The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by yulianaeni81, 2021-09-09 21:33:19

Antologi Puisi "kugapai Cita dan Cintaku di Sepirel"

SMA pangudi Luhur Sedayu

Harapan agar dunia lekas membaik perlahan pudar
Biarkan aku terlelap dalam tidur
Dan larut dalam mimpi
Kembali ke masa masa indah itu
Dengan harapan dunia kembali membaik
Tapi entahlah
Sampai kapan akan seperti ini
Untuk saat ini
Tidak ada yang lebih baik dari masa lalu

Tabu…
Gemerlap badai petir di hatiku
Dingin yang teramat membeku
Mengeras tersapu kalbu
Rasa yang sudah tiada rasa
Tangis pilu telah terlewatkan
Pukulan dan bantingan tak bernada
Teriakan dan amarah tak bersuara
Senyuman bertimpuh darah
Bibir kering terpecah
Hidung merah tercacah
Mata memandang seolah tertatah
Bukan sebuah keinginan!
Bukan sebuah anugrah!
Tetapi mengapa harus terjadi?
Takdir yang tak terhindar

Teruntuk rindu....
Aku sudah mulai bosan menunggumu
Biarlah angin yang membawa kabar tentangmu
Biarlah ombak yang bercerita keadaanmu

Hamparan warna jingga mulai menyapa
Suara bising kota mulai menyerbu telinga
Di antara lembayung senja, kuselipkan sebuah kata
Sebelum semuanya sirna

Rindu.....
Apa kau mendengarku?
Malam ini begitu syahdu
Dengan salju yang mulai menusuk tulangku

Malam yang begitu kelam
Tak sama, berjuta mutiara meneranginya
Sebuah berlian tak kalah untuk bergaya
Seandainya begitu, hidupku sempurna

Dan kini, semua cerita manis tentangmu
Mulai terkikis ombak yang menghantamku
Mulai memudar seiring bergantinya waktu
Mulai menghilang seirama dengan lagu

Sukma ini seakan menolak
Tetapi hati terus bertindak
Tak bisakah kau runtuhkan sedikit egomu?
Setidaknya aku tak berharap banyak tentangmu

Pulanglah wahai rindu yang terpendam
Terpendam dalam melodi tak beralur
Alur yang berbicara tentang perpisahan
Perpisahan yang membawamu pergi tanpa menepi

Aku tak berpikir akan melihatmu ada di sini malam ini
Tapi ada sesuatu yang bagus tentang itu
Sejak setahun kau sudah mengembalikan cintaku
Dan saya bertanya-tanya bagaimana dirimu tanpa itu

Dirimu memeluk seseorang yang dekat
Seharusnya aku merasa sakit, tapi entah kenapa tidak
Aku tahu itulah caraku akhirnya membiarkanmu pergi

Aku tak berpikir akan senang melihatmu dengan,
seseorang yang baru
Tak pernah terpikir akan senang melihatmu melakukan,
hal-hal yang kita lakukan dulu
Dirimu lebih bahagia menjadi diri sendiri

Menikmati semua akhir pekanku dengan berpura-pura baik-baik
saja
Hanya untuk mengeluarkanmu dari pikiranku untuk malam
Aku dulu berharap bisa menemukan cinta yang satu itu
Tapi senang melihatmu dicintai, sebut saja itu impas

dulu kau sangat indah dan terjaga
kau kuanggap seperti surga kehidupan
kau adalah tempat di mana kami berada
luasmu tak bisa kuhitung dengan jari tanganku

bumi kau adalah detak jantung dunia
ketika jantungmu tidak berdenyut
maka kami merasakan betapa terlukanya kau
tahun berganti semakin lama kau semakin menua

bumi saat ini seluruh dunia dilanda virus
semakin hari semakin memburuk
kini semua orang menangis melihat keadaanmu saat ini
perubahanmu semakin hari membuat menangis

bumi lukamu tidak bisa kami lihat dengan jelas
kami di sini mengkhawatirkan keadaanmu
bumi kami berjanji akan merawatmu lebih baik lagi
lukamu akan kami obati bersama

bumi sebentar lagi tepat 1 tahun kami merasakan kesedihan
penderitaan yang memakan banyak korban
kami seluruh dunia hanya bisa berdoa memohon kesembuhan
satu tujuan kami berdoa untuk seluruh dunia

bumi negeriku kembali bersedih
tengah diselimuti penderitaan
korban berjatuhan di mana-mana
bumi lekas sembuh agar kami bisa melihat keindahanmu lagi

Sangkala mencipta wanita
dengan sebuah intuisi dan ilusi
Dengan segenap kekuatan
dia datang sebagai peneduh yang tangguh

Wanita itu adalah
pemilik senyum dan tangis
Wanita itu adalah
peri bersenyum seri

Kala itu aku terlahir
dari rahimnya
bertaruh nyawa
peluh dan pekik menemani

Langit perasaku menyimpul
ujarnya,
“tangannya hebat,
peluknya erat,
kasihnya lekat”

Kamu…
Bak semilir angin yang berembus pelan
Tiada henti untuk membelai kulitku
Kamu tak terlihat namun dapat kurasakan
Kehadiranmu seakan menjadi anganku
Angin, padamu kubisikkan rinduku
Rindu akan sosok nyatamu di sampingku
Derai tawa masih membekas indah
Membuatku candu akan hadirmu
Perlahan kamu lenyap dari jarak pandangku
Tangan yang dulu menjamahmu kini tak kurasakan lagi
Tak mampu tuk meraihmu
Sekeras apapun ‘ku berusaha, nihil
Jarak semakin memisahkan raga kita
Mungkinkah kau menggenggam tanganku?
Membawa ragaku yang rapuh ini berada di sampingmu
Namun, angin menghempasmu semakin jauh
Semesta seolah menolak adanya kita
Angin, bisakah rinduku tersampaikan?
Hariku terasa hampa tanpa adanya dirimu
Relung kesepian nan sunyi
Bisakah aku memintamu kembali?
Angin, kamu membawa kesejukan
Namun rasa rindu ini terlalu sesak
Dia menghimpitku dalam tebing rindu tak terbalas

Guntur menyapu langit membeku
Merakit kalbu menangis pilu
Tak dirasa tak dibaca
Bersama angan lewati dirgantara

Tak sepantasnya…

Memang tak mudah tuk dilakukan
Tapi angan tak dapat diabaikan

Ku berdiri terpaku
Menatap karyamu
Bersama angin dan debu
Mengenang asa telah berlalu

Berlalu melewati abu
Berjalan menuju pelu
Menari membawa abu
Tuk jadi hitam kelabu

Kala itu...
Senyumanmu masih kulihat
Nampak jelas menghiasi rupamu
Tanganmu masih kugapai
Kaitan jari itu belum terlepas
Pundakmu masih kusandar

Kini jauh di sana
Kita saling menjauhi dan menyendiri
Pamit lalu pergi
Lagak seperti orang hilang
Dan akhirnya...
Kita hanya bisa saling menatap
Jauh,
Resah dan gelisah
Tatapan lurus seakan isyarat terbelenggu
Oleh waktu dan waktu.

Rasanya baru kemarin mengenalmu
Rasanya baru kemarin bertemu denganmu
Hai, apa kabar di sana? Baik-baik ya
Tetap berjuang semua impianmu
Jadilah penerang masa depan buat keluarga
Terutama kedua orang tua. Ibu dan ayah.
Aku di sini tetap mendukungmu dalam doaku
Jujurku katakan, aku rindu, dengan awal perkenalan dan
Hingga akrab hubungan
Tak mudah rasanya, tak bisa melawan takdir
Ingin pantang menyerah, tapi perjalanan sudah jauh
Binggung harus bagaimana, tapi biarlah Tuhan
Yang menentukan mau seperti apa, tetaplah berjuang
Kobarkanlah semangat dan tunjukkanlah kepada dunia
Bahwa kamu bisa menjadi yang terbaik dari apa yang bisa
Kamu berikan
Aku tunggu kedatanganmu selanjutnya, semoga
Tulisan-tulisan bisa menemanimu di saat sepi

Janji itu...
Hanyalah sebuah kata yang terucap
Tapi tak lagi nyata
Janji...
Hanyalah ilusi yang tak lagi terbukti
Yang hanya menyisakan luka
Yang tak kunjung pudar
Janji...
Sebuah kata yang selalu memberi harapan
Tapi semua itu sirna
Diterkam oleh angin yang membawamu pergi tanpa sebuah alasan
Tapi mengapa kau masih diharapkan
Janji hanyalah ekspetasi yang terlalu tinggi
Dan membuatmu dijatuhkan oleh realita yang terlalu menyakitkan

Awan kelabu menyelimuti tangisan sang cakrawala
Aku tergeletak di tengah kerumunan manusia
Bagai barang usang yang tak dihargai
Hingga terlihat menusuk bola mataku
Pasukan pemuda menghampiri lengkap dengan kostum andalannya
Uluran tangannya membangkitkanku dari virus yang menerkam
Kupandangi kebahagiaan di raut para pasien
Tak kusadari pula terukir senyum di wajahku

Sebelum aku menyeberangi hamparan samudra nan indah
Kapal terbang tak tentu arah
Aku ketakutan
Tanpa aba-aba
Aku tergeletak tanpa daya di ruang asing
Bagai sapaan yang hadir sesaat sebelum kata perpisahan terucap
Aku tak bisa kembali

Aku di mana?
Cahaya terang menyinariku
Bagai lampu sorot yang tepat menyorot mataku
Kupandang sekelilingku, kusapa sekelilingku
Aku bagaikan angin
Manusia merasakan aku ada namun, mereka tak melihatku

Apa yang terjadi?
Kupandang manusia menghindari terjangan ombak
Kupandangi manusia menyelamatkan diri di tengah guncangan
bumi nan hebat
Tak tinggal diam, gunung pun ikut menyerukan amarahnya
Lava mendidih menyembur dari perut bumi
Manusia diam, manusia terpaku menatap kemurkaan sang semesta

Suara tangisan pecah memenuhi rongga telingaku
Suasana ketakutan ikut menyelimuti atmosfer kehidupanku

Wahai manusia...
Kita tidak baik-baik saja
Ingatlah tak ada kata terlambat di dunia ini
Benahilah dirimu, jagalah sikapmu dan tutur katamu
Buanglah ego dan tamakmu
Gunakan payungmu bersama-Nya
Karena kita hanya manusia lemah

Tak pernah di benak ini terbayang
Akan terjadi suatu masa yang mengerikan
Bagai singa yang mengaum mencari korban
Kengerian yang tak pernah terpikirkan

Dunia ini tengah berziarah dan sampai di suatu tahap
Di mana semua orang diberikan penyuluhan bagai kampanye
Yang kadang terlalu banyak omong namun kosong
Kadang memerintahkan namun tak mau meneladankan

Terlalu banyak orang belajar ilmu ke-Tuhan-an
Namun menutup telinga kemanusiaan
Lantas apa, Sang Khalik mengirimkan wabah ini
Tak lain hanya untuk membuka relung hati dan budi

Orang bergelimpangan, mayat tak terurus
Bagai kengerian di Padang Kurusetra
Ini semua ada tujuannya, wahai anak manusia
Yang tersirat bukan tersurat dalam peristiwa
Ooo…. Sukma Gung
S’moga kesombongan yang menjulang bagai gunung
S’moga kami hancurkannya
Agar dunia senantiasa aman dan sentausa bebas marabahaya
Supaya terbuka mata dan telinga

Inilah Madah di Tengah Wabah

Mentari pagi bersinar
Sinarnya memancarkan ke sudut desa kecil
Kicauan burung bersautan
Daun-daun diselimuti embun pagi
Pagi yang penuh kehangatan
Menyelimuti desa kecil kami
Para petani bergegas ke ladang
Membawa serantang nasi
Desa yang padat penghuni
Di sudut desa banyak ladang atau kebun
Terdapat banyak anak kecil berlarian di tengah desa
Suara azan tiba, para warga bergegas ke masjid

Bak ombak menerpa air di lautan begitu kuat,
Seperti itulah kau datang secara tiba-tiba,
Menghadirkan dirimu dalam kehidupanku,
Bak kata datang tanpa diundang.

Kita hanya bertatap muka,
Dan tidak pernah juga kita saling berbicara,
Seperti ada sesuatu yang membentangi kau dan aku,
Untuk saling berbicara langsung.

Masa berlalu tanpa disadari,
Semua akan berubah,
Tanpa disengajakan oleh perasaan ataupun keadaan.
Iya, pasti ada sesuatu yang diprioritaskan,
Dan ada juga yang merasa terserah dengan semuanya.

Kadang suatu penyesalan memang selalu datang terlambat,
Tapi harus menghadapi semua itu.
Selalu banyak cerita yang ingin diucapkan,
Lewat sebuah manjaanmu yang melebih.

Kenangan pahit dan manis,
Begitu kita rasanya lewat zaman yang sudah menjadi modern ini.
Perasaan manusiawi pun timbul,
Secara tiba-tiba yang harus dipikirkan,
Karena kamu dan aku adalah sebatas teman.

Tak ubahnya temaram gerogoti langit jingga
Ujud yang lama dinanti justru beri sebongkah frustasi
Anggaplah andam karam sudah dilahap anala
Nan congkak mengoyakkan setumpuk sanubari
Pun aku memilih tuk diam tanpa harap
Ucapku bahkan tak ingin lagi berbahana
Aku hanya termangu di antara guguran biji ratap
“Nestapa, agaknya kali ini memang waktu kita tuk berjumpa”
Isyarat guruh empat detik lalu, paksa hujan iringi bulir beningku
Nanar, pikiranku menyelisik raga yang masih terpaku
Ibarat sungai melata, memukul bebatuan yang diam
Samar kudengar bisik batinku, menghantam
Entah, aku tak yakin yang ia katakan
Namun pilau diri kupaksa putar balik pelan-pelan
Akan kucoba cari si perusak angan
Nanti, mungkin saja kutemukan
Dua puluh menit
Ini yang kudapat, pahit
Kali kedua batinku berbisik, “Kau yang berulah”
Aduh, sontak saja sadarku terperangah
Serupa permata miskin asahan
Alangkah miris, upayaku melarat
Ya Tuhan, daripada banyak keringat
Anak-Mu ini banyak harap kejatuhan bulan

Aku berdiri di depannya
Cermin itu sedang membingkai diriku
Terlihat mata sayu penuh beban
Pikiranku mulai sesak
Apakah standar yang kutetapkan begitu tinggi?
Sampai-sampai sangat sulit bagiku meraihnya
Menyatukannya menjadi salah satu bagianku

Aku selalu bersembunyi
Di balik topeng yang kubuat sendiri
Topeng yang menutup bagian rapuhku
Sehingga mereka melihatku begitu sempurna
Entah mengapa,
Sulit membuatku mencintai diri sendiri
Padahal begitu mudah melucutkan cinta bagi insan lain
Sangat mudah untuk menanggalkannya

“Aku mencintai diriku”
Mudah diucapkan bukan?
Bagaimana jika diterapkan dan dibuktikan?
Aku merasa itu adalah perihal yang sulit
Ini semua adalah bagian awal
Hingga semuanya akan tertutup oleh bagian akhir

Perlahan aku mulai menapaki jalanku
Berusaha mengendalikan perasaan cinta bagi diriku sendiri
Aku yakin sanggup
Karena ini adalah aku
Segera akan kutunjukkan yang sebenarnya
Tentang apa yang dinamakan mencintai diri sendiri

Aku punya banyak alasan
Alasan untuk menjahit luka awal
Yang akan berakhir dengan bekas luka hitam
Sebagai bukti perjuangan dari mencintai diriku sendiri
Karena itu,
Aku yang dulu, aku yang sekarang, dan aku yang akan datang
Itu semua adalah aku

malaikat ini bukan aku
sesungguhnya,
dan aku sesungguhnya
nan aksa dari malaikat
yang kalian eluh-eluhkan namanya.
aku datang dari tanah
yang terbakar suar dan
lidah yang terbelah dua,
juga wanita yang sumarah dijambak
rambutnya dan disiksa.
tempatku bukan surga,
dulu dan nantinya.
aku manusia yang datang
dari kabut hitam,
yang membawa lebih banyak
bencana daripada bahagia.
aku terdayuh pun tak berguna,

neraka tetap satu-satunya
tempatku bisa merasa
seperti di surga.
layaknya jiwa yang ternoda,
hanya seorang yang candu akan dosa.
namun tetaplah takut,
kehilangan manusia dengan
rasa dan jiwa sepertimu.

kala daunku gugur diterpa angin bertebaran,
airku surut kekeringan,
dan bangunanku roboh sebab badai mengalir berdatangan, saat
itulah Tuhan laksana tempat perlindungan.
kala sinarku redup dengan menyembah nama-Mu-lah yang dapat
sinari kegelapan dalam hatiku.
lilin-Mu-lah yang dapat sinari mendungnya hatiku.

Tuhan
biarlah manusia lain datang dan berpergian
asal janganlah Engkau yang meninggalkan

Rintik hujan hari ini berbeda
Aku tak mampu melihat
Bayang-bayangmu,
Aku tak mampu merasakan indahnya
Pertemuan-pertemuan di kala kita masih bersama.

Menatap langit malam yang dulunya
Indah, kini terasa hambar.
Menatap indurasmi yang dulunya indah,
Kini terasa sesak,
Menatap lintang di awan-awan yang
Dulunya indah, kini terasa pilu

Ingin sekali aku merasakan eratnya dekapanmu,
Ingin sekali aku mendengar suara indahnya suaramu,
Ingin sekali aku dapat menatap wajahmu,
Walau aku tahu, ragamu tak mungkin lagi bersamaku.

Selamat tinggal,
Perihal luka dan perih, biar aku yang merasakannya.

Sepasang insan saling tatap
Di indahnya malam purnama
Berboncengan bagai sepasang kekasih
Namun belum

Itu dulu
Sebelum datangnya petaka
Kisah hebat yang dialami si gadis senja
Kini sirna
Sekarang sang gadis berkalut dalam kabut
Pikirannya kalut
Pintu hati kembali tertutup
Masih menunggu kepulangan si dia
Meski mustahil
Kini si gadis senja belajar melepas
Saling berpura-pura menjadi asing
Mungkin satu-satunya jalan keluar yang tersisa

Pergilah
Tugasku sudah usai
Pelangimu telah datang

Kau terlalu tinggi di atas langit
Kau terlalu jauh di ujung hari
Kau terlalu dalam di dasar lautan
Kau terlalu maya untuk dinyatakan

Kau hanya maya!
Kau tipuan mata!
Tapi seluruh insan tampak suka
Ingin rasanya kau nyata
Tapi sayang
Kau hanyalah fatamorgana

Ibu..
Orang yang pertama kukenal
Kasih sayangmu yang begitu besar,
Berada dalam diri engkau

Ketika aku melakukan kesalahan
Ibu yang menegurku
Ketika aku dalam masalah
Ibu yang menguatkanku
Begitu kuatnya dirimu
Tak ada kata mengeluh
Dalam membesarkan buah hati
Yang engkau sangat kasihi
Engkau menghukumku dengan nasehatmu
Agar kelak aku menjadi anak,
Yang baik untuk masa depanmu
Maafkan aku Ibu,
Jika aku selalu melukai hatimu
Terima kasih Ibu
Atas semua pengorbananmu
Dan semua yang engkau berikan
Aku sayang padamu

Derasnya hujanku
Terus mengalir......
Di wajah putihku
Ternodai oleh air......

Seakan duniaku hancur...
Seakan duniaku tenggelam...
Seandainya cahaya telah hancur
Seakan mengobati
Hati ternodai ini....

Ternodai kegelapan jahat...
Ternodai kehidupan duniawi..
Melumpuhkan sekejap kehidupan
Kebahagian hilang sekejap.....

Kemalangan mengantikan kabahagian..
Kegelapan memakan cahaya
Begitu saja....
Mendapatkan sebuah izin
Belum tersampaikan olehku.....

Malam itu..
Kupandangi seekor penyu kecil
Berjalan perlahan, mulai menyapa ombak
Penyu kecil ragu
Berhenti di antara air dan pasir
Bergelut dengan cemas
Sepertinya gugup, atau mungkin bimbang
Mencari sebuah cara
Untuk bersahabat, dengan lautan
Berjalan aku mendekatinya
Kuusap tempurungnya
Kukenalkan dia pada ombak
Perlahan-lahan, penyu kecil mulai berani
Menyapa ombak, dan berenang pergi
Dia meninggalkanku..
Dengan ribuan tanya
Ratusan gelisah
Serta jutaan hampa
Mengapa semudah itu?
Sementara aku masih meragu
Beranjak pergi dan berbaring di atas pasir
Kutatap rembulan di langit
Bersama bintang-bintang yang setia menemani
Sementara itu, aku di sini gundah
Tak mampu aku jadi semesta
Mungkin sekadar udara

Dentum jarum jam terasa berbeda kali ini
Mereka bercanda gurau menunggu semburan pijaran api di udara
Seperkian detik, langit menjadi terang bak sorot baswara baskara
Terdengar derap langkah di antara seruan harsa para manusia
Selongsong peluru menembus dada
Pecahan kaca terdengar nyaring menembus membran tipani
Pisau menari-nari dengan sangat elok siap menikam
Rotan itu memberi kesan bak lipstik merah menyala
Erangan kesakitan bersautan menghantamku
Kucoba lari, langkah ini sangat lunglai
Kutahan mata ini agar tetap kering
Lidahku kelu, kepalaku pening, tubuhku bergetar tak karuan
Rumah ini seperti lautan darah, rumah ini telah mati
Semua terkapar tak bernyawa, hanya aku tersisa
Orang berdaksa tegap telah pergi
Malam ini seketika sunyi
Aku mendekap erat kaki, menangis, menjerit, aku hanya sendiri
Jeritanku tak membuat mereka terganggu
Malam temaram ini menakutkan
Malam sendu, akankah kau hilang dari ingatanku?

Hendak kutulis
Hendak kuungkapkan
Hendak kupuji dan kuagungkan
Hendak kunikmati keindahanmu yang menyejukan

Oh alam yang indah alam ibu pertiwi Indonesiaku
Maafkanlah aku karna sungguh hinanya diriku
Menulis puisi syahdu di tengah alam yang kelabu
Maafkan lah aku anakmu ini ibu

Jutaan pohon sengaja dibakar
Jutaan pohon ditebang
Oh ibu jubahmu sudah dilalap api
Ampunilah aku yang hina ini

‘Ku mendengar teriakan rasa sakitmu yang pilu
‘Ku menangis mendegarmu meminta jubbahmu kembali
‘Ku ingin memberikan yang terbaik bagimu
‘Ku bingung karna tak tahu harus berbuat apa

Sajak hariku…
Lembaran diary-ku…
Isi hatiku….
Mencintaimu adalah bahagia dan sedih,
Kehilangan adalah pahit yang tak pernah dikecap lidah,
Kekecewaan bagai nadi yang terbelah,

Di mana arti sebuah kesetiaan,
Bila hanya dalam kata-kata,
Hati ini sepi, di saat sang penakluk pergi,

Rasa ini hancur ketika sepucuk bunga layu,
Layu karena menyimpan duka,
Di sini aku yang lemah,
Terlalu banyak berharap
Berhentilah memaksa keadaan,

Senja datang membawa suka cita,
Goresan bibir penanda bahagiaku terbit,
Aku bahagia,
Ketika bunga tidurku tiba,
Wajah penakluk hati itu,
Berhasil hadir bersama bintang,
Walau hanya sesaat,

Di balik bangku di hadapanmu
Meja guru
Memperhatikan pribadimu
Meneladani lakumu
Aku muridmu

Di hadapan para murid
Mencerminkan teladan layaknya cendekiawan
Mendidik pribadi-pribadi baru menjadi
Berahklak, berilmu, dan kepribdadian elok
Aku gurumu

Aku guru berkaca pada murid
Aku yang dulu sepertimu
Bercita-cita menjadi guru
Kini, mampukah aku enggkau guguh, engkau tiru
Kini apakah aku pantas?

Akhlak masih compang-camping
Moral etika yang berantakan
Entah juga ilmuku
Seperti inikah pribadi yang layak diguguh?
Aku malu pada diriku sendiri

Aku murid berkaca pada guru
Aku tidak tahu mau jadi apa kelak
Kau contoh paling nyata bagiku tentang gambaran masa depan
Ke mana aku akan pergi kelak
Tolong tunjukan arah

Bangku sekolah terlalu keras untuk kukunyah
Tapi engkau membantuku melumat buku pelajaran
Sekolah tidak cukup luas untuk belajar semua pengetahuan
Tapi engkau ajak aku menghampiri kemana ilmu pengetahuan itu
berada
Tiada lebih bisa kubalas selain terima kasih
Guru sebagai pendidik berkaca pada murid
Merasa malu pada murid sebagai pelajar
Murid sebagai pelajar berkaca pada guru
Berterima kasih pada guru sebagai pendidik
Akulah pendidik sekaligus pelajar

Setiap ruang
Setiap lorong
Sungguh ‘tak berujung

S’lalu kulewati
S’lalu kurasakan
S’lalu mati
Penuh tekanan

Senyum sang surya
Memotivasi mereka
Tangisan cakrawala
Keluar karena hampa

Hingga malam menyelimuti
Bayang-bayang mendekati
Tak tahu bagaimana cara menghadapi

Ruang satunya penuh misteri
Hasrat membuka s’lalu menanti
Takut akan ada yang menghianati
Ia berpikir lagi

Ruang seberang
Penuh kenangan
Inginnya mengingat
Lembar baru s’lalu lewat

Cermin s’lalu melihat
Mengawasi diam-diam
Namun ‘tak dapat bertindak

KACAU
KACAU SEKALI
Inginnya melaung sekali
Namun, berpikir ulang kembali
Tok… tok…
Seseorang datang
Pikirnya telah usai
Justru sebaliknya
Ia tersenyum lebar
Bagaikan angina tak berbeban
Kemudian…
Berakhirlah di kamarnya
Berdistraksi tanpa henti
Berharap dapat kembali
Tanpa takut akan konsekuensi

Terkadang saya mempunyai segudang pernyataan,
Pernyataan simple yang memiliki banyak arti di kehidupan kita,
Apa itu arti dari sebuah kata kebahagiaan ?
Suasana ketenangan seperti hembusan udara,
Atau berkumpul dengan canda tawa yang huru-hara,

Apa sebenarnya arti kata kebagiaan?
Mendapatkan momen kesuksesan atas banting tulang kita?
Atau mendengarkan suara tangisan bayi yang baru lahir?
Dua pengembara yang jatuh cinta dari waktu dan tempat yang
tepat?
Atau melihat kebagiaan dari senyuman setiap seseorang?

Parahnya kebahagiaan tidak ada tanpa adanya kesedihan,
Seolah terlalu bahagia tapi memiliki rasa kehampaan yang
mendalam,
Namun dunia memiliki tipu daya atas emosi kita,
Jadi apa tujuan kita bahagia?

REKAM JEJAK MEMBACA BUKAN
Alfin Laksita MEMBUTA
SENJA Yacinta Widya Dharma Mulya
Anastasia Adelia Ayu Hartana PENGEMBARAAN RASA
ASA DAN SEMESTA Putri Rahmawati
Margareta Okta Prasetya DALAM TEGUKAN KOPIKU
INTI MANUSIA Yudhistira Putra Wardani
Selvi Wikandanastri KISAH LAMA
BULAN Aurelia Lintang D.
Vera Oktavia KISAH DAN TUJUAN
REMAH-REMAH Rafael Mahesha Bintang
Agustinus Bagas D. K. RANGKAIAN
HIDUP DI METROPOLITAN Aurelia Bunga Calista
Jacobus Raka G. P. LEMBAYUNG SENJA
TIMBUN TANAH M. Diandra P. Sianturi
KEHIDUPAN TENTANG HARI INI
Laurensius Wisnu Ariyanto Elisabet Wulandari
SIRNA MELEPAS RINDU
Margaretha Belicia I. S. Maria Evaristine D. P.
BAHAGIA MESIN WAKTU
Stefani Amanda L. Monica Merlyna P.
SALAH PILIH TAKDIR TAK TERHINDAR
Maria Tatag Prihatinningtyas Fransiskus Wahyu Andrianto
Wigati

TITIP RINDU TEMAN TAPI CINTA
DI LEMBAYUNG SENJA Kristina Kerin
Vincencia Devita Nugraheni SENANDIKA
PERGI TAK KEMBALI Angela Larasati Kirana Putri
Yesbianus SEMUA ADALAH AKU
BUMIKU SEDANG TERLUKA Veronika Nirmala Mei
Algita Ferina Anggraeni
FRASA TUK WANITA SI GELAP,
Angela Gracia Meyta Kenantri AKULAH FATAMORGANA
ANGIN Adinda Lorensia Bella
Veronika Anggi Lestari Margaretha
GULITA TUHAN
Anne Anggita Saripana Dcynta Ika
RINDU SENDIRI RINTIK HUJAN
Brigitta Aprilia Revalina P. P.
ADA SEMANGAT HANYA SESAAT
DAN DOA UNTUKMU Agustina Sinar Giyan Saputri
Dionisius Yoseph Cindhe FATAMORGANA
JANJI Veronica Dewi Nazarani
Theodora Ivana IBU PAHLAWANKU
KITA MANUSIA Veronica Wulandari
Maria Emiliana Natalia T. S. TERNODAI
MADAH Rospiyanti Triningsih
DI TENGAH WABAH SEEKOR PENYU
Agustinus Herjuno Evodius Geline Aseta
DESAKU DI PAGI HARI TRAUMA
Jovita Intan Margareti Adelia Putri

‘KU SEDIH NAMUN RUMAHKU
TAK BISA MENANGIS Redemptus Gemma Antero
Kristoforus Atanasius Yusan KEBAHAGIAAN
Inyesta Michael Yoseph Anggoro

LELAH
Bena Dwiutari

AKU PENDIDIK PELAJAR
Fransiska Desiyana




Click to View FlipBook Version