberapa negara maju seperti Inggris, Amerika Serikat, Selandia Baru, dan
UTS : Tata Kelola Sektor Publik
Dosen : Isnaini Muallidin, S. IP.,MPA/ [email protected]
Reviewer : Sumardi (20171040032)/ [email protected]
Magister Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Australia. Paradigma NPM memiliki keterkaitan dengan permasalahan
manajemen kinerja sektor publik karena pengukuran kinerja menjadi salah
satu prinsip NPM yang utama.
Uraian di atas diperkuat oleh asumsi bahwa Gerakan NPM pada
awalnya terjadi di negara-negara maju di Eropa, akan tetapi pada
perkembangannya konsep NPM telah menjadi suatu gerakan global, sehingga
negara-negara berkembang pun juga terkena pengaruh penyebaran global dari
konsep ini. New Public Management (NPM) merupakan sistem manajemen
administrasi publik yang paling aktual di seluruh dunia dan sedang
direalisasikan di hampir seluruh negara industri. Sistem ini dikembangkan di
wilayah anglo Amerika sejak paruh kedua tahun 80-an dan telah mencapai
status sangat tinggi khususnya di Selandia Baru. Perusahaan-perusahaan
umum diprivatisasi, pasar tenaga kerja umum dan swasta dideregulasi, dan
dilakukan pemisahan yang jelas antara penetapan strategis wewenang negara
oleh lembaga-lembaga politik apa yang dilakukan negara dan pelaksanaan
operasional wewenang oleh administrasi pemerintah dan oleh badan
penanggung jawab yang independen atau swasta bagaimana wewenang
dilaksanakan.
Varian dari reformasi administrasi NPM terinspirasi sejak 1980-an
tersebut berfokus pada sektor swasta sebagai model bagi pemerintah maupun
sektor publik. Ide utama adalah untuk membuat pemerintah dan sektor
tampilan publik dan bertindak seperti sektor swasta, sehingga mereka dapat
menjadi lebih efektif, efisien, kompetitif, dan responsif. metode yang paling
disukai dari NPM reformasi termasuk privatisasi, deregulasi, dan liberalisasi.
(Osborne dan Gaebler, 1992).
Korea Selatan adalah salah satu negara di Asia yang terkontaminasi
melakukan reformasi administrasi melalui pendekatan NPM, ini berawal
sejak terjadinya krisis demokratisasi Korea selama pertengahan 1980-an
diikuti oleh krisis ekonomi akhir 1990-an, yang mengahasilkan skeptisisme
yang mendalam mengenai efektivitas dan efesiensi dari model pembangunan
negara yang dipimpin yang telah berlaku selama puluhan tahun sebelumnya.
UTS : Tata Kelola Sektor Publik
Dosen : Isnaini Muallidin, S. IP.,MPA/ [email protected]
Reviewer : Sumardi (20171040032)/ [email protected]
Magister Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Demokratisasi di Korea, terutama didorong oleh gerakan sosial yang kuat dan
mobilisasi masyarakat, membawa proliferasi kelompok warga yang
melakukan aksi kontrol sebagai akses dalam proses kebijakan. Krisis
ekonomi, casting keraguan serius pada model yang ada industrialisasi,
menuntut peninjauan kembali dari peran aktif negara dalam pembangunan
ekonomi. Akibat tekanan yang secara bottom-up tersebut pemerintah Korea
Selatan kemudia bertransformasi dan melakukan reformasi dengan harapan
Korea Selatan tetap eksis baik di Asia maupun Global dengan daya saing dan
transparansi prinsip-prinsip yang tidak terpisahkan untuk reformasi
administrasi tersebut.
New Public Managemant (NPM) dan Birokrasi
Dinamika politik dan sosial dari reformasi administrasi NPM di
Korea, penting untuk menganalisis bagaimana NPM muncul sebagai
paradigma yang menonjol dalam reformasi administrasi pada umumnya dan
di Korea pada khususnya. Konstruk NPM secara umum bertentangan dengan
administrasi publik tradisional yang telah didasarkan pada birokrasi dan
memicu timbulnya kritik terhadap pergeseran paradigma dalam menanggapi
kebutuhan dari masyarakat untuk layanan baru yang efektif dan efesien.
Osborne, (2006: 1-24), mengemukakan bahwa dalam administrasi
publik tradisional, birokrasi memainkan peran sentral dalam pengambilan
keputusan dan implementasi kebijakan. Hal ini dimungkinkan melalui hirarki
dalam organisasi publik dan berdasarkan aturan hukum. Dengan mengambil
keuntungan dari meritokrasi, artinya birokrat dalam organisasi hirarkis
memfokuskan pekerjaan mereka pada pengadministrasian jelas menetapkan
aturan dan pedoman. Birokrat diharapkan untuk memberikan layanan publik
dan memenuhi kebutuhan masyarakat. Ini adalah fitur inti dari birokrasi
profesional Weberian.
Sementara menurut Nickson, (2008), menyebut bahwa birokrasi
Weberian itu masif diadopsi dan disebarkan secara luas di seluruh dunia
selama masa kejayaan negara kesejahteraan di bangun dari Perang Dunia
Kedua, ketika negara dipanggil untuk memenuhi kebutuhan sosial dan
UTS : Tata Kelola Sektor Publik
Dosen : Isnaini Muallidin, S. IP.,MPA/ [email protected]
Reviewer : Sumardi (20171040032)/ [email protected]
Magister Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
ekonomi terus berkembang dari masyarakat. Pelayanan sipil meritokratis
bertugas untuk merespon kegagalan pasar, sehingga memperluas peran negara
relatif terhadap pasar. Bagi banyak negara berkembang, ada pengakuan yang
lebih besar dari peran penting birokrasi dalam proses perkembangan bangsa.
Negara itu menjadi kunci keberhasilan sukses pembangunan sosial dan
ekonomi Birokrasi Weberian tidak hanya dasar dari negara kesejahteraan
Barat - itu juga merupakan dasar dari negara perkembangan Asia.
Dengan demikian penerapan NPM juga tidak terlepas dari sejumlah
tantangan dan hambatan antara lain pertama menurut Dunleavy Biro-Shaping
Model (1991), NPM seagai langakah dalam mengurangi dikotomi dan
abtraksi birokrasi dengan mengubah stuktur kelembagaan departemen
sekaligus merespon perubahan manajemen publik demi memperluas dan
mempertahankan wilayah keuasaan dan kepentingan para birokrat itu sendiri.
Artinya pejabat pemerintah terutama pusat mengambil keuntungan dari
kekuatan dan kekuasaan mereka untuk mendikte aturan dan permainan
pemerintah meskipun ada keinginan unuk membenahi pelayanan itu tidak
lebih hanya sebagai kultur dalam mengakomodasi apa yang mereka inginkan.
Secara khusus, mereka mampu untuk menyerahkan pekerjaan rutin
dan manajerial untuk instansi bawahan, sekaligus memperkuat dan
memperluas keterlibatan diskresioner mereka dalam isu-isu kebijakan yang
relevan. pejabat tinggi cenderung memiliki minat yang kuat dalam
memisahkan fungsi kebijakan dari fungsi manajemen untuk tujuan
meningkatkan jumlah waktu yang mereka habiskan untuk pekerjaan yang
berhubungan dengan kebijakan (Marsh et al, 2000:. 463) sehingga perilaku
birokrasi akan banyak berubah sebagai hasil dari inisiatif reformasi NPM.
Kedua, institusionalisme historis dan konsep terkait jalan
ketergantungan menginformasikan bagaimana birokrasi yang kuat
menggunakan otonomi historis dibentuk untuk melestarikan kepentingan
organisasinya (Hall dan Taylor, 1996). Gagasan jalan ketergantungan
menunjukkan bahwa agen bertindak dalam pengaturan kelembagaan, fungsi
sekarang yang dijelaskan hanya yang super secara resmi bila tidak
UTS : Tata Kelola Sektor Publik
Dosen : Isnaini Muallidin, S. IP.,MPA/ [email protected]
Reviewer : Sumardi (20171040032)/ [email protected]
Magister Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
sepenuhnya dipahami dari sudut pandang sejarah. Lembaga yang colligated
dengan aturan, prosedur informal atau formal yang dikeluarkan oleh
organisasi formal. Negara perkembangan di Korea, kelembagaan bercokol di
birokrasi pusat, mencapai industrialisasi sangat sukses selama tahun 1960-80.
Dalam perspektif historis tertanam dan jalan tergantung dari struktur
perkembangan yang ada dan praktek, adalah mungkin bagi birokrasi untuk
menemukan cara-cara untuk menghindari, mengikis, dan melemahkan
bergerak debirokratisasi reformasi NPM. Menurut institusionalisme historis
dan konsep path dependency, birokrasi yang kuat akan mengambil
keuntungan dari kondisi lingkungan yang menguntungkan diwariskan dari era
developmentalis dan akan mampu menghindari debirokratisasi offensive dari
reformasi NPM.
Pada prinsipnya Biro-Shaping Model dasarnya adalah model pilihan
rasional, dan institusionalisme sejarah, dengan pengertian yang jalan
ketergantungan, lebih struktural di alam. Namun, dua model teoritis yang
pelengkap satu sama lain dalam menjelaskan kekuatan birokrasi yang terus-
menerus di Korea. Perspektif kelembagaan sejarah berfokus pada lingkungan
struktural di mana perilaku birokrasi tertentu bertahan karena jalan
ketergantungan. Sementara itu, Biro-Shaping Model berfokus pada perilaku
birokrasi spesifik dalam menyoroti konteks pada tingkat makro di mana
inisiatif reformasi NPM yang efektif di Korea karena warisan yang kuat dari
negara perkembangan, yang terakhir menggaris bawahi persoalan pada
tingkat mikro mekanisme dimana birokrat rasional di Korea diatasi dengan
debirokratisasi yang offensive dari reformasi NPM artinya ini bertentangan
dengan maksud dan harapan NPM, ironisnya birokrat ternyata diuntungkan
dari reformasi NPM.
Berkurangnya Kekuatan Birokrasi
Transformasi administrasi di Korea Selatan dengan memanfaatkan
paradigma NPM sejak akhir 1990-an sebagai usah untuk mengubah lembaga-
lembaga yang mengatur proses pembuatan kebijakan sehingga dapat bekerja
lebih efektif dalam merespon kebutuhan masyarakat. Dalam rangka
UTS : Tata Kelola Sektor Publik
Dosen : Isnaini Muallidin, S. IP.,MPA/ [email protected]
Reviewer : Sumardi (20171040032)/ [email protected]
Magister Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
menghadapi krisis ekonomi 1997-1998, pemerintahan Kim Dae Jung
merancang dan melaksanakan program restrukturisasi yang komprehensif,
termasuk reformasi sektor publik.
Ditengah meningkatnya polarisasi ketidakpuasan serta distrust dalam
pemerintahan yang berdampak atas lemahnya birokrasi, sentralisasi, dan
kurangnya kompetisi dan transparansi. Ironisnaya adalah aktivitas politisi dan
masyarakat sipil telah menyalahkan PNS dengan dalih dan harapan bahwa
pemerintah sepatutnya memeberikan layanan yang lebih baik dengan biaya
yang minim, sebagaimana model NPM (Hood, 1991; Kettl, 2005).
Salah satu hal yang perlu digaris bawahi bahwa reformasi birokrasi di
Korea Selatan berangkat dari era developmentalis dari tahun 1970-an dan
1980-an, ketika para pejabat publik menuai apresiasi sebagai agen yang
memiliki prinsip dalam pembangunan nasional. Hal ini merupakan bukti
bahwa selama era developmentalis, pegawai negeri rating yang cukup baik
sekaligus menjadi percontohan dalam pembangunan lembaga perekonomian
nasional, seperti Dewan Ekonomi Perencanaan (EPB) (Evans, 1995; Wade,
1990). Pengenalan dan pelaksanaan reformasi NPM berarti bahwa birokrasi
yang telah memainkan peran kunci dalam pengembangan ekonomi sekarang
tiba-tiba diturunkan menjadi target utama reformasi. Bertentangan dengan
niat dan harapan para reformis, bagaimanapun, birokrasi Korea dalam praktek
tetap kuat dan tetap memiliki kekuatan untuk mendikte aturan permainan
reformasi. Hal ini dimungkinkan karena birokrasi telah lebih atau kurang
mampu terampil beradaptasi dengan situasi fluktiatif politik dan
menggunakan proses reformasi dalam gerakan mendukung kepentingan
mereka sendiri.
Secara konkrit bahwa tujuan reformasi administrasi tidak lain adalah
sebagai usaha dalam meningkatkan kepercayaan pelayanan publik dengan
menciptakan pemerintahan yang lebih baik, sehingga marketisasi, partisipasi
masyarakat dan kolaborasi atau kerjasama antara sektor publik dan swasta
merupakan bagian yang paling mendukung reformasi tersebut. Di lain hal
kekuasaan pemerintah Kim Dae Jung (1998-2003) dan Roh Moo Hyun
UTS : Tata Kelola Sektor Publik
Dosen : Isnaini Muallidin, S. IP.,MPA/ [email protected]
Reviewer : Sumardi (20171040032)/ [email protected]
Magister Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
(2003-2008), langkah reformasi yang dilakukan antara lain adalah
merekontruksi birokrasi pemerintah dalam hal ini sistem lembaga eksekutif,
dan manajemen kinerja. Langkah-langkah ini sejalan dengan prinsip NPM
dengan maksud mengubah birokrasi berbasis hirarki menjadi organisasi yang
lebih kompetetif, sehingga terwujud efisiensi dan fleksibilitas di sektor
publik.
Sejalan atas uraian diatas maka kemudian timbul respon dari
masyarakat sipil dan kalangan politisi bahwa reformasi adminitrasi pada
sektor publik penting untuk dilakukan guna memangkas jumlah pegawai
negeri sipil yang berdasarkan data akhir tahun 2002, potongan jatah PNS 20
persen dari total sektor publik dicapai (Namkoong, 2006: 248). Secara
bersamaan, jumlah anggota kabinet berkurang 21-17 (Lee, 2004: 114). Juga,
pada tahun 2001, delapan BUMN diprivatisasi, dan ukuran tenaga kerja
publik berkurang 16 persen, atau dengan 224.000 orang (Kementerian
Perencanaan dan Penganggaran, 2002: 43).
Namun, rekonstruksi terseut mengalami kegagalan dalam
mengakomodasi seluruh elemen birokrasi dengan kata lain bahwa kuota
pejabat publik justru mengalami peningkatan dari 562.373 pada pemerintah
Kim mencapai 589.148 selama pemerintah Roh (Choi, 2005: 77).
Selanjutnya, selama pemerintah Roh, beberapa kementerian pemerintah pusat
yang kuat, seperti Kementerian Perencanaan dan Penganggaran, Kementerian
Administrasi Publik dan Keamanan, dan Kementerian Perdagangan, Industri
dan Energi. Akaibatnya FFI mengintruksikan kepada wakil menteri untuk
melakukan restrukturisasi kembali dengan mengubah Undang-Undang
Organisasi Pemerintah. Sebagai hipotesis dalam Model Biro-Shaping, rute
kementerian kuat, yang telah memainkan peran kunci dalam keberhasilan
pembangunan ekonomi negara yang dipimpin dalam dekade sebelumnya,
mampu mempertahankan kontrol mereka dan pengawasan atas isu-isu
kebijakan inti dan agenda reformasi administrasi pada umumnya dengan
meningkatkan ukuran dan dua kali lipat jumlah wakil menteri.
UTS : Tata Kelola Sektor Publik
Dosen : Isnaini Muallidin, S. IP.,MPA/ [email protected]
Reviewer : Sumardi (20171040032)/ [email protected]
Magister Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Distorsi atas reformasi adminitrasi melalui pendekatan NPM dan
Birokrasi di Korea Selatan tentunya menyimpang dari paradigma pemerintah
era developmentalis sebelumnya, ciri khas dari program restrukturisasi
pemerintah Kim Dae Jung adalah bahwa untuk memastikan sektor swasta
menjalin kerjasama dengan para konsultan dan ahli sipil yang bergerak dalam
ranah domestik untuk berpartisipasi dalam proses tersebut. Pada saat yang
sama, pemerintah FFI secara resmi meluncurkan organisasi pemerintahan
baru yang di tandai dengan menculnya Kementerian Perencanaan dan
Penganggaran (MPB) yang bertanggung jawab atas keseluruhan proses
inovasi pemerintah dan reformasi administrasi (Ha, 2004). Organisasi ini
muncul sebagai control tower dalam bidang reformasi. Pemerintah
memberikan MPB dengan kebijaksanaan substansial dan otonomi dalam
melaksanakan inisiatif reformasi. The MPB diberikan wewenang untuk
menetapkan target pengurangan personil dan untuk menentukan pedoman
reformasi rinci untuk setiap organisasi pemerintah pusat. The MPB dilakukan
kekuatannya alokasi anggaran strategis dalam rangka memfasilitasi dan
mempercepat restrukturisasi. Bahkan, penurunan drastis dalam personil
pemerintah dimungkinkan karena MPB sangat strategis terkait pemotongan
jumlah karyawan dengan alokasi anggaran untuk setiap unit pemerintah. The
MPB juga memiliki fungsi kontrol (Power, 2012: 30-63; Schick, 1998: 123-
131).
Sekedar mempejelas bahwa sesungguhnya eektifitas kekuasaan pada
MPB berorientasi terhadap institusionalisme melalui pendekatan historis dan
konsep dependensi yang menyerupai EPB dengan tugas utama merancang
program pembangunan ekonomi negara melalui kekuasaan diskresinya. The
MPB digunakan untuk menyediakan manajer publik dengan otonomi yang
lebih besar serta bertanggung jawab atas implementasi kebijakan. Walaupun
Pemberdayaan dari manajer publik menciptakan paradoks emansipasi dan
perbudakan terhadap aktor publik. Namun di sisi lain memiliki kontrol lebih
besar atas sumber daya dalam menerapkan manajemen. Sebagaimana Hoggett
(1991) memaparkan, unit pemerintah pusat, seperti MPB, dipertahankan dan
UTS : Tata Kelola Sektor Publik
Dosen : Isnaini Muallidin, S. IP.,MPA/ [email protected]
Reviewer : Sumardi (20171040032)/ [email protected]
Magister Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
bahkan diperkuat mengekangnya atas keputusan-keputusan strategis, seperti
alokasi keuangan dan sumber daya personil untuk unit operasional, sesuai
dengan target kinerja yang dicapai dan tidak hanya memaksakan target
kinerja operasional, tetapi intens melakukan distribusi dan sanksi untuk
memenuhi target tersebut. Sehingga kontrol tersebut kemudian membentuk
perilaku manajer publik dalam departemen operasional.
Dengan demikian reformasi administrasi melalui pendekatan NPM
didorong dan diperkuat olehMPB (Jung, 2000: 27-40). MPB berpedoman
terhadap informasi dari masing-masing departemen atau lembaga pemerintah
tidak. Sehingga dalam praktiknya menjadi kuat dikarenakan memiliki mandat
mandat dari birokrasi sebagai penasehat atau dewan pertimbangan dalam
menjalankan permerintahan.
Menariknya ialah adanya kontradiksi antara legitimasi dan
kewenangan adminitrasi di lembaga pemerintahan dengan orintasi kerja
MPB. Artinya legitimasi administrasi di lembaga pemerintahan menuntut
adanya pengurangan aparatur sekitar 20 persen akan tetapi pada MPB justru
mengintruksikan lembaga kementerian menambah kuota personil sekitar 20
persen untuk mengisi lembaga-lembaga kementerian yang baru terbentuk
termasuk Kementerian Biro Pengelolaan Dana (Im, 2003: 94).
Namun harus disadari bahwa dinamika birokrasi Korea sejak tahun
2000 memberi manfaat bagi lembaga dalam rangka memperkuat manajemen
kinerja. Berbagai skema untuk mengelola kinerja pemerintah juga cenderung
untuk menambah daripada mengendalikan birokrasi yang kuat. Kedua
Kementerian Administrasi Publik dan Keamanan (MOPAS), yang
sebelumnya Kementerian Administrasi Pemerintah dan mengudara Rumah
Aff (MOGAHA), dan Perdana Menteri O FFI muncul organisasi juara yang
kuat dalam merancang dan menerapkan langkah-langkah reformasi.
Kekuatan birokrasi MOPAS terwujud dengan memperhitungkan fakta
bahwa kementerian menunjuk atau menolak pemerintah staf kelas 6 atau di
atas. Meskipun hukum menetapkan bahwa Kepala Dinas berwenang untuk
menyesuaikan diri dengan sistem kelas badan dalam waktu 3 persen dari
UTS : Tata Kelola Sektor Publik
Dosen : Isnaini Muallidin, S. IP.,MPA/ [email protected]
Reviewer : Sumardi (20171040032)/ [email protected]
Magister Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
jumlah total upah staf mereka artinya dalam praktiknya mendapatkan
persetujuan terlebih dahulu dari kementerian rumah mereka yang pada
gilirannya diawasi oleh MOPAS (Bulan dan Lee, 2010: 50-54). Pada 2006,
jumlah eksekutif lembaga sta ff adalah 9886, terhitung sekitar 1,7 persen dari
total pegawai publik. angka ini kecil dibandingkan dengan kasus Selandia
Baru dan Inggris, dimana setiap lembaga mempekerjakan sekitar 80 persen
PNS pada tahun 2003 (Rhee dan Schachter, 2010: 74).
Secara umum perkembangan reformasi di Korea dan terjadisaling
klaim dengan NPM yang menyebut bahwa lembaga-lembaga memiliki
otonomi baik dari pemerintah pusat dan kontrol menteri serta para pemangku
kepentingan (Christensen et al., 2008). Elit birokrasi tetap kuat dan cenderung
meremehkan pentingnya otonomi manajerial lembaga, sehingga di FFI
cenderung menciptakan agen yang secara fundamental mengubah hubungan
yang tidak setara antara departemen pusat dan lembaga mereka. Sesuai
survei tahun 2005 dimana 41,8 persen responden mengacu pada kurangnya
otonomi manajerial sebagai masalah terbesar di instansi Korea, sementara
21,7 persen menunjuk pemilihan yang tidak adil dari kepala (Choi, 2005:
197).
Selanjutnya sistem pemerintahan dan lembaga di Korea sebagian
besar masih hirarkis dan kenyataannya lembaga gagal untuk bekompetisi dan
menciptakan pelayanan yang efisien, sehingga menjadi rentan terhadap
kementerian.
Dengan dilantiknya pemerintah Roh Moo Hyun pada tahun 2003,
manajemen kinerja menjadi lebih baik lebih sistematis. Dalam rangka
mencapai manajemen kualitas layanan sipil, manajemen kinerja dimaksudkan
untuk memonitor dan mengubah perilaku organisasi birokrat dengan
memperkenalkan berbagai teknik, seperti ulasan kinerja dengan tabel
perbandingan indikator kinerja dan sistem penilaian staf. Meskipun metode
kinerja yang berfokus ini dimaksudkan untuk mengurangi kontrol birokrasi
dan pengaruh, mereka paradoks membawa lebih banyak kesempatan untuk
Perdana Menteri FFI (PMO) untuk mengkonsolidasikan posisinya sendiri.
UTS : Tata Kelola Sektor Publik
Dosen : Isnaini Muallidin, S. IP.,MPA/ [email protected]
Reviewer : Sumardi (20171040032)/ [email protected]
Magister Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Pada bulan April 2006, hukum evaluasi kinerja pemerintah diberlakukan
untuk menggantikan UU sebelumnya Penilaian Kinerja Pemerintah (2001).
Undang-undang baru adalah untuk mengevaluasi kebijakan utama yang
dilakukan oleh departemen pusat, berdasarkan rencana aksi kinerja tahunan
mereka. Menurut hukum, ada dua jenis evaluasi kinerja. Salah satunya adalah
evaluasi diri yang dilakukan oleh masing-masing departemen secara spesifik
evaluasi ini dikenal sebagai evaluasi eksternal dimana PMO menilai
kementerian pusat pada tugas-tugas wajib spesifisitas (Lim, 2011: 225-227).
Kekuatan Elit Birokrasi
Kegigihan kekuasaan birokrasi dalam proses reformasi administrasi
Korea tidak terlepas dari paradigma model Biro-Shaping dimana kepentingan
birokrat senior tetap terpelihara dengan baik bahkan ditingkatkan dalam
menghadapi perubahan organisasi, memaksakan biaya pada orang lain
(Dunleavy, 1986: 13-34). Artinya keberhasilan reformasi hanya
menguntungkan elit birokrat pemerintah denga merancang dan melaksanakan
reformasi administrasi sehingga menemukan kesempatan yang baik untuk
meningkatkan pengaruh politik mereka dan memperkuat dan mengendalikan
arus reformasi. Mereka merebut dan dimanfaatkan sarana managerialist untuk
melindungi dan memperbesar kepentingan-kepentingan mereka.
Secara garis besar bahwa dinamika politik reformasi administrasi
Korea Selatan mengasumsikan bahwa program reformasi New Public
Management hanya mencapai keberhasilan parsial. Karena gagal untuk
mencapai tujuan yang sebenarnya. Hal ini terbukti akibat melemahnya elit
birokrasi tradisional dalam pembuatan kebijakan dan sebaliknya, kementerian
pemerintah pusat justru memiliki kekuatan dalam otonomi kelembagaan.
Dengan demikian bahwa sangat penting untuk mempertimbangkan konteks
lokal di mana inisiatif reformasi diadopsi, ditafsirkan, diterima, disahkan, dan
diwujudkan untuk implementasi.
C. Analisisi dengan Kasus di Indonesia
Menurut analisis penulis bahwa reformasi yang terjadi di Korea
Selatan tidak juah berbeda dengan reformasi yang berlangsung di Indonesia.
UTS : Tata Kelola Sektor Publik
Dosen : Isnaini Muallidin, S. IP.,MPA/ [email protected]
Reviewer : Sumardi (20171040032)/ [email protected]
Magister Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Namun reformasi sistem administrasi negara Republik Indonesia berriringan
dengan pasca lengsernya Presiden Soeharto pada bulan Mei 1998 lalu yang
mencerminkan komitmen nasional atas berbagai tuntutan aspirasi masyarakat
yang disuarakan oleh para mahasiswa dan berbagai tokoh reformasi dalam
Gerakan Reformasi Total, sebagai reaksi atas krisis multidimensional yang
melanda Indonesia antara Tahun 1997/1998, yang dampaknya masih terasa
dewasa ini.
Hingga saat ini, tercatat sudah 20 tahun Indonesia menjalani era
reformasinya (Winengan, 2014). Salah satu tuntutan masyarakat diawal
reformasi adalah perubahan dalam sistem birokrasi Indonesia, karena selama
ini birokrasi di Indonesia dikenal luas sebagai birokrasi yang memiliki
karakteristik ekonomi biaya tinggi (Dwiyanto, 2011:56). Dalam menjalankan
fungsi pelayanan publik, birokrasi Indonesia penuh dengan arrogant dan
technocratic power, lack of initiative yang terlihat dari ketergantungan pada
petunjuk atasan atau petunjuk teknis, rigid, routine, cumbersone, swollen, red
tape, inflexsible in operation
Lantas apa landasan utama sehingga Indonnesia kemudian ambisius
dalam mereduksi birokrasi sejak reformasi tersebut berlangsung? menurut
(Fernanda, 2016) gerakan reformasi yang telah berlangsung sejak 2 (dua)
dekade silam merupakan reaksi atas terjadinya krisis multi dimensiaonal
dimana dampak negatif dari krisis multi dimensional tersebut dalam konteks
global telah menurunkan posisi daya saing Indonesia pada level yang relatif
rendah, bahkan jika dibandingkan dengan sesama negara-negara ASEAN
sekalipun. Di samping itu, krisis yang terjadi tampaknya memiliki kaitan
yang erat dengan hasil studi salah satu lembaga kajian internasional bahwa
Indonesia ternyata merupakan salah satu dari negara-negara paling korup di
dunia.
Fenomena birokrasi Indonesia diatas, sebenarnya juga terjadi
diberbagai negara seiring dengan berkembangnya kompleksitas persoalan
yang dihadapi negara (Zarzycka & Michalak, 2013). Kondisi ini akhirnya
mendapatkan tanggapan dari para ilmuan Administrasi Publik, dan berusaha
UTS : Tata Kelola Sektor Publik
Dosen : Isnaini Muallidin, S. IP.,MPA/ [email protected]
Reviewer : Sumardi (20171040032)/ [email protected]
Magister Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
untuk melahirkan kerangka pemikiran atau teori baru untuk meresponnya.
Keberadaan teori dan pendekatan Administrasi Publik yang dianggap mampu
memecahkan masalah pada suatu waktu dan tempat akan dianggap tak
memadai lagi dari waktu dan tempat yang berbeda. Akibatnya, dari waktu ke
waktu teori dan pendekatan dalam studi administrasi publik ini mengalami
pergeseran (Muluk dalam Suaedi & Wardiyanto, 2010:41). Keberadaan
paradigma Old Public Administration (OPA) sebagai paradigma awal Ilmu
Administrasi Publik dianggap sudah tidak mampu memberikan solusi
terhadap kompleksitas yang dihadapi negara dalam menjalankan fungsi
pelayanan publiknya, sehingga akhirnya menjadi alasan bagi munculnya
paradigma Ilmu Administrasi Publik kontemporer yang dinamakan dengan
istilah New Public Management.
New Public Management ini dimaksudkan untuk melakukan
pembaharuan dalam tata kelola sektor publik dengan memperkenalkan ide
atau gagasan yang sudah dipraktikkan dalam kegiatan bisnis sektor swasta
(Denhardt & Denhardt, 2003). Dengan kata lain, New Public Management
merupakan paradigma yang dimaksudkan melakukan internalisasi spirit kerja
sektor bisnis ke dalam sektor publik dalam rangka meningkatkan efektivitas
dan efisiensi kerja sektor publik yang selama ini dicitrakan lambat, boros, dan
korup. Slogan yang terkenal dalam paradigma New Public Management ini
adalah mengelola pelayanan publik pada dasarnya sama dengan mengelola
bisnis yang selama ini dijalankan sektor swasta, yaitu sama-sama ingin
menghadirkan pelayanan yang menyenangkan dan memuaskan bagi
masyarakat pengguna jasa layanan, –run government like business (Denhardt
& Denhardt, 2003:13).
Sejalan dengan argumentasi itu maka kemudian kebijakan reformasi
birokrasi Indonesia yang terus mengalami trend penyempurnaan, terlebih lagi
setelah era reformasi, dimana salah satu sasaran dari reformasi tersebut adalah
terjadinya perubahan dalam sistem birokrasi Indonesia menjadi lebih baik
sesuai kebutuhan masyarakat. Dukungan terhadap peluang penerapan New
Public Management ini dalam sistem birokrasi ini juga ditunjang dengan
UTS : Tata Kelola Sektor Publik
Dosen : Isnaini Muallidin, S. IP.,MPA/ [email protected]
Reviewer : Sumardi (20171040032)/ [email protected]
Magister Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
beberapa kebijakan yang dikeluarkan pemerintah, seperti Ketetapan MPR RI
No. IX Tahun 1998, yang ditindaklanjuti dengan UU No. 28 Tahun 1999
Tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi,
dan Nepotisme; PP No. 96 Tahun 2012 Tentang Pelayanan Publik;
Kemenpan No. 63 Tahun 2004 Tentang Standarisasi Pelayanan Publik
(Winengan, 2014).
Jika konsep NPM ini dipahami sebagai transformasi nilai-nilai dalam
kultur organisasi privat dan mengacu pada kebijakan-kebijakan birokrasi
Indonesia, maka semua prinsip-prinsip yang terdapat dalam konsep New
Public Management tersebut dapat diterapkan dalam birokrasi Indonesia,
karena tidak ada sesuatu yang terdapat dalam prinsip-prinsip New Public
Management tersebut yang bertentangan dengan arah reformasi kebijakan
birokrasi Indonesia, dalam rangka memberikan pelayanan yang terbaik bagi
masyarakat. Implementasi dari konsep New Public Management ini juga
sudah terlihat secara empiris dalam birokrasi Indonesia, seperti penerapan
sistem Badan Layanan Umum (BLU) pada beberapa satker publik di
Indonesia, sistem pengelolaan keuangan atau anggaran yang berbasis kinerja,
kebijakan sistem remunerasi (Performance-Based Pay) yang diberlakukan
sejak Tahun 2009, privatisasi pengelolaan layanan transportasi, baik udara,
laut, dan darat, hingga pemberlakuan otonomi kampus melalui pemberian
label Badan Hukum Milik Negara (BHMN) dan Badan Layanan Umum
(BLU) pada lembaga pendidikan tinggi negeri di Indonesia (Syarifuddin,
2014:87).
Selanjutnya, menurut Crishtopher Hood, adanya penerapan prinsip
New Public Management dalam birokrasi Indonesia dapat dilihat dari
fenomena empiris sebagai berikut:
1. Profesionalitas. Secara bertahap, lembaga-lembaga publik di Indonesia
mulai mengembangkan pengelolaan organisasinya secara profesional,
dengan sistem pengorganisasian tugas, wewenang, tanggung jawab,
deskripsi kerja yang jelas, dan penempatan sumberdaya manusia
berdasarkan keahlian dan jenjang karirnya. Upaya ini juga diperkuat
UTS : Tata Kelola Sektor Publik
Dosen : Isnaini Muallidin, S. IP.,MPA/ [email protected]
Reviewer : Sumardi (20171040032)/ [email protected]
Magister Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
dengan kebijakan pembentukan Komisi Aparatur Sipil Negara dalam
rangka melindungi profesionalitas aparatur publik dari pengaruh atau
intervensi politik.
2. Penggunaan indikator kinerja. Indikator kinerja aparatur publik di
Indonesia tidak lagi hanya berpatokan pada hasil form penilaian DP3
yang dilakukan oleh atasan. Namun, sekarang sudah mengacu pada hasil
kerja riil masing-masing aparatur publik, karena menjadi landasan untuk
pemberian gaji tunjangan kinerja dan remunerasi.
3. Penekanan pada kontrol output dan outcome. Penerapan prinsip ini antara
lain terlihat dari sistem performance budgeting yang diberlakukan
Direktorat Jenderal Perbendaharaan RI. Perubahan atas sistem anggaran
ini merupakan bentuk penekanan atas pengendalian output dan outcome.
4. Desentralisasi kewenangan ke unit yang lebih rendah. Gagasan ini
sebenarnya sudah sejak lama dilakukan dalam tata kelola kelembagaan
sektor publik Indonesia. Penerapan prinsip ini terlihat dari adanya unit-
unit kerja tingkat eselon dan bidang kerja pada semua lembaga publik
Indonesia.
5. Pergeseran kompetisi pelayanan publik. Prinsip ini juga sudah berjalan,
antara lain dalam proses penyelenggaraan pembangunan fasilitas atau
pengadaan barang publik, seperti adanya sistem outsourcing dan
privatisasi dalam penghematan biaya dan peningkatan kualitas kerja
sektor pelayanan publik.
6. Internalisasi spirit manajemen sektor privat. Hampir seluruh jabatan
eselon satu dalam birokrasi Indonesia sudah menerapkan prinsip ini
melalui modernisasi kantor dan pemberian remunerasi sesuai job grade
karyawan. Di samping itu, hubungan kerja antara atasan dan bawahan
juga semakin dinamis, prinsip senioritas diberlakukan sesuai kebutuhan
profesionalisme.
7. Penekanan pada disiplin dan penghematan penggunaan sumber daya.
Upaya birokrasi Indonesia untuk meningkatkan disiplin apartur publiknya
cukup menggembirakan, karena sudah semakin efektif melalui upaya
UTS : Tata Kelola Sektor Publik
Dosen : Isnaini Muallidin, S. IP.,MPA/ [email protected]
Reviewer : Sumardi (20171040032)/ [email protected]
Magister Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
penggunaan presensi model finger print. Sedangkan untuk penghematan
sumberdaya, keseriusan birokrasi Indonesia untuk berubah masih
diragukan karena masih ada aset-aset yang dibeli melebihi spesifikasi
kebutuhan (Yudha, 2011:1).
New Public Management ini sebenarnya cukup ideal untuk
memperbaiki kinerja birokrasi Indonesia, karena dalam banyak kasus
pelayanan publik di Indonesia, masyarakat seringkali berada pada posisi
tawar yang lebih lemah, karena dalam suatu jenis pelayanan tertentu, hanya
salah satu lembaga pelayanan publik milik pemerintah yang memiliki otoritas
untuk memberikan pelayanan yang dibutuhkan masyarakat tersebut, sehingga
masyarakat tidak memiliki alternatif lembaga lain untuk mencari pelayanan
yang dibutuhkan tersebut (Winengan, 2014: 31). Pilihan masyarakat hanya
“kalau mau cepat bayar lebih kalau tidak harus rela nunggu lama”. Kondisi
ini seringkali membuat aparatur pelayanan menjadi arogan, bertindak
semaunya, lamban, dan tidak responsif terhadap kepentingan masyarakat, dan
pada akhirnya memberikan ruang terhadap terjadinya rente (pungli) dan
praktik percaloan dalam pelayanan publik tersebut. Sedangkan dalam
penyusunan aturan dan proses pelayanan publik oleh pemerintah didasari oleh
semangat untuk mencegah masyarakat melakukan moral hazard, bukan untuk
memberikan kepuasan pada masyarakat (Dwiyanto, 2008:2).
D. Kesimpulan
New Public Management (NPM) seabagi suatu sistem manajemen
administrasi publik terkemuka di seluruh dunia dan sedang berlangsung berbagai
negara industri. Sistem ini dikembangkan di wilayah anglo Amerika sejak paruh
kedua tahun 80-an dan telah mencapai status sangat tinggi khususnya di Amerika,
Inggris, Denmark dan Selandia Baru. New Public Management (NPM) sebagai
akibat atas terjadinya krisis multidimensional. NPM diterapkan tidak hanya di negara
adidaya seperti Amerika tapi juga dipraktikkan di negara Asia seperti Korea Selatan
dan Indonesia. NPM berorientasi terhadap hasil kebijakan pemerintah, desentralisasi
otoritas menajement, pengenalan mekanisme pasar, serta layanan yang efektif,
efesien dan memadai.
UTS : Tata Kelola Sektor Publik
Dosen : Isnaini Muallidin, S. IP.,MPA/ [email protected]
Reviewer : Sumardi (20171040032)/ [email protected]
Magister Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
namun berdasarkan analisa penulisa bahwa reformasi Administrasi di Korea
Selatan memiliki orientasi sebagai berikut:
1. Privatization, privatisasi yang dimaksudkan untuk mentransfer alokasi barang
dan jasa dari pemerintah ke sektor swasta
2. Downsizing, dilakukan dengan pengurangan dan penyederhanaan jumlah serta
ruang lingkup organisasi dan struktur pemerintahan
3. Corporate Management, manajerialisme yang merupakan pengadopsian cara
kerja swasta pada organisasi pemerintahan
4. Debirokratisasi, dijalankan dengan melakukan restrukturisasi birokrasi
pemerintahan yang akan lebih menekankan kepada hasil daripada proses
5. Decentralization, Sistem desentralisasi yang dimaksudkan untuk mendekatkan
pengambilan keputusan kepada masyarakat yang ingin dilayani.
Sementara Indonesia, pelayanan publik belum memadai. Reformasi
pelayanan publik masih ketinggalan dibandingkan reformasi dibidang lainnya.
Pelayanan publik di era reformasi dinilai berjalan di tempat kalau tidak dikatakan
setback. Sering muncul berbagai keluhan bahkan beberapa aksi demonstrasi
mencerminkan rendahnya pelayanan publik. Pemerintah Indonesia telah berupaya
meningkatkan pelayan publiknya, terlebih di era reformasi. Berbagai upaya
dilakukan baik dari sisi hukum ketatanegaraan, politik, peraturan perundangan,
perekonomian maupun manajemen pengelolaan keuangan Negara. Spirit berbagai
perubahan tersebut adalah untuk membentuk pemerintahan yang baik.
UTS : Tata Kelola Sektor Publik
Dosen : Isnaini Muallidin, S. IP.,MPA/ [email protected]
Reviewer : Sumardi (20171040032)/ [email protected]
Magister Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Daftar Pustaka
Dwiyanto, Agus. (2011). Public Service Management: Caring, Inclusive, and
Collaborative. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Hood (1994). From Old Public Administration to Nem Public Management.
Public Money and Management (July-Sept.):9-16.
Syarifuddin. (2014). Implementation of Transparency Policy on Funds
Management of Bosses: Study on NTB Governor Instruction on
Transparency of Funds Management of Boss in MI Kota Mataram.
Anthology of Research Results.
Osborne, David., & Gaebler, Ted. (1992). Entrepreneurship Bureaucracy:
Mentranformasi Spirit of Entrepreneur into Public Sector. Jakarta: PPM.
Osborne, David and Plastrik, Peter. (1997). Trimming Bureaucracy: Five
Strategies Towards Entrepreneurial Governance. Jakarta: PPM
Winengan. (2014). Implementation of Public Service Standards on Making
Marriage Books in Mataram City. Lemlit, Vol.10 (2), pp.1-18.
Suaedi, Falih., & Wardiyanto, Bintoro (Editorial). (2010). Revitalization of State
Administration: Bureaucratic Reform and e-Governance. Yogyakarta:
Graha Ilmu.
UTS : Tata Kelola Sektor Publik
Dosen : Isnaini Muallidin, S. IP.,MPA/ [email protected]
Reviewer : Sumardi (20171040032)/ [email protected]
Magister Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta