BENTENG DULU, KINI, DAN ESOK
BENTENG DULU, KINI, DAN ESOK
Benteng Dulu, Kini dan Esok
© Penerbit Kepel Press
Desain sampul :
Tim Kreatif Kepel Press
Desain Isi :
Tim Kreatif Kepel Press
Cetakan pertama, September 2014
Diterbitkan oleh penerbit Kepel Press
Puri Arsita A-6, Jl. Kalimantan, Ringroad Utara, Yogyakarta
Telp/faks : 0274-884500
Hp : 081 227 10912
email : [email protected]
ISBN : 978-602-1228-65-4
Hak cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi
buku, tanpa izin tertulis dari penulis dan penerbit.
Percetakan Amara Books
Isi diluar tanggung jawab percetakan
v
PENGANTAR
KEPALA BALAI ARKEOLOGI YOGYAKARTA
A khir-akhir ini isu-isu tentang konflik kepen-
tingan sering terjadi di situs-situs cagar
budaya terutama di kawasan Benteng
Kolonial. Indonesia yang pernah dijajah oleh bangsa Eropa
selama kurang-lebih 300 tahun, oleh karena itu sangat wajar
apabila banyak ditemukan benteng pertahanan yang tersebar
dari Sabang hingga Merauke. Munculnya konflik kepentingan
tersebut akibat masih rendahnya kesadaran dan pemahaman
masyarakat akan arti pentingnya pelestarian dan pemanfaatan
situs cagar budaya. Akibatnya tidak sedikit benteng-benteng
kolonial yang dikategorikan sebagai situs cagar budaya
rusak karena pembiaran, rusak karena salah kelola, dan
rusak karena kesengajaan. Selain itu, ada pemahaman yang
berkembang di masyarakat bahwa semua tinggalan masa
kolonial tidak perlu dilestarikan, karena bangunan-bangunan
itu akan mengingatkan penjajahan dan kekejaman kolonial
serta kepedihan bangsa. Maka dari itu pemahaman seperti
ini harus diluruskan dengan mengedepankan pentingnya
nilai sejarah bangsa.
Balai Arkeologi Yogyakarta sebagai salah satu leading
sector dalam sistem pengelolaan sumberdaya arkeologi
di wilayah kerjanya, sesuai dengan tugas dan fungsinya
vi Benteng Dulu, Kini, dan Esok
sudah semestinya melakukan upaya-upaya pencerahan
kepada masyarakat dalam memahami arti penting tinggalan
sumberdaya arkeologi, termasuk benteng-benteng kolonial
tinggalan dari masa penjajahan. Untuk itulah bertepatan
dengan Ulang Tahun Purbakala Indonesia yang ke 97 (14/06/
1913-14/06/2010), Balai Arkeologi Yogyakarta bekerjasama
dengan Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia Komisariat Daerah
DIY-Jawa Tengah menyelenggarakan Seminar Sehari bertema
“Benteng Dulu, Kini, dan Esok”. Tema ini merupakan
tema yang diangkat secara nasional dengan fokus kegiatan
pameran foto benteng-benteng kolonial di seluruh Indonesia
bertempat di Benteng Vredeburg, Yogyakarta.
Hasil dari Seminar Sehari yang diselenggarakan pada
tanggal 16 Juni 2010 di Benteng Vredeburg Yogyakarta
baru diterbitkan oleh Balai Arkeologi Yogyakarta tahun
2013. Sebuah Bunga Rampai tentang Benteng-Benteng
Kolonial dari Sumatera Utara, Sumatera Bagian Selatan,
Jawa, Kalimantan Timur, dan Maluku tersaji dalam bentuk
buku bacaan ilmiah-populer yang bermanfaat tidak hanya
untuk siswa, mahasiswa, dan pengajar, akan tetapi dapat
dibaca oleh kalangan masyarakat luas. Atas nama lembaga
Balai Arkeologi Yogyakarta kami mengucapkan terima kasih
kepada semua pihak yang telah andil dalam penerbitan buku
literatur ini. Kepada para pembaca yang budiman diucapkan
selamat membaca semoga buku ini bermanfaat, amin.
Yogyakarta, 2013.
Drs. H. Siswanto, MA.
vii
PENGANTAR PENERBIT
Tinggalan masa kolonial bangsa Eropa di Indonesia
pada masa abad 16 hingga pertengahan abad 19
tentu sangat banyak dan beragam. Salah satu yang
dirangkum dalam buku ini adalah peninggalan situs budaya
berupa Benteng. Dalam hal mengelola yang artinya berupa
aktivitas memelihara dan memanfaatkan situs budaya seperti
Benteng di Indonesia bagi keperluan akademis dan keperluan
lainnya bukan perkara mudah.
Pemangku kepentingan pengelola situs budaya meng-
hadapi kondisi yang tidak sederhana. Kesadaran budaya
masyarakat terhadap situs budaya belumlah pada tahap yang
mampu mengapresiasi hasil sebuah peradaban dari sebuah
era dengan baik. Perilaku pembiaran, kesalahan pengelolaan
hingga perusakan dan pencurian merupakan unsur-unsur
yang melemahkan.
Maka perlu dikembangkan kesadaran bahwa mengelola
tinggalan jaman kolonial bukanlah usaha untuk mengenang
penjajahan yang memedihkan dan mensengsarakan namun
sebuah usaha mendokumentasikan sejarah perjalanan sebuah
bangsa.
Benteng Vredeberg yang gambarnya menjadi ilustrasi
sampul buku ini merupakan salah satu Benteng tinggalan
Belanda di Yogyakarta yang masih berdiri kokoh, terawat
dan memiliki fungsi luar biasa bagi masyarakat luas, yakni
viii Benteng Dulu, Kini, dan Esok
fungsi pembelajaran serta fungsi rekreasi dan yang terpenting
statusnya masih dimiliki oleh Negara. Benteng sejenis,
Vastenberg di kota Solo mengalami kondisi berbeda,
Upaya melakukan restorasi pada Benteng yang rusak
dan usaha menuliskan sejarah Benteng di Indonesia adalah
sumbangan luar biasa bagi dunia ilmu pengetahuan dan
kehidupan masyarakat.
Yogyakarta, 2013
Penerbit Kepel Press
ix
DAFTAR ISI
Pengantar Kepala Balai Arkeologi Yogyakarta ............. v
Pengantar Penerbit ....................................................................... vii
Daftar Isi ............................................................................................ viii
1. Benteng di Sumatera Bagian Utara dan Perspektif 1
Penelitiannya (Lucas Partanda Koestoro) ..........................
A. Pengantar ........................................................................... 1
B. Pendahuluan .................................................................... 3
C. Kilasan Benteng-Benteng di Sumatera Bagian Utara 5
1. Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam ........... 6
2. Provinsi Kepulauan Riau .................................... 9
3. Provinsi Riau ............................................................ 14
4. Provinsi Sumatera Barat ...................................... 16
5. Provinsi Sumatera Utara ..................................... 21
D. Penutup .............................................................................. 39
2. Benteng Kuto Besak dari Keraton Hingga Instalasi 45
Militer (Aryandini Novita) ...................................................... 45
A. Pendahuluan .................................................................... 46
B. Keraton-Keraton Kesultanan Palembang ............ 51
53
C. Benteng Kuto Besak Pada Masa Kesultanan
Palembang Darussalam ...............................................
D. Benteng Kuto Besak Pada Masa Kolonial ............
x Benteng Dulu, Kini, dan Esok
E. Pembahasan ...................................................................... 55
F. Penutup .............................................................................. 58
3. Benteng Tarakan : Keseimbangan Antara Kepentingan
Politik dan Pelestarian (Drs. Edi Triharyantoro) ........... 61
A. Keletakan Tarakan ......................................................... 61
B. Latar Sejarah Tarakan ................................................... 62
C. Penutup .............................................................................. 73
4. Benteng-Benteng Kolonial Eropa di Pulau Ternate 85
(Nurachman Iriyanto) ................................................................. 85
A. Munculnya Benteng Eropa di Pulau Ternate ..... 89
1. Benteng-benteng Eropa di Pulau Ternate .... 107
113
2. Pengelolaan Benteng-benteng Eropa Pulau
Ternate .........................................................................
B. Penutup ..............................................................................
5. Penilaian Skala Prioritas dan Revitalisasi Kawasan
Benteng Kolonial (Wuri Handoko) ...................................... 119
A. Latar Belakang ................................................................. 119
B. Penilaian Kawasan Benteng Kolonial dan Skala
Prioritas Program Revitalisasi .................................. 122
C. Revitalisasi Kawasan Benteng dan Pengembangan
Rencana Tata Ruang Wilayah ................................... 129
D. Kesimpulan ....................................................................... 140
6. Potret Beteng Vastenburg Kemarin, Kini, dan Akan 145
Datang (Drs. Soedarmono, SU) .............................................. 145
A. Setting Bandar Perdagangan ..................................... 147
151
B. Kolonial vs Kerajaan ..................................................... 153
C. Potret Vastenburg Masa Kini ....................................
D. Harapan Vastenburg Masa Depan .........................
Benteng Dulu, Kini, dan Esok xi
7. Reinkarnasi Vastenburg: Tinjauan Psikologi Arsitektur
Menyoal Memori Kolektif Masyarakat Surakarta
(Deddy K. Halim, PhD) .............................................................. 155
A. Pendahuluan .................................................................... 155
B. Memori Kolektif .............................................................. 157
C. Melestarikan penjajahan ? .......................................... 161
D. Kebutuhan akan Simbol Kota ................................... 165
E. Benteng & Hotel Butik ................................................. 169
F. Skenario Konservasi ...................................................... 174
G. Integrasi antara Konservasi dan Pengembangan
Kota 177......................................................................................
8. Benteng Vastenburg dan Benteng-Benteng Kolonial
Lainnya dalam Perbandingan
(H. Gunadi Kasnowihardjo)........................................................ 185
A. Pendahuluan .................................................................... 185
B. Pengelolaan Benteng-Benteng Kolonial dalam
Perbandingan ................................................................... 188
1. Fort Rotterdam di Makassar .............................. 190
2. Benteng Vredeburg di Yogyakarta ................. 193
3. Benteng Van der Wijck di Gombong ............. 195
4. Benteng Willem di Ungaran .............................. 197
5. Fort Santiago di Manila ........................................ 200
6. Fort Monroe di Hampton, Virginia ................ 203
C. Kawasan Strategis Benteng
“Mangkrak” Vastenburg .............................................. 205
D. Bagaimana Mengelola Benteng Vastenburg? .... 210
E. Cultural Heritage → Urban Identity → Urban
Development .................................................................... 211
F. Penutup 212..............................................................................
xii Benteng Dulu, Kini, dan Esok
9. Kehidupan di Balik Tembok Benteng di Masa Lampau:
Hasil Penelitian Balai Arkeologi Yogyakarta di Benteng
Sumenep dan Benteng Lodewijk, Jawa Timur 217
(Novida Abbas) ..............................................................................
A. Pendahuluan .................................................................... 217
B. Hasil Penelitian di Benteng Sumenep dan Benteng
Lodewijk 220.............................................................................
1. Benteng Sumenep ................................................... 220
2. Benteng Lodewijk ................................................... 223
C. Diskusi dan Rangkuman ............................................. 226
1
Benteng di Sumatera Bagian Utara
dan Perspektif Penelitiannya
oleh:
Lucas Partanda Koestoro
A. Pengantar
Benteng dan situs benteng merupakan bukti nyata suatu
peradaban bangsa di masa lalu. Di Sumatera bagian utara
–di lima wilayah provinsi– dijumpai cukup banyak, dalam
beragam kondisi dan masa pembangunan/pemakaian, ter
kait dengan pusat-pusat kekuasaan di kawasan ini. Sebagai
pusaka budaya bangsa Indonesia, merupakan mata rantai
yang menghubungkan masa kini dengan peradaban di masa
lalu. Untuk itu menjadi kewajiban bersama menjaga, meles
tarikan, memanfaatkan, dan mengembangkannya.
Secara fisik, benteng lebih kerap dikaitkan dengan
upaya sekelompok manusia dalam mempertahankan diri
dari serangan pihak lain. Atau justru bagian dari strategi
penyer angan yang bersifat okupasi/pendudukan. Benteng
cenderung berkonotasi peperangan. Perang sendiri meru
pakan salah satu perwujudan adanya konflik antar kelompok
Benteng di Sumatera Bagian Utara dan Perspektif Penelitiannya 1
2 Benteng Dulu, Kini, dan Esok
manusia. Konflik ditimbulkan oleh berbagai sebab. Serbuan
dari kelompok manusia yang lain, yang dirasa akan
mengancam keselamatan harta-benda, jiwa, dan kehormatan,
akan dicegah dengan berbagai cara. Salah satunya dengan
menghindari gangguan terhadap kediaman/kubu kelompok
yang diserang. Mereka harus mempertahankannya, dan
upaya membangun pertahanan yang mampu mengamankan
adalah membuat benteng. Benteng merupakan batas wilayah
yang akan diamankan, berbentuk bangunan pertahanan
mengg unakan beragam bahan. Sebagian menggunakan
tanah yang ditinggikan, sebagian membuat pagar kayu, atau
tumpukan batu, dan sebagian lain melengkapinya dengan
parit cukup dalam maupun tanaman bambu/tanaman lain
yang berduri. Pada intinya mereka membuat bentuk peng
halang untuk menahan laju para penyerang yang berniat
memasuki wilayah yang dipertahankan.
Di Indonesia, selain di daerah pedalaman, benteng/
situs perbentengan dijumpai pula di pesisir. yaitu di tepi
pantai, muara/kuala sungai; atau di daerah pertemuan
sungai, di tepi jurang, di ujung lembah, puncak bukit, dan
lainnya. Pengamatan atas objek-objek tersebut ternyata
membuka peluang untuk juga mengkaji benteng/situs
perbentengan tanpa melulu dikaitkan dengan urusan militer.
Ada kesempatan melihatnya dari aspek kehidupan lain yang
menyertainya.
Menyangkut keberadaan benteng/situs perbentengan,
harus diingat bahwa pengembangan kajian dalam arkeologi
hendaknya berlaku pula di lingkungan lembaga-lembaga
arkeologis. Berbagai kajian perlu dikembangkan, dan itu
meliputi antara lain kajian-kajian seni yang terkait dengan
Benteng di Sumatera Bagian Utara dan Perspektif Penelitiannya 3
data arkeologi (arkeologi seni); arkeologi linguistik (yang
memanfaatkan hasil maupun metodologi linguistik bagi
pemecahan masalah-masalah arkeologis); atau arkeologi
maritim (sebagian benteng sebagai data arkeologi terkait
dengan aktivitas kemaritiman juga). Kajian terhadap benteng
dalam arkeologi juga termasuk bagian yang sungguh menarik
dan layak dikembangkan.
B. Pendahuluan
Orang kerap menghubungkan keberadaan benteng
dengan sikap manusia yang cenderung untuk menguasai,
dan sebaliknya tidak ingin dikuasai. Dalam keseharian, sikap
demikian memicu terjadinya permusuhan yang diikuti dengan
tindak lanjut lain, di antaranya perang. Demikianlah perang
sebagai sebuah kondisi permusuhan dengan menggunakan
kekerasan antara dua atau lebih kelompok manusia untuk
memaksa salah satu pihak tunduk (Suryohadiprojo,2008:1-2).
Benteng digunakan dalam perang untuk dapat menundukkan
kehendak pihak lain yang memusuhi. Namun di luar itu ada
alasan lain yang menyebabkan orang membangun benteng,
seperti pembuatan benteng untuk menahan serangan bencana
alam yang berupa banjir. Hal ini memang kerap memunculkan
perbedaan sudut pandang akan arti benteng. Benteng memang
dapat dilihat dalam arti bangunan tempat berlindung atau
bertahan (dari serangan musuh); benteng sebagai dinding
(tembok) untuk menahan serangan; dan dapat pula benteng
diartikan sebagai sesuatu yang digunakan untuk memperkuat
atau mempertahankan kedudukan, dan posisi.
4 Benteng Dulu, Kini, dan Esok
Kondisi demikian memunculkan ketertarikan akan
keberadaan benteng-benteng di Sumatera bagian utara. Ada
beberapa hal yang menyebabkannya. Pertama berkenaan
dengan bentuk dan lokasi benteng. Kedua pada kelompok
masyarakat yang membangun dan menggunakannya.
Kemudian yang ketiga adalah pada masa pembangunan dan
penggunaan benteng. Selanjutnya yang keempat, berkenaan
dengan pengenalan tentang berbagai aspek kehidupan di
lokasi perbentengan.
Tujuan kegiatan penelitian tentang benteng adalah upaya
mengungkapkan hal-hal yang berkenaan dengan karakter
istik benteng; kemudian tentang kelompok masyarakat yang
membangun dan menggunakannya; selain itu juga tentang
latar belakang dan kronologi pembangunan dan penggunaan.
Hal lain yang ingin diungkapkan terkait dengan berbagai
aspek kehidupan yang pernah berlangsung di seputar per
bentengan.
Sasaran kegiatan kajian benteng bermula pada tersedia
nya peta persebaran situs perbentengan di Sumatera bagian
utara yang berisikan berbagai hal yang terkait dengan
keberadaannya. Selain itu, informasi yang diperoleh akan
berguna bagi pengembangan penelitian selanjutnya yang
berhubungan dengan upaya pemahaman aspek-aspek
kehidupan masa lalu di suatu wilayah, maupun pemanfaatan
lain bagi kepentingan yang lebih luas.Penelitian arkeologi
tentang benteng diharapkan juga membuahkan masukan
bagi kepentingan praktis yang saat ini sedang banyak di
bicarakan di Indonesia, yakni upaya pertahanan negara yang
memerlukan pengembangan sistem pertahanan semesta,
yang melibatkan seluruh bangsaIndonesia.
Benteng di Sumatera Bagian Utara dan Perspektif Penelitiannya 5
Dalam upaya pemenuhannya, maka kerangka pikir dan
metode juga merupakan hal yang tidak dapat diabaikan.
Adalah sifat manusia untuk tetap mempertahankan kehidupan
pribadi maupun komunitasnya. Manusia selalu menjaga
kelangsungan hidupnya, juga dengan melakukan hubungan
dengan pihak lain. Bahwa dalam kesempatan interaksi
itu muncul gejolak-gejolak yang dapat membahayakan
hidupnya, hal tersebut juga disadari. Berkenaan dengan
kesadaran untuk mengurangi dampak negatif dari gesekan
yang serius dengan kelompok lain, manusia berusaha melaku
kan berbagai hal. Salah satunya adalah dengan menyiap
kan sarana pertahanan. Pembangunan sarana pertahanan
tentunya juga dikaitkan dengan kemampuan kelompok
tersebut dalam memanfaatkan berbagai sumber daya. Itu
berhubungan dengan sumber daya manusia dan budaya,
serta sumber daya alam lingkungan.
Pemecahan permasalahan bagi pencapaian tujuan pene
litian dimulai dengan pengumpulan data, baik di lapangan
maupun di perpustakaan, yang selanjutnya akan dianalisis.
Data yang telah dianalisis diperlakukan sebagai bahan
bagi penyiapan interpretasi. Berkenaan dengan itu maka
penelitian dapat dilakukan dengan menggunakan metode
induktif, yakni suatu bentuk penelitian yang biasa diawali
dengan pengumpulan data melalui observasi empiris. Kelak
data yang telah terkumpul itu dikelompokkan, dianalisis
dan disintesiskan, untuk akhirnya ditarik kesimpulan atau
generalisasi. Makin banyak data terkumpul, kesimpulan
yang ditarik makin dianggap mendekati kebenaran.
6 Benteng Dulu, Kini, dan Esok
C. Kilasan Benteng-Benteng di Sumatera Bagian Utara
Berdasarkan aktivitas arkeologis yang dilakukan selama
ini, diketahui banyak peninggalan berupa benteng di wilayah
kerja Balai Arkeologi Medan. Inilah kilasan beberapa benteng
yang keberadaannya cukup menarik.
1. Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
a. Benteng Indrapatra
Berada di wilayah Desa Ladong, Kecamatan Masjid Raya,
Kabupaten Aceh Besar (Soetrisna et al,2007:37). Letaknya di
tepi pantai Selat Malaka, pada lahan pertanian (sawah dan
kebun penduduk). Bahan yang digunakan berupa batu,
pasir dan kapur. Di areal seluas 7.400 m2, terdapat susunan
tiga buah bangunan benteng, yang semuanya menghadap ke
arah utara.
Benteng Indrapatra
Benteng di Sumatera Bagian Utara dan Perspektif Penelitiannya 7
Benteng pertama berukuran panjang 70 meter, lebar
70 meter, tinggi 3,70 meter. Tebal temboknya 4 meter. Pada
dinding bagian dalam terdapat jalan keliling selebar 3
meter, sementara di bagian dalam benteng terdapat 3 buah
sumur berdinding tembok dan beratap kubah. Sisa fondasi
bangunan juga masih dijumpai di bagian tengah halaman
dalam benteng. Benteng berikutnya berukuran panjang
35 meter, lebar 35 meter, dan tinggi 4,10 meter. Dinding
benteng dilengkapi dengan lubang-lubang pengintaian, dan
juga dua buah bastion. Selanjutnya adalah benteng ketiga,
yang berukuran panjang 35 meter, lebar 35 meter, dengan
tembok yang tersisa setinggi 1,20 meter. Informasi tempatan
menyebutkan bahwa benteng ini dipersiapkan untuk
menghadapi serangan Portugis. Adapun nama Indrapatra
dikaitkan dengan kuatnya pengaruh Hindu-Buddha pada
masa pembangunannya
b. Benteng Iskandar Muda
Terdapat di wilayah Desa Beurandeh, Kecamatan
Masjid Raya, Kabupaten Aceh Besar, sekitar 33 kilometer
ke arah timurlaut kota Banda Aceh. Letaknya di tepi barat
ruas Sungai Kreung Raya. Jarak ke garis pantai, di sebelah
utaranya, sekitar 400 meter. Bahan bangunannya berupa
batu, pasir, dan kapur. Benteng berdenah bujur sangkar ini
memiliki 3 lapis dinding. Dinding terluar berukuran panjang
50 meter dan lebar 50 meter lebih tinggi dibandingkan
dua dinding di bagian dalamnya. Ketebalan dinding lapis
pertama sekitar 0,90 meter dengan tinggi sekitar 2-3 meter.
Batu yang digunakan berwarna hitam yang direkatkan
dengan menggunakan campuran lempung dan kapur. Lepa/
8 Benteng Dulu, Kini, dan Esok
plesterannya berbahan pasir, lempung dan kapur. Dinding
lapis kedua/tengah berukuran 42 meter x 42 meter dengan
tinggi 1,70 meter dan tebal 0,75 meter. Selanjutnya dinding
ketiga, bagian paling dalam, berukuran 21 meter x 21 meter
yang tingginya 0,90 meter dan tebal 0,75 meter (Soetrisna et
al,2007:37).
a. Benteng Indrapuri
Berdiri sekitar 25 kilometer di sebelah timur kota Banda
Aceh, benteng ini berdiri di wilayah Desa Pasar Indrapuri,
Kecamatan Indrapuri, Kabupaten Aceh Besar. Bahan yang
digunakan batu berlepa. Benteng segi empat ini dibangun
berundak dengan panjang 73 meter dan lebar 73 meter.
Undakan yang ada dibentuk dengan dibangunnya tiga lapis
tembok lagi di bagian dalam. Pada lapis ketiga terdapat pintu
masuk di sebelah tenggara. Adapun pada bagian undakan
tertinggi, yakni bagian yang dibatasi lapis keempat dinding
benteng dengan ukuran 18,80 meter x 18,80 meter itu terdapat
bangunan mesjid. Dinding benteng itu sekaligus menjadi
dinding bangunan mesjid beratap tumpang tiga. Informasi
tempatan menyebutkan bahwa benteng ini dibangun pada
masa Sultan Iskandar Muda, sementara di jurai atap mesjid
terdapat pertulisan singkat yang menyebutkan angka
tahun 1270 H. Di mesjid ini pada tahun 1874 dinobatkanlah
Sultan Muhammad Daud Syah II. (Soetrisna et al,2007:39).
Sumber lain menyebutkan bahwa Sultan Muhammad Daud
Syah dinobatkan sebagai sultan di Masjid Indrapuri pada
tahun 1878 dan berkedudukan di Keumala, daerah Pidie
(Alfian,1992:20).
Benteng di Sumatera Bagian Utara dan Perspektif Penelitiannya 9
2. Provinsi Kepulauan Riau
a. Kota Piring
Situs ini menempati sebuah (pulau) delta yaitu Pulau
Biram Dewa yang dikelilingi ruas Sungai Galang, di Kampung
Kota Piring, Kelurahan Kota Piring, Kecamatan Tanjung
pinang Timur, Kota Tanjungpinang (Koestoro, 2005:68-70).
Luas arealnya sekitar 3 hektar. Sisa tinggalan berupa pagar
tembok dengan bastion (seleka) di sudut barat laut. Pagar
tembok sisi barat sepanjang 110 meter, dan sebagian sisi utara
(28 meter) masih tampak baik, berbeda dengan sisi timur
dan selatan yang sudah tidak berbekas. Tembok yang tersisa
berketinggian antara 0,70 meter hingga 2 meter, dan tebalnya
40 centimeter.
Di bagian tenggara pulau
ini masih dijumpai sisa pagar
tembok membentuk sudut
siku. Sisi barat sepanjang 10
meter dan sisi utara 20,70
meter. Di bagian tengah
pulau terdapat sisa fondasi
bangunan berdenah empat
persegi panjang yang diduga
adalah sisa istana. Sisi utara
dan sisi selatan masing- Benteng Kota Piring
masing 11,30 meter dan
sisi timur dan sisi barat masing-masing 8,10 meter. Materi
penyusun pagar keliling itu adalah adonan brekel bauksit
dengan pasir dan kapur. Informasi tempatan menyebutkan
bahwa pagar yang mengelilingi kompleks tempat tinggal
10 Benteng Dulu, Kini, dan Esok
penguasa dan pusat pemerintahan Kerajaan Riau itu dahulu
memiliki 13 buah pintu.
Penamaan Kota Piring berkenaan dengan penempelan
keramik-keramik Cina pada bagian atas tembok keliling,
seperti diceritakan oleh penduduk sekitar. Sementara sumber
lain menyebutkan tentang kemolekan istana tersebut pada
masanya. Kelak Kota Piring ditinggalkan setelah armada
Belanda di bawah pimpinan Jakob Pieter van Braam
menghancurkan pertahanan Raja Haji di Teluk Ketapang
pada tahun 1784.
b. Benteng Tanjung Butung
Berada di sebelah selatan Pelabuhan Tanjungpinang,
bangunan pertahanan itu menempati daerah berbukit
Tanjung Butung di wilayah Kecamatan Tanjungpinang Barat,
Kota Tanjungpinang (Koestoro et al,2004:22-23). Komponen
utamanya berupa batuan laterit berukuran antara 50 x 25
x 15 cm3 hingga 85 x 35 x 30 cm3. Saat ini, di kawasan itu
berdiri beberapa bangunan, di antaranya kompleks Rumah
Sakit Angkatan Laut, dan perumahan purnawirawan TNI
AL. Sisa benteng itu sendiri terdiri atas tembok keliling dan
asrama tentara yang dibangun pada masa yang lebih muda.
Bentuk dasar tembok kelilingnya umum dijumpai pada
benteng-benteng kolonial di Nusantara, yakni persegi empat
yang dicirikan terutama oleh adanya bastion di bagian sudut.
Arealnya seluas sekitar 130 meter x 80 meter.
Dua bastion benteng ini yang berdenah segi lima
menempati sisi barat benteng, menghadap ke laut, ke arah
muara Sungai Riau di sebelah baratlaut dan ke arah Pulau
Penyengat di sebelah barat. Bagian lain yang juga menonjol
Benteng di Sumatera Bagian Utara dan Perspektif Penelitiannya 11
pada dinding benteng itu menempati sisi utara (setengah
lingkaran) dan sisi selatan (jajaran genjang). Bastion di sisi
timur benteng sudah tidak dijumpai lagi.
Benteng Tanjung Butung
c. Benteng dan Parit Pertahanan di Pulau Penyengat
Sarana pertahanan berupa benteng di Pulau Penyengat,
di Kota Tanjungpinang, terdapat di Bukit Kursi, Bukit Tengah,
dan Bukit Penggawa. Jaraknya tidak begitu jauh dari garis
pantai. Benteng-benteng tersebut dilengkapi dengan parit-
parit pertahanan berkedalaman 3 meter berstruktur batu di
sekitar benteng. Informasi tempatan menyebutkan bahwa
sarana pertahanan itu dibangun pihak Kerajaan Riau pada
masa pemerintahan Yang Dipertuan Muda Riau IV, Raja Haji,
tahun 1782 hingga tahun 1784 untuk menghadapi Belanda.
Benteng ini dibangun untuk melindungi pusat kekuasaan
yang ketika itu berada di Kota Piring, di bagian hulu Sungai
Riau (Koestoro et al, 2004:35).
12 Benteng Dulu, Kini, dan Esok
d. Benteng Bukit Cening
Berada di wilayah Kampung Seranggo, Kecamatan
Daik, Kabupaten Lingga, benteng ini menempati sebuah
bukit - yang permukaan tanahnya datar – di areal berawa
(Koestoro et al, 2001:11-13). Benteng menghadap ke arah
tenggara – ke laut bebas di bagian selatan Pulau Lingga -
dan dibuat dengan meninggikan serta mengeraskan tanah,
sehingga membentuk tanggul persegi empat dengan ukuran
panjang 32 meter dan lebar 30 meter. Tebal dinding/tanggul
tanah 4 meter dengan tinggi sekitar 1-1,50 meter. Bagian kiri,
kanan, dan depan benteng dilengkapi parit, yang sebagian
telah tertutup tanah. Sebanyak 19 buah meriam masih
dijumpai di sana. Sebuah meriam sepanjang 2 meter dengan
laras berdiameter 11 cm, berangka tahun 1783. Meriam lain
berukuran 2,30 meter dengan diameter laras 12 cm, berangka
tahun 1797. Demikian pula dengan meriam lain sepanjang
2,40 meter dan berdiameter laras 12 cm, berangka tahun 1797.
Benteng ini berada sekitar 2 kilometer di sebelah tenggara
Istana Damnah.
Konstruksi dinding benteng ini selain berfungsi sebagai
pelindung juga menjadi dudukan meriam. Keletakan benteng
di tempat yang tinggi jelas menghasilkan jangkauan peng
lihatan yang cukup jauh. Letaknya di tepi pantai tentu terkait
dengan fungsinya bagi pertahanan keamanan Kerajaan
Lingga atas ancaman serangan musuh melalui laut. Selain
itu benteng ini juga berfungsi memantau aktivitas di muara
Sungai Daik dan Tanjung Butun, jalan masuk ke pusat
Kerajaan Lingga dahulu.
Meriam VOC di benteng itu berasal dari masa pemerin
tahan Sultan Mahmud (1761-1812). Kerajaan Lingga sendiri
Benteng di Sumatera Bagian Utara dan Perspektif Penelitiannya 13
didirikan pada tahun 1801, saat pemerintahan Hindia Belanda
menggantikan VOC yang bangkrut di akhir abad ke-18.
Benteng Bukit Cening
e. Benteng Pulau Mepar
Di Pulau Mepar, sekitar 1 kilometer di selatan Tanjung
Butun di daratan Pulau Lingga, di wilayah Desa Mepar,
Kecamatan Lingga, Kabupaten Lingga juga terdapat serang
kaian bangunan perbentengan menempati lokasi yang
menghadap ke arah laut lepas. Ada 5 buah bangunan yang
dilengkapi 2 buah sumber air/sumur. Bangunan pertama
berada di atas bukit di sisi timur Pulau Mepar. Berbahan
tanah yang dikeraskan, berukuran 25 meter x 23 meter dengan
tebal dinding 2,50-3 meter dan tinggi tersisa sekitar 1-1,50
meter. Menempati sudut tenggara pulau, bangunan dengan
14 Benteng Dulu, Kini, dan Esok
parit yang cukup dalam mengelilinginya itu dilengkapi
dua bagian menyerupai bastion dengan lebar 2-3 meter.
Adapun bangunan lain tidak sebesar bangunan pertama.
Ukurannya berkisar 300 m2 dengan denah persegi empat,
kecuali bangunan di sebelah selatan pulau yang berbentuk
segitiga dengan luas sekitar 150 m2. Umumnya sudah dalam
keadaan rusak. Meriam yang dahulu terdapat di lingkungan
perbentengan di pulau ini telah dipindah penduduk ke
permukiman di bagian utara (Koestoro et al, 2001:19-21).
3. Provinsi Riau
a. Benteng tanah kompleks makam raja-raja Indragiri
Hulu
Letaknya di wilayah Desa Kota Lama, Kecamatan Rengat,
Kabupaten Indragiri Hulu. Benteng ini terdiri atas dua
bagian, satu di sebelah selatan kompleks makam dan yang
lainnya terletak di sebelah barat. Perbentengan ini terletak
sekitar 500 meter di bagian selatan tebing Sungai Indragiri.
Di bagian benteng sebelah selatan masih dijumpai adanya
tonjolan yang kemungkinan dahulu merupakan bastion.
Saat ini, dalam lingkungan benteng itu yang disebut-
sebut dibangun sekitar abad ke-16 itu terdapat makam-
makam raja Indragiri, yakni Makam Kasedengan, Makam
Andi Sampu Muhammad, Makam Raja Usman Fadillah, dan
Makam Raja Narasinga II.
b. Benteng 7 Lapis Dalu-Dalu/Kubu Aur Duri
Berada di sebelah barat ruas Sungai/Batang Sosa di
wilayah Desa Dalu-dalu, Kecamatan Tambusai, Kabupaten
Benteng di Sumatera Bagian Utara dan Perspektif Penelitiannya 15
Rokan Hulu. Benteng tanah
berdenah persegi empat ini,
menurut inform asi lokal
dibangun pada abad ke-
19 oleh Tuanku Tambusai.
Adapun penak lukan atas
benteng kelompok Paderi
ini dilakukan pihak Belanda
pada akhir tahun 1838.
Bagian yang tersisa di atas Benteng 7 Lapis Dalu-Dalu
lahan seluas sekitar 4,50
hektar ini meliputi 5 lapis dinding tanah. Cerita setempat
menyeb utkan bahwa sebelumnya benteng itu terdiri atas 7
lapis dinding (Soetrisna,2005:2-6).
Lapis terluar/pertama, berdenah empat persegi panjang,
sisi timurlautnya sepanjang 160 meter, dan bagian tenggara
nya berbatasan dengan ruas sungai. Adapun sisi barat laut
panjangnya 270 meter, sisi baratdaya sepanjang 180 meter, dan
sisi tenggara tersisa 70 meter yang bagian ujung timurlautnya
berbatas tepi ruas sungai. Lapis terdalam/kelima, berdenah
persegi empat yang sisi-sisi timurlaut, tenggara, baratdaya,
dan baratlautnya berukuran panjang masing-masing 90
meter. Saat ini, terlihat bahwa lebar benteng tanah itu berkisar
4-6 meter dengan tinggi antara 1-3 meter. Adapun lebar parit
antara masing-masing lapis benteng tanah itu sekitar 2-3
meter dengan kedalaman sekitar 1,50-2 meter. Sementara
informasi penduduk menyebutkan bahwa dahulu parit-
parit itu memiliki lebar sekitar 6-10 meter dengan kedalaman
mencapai lebih dari 5 meter, dan di setiap lapisan dipenuhi
rumpun bambu berduri (aur berduri).
16 Benteng Dulu, Kini, dan Esok
C. Benteng Sembuang Khairiah Mandah
Objek ini berada sekitar 1 kilometer di tepi timur ruas
Sungai Khairiah Mandah di wilayah RT II Kelurahan Mandah
Khairiah, Kecamatan Mandah, Kabupaten Indragiri Hilir.
Menempati sebidang lahan yang membentuk pulau seluas 80
x 60 m2 di lingkungan berawa, benteng itu masih menyimpan
empat buah meriam besi. Meriam yang terbesar berukuran
panjang 2,60 meter dengan diameter laras 9 centimeter. Di
dekat lubang sulut terdapat hiasan berbentuk belah ketupat
yang membentuk tulisan VOC (Koestoro et al,2003:41-41).
Bahan yang digunakan membentuk dinding benteng
adalah batu yang ditumpuk teratur, panjang menggunduk
di sepanjang tepian pulau. Di beberapa sudut, tumpukan
batu itu masih terlihat jelas sementara yang lainnya sudah
dalam kondisi berantakan. Pada bagian baratlaut benteng itu
masih terlihat jelas adanya tumpukan batu yang membentuk
dermaga pulau benteng tersebut.
4. Provinsi Sumatera Barat
a. Benteng Huta Nauli/Benteng Rorak
Berada di puncak sebuah bukit di wilayah Jorong
Huta Nauli, Kenagarian Tarung-Tarung, Kecamatan Rao,
Kabupaten Pasaman. Bangunan benteng persegi empat
yang di sudut barat dan timurnya melengkung menyerupai
bastion, menghadap langsung ke arah utara, ke jurang yang
cukup terjal. Benteng tanah ini berukuran 50 meter x 50 meter.
Dinding setinggi 1 meter ini berketebalan hingga 6 meter.
Parit selebar 2 meter di sekelilingnya berkedalaman antara
0,50 - 1 meter. Informasi tempatan menyebutkan bahwa
Benteng di Sumatera Bagian Utara dan Perspektif Penelitiannya 17
ini adalah benteng Belanda yang dibuat pada masa Perang
Paderi (Oetomo et al, 2007: 25-26).
Benteng Huta Nauli
b. Benteng Parit Batu
Letaknya di Jorong Bandarejo, Kenagarian Lingkuang
Auo (Aur), Kecamatan Aur Limo, Kabupaten Pasaman Barat.
Benteng berdenah persegi panjang berukuran 150 meter x 100
meter merupakan susunan batuan andesit, yang membentuk
dinding setebal 1,25-2 meter dengan ketinggian antara 1,50
meter hingga 2 meter. Informasi tempatan menyebutkan
bahwa benteng ini dibangun oleh kakek Tuanku Daulat meng
ikuti himbauan Pemerintah Hindia Belanda sekitar tahun
1901 agar rakyat pindah ke daerah itu. Tempat ini diapit oleh
Sungai Batang Tomani di sebelah utara dan Sungai Batang
Tipo di sebelah selatan (Oetomo et al, 2007:31-32).
18 Benteng Dulu, Kini, dan Esok
c. Benteng Portugis Pulau Cingkuk
Cingkuk adalah sebuah pulau kecil memanjang utara -
selatan, di Dusun Cerocok, Desa Painan Selatan, Kecamatan
IV Jurai, Kabupaten Pesisir Selatan. Bagian selatan dan barat
pulau merupakan bukit karang yang melandai ke arah
utara. Di bagian utara itulah
terdapat sisa bangunan yang
disebut masyarakat Benteng
Portugis Pulau Cingkuk.
Adapun data yang diperoleh
belum mengindikasikan
hubungan peninggalan ter
sebut dengan orang Portugis.
Sebaliknya, sumber Belanda
menyebutkan bahwa setelah
diadakannya Painansch
Traktaat pada tahun 1663,
VOC mendirikan loji di
Benteng Portugis di Pulau Cingkuk Pulau Cingkuk (Mansoer et
al,1970:94).
Bagian pertama di timurlaut berupa tembok dari
campuran batu dan bata berspesi, membentang utara-
selatan sepanjang 37,50 meter dilengkapi pintu berukuran
2,90 meter (berjarak 9,50 meter dari ujung selatan tembok,
disebut Gerbang I). Tebal tembok 0,90 meter dengan tinggi
3,60 meter. Pada jarak 7,30 meter dari ujung utara tembok itu
ada tembok lain ke arah barat sepanjang 6,5 meter, termasuk
pintu 1,50 meter (Gerbang II). Permukaan tanah di bagian
barat (dalam) tembok lebih tinggi sekitar 35 centimeter
dibanding permukaan tanah di bagian timur (luar). Gerbang I
Benteng di Sumatera Bagian Utara dan Perspektif Penelitiannya 19
berhiaskan pelipit yang menegaskan keberadaannya sebagai
gerbang.
Selanjutnya di bagian utara pulau. Berjarak 35 meter di
sebelah barat Gerbang I adalah Gerbang III, pintu masuk
ke areal lain Benteng Portugis Pulau Cingkuk. Menempati
lereng timur bukit yang memanjang di bagian barat pulau,
permukaan tanahnya lebih tinggi dibanding permukaan
tanah tempat struktur bangunan di sebelah timurnya.
Gerbang III tampil lebih raya. Strukturnya berupa
susunan bata berspesi. Batanya putih kecoklatan dan
merah. Bata putih untuk bagian kaki sampai badan gerbang,
sedangkan bata merah pada bagian kaki, kepala, dan bagian
pelipit. Gerbang setinggi 3,45 meter itu berpuncak undakan
persegi panjang berambang lengkung setinggi 2,75 meter.
Kedua sisi bagian akhir lengkungan dibatasi pelipit. Lebar
gerbang 1,60 meter. Ini pintu masuk ke bagian pertapakan
berisi reruntuhan bangunan yang dibatasi tembok keliling
dan talud/dinding penahan tanah.
Tembok batu dan bata berspesi membentang barat-timur
sepanjang 23,50 meter, menempel di sisi selatan Gerbang III.
Di ujung barat tembok membentang talud setinggi 2,50 meter
hingga 3,30 meter ke arah utara. Talud itu adalah susunan/
tumpukan batu alam berukuran besar (boulder), yang berbelok
ke arah utara sepanjang 15 meter. Keseluruhan talud dan
tembok yang berawal pada Gerbang III lebih berperan sebagai
sarana mendapatkan permukaan datar yang lebih tinggi dari
lahan sekitarnya, terlebih bila dibandingkan dengan bagian
utara dan timurnya. Dataran itu membentuk denah dua
empat persegi panjang yang digabungkan. Denah pertama di
20 Benteng Dulu, Kini, dan Esok
selatan berukuran 30 meter x 23,50 meter, dan denah kedua
di utara berukuran 15 meter x 12,50 meter.
Di bagian lahan yang berdenah empat persegi panjang
di utara dijumpai dua lapis talud lain. Masing-masing talud
yang berukuran lebih rendah dari talud utama menempati
bagian permukaan tanah yang lebih tinggi. Adanya talud-
talud rendah itu membentuk semacam undakan yang
keseluruhannya menjadikan bagian lahan itu lebih tinggi
daripada lahan empat persegi panjang yang lebih luas di
sebelah selatannya. Dari bagian selatan ke bagian utara
dihubungkan dengan anak tangga yang dipahatkan langsung
pada batuan dasar pembentuk gundukan itu. Di sini orang
dapat melihat dan menikmati pemandangan di sekelilingnya.
Bila dahulu tempat ini berfungsi sebagai tempat pengintaian/
pengamatan atas gerak kedatangan pihak lain, maka
belakangan orang memanfaatkannya sebagai lokasi untuk
menikmati pemandangan. Pemanfaatan belakangan terkait
dengan fungsi Pulau Cingkuk sebagai lokasi persinggahan
militer, pergudangan, perkantoran (loji), dan juga pemukiman
pegawai dan keluarganya.
Di bagian timur pulau terdapat sisa dermaga (anggar)
berdenah persegi panjang membujur barat-timur. Sisanya
36,50 meter. Di areal antara sisa bangunan bagian barat
dan timur dataran utara pulau ini dipenuhi serakan puing
bangunan yang selain berupa sisa struktur tembok juga
ada bekas lantai. Ini dapat dikaitkan dengan keberadaan
bangunan dahulu yang digunakan sebagai bengkel kerja,
gudang penyimpanan, perkantoran, dan pemukiman.
Kelengk apan lain yang berasal dari masa lalu adalah sumur
besar yang saat ini sudah kering. Sumur ini berdinding
Benteng di Sumatera Bagian Utara dan Perspektif Penelitiannya 21
campuran batu dan bata berspesi. Sementara sebuah sumur
lain berukuran lebih kecil, berisi air payau, hingga saat ini
masih digunakan penghuni pulau dan nelayan.
5. Provinsi Sumatera Utara
a. Rumah Bolon Adat Pematang Purba
Berada pada bibir jurang di wilayah Nagori Pematang
Purba, Kecamatan Purba, Kabupaten Simalungun, kompleks
Rumah Bolon Adat Pematang Purba di areal seluas 2 hektar
ini dahulu merupakan tempat tinggal sekaligus pusat peme
rintahan. Komponen di dalamnya beragam, mulai dari
tempat tinggal panglima kerajaan, tempat tinggal penjaga
keamanan, bangunan tempat raja dan keluarganya, ruang
musyawarah dan pengadilan,
serta terowongan sebagai pintu
gerbang. Pengamanan atas
lokasi ini jelas diperoleh dari
keletakannya yang dikelilingi
jurang yang cukup dalam
yang mengelilingi sebagian
besar areal, kecuali di bagian
utara yang agak landai tetapi
dilengkapi gundukan tanah
yang cukup tinggi dan hanya
dapat dilewati melalui sebuah
terowongan. Terowongan
yang berfungsi sebagai pintu
gerbang itu panjangnya 15,40 Rumah Bolon Adat Pematang
meter dengan lebar 2 meter dan Purba
22 Benteng Dulu, Kini, dan Esok
tinggi 2 meter. Bagian tepi jurang yang membatasi kompleks
dipadati rumpun bambu. Adapun unsur pengaman lainnya
berupa patung pangulubalang di sebelah baratlaut, di bagian
depan kompleks, pada jarak sekitar 200 meter. Dipercaya
bahwa keberadaan istana Kerajaan Purba berlangsung sejak
abad ke-17.
b. Benteng Puteri Hijau
Benteng Puteri Hijau berada di wilayah Desa Deli
Tua Kampung, Kecamatan Namorambe, Kabupaten Deli
Serdang, Provinsi Sumatera Utara. Lokasinya mencakup
areal yang cukup luas, tidak kurang dari 1500 meter x 400
meter dan dibatasi oleh Sungai Petani/Lau Tani di sebelah
timur. Sisa tembok atau dinding tanah yang mengelilingi
areal masih tampak, begitu pula keberadaan jagang (parit
keliling) di bagian tenggara. Lebar dinding tanah sekitar
4-5 meter, dengan tinggi mencapai 2 meter di bagian dalam,
dan 5 meter di bagian luar. Di beberapa bagian, ketinggian
benteng yang memanfaatkan tebing sungai mencapai lebih
dari 9 meter. Berkaitan dengan pertapakan yang dikelilingi
bagian lahan yang lebih rendah, pemanfaatan tebing sebagai
bagian perbentengan itu sendiri masih tampak dan sebagian
berk enaan dengan tebing di bantaran Sungai Petani (Lau
Tani). Beberapa fragmen keramik Cina, tembikar, maupun
objek artefaktual lainnya yang diduga sisa aktivitas masa lalu
juga ditemukan, atau di informasikan keberadaannya ber
dasarkan keterangan penduduk.
Hasil penelitian arkeologis yang telah dilakukan mem
perlihatkan indikasi bahwa situs tersebut digunakan
sepanjang kurun waktu abad XIII-XVII. Kegiatan penelitian
Benteng di Sumatera Bagian Utara dan Perspektif Penelitiannya 23
tahun 2009 semakin menguatkan dugaan bahwa masa peng
gunaan benteng tersebut antara abad XIII-XVII, seperti
ditunjukkan temuan keramik yang sekaligus berlaku sebagai
dating relatif-nya. Dalam kesempatan itu selain ekskavasi
juga dilakukan penelitian geologi, sehingga diketahui bahwa
proses pembentukan bentang alam lokasi itu terbagi dua,
yakni bentang alam yang terbentuk melalui proses geologi,
serta bentang alam karena proses buatan manusia. Analisis
stratigrafi-nya membuktikan bahwa benteng tersebut di
buat dengan memanfaatkan sediaan material pada lahan
pertapakannya.
c. Benteng Lobu Tua
Situs ini terapit Sungai Aek Busuk di sebelah baratlaut
dan Sungai Aek Maco/Rajo di sebelah tenggara, masing-
masing berjarak sekitar satu kilometer dan menempati tanah
tinggi bertebing 15 meter. Jarak ke Samudera Indonesia -
melewati batas rawa yang diolah menjadi sawah – sekitar
satu kilometer. Benteng persegi empat itu memiliki dinding
tanah sisi timur laut sepanjang 160 meter serta sisi tenggara
dan sisi baratlaut, masing-masing panjangnya hanya tersisa
40 meter. Adapun hasil penelitian arkeologis belakangan
menunjukkan bahwa dahulu kota Barus di Lobu Tua itu
memiliki benteng tanah berparit dengan luas antara 7 hingga
14 hektar. Diperkirakan kota Barus yang berbenteng di Lobu
Tua ini digunakan selama sekitar dua setengah abad, sejak
pertengahan abad ke-9 oleh para pedagang India Selatan
atau Srilangka hingga sekurang-kurangnya awal abad ke-
12. Berdasarkan temuan yang ada, perdagangan di sana
juga berkenaan dengan produk-produk luar seperti keramik
24 Benteng Dulu, Kini, dan Esok
dari Cina, tembikar India dan Timur Dekat, serta mangkuk
warna-warni dari Timur Tengah. Juga ada minyak wangi
yang diketahui melalui temuan wadah kecil berbahan kaca
dari Timur Dekat (Guillot, Claude et al,2008:14,39,62,63).
d. Benteng Sipamutung
Di kawasan budaya Padanglawas di wilayah Kabupaten
Padanglawas dan Kabupaten Padanglawas Utara banyak
dijumpai peninggalan dari masa klasik Indonesia berbentuk
biaro dan stupa, serta arca-arca yang melengkapinya.
Di samping itu juga terdapat benteng, yakni benteng
Sipamutung di wilayah Dusun Siparau Lama, Desa Siparau,
Kecamatan Barumun Tengah, Kabupaten Padanglawas
Utara. Lingkungan benteng tanah itu membatasi kompleks
Biaro Sipamutung yang luasnya 26,58 hektar. Buttu-buttu (=
benteng dalam bahasa setempat) berupa gundukan tanah
yang mengelilingi kompleks itu dan sebagian besar masih
terlihat. Tingginya berkisar 0,50 meter-2 meter dengan lebar
sekitar 5 meter. Di beberapa bagian gundukan tanah itu
masih terdapat rumpun bambu.
Benteng tanah itu meliputi gundukan tanah yang terdapat
di bagian luar dan di bagian dalam. Keduanya membagi
keseluruhan kompleks ke dalam empat bidang. Di salah satu
bidang yang terbentuk, terdapat Biaro/Candi Sipamutung
dan perwaranya, yang berasal dari abad XI-XIV. Berdasarkan
beda tinggi permukaan tanahnya, diketahui bahwa bagian
benteng dalam dilengkapi dengan parit di bagian luarnya.
Beberapa bagian parit yang berada di dalam bidang dibuat
ganda. Benteng tanah dibuat pada bagian permukaan tanah
yang lebih tinggi dibanding permukaan tanah sekitarnya.
Benteng di Sumatera Bagian Utara dan Perspektif Penelitiannya 25
Dapat diduga bahwa fungsi benteng tanah serta bidang
yang terbentuk di dalamnya berkenaan dengan perlindungan
bagi terselenggaranya kegiatan keagamaan di sana. Salah satu
ancaman adalah banjir yang datang melalui sungai-sungai di
sekeliling kompleks Sipamutung. Ada pula fungsi sebagai
pembatas ruang profan dan ruang sakral. Bagi kenyamanan
penyelenggaraan ritual keagamaan, maka pembuatan benteng
itu juga dapat disebut sebagai salah satu bentuk upaya
penataan ruang bagi pelaksanaan aktivitas lain yang terkait
dengan keberadaan tempat itu pada jalur perekonomian
yang menghubungkan pedalaman/Bukit Barisan dan seputar
Danau Toba dengan pesisir timur Sumatera.
e. Benteng dalam Sumber Tertulis
Perkembangan penelitian arkeologi di Indonesia meng
alami kemajuan. Selain kemajuan dasar metodologi, juga
penanganan objek yang beragam. Dalam pelaksanaan analisis
juga telah digunakan pendekatan-pendekatan berbagai
cabang ilmu pengetahuan, baik itu yang masuk dalam ilmu
pengetahuan sosial seperti sosiologi, sejarah, antropologi
maupun lainnya. Juga ilmu-ilmu keras seperti geologi dan
fisika.Adapun bagi arkeologi dengan bidang kajian benteng
dan situs perbentengan, di Indonesia menjadi bagian dari
arkeologi sejarah, tentu memerlukan juga pendekatan-
pendekatan sejarah, filologi, dan lainnya karena berkenaan
juga dengan data bertulisan.
Eksistensi benteng di bagian utara Pulau Sumatera
sudah diketahui sejak lama. Sumber-sumber lokal maupun
asing telah menyebutkan tentang hal itu. Berdasarkan
sumber-sumber lokal, Hikayat Raja-Raja Pasai, Kenneth R Hall
26 Benteng Dulu, Kini, dan Esok
(1985:214) sampai pada kesimpulan bahwa Pasai sebagai
bandar perdagangan adalah perpindahan dari Samudera
yang letaknya agak ke dalam. Perpindahan itu disebabkan
adanya serangan dari arah laut. Masih berkenaan dengan
bandar di pesisir timur Sumatera itu, sumber Cina, Yingyai
Shenglan (1416) menyebutkan bahwa Samudera tidak
memiliki dinding yang dibangun sebagai benteng kota.
Adapun tempat tinggal penguasanya berjarak sekitar 5
kilometer dari pantai. Dalam sumber itu juga disampaikan
bahwa rajanya terbunuh oleh panah beracun yang dilepaskan
musuhnya (Groeneveldt,2009:119).
Sumber lain juga menyampaikan tentang keberadaan
sarana pertahanan kota. Ibnu Battutah yang berkunjung
pada pertengahan abad ke-14 memberitakan bahwa Pasai
yang pada akhir abad ke-13 muncul sebagai pusat kekuasaan
di Selat Malaka memiliki kota yang berpagar kayu. Dalam
pagar keliling kayu itu terdapat tempat tinggal penguasa dan
bangsawan lain yang dilindungi rakyat di luar pagar. Terlihat
adanya pemisahan yang tegas antara kawasan istana dan
kawasan pasar. Pasai sebagai pusat pemerintahan, berada
agak jauh dari pantai, sementara Samudera sebagai bandar
memang berada di tepi laut. Demikianlah kondisi Kerajaan
Samudera Pasai antara abad ke-13 hingga awal abad ke-16.
Masih tentang situasi di bagian ujung utara pulau
Sumatera, sumber asing ikut membantu memberikan infor
masi keberadaannya. Marco Polo bersama rombongan
dalam perjalanannya sempat menetap selama 5 bulan di
Samara. Upaya mereka untuk melindungi diri dari kejahatan
penduduk pribumi yang liar adalah dengan membuat parit
lebar dan dalam yang digali di sekeliling lahan yang mereka
Benteng di Sumatera Bagian Utara dan Perspektif Penelitiannya 27
tempati. Bersama sejumlah besar anggota rombongannya,
diperkuatlah parit itu dengan mendirikan benteng dari kayu.
Dikatakannya bahwa atas usaha yang dilakukan, mereka
mendapatkan keamanan yang sempurna di sana (Polo,
2009:89).
Sementara itu, sumber lain dari Asia juga ikut memberi
kan kontribusi. Keberadaan benteng berbahan kayu disebut
juga dalam sumber Cina. Sejarah Dinasti Ming (1368-1643)
Buku 325, menyatakan bahwa Indragiri yang sering diserang
Johor memiliki benteng terbuat dari kayu (Groeneveldt,
z2009:108). Indragiri terletak di pantai timur Sumatera, dan
sarana pertahanan yang diperbuat berk enaan dengan upaya
menahan serangan dari arah laut. Sementara itu, sumber
Cina lainnya, Xingcha Shenglan (1436) menyebutkan bahwa
orang-orang di Selat Lingga merupakan bajak laut. Mereka
menggunakan ratusan perahu kecil untuk menyerang
perahu yang melintas, merampok dan membunuh awaknya
(Groeneveldt,2009:112). Jadi berbeda dengan kasus
sebelumnya, masyarakat di sana justru menjadikan bentuk
serangan sebagai bagian untuk mempertahankan kedaulatan
dan kehidupan di wilayahnya. Sekaligus memperlihatkan
usahanya dalam memaksakan kehendaknya pada pihak
lain. Adapun Xingcha Shenglan (1436), sebagai sumber Cina
tentang keberadaan masyarakat Nusantara yang juga ber
keinginan memenangkan ketidaksesuaian dengan pihak lain,
menyampaikan bahwa di Aru, laki-laki selalu membawa
busur dan panah beracun untuk melindungi dirinya
(Groeneveldt,2009:132).
Augustin de Beaulieu dari Perancis yang pada tahun
1619 dan 1620 singgah di Aceh juga membuat catatan tentang
28 Benteng Dulu, Kini, dan Esok
perjalanannya. Melalui sumber Eropa itu diketahui bahwa
pada zaman pemerintahan Iskandar Muda terdapat benteng
untuk mengawasi lalu lintas di muara sungai yang menuju
ke kota kerajaan/Banda Aceh. Benteng dilengkapi bastion
bundar yang besar dengan beberapa meriam. Dalam tembok
benteng ada masjid. Berhadapan dengan benteng raja mem
buat bangunan tempat peristirahatan yang dikelilingi parit.
(Lapian,2008:98-99).
Masih terkait dengan sumber-sumber tertulis, situasi
pada masa yang lebih muda disampaikan dalam catatan
Balanda. Terkait dengan bangunan Benteng Tanjung
Butung, berkenaan dengan kepentingan Belanda di kawasan
Kepulauan Riau sejak lebih dua ratus tahun silam, sumber
tertulis menyebutkan bahwa pembangunannya mengguna
kan batu-batu yang didatangkan dari Malaka pada tahun
1824. Pimpinan pembangunannya adalah Letnan Zeni
Schonermark. Kelak pada tahun 1825 bangunan tersebut
diresmikan dengan nama Fort Kroonprins Hendrik.
Sebelumnya, yakni pada tahun 1787, benteng ini pernah
diserang oleh pasukan Sultan Mahmud Syah. Untuk meng
hindari pembalasan pihak Belanda, Sultan Mahmud Syah
pindah ke Pulau Lingga. Ini adalah awal penggunaan
Lingga sebagai tempat kedudukan resmi Yang Dipertuan
Besar. Adapun Pulau Penyengat kelak menjadi tempat
kedudukan resmi Yang Dipertuan Muda. Kelak pada masa
penjajahan Jepang, benteng Tanjung Butung difungsikan
sama seperti ketika Belanda kembali pada tahun 1945 hingga
sekitar tahun 1950. Setelah itu TNI AL mengambilalih dan
memanfaatkannya hingga sekarang.
Benteng di Sumatera Bagian Utara dan Perspektif Penelitiannya 29
Keberadaan benteng-benteng di kawasan Kepulauan
Riau ini juga terkait dengan adanya Traktaat London tahun
1824 yang mengakibatkan Kerajaan Riau Johor dipecah dua.
Johor, Singapura, dan Pahang berada di bawah naungan
kekuasaan Inggeris, sementara Riau-Lingga di bawah
kekuasaan Belanda. Dapat dikatakan bahwa kekuasan de
jure ada di tangan Sultan atau Yang Dipertuan Besar di Daik,
Lingga, sedangkan kekuasaan de facto berada di tangan Yang
Dipertuan Muda (Raja Muda) yang berkedudukan di Pulau
Penyengat (Junus,2002). Beberapa perbentengan dijumpai di
kedua wilayah kekuasaan itu, seperti Benteng Bukit Cening
dan Benteng Pulau Mepar.
Sumber lain, lokal maupun asing juga mencatat tentang
benteng-benteng di tempat lain. Benteng Portugis Pulau
Cingkuk misalnya, karena letaknya di dekat lokasi bekas
penambangan emas masa kolonial Belanda di Salido serta
jalur pelayaran di pantai barat Pulau Sumatera, merupakan
tempat strategis baik sebagai tempat tujuan utama maupun
persinggahan. Mengacu pada sumber tertulis, tinggalan yang
tersisa, serta membandingkannya dengan situs sejenis di
tempat lain (situs Pulau Onrust dan Pulau Sakit di Kabupaten
Kepulauan Seribu, Jakarta, misalnya), maka situs ini dapat
diasumsikan memiliki fungsi sebagai loji VOC/Belanda. Loji
adalah suatu tempat yang digunakan sebagai pergudangan,
perkantoran, perdagangan, sekaligus juga berfungsi sebagai
bangunan pertahanan. Keberadaan tembok keliling dari
bahan batuan andesit berspesi dan bata berspesi di Pulau
Cingkuk, sisa struktur bekas bangunan lain dan bengkel kerja
mengindikasikan hal itu.
30 Benteng Dulu, Kini, dan Esok
g. Nilai Penting dan Fungsi Benteng
Potensi yang terkandung pada situs-situs perbentengan
meliputi nilai-nilai penting kesejarahan; nilai penting ilmu
pengetahuan; nilai penting kebudayaan; serta nilai penting
sosial-ekonomi. Nilai penting kesejarahan sebuah benteng/
situs benteng karena merupakan bukti fisik keberadaan
sebuah pusat pemerintahan/kekuatan dan pertahanan
masyarakat setempat/pihak lain dari periode tertentu.
Sementara nilai penting pengetahuan atas sisa benteng
karena terbatasnya penemuan-penemuan sejenis dari masa-
masa/periode yang lazim diberlakukan di Indonesia. Ini
berkenaan antara lain dengan masa prasejarah, masa klasik,
masa masuk dan berkembangnya Islam, serta masa-masa
modern akibat datangnya unsur Eropa. Hal ini penting bagi
pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya arkeologi
dan sejarah arsitektur tradisional. Adapun nilai penting
kebudayaan sebuah benteng/situs perbentengan terkait
hubungannya dengan masyarakat, termasuk masyarakat
adat, di sebuah daerah. Legenda/cerita mengenai benteng
dan tokoh-tokohnya melekat di hati masyarakat sebagai
tokoh masa lalu yang terlibat dalam perjalanan sejarah daerah
tersebut. Menyangkut nilai penting sosial-ekonomi, hal itu
berkenaan dengan kemampuannya sebagai sarana peraga
dalam pendidikan sejarah kebudayaan, khususnya mengenai
bentuk lingkungan perbentengan, kota, dan kehidupannya
pada masa lalu.
Peninggalan tua berupa benteng yang langka dan ter
lebih karena kaitannya dengan tokoh legendaris, mampu
menjadikannya sebagai daya tarik tersendiri dalam bentuk
objek wisata budaya. Benteng dan nama yang sangat terkenal,
Benteng di Sumatera Bagian Utara dan Perspektif Penelitiannya 31
yang merupakan identitas dan akar sejarah masyarakat suatu
daerah dapat dijadikan sebagai citra kawasan (landmark)
daerah itu.
Demikianlah benteng sebagai pusaka budaya jelas me
miliki arti dan kegunaan bagi ilmu pengetahuan, nilai sejarah
dan kebudayaan yang penting. Pengertian ilmu pengetahuan
di sini adalah arkeologi, sejarah, antropologi dengan uraian
sebagai berikut.:
1). Benteng sebagai bangunan pertahanan
Dalam sumber tertulis berupa naskah Melayu lama
seperti Sejarah Melayu, Hikayat Hang Tuah, dan Hikayat Merong
Mahawangsa disampaikan dasar pemilihan lokasi suatu kota
raja. Seorang penguasa memutuskan mendirikan sebuah kota
berdasarkan pertimbangan lingkungan yang sesuai, misalnya
berada di tepi sungai yang memungkinkan laut dapat di
capai dengan mudah. Pemilihan dapat pula didasarkan
atas kedekatannya dengan sumber ekonomi seperti adanya
tambang emas, atau pada kawasan yang penuh dengan
binatang buruan dan ikan yang melimpah (Perret,1999: 248-
249). Ini berkenaan misalnya dengan tapak-tapak bekas pusat
pemerintahan yang berada tidak jauh dari aliran sungai besar,
seperti Sungai Indragiri dan Sungai Batang Kuantan.
Sementara itu, dalam kesusasteraan Melayu lama juga
digambarkan bahwa istana sebagai pusat pemerintahan
dilindungi oleh sistem pertahanan yang umumnya berupa
benteng tanah yang di atasnya ditanami rumpun bambu
berduri. Di bagian luar benteng dilengkapi dengan parit, dan
diperkuat pula dengan meriam. Saat terjadi pertempuran
karena adanya serangan, istana berbenteng menjadi tempat
32 Benteng Dulu, Kini, dan Esok
berlindung rakyat. Mereka juga diperintah raja untuk
membantu memperbaiki sistem pertahanan. Dalam Sejarah
Melayu dan Hikayat Hang Tuah diceritakan bahwa saat musuh
datang menyerang, rakyat masuk ke dalam benteng dan
menyiapkan beragam jenis senjata seperti pedang, keris,
tombak, dan juga perisai (Perret,1999:255).
Pengaruh Barat dalam bidang kemiliteran juga dapat
dirasakan. Di Sumatera bagian utara, seperti di wilayah
Provinsi Kepulauan Riau, semakin kuatnya pengaruh Barat
menyebabkan diadopsinya kebiasaan pendatang dalam sistem
pertahanan. Benteng-benteng di sana cenderung digunakan
sebagai sarana pengawasan jalur lalu lintas pelayaran dan
perdagangan. Persenjataan utama adalah meriam dengan
jarak tembak yang cukup besar dan efektif dalam penjagaan
pusat kekuasaan dan perdagangan. Di Kepulauan Riau hal
itu tampak pada benteng Bukit Cening di Pulau Lingga, juga
benteng Pulau Mepar, serta benteng Khairiah Mandah di
wilayah Kabupaten Indragiri Hilir.
Melalui sisa yang ada saat ini, tampak bahwa Kepulauan
Riau dengan kondisi alamnya yang khas memunculkan
peninggalan berupa istana dan bangunan pertahanan yang
cenderung didirikan di dekat aliran sungai. Pada masanya,
selain sebagai sarana pemenuhan kebutuhan penghuninya
akan air, sungai juga memiliki nilai lebih sebagai sarana
transportasi dibandingkan jalan darat.
2). Benteng sebagai alat yang membantu ingatan (mnemonic
devices)
Benteng adalah alat yang membantu ingatan akan sesuatu
yang dianggap penting, baik dari sudut sejarah, kebudayaan,
Benteng di Sumatera Bagian Utara dan Perspektif Penelitiannya 33
maupun kemasyarakatan. Masuk dalam kategori ini adalah
objek-objek yang akan mengingatkan kita pada suatu
peristiwa sejarah. Pada benteng misalnya, kerap dijumpai
prasasti/pertulisan singkat. Demikian pula dengan foto
lama, naskah, dan arsip, maupun catatan lama dalam buku
atau publikasi lain. Ini jelas berguna karena dapat digunakan
sebagai sumber untuk dilakukannya rekonstruksi sejarah
secara akademis. Demikian pula halnya dengan benteng
sebagai alat pengingat kolektif (collective memory). Benteng
dapat mengingatkan bahwa masyarakat di sekitarnya pernah
mengalami kejadian-kejadian tertentu. Pengalaman ini bukan
saja perlu diingat karena juga berfungsi sebagai pendukung
integrasi sosial, tetapi berkenaan pula dengan sumbangan
yang diberikan budaya tempatan pada kejadian yang pernah/
telah berlangsung.
Peristiwa sejarah boleh berlalu, namun nilai yang di
embannya tetap menjadi sesuatu yang tidak gampang
dilupakan. Kenangan pahit mungkin dengan gugurnya
anggota pasukan atau anggota masyarakat yang dicintai
saat mereka mempertahankan hingga harus meninggalkan
benteng/kubu miliknya. Sebaliknya, kenangan manis yang
membuahkan kisah-kisah heroik adalah kemenangan mereka
atas musuh yang berhasil dihalau/dikalahkan.
Demikianlah kita dapat mengatakan bahwa sebuah
benteng mempunyai nilai sejarah. Nilai intrinsik (terkandung
di dalamnya) pada dirinya, bukan hanya sesuatu yang berada
di luar dirinya. Misalnya Benteng Huta Nauli/Benteng
Rorak di Rao, Pasaman seolah-olah dapat menceritakan
tentang seorang tokoh militer Belanda - dan ini sesuatu yang
berada di luar benteng – namun benteng ini juga memiliki
34 Benteng Dulu, Kini, dan Esok
nilai historis karena benteng tersebut berhubungan dengan
upaya Belanda dalam menjepit pasukan Kaum Paderi yang
melakukan perlawanan dalam jangka waktu yang cukup
lama. Ini berarti bahwa objek-objek dimaksud, di samping
merupakan saksi sejarah tentang sesuatu, juga merupakan
bagian yang intrinsik dari kesaksian itu.
3). Benteng sebagai sisa/bekas-bekas sejarah (historic
remnants)
Mengacu pada keberadaannya, objek arkeologis berupa
benteng merupakan benda hasil periode sejarah tertentu.
Dengan mempelajarinya kita dapat mengetahui corak
dan tingkat kebudayaan dan susunan masyarakat yang
menghasilkannya. Adapun membandingkannya dengan
objek sejenis, dapat pula memperkirakan corak dinamika
sejarah yang dialami oleh kebudayaan itu. Semuanya
merupakan kesaksian sejarah yang mengatakan banyak
hal. Apalagi bila benteng tersebut berasal dari masa yang
lebih kemudian, yang selain memiliki data artefaktual yang
dikandungnya juga dilengkapi dengan catatan lama tentang
keberadaannya.
Sebagai bekas atau jejak sejarah, Kota Piring di Tanjung-
pinang mendapat tempat tersendiri dalam catatan lama.
Tuhfat al-Nafis (Persembahan Indah) misalnya, sebuah karya
penting sumber sejarah Melayu yang membicarakan Kerajaan
Riau dengan pusat-pusat kekuasaan seperti Lingga dan Pulau
Penyengat (Bottoms,1995:153), juga menceritakan tentang
kemolekan istana Kota Piring, yang bagian-bagian tembok
kelilingnya berhiaskan beragam keramik Cina.
Benteng di Sumatera Bagian Utara dan Perspektif Penelitiannya 35
Menyangkut benteng/situs benteng lainnya, Belanda
sebagai pihak yang berambisi meluaskan kekuasaannya telah
menggunakan senjata dan harus selalu waspada. Pendirian
benteng-benteng yang digunakan untuk menjepit lawannya,
Kaum Paderi misalnya, disebabkan karena mereka tidak
mampu memperoleh kemenangan yang bersifat menentukan.
Dalam beberapa kesempatan diketahui bahwa pihak Belanda
yang mula-mula menyerang, suatu saat mendapat momentum
serangan balik dari Kaum Paderi yang memaksanya untuk
segera membangun benteng pertahanan. Ini adalah salah satu
manuver Belanda untuk melaksanakan konsentrasi kekuatan
maksimal di suatu tempat.
Sementara bagi pihak lawan, kaum pribumi, berkenaan
dengan aksi pertahanan, perlawanan gerilya dilakukan
dengan selalu berusaha untuk tidak diserang, sebaliknya
selalu menjalankan serangan dan pencegatan. Aksi gerilya
memungkinkan untuk memukul mundur musuh dan segera
lari menghilang. Kondisi demikian tidak memungkinkan
pihak penyerang mengkonsolidasikan kekuatan. Banyak
persoalan logistik yang sangat mengurangi daya tempur
pihak penyerang. Kelak pihak yang bertahan, dan yang men
jalankan aksi gerilya mampu melakukan serangan balasan.
Apalagi dukungan dari masyarakat cukup kuat.
4). Benteng sebagai teknologi tempatan (local technology)
Keberadaan benteng dan komponen-komponennya juga
dapat dihubungkan dengan corak peralatan yang diguna
kan manusia dalam menjawab tantangan hidup. Ini ber
kenaan dengan local technology tempat manusia berupaya
memanfaatkan teknologi yang dianggap lebih baik dan lebih
mudah diperoleh.
36 Benteng Dulu, Kini, dan Esok
Dalam perjalanan sejarah, perang antara kelompok
manusia yang bertentangan kepentingan sudah berlangsung
saat mereka masih dalam tingkat budaya sederhana. Bahwa
pertentangan itu diakhiri dengan kekerasan, yang dilakukan
adalah benar-benar perkelahian fisik untuk memaksa lawan.
Mula-mula bentuk senjata yang digunakan masih sangat
sederhana. Seiring laju perkembangan budaya, berkembang
pula cara menerapkan kekerasan untuk menghadapi
ancaman secara efektif. Karena berkembangnya peralatan
dan persenjataan maka bentuk perkelahianpun berubah
menjadi pertempuran. Pertempuran-pun berkembang sejajar
dengan perkembangan peralatan dan persenjataan. Dan
sediaan berbagai moda transportasi menjadi faktor yang amat
menentukan kemenangan dan kekalahan dalam peperangan
(Suryohadiprojo,2008:16).
Dalam perang, kegiatan utamanya adalah menyerang
dan mempertahankan. Serangan dilakukan sebagai bentuk
memaksakan kehendak terhadap pihak yang diserang.
Tujuannya memberikan pukulan untuk menundukkan
musuh. Aktivitas ini dilakukan dengan mengorganisasi
sekelompok manusia untuk menyerang musuh dengan
membawa beragam senjata. Dapat dibayangkan bahwa
dahulu orang hanya menggunakan senjata pemukul berupa
gada dan senjata penusuk seperti pedang dan tombak.
Perkelahian berlangsung pada jarak dekat. Belakangan
orang juga menggunakan busur dan anak sehingga dapat
menyerang, melukai, dan membunuh musuhnya dari jarak
yang lebih jauh. Kelak orang memanfaatkan hewan sebagai
tunggangan dalam penyerangan. Lama-kelamaan serangan
makin berkembang sejalan dengan penemuan kendaraan