The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by hasim888, 2018-08-20 13:06:33

Varia Peradilan

varia peradilan final

Majalah Hukum
VARIA PERADILAN
Tahun XXXIII No. 392 JULI 2018

PELINDUNG
Ketua Mahkamah Agung dan Wakil Ketua Mahkamah Agung

DEWAN PAKAR :
Prof. Dr. H.M. Hatta Ali, S.H., M.H.

Dr. H.M. Syarifuddin, S.H., M.H.
Prof. Dr. H. Takdir Rahmadi, S.H., L.L.M.

H. Soltoni Mohdally, S.H., M.H.
Dr. H. Supandi, S.H., M.Hum.

Dr. H. Sunarto, S.H., M.H.
H. Syamsul Ma’arif, S.H., L.L.M, Ph.D.
Dr. Drs. Dudu Duswara Machmudin, S.H., M.Hum.

Dr. H. Purwosusilo, S.H., M.H.
Prof. Dr. Krisna Harahap, S.H., M.H.

PEMIMPIN UMUM :
Dr. H. Suhadi, S.H., M.H.

PEMIMPIN REDAKSI :
Dr. H. Amran Suadi, S.H., M.H., M.M.

SEKRETARIS :
H. Suharto, S.H., M.Hum.
Dr. H. M. Fauzan, S.H., M.M., M.H.

BENDAHARA :
Drs. H. Abd. Ghoni, S.H., M.H.
Rafmiwan Murianeti, S.H., M.H.

DEWAN REDAKSI :
Dr. H. Yulius, S.H., M.H.
Dr. Burhan Dahlan, S.H., M.H.
I Gusti Agung Sumanatha, S.H., M.H.
Dr. Kadar Slamet, S.H., M.Hum.
Dr. Prim Haryadi, S.H, M.H.
Hari Widya Pramono, S.H., M.H.
Dr. Agus Budi Susilo, S.H., M.H.
Dr. Mardi Candra, S.H., M.H.
Agustina Dyah Prasetyaningsih, S.H.

PRODUKSI DAN DISTRIBUSI :
Agus Supriyatna dan Ahmad Haryansyah

TATA USAHA :
Agus Sofyan dan Sutjiati

ii

Majalah Hukum
VARIA PERADILAN
Tahun XXXIII No. 392 JULI 2018

1. PENGANTAR REDAKSI..............................................
2. ARTIKEL:

1.. Pasal 22 UUD 1945 dan Ajaran Konstitusi...................................... 1
2.. Peran Lembaga Penegak Hukum dalam

Dinamika Syariah dan Hukum di Era Digital................................... 11
3.. Kewenangan Peratun dalam Perkara

Penghapusan Merek Terdaftar Oleh Pemerintah............................. 25
4.. Judicial Activism Hakim Peradilan Administrasi:

Perspektif Teori-Teori Penemuan Hukum......................................... 35
5.. Pengadaan Tanah untuk Fungsional Berdasarkan

UUD RI 1945......................................................................................... 51
6.. Making Present dan Tugas Yudisial Hakim

( Sebuah Cara Menuju Keadilan)........................................................ 57
3. PERILAKU HAKIM DAN KEPEMIMPINAN

1.. Puasa Bicara (Al-Sukut dan Al-Shumt).............................................. 65
2.. Trias Politika dan Sihir Kekuasaan...................................................... 71
4. ABSTRAKSI PUTUSAN
1.. Pekerja yang Diangkat Menjadi Direksi Berhak Atas Uang

Kompensasi Phk Dengan Perhitungan Masa Kerja Sebelum Menjadi
Direksi 75
2.. Putusan Nomor: 69 PK/PDT.SUS-PHI/2016................................ 81
3.. Putusan Nomor: 9 K/PID.SUS/2016................................................ 123
5. INFO PERADILAN.........................................................
. Tunggakan Pembayaran/Ganti Ongkos Cetak Majalah
Varia Peradilan......................................................................................... 155

iii



Artikel Varia Peradilan No. 392 Juli 2018

PASAL 22 UUD 1945
DAN AJARAN KONSTITUSI*

Prof. Dr. H. Bagir Manan, S.H., M.C.L.**
“Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa
Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah
sebagai pengganti undang-undang” (UUD 1945

Pasal 22 ayat [2]).

A. PEMBUKAAN

B acaan di hadapan Anda (rubrik no. 2 dst.) adalah uraian yang saya
sampaikan pada acara penerimaan Habibie Award 2017 yang lalu.
Dengan beberapa penyempurnaan (dan perubahan serta tambahan) saya
kirimkan tulisan tersebut kepada redaksi Varia Peradilan untuk dimuat
dalam majalah IKAHI. Mudah-mudahan bermanfaat, khususnya bagi
para hakim. Secara substantif tidak ada yang baru, melainkan sekadar mengingat-
ingat sesuatu yang memang sudah diketahui.

Bom bunuh diri tiga gereja di Surabaya yang menimbulkan korban terhadap orang-
orang yang akan menjalankan ibadah, telah meningkatkan desakan, baik dari kalangan
pemerintahan maupun publik agar DPR dan Pemerintah segera merampungkan RUU Anti
Terorisme yang sudah mangkrak selama dua tahun agar segera disetujui dan disahkan
menjadi undang-undang. Presiden Jokowi menyatakan kalau tidak selesai sampai
bulan Juni, akan dikeluarkan Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti Undang-Undang
(Perpu). Sebetulnya, Presiden Jokowi pernah juga menetapkan Perpu. Seandainya
praktik ini sekadar “modus” untuk melangkahi atau menghindari dan sekaligus sebagai
bentuk “fait a compli” terhadap proses demokratis pembentukan undang-undang, hal ini
dapat mengingatkan kita pada bentuk Penpres dan Perpres di masa lampau. Pernyataan
“ hal ihwal kegentingan yang memaksa” menjadi sekadar dasar diskresi belaka dalam
menetapkan peraturan perundang-undangan melalui Perpu.

Namun “ancaman” Presiden Jokowi untuk menetapkan Perpu Anti Terorisme dapat
dipahami berdasarkan:
Pertama; tarik-ulur proses persetujuan sampai lebih dari dua tahun, sedangkan

* Disampaikan dalam Acara Penganugerahan Habibie Award, Jakarta, 5 Desember 2017. Untuk publikasi
ini telah diadakan penambahan dan perubahan.

** Guru Besar Tidak Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran.

1

Artikel Varia Peradilan No. 392 Juli 2018

terorisme bukan lagi sekadar ancaman melainkan suatu kenyataan, menjadi layak
untuk “ menekan” DPR agar segera meram- pungkan RUU tersebut.

Kedua; ada beberapa indikator yang dapat dijadikan ukuran ada atau t idak ada
hal ihwal kepentingan yang memaksa, yaitu:
1. Beberapa peristiwa pengeboman (Surabaya, Thamrin, Bandung, Sukabumi, dan

peristiwa Mako Brimob), secara nyata menunjukkan ada “the real and present
danger” yang harus dihadapi (dan dilawan).
2. Dari berbagai keterangan, meskipun secara faktual tindakan pengeboman tersebut
terpisah-pisah, tetapi sebenarnya merupakan kesatuan sebagai “the organized
force” yang harus dilawan dengan “force” juga.
3. Dari berbagai peristiwa yang disebutkan di atas, semestinya cukup alasan ada
“emergency”, yang harus dihadapi dengan “extraordinary legal procedure” .
Meskipun demikian, secara keseluruhan tulisan di bawah ini justru berorientasi pada
anjuran agar “berhemat-hemat” menggunakan pranata peraturan pemerintah sebagai
pengganti undang-undang, untuk menghindari, di satu pihak terjadi “excessive power”
bahkan “misuse of power” , di pihak lain peraturan pemerintah sebagai pengganti
undang-undang menjadi pranata membelenggu hak-hak konstitusional rakyat banyak,
seperti hak atas kebebasan berpendapat (termasuk hak atas kebebasan menyampaikan
kritik dan berbeda pendapat), kebebasan berapat dan berkumpul dan lain, termasuk
menimbuni rakyat dengan beban-beban yang semestinya diatur dengan undang-undang.

B. AJARAN KONSTITUSI
Ajaran konstitusi atau konstitusionalisme berisi asas-asas yang semestinya

menjadi kandungan yang mendasari konstitusi c.q. undang- undang dasar. Esensi
ajaran konstitusi—antara lain—berisi pembatasan kekuasaan penyelenggara negara.
Pembatasan ini ditandai dengan dicantumkannya prinsip-prinsip demokrasi (substantif
dan prosedural), pembagian kekuasaan (pemisahan kekuasaan), kepastian lingkup
wewenang alat-alat perlengkapan negara, asas-asas negara hukum, dan jaminan hak
asasi manusia. Berdasarkan kriteria-kriteria tersebut, tidak semua konstitusi c.q. undang-
undang dasar, memuat secara lengkap berbagai prinsip di atas.

Pasal 22 UUD 1945 memberi wewenang kepada Presiden dalam hal ihwal
kegentingan yang memaksa menetapkan peraturan pemerintah sebagaipenggantiundang-
undang. Ketentuan ini telah menjadi kaidah undang-undang dasar sejak pertama kali
UUD 1945 ditetapkan (18 Agustus 1945).

Uraian sederhana dan singkat ini, mencoba mencatat aspek-aspek ajaran konstitusi
atau konstitusionalisme ketentuan tersebut. Sejauh mana Pasal 22 mencerminkan
ajaran konstitusi atau konstitusionalisme, atau sejauh mana Pasal 22 UUD 1945
dapat dipertanggungjawabkan menurut (berdasarkan) ajaran konstitusi atau
konstitusionalisme?

Pertanyaan di atas didasarkan pada hipotesis: “tidak semua konstitusi c.q. undang-
undangdasaratausuatuketentuandalamkonstitusi c.q. undang-undang dasar senantiasa
mencerminkan secara utuh ajaran konstitusi atau konstitusionalisme” .

Sejarah membuktikan, ada negara-negara yang mempunyai konstitusi c.q.
undang-undang dasar, tetapi sama sekali tidak mencerminkan ajaran konstitusi atau
konstitusionalisme. Suatu negara memiliki konstitusi c.q. undang-undang dasar tetapi
memuat ketentuan sebagai dasar sistem kekuasaan monolitik atau kediktatoran.
Suatu negara memiliki konstitusi c.q. undang-undang dasar, tetapi rumusan kaidah-

2

Artikel Varia Peradilan No. 392 Juli 2018

kaidahnya sangat bersifat “open ended” atau “overbroad” sehingga membuka peluang

yang terlalu lebar dan tidak mengandung ukuran kepastian. Dari sudut ilmu tentang

kaidah, rumusan-rumusan yang terlalu terbuka atau terlalu lebar, tidak memenuhi syarat

sebagai kaidah, bahkan dapat dikatakan bukan hukum.

Ajaran kaidah hukum menerima prinsip: “kaidah-kaidah dalam konstitusi c.q.
undang-undang dasar tidak boleh dirumuskan terlalu “ rigid”, untuk menjamin agar

penerapannya senantiasa dapat beradaptasi atau diaktualisasikan dengan waktu dan

keadaan, tanpa harus melakukanperubahansecaraformal.1Tetapi tidak berarti, rumusan-

rumusan konstitusi c.q. undang-undang dasar begitu terbuka sehingga dapat menjadi
dasar yang membenarkan penggunaan kekuasaan secara berlebih-lebihan (excessive
powers), bahkan pembenaran penyalahgunaan kekuasaan (misuse of powers, arbitrary powers).

Dapat saja terjadi, meskipun rumusan konstitusi c.q. undang-udang dasar

memungkinkan multitafsir, bahkan tafsir yang saling berlawanan satu sama lain,

tetapi dalam kenyataan tetap berjalan atas dasar prinsip-prinsip ajaran konstitusi atau

konstitusionalisme. Hal ini akan terjadi, apabila pelaku penyelenggara negara memiliki
keinsafan tentang keharusan membatasi diri (self-restraint) agar pelaksanaan

konstitusi c.q. undang-undang dasar senantiasa mencerminkan ajaran konstitusi

atau konstitusionalisme. Ada negara yang tidak secara lengkap memuat prinsip-

prinsip konstitusionalisme, bahkan tidak memiliki undang-undang dasar, justru

menunjukkan ketaatan pada prinsip konstitusionalisme yang dikembangkan melalui

praktik ketatanegaraan (konvensi ketatanegaraan).

Penjelasan UUD 1945 yang disusun alm. Prof Soepomo yang kemudian dimuat

dalam Berita Republik Indonesia tahun 1946 menyatakan:

“Yang penting dalam pemerintahan dan

Dapat saja terjadi, meskipun dalam hidup negara, semangat para
rumusan konstitusi c.q. pemimpin pemerintahan”.
undang-udang dasar
memungkinkan multitafsir, Semangat itu, antara lain,
bahkan tafsir yang saling semangat menjunjung tinggi ajaran
berlawanan satu sama lain, konstitusi atau konstitusionalisme,
tetapi dalam kenyataan tetap di samping semangat yang bersifat
berjalan atas dasar prinsip- filosofis, semangat mengangkat derajat
prinsip ajaran konstitusi (hoge optrekking) tradisi-tradisi yang
atau konstitusionalisme. hidup dalam masyarakat, seperti
paham kekeluargaan, gotong royong,
dan permusyawaratan.

C. PASAL 22 UUD 1945 SEBAGAI KAIDAH KONSTITUSI
Mendahului uraian ini, izinkan saya mengutip suatu pernyataan mengenai “ due

process of law” yang tidak serta-merta bertalian dengan ketentuan yang terkandung
dalam Pasal 22 UUD 1945.

“Due process, unlike some legal rules, is not a technical conception with a fixed
content unrelated to time, place and circumstances … Due process is not a mechanical
instrument. It is not a yardstick. It is a delicate process of adjustment inescapably
involving the exercise of judgement by those whom the Constitution entrusted with
the unfolding of the process”.2

1 K.C. Wheare, Modern Constitution, Oxford: Oxford University Press, 1966.
2 Justice Felix Frankfurter (US Supreme Court) dalam perkara Joint Anti-Fascist Refugee Committee v.

3

Artikel Varia Peradilan No. 392 Juli 2018

Walaupun menyadari kutipan di atas secara yuridis tidak ada kaitan dengan tema
tulisan ini, tetapi secara konseptual ada kesamaan fenomena antara persoalan due
process of law dengan persoalan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-
undang. Persamaan itu dapat ditemukan dalam beberapa hal:

Pertama; “hal ihwal kegentingan yang memaksa” sebagai dasar pembenaran

(justifikasi) peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang tidak

menunjukkan suatu konsepsi teknis yang berisi muatan yang pasti yang tidak terkait

dengan (terlepas dari) perjalanan waktu, tempat, dankeadaan.Kebutuhan hukum yang

mendesak ditentukan oleh keadaan yang dihadapi, baik objek hukum maupun keadaan

nyata yang akan senantiasa berubah atau situasi konkret yang dihadapi. Bahkan, dasar

pembenar peraturan pemerintah penggant i undang-undang secara substantif tidak
terutama ditentukan oleh keadaan dan kenyataan hukum (legal circumstances),
melainkan oleh keadaan dan kenyataan politik ( political circumstances). Hal

ini memungkinkan peraturan pemerintah

Peraturan sebagai pengganti undang-undang sebagai “
pemerintah political instrument” untuk mencapai tujuan
politik tertentu. Apabila pencapaian tujuan

sebagai pengganti polit ik yang lebih mengedepan, maka syarat
mendasar pembentukan dan isi hukum, seperti
undang-undang unsur-unsur “ legal reasonableness” dan
harus diuji, baik pembatasan-pembatasan, baik prosedural maupun
secara politik substansi akan diterobos atau dikesampingkan.

maupun secara Kedua; sebagai konsekuensi Pertama, tidaklah

hukum. mungkin menetapkan suatu ukuran baku ketika
Presiden mempertimbangkan menetapkan

suatu peraturan pemerintah sebagai pengganti

undang-undang. Penetapan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang

adalah sebuah diskresi. Bahkan ada yang menyatakan sebagai “ hak prerogatif Presiden”
. Suatu pernyataan yang keliru. Prerogatif adalah “ extra legal power” atau “ extra legal
measure” . Sedangkan menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-
undang merupakan legal power yang diatur dalam undang-undang dasar (UUD 1945,

Pasal 22). Pertimbangan menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-

undang sangat ditentukan oleh waktu dan keadaan yang dihadapi. Ukuran waktu

dan keadaan yang tidak sama dari waktu ke waktu menjadi pembenaran yang bersifat

subjektif penet apan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang. Untuk

mengurangi subjektivitas, menjamin peraturan pemerintah pengganti undang-

undang t idak melampaui prinsip pembatasan kekuasaan Presiden, baik pembatasan

atas dasar konstitusionalisme, pembatasan menurut prinsip demokrasi, pembatasan

McGrath, 1951).

“Tidak seperti beberapa ketentuan hukum, “due process” bukanlah suatu konsepsi teknis yang
berisi muatan yang pasti (fixed) yang tidak terkait dengan waktu, tempat, dan keadaan (situasi).

“Due process” bukan suatu instrumen (yang bersifat) mekanis. Bukan merupakan sesuatu yang
sudah terukur.

“Due process” merupakan suatu proses yang penuh liku-liku (delicate) yang tidak dapat dihindari
(tidak dapat diabaikan) dalam menyusun pertimbangan dan menentukan putusan oleh mereka
yang mengemban kepercayaan yang ditetapkan UUD (Konstitusi) untuk mengembangkan dan
mematangkan proses tersebut.

4

Artikel Varia Peradilan No. 392 Juli 2018

menurut asas negara hukum, dan tidak me-langgar hak asasi manusia atau sekurang-
kurangnya menjadi beban yang memberatkan rakyat secara berlebihan (excessive
burden), perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
(1) Peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang harus dipandang sebagai “the

necessary evil”, sebagai sesuatu yang semestinya dijauhi, tetapi terpaksa ditempuh
sebagai upaya membentuk hukum di luar tata cara yang semestinya (abnormale
rechtsvorming, extra ordinary procedure).

(2) Peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang harus diuji, baik secara
politik maupun secara hukum. Pasal 22 UUD 1945 mengatur pengujian secara politik
peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang sebagaimana terlihat dari
ketentuan yang berbunyi “ Peraturan Pemerintah itu harus mendapat persetujuan
DPR dalam persidangan yang berikut” . Pengujian secara politik terutama menguji “
waktu dankeadaan” sebagai dasar membenarkan atau tidak membenarkan penetapan
peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang. Tetapi tidak berarti, DPR
tidak dapat menguji aspek-aspek hukum peraturan pemerintah sebagai pengganti
undang-undang, seperti ukuran proporsionalitas isi suatu peraturan pemerintah
sebagai penggant i undang-undang. Tetapi persetujuan DPR atas beberapa peraturan
pemerintah sebagai pengganti undang-undang, menunjukkan pengujian itu sekadar
formalitas, bahkan anomali. Ada peraturan pemerintah pengganti undang-undang
yang ditetapkan untuk mengubah undang-undang yangbarudisahkan(artinyaundang-
undang itu telah disetujui DPR dan disepakati dengan Presiden). Ternyata peraturan
pemerintah sebagai pengganti undang-undang yang mengubah undang-undang
yang mencerminkan kehendak DPR tersebut disetujui juga oleh DPR untuk disahkan
menjadi undang-undang.

Pengujian secara hukum adalah pengujian melalui suatu proses peradilan. Tidak
ada ketentuan secara “expressis verbis” dalam UUD 1945 yang memberi wewenang
kepada Mahkamah Konstitusi menguji peraturan pemerintah sebagai pengganti
undang-undang. Mahkamah Konstitusi menyatakan berwenang menguji peraturan
pemerintah sebagai penggant i undang-undang dengan alasan—antara lain—
peraturan pemerintah sebagai pengganti undang- undangberderajatundang-undang.
Hal ini serupa—meskipun tidak sama—ketika Mahkamah Agung Amerika Serikat yang
dipimpin oleh John Marshall dalam kasus Marbury v. Madison (1803), menyatakan
pengadilan berhak menguji undang-undang, walaupun UUD Amerika (1787) tidak
mengatur secara “expressis verbis” wewenang tersebut. Dalam kesempatan ini
diutarakan dua pertimbangan MahkamahAgung menguji undang-undang dan semua
keputusan pemerintah terhadap UUD.

Pertama; UUD Amerika Serikat menyebutkan: “This Constitution,… shall be the
supreme law of the land” . Dalam putusan tersebut dipertimbangkan makna “ the
supreme law of the land” , yaitu “ tidak boleh ada undang-undang atau keputusan lain
yang bertentangan dengan UUD” . Apabila “ diperbolehkan” ada undang-undang
atau keputusan lain bertentangan dengan UUD, hal itu menunjukkan UUD tidak
lagi “ supreme” . Selain tidak boleh bertentangan dengan UUD, setiap undang-undang
atau keputusan yang bertentangan dengan UUD, bukanlah hukum. Apabila undang-
undang bertentangan dengan UUD menunjukkan ada sengketa hukum (case and
controvercy). Sesuai dengan ketentuan UUD, pengadilan yang berwenang memutus
case and controvercy.

5

Artikel Varia Peradilan No. 392 Juli 2018

Kedua; hakim mengucapkan sumpah atau janji menjunjung tinggi UUD. Sebagai
konsekuensi, hakim berkewajiban menegakkan agar UUD tetap “supreme” dengan
cara menguji dan menyatakan batal suatu undang-undang atau keputusan yang
bertentangan dengan UUD.
(3) Meminjam istilah yang digunakan Clinton Rossiter dalam bukunya “ Constitutional

Dictatorship”, peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang
dapat digolongkan sebagai suatu bentuk “constitutional dictatorship”, karena
mengesampingkan prosedur demokrasi untuk mengatur substansi yang semestinya
diatur dengan undang-undang. Untuk “mengeliminir” penyalahgunaan peraturan
pemerintah sebagai pengganti undang-undang menjadi “alat kediktatoran”, perlu ada
pembatasan-pembatasan. Di atas telah dicatat beberapa prosedur pembentukan,
yakni “ perlu ada ukuran- ukuran mengenai “hal ihwal kegentingan yang memaksa, dan
pengujian secara politik dan hukum terhadap peraturan pemerintah sebagai pengganti
undang-undang” .Selainitu,tidakkalahpenting adalah: “Apakah mesti ada pembatasan
ruang lingkup dan materi muatan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-
undang?”

Konstitusi RIS 1949 dan UUDS 1950 mengenal juga pranata semacam peraturan
pemerintah sebagai pengganti undang-undang yaitu “undang-undang darurat” Pasal
96 ayat (1) UUDS 1950 menyebutkan:

“Pemerintah berhak atas kuasa dan tanggung jawab sendiri menetapkan undang-
undang darurat untuk mengatur hal-hal penyeleng- garaan pemerintahan yang
karena keadaan-keadaan yang mendesak perlu diatur dengan segera” . (vide Pasal
139 ayat [ 1] Konstitusi RIS 1949)

Ketentuan-ketentuan Konstitusi RIS 1949 dan UUDS 1950 menggunakan sebutan
“untuk mengatur hal-hal penyelenggaraan pemerintahan”. Penyelenggaraan
pemerintahan semestinya tidak lain dari “mengatur hal-hal yang berada dalam ruang
lingkup kekuasaan eksekutif ” atau “ pemerintah dalam art i sempit” (government in
narrow sense). Secara “contrario”, meskipun peraturan pemerintah sebagai pengganti
undang-undang, membenarkan mengatur sesuatu yang semestinya diatur undang-
undang, tetapi hanya terbatas pada hal-hal yang bertalian dengan ruang lingkup
kekuasaan penyelenggaraan pemerintahan. Peraturan pemerintah sebagai penggant i
undang-undang tidak boleh mengatur hal-hal yang menjadi lingkup kekuasaan alat-alat
perlengkapan negara lainnya. Membatasi kata “ pemerintah” dalam pranata peraturan
pemerintah sebagai pengganti undang-undang sebagai “pemerintah dalam arti sempit”
(government in narrow sense engezin) merupakan suatu bentuk “ self restraint ”, dan
tidak melanggar prinsip pembagian kekuasaan (pemisahan kekuasaan) sebagai salah
satu dasar negara hukum yang demokratis.

D. PERATURAN PEMERINTAH SEBAGAI PENGGANTI UNDANG-UNDANG
DALAM PERSPEKTIF NEGARA HUKUM, KONSTITUSIONALISME,
DAN DEMOKRASI
Secara “ kebahasaan” (gramatikal), Pasal 22 UUD 1945 memberi kuasa tidak

terbatas kepada Presiden untuk mempertimbangkan dan menentukan “ hal ihwal
kegentingan yang memaksa” sebagai dasar menetapkan peraturan pemerintah sebagai
pengganti undang-undang. Sebagai kaidah yang tercantum dalam UUD, hampir dapat
dipastikan semua sependapat, peraturan pemerintah sebagai pengganti undang- undang
adalah konstitusional. Tetapi negara konstitusional tidak hanya ditentukan semata-mata

6

Artikel Varia Peradilan No. 392 Juli 2018

oleh keberadaan UUD. Begitu pula ketentuan konstitusional, tidak semata-mata karena
dimuat dalam UUD. Didapati kadah-kaidah konstitusional di luar undang-undang
dasar yang ikut menentukan suatu negara berada dalam tatanan konstitusional atau
bersimpang dengan tatanan konstitusionalisme, yaitu “ ketaatan terhadap asas-
asas konstitusionalisme, asas-asas negara hukum, dan demokrasi”.

Paham negara hukum dan konstitusionalisme tidak hanya bermakna “semua
keputusan atau tindakan negara c.q. pemerintah harus didasarkan padawewenang dan
memiliki dasar hukum”. Dalam prinsip, ada wewenang menurut hukum dan tindakan
yang berdasarkan hukum, terkandung pula makna: “pembatasan kekuasaan”
yang meliputi pembatasan atas dasar pembatasan wewenang, berdasar pemisahan/
pembagian kekuasaan, berdasarkan tata cara membuat keputusan atau tata cara
bertindak, dan menjunjung tinggi hak asasi rakyat”.

Uni Soviet (sebelum bubar) dan negara-negarasatelitnya, memiliki UUD yangmencakup
objek yang sangat lengkap, dibandingkan misalnya dengan UUD Amerika Serikat ketika
ditetapkan tahun 1787. Tetapi tidak ada ahli atau pendapat di luar “ Blok Timur ” yang
berpendapat, Uni Soviet dan negara-negara satelitnya adalah negara konstitusional
(dijalankan menurut asas-asas konstitusional), melainkan sebagai negara otoriter
atau kediktatoran. Bahkan dalam UUD Uni Soviet di-tegaskan dasar “ kediktaturan
proletariat” .

Sebaliknya, Inggris dikenal sebagai negara—yang sampai hari ini—tidak memiliki UUD
yang tertulis. Namun, Inggris adalah negara konstitusional yang mulai tumbuh sejak
MagnaCarta (1215),karenaInggris menjunjung tinggi prinsip-prinsip negara hukum
dan konstitusio- nalisme (supra).

Walaupun ada pernyataan “hal ihwal kegentingan yang memaksa”, tetapi dengan
pengertian yang begitu longgar, bahkan—meminjam Prof. Djojodiguno—bersifat “
mulur mungkret” , wewenang Presiden menetapkan peraturan pemerintah sebagai
pengganti undang-undang adalah tindakan tidak terbatas yang berlawanan dengan prinsip
negara hukum dan konstitusionalisme. Dengan demikian, pada dasarnya, meskipun
secara tersurat (written law), peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang
adalah konstitusional, namun sekaligus juga inkonstitusional, atau meminjam
Clinton Rossiter merupakan bentuk “ constitutional dictatorship” (supra).

Selain berhadap-hadapan dengan asas negara hukum dan konstitusionalisme,
peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang merupakan “constitutional
amputation” terhadap substansi dan prosedur demokrasi dalam menetapkan undang-
undang. Meskipun UUD menentukan peraturan pemerintah sebagai pengganti
undang-undang harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan berikut, namun
ditinjau dari prinsip demokrasi dalam menetapkan peraturan, dapatlah disebut “the
damage has already done”, lebih-lebih jika peraturan pemerintah sebagai penggant i
undang-undang memuat materi atau ketentuan yang secara “ absolut” hanya dapat
ditetapkan olehforum dan prosedur demokrasi, sepert i mengualifikasi suatu perbuatan
sebagai pidana berat dengan memuat ancaman pidana badan yang diperberat sampai
dua puluh tahun. Hal ini dapat terjadi karena—sebagaimana disebut di atas—wewenang
menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang merupakan
kekuasaan yang tidak terbatas (unlimited power).

Mengapa pranata “peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang” atau
“undang-undang darurat” dapat dimuat dalam UUD Republik Indonesia yang
mendambakan negara berdasarkan hukum, menjunjung t inggi konstitusionalisme,

7

Artikel Varia Peradilan No. 392 Juli 2018

dan demokrasi?
Pranata peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang, t idak pernah

menjadi objek pembicaraan dalam sidang-sidang BPUPKI maupun PPKI. Begitu pula
ketika masuk dalam Konstitusi RIS 1949 dan UUDS 1950. Pranata ini “ diadopsi” dari
ketentuan masakolonial, yaitu: Pasal 92-93 IS, Pasal 21-24 RR yang menggunakan
istilah “ dringende omstandigheden” (keadaan yang memaksa, keadaan darurat). Hal
ini dapat dilihat dari versi Bahasa Belanda Pasal 22 UUD 1945 yang menggunakan
istilah “ dringende buitengewone omstandigheden” dan dalam Pasal 96 UUDS 1950 yang
menggunakan sebutan “dringende omstandigheden” .

Pranata yang memberi wewenang membuat peraturan atau menyatakan t idak
berlaku suatu peraturan atas dasar “ dringende omstandigheden”, hanya ada di Hindia
Belanda (yang berada di bawah kekuasaan kolonial), tetapi t idak ada dalam UUD
(Grondwet) Belandasendiri.

Mengapa UUD 1945 (termasuk Konstitusi RIS 1949 dan UUDS 1950) mengadopsi
ketentuan kolonial tersebut? Para penyusun UUD 1945, begitu pula penyusun
Konstitusi RIS 1949 dan UUDS 1950, menyadari sebagai negara yang baru merdeka di
satu pihak dibutuhkan berbagai pengaturan baru c.q. undang-undang untuk memenuhi
kebutuhan hukum baru, namun di pihak lain dihadapi berbagai hambatan membentuk
undang-undang. Pranata peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang atau
undang-undang darurat merupakan jalan untuk mengatur kebutuhan hukum tersebut.
Namun, para penyusun UUD menyadari bahwa “dringende omstandigheden” atau “
exceptional circumstances” atau “ extra ordinary circumstaances” itu, harus secepat-
cepatnya mendapat “review” secara demokratis dengan cara menyerahkan peraturan
pemerintah sebagai pengganti undang-undang atau undang- undang darurat kepada
badan perwakilan rakyat untuk disetujui atau t idak disetujui. Tet api perlu disadari,
berbagai implikasi hukum yang t imbul akibat peraturan pemerintah sebagai pengganti
undang-undang. Bukan semata-mata implikasi terhadap asas-asas demokrasi, negara
hukum dan konstitusionalisme, tetapi implikasi konkret terhadap warga yang terkena,
apalagi terjadi beban berlebih yang harus dipikul warga.

Akibat tidak ada kepastian mengenai substansi “hal ihwal kegentingan yang
memaksa”, faktor-faktor subjektivitas dapat dipastikan sangat memengaruhi
pertimbangan menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang
tersebut. Salah satu akibatnya, akan senantiasa ada polemik setiap kali Presiden
menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang.

Pertanyaannya: “Apakah ‘abnormale rechtsvorming’ yang diatur dalamPasal22UUD
1945 yang berisiko tidak sejalan dengan ajaran konstitusi atau konstitusionalismeyang
mengesampingkan prinsip- prinsip demokrasi, dan negara hukum dan kemungkinan
melampaui wewenang,bahkan sewenang-wenang,melanggar hak-hak dasar warga, masih
perlu dipertahankan?” Apakah berbagai “ kemapanan” dalam praktik bernegara dan
kelengkapan peraturan perundang-undangan, cara-cara pembentukan hukum yang
diatur Pasal 22 UUD 1945 masih iperlukan?” Apakah kebutuhan undang-undang
yang mendesak karena suatu keadaan memaksa, tidak dapat dilakukan melalui prosedur
singkat (short procedure) pembentukan undang-undang tanpa mencederai prinsip
demokrasi, negara hukum atau ajaran konstitusi? Apakah dalam UUD 1945 tidak tersedia
pranata-pranata lain yang lebih konstitusional menghadapi keadaan tertentu. Sekadar
contoh, apakah diperlu- kan suatu peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-
undang karena ada organisasi yang “mengancam” NKRI? Apabila ancaman terhadap

8

Artikel Varia Peradilan No. 392 Juli 2018

NKRI telah menjadi “realandpresentdanger” dalam bentuk perbuatan anarkistik seperti
bom bunuh diri yang terjadi di berbagai tempat, kerusuhan berencana di Mako Brimob,
dan tindakan-tindakan tersebut merupakan suatu “ organized force” yang membenarkan
segala cara (justifies the means), Presiden (Pemerintah) dapat menggunakan dasar
konstitusional seperti “ sebagai” pimpinan tertinggi angkatan perang untuk secara
langsung memerintahkan angkatan perang turut serta (membantu penegak hukum)
mengatasi situasi “clear and present danger” tersebut. Memang benar, kekhawatiran
terjadi perbuatan melampaui batas bahkan bertentangan dengan hukum. Hal ini
mesti diterima sebagai prasyarat yang ditetapkan agar tidak timbul persolan yang
lebih pelik, karena justru negara yang melakukan pelanggaran terhadap dasar-dasar
konstitusionalisme, negara hukum dan hak asasi manusia.

Pasal 37 ayat (5) UUD 1945 secara khusus menegaskan: “Khusus mengenai
bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan”.
Yang dimaksud NKRI dalam Pasal ini adalah NKRI yang diatur dalam UUD 1945 yang
ditetapkan tanggal 18 Agustus 1945. UUD 1945 yang disusun para Founding Fathers—
termasuk bentuk NKRI—meliputi seluruh aspek organisasi negara NKRI termasuk
aspek “ filosofische grondslag Pancasila” . Secara hukum, ketentuan Pasal 37 ayat (5) UUD
1945 mengandung makna: “Secara konstitusional, Pemerintah sebagai penyelenggara
negara dan alat-alat kelengkapan negara lainnya, berkewajiban mengambil segala
tindakan untuk meniadakan segala bentuk kegiatan yang hendak mengubah NKRI,
termasuk hal-hal yang mendasari NKRI. Pemerintah—di mana pun di dunia ini—
secara inheren mempunyai wewenang, setidak-tidaknya wewenang polisionil untuk
mengambil segala tindakan terhadap segala bentuk perbuatan melanggar hukum,
termasuk pelanggaran terhadap UUD 1945. Dengan demikian, t idak lagi diperlukan
“ kuasa hukum yang khusus” untuk melakukan t indakan terhadap perbuatan yang
melanggar hukum c.q. UUD. Satu-satunya yang perlu diperhatikan adalah “segala
tindakan pemerintahan menegakkan ketentuan UUD tidak melanggar prinsip-prinsip
penting dalam penyelenggaraan negara, seperti prinsip negara hukum.

9

Artikel Varia Peradilan No. 392 Juli 2018

10

Artikel Varia Peradilan No. 392 Juli 2018

PERAN LEMBAGA PENEGAK HUKUM DALAM
DINAMIKA SYARIAH DAN HUKUM DI ERA DIGITAL*

Dr. H. Amran Suadi, S.H., M.Hum., M.M.**

Abstrak
Era digital diwarnai dengan perkembangan teknologi informasi dan
komunikasi yang merambah ke pelbagai aspek kehidupan manusia, termasuk
bidang hukum termasuk kehidupan keagamaan dan dinamika syariat Islam.
Implikasinya, muncul beragam isu hukum baru yang belum dikenal dalam
wacana fikih klasik dan membutuhkan respons yang sangat cepat. Akibatnya
terjadi ‘gap’ antara perkembangan teknologi informasi yang berjalan sangat
cepat (revolusi) dengan pembangunan bidang hukum yang relatif lambat
(evolusi). Menyadari realita tersebut, maka Mahkamah Agung dan badan-badan
peradilan di bawahnya sebagai bagian integral dari lembaga penegak hukum di
Indonesia, secara konkret dan simultan telah menetapkan beberapa kebijakan
dan langkah strategis dalam upaya optimalisasi penerapan teknologi informasi
sebagai sarana pelayanan publik di bidang hukum dan keadilan yang lebih
efektif, efisien, transparan, dan akuntabel.
Kata kunci: dinamika syariah dan hukum, penegakan hukum, dan teknologi
informasi.

A. PENDAHULUAN

E ra digital diwarnai oleh perkembangan teknologi informasi dan komunikasi1
yang sedemikian pesat. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi
telah menjadi sebuah keniscayaan dalam menjawab keperluan hidup yang
lebih baik di era global.
Penetrasi teknologi informasi saat ini telah menjalar ke berbagai aspek

1 Kata teknologi berasal dari bahasa Yunani, techne, yang berarti ‘keahlian’ dan logia yang berarti
‘pengetahuan’. Dalam pengertian yang sempit, teknologi mengacu pada objek benda yang
digunakan untuk kemudahan aktivitas manusia, seperti mesin, perkakas, atau perangkat keras.
Sedangkan teknologi informasi menurut Richard Weiner dalam Websters New Word Dictinonary and
Communication adalah pemrosesan, pengolahan, dan penyebaran data oleh kombinasi komputer

* Makalah disampaikan dalam Seminar Internasional oleh Fakultas Syari’ah IAIN Surakarta dengan tema “ Syariah,
Law, andMuslem Societies” di Syari’ah Hotel Surakarta, tanggal 8Mei 2018.

** Ketua Muda Kamar Agama Mahkamah Agung Republik Indonesia.

11

Artikel Varia Peradilan No. 392 Juli 2018

kehidupanmanusia,antaralain bidangagama,budaya,sosial, politik, hukum, kehidupan
pribadi, masyarakat, bahkan bangsa dan negara. Berkat kemajuan teknologi informasi
dan komunikasi tersebut, maka berbagai aktivitas manusia yang dulunya dilakukan secara
face to face, sekarang dapat dilakukan secara digital melalui dunia maya yang bersifat
artifisial (cyberspace)2. Pergeseran tersebut kemudian menjadi trigger munculnya variasi
hukum baru yang serba elektronik dan digital.

Perkembangan teknologi informasi, misalnya, berdampak pada kehidupan
masyarakat muslim, baik dalam berinteraksi sesama manusia (hablu minal-nâs),
manusia dengan Allah (hablu min Allâh), maupun manusia dengan lingkungannya.
Dalam bidang perkawinan (al-ahwâl al-syakhsiyyah) muncul fenomena akad nikah
via teleconference, pen- jatuhan talak di luar pengadilan melalui pesan singkat (short
massage services), di bidang ekonomi syari’ah (al-amwâl al-syar’iyah) muncul praktik
pembayaran zakat, infak, dan sedekahvia account virtual melalui media sosial, transaksi jual
beli online, transaksi keuangan melalui ATM, SMS Banking, dan Syari’ah Card, termasuk
fasilitas Gray Zakat Drive Through di beberapa kota, serta praktik elektronik bisnis
(e-business) atau e-commerce3 dalam aktivitas perdagangan, baik perorangan, kelompok,
maupun badan usaha yang dikelola secara konvensional maupun prinsip syariah. Otoritas
Jasa Keuangan (OJK) membentuk group keuangan digital sebagaimana juga telah
diatur dalam POJK nomor 77 tahun 2017 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang
Berbasis Tehnologi Informasi dan pada saat ini sudah ada 1 ( satu) Fintech Syariah
yang terdaftar di OJK.4

Seiring dengan itu, perkembangan perbankan dan keuangan syariah bergerak
dengan cepat, baik di panggung internasional maupun nasional. Produk-produk inovatif
bermunculan secara revolutif. Design-design kontrak multi-akad (hybridcontracts) menjadi
tak terhindarkan, terkadang membuat produk perbankan dan keuangan syariah
di Indonesia menjadi ketinggalan. Fatwa-fatwa baru tentang ekonomi syariah terus
bermunculan dalam menjawab perkembangan dandina- mika syariat saat ini.5

Problematika keuangan kontemporer yang demikian, tentu saja membutuhkan
jawaban-jawaban ilmiah berdasarkan kajian akademis, seperti hedging (swap, forward,
dan options), margin during construction, Profit Equalization Reserve (PER), international
trade finance, kasus-kasus tentang hybrid contracts, instrument money market interbank,
skim-skim sukuk, pembiayaan sindikasi antarbank syariah atau dengan bank konvensional,

dan telekomunikasi. Lihat: Rusman dkk., Pembelajaran Berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi

(Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2012), hlm. 78.
2 Kata “cyberspace” (dari cybernetics dan space) berasal dan pertama kali diperkenalkan oleh penulis

novel fiksi ilmiah, William Gibson dalam buku ceritanya, “Burning Chrome”, 1982 dan menjadi populer
pada novel berikutnya, Neuromancer, 1984 yang menyebutkan bahwa: Cyberspace is a consensual
hallucination experienced daily by billions of legitimate operators, in every nation, by children being
taught mathematical concepts. A graphic representation of data abstracted from the banks of every
computer in the human system. Unthinkable complexity. Lines of light ranged in the nonspace of the
mind, clusters, and constellations of data. Like city lights, receding. Baca: Kamus WikipediaOnline,

https:/ / id.wikipedia.org/ wiki/ Dunia_maya, diakses tanggal 7 April 2018.
3 E-commerce merupakan salah satu varian baru bagi perusahaan dan perorangan dalam melakukan kegiatan bisnis

setiap hari melalui internet atau fasilitas teknologi informasi dan komunikasi. Baca: Navid Nikhakthar and
Yang Jianzheng, 2012, “ Role of E-Commerce in Suplay Chain Management to Minimize Cost”, African Journal of

Business Management Vol. 6 hlm. 5673.

4 Harian Umum Republika No. 95 Tahun ke-26 terbit tanggal 16 April 2018, hlm. 14.

5 Telusuri:https://www.iqtishadconsulting.com/content/ read/blog/materi-training-dan-workshop-fikih-

muamalah-advance-on-islamic-banking-and-finance, diakses 7 April 2018.

12

Artikel Varia Peradilan No. 392 Juli 2018

restrukturisasi, pembiayaan propertyindent, ijarahmaushufash fi al-zimmah, hybrid take over
dan refinancing, forfeiting, overseas financing, pembiayaan multiguna, design kartu kredit,
hukum-hukum terkait jaminan fiducia, hypoteik, dan hak tanggungan, serta sejumlah
kasus- kasus baru yang terus bermunculan.6

Perkembangan dan kemajuan tersebut, termasuk yang berbasis teknologi
informasi, memperlihatkan adanya dinamika syariah dan hukum karena karakter
dari perkembanganteknologi tersebut bersifat global, borderless, virtual, dan anonymous,
sementara hukum selama ini umumnya berbasis negara, batas wilayah yurisdiksi serta
belum dibahas dalam kajian fikih sebelumnya.

Diakui bahwa perkembangan teknologi informasi dan komunikasi pada satu
sisi memberikan manfaat positif bagi kehidupan manusia, namun di sisi lain juga
melahirkan berbagai persoalan hukum berupa pelanggaran dan kejahatan. Baik
sisi positif maupun negatifnya akan menimbulkan berbagai isu-isu hukum baru.
Kemudian sering t imbul ‘gap’ karena perkembangan teknologi yang berjalan
sangat cepat (revolutif), sementara pembangunan hukum berjalan lambat (evolutif)
dalam memberikan jawaban atas isu-isu hukum baru tersebut. Oleh sebab itu, peran
lembaga penegak hukum sangat penting, terutama untuk merespons perkembangan
teknologi informasi dan mengantisipasi timbulnya ekses negatif dalam penerapannya.

Berdasarkan hal tersebut, makalah ini membahas bagaimana peran lembaga penegak
hukum khususnya lembaga peradilan dalam dinamika syariah dan hukum di era digital
yang meliputi peranan lembaga pera- dilan dalam pembentukan substansi hukum,
struktur hukum,dankultur hukum yang merupakan satu kesatuan integral dari sebuah
sistem hukum.

B. PEMBAHASAN

1. Sekilas tentang Pengertian Penegakan Hukum, Dinamika Syari’ah dan Hukum,
dan Era Digital

a. Penegakan Hukum
Penegakan hukum dapat dipahami dalam pengertian yang luas (makro)dansempit

(mikro). Penegakan hukum secara makro, merupakan bagian dari seluruh akitivitas
kehidupan yang pada hakikatnya merupakan interaksi antara berbagai perilaku manusia
yang mewakili kepentingan-kepentingan yang berbeda dalam bingkai aturan yang telah
disepakati bersama dalam suatu peraturan yang berlaku, baik secara tertulis maupun
tidak tertulis.

Adapun makna penegakan hukum secara mikro, terbatas pada proses dan praktik
peradilan, kepolisian dan kejaksaan meliputi proses pemeriksaan pra, saat, dan pasca
pengadilan,mulai tahapan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan perkara,
memutus perkara, hingga pelaksanaan putusan pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap.

Mengingat luasnya aspek penegakan hukum yang terkait dengan tugas pokok
dan fungsi beberapa lembaga negara, maka fokus kajian makalah ini sesuai dengan
domainnya dibatasi pada peranan lembaga peradilan, lebih spesifik lagi peradilan
agama,dalam dinamika syariah dan hukum di era digital.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD 1945), yaitu dalam

6 Ibid.

13

Artikel Varia Peradilan No. 392 Juli 2018

Pasal 1 ayat (3) dinyatakan secara tegas bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum.7
Konsekuensi logis sebagai negara hukum tentu saja harus mampu mewujudkan
supremasi hukum (law of enforcement) sebagai salah satu prasyarat bagi suatu negara
hukum. Realitas tersebut ditandai dengan harapan masyarakat yang meng- hendaki
terciptanya persamaan di depan hukum (equalitybeforethelaw), peradilan yang independen
dan t idak memihak (fair tribunal and independence of judiciary). Hal ini telah ditegaskan
pula dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 bahwa: “ Segala warga negara bersamaan
kedudukannyadi dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan
pemerintahan itu dengan t idak ada kecualinya.”

Bertitik tolak dari Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 tersebut secara tersirat dapat dipahami
bahwa penegakan hukum bukan semata-mata tugas dari aparat penegak hukum saja,
tetapi telah menjadi kewajiban serta komitmen seluruh komponen bangsa. Komitmen
ini dituntut secara konsisten untuk dapat diimplementasikan.

Kecanggihan teknologi digital masa kini telah membuat perubahan besar terhadap
dunia secara global, lahir berbagai model inovasi dari produk teknologi digital yang
memudahkan manusia dalam mengakses informasimelaluiragamalternatifmediainternet
sertadapatmenikmati fasilitas teknologi tanpa dibatasi oleh sekat wilayah, tempat, ruang,
dan waktu. Namun demikian, kemajuan teknologi informasi dan komunikasi tersebut
ibarat dua sisi mata uang yang memiliki sisi positif dan negatif sehingga harus diatur
sedemikian rupa agar memberikan manfaat yang optimal bagi kehidupan manusia.

b. Dinamika Syariah dan Hukum
Pembaruan hukum Islam pada dasarnya bertolak pada sesuatu yang telah ada

(existing) kemudian mengalami perubahan secara kualitatif sebagai produk interaksi
dalam kehidupan masyarakat. Proses pembaruan hukum Islam dipandang sebagai
sesuatu yang otonom sekaligus berinteraksi dengan unsur lain dalam masyarakat
sehingga terjadi saling bergantung. Ketika hukum Islam berinteraksi dengan
kehidupan sosial masyarakat, selalu dihadapkan dengan sejumlah persoalan, baik
yang bersifat internal maupun eksternal. Oleh karena itu, konsep pembaruan hukum
Islam menuntut adanya sikap adaptatif dengan kondisi sosial masyarakat di mana
berinteraksi.

Pembaruan hukum Islam harus dilakukan dalam memberikan respons
terhadap tuntutan perubahan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Bentuk dari
universalitas hukum Islam dilihat dari daya adaptabilitas dan fleksibilitas hukum
Islam itu sendiri. Itu berarti, bahwa pemikiran hukum Islam t idak kostan dalam satu
zaman, tempat, dan keadaan, melainkan senantiasa mengalami perubahan secara
dinamis seiring dengan perubahan zaman, tempat, dan keadaan.

Konstatasi di atas sesuai pendapat Ibn al-Qayyim al-Jawziyah yang mengatakanbahwa
perubahan ide-ide atau pemikiran hukum dan perbedaannya sesuai dengan perubahan
zaman, ruang, keadaan, niat, dan kebutuhan.8 Lebih jauh al-Jawziyah mengatakan, bahwa
tidak memahami perubahan, merupakan kesalahan besar dalam syariat.9 Kendatipun
pembaruan hukum Islam dipandang sebagai suatu keharusan, tetapi perlu ditegaskan
bahwa pembaruan hukum Islam yang meliputi segala bentuk muamalah diizinkan oleh
syariat Islam, sepanjang tidak kontraproduktif dengan jiwa dan roh hukum Islam

7 Pasal 1ayat (3) Perubahan Keempat UUD 1945.
8 Ibn al-Qayyim al-Jawziyah, I’lam al-Muwaqqîn ‘an Rabb al-‘Alamîn, vol. 3 (Beirut: Dar al-Fikr, t. th.), hlm. 14.
9 Ibid.

14

Artikel Varia Peradilan No. 392 Juli 2018

itu sendiri. Dikatakan demikian, karena hukum Islam dalam bidang muamalah

hanya mengatur dan menetapkan prinsip-prinsip pokoknya secara umum, sedangkan

perinciannya diserahkan kepada manusia untuk memikirkannya, dengan catatan

tetap berangkat dari prinsip dasar hukum Islam itu sendiri. Dalam hal ini, dapat

dikatakan bahwa jiwa dan prinsip hukum Islam bersifat konstan, permanen, stabil dan

tidak berubah sepanjang masa. Akan tetapi, terhadap peristiwa hukum, teknis dan

cabang-cabangnya, dapat mengalami perubahan atau pembaruan sesuai dengan tuntutan

zaman.

Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi dan pengaruhnya terhadap

kehidupan manusia merupakan salah satu dari beberapa aspek pengubah hukum.10

Teknologi komunikasi dan informasi merupakan perangkat teknologi yang membantu

manusia dalam berhubungan atau berinteraksi dengan manusia lain. Kemajuan

teknologi komunikasi dan informasi menjadikan manusia dalam berinteraksi

dengan pihak lain seakan t idak

Era digital ini telah lagi dibatasi oleh ruang, waktu
mengubah cara pandang dan tempat. Kapanpun dan di mana
seseorang dalam pun manusia dengan perangkat
teknologi tersebut bisa menjalin

menjalani kehidupan hubungan, mendapatkan informasi
yang sangat canggih saat dan menyebarkan informasi
ini. kepada orang lain. Namun demikian
teknologi komunikasi informasi

juga dapat menimbulkan dampak

negatif yang harus dihindarkan. Oleh sebab itu, hukum harus tetap hadir sebagai

penyeimbang dalam kehidupan masyarakat agar perkembangan dan kemajuan tersebut

memberikan manfaat optimal bagi masyarakat.

c. Makna Era Digital
Era digital adalah istilah yang digunakan untuk menyebut suatu zaman di mana

aktivitas manusia lebih banyak berhubungan dengan digital, khususnya internet.11
Kata “digital” berasal dari kata “ digitus” , dalam bahasa Yunani berarti jari jemari,12 di
mana secara umum lebih banyak menggunakan jari jemari sebagai media touchscreen (layar
sentuh), berlawanan dengan metode analog/ manual. Era digital juga dikenal sebagai
era revolusi teknologi mekanik dan elektronik analog ke teknologi digital yang telah
terjadi sejak tahun 1980 dan berlanjut sampai hari ini.

Era digital ini telah mengubah cara pandang seseorang dalam menjalani kehidupan
yang sangat canggih saat ini. Sebuah teknologi yang membuat perubahan besarkepada
seluruh dunia, mulai dari membantu mempermudah segala urusan sampai membuat
masalah karena tidak bisa menggunakan fasilitas digital yang semakin canggih ini
dengan baik dan benar.

Era digital telah membawa berbagai perubahan yang baik sebagai dampak positif
yang bisa gunakan sebaik-baiknya. Namun dalam waktu yang bersamaan, era digital
juga membawa banyak dampak negatif sehingga menjadi tantangan baru dalam
kehidupan manusia. Tant angan tersebut telah masuk ke dalam berbagai bidang seperti

10 Abdul Manan, Aspek-AspekPengubahHukum (Jakarta: Kencana, 2006), hlm. 23.
11 Telusuri: https://hanifnet.com/ tag/ pengertian-era-digital/, diakses tanggal 11 April 2018.
12 Lihat: Kamus Wikipedia Online, https:/ / id.wikipedia.org/ wiki/ Digital, diakses tanggal 11 April 2018.

15

Artikel Varia Peradilan No. 392 Juli 2018

politik, hukum, ekonomi, sosial-budaya, pertahanan, keamanan, dan teknologi
informasi itu sendiri.

2. PeranLembagaPeradilandalamPenegakanHukum diEra Digital

a. Kebijakan Umum Mahkamah Agung tentang Pemanfaatan Teknologi Informasi
untuk Pelayanan Publik
Mahkamah Agung RI dalam kebijakan umumnya telah menempatkan teknologi

informasi sebagai sarana pendukung utama pelaksanaan tugas pokok dan fungsinya.
Implementasi teknologi informasi pada Mahkamah Agung dan badan-badan peradilan
di bawahnya merupakan salah satu peluang sekaligus tantangan baru dalam pelaksanaan
tugas pokok dan fungsi badan peradilan. Tujuannya agar penyelenggaraan tugas pokok
dan fungsi badan peradilan semakin akuntabel, kridibel, dan transparan. Hal tersebut
sejalan dengan tuntutan reformasi birokrasi gelombang kedua yang diatur dalam
Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi
2010-2035 dan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi
Birokrasi Nomor 20 Tahun 2010 tentang Roadmap Reformasi Birokrasi 2015-2019.

Manajemen informasi yang menjamin akuntabilitas, kredibilitas, dan transparansi
serta menjadi organisasi modern berbasis teknologi informasi terpadu adalah salah
satu penunjang penting yang akan mendorongterwujudnyabadanperadilanIndonesia
yangagung.Oleh karenaitu, segenappemangkukepentingandilingkungan Mahkamah
Agung dan badan-badan peradilan di bawahnya menempatkan pembenahan teknologi
informasi sebagai salah satu prioritas perubahan.13

b. Membangun Substansi Hukum (Formal dan Materiil)
Beberapa peraturan yang dijadikan pedoman dalam praktik peradilan di Indonesia

merupakan produk Belanda yang hingga kini masih berlaku sepert i H IR, RBg,
Rv, KUHP, dan KUHPerdat a. Peraturan perundang-undangan tersebut tentunya belum
dapat mengakomodasi kebutuhan penggunaan teknololgi komunikasi dan informasi
dalam proses beracara di pengadilan. Oleh sebab itu, diberlakukan beberapa regulasi,
baik di bidang hukum formal maupun materiil yang telah diterbitkan oleh Mahkamah
Agung RI untuk dijadikan pedoman bagi pengadilan dalam melaksanakan tugas pokok
dan fungsinya, termasuk bidang administrasi dan manajemen peradilan, antara lain:

1) Surat Keputusan KMA Nomor 144/ KMA/ SK/ VIII/ 2007 tanggal 28 Agustus 2007

Lahirnya surat keputusan ini merupakan tonggak sejarah baru bagi keterbukaan
informasi di pengadilan. Quick win dari program ini adalah publikasi putusan yang
di-upload melalui situs resmi MA yang disebut dengan “ Direktori Putusan” . Dalam
surat keputusan ini diatur beberapa jenis informasi yang wajib dipublikasikan oleh
pengadilan, terutama putusan pengadilan yang pada masa lalu dianggap ‘tabu’
yang hal ini sejalan dengan Instruksi Presiden Nomor 17 Tahun 2011, di mana
Mahkamah Agung bertanggung jawab terhadap delapan (8) sub-rencana aksi. Di
antaranyaadalah pelaksanaan transparansi dan akuntabilitas layanan publik di lembaga
peradilan (strategi pencegahan) dengan salah satu indikator tersedianya informasi
penanganan perkara dan publikasi putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap.

Kemudian terhitung sejak Maret 2011 sampai saat ini situs Direktori Putusan
Mahkamah Agung telah menjelma menjadi Pusat Data Putusan Nasional (National

13 Ibid.

16

Artikel Varia Peradilan No. 392 Juli 2018

Judgment Repository). Kehadiran Pusat Data Putusan Nasional memudahkan publik
untuk mengakses informasi putusan pengadilan dari empat lingkungan peradilan di
seluruh Indonesia melalui alamat website http:// www.mahkamahagung.go.id.

2) Surat Keputusan Ketua MA No. 1-144/ KMA/ SK/ I/ 2011 tanggal 5 Januari 2011

Surat keputusan ini merupakan penyempurnaan dari SK KMA Nomor 144/ KMA/
SK/ V I I I / 2007 yang mendahului lahi rnya Undang-Undang Nomor 14 Tahun
2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP). Substansinya merupakan
penyempurnaan dari beberapa ketentuan yang diatur dalam UU KIP yang telah
di un dangk an.

Berdasarkan ketentuan tersebut , setiap pengadilan wajib memiliki situs
website sendiri untuk mempublikasikan kepada publik beberapa informasi tentang tata
cara, proses, dan produk pengadilan. Tent u saja, di balik ini semua tersirat tumbuhnya
semangat untuk memberikan peluang yang lebih besar bagi warga masyarakat guna
memperoleh informasi seputar pengadilan (acces to justice), meliputi tata cara atau
prosedur pengajuan perkara, jadwal sidang, profil pengadilan, konsultasi hukum,
artikel, peraturan-peraturan, putusan, dan lain sebagainya.

3) Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2012 tentang Perekaman Proses
Persidangan

MahkamahAgung RI telah mengeluarkan regulasi yang mengakomodasi penerapan
teknologi dalam proses persidangan perkara. Regulasi tersebut menegaskan bahwa
untuk persidangan yang terbuka untuk umum pada dasarnya dapat dilakukan
perekaman jalannya persidangan dengan media berbasis teknologi. Aturan ini
tertuang dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2012 tentang
Perekaman Proses Persidangan.

Menurut surat edaran ini secara bertahap persidangan pada pengadilan t ingkat
pertama dapat disertai rekaman audio visual dengan ketentuan: ( a) hasil rekaman
audio visual merupakan komplemen dari berita acara persidangan; (b) perekaman
audio visual dilakukan secarasistematis danterjamin integritasnya; (c) hasil rekaman
audio visual persidangan dikelola oleh kepaniteraan; dan (d) hasil rekaman audio
visual sebagai bagian dari bundel A.

4) Surat Edaran Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Sema Nomor 14 Tahun
2010 tentang Dokumen Elektronik Sebagai Kelengkapan Berkas Kasasi/ Peninjauan
Kembali

MahkamahAgung RI telah menerbitkan surat edaran tentang pentingnya dokumen
elektronik dikirimkan bersama-sama dengan berkas kasasi/ peninjauan kembali.
Bahkan dalam aturan tersebut ditegaskan bahwa kelengkapan dokumen elektronik
tersebut menjadi salah satu persyaratan formal permohonan kasasi/ peninjauan
k embali .

Mekanisme pemanfaatan teknologi informasi untuk persidangan kasasi/peninjauan
kembali ini telah memberikan kontribusi yang sangat signifikan bagi MahkamahAgung
dalam upaya percepatan penyelesaian perkara kasasi/ peninjauan kembali sehingga
berhasil menekan jumlah sisa perkara setiap akhir tahun.14

14 Sisa perkara tahun 2017 merupakan yang terendah sepanjang sejarah Mahkamah Agung RI, yaitu sebanyak 1.388 (
seributigaratusdelapanpuluh delapan)perkara.Artinyalebihkecil dibandingkan sisa perkara tahun sebelumnya
di mana disebut sebagai tahun dengan sisa perkara terkecil yang pernah ada dengan sisa perkara sebanyak 2.357

17

Artikel Varia Peradilan No. 392 Juli 2018

Perkembangan ke depan sangat menungkinkan adanya terobosan dan inovasi
baru dari Mahkamah Agung dalam rangka percepatan penyelesaian perkara dan
penyampaikan salinan putusan kepada para pihak melalui media elektronik, seperti
persidangan majelis via teleconference, e-salinan, dan lain-lain.

5) Perma Nomor 14 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Ekonomi
Syari’ah

Peraturan ini merupakan upaya sangat penting yang dilakukan oleh Mahkamah
Agung RI dalam rangka memberikan kepastian hukum tentang hukum acara
penyelesaian sengketa perkara ekonomi syariah di Pengadilan Agama. Dalam Bab V
tentang Tata Cara Pemeriksaan Perkara dengan Acara Biasa, Pasal 7 angka (2) Perma
Nomor 14 Tahun 2016 ditegaskan bahwa: “Pemeriksaan terhadap perkara ekonomi
syariah dapat dilakukan dengan bantuan teknologi informasi.”

Aturan ini secara tegas telah mengakomodasi teknologi informasi sebagai sarana
dalam pemeriksaan perkara ekonomi syariah dengan acara biasa di pengadilan
dalam lingkungan Peradilan Agama. Persidangan dapat dilangsungkan dengan
menggunakan media teleconference sepanjang disetujui oleh kedua belah pihak.

6) PermaNomor 1Tahun2016tentangProsedurMediasi diPengadilan

Peraturan yang mengakomodasi perkembangan teknologi informasi untuk
penangan perkara di pengadilan juga ditemukan dalam Perma Nomor 1 Tahun 2016
tentang Prosedur Mediasi di Penga-dilan. Dalam Pasal 5 ayat (3) menyatakan: “
Pertemuan Mediasi dapat dilakukan melalui media komunikasi audio visual jarak jauh
yang memungkinkan semua pihak saling melihat dan mendengar secara langsung
serta berpartisipasi dalam pertemuan.”

7) Perma Nomor 3 Tahun 2018 tentang Administrasi Perkara di Pengadilan Secara
Elektronik

Mahkamah Agung RI kembali menerbitkan peraturan tentang administrasi perkara
secaraelektronik.Peraturaninisepenuhnya mengakomodasi proses berperkara secara
elektronik, pendaftaran perkara dapat diajukan secara online/ daring, pemanggilan
para pihak dapat dilakukan melalui media elektronik, proses jawab-menjawab, dan
penyampaian kesimpulan dapat diajukan dalam bentuk dokumen elektronik, termasuk
penyampaian salinan putusan secara elektronik. Para pihak hanya wajib menghadiri
persidangan secara fisik dalam tahapan pembuktian. Ketentuan ini membawa
perubahan yang luar biasa terhadap administrasi perkara dari sistem langsung
dan manual ke sistem digital elektronikal.

Melalui peraturan ini MahkamahAgung ingin membuktikan kesungguhannyadalam
membangun sistem peradilan yang modern sesuai dengan tuntutan perkembangan
dunia global dengan mentransformasikan sistem administrasi peradilan yang manual
ke sistem administrasi digital. Untuk itu Mahkamah Agung telah menunjuk beberapa
pengadilan di empat lingkungan peradilan sebagai pengadilan percontohan (pilot
project) untuk menerapkan administrasi perkara di pengadilan secara elektronik.

c. Membangun Sarana dan Prasarana Penegakan Hukum
Mahkamah Agung RI membangun struktur hukum berupa sarana dan prasarana

penegakan hukum di pengadilan antara lain:

(dua ribu tiga ratus lima puluh tujuh) perkara(LaporanTahunanMahkamahAgungRITahun2017).

18

Artikel Varia Peradilan No. 392 Juli 2018

1) Website Pengadilan

Mahkamah Agung dan badan-badan peradilan di bawahnya memiliki situs web
pengadilan yang memuat beberapa informasi yangwajibdipublikasikanolehpengadilan
terkait denganprosedur beperkara, biaya perkara, jadwal persidangan, perkara putus,
jenis putusan, penyampaian salinan putusan, dan sebagainya.

2) Aplikasi Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP)
Mahkamah Agung RI telah membangun apli kasi manajemen perkara (Case

Manajement System) yang dikenal dengan istilah Sistem Informasi Penelusuran
Perkara (SIPP). Aplikasi ini bertujuan untuk digitalisasi dan otomatisasi pelaksanaan
administrasiperadilan. Tujuannyabagipengadilanuntukpercepatanprosespencatatan
perkara secara elektronik, menjamin akurasi data perkara, memudahkan untuk
publikasi data perkara kepada publik, percepatan pembuatan berita acara sidang
dan putusan, serta efektivitas dan efisiensi sistem pelaporan dan kearsipan perkara.

3) Sistem Informasi Administrasi Perkara (SIAP)

SIAP adalah bagian dari Sistem Informasi Mahkamah Agung RI (SIMARI) yang
berfungsi untuk mengelolainformasi dataperkara yang ditangani oleh Mahkamah
Agung RI pada tingkat kasasi/ peninjauan kembali. Salah satu fungsinya adalah
dokumen manaje- mensistemyangbisadigunakanolehhakimagunguntukpembacaan
berkas serentak dan monitoring status berkas perkara.Aplikasi SIAP jugamemiliki fitur
yang dapat mengakses dokumen elektronik yang ada di Aplikasi Direktori Putusan.
Aplikasi SIAP telah memotong beberapa tahapan dalam distribusi dokumen
elektronik tersebut.15

4) Direktori Putusan
Direktori putusan adalah sistem berbasis situs web yang dimiliki oleh Kepaniteraan

Mahkamah Agung untuk memublikasikan putusan Mahkamah Agung dan seluruh
putusan pengadilan dari empat lingkungan peradilan baik t ingkat pertama maupun t
ingkat banding di seluruh Indonesia.

Direktori Putusan di luncurkan oleh Mahkamah Agung pada September 2009.
Sejak peluncuran, putusan-putusan yang diputuskan Mahkamah Agung diunggah di
situs ini. Sejak tahun 2011, Kepaniteraan MahkamahAgung mengembangkan sistem
ini lebih lanjut sehingga putusan seluruh pengadilan Indonesia dapat diunggah di
direktori ini. Keberadaannya bagi lembaga peradilan sebagai sarana transparansi dan
akuntabilitas, sedangkan bagi masyarakat untuk memudahkan mereka mendapatkan
akses informasi tentang putusan.

5) Pembentukan Substansi Hukum Melalui Yurisprudensi

Lembaga penegak hukum dalam hal ini Mahkamah Agung dapat melahirkan kaidah
hukum baru atas dinamika syariah dan isu-isu hukum baru tersebut. Peran yang
demikian dapat terjadi jika isu-isu hukum tersebut menjelma menjadi perkara yang
masuk ke pengadilan yang berpuncak kepada Mahkamah Agung. Pengadilan melalui
putusannya menghasilkan kaidah-kaidah hukum baru yang belumdiatur dalamkaidah
formal yang ada. Putusan tersebut diikuti oleh putusan hakim-hakim berikutnya
yang dikenal dengan yurisprudensi.

15 Telusuri: https://kepaniteraan.mahkamahagung.go.id/ index.php/kegiatan/1269-hakim-agung-kamar-
pidana-antusias-menyambut-kehadiran-siap, diakses tanggal 11 April 2016.

19

Artikel Varia Peradilan No. 392 Juli 2018

Lahirnya yurisprudensi ini menunjukkan bahwa lembaga penegak hukum (lembaga
peradilan yang berpuncak pada Mahkamah Agung) melahirkan kaidah-kaidah hukum
baru atas hukum materiil dan formal yang belum diatur dalam peraturan perundang-
undangan yang telah ada. Dalam hal ini, hakim-hakim bukan sekadar la bouche de
la loi,16 tetapi menjadi penerjemah atau pemberi makna melalui penemuan hukum
(rechtsvinding) bahkan menciptakan hukum baru (rechtscheeping) melalui putusan-
putusannya (judge made law).

Peran yang diberikan lembaga penegak hukum yang demikian adalah usaha untuk
mewujudkan keadilan substantif yang dapat dihadirkan melalui pendekat an Legal
Pluralisme dengan mempertautkan state law (positive law) aspek kemasyarakatan
(sosio-legal-approach) dan natural law(moral/ethic/religion).17Melalui pendekatan legal
pluralism mampu dihadirkan keadilan substantif yang sempurna (perfect justice).18
Penegakan hukum dengan mempertimbangkan natural law (moral ethic and religion),
maka sebenarnya permasalahan hukum tidak saja telah memenuhi ketiga unsur
sistem hukum substance, structure, and legal culture dari Lawrence M. Friedmen, tetapi
juga lebih kepada derajat atas kesadaran manusia yang bersumber dari hati nurani.19

Lembaga peradilan dalam menciptakan hukum baru (rechtscheeping) melalui putusan-
putusannya (judge made law), dalam bidang ekonomi selalu dengan koridor meletakkan
prinsip-prinsip syariah. Tolok ukur suatu kegiatan yang sesuai dengan prinsip syariah
yaitu pelaksanaan kegiatan ekonomi dilakukan dengan kehati-hatian serta tidak
diperbolehkan melakukan spekulasi, manipulasi, dan tindakan lain yang di dalamnya
mengandung unsur dharar, gharar, riba, maisir, risywah, maksiat dan kedhaliman, taghrir,
ghisysy, anajusy/ najsy, bai’ al-ma’dum, taqqial-rukban, ghabn, dan tadlis.20 Konsep
Islam dalam sistem ekonomi syariah melarang segalapraktik ketidakadilan dansetiap
bentuk yang dapat menimbulkan ketidakadilan juga dilarang,21 karakter khusus ini
sekaligus membedakan dengan cara-cara kegiatan ekonomi konvensional.22 Bentuk-
bentuk kegiatan yang dilarang tersebut yaitu adanya tambahan yang disyaratkan
dalam transaksi bisnis tanpa adanya padanan (iwad) yang dibenarkan syariah (riba),
ketidakpastian (gharar), dan perjudian (maysir), serta bentuk lainnya.23 Konsep dalam
Islam mengajarkan bahwa segala aktivitas hidup bagi setiap muslim diniatkan untuk

16 Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum, Upaya Mewujudkan Hukum yang Pasti dan Berkeadilan (Yogyakarta:
UII Press, 2006), hlm. 56. La bouche de la loi memiliki pengertian bahwa hakim hanya sekadar corong atau
terompetnya undang-undang. Satu-satunya sumber hukum adalah undang-undang karena undang-undang
dianggaplengkap dan jelas mengatur semua persoalan hukum, sehingga hakim tidak boleh berbuat selain
dari menerapkan undang-undang secara tegas apa adanya.

17 Barda Nawawi Arief, Pendekatan Keilmuan dan Pendekatan Religius dalam Rangka Optimalisasi dan Reformasi
PenegakanHukum(Pidana) di Indonesia (Semarang: BadanPenerbit UNDIP, 2007), hlm. 38.

18 Ibid., hlm. 44.
19 Ibid., hlm. 20.
20 Amran Suadi dan Mardi Candra, Politik Hukum Perspektif Hukum Perdata dan Pidana Islam serta Ekonomi

Syariah (Jakarta: Prenada Media, 2016), hlm. 487.
21 Lihat: Adiwarman A Karim, Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer ( Jakarta: Gema Insani Press,

2001), hlm. 33.
22 Muslimin H. Kara, Bank Syariah di Indonesia Analisis Pemerintah Indonesia terhadap Perbankan Syariah

( Yogyakarta: UII Press, 2005), hlm 37-38. Lihat pula: John M Keynes, The General Theory of
Employment, Interest and Money ( New York: Harcourt Brace, 1936).
23 Mahbul ul-Haq, Dunia Ketigadan Tata Ekonomi Dunia: PerananHukum dalam Perekonomian di Negara Berkembang
(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1986), hlm. 306-370. Baca pula: Eko Suprayitno, Ekonomi Islam,
Pendekatan Ekonomi Makro Islam dan Konvensional (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2005), hlm. 2-3.

20

Artikel Varia Peradilan No. 392 Juli 2018

beribadahkepadaAllahswt.termasuk kegiatan dalam bidang ekonomi.24
Judgemadelawmerupakan responsatas perkembangan ekonomi (syariah) yang cepat.

Di Indonesia, kegiatan ekonomi syariah mendapat respons positif dari masyarakat
sehingga menumbuhkan optimisme bahwa Indonesia berpotensi menjadi
pusat ekonomi syariah dunia.25 Interaksi bisnis dari berbagai pihak baik nasional
maupun internasional mulai dilakukan dengan kesepakatan-kesepakatan bisnis
dan kontrak bisnis yang dilandasi prinsip syariah. Perkembangan tersebut juga
membawa implikasi pada bidang hukum. Pembaruan atas substansi produk-
produk hukum berupa lahirnya peraturan perundang-undangan yang baru guna
menunjang kegiatan bisnis yang berbasis syariah.26

Berbagai negara telah merespons dari dinamika kemajuan teknologi tersebut di bidang
hukum seperti: Malaysia menerbitkan Digital Signature Act 1997, Computer Crime
Act 1997, Telemedicine Act 1997, dan Malaysian Communications and Multimedia
Comission Act 1998, Singapura menerbitkan Electronic TransactionAct 1998.Australia
dan mengundangkan Electronic Transaction Act 1999, Hong Kong menerbitkan
Electronic Transaction Ordinance 2000, India menerbitkan Information Technology
Act 2000, sedangkan Indonesia terbilang agak terlambat dibanding negara-negara
tetangga dalam merespons hal tersebut karena pada baru pada tahun 2008
Indonesia meng- undangkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Infor-
masi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang kemudian diubah dengan Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 2016.

Selanjutnya di Indonesia, perkembangan teknologi komunikasi dan informasi tersebut
telah direspons sejak dini oleh lembaga peradilan, baik dalam hukum materiil maupun
formal. Dalam hukum materiil, seperti dalam bidang perkawinan, Pengadilan Agama
Jakarta Selatan pada tahun 1990 pernah memutus perkara permohonan tentang sah
atau tidaknya perkawinan yang ijab kabulnya dilangsung melalui media elektronik
(telepon). Penetapan Pengadilan Agama Jakarta Selatan Nomor 1751/ P/ 1989
tanggal 18 Mei 1990 menetapkan bahwa akta nikah yang ijab kabulnya dilakukan

24 Yusuf Qardhawi, Malamih Al Mujtama’ al Muslim, terjemahan oleh Abdus Salam Masykur ( Solo: Era

Intermedia, 2004), hlm. 251-252. Menurut Naqvi bahwa sistem ekonomi t idak dapat lepas dari

agama. lihat: Asdar Yusuf, “Paradigma Kontemporer Ekonomi Islam (Muhammad Abdul Mannan
versus Syed Nawab Haedir Naqvi)” , artikel pada jurnal Hafana StudiaIslamika,Vol.11,No.2Desember

2014,hlm. 241.

25 Lihat http:/ / dutaonline.com/ 18/ 11/ 2013/ optimistis-capai-sejuta-umkm-syariah-rp1-t/ . Lihat pula: http:/ / www.

setkab.go.id/ pidato-11093-sambutan-presiden-republik-indonesia-pada-pencanangan-gerakan-ekonomi-

syariah-gres-jakarta-17-november-2013.html. Lihat pula: http:/ / www.merdeka.com/ khas/ prospek-bisnis.

26 Beberapa peraturan perundang-undangan tersebut di antaranya:

a. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang No. 7 Tahun 1992
tentang Perbankan yang disahkan dan diundangkan pada tanggal 10 November 1998,di dalamnya
mengakomodasi pelaksanaankegiatanusahaberdasarkanprinsip syariah.

b. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama yang disahkan dan diundangkan pada
tanggal 20 Maret 2006. Pada Pasal 49 ditegaskan bahwa Pengadilan Agama berwenang mengadili sengketa
ekonomi syariah.

c. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat-Surat Berharga Syariah yang disahkan dan
diundangkan pada tanggal 7 Mei 2008.

d. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang disahkan dan diundangkan pada
tanggal 16 Juli 2008. Pada Pasal 55 ditetapkan bahwa sengketa yang terjadi dalam kegiatan ekonomi syariah
diselesaikan oleh PengadilanAgama.

21

Artikel Varia Peradilan No. 392 Juli 2018

dengan menggunakan media elektronik adalah sah dan mempunyai kekuatan hukum.27
Putusan i ni sejalan dengan hasil musawarah Majelis Tarji h Muhammadiyah
pada hari Jumat, 16 Jumadil Akhir 1429 Hijriah/ 20 Juni 2008, menyatakan akad nikah
dengan ijab kabul melalui video call adalah sah.28

6) Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia peradilan.

Peningkatan kualitas pelayanan publik di bidang hukum dan keadilan sesuai dengan
tuntutan perkembangan zaman di era digital t idak dapat dilepaskan dari upaya
penyiapan sumber daya manusia peradilan yang profesional dan berintegritas moral.
Sejauh ini Mahkamah Agung telah melakukan pengembangan kompetensi sumber
daya manusia melalui pendidikan dan pelatihan, seminar, workshop, penelitian dan
pengembangan baik untuk hakim maupun aparatur pengadilan lainnya gunamenjawab
tantangan tugas peradilan di era global.

Program penyiapan sumber daya manusia peradilan sejatinya t idak hanya menjadi
tugas dan tanggung jawab Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya
melainkan juga menjadi tugas bersama termasuk perguruan tinggi hukum.

Untuk itu perguruan tinggi hukum yang secara langsung membidani lahirnya para
aparatur hukum di Indonesia harus melakukan perubahan dan penyesuaian kurikulum
pendidikan hukum sesuai dengan tuntutan zaman di era digital.

Perlu dilakukan penelitian secara komprehensif terhadap perkembangan kebutuhan
dunia peradilan yang dikaitkan dengan program pendidikan, sehingga para lulusan
perguruan tinggi hukum t idak hanya kapabel di bidang hukum formil dan materiil an
sich namun juga piawai dalam mengimplementasikan teknologi dan informasi sesuai
dengan perkembangan kekinian dan keakanan.

C. PENUTUP

1. Kesimpulan

a. Mahkamah Agung sebagai lembaga penegak hukum merespons dinamika
perkembangan hukum Islam di era digital dengan menjawab tantangan tersebut
mempersiapkan sumber daya manusia yang memahami teknologi informatika
sekaligus mampu mengakomodasi gejolak perubahan hukum yang dinamis.

b. Dinamika syariah dan aktivitas hukum yang sejalan dengan perkembangan era
digitalisasi maka telah diterbitkan beberapa regulasi yangmengakomodasi kegiatan
tersebut sejalan dengan pertumbuhan masyarakatyangtidakbertentangandengan
prinsip-prinsip dasar hukum Islam yang integral dengan sistem hukum nasional.

2. Saran

a. Hendaklah perguruan tinggi terus melakukan kajian lebih mendalam dan
komprehensif untuk menjawab tantangan yang begitu kompleks di era digital
terutama hukum Islam dalam konteks lokal maupun global.

b. Agar para pembuat regulasi hukum dapat mengelaborasi antara prinsip-prinsip
syar’i dengan kemajuan teknologi informatika saat ini dalam konteks masyarakat

27 http://hukum-namsina.blogspot.co.id/2011/11/hukum-pembuktian-analisis-video.html, diakses

tanggal 10 April 2018.

28 Hasil Musyawarah Majelis Tarjih Muhammadiyah pada hari Jumat, 16 Jumadil Akhir 1429 H./ 20 Juni

2008.

22

Artikel Varia Peradilan No. 392 Juli 2018

Indonesia yang berdasarkan ideologi Pancasila.

DAFTAR PUSTAKA

Buku:
Adiwarman A Karim. 2001. Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer. Jakarta: Gema

Insani Press.
Abdul Manan. 2006. Aspek-Aspek Pengubah Hukum. Jakarta: Prenada Media.
Amran Suadi dan Mardi Candra. 2016. Politik Hukum Perspektif Hukum Perdata

dan Pidana Islam Serta Ekonomi Syariah. Jakarta: Prenada Media.
Ariz. 2000. Informatiebeleidsplan Rechtspraak 2005 (Information Policy Plan for The

Administration of Justice in 2000), Adviestraad Informatie- voorziening Zittende
Magistratuur (Advisory Council for Judicial Information).
Ibnul Qayyin Al Jauziyah. Tanpa Tahun. I’lam al-Muwwaqqinan-Rabb al- Alamin vol
3. Beirut: Daar al-Fikr.
Mahbul ul-Haq. 1986. Dunia Ketiga dan Tata Ekonomi Dunia: Peranan Hukum dalam
Perekonomian di Negara Berkembang. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Muslimin H. Kara. 2005. Bank Syariah di Indonesia Analisis Pemerintah Indonesia
terhadap Perbankan Syariah. Yogyakarta: UII Press.
Rusman dkk. 2012. Pembelajaran Berbasis Teknologi Informasi Dokumentasi.
Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Yusuf Qardhawi. 2004. Malamih Al Mujtama’ al Muslim. Terjemahan oleh Abdus
Salam Masykur. Solo: Era Intermedia.

Jurnal dan Artikel:
Asdar Yusuf. 2014. “Paradigma Kontemporer Ekonomi Islam (Muhammad Abdul Mannan

versus Syed Nawab Haedir Naqvi)”. Artikel pada jurnal Hafana Studia Islamika. Vol.
11, No. 2 Desember 2014.
Harian Umum Republika Nomor 95 Tahun ke-26 terbit tanggal 16 April 2018.
Navid Nikhakthar and Yang Jianzheng. 2012. “Role Of E-Commerce in Suplay Chain
Management to Minimize Cost”. African Journal of Business Management. Vol. 6.

Undang-Undang:
Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Amendemen Keempat.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang No. 7 Tahun

1992 tentang Perbankan.
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama.

23

Artikel Varia Peradilan No. 392 Juli 2018

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat-Surat Berharga Syari’ah. Undang-
Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah.

Internet:

http://dutaonline.com/18/11/2013/optimistis-capai-sejuta-umkm-syariah- rp1-t/

http://www.iqtishadconsulting.com

http://www.setkab.go.id/pidato-11093-sambutan-presiden-republik- indonesia-pada-
pencanangan-gerakan-ekonomi-syariah-gres-jakarta- 17-november-2013. html

http://www.merdeka.com/khas/prospek-bisnis http://www.rakenkamer.nl/9282000/d/

p446_rapport _def. pdf http://www.coe.int/t/dgi/legacooperation/cepej/series/

Etudes7teknologi informasiC_end_pdf

24

Artikel Varia Peradilan No. 392 Juli 2018

KEWENANGAN PERATUN DALAM PERKARA
PENGHAPUSAN MEREK TERDAFTAR OLEH

PEMERINTAH

Enrico Simanjuntak1

A. PENGANTAR

P eran dan tugas pemerintah dalam mendorong, memelihara, dan menjaga
perkembangan kreativitas, inovasi dan/ atau kelancaran bisnis perdagangan
salah satunya tercermin dalam bidang perlindungan hak kekayaan intelektual
(HKI). Hak atas Kekayaan Intelektual (HKI) merupakan padanan dari
bahasa Inggris Intellectual Property Right. Kata “ intelektual” tercermin bahwa
objek kekayaan intelektual tersebut adalah kecerdasan, daya pikir, atau produk pemikiran
manusia (the Creations of the Human Mind) (WIPO, 1988: 3).

Hak Kekayaan Intelektual (HKI) adalah hak eksklusif yang diberikan suatu peraturan
kepada seseorang atau sekelompok orang atas karya ciptaannya. Secara sederhana
HKI mencakup Hak Cipta, Hak Paten dan Hak Merek. Namun jika dilihat lebih rinci
HKI merupakan bagian dari benda (properti) yaitu benda t idak berwujud (benda
immateriil)2. Secara umum Hak Kekayaan Intelektual dapat terbagi dalam dua
kategori, yaitu:

1. Hak Cipta.3

2. Hak Kekayaan Industri, meliputi: a. Paten; b. Merek; c. Desain Industri; d.Desain Tat
a Letak Sirkuit Terpadu; e. Rahasia Dagang, dan f. Indikasi.
Merek, per se, dalam wujudnya sebagai tanda indikatif, atau pembeda adalah property.

Artinya, merek sebagai suatu tanda kreasi yang dibuat dan digunakan sebagai pembeda
barang merupakan property bagi perusahaan pemiliknya. Properti yang dilindungi
dalam kerangka hukum merek, dalam batas tertentu melahirkan properti turunan
(derivative) yaitu sesuatu yang dapat menimbulkan daya tarik dan minat pembeli
barang yang ditawarkan atau diperdagangkan di pasar.4 Merek merupakan definisi hukum
yang memberikan perlindungan dan upaya pemulihan jika suatu tanda perdagangan

1 Hakim Yustisial Ditjenbadilmiltun
2 O.K. Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual ( Edisi Revisi) ( Jakarta: Rajawali Press, 2016),

hlm. 4.
3 Hak Cipta adalah hak khusus bagi pencipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya.

Termasuk ciptaanyangdilindungiadalah ciptaandalam bidangilmu pengetahuan, sastra dan seni. Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta: Hak Cipta adalah hak eksklusif bagi Pencipta
atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya atau memberikan izin untuk itu
dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(Pasal 1 ayat [1] ). Hak cipta diberikan terhadap ciptaan dalam ruang lingkup bidang ilmu pengetahuan,
kesenian, dan kesusasteraan. Hak cipta hanya diberikan secara eksklusif kepada pencipta, yaitu “seorang
atau beberapa orang secara bersama-sama yang atas inspirasinya lahir suatu ciptaan berdasarkan pikiran,
imajinasi, kecekatan, keterampilan atau keahlian yang dituangkan dalam bentuk yang khas dan bersifat
pribadi”.
4 Henry Soelistyo, Bad Faith Dalam Hukum Merk, Cet. Ke-2 (Yogyakarta: Maharsa Arta Mulia, 2017),
hlm. 22.

25

Artikel Varia Peradilan No. 392 Juli 2018

digunakan oleh pihak yang tidak memiliki kewenangan untuk itu. Merek bisa lebih luas
atau lebih sempit daripada nilai suatu cap sebagai suatu ciri pembeda (a distinctive character)
dari barang dan jasa suatu perusahaan dengan barang dan jasa perusahaan lain.5

B. SEJARAH DAN HAKIKAT PENDAFTARAN MEREK
Robyn-Leigh Merry and Muhammed Vally menyatakan:
Administrative law is the branch of public law that regulates the activities of bodies
that exercise public powers and perform public functions (C Hoexter Administrative
Law in South Africa (Cape Town: Juta 2007) at 2). Due to its nature and scope,
administrative law permeates a number of branches of the law and the law relating to
the protection of registered intellectual property is no exception. Administrative action
can be questioned on the basis of either an administrative appeal or by judicial review.
An appeal is indicated when the reasoning for the decision and the merits of the case
are under consideration, while a review considers whether the decision was arrived at
in a rational fashion. However, it is well recognised that the boundary between appeal
and review is often indistinct, particularly with respect to judicial review where the
focus of the review often falls on the decision itself rather than the process by which
the decision was made (Op. Cit. 106)6.

Dari uraian di atas terlihat bahwa posisi hukum administrasi dalam isu-isu hukum
kekayaan intelektual didasari karakteristik hukum administrasi yang bersifat mengatur
hubungan hukum antara warga masyarakat dengan pemerintah yakni dalam aspek
fungsi pemerintahan untuk melayani kepentingan publik. Hak kekayaan intelektual
berada pada domain hukum publik ketika pemerintah bertugas melakukan pendaftaran
dan pengawasan hak kekayaan intelektual.

Secara historis, pelayanan publik di bidang Hak Kekayaan Intelektual ( HKI) di Indonesia
sudah dimulai sejak zaman kolonial Belanda. Berdasarkan Reglement Industrieelen
Eigendom 1912 Stbl. 1912-545 jo 1913-214, tercatat merek yang pertama kalinya didaftar oleh
Departemen van Justitie adalah Hulpbureua Voor den Industrieelen Eigendom pada tanggal 10
Januari 1894 di Batavia. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 1948 tentang
lapangan pekerjaan, susunan, pimpinan dan tugas kewajiban Kementerian Kehakiman
yang meliputi pula Kantor Milik Perindustrian, Kantor Milik Perindustrian terdiri atas: (1)
Bagian Pendaftaran Cap Dagang; (2) Bagian Perlindungan atas Pendapatan-pendapatan
Baru (Octrooi). Berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman tanggal 12 Pebruari 1964 No.
J.S. 4/ 4/ 4 tentang Tugas dan Organisasi Departemen Kehakiman, yang disempurnakan
dengan Keputusan Menteri Kehakiman No. J.S.4/ 4/ 24 tanggal 27 Juni 1965 tentang
Tugas dan Organisasi Departemen Kehakiman, nama Kantor Milik Perindustrian diganti
menjadi Direktorat Urusan Paten yang bertugas menyelenggarakan peraturan-peraturan
mengenai perlindungan penemuan dan penciptaan.

Dengan demikian, sesuai dengan Keputusan Menteri Kehakiman tersebut Direktorat
Urusan Paten tidak saja menangani urusan bidang merek dan bidang paten tetapi

5 Rahmi Jened, HukumMerek(TrademarkLaw), dalam Era Globalisasi danIntegrasi Ekonomi, (Jakarta: Prenada
Media Group, 2015), hlm. 6.

6 Robyn-Leigh Merry and Muhammed Vally, Administrative Law and Intellectual Property, De Rebus–
November 2013, p. 26-27.

26

Artikel Varia Peradilan No. 392 Juli 2018

juga menangani bidang hak cipta. Tahun 1966, Presidium Kabinet mengeluarkan
keputusan No.75/ U/ Kep/ 11/ 1966 tentang Struktur Organisasi dan Pembagian tugas
Departemen. Dalam Keputusan ini Direktorat Urusan Paten berubah menjadi Direktorat
Paten, Direktorat Jenderal Pembinaan Badan Peradilan dan Perundang-undangan, yang
terdiri dari: (1) Dinas Pendaftaran Merek; ( 2) Dinas Paten; ( 3) Dinas Hak Cipta. Pada
tahun 1969 melalui Keputusan Presiden No. 39 Tahun 1969 dibentuk Direktorat Jenderal
Pembinaan Badan-badan Peradilan. Dengan dibentuknya Direktorat Jenderal yang
baru tersebut, Direktorat Jenderal Pembinaan Badan badan Peradi lan dan Perundang-
undangan dipecah menjadi Direktorat Jenderal HKI.

Ditinjau dari segi hukum publik, setiap tindakan kekuasaan pemerintah c.q. Direktur
Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM RI memberikan
pengakuan atau legalisasi merek (atau paten) yang dituangkan dalam bentuk sertipikat
merek merupakan tindakan hukum publik bersegi satu. Bahkan ketentuan Pasal 1
ayat (1) UU No. 14 Tahun 2001 dengan sendirinya merumuskan tindakan unilateral
kekuasaan pemerintah tersebut, sebagaimana disebutkan berikut: paten, yaitu “hak
eksklusif dari negara kepada inventor atas hasil invensinya di bidang teknologi, yang
untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri invensinya tersebut atau memberikan
persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakannya”. Sehubungan dengan
hal ini, Christ Dent7, mengemukakan tindakan unilateral pemerintah yang dituangkan
dalam penerbitan sertifikat merek adalah sangat terbuka untuk diuji keabsahannya
dalam kerangka pengujian tindakan administratif khususnya sebagaimana dilakukan
oleh tribunal administration di Australia maupun oleh peradilan administrasi lain pada
umumnya.

Dengan demikian, meskipun tindakan atau keputusan Dirjen HKI menerbitkan
sertifikat sebenarnya tidak berbeda esensinya sebagaimana t indakan administratif
BPN dalam hal penerbitan sertipikat hak atas tanah, belum lagi bila dikaitkan dengan
asas konstitutif dalam pendaftaran merek di Indonesia, yang notabene menggantikan
asas first to use, sehingga pemegang Hak Merek adalah pihak yang mendaftarkan untuk
pertama kalinya (first to file) di Direktorat Jenderal HKI. Namun oleh karena st ruktur
hukum di Indonesia belum sepenuhnya memiliki padanan sistem administrativejustice
yang jelas yakni apakah merujuk kepada duality of jurisdiction atau unity of jurisdiction,
maka sistem penyelesaian sengketa administrasi masih tersebar dan terfregmentasi.8

Sederhananya dapat dikatakan bahwa sengketa administrasi masih banyak diadili di
luar sistem kekuasaan peradilan di luar lingkungan Peratun, sebagaimana tercermin
dari kewenangan Pengadilan Niaga untuk mengadili tindakan pembatalan/ penghapusan/
pencoretan merek atau indikasi geografis, termasuk hak paten, yang sejatinya masih
berada pada domain hukum administrasi.9 Selain itu, kedudukan komisi banding merek

7 Christ Dent, Patents As Administrative Acts: Patent Decisions For Administrative Review?, This Paper
was first published in (2008) 30SydneyLaw Review 691-714.

8 Sistem duality of jurisdiction yang dianut di Indonesia tidak mencerminkan politik hukum
institusionalisasi peradilan administrasi. Sistem duality of jurisdiction sebagaimana dianut di Prancis
menghendaki pembagian tugas yang jelas antara Peradilan Umum dan Peradilan Administrasi
dalam mengadili sengketa hukum antara warga masyarakat dengan pemerintah. Namun sistem hukum
yangberkembang di Indonesia masih belum secara integral membagi pembagiantugasantaraPeradilan
Administrasi dan Peradilan Umum dalam mengatasi sengketa hukum antara warga masyarakat dan
pemerintah. Sebagaimana terlihat dalam kewenangan Pengadilan Niaga mengadili sengketa antara
warga masyarakat dan pemerintah di bidang perlindungan HAKI.

9 “… Berbeda dengan Komisi Bandingyang diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 31 Tahun 1995 tentang Komisi

27

Artikel Varia Peradilan No. 392 Juli 2018

yang dalam diskursus hukum administrasi dikenal sebagai bagian dari pranata
upaya administratif maupun sebagai tribunal yang melaksanakan fungsi kuasi
peradilan administrasi namun justru tidak memiliki keterkaitan dengan sistem peradilan
administrasi di bawah Peratun, sebaliknya malah terkait dengan Pengadilan Niaga
yang berada di bawah lingkungan Peradilan Umum .10 Anomali kedudukan Komisi
Banding Merek seperti ini juga terjadi dalam kedudukan BPSK (Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen) atau KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha)—yang dapat
disejajarkan dengan lembaga-lembaga tribunal dalam tradisi common law atau kuasi
peradilan dalam tradisi civil law—yang dalam sistem hukum Indonesia menjadi t idak
memiliki keterkaitan dengan fungsi Peradilan Administrasi melainkan dengan fungsi
Peradilan Umum11.

Jika sertifikat hak atas tanah adalah tanda bukti hak atas tanah, maka demikian
pula sertifikat merek merupakan tanda bukti hak atas kekayaan intelektual yang dilindungi
hukum. Kedua-duanya menyangkut hak-hak keperdataan yang tidak bisa dilepaskan dari
irisan hukum publik, hak-hak keperdataan tersebut harus didaftarkan kepada pemerintah
melalui instansi yang berwenang. Dalam praktek hukum sehari-hari sering ditemui
kesulitan dalam menentukan kriteria dan perlindungan hukum bagi pembeli tanah
yang beritikad baik sebagaimana sulitnya menentukan kriteria pihak pendaftar merek
yang beriktikad baik. Kesulitan tersebut akan lebih kompleks lagi jika dikaitkan dengan
persinggungan kewenangan antara hakim perdata dengan hakim Peratun dalam mengadili
sengketa pertanahan. Lantas besarnya kewenangan

Pengadilan Niaga yang sampai menjangkau beberapa isu hukum administrasi
dalam sengketa merek atau HKI pada umumnya apakah merupakan suatu solusi dalam
membangun kepastian hukum?

C. KEWENANGAN PERATUN DALAM SENGKETA MEREK
Perkembangan hukum mendorong pemerintah dan DPR meng- ubah Undang-

Banding Paten, keputusan Komisi Banding dalam Peraturan Pemerintah ini tidak bersifat final, artinya
permohonan yang ditolak oleh Komisi Banding masih dapat dilakukan upaya hukum dengan mengajukan
gugatan ke Pengadilan Niaga” ( Peraturan Pemerintah No. 40. Tahun 2005 tentang Susunan Organisasi,
Tugas, dan Fungsi Komisi Banding Paten).
10 Dalam literatur hukum administrasi ditemukan beberapa istilah yang lazim digunakan untuk menyebut
istilah “ upaya administratif” sebagaimana istilah yang digunakan dalam Pasal 48 UU Peratun yakni,
antara lain administratieve beroep, quasi rechtspraak atau Peradilan Administrasi semu, eigenlijke administratieve
rechtspraak atau Peradilan Administrasi tak murni, pre-trial administrative proceedings dan/ atau administratieve
tribunals. Sebelum Indonesia merdeka, prosedur upaya administratif telah dikenal dan mendahului keberadaan
Peradilan Administrasi. Oleh karena bagi siapa saja yang ingin mempelajari sejarah Peradilan Administrasi, maka
dirinya tidak akan melepaskan diri dari fakta sejarah yang menyebutkan eksistensi upaya administrasi dalam
prosedur sengketa-sengketa pajak pada awalnya.
11 Sistem unity of jurisdiction justru lebih konsisten menerapkan perlindungan hukum terhadap masyarakat.
Lembaga-lembaga tribunal baik yang berdiri di luar suatu instansi (departemen, agensi pemerintahan) atau
menjadi bagian dari struktur organisasi suatu pemerintahan sangat umum dikenal terutama di negara-
negara common law dan negara-negara civil law—meskipun tidak semasif di negara-negara common
law. Pada umumnya lembaga tribunal tersebut menjadi bagian dari sistem Peradilan Administrasi.
Tugas dan fungsi lembaga tribunal tersebut menjadi kajian hukum administrasi. Bersama dengan badan
peradilan, badan ombudsman, lembaga-lembaga tribunal tersebut mempromosikan dan menjaga nilai-
nilai keadilan administratif. Jika dibandingkan dengan kondisi di Indonesia, lembaga-lembaga seperti
BPSK ( Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen), KPPU ( Komisi Pengawas Persaingan Usaha) maupun
lembaga lain yang sejenis sebenarnya kedudukannya ekuivalen dengan lembaga-lembaga tribunal seperti
yang dimaksud di negara-negara common law, dan seyogianya tugas dan fungsi lembaga-lembaga
seperti BPSK atau KPPU tersebut t idak bisa dilepaskan dari kajian hukum administrasi.

28

Artikel Varia Peradilan No. 392 Juli 2018

Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2001 Nomor 110, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4131) menjadi Undang-Undang tentang Merek dan Indikasi Geografis.12 Sebelum
berlaku UU No. 15/ 2011 dan berdirinya Pengadilan Niaga, PTUN masih berwenang
mengadili upaya keberatan atas putusan Komisi Banding Paten maupun Komisi Banding
Merek berdasarkan ketentuan yang lama.13 Dengan demikian terdapat arus balik
legislasi dalam UU No. 20/ 2016 ini karena kembali menegaskan kewenangan Peratun,
meskipun bersifat parsial, di samping kewenangan dominan Pengadilan Niaga dalam
isu HKI.14

Secara garis besar dapat dikatakan bahwa berdasarkan UU MIG, segala urusan
pelaksanaan pendaftaran, pencatatan, penghapusan, pembatalan dan pengawasan
merek dilaksanakan oleh Kementerian Hukum dan HAM. Dan Direktorat Jenderal HKI
merupakan instansi yang melaksanakan kewenangan tersebut dalam tataran teknis-
operasional. Kementerian Hukum dan HAM beserta seluruh jajarannya merupakan Badan
Administrasi Pemerintahan ( Badan Tata Usaha Negara) yang memiliki kewenangan
atributif dalam pelaksanaan urusan pemerintahan di bidang tata kelola merek. Namun

12 Indonesia, Undang-Undang tentang Merek dan Indikasi Geografis, UU. No. 20 Tahun 2016 ( Lembaran
Negara Tahun 2016 Nomor 252, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5953).
Selanjutnya disingkat UU MIG.

13 Komisi Banding Paten berdasarkan PP No. 31 Tahun 1995, sehubungan dengan adanya Undang-
Undang No. 6 Tahun 1989 tentang Paten; Komisi Banding Merek berdasarkan PP No. 32 Tahun
1995, sehubungan dengan adanya Undang-Undang No. 19 Tahun 1992 tentang Merek. Beberapa
UU. mengenai HaKI telah dibuat. Tahun 2000 diundangkan UU No. 31 Tahun 2000 mengenai Desain
Industri, dan UU No. 32 Tahun 2000 mengenai Desain Tat a Letak Sirkuit Terpadu, yang mengalokasikan
sebagian proses beracara kepada Pengadilan Niaga. Sebelumnya, masalah paten, merek, dan hak
cipta diurus Pengadilan Negeri. Namun UU No. 14 Tahun 2001 mengenai Paten dan UU No. 15
Tahun 2001 mengenai Merek, serta UU No. 19 Tahun 2002 mengenai Hak Cipta menyatakan bahwa
penyelesaian HaKI dilakukan oleh Pengadilan Niaga.

14 Lihat misalnya perkara penarikan kembali merek Buddha Bar oleh Ditjen HaKI yang berbuntut perkara
di PTUN No. 97/ G/ 2009/ PTUN.JKT jo. Putusan PTTUN No. 253/ B/ 2009/ PT.TUN.JKT jis. Kasasi
Mahkamah Agung No. 213 K/ TUN/ 2010. Perkara ini menjadi menarik karena selain terdapat isu
kepentingan hukum nasional dengan kepentingan hukum transnasional juga terdapat isu sentimen
keagamaan dengan perlindungan hukum sebagaimana dimaksud UU Merek. Buddha Bar adalah salah satu
contoh Merek Dagang yang bertaraf Internasional yang dilindungi oleh Konvensi Prancis. Buddha Bar
merupakan merek dagang dari Prancis yang dimiliki oleh George v. Restaurant. Dengan perkembangan
zaman dan perkembangan perlindungan hukum, maka penggunaan lisensi semakin marak dalam rangka
ekspansi usaha para pelaku usaha, baik di dalam maupun di luar negeri. Indonesia adalah salah satu
negara penerima lisensi merek dagang Buddha Bar. Beberapa pihak menilai bahwa penggunaan lisensi
merek dagang dari Buddha Bar yang berasal dari Prancis secara yuridis tidak menyalahi hukum perdagangan
Internasional. Sebab PT Nireta Vista Creative pengelola dari Buddha Bar di Indonesia telah mendapatkan lisensi dari
pemilik merek dagang Buddha Bar itu yaitu George v. Restaurant dari Prancis sebagai pemegang merek dagang
Buddha Bar di Indonesia. Selain itu Buddha Bar juga telah memiliki telah Mendaftarkan merek dagang tersebut ke
Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Departemen Hukum dan HakAsasi Manusia Republik Indonesia. Dan
telah terdaftar sebagai merek dagang di Indonesia pada tanggal 16 Januari 2009. Sertifikat restoran Buddha Bar
terdaftar di Indonesia telah dikeluarkan dengan Nomor IDM000189681 di kelas jasa Kelas 43 untuk jenis restoran.
Bahkan, sejak pendaftaran merek dagang Buddha Bar diajukan pada tanggal 18 Juli 2007, penggunaan nama
Buddha Bar tidak mendapat sanggahan dari pihak mana pun. Buddha Bar ini merupakan usaha dalam bidang
jasa restoran, di dalamnyatidak adakegiatan untuk suatu pelecehan ataupun penodaan suatu agama tertentu dalam
hal ini adalah agama Buddha. Kemudian terjadi kontroversi atas terbitnya pendaftaran lisensi merek Buddha Bar
yang berimbas kepada penghapusan merek terdaftar Buddha Bar oleh Ditjen HaKI. Tindakan penghapusan ini
menimbulkan ancaman pembalasan (CrossRetalation) dari Prancis ke Indonesia atau dilaporkannya Indonesia
ke WTO.SelengkapnyalihatAnisaNurul Kartika,KajianPembatalanMerekDagangBuddhaBardi Indonesia (Sebagai
Upaya Penanggulangan Potensi Sanksi Perdagangan Silang (Cross Retalation) dalam ForumWTO(WorldTradeOrganization),
Skripsi (Surakarta:Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, 2010).

29

Artikel Varia Peradilan No. 392 Juli 2018

pembuat undang-undang mendesain kewenangan Peratun dalam sengketa merek
bersifat residual, sebagian besar sengketa merek, termasuk penolakan pendaftaran oleh
pemerintah yang berkarakter hukum publik, kewenangannya diberikan ke Pengadilan
Niaga.

Kewenangan residual Peratun dalam sengketa merek adalah menyangkut t indakan
penghapusan merek terdaftar atas prakarsa menteri. Penghapusan merek terdaftar
oleh menteri seperti ini berada dalam kerangka pengawasan pemerintah. Tindakan
penghapusan merek terdaftar atas prakarsa menteri dilakukan apabila:

a. memiliki persamaan pada pokoknya dan/ atau keseluruhannya dengan Indikasi
Geografis;

b. bertentangan dengan ideologi negara, peraturan perundang-undangan, moralitas,
agama, kesusilaan, dan ketertiban umum; atau

c. memiliki kesamaan pada keseluruhannya dengan ekspresi budaya tradisional, warisan
budaya tak benda, atau nama atau logo yang sudah merupakan tradisi turun-temurun.15
Selain oleh atas prakarsa pemerintah, penghapusan merek terdaftar dapat juga

didasarkan atas inisiatif oleh pihak ketiga yang berkepent ingan dalam bentuk
gugatan ke Pengadilan Niaga dengan alasan merek tersebut tidak digunakan selama
3 (tiga) tahun berturut-turut dalam perdagangan barang dan/ atau jasa sejak tanggal
pendaftaran atau pemakaian terakhir.16 Dengan demikian, permasalahan hukum
lain di luar tindakan penghapusan merek terdaftar atas prakarsa menteri seperti masalah
penolakan pendaftaran merek atau permohonan pendaftaran indikasi geografis ataupun
dalam hal permohonan pembatalan merek dsb tetap menjadi kewenangan Pengadilan
Niaga.

Ironisnya upaya hukum atas penolakan permohonan pendaftaran merek maupun
harus diajukan terlebih dahulu melalui mekanisme upaya administratif yakni melalui
Komisi Banding.17 Permohonan banding terhadap penolakan permohonan diajukan
dalam jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari terhitung sejak tanggal
pengiriman surat pemberitahuan penolakan permohonan.18 Dalam hal permohonan
banding sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diajukan, penolakan permohonan
dianggap diterima oleh pemohon19. Keputusan Komisi

Banding Merek diberikan dalam waktu paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak
tanggal penerimaan permohonan banding. Dalam hal Komisi Banding Merek
mengabulkan permohonan banding, menteri menerbitkan dan memberikan sertifikat
merek kepada pemohon atau kuasanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24.
Dalam hal Komisi Banding Merek menolak permohonan banding, pemohon atau kuasanya
dapat mengajukan gugatan atas putusan penolakan permohonan banding

15 UU MIG. Pasal 72.
16 UU MIG. Pasal 74.
17 UU MIG. Pasal 28 jo. Pasal 57.
18 UU MIG. Pasal 29.
19 Bandingkan dengan ketentuan sebelumnya yang menentukan mekanisme banding dalam keberatan

dengan masalah merek, maka pihak yang keberatan atau pemohon banding dapat mengajukan gugatan
kepada Pengadilan Niaga terhadap keputusan Komisi Banding sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf b dan huruf c, dalam waktu paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal keputusan diterima.
Pasal 13 ayat (3) Peraturan Presiden No. 20 Tahun 2005 tentang Tat a Cara Permohonan, pemeriksaan,
dan penyelesaian banding merek. Pepres ini lahir untuk melaksanakan ketentuan Pasal 32 Undang-
Undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek, perlu menetapkan Peraturan Presiden tentang Tat a Cara
Permohonan, Pemeriksaan, dan Penyelesaian Banding Merek.

30

Artikel Varia Peradilan No. 392 Juli 2018

kepada Pengadilan Niaga dalam waktu paling lama 3 (t iga) bulan terhitung sejak
tanggal diterimanya keputusan penolakan tersebut. Terhadap putusan Pengadilan Niaga
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diajukan kasasi.

Mengikuti kekhususan hukum acara di Pengadilan Niaga, pembuat undang-undang
tampak ikut mengintrodusasi kekhususan tersebut sehingga dalam undang-undang
ini, jenjang penyelesaian sengketa merek di Peratun dibuat hanya dua t ingkat saja
yakni setelah diputus oleh PTUN, upaya hukum selanjutnya adalah kasasi ke MA,
sebagaimana ditentukan Pasal 73, yakni sbb.:

Pasal 73
(1) Pemilik merek yang keberatan terhadap keputusan penghapusan merek terdaftar atas

prakarsa menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (6) dan ayat (7) dapat
mengajukangugatanmelalui PengadilanTata Usaha Negara.
(2) Pihak yang keberatan terhadap putusan Pengadilan Tata Usaha Negara sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) hanya dapat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.
Ditinjau dari kajian tentang kelembagaan Peratun, model penyelesaian sengketa
penghapusan merek terdaftar tersebut di atas melengkapi sistem peradilan dua tingkat
di Peratun. Rezim pemeriksaan dua t ingkat terdiri dari t iga model yakni pertama
model PTTUN selaku pengadilan t ingkat pertama dan MA sebagai pengadilan t ingkat
kedua. Sedangkan, model kedua adalah PTUN sebagai pengadilan tingkat pertama,
dan MA sebagai pengadilan t ingkat kedua. Lalu, model ketiga adalah PTUN sebagai
pengadilan tingkat pertamadanPTTUN sebagai pengadilan t ingkat kedua.
Kedudukan PTUN dan PTTUN dalam sistem peradilan dua t ingkat adalah sebagai
originair juridiction yang lazim disebut sebagai judexfactie dan MA sebagai apelate juridiction
lazim disebut juga sebagai judex jurist. Karakteristik utama rezim pemeriksaan 2 (
dua) tingkat adalah adanya limitasi waktu penyelesaian sengketa secara ketat, t
idak mengenal tahapan dismissal proses, pemeriksaan persiapan, replik, duplik (beberapa
melarang secara tegas masuknya pihak tergugat I I intervensi dan dikeluarnya
penetapan penundaan putusan). Adapun variasi peradilan dua tingkat adalah sbb.:

(a) PTUN dan MA

Setelah diperiksa oleh PTUN sebagai pengadilan t ingkat pertama upaya hukum
yang tersedia adalah langsung k a s a s i ke MA. Contohn y a , penyelesaian sengketa
Informasi P ublik, Sengketa Penetapa n Lokasi B a g i Pembangunan untuk
Kepentingan Umum, sengketa penghapusan merek te rda fta r oleh atas prakarsa
m en t er i .

(b) PTTUN dan MA.

Dalam h a l PTTUN sebagai p e n g a d i l a n t ingkat pertama, upaya hukum atas
putusan PTTUN adalah k a s a s i ke MA, meskipun PTTUN bert indak s e b a g a i
pengadilan t ingkat pertama prosedur dismissal dan/atau p em er i k saan
p er si ap an ditiadakan s e b e l u m proses p em er i k saan perkara. Kewenangan
PTTUN sebagai pengadilan TUN t ingkat pertama sebelum berlaku UUAP
adalah menyelesaikan perkara- perkara setelah ditempuh upaya administratif,
umumnya berupa banding administratif, seb agai m an a dimaksud Pasal 6 2
UU Peratun serta SEMA No. 2/ 1991. Pasca berlakunya UU No. 7/ 2017, yang
meniadakan kewenangan PTTUN sebagai pengadilan t i ngkat pertama, maka
kini praktis k ew en an gan PTTUN sebagai pengadilan t ingkat pertama hanya dalam
perkara Pilkada.

31

Artikel Varia Peradilan No. 392 Juli 2018

(c) PTUN dan PTTUN

Model pemeriksaan sengketa yang hanya m el i b at k an PTUN d a n PTTUN sebagai
pengadilan t ingkat pertama dan sebagai pengadilan b an d i n g awalnya d i k en al
dalam perkara-perkara tertentu yang terkena p em b at asan u p a y a hukum kasasi
seb agai m an a diatur d al am Pasal 45 UU No. 5/ 2004 Pasal 45A a y a t (1) d a n
(2) huruf (c) UU No. 5/ 2004 t en t an g perubahan atas UU. No. 14/ 1970 t en t an g
MA y an g menyatakan: “ Mahkamah A gung dalam tingkat k a s a s i mengadili perkara
y a n g m e m e n u h i syar at untuk diajukan kasasi, kecuali perkara ta ta usaha negara y a n g
objek gugatannya berupa keputusan pejabat daerah y a n g jangkauan k eput usannya
berlaku di wilayah daer ah y a n g ber sangkutan” . Pola pemeriksaan perkara yang
hanya melibatkan PTUN d a n PTTUN kemudian juga diadopsi dalam Pasal 21
UUAP yakni dalam pemeriksaan acara pengujian a d a t idaknya penyalahgunaan
wewenang. Setelah diputus o l eh PTUN, u p a y a hukum y a n g tersedia adalah
banding keP T T U N .

D. BEBERAPA LANGKAH ANTISIPASI KE DEPAN

1. AntisipasiTitik Singgung Peratun dan PengadilanNiaga
Mengantisipasi terjadinya persinggungan kewenangan antara Pengadilan

Niaga dan Peratun, Buku Pedoman Teknis Administrasi Peratun menyebutkan bahwa
PTUN tidak berwenang menangguhkan pelaksanaan penjualan di muka umum (lelang)
atas harta pailit yang dilaksanakan oleh kantor lelang atas permintaan kurator atau
kreditor pemegang hak tanggungan, karena mengenai kepailitan telah menjadi
kompet ensi absolut dari Pengadilan Niaga sebagai pengadilan khusus di Peradilan
Umum. Demikian pula dalam hal penjualan lelang oleh kantor lelang atas permintaan
kurator atau kreditor pemegang hak tanggungan untuk memenuhi ketentuan Pasal
57 ayat (1) dan Pasal 56 ayat (1) UUK. Di samping itu, telah menjadi yurisprudensi tetap
bahwa Pengadilan TUN tidak berwenang mengadili gugatan terhadap kantor lelang yang
menyangkut pen- jualan lelang sebagai pelaksanaan putusan (eksekusi) perkara perdata
yang dilakukan atas perintah Ketua Pengadilan Negeri20. Berkaitan dengan kehadiran
UU MIG ini, perlu diantisipasi juga terjadinya persinggungan kewenangan antara
Pengadilan Niaga dan Peratun. Hal ini disebabkan kewenangan Peratun dalam hal
pembatalan merek bersifat parsial dalam UU MIG, sebab pembatalan merek yang
berasal dari indikasi geografis dapat dilakukan oleh menteri sepanjang sudah diputuskan
oleh Pengadilan Niaga. Artinya berbeda dengan pembatalan suatu merek terdaftar yang
dapat dibatalkan secara sepihak oleh pemerintah dan atas pembatalan tersebut dapat
diajukan ke PTUN dan Kasasi ke MA.

Sebaliknya sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 68 dalam hal sebelum atau
pada saat dimohonkan pendaftaran sebagai Indikasi Geografis, suatu tanda dipakai

20 Menurut Pasal 67 ayat (1) UUK, kurator bertugas melakukan pengurusan dan/ atau pemberesan harta
pailit . Tugas ini antara lain dengan membuat catatan harta pailit ( Pasal 91 ayat [ 1] UUK) dan catatan
nama-nama serta alamat kreditur disertai jumlah dan sifat piutang (Pasal 93 UUK) dan catatan tersebut
dilaporkan dalam rapat pencocokan piutang, ( Pasal 115 ayat [ 1] UUK) yang diketuai Hakim Pengawas
( Pasal 77 [ 1] UUK). Apabila rapat verifikasi sudah selesai maka kurator melaporkan keadaan harta
pailit ( Pasal 133 ayat [ 1] UUK). Kurator melakukan penjualan harta pailit di muka umum (lelang), atau
penjualan dilakukan di bawah tangan atas izin Hakim Pengawas (Pasal 171 ayat [ 1] UUK). Dalam proses
penjualan harta pailit yang dilakukan oleh kantor lelang bisa timbul gugatan terhadap kantor lelang
yang diajukan ke Pengadilan TUN dimana Penggugat minta agar keputusan lelang dibatalkan disertai
permintaan penangguhan pelaksanaan lelang.

32

Artikel Varia Peradilan No. 392 Juli 2018

dengan iktikad baik oleh pihak lain yang t idak berhak mendaftar menurut ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (3), pihak yang beriktikad baik tersebut
tetap dapat menggunakan tanda tersebut untuk jangka waktu 2 (dua) tahun terhitung
sejak tanda tersebut terdaftar sebagai Indikasi Geografis. Dalam hal tanda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) telah terdaftar sebagai merek, menteri membatalkan dan mencoret
pendaftaran merek tersebut untuk seluruh atau sebagian jenis barang yang sama setelah
jangka waktu 2 (dua) tahun terhitung sejak tanda tersebut terdaftar sebagai Indikasi
Geografis. Pembatalan dan pencoretan pendaftaran merek sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) diberitahukan secara tertulis kepada pemilik merek atau kuasanya dengan
menyebutkan alasannya. Keberatan terhadap pembatalan dan pencoretan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dapat diajukan kepada Pengadilan Niaga. Terhadap putusan
Pengadilan Niaga sebagaimana dimaksud pada ayat ( 6) dapat diajukan kasasi.

2. Urgensi Perma
Sengketa di bidang HKI, termasuk sengketa di bidang merek, identik dengan

sengketa hukum bisnis dan keperdataan. Sengketa-sengketa hukum bisnis menuntut
penyelesaian sengketa yang cepat, efektif, sederhana. Atas dasar karakteristik seperti ini,
pembuat undang-undang mengatur upaya hukum atas penghapusan merek atas dasar
inisiatif menteri diselesaikan secara dua t ingkat, yakni setelah diputus di tingkat permata
langsung kasasi ke MA.

UU MIG menegaskan kewenangan Peratun dalam mengadili perkara pembatalan
merek atas prakarsa menteri namun UU tersebut tidak mengatur mekanisme beracara
dalam perkara tersebut. Di samping itu, sebagai suatu perkara yang memiliki karakteristik
tersendiri, perlu diatur mekanisme beracara dalam perkara seperti ini. MA berwenang
mengeluarkan self-regulating dalam rangka menjaga kesatuan hukum. Oleh karena itu,
Perma yang dibuat setidaknya materinya meliputi hal-hal antara lain:

(a) syarat-syarat hakim khusus dalam sengketa merek.

(b) tenggang waktu pengajuan gugatan sengketa merek.

(c) batas waktu pengajuan kasasi ke MA dalam perkara kasasi.

(d) Implementasi hukum acaraperadilan duatingkat yangpadaumumnya bersifat terjadwal,
tidak mengenal pranata hukum acara Peratun konvensional seperti dismissal proses,
pemeriksaan persiapan, masuknya intervensi atau tanpa replik dan duplik.

3. PerludiadakanPelatihanHakim Peratun diBidang Perkara Merek
Di samping mengadili perkara kepailitan, kewenangan Pengadilan Niaga adalah

mengadili perkara di bidang HKI. Sebagai pengadilan khusus, terdapat beberapa kriteria
pengangkatan hakim pada Pengadilan Niaga. Salah satu kriteria tersebut adalah hakim
harus mengikuti diklat sert ifikasi Hakim Pengadilan Niaga21. Oleh karena itu, idealnya

21 Bagi hakim karier, untuk dapat diangkat sebagai Hakim Pengadilan Niaga (sering kali disebut sebagai
Hakim Niaga), berdasarkan ketentuan Pasal 302 ayat (2) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan PKPU, harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

(a) Telah berpengalaman sebagai hakim dalam lingkungan Peradilan Umum sekurang-kurangnya lebih dari
10 tahun. Namun dalam praksisnya disyaratkan pula kepangkatannya minimal Pembina/ golongan
(IV/ a);

(b) Mempunyai pengalaman dan menguasai pengetahuan di bidang hukum perniagaan;

(c) Berdedikasi, berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela; serta

(d) Telah berhasil menyelesaikan program pelatihan khusus (calon) Hakim Pengadilan Niaga, yang
diselenggarakan oleh Pusat Pendidikan dan Pelatihan Tehnis Mahkamah Agung RI.

33

Artikel Varia Peradilan No. 392 Juli 2018

hakim PTUN yang menangani perkara merek juga harus dibekali oleh pengetahuan di
bidang HKI. Untuk mengatasi kebutuhan ini, Pusdiklat Teknis Peradilan MA diharapkan
merancang dan menyusun diklat di bidang HKI.

DAFTAR PUSTAKA

Anisa Nurul Kartika. 2010. Kajian Pembatalan Merek Dagang Buddha Bar di Indonesia
(Sebagai Upaya Penanggulangan Potensi Sanksi Perdagangan Silang (Cross Retalation)
dalam Forum WTO (World Trade Organization). Skripsi. Surakarta: Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret.

Christ Dent. Patents As Administrative Acts: Patent Decisions for Administrative Review?. This
Paper was first published in (2008) 30 Sydney Law Review 691-714.

Henry Soelistyo. 2017. Bad Faith dalam Hukum Merek. Cet. Ke-2. Yogyakarta: Maharsa Arta
Mulia.

O.K. Saidin. 2016. Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual. (Edisi Revisi). Jakarta:
Rajawali Press.

Rahmi Jened. 2015. Hukum Merek (Trademark Law), dalam Era Globalisasi dan Integrasi
Ekonomi. Jakarta: Prenada Media Group.

Robyn-Leigh Merry and Muhammed Vally. Administrative Law and Intellectual
Property, De Rebus – November 2013.

Indonesia. Undang-Undang tentang Merek dan Indikasi Geografis, UU No. 20 Tahun 2016
(Lembaran Negara Tahun 2016 Nomor 252, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5953). Selanjutnya disingkat UU MIG.

Perkara di PTUN No. 97/G/2009/PTUN.JKT jo. Putusan PTTUN No. 253/B/ 2009/PT.TUN.
JKT jis. Kasasi Mahkamah Agung No. 213 K/TUN/2010.

Setelah memenuhi persyaratan tersebut, hakim karier yang bersangkutan diangkat sebagai Hakim pada
Pengadilan Niaga berdasarkan Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI.

34

Artikel Varia Peradilan No. 392 Juli 2018

JUDICIAL ACTIVISM HAKIM PERADILAN
ADMINISTRASI: PERSPEKTIF TEORI-TEORI

PENEMUAN HUKUM

Cahyono1 dan Indriati Amarini2

A. LATAR BELAKANG MASALAH

P eradilan Administrasi Negara3 adalah salah satu pilar penting dalam
pengejawantahan prinsip-prinsip negara hukum yang memberikan
perlindungan terhadap hak asasi manusia dari tindakan sewenang-
wenang para penguasa.4 Peradilan Administrasi Negara adalah lembaga yang
bertujuan memberikan pengayoman hukum dan kepastian hukum, baik
bagi rakyat maupun bagi administrasi negara dalam arti terjaganya keseimbangan
kepentingan masyarakat dan kepentingan individu.

Lembaga Peradilan Administrasi Negara merupakan salah satu dari 4 (empat)
lingkungan peradilan5 yang kemudian membutuhkan proses yang cukup lama akhirnya
diundangkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara (Lembaran Negara RI Tahun 1986 Nomor 77). Dalam perjalanannya undang-
undang ini telah mengalami dua kali amendemen yaitu dengan Undang-Undang Nomor
9 Tahun 20046 dan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 20097.

Selama dua dekade beroperasinya lembaga Peradilan Administrasi di Indonesia
dengan segala keterbatasan dukungan instrumen hukum yang ada, jalannya Peradilan
Administrasi mengalami pasang surut perkembangan dengan berbagai dinamikanya.8

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 yang mendasari pembentukan lembaga
Pengadilan Tata Usaha Negara memuat secara sekaligus pengaturan hukum materiil, dan
hukum formil, di samping pengaturan tentang susunan, kekuasaan dan kompetensi

1 Hakim Pengadilan Negeri Banda Aceh.
2 Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Purwokerto.
3 Penyebutan istilah Peradilan Administrasi Negara antara lain Peradilan Tata Usaha Pemerintahan,

Peradilan Tata Usaha Negara. Setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 istilah
yang digunakan adalah Peradilan Tata Usaha Negara atau Peradilan Administrasi Negara.
4 Penguasa di dalam UU PTUN adalah Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang kemudian diartikan
sebagai lembaga eksekutif yaitu yang melaksanakan urusan pemerintahan.
5 Ada 4 (empat) lingkungan peradilan pelaksana kekuasaan kehakiman sebagaimana tercantum
dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yaitu Peradilan umum,
Peradilan Militer, Peradilan Agama, dan Peradilan Tat a Usaha Negara.
6 Amendemen yang pertama antara lain berkenaan dengan pengenaan upaya paksa dan penyesuaian
dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung.
7 Amendemen yang kedua pada prinsipnya tentang penataan peradilan yang terpadu (integrated justice
system).
8 Dinamika tersebut dalam banyak hal menimbulkan optimisme dan ekspektasi t inggi bagi peningkatan
eksistensi, kompetensi, dan efektivitas lembaga PTUN tetapi dalam hal lain menyiratkan kekhawatiran
apabila terkesan mendegradasi kewenangan dengan mengurangi daya guna aktivitas lembaga PTUN l ihat
Nelvy Cristin, Dinamika PTUN dalam Legislasi dan Yurisprudensi, Varia Peradilan No. 320 Juli 2012, hlm.
73.

35

Artikel Varia Peradilan No. 392 Juli 2018

(yurisdiksi) PTUN9 . Situasi ini menimbulkan dampak yang kurang menguntungkan bagi
perkembangan penegakan hukum administrasi oleh PTUN. Selain itu UU tersebut juga
memberi kewenangan yang terbatas dalam melakukan pengujian terhadap norma-
norma Hukum Administrasi.

Perkembangan hukum secara umum diartikan dalam beberapa makna.10 Dalam
konteks PTUN, penggantian, perubahan maupun pembaruan dilakukan melalui 2 (dua)
cara yaitu legislasi11 dan yurisprudensi12. Yurisprudensi dalam proses penyelesaian
sengketa menjadi hal penting di lembaga Peradilan Administrasi Negara.

Dunia peradilan (termasuk lembaga Peradilan Administrasi) yang digerakkan oleh hakim
sebagai mesinnya, merupakan lembaga yang diberi wewenang untuk menciptakan
kaidah-kaidah hukum yurisprudensi sebagai kaidah baru mengisi celah-celah hukum,
pengisi kekosongan hukum, pendamping legalistik formalnya hukum, pengisi roh keadilan
hukum, pengisi roh nurani hukum.13

Problematik yang berhubungan dengan penemuan hukum sebagaimana tersebut di
atas pada umumnya dipusatkan sekitar hakim.14 Hal ini dikarenakan hakim yang profesinya
melakukan penemuan hukum. Hasil penemuan hukum oleh hakim merupakan hukum
karena mempunyai kekuatan mengikat sebagai hukum dan dituangkan dalam bentuk
putusan. Selain itu hasil penemuan hukum oleh hakim merupakan sumber hukum.

B. PERUMUSAN MASALAH
Sehubungan dengan latar belakang di atas, penulis mengangkat permasalahan

sebagai berikut:
a. Mengapa perlu ada judicial activism hakim Peradilan Administrasi/ TUN melalui metode

penemuan hukum?
b. Bagaimana melakukan judicial activism untuk dapat diterapkan dan diimplementasikan

dalam praktik dan tugas hakim.

C. ANALISIS DAN PEMBAHASAN

1. Judicial Activism Hakim Peradilan Administrasi/TUN Melalui Metode
Penemuan Hukum

9 UU PTUN pada dasarnya memuat sebagian besar pasal-pasal tentang hukum acara (prosedur) dan
sebagian kecil memuat tentang kompetensi ( kewenangan yurisdiksi) dan struktur organisasi badan
PTUN. Hukum materiil tata usaha negara tidak terlalu banyak dimuat dalam UU tersebut . Ibid.

10 Makna di sini diartikan sebagai penggantian, perubahan dan pembaruan karena adanya kebutuhan
atau hukum yang lama itu tidak sesuai dengan kondisi yang ada.

11 Legislasi bisa dilihat dari dua kali perubahan yaitu berdasarkan Undang-Undang No. 9 Tahun 2004
dan yang kedua Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009. Bahkan saat ini pemerintah menyiapkan
Rancangan Undang-Undang Administrasi Pemerintahan untuk diajukan dan dibahas bersama DPR yang
nantinya penegakan hukumnya menjadi wewenang PTUN.

12 Sementara Yurisprudensi PTUN melalui putusan-putusan yang konsisten memberikan dampak
paling signifikan dalam dinamika perkembangan PTUN dalam memenuhi kebutuhan praktis untuk
memperlancar jalannya persidangan.

13 M. Fauzan, Filsafat Hermeneutika sebagai Metode Penemuan Hukum Yurisprudensi, Varia Peradilan Nomor
290 Januari 2010.

14 Dalam kenyataannya problematik penemuan hukum tidak hanya berperan pada kegiatan hakim dan
pembentuk undang-undang saja, berbagai pihak melakukan penemuan hukum. Boleh dikatakan setiap
orang yang berkepentingan dalam suatu perkara melakukan kegiatan menemukan hukum untuk
peristiwa konkret lihat Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar (Yogyakarta:
Liberty, 2007), hlm. 38.

36

Artikel Varia Peradilan No. 392 Juli 2018

Manusia sebagai makhluk sosial (zoon politicon) dalam berinteraksi satu sama lain
sering kali tidak dapat menghindari adanya bentrokan-bentrokan kepentingan (conflict of
interest) di antara mereka. Konflik tersebut menimbulkan kerugian karena biasanya disertai
pelanggaran hak dan kewajiban dari pihak satu terhadap pihak lain. Konflik-konflik
semacam itu tidak mungkin dibiarkan begitu saja, tetapi memerlukan sarana hukum untuk
menyelesaikannya. Dalam keadaan seperti itulah, hukum diperlukan kehadirannya untuk
mengatasi berbagai persoalan yang terjadi. Eksistensi hukum sangat diperlukan dalam
mengatur kehidupan manusia. Tujuan hukum adalah untuk melindungi kepentingan
manusia dalam mempertahankan hak dan kewajibannya.15

Dalam rangka menegakkan aturan-aturan hukum, diperlukan adanya institusi yang
dinamakan kekuasaan kehakiman (judicativepower). Kekuasaan kehakiman ini bertugas
menegakkan dan mengawasi berlakunya peraturan perundang-undangan yang berlaku
(ius constitutum). Kekuasaan kehakiman diselenggarakan oleh badan-badan peradilan
negara. Tugas pokok badan peradilan adalah memeriksa, mengadili, memutuskan, dan
menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan oleh masyarakat pencari keadilan.

Hakim merupakan pelaku inti yang secara fungsional melaksanakan kekuasaan
kehakiman. Dalam melaksanakan kekuasan kehakiman tersebut, hakim harus memahami
ruang lingkup tugas dan kewajibannya sebagaimana telah diatur dalam perundang-
undangan. Setelah memahami tugas dan kewajibannya selanjutnya hakim harus berupaya
secara profesional dalam menjalankan dan menyelesaikan pekerjaannya.

Ruang lingkup hakim sebagaimana diatur dalam Pasal 1 butir 5 dan 7 Undang-
Undang Nomor 48 Tahun 2009 meliputi Hakim pada Mahkamah Agung dan hakim
pada badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum,
lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Tat a
Usaha Negara dan hakim pada pengadilan khusus yang berada dalam ling- kungan
peradilan tersebut serta hakim pada Mahkamah Konstitusi.

Pada hakikatnya tugas pokok hakim adalah menerima, memeriksa, mengadili,
memutuskan, dan menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Meskipun
demikian tugas dan kewajiban hakim dapat diperinci lebih lanjut dan dapat dibedakan
menjadi beberapa macam yaitu tugas hakim secara normatif16 dan tugas hakim secara
konkret17 dalam mengadili perkara. Dalam memberikan putusan perlu memer- hatikan
faktor yang seharusnya diterapkan secara proporsional yaitu keadilan (gerechtigheit),
kepastian hukumnya (rechtssicherheit) dan kemanfaatannya (zweckmassigkeit).

Dalam rangka melaksanakan tugasnya, seorang hakim melalui metode dan berbekal
peralatan-peralatan dalam kotak kerja (ibarat kotak peralatan kerja yang berisi segala
keperluan kerja) yang dimiliki, hakim harus berperan aktif (melaksanakan judicial activism)
dalam putusan- putusannya dalam rangka mewujudkan keadilan sebagai hukum yang
hidup dalam masyarakat yang berkembang dinamis.

Judicial activism diterjemahkan dengan istilah keaktifan hakim atau keaktifan peradilan.
Judicial activism ini dapat diperuntukkan dan diterapkan dalam berbagai macam proses
peradilan yaitu dalam bidang hukum perdata, hukum pidana, hukum administrasi dan

15 Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum Upaya Mewujudkan Hukum yang Pasti dan Berkeadilan
(Yogyakarta: UII Press, 2012) , hlm. 2.

16 Tugas dan kewajiban pokok hakim dalam bidang peradilan secara normatif diatur dalam UU Nomor 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

17 Ada tiga tindakan secara bertahap yaitu mengonstatir (mengkonstasi), mengkualifisir (mengualifikasi) dan
mengkonstituir (mengkonstitusi).

37

Artikel Varia Peradilan No. 392 Juli 2018

sebagainya dengan variasi kasusnya.18
Judicial activism dapat diartikan sebagai suatu filosofi dari pembuatan putusan peradilan,

di mana para hakim mendasarkan pertimbangan- pertimbangan putusannya terhadap
perkembangan baru atau kebijakan publik yang berkembang. Istilah judicial activism dikenal
dalam doktrin common law Anglo Saxon dan sangat populer dalam sistem ini. Apabila
untuk menyelesaikan suatu sengketa dirasakan bahwa hakim atau pengadilan harus
menggunakan suatu aturan baru atau mengubah suatu aturan yang lama, disitulah hakim
menciptakan hukum (judge made law)19.

Maknadanhakikatjudicialactivismsangatpentinguntukdipahami dan diimplementasikan
oleh hakim peradilan administrasi mengingat ada kekhususan/ karakteristik hukum acara
dalam proses pemeriksaan di Peratun hal ini dikarenakan:
1. Peran hakim yang aktif (sifat dominus litis).

2. Dalam pembuktian proses persidangan, hakim mencari kebenaran materiil bukan
sekadar kebenaran formil.

3. Putusan hakim berlaku dan bersifat erga omnes tidak semata-mata berlaku bagi para
pihak yang beperkara.
Karakteristik kekhususan hukum acara di Peratun tersebut menjadi kondusif untuk

melakukan judicial activism. Selain itu hukum administrasi ( TUN/ pemerintahan) kebanyakan
berkembang melalui putusan- putusan pengadilan (hukum yurisprudensi) dan bukan
hanya melalui doktrin ataupun norma-norma tertulis, kodifikasi dsb. Dalam kondisi dan
sistem hukum yang sedemikian ini, sangat perlu dirasakan adanya judicial activism di
kalangan para hakim untuk mengisi kekosongan hukum dalam menggapai keadilan dalam
masyarakat.

2. Implementasi/Penerapan Judicial Activism Melalui Metode Penemuan
Hukum dalam Praktik dan Tugas Hakim
Dalam sistem yang berlaku di Indonesia20 dikenal adanya metode penemuan

hukum (rechtvinding) sebagai salah satu atau bentuk tehniko yuridik yang dihasilkan oleh
kombinasi antara i lmu pengetahuan dan pengalaman hakim sebagai profesi (knowledge
and experience). Judicial activism dalam proses peradilan mensyaratkan kemampuan
(profesionalitas) hakim dalam memutus perkara, karena untuk mencari dan menemukan
hukum yang dapat memenuhi rasa keadilan, hakim harus menguasai berbagai metode
dan cara menemukan hukum.21

Pada hakikatnya tidak ada peraturan perundang-undangan yang sempurna, pasti
di dalamnya ada kekurangan dan keterbatasan. Tidak ada perundang-undangan yang
lengkap selengkap-lengkapnya atau jelas sejelas-jelasnya. Aturan perundang-undangan
bersifat statis dan rigid (kaku) sedangkan perkembangan manusia selalu meningkat dari
waktu ke waktu. Hal ini sesuai dengan ungkapan “ Het recht hink achter de feiten ann”

18 Paulus Effendi Lotulung, Hukum Tata Usaha Negara dan Kekuasaan (Jakarta: Salemba Humanika,
2013), hlm. 99.

19 Ibid., hlm. 100.
20 Sistem hukum di Indonesia pada umumnya terkena pengaruh sistem hukum civil law (Eropa

Kontinental).
21 Paulus Effendi Lotulung, Makalah dengan judul: Keaktifan Hakim dalam Proses Peradilan: Judicial

Activismdalam Konteks Peradilan TUN, disampaikan pada Rakernas MA dengan jajaran Pengadilan
Tingkat Banding dari 4 ( empat) Peradilan seluruh Indonesia hari Rabu, tanggal 21 September 2011.

38

Artikel Varia Peradilan No. 392 Juli 2018

yaitu hukum tertulis selalu ketinggalan dengan peristiwa- nya.22
Oleh karena itu suatu peristiwa konkret harus diketemukan hukumnya dengan

menjelaskan, menafsirkan atau melengkapi dan menciptakan aturan hukumnya
dilakukan agar hukumnya dapat di- ketemukan. Untuk menemukan hukumnya dalam
suatu peristiwa di- perlukan ilmu bantu berupa metode penemuan hukum. Dalam upaya
menemukan hukumnya terdapat beberapa metode penemuan hukum, yaitu:

a. Metode Interpretasi (Penafsiran)

Metode interpretasi adalah metode untuk menafsirkan terhadap teks perundang-
undangan yang tidak jelas agar perundang-undangan tersebut dapat diterapkan terhadap
peristiwa konkret tertentu. Ajaran interpretasi dalam penemuan hukum ini sudah lama
dikenal yang disebut dengan hermeneutika yuridis.

Penafsiran tidak hanya dilakukan oleh hakim, tetapi merupakan kewajiban hukum
dari hakim. Penafsiran oleh hakim adalah penafsiran dan penjelasan yang harus menuju
kepada penerapan atau tidak mene- rapkan suatu peraturan hukum umum terhadap
pristiwa konkret yang dapat diterima oleh masyarakat. Von Savigny memberi batasan
tentang penafsiran sebagai rekonstruksi pikiran yang tersimpul dalam undang-undang.
Ini bukan metode penafsiran yang dapat digunakan semaunya, tetapi pelbagai kegiatan
yang kesemuanya harus dilaksanakan bersama- an untuk mencapi tujuan, yaitu penafsiran
undang-undang.23

Dengan demikian tugas penting dari hakim ialah menyesuaikan undang-undang
dengan hal-hal nyata di masyarakat. Apabila undang-undang tidak dapat dijalankan
menurut art i katanya, hakim harus menafsirkan. Dengan kata lain apabila undang-
undangnya t idak jelas, hakim wajib menafsirkannya sehingga dapat membuat suatu
keputusan yang adil sesuai dengan maksud hukum yaitu mencapai kepastian hukum.

Sekalipun penafsiran merupakan kewajiban hukum dari hakim, ada beberapa
pembatasan mengenai kemerdekaan hakim untuk menafsirkan undang-undang itu.
Logemann mengatakan bahwa hakim harus tunduk pada kehendak pembuat undang-
undang. Dalam hal kehendak itu t idak dapat dibaca begitu saja dari kata-kata peraturan
perundangan, hakim harus mencarinya dalam sejarah kata-kata tersebut, dalam sistem
undang-undang atau dalam arti kata-kata seperti itu yang dipakai dalam pergaulan
sehari-hari. Hakim wajib mencari kehendak pembuat undang-undang, karena ia t idak
boleh membuat tafsiran yang tidak sesuai dengan kehendak itu. Setiap tafsiran adalah
tafsiran yang dibatasi oleh kehendak pembuat undang-undang. Oleh karena itu hakim
t idak diperkenankan menafsirkan undang-undang secara sewenang-wenang. Hakim
tidak boleh menafsirkan kaidah yang mengikat kecuali hanya penafsiran yang sesuai
dengan maksud pembuat undang-undang saja yang menjadi tafsiran yang tepat. Karena
itu menurut Polak, cara penafsiran ditentukan oleh: materi perundang undangan yang
bersang- kutan, tempat perkara diajukan dan menurut zamannya.24

Dalam ilmu hukum dan praktik peradilan dikenal beberapa macam metode interpretasi

22 Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum Upaya Mewujudkan Hukum yang Pasti dan Berkeadilan
(Yogyakarta: FH UII Press, 2012) , hlm. 104.

23 Ibid., hlm. 109.
24 Ibid., hlm. 110.

39

Artikel Varia Peradilan No. 392 Juli 2018

yang meliputi25: interpretasi subsumptif, interpretasi gramatikal, interpretasi sistematis/
logis, interpretasi historis, interpretasi teleologis/sosiologis, interpretasi komparatif, interpretasi
antisipatif/ futuristis, interpretasi restriktif, interpretasi ekstensif, interpretasi otentik atau secara
resmi, interpretasi interdisipliner, interpretasi multidisipliner, interpretasi dalam perjanjian.

b. Metode Argumentasi
Metode argumentasi disebut juga dengan metode penalaran hukum, redering atau

reasoning. Metode ini dipergunakan apabila undang-undang tidak lengkap, oleh karena itu
untuk melengkapi dipergunakan metode argumentasi.

Menurut Kenneth J. Vandevelde26 menguraikan lima langkah penalaran hukum:

1. Mengidentifikasi sumber hukum yang mungkin, biasanya berupa peraturan
perundang-undangan dan putusan pengadilan (identify the aplicable sources of
law);

2. Menganalisis sumber hukum tersebut untuk menetapkan aturan hukum yang
mungkin dan kebijakan dalam aturan tersebut (analyze the sources of law);

3. Mensintesiskan aturan hukum tersebut ke dalam stuktur yang koheren yakni st
ruktur yang mengelompokkan at uran-at uran khusus di bawah aturan umum
(synthesize the aplicable rul of law into a coherent structure);

4. Menelaah fakta-fakta yang tersedia (research the available facts);

5. Menurut struktur aturan tersebut kepada fakta-fakta untuk me- mastikan hak
atau kewajiban yang timbul dari fakta-fakta itu, dengan menggunakan kebijakan
yang terletak dalam aturan-aturan hukum dalam hal memecahkan kasus-kasus
sulit (apply the structure of rules to the facts).

Sedangkan Shidarta dalam Bambang Sutiyoso27, menyimpulkan ada 6 (enam) langkah
utama penalaran hukum, yaitu:

1. Mengidentifikasi fakta-fakta untuk menghasilkan suatu stuktur kasus yang
sungguh-sungguh diyakini oleh hakim sebagai kasus yang riil terjadi;

2. Menghubungkan (mensubsumsi) struktur kasus tersebut dengan sumber-
sumber hukum yang relevan, sehingga ia dapat menetap- kan perbuatan hukum
dalam peristilahan yuridis (legal term);

3. Menyeleksi sumber hukum dan aturan hukum yang relevan untuk kemudian
mencari tahu kebijakan yang terkandung di dalam aturan hukum itu (the policies
underlying those rules), sehingga dihasilkan suatu struktur (peta) aturan yang
koheren;

4. Menghubungkan struktur aturan dengan struktur kasus;

5. Mencari alternatif-alternatif penyelesaian yang mungkin;

6. Menetapkan pilihan atas salah satu alternatif untuk kemudian diformulasikan
sebagai putusan akhir.

Proses penemuan hukum dengan menggunakan metode argumentasi atau penalaran
hukum dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu: argumentum per analogian (analogi),
argumentum a contrario ( a contrario), rechtvervijning (penyempitan atau pengkonkretan

25 Lihat antara lain: Sudikno Mertokusumo dan A. Pit lo, Bab-Bab tentang Penemuan Hukum (Bandung:
Citra Aditya Bakti, 1993), hlm. 54-67; Bambang Sutiyoso, Op. Cit., hlm. 111-128.

26 Sebagaimana dikutip Shidarta dalam Bambang Sutiyoso, Ibid., hlm. 134.
27 Ibid., hlm. 134-135.

40

Artikel Varia Peradilan No. 392 Juli 2018

hukum), Fiksi hukum.

c. Metode Eksposisi (Konstruksi Hukum)

Di samping metode-metode penemuan hukum tersebut di atas masih dikenal
metode penemuan hukum lain yaitu metode eksposisi. Menurut Bos28 dalam disertasinya
“ Over methode van begripsvorming in het recht” Metode eksposisi atau konstruksi
hukum adalah metode untuk menjelaskan kata-kata atau membentuk pengertian bukan
untuk menjelaskan barang. Metode eksposisi atau konstruksi hukum akan digunakan
oleh hakim pada saat dihadapkan pada situasi adanya kekosongan undang-undang.
Karena pada prinsipnya hakim t idak boleh menolak perkara untuk diselesaikan dengan
dalih hukumnya tidak ada atau belum mengaturnya. Hakim harus terus menggali dan
menemukan hukum yang hidup dan berkembang di tengah-tengah masyarakat.

Adapun tujuan dari konstruksi hukum adalah agar putusan hukum dalam peristiwa
konkret dapat memenuhi tuntutan keadilan dan kemanfaatan bagi pencari keadilan.
Meskipun nilai dari rasa keadilan dan kemanfaatan itu ukurannya sangat relatif. Nilai
adil itu menghendaki terhadap peristiwa-peritiwa hukum yang sama diperlakukan sama,
sedang nilai kemanfaatan itu ukurannya terletak pada kegunaan hukum baik bagi diri pencari
keadilan para penegak hukum, pembuat undang- undang, penyelenggara pemerintah dan
masyarakat luas.29

Sehubungan dengan demikian istilah-istilah hukum, bahasa hukum dan pengertian-
pengertian hukum yang dipelajari selama ini baik di dalam perundangan maupun
di luar perundangan merupakan bagian dari ilmu pengetahuan hukum. Namun ilmu
pengetahuan hukum itu bukanlah ilmu pengetahuan jika berhenti pada pengertiannya
yang lama, istilah-istilah tersebut dapat saja tetap tetapi pengertiannya dapat berubah atau
berkembang. Oleh karena itu hukum bukan hanya me- merlukan uraian sebab akibat
tetapi juga yang penting adalah penafsiran. Penafsiran di sini yaitu penafsiran yang sesuai
dengan kesadaran hukum dan rasa keadilan masyarakat.

Menurut Rudolph Von Jhering30 ada 3 syarat utama untuk melakukan konstruksi
hukum, yaitu: Pertama, konstruksi hukum harus mampu meliput semua bidang
hukum positif. Kedua, dalam pembuatan konstruksi t idak boleh ada pertentangan
logis di dalamnya atau tidak boleh membantah dirinya sendiri. Ketiga, konstruksi itu
mencerminkan faktor keindahan yaitu konstruksi itu bukan merupakan sesuatu yang
dibuat-buat dan konstruksi harus mampu memberi gambaran yang jelas tentang sesuatu
hal.

Metode eksposisi dibagi dua yaitu metode eksposisi verbal dan metode eksposisi yang
tidak verbal. Metode eksposisi verbal dibagi lebih lanjut menjadi verbal prinsipal dan verbal
melengkapi. Sedangkan metode eksposisi yang tidak verbal adalah metode representasi.31

Dalam praktik penemuan hukum dikenal beberapa aliran penemuan hukum32 dengan
karakteristik dan ciri-cirinya masing-masing sesuai dengan perkembangan situasi dan

28 Bos sebagaimana dikut ip Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, ( Yogyakarta:
Liberty, 1996), hlm. 73.

29 Bambang Sutiyoso, Op. Cit., hlm. 146.
30 Sebagaimana dikutif Achmad Ali dalam Bambang Sutiyoso, Ibid.
31 Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Op. Cit., hlm. 73.
32 Lahirnya aliran-aliran penemuan hukum pada dasarnya bertitik tolak pada pandangan mengenai apa

yang merupakan (satu-satunya) sumber hukum. Jadi aliran-aliran itu merupakan aliran- aliran tentang
teori atau ajaran sumber hukum. Lihat Sudikno Mertokusumo. Op. Cit., hlm. 94.

41

Artikel Varia Peradilan No. 392 Juli 2018

kondisi masyarakat. Masing-masing aliran penemuan hukum sebagai berikut:33

1) Aliran Legisme

Pembagian hukum dapat dibedakan antara hukum tertulis dan hukum tidak tertulis.
Lahirnya hukum tertulis tentunya pada saat tatkala orang mulai pandai menulis dan
membaca. Hukum kebiasaan atau hukum t idak tertulis sudah lama dikenal pada saat
orang hidup bermasyarakat.

Sebelum tahun 1800 SM. sebagian besar hukum yang digunakan pada saat itu
adalah hukum kebiasaan. Sedangkan hukum tertulis untuk pertama kalinya dalam sejarah
adalah Undang-Undang Hamurabi pada zaman Kerajaan Babilonia Irak pada sekitar tahun
1950 SM.

Hukum kebiasaan sumbernya adalah kebiasaan sehari-hari yang didasarkan
pada pandangan dan kesadaran orang-orang dalam masyarakat yang bersangkutan
bahwa kebiasaan i tu adalah memang seharusnya ditaati. Sejalan dengan kemajuan
kemasyarakatan dan kenegaraan yang makin lama makin luas, orang mulai merasa
tidak puas dengan hukum yang tidak tertulis.

Sebagai reaksi terhadap ketidakpastian dan ketidakseragaman hukum kebiasaan.
Di Eropa muncul gerakan kodifikasi sekitar abad ke-19 dengan berupaya menuangkan
semua hukum secara lengkap dan sistematis dalam kitab undang-undang. Hukum
kebiasaan sebagai sumber hukum mulai ditinggalkan. Di Prancis pada akhir abad ke-
18 diadakan kodifikasi undang-undang yang dicontoh oleh seluruh Eropa. Di Belanda
kodifikasi hukum dilakukan pada tahun 1838 M. Timbulnya gerakan kodifikasi ini disertai
dengan lahirnya aliran legisme.

Sesuai dengan teori Montequieu ataupun Rousseau, aliran legisme berpendapat
bahwa kedudukan pengadilan adalah pasif. Ia hanya terompet undang-undang, ia hanya
bertugas melakukan sesuatu hal yang konkret dalam peraturan undang-undang dengan jalan
silogisme hukum, secara deduksi yang logis. Pengadilan t idaklah merupakan penentu
(determinant) pembentuk hukum. Satu-satunya adalah badan pembentuk undang-undang
saja. Penganut teori ini antara lain Montequieu, Rousseau, Robbespierre, Fenenet,
Rudolf van Jhering, G. Jllineck. Carre de Malberg, H. Nawiastski dan Hans Kelsen.

2) Mazhab Historis

Dalam abad ke-20 disadari bahwa undang-undang tidaklah lengkap. Nilai-nilai yang
dituangkan dalam undang-undang tidak lagi sesuai dengan perkembangan kehidupan
bersama. Ternyata terdapat kekosongan-kekosongan dan ketidakjelasan dalam undang-
undang. Perkembangan ini di Nederland dimulai pada akhir abad ke-19. Judge made
law dan hukum kebiasaan dapat melengkapi undang-undang. Sejak itu pula hukum
kebiasaan dan yurisprudensi dianggap sebagai unsur-unsur sistem hukum.

Berlawanan dengan pandangan legisme yaitu bahwa undang- undang adalah
satu-satunya sumber hukum adalah pandangan Mazhab Historis yang dipelopori oleh
Von Savigny (1779-1861). Mazhab Historis berpendapat bahwa hukum itu ditentukan
secara historis, hukum tum- buh dari kesadaran hukum bangsa di suatu tempat dan
waktu tertentu (Das Recht Wird nicht gemacht, es ist und wird mit dem volke). Kesadaran
hukum (volkgeist) yang paling murni terdapat dalam kebiasaan. Peraturan hukum terutama

33 Lihat Sudikno Mertokusumo, Bab-Bab tentang Penemuan Hukum, hlm. 9, Sudikno Mertokusumo,
Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, hlm. 94, Bambang Sutiyoso, 2012, Metode Penemuan Hukum, hlm.
75.

42

Artikel Varia Peradilan No. 392 Juli 2018

merupakan pencerminan keyakinan hukum dan praktik-praktik yang terdapat dalam
kehidupan bersama dan tidak ditetapkan dari atas. Para yuris harus mengembangkan dan
mensistemati- sasi keyakinan dan praktik-praktik ini.

Von Savigny berpendapat bahwa hukum adalah hukum kebiasaan yang tidak
cocok dengan kehidupan modern. Sebelum mengodifikasikan hukum harus mengadakan
penelitian yang mendalam lebih dahulu. Setelah itu barulah dapat diadakan kodifikasi.

3) Begriffsjurisprudenz

Ketidakmampuan pembentuk undang-undang meremajakan undang-undang pada
waktunya merupakan alasan untuk memberi peran aktif kepada hakim. Dari hakim
diharapkan dapat menyesuaikan undang-undang pada keadaan baru. Yurisprudensi
mulai memperoleh peranan sebagai sumber hukum. Demikian pula hukum kebiasaan
memperoleh kembali perannya sebagai sumber hukum. Sebaliknya para sarjana mulai
bersikap kritis terhadap undang-undang.

Dalam pertengahan abad ke-19 lahirlah aliran yang dipelopori oleh Rudolf von
Jhering (1818-1890) yang menekankan pada sistematik hukum. Setiap putusan baru
dari hakim harus sesuai dengan sistem hukum. Berdasarkan kesatuan yang dibentuk
oleh sistem hukum, maka setiap ketentuan undang-undang harus dijelaskan dalam
hubungannya dengan ketentuan undang-undang yang lain sehingga ketentuan-ketentuan
undang-undang itu merupakan satu kesatuan yang utuh. Menurut aliran ini yang ideal
ialah apabila sistem yang ada itu berbentuk piramida dengan pada puncaknya suatu
asas utama. Dari si tu dapat dibuat pengertian-pengertian baru (Begriff). Dikembangkanlah
sistem asas- asas dan pengertian-pengertian umum yang digunakan untuk mengkaji undang-
undang. Oleh karena itu teori ini disebut Begriffsjurisprudenz, suatu nama ynag diberikan
Von Jhering pada aliran ini.

4) Interessenjurisprudenz
Sebagai reaksi terhadap Begriffjurisprudenz lahirlah pada abad ke- 19 di Jerman

Interessejurisprudenz yang dipelopori oleh Rudolf von Jhering ( 1818-1892) suat u al
i ran yang meni t i kberat kan pada kepentingan-kepentingan (interessen) yang difiksikan.
Oleh karena itu aliran ini disebut interessejurisprudenz. Interessenjurisprudenz ini meng-
alami masa jayanya sebagai aliran ilmu hukum pada dasawarsa pertama abad ke-20 di
Jerman.

Adapun dasar pemikiran atau pandangan aliran-aliran ini di antaranya adalah:
a. Hukum merupakan resultatante pertentangan kepentingan yang berlawanan dan

berbenturan satu sama lain;

b. Peraturan hukum tidak boleh dilihat oleh hakim secara formil logika belaka tetapi harus
dinilai dari tujuannya;

c. Sistematisasi tidak boleh dibesar-besarkan, sehingga mengarah pada tujuan yang
terdapat di belakang sistem dan merealisasi idee keadilan dan keusiaan yang mengenal
waktu;

d. Tujuan hukum pada dasarnya adalah untuk melindungi, memenuhi kepentingan atau
kebutuhan hidup yang nyata;

e. Hakim harus menyesuaikan dengan ukuran nilai kepentingan yang dimaksudkan oleh
pembentuk undang-undang.

43

Artikel Varia Peradilan No. 392 Juli 2018

5) Sociologische Revhtsschule
Aliran ini berpandangan bahwa untuk menemukan hukumnya, hakim harus

mencarinya pada kebiasaan-kebiasaan dalam masyarakat. Aliran ini dipelopori antara lain
oleh Hamaker dan Hymans.

6) Freirechbewegung
Reaksi yang tajam terhadap legisme baru muncul sekitar 1900 di Jerman. Reaksi itu

dimulai oleh Kantorowicz (1877-1940) yang dengan nama samaran Gnaeus Flavius
dalam tahun 1906 menulis Der Kampf um die Rechtswisswnschaft. Aliran baru ini disebutnya
freirechtlich (bebas) dan dari si tulah t imbul ist i lah Freirechtbewegung. Freirechbewegung
merupakan ajaran penemuan hukum bebas, yaitu penemuan hukum yang tidak secara
ketat terikat pada undang-undang tetapi lebih me- nekankan pada kepatutan.

Pada prinsipnya pandangan atau dasar pemikiran aliran ini sebagai berikut:

a. Kodifikasi itu tidak mungkin lengkap, tidak seluruh hukum terdapat dalam undang-
undang, karena di samping undang-undang masih terdapat sumber-sumber lain untuk
menemukan hukumnya;

b. Tiap pemikiran yang melihat hakim sebagai subsumptie automaat

c. dianggap sebagai sesuatu yang tidak nyata;
d. Peran undang-undang adalah subordinatie yaitu undang-undang bukanlah tujuan bagi

hakim tetapi sekadar sebagai sarana. Hakim t idak hanya mengabdi kepada fungsi
kepastian hukum tetapi mem- punyai tugas sendiri dalam merealisasi keadilan. Dalam
hal undang-undang bertentangan dengan rasa kedilan, hakim berwenang menyimpangi
undang-undang tersebut. Hakim tidak semata-mata ber- peran sebagai penafsir undang-
undang tetapi juga sebagai pencipta hukum.

7) Open System Van Het Recht
Hukum sebagai suatu sistem terbuka (open system van het recht) dikemukakan oleh

Paul Scholten. Konsep tersebut merupakan reaksi terhadap pendapat, bahwa hukum i
tu merupakan kesatuan yang tertutup secara logis. Ajaran ini hendak mempertahankan
keutuhan dari sistem hukum sebagai suatu sistem perundang-undangan dengan
menjaga kemurnian kualifikasinya sebagai suatu sistem hukum tertulis. Sistem itu t idak
boleh berubah dan diubah selama pembuat undang- undang t idak mengubahnya. Segi
positif dari ajaran yang demikian itu terletak pada nilai kepastiannya yang besar dan segi
negatifnya terletak pada sifatnya yang statis.

Bagi Scholten, hukum merupakan satu sistem yang semua aturan saling berkaitan.
Aturan-aturan itu dapat disusun secara sistematik dan untuk yang bersifat khusus dapat
dicarikan aturan-aturan umumnya. Hakim bekerja atas dasar penilaian dan hasil dari
penilaian itu menciptakan sesuatu yang baru. Di samping itu sistem hukum itu logis dan
t idak tertutup. Sistem itu juga t idak statis karena sistem hukum itu membutuhkan put
usan-put usan atau penetapan-penetapan yang senantiasa menambah luasnya sistem
hukum tersebut. Oleh karena itu penilaian hakim itu dilakukan dalam wujud interpretasi
dan konstruksi.

Konsep penemuan hukum oleh hakim terutama dipelopori oleh aliran sistem
terbukanya hukum (opensystem vanhet recht) Paul Scholten, di mana ia mengatakan:

a. Hukum bukan suatu sistem hukum tertulis yang tidak boleh diubah sebelum badan
pembuat undang-undang mengubahnya. Artinya undang-undang dapat saja diubah
maknanya, meskipun tidak diubah bunyi kata-katanya untuk menyesuaikannya dengan

44

Artikel Varia Peradilan No. 392 Juli 2018

fakta konkret yang ada.

b. Keterbukaan sistem hukum berhubungan dengan persoalan kekosongan dalam hukum,
di mana ada dua macam kekosongan hukum, yaitu:

1. Kekosongan dalam hukum yaitu manakala hakim mengatakan bahwa
ia menjumpai suatu kekosongan, karena tidak tahu bagaimana ia harus
memutuskan;

2. Kekosongan dalam perundang-undangan, yaitu yang terjadi manakala dengan
konstruksi dan penalaran analogipun problemnya tidak terpecahkan sehingga
hakim harus mengisi ke- kosongan itu seperti ia berada pada kedudukan
pembuat undang-undang dan memutuskan sebagaimana kiranya pembuat
undang- undang itu akan memberikan keputusannya dalam menghadapi kasus
seperti itu.

Scholten menyarankan agar pikiran tentang kekosongan dalam hukum sebagaimana
tersebut di atas ditinggalkan saja dan tidak membuat perbedaan lagi antara penerapan
hukum oleh hakim dan pembuatan hukum oleh pembuat undang-undang. Di dalam
penerapan hukum juga dijumpai masalah penilaian dan t idak hanya menangani
pengkotak-katikan pengertian-pengertian logis belaka. Dalam penerapan hukum selalu
dijumpai adanya hal-hal baru yang ditambahkan. Keputusan yang dilakukan oleh hakim
pada akhirnya merupakan suatu lompatan dari penalaran secara logis pada suatu penilaian.

Alasan lain yang menjadi dasar dari konsep Scholten adalah bahwa hukum itu
merupakan suatu kesatuan norma-norma. Norma-norma itu merupakan peristiwa
sejarah, oleh karena ditetapkan oleh badan-badan dan kekuatan-kekuatan yang konkret
terdapat di dalam masyarakat pada suatu waktu tertentu, seperti pembuat undang-
undang, kebiasaan bahkan juga tingkah laku hukum dari masyarakat.

Berdasarkan alasan-alasan itulah Scholten mengemukakan pendapatnya bahwa
hukum itu merupakan sistem yang terbuka yang t idak hanya melihat ke belakang pada
perundang-undangan yang ada, tetapi juga memandang ke depan dengan memikirkan
konsekuensi-konsekuensi suatu keputusan hukum bagi masyarakat yang diaturnya.

8) Penemuan hukum modern
Penemuan hukum modern lahir sesudah Perang Dunia II, di bawah pengaruh

eksistensialisme dan merupakan kritik terhadap pandangan hakim sebagai subsumptie
automaat.

Dasar pemikiran atau pandangan ajaran ini di antaranya adalah:
a. Positivisme undang-undang/legisme sebagai model subsumptie automaat tidaklah dapat

dipertahankan;

b. Yang menjadi t it ik tolak bukan pada sistem perundang-undangan tetapi masalah
kemasyarakatan konkret yang harus dipecahkan;

c. Tujuan pembentuk undang-undang dapat digeser, dikoreksi tetapi t idak boleh diabaikan;

d. Penemuan hukum modern berpendirian bahwa atas satu pertanyaan hukum dapat
dipertahankan pelbagai jawaban dalam sistem yang sama;

e. Tujuan hukum adalah untuk melindungi kepentingan manusia maka dalam menemukan
harus diperhatikan pula perkembangan masya- rakat dan perkembangan teknologi;

f. Metode penafsiran yang digunakan terutama teleogis, yang lebih memerhatikan tujuan
dari undang-undang dari pada bunyi kata- katanya saja.

45

Artikel Varia Peradilan No. 392 Juli 2018

Sehubungan dengan hal tersebut di atas maka pandangan penemuan hukum modern ini
dapat digolongkan dalam pandangan “gesystematiseerd probleemdenken” atau pandangan
yang problem oriented dari ajaran freirechtbewegung, di mana pencari keadilan lebih
diutamakan.

9) Aliran Studi Hukum Kritis (Critical Legal Studies)
Di penghujung abad ke-20 lahirlah suatu aliran dalam ilmu hukum yang disebut

dengan critikal legal studies. Sesuai dengan namanya maka aliran ini mengkritik secara
konsepsional teori hukum tradisional yang berlaku pada saat ini. Aliran critical legal studies
ini lahir di Amerika Serikat yang dibidani oleh sejumlah Profesor hukum yang berhaluan
post modern34 dari universitas terkemuka antara lain Universitas Havard pada akhir dekade
1970-an. Jadi yang dikritik sebenarnya adalah hukum Amerika tersebut.

Critical Legal Studies merupakan suatu gerakan oleh akademisi hukum beraliran
kiri (leftist)35 dengan orientasi yang sama dengan orientasi politik “neo marxist” tetapi
kemudian dikembangkan juga oleh para praktisi hukum. Gerakan ini lahir karena
pembangkangan atas ketidakpuasan terhadap teori dan praktik hukum yang ada pada
dekade 1970-an, khususnya terhadap teori dan praktik hukum dalam bidang- bidang
sebagai berikut:

1. Terhadap pendidikan hukum;

2. Pengaruh politik yang sangat kuat terhadap dunia hukum;

3. Kegagalan peran hukum dalam menjawab permasalahan yang ada.
Gerakan Critical Legal Studies ini mulai eksis dalam dekade 1970- an yang

merupakan hasil dari suatu konfederasi tahun 1977 di Amerika Serikat. Pada saat hampir
bersamaan atau beberapa waktu setelah itu, kelompok-kelompok ahli hukum dengan
paham yang serupa walaupun metode dan fokus berbeda, juga lahir secara terpisah dan
independen di beberapa negara lain seperti Jerman, Prancis, dan Inggris.

Critical Legal Studies di Inggris lahir pada tahun 1984 dengan adanya konferensi
yang membicarakan pendekatan yang kritis terhadap hukum, mengingat kesenjangan
yang besar antara hukum dalam teori (law in books) dengan hukum dalam kenyataan
( law in action) dan kegagalan dari hukum dalam merespons masalah-masalah yang
terjadi dalam masyarakat. Konferensi tersebut dianggap sebagai peletakan batu pertama
bagi lahirnya gerakan Critical Legal Studies yang dilakukan oleh suatu organizing commitee
yang beranggotakan para ahli hukum, yaitu: Abel, Heller, Hoewitz, Kennedy, Macaulay,
Rosenblatt, Trubek, Tushnet, dan Unger.

Gerakan Critical Legal Studies ini lahir dilatarbelakangi oleh kultur politik yang serba
radikal dalam dekade 1960-an. Meskipun gerakan- gerakan tersebut bervariasi dalam
konsep, fokus, dan metode yang digunakan, dalam gerakan ini mengandung kesamaan-
kesamaan tertentu, terutama dalam hal protes terhadap tradisi dominan dari hukum yang
ortodoks dalam bentuk tradisi hukum tertulis yang kaku (black letter law). Akan tetapi di
lain pihak pada waktu yang bersamaan, gerakan ini juga mengakui keterbatasan dari
pendekatan socio legal terhadap hukum yang mencoba menggunakan bantuan ilmu-
ilmu lain dalam menelaah hukum, meskipun pendekatan socio legal tersebut sebenarnya

34 Roberto M. Unger, Law and Modern Society: Towarda Critismof social Theory, Terjemahan: Dariyanto dan
Dertan Sri Widowatie, 2010, Teori Hukum Kritis: Posisi Hukum dalam Masyarakat Modern.

35 Roberto M. Unger, The Critical Legal Studies Movement, Terjemahan: Narulita Yusron, 2012, Gerakan
Studi Hukum Kritis, Bandung: Nusa Media.

46


Click to View FlipBook Version