B U LETIN FOTOGRAFI DAN SASTRA EDISI PERTAMA : APRIL 2024 Memesan Menu yang Tidak Ada di Kepalamu Untuk apa aku jadi kucing oranye dan bunga matahari jika yang kau mau adalah jajanan pedas?
| Apr il 2024 SALAM REDAKSI | 01 Kemonotonan Perlu Didobrak Dengan Santai Dalam film animasi Spongebob Squarepants, tepatnya pada episode Squidville, Squidward memulai hidup barunya di sebuah kota untuk mencari ketenangan—menghindari Spongebob dan Patrick. Di sana, ia menjalani rutinitas impiannya: bersepeda, berbelanja, menari balet, dan bermain klarinet. Terus begitu setiap hari bersama orang-orang yang sama. Hingga, ia mencapai titik kejenuhannya dan melampiaskan kebosanannya melalui bermain-main dengan sebuah peniup kerang. Mungkin kita semua tak jauh berbeda dengan Squidward. Entah berapa pun umur kita, rutinitas yang kita jalani tak jauh-jauh dari kata monoton. Sebagai mahasiswa, misalnya, kesibukan akademik dan selingan kegiatan organisasi/magang adalah santapan sehari-hari. Dan sialnya— tak seperti Squidward yang melampiaskan kebosanannya pada sebuah peniup kerang —kita mencoba untuk menikmati kemonotonan itu. Adalah nasib buruk hidup dalam rutinitas yang monoton dan dipaksa menikmatinya. Disertai berbagai tuntutan yang entah datang dari mana saja, lahirlah benihbenih individualisme. Kita sudah terlalu sibuk mengurusi diri sendiri sehingga tak ada lagi waktu untuk menengok orang lain. Akhirnya, jiwa-jiwa kompetisi semakin berkembang pesat, sementara semangat gotong royong perlahan memudar, bahkan nyaris hilang. Dengan bingkai globalisasi, digitalisasi, modernisasi dan - isasi lainnya, semua dipaksa beranjak dari semangat yang berlandaskan kesadaran kolektif menuju sebuah sikap pragmatis. Barangkali Pasar Santai adalah sebuah angin segar di tengah kemarau panjang kesadaran kolektif. Ia hadir, menghidupkan kembali gotong royong yang dikemas dalam semangat santai, sebuah semangat yang bukan berarti mengabaikan komitmen dan disiplin. Buktinya, kegiatan ini telah berlangsung sebanyak enam kali. Tak hanya memantik kembali semangat gotong royong, ia turut menghadirkan potret-potret lokalitas. Pasar Santai menjadi sebuah wadah yang konsisten bagi para industri kreatif lokal. Kehadiran Pasar Santai menginspirasi kami dalam menyusun Piksilasi kali ini. Seperti mereka, kami membawa pesan yang sama: semangat santai dan potret lokalitas. Pesan-pesan itu lalu kami utarakan dalam beberapa karya esai juga karya sastra yang dimuat dalam buletin ini. Setiap karya dalam buletin ini adalah apresiasi dan pengabadian bagi siapa pun yang memiliki semangat serupa. Akhirnya buletin ini telah terbit. Semoga ia dapat menjadi pembeda dalam kemonotonan rutinitas yang membosankan. Terakhir, silakan bersantai dalam Piksilasi kali ini. Redaksi
EDITORIAL | 02 Antara Lokalitas dan Kebudayannya Di tengah lautan globalisasi yang mengubah lanskap budaya dan identitas, penting bagi sebuah masyarakat untuk tidak kehilangan akar dan jati dirinya. Lokalitas, sebagai ekspresi dari budaya, nilai-nilai, dan kearifan lokal, menjadi fondasi yang kuat dalam membangun identitas sebuah komunitas. Namun, dalam dinamika zaman modern, tantangan untuk mempertahankan dan memperkuat lokalitas semakin mendesak. Lokalitas bukanlah sekadar kumpulan tradisi dan kebiasaan yang ketinggalan zaman, melainkan sebuah sumber kekayaan yang tak ternilai. Ini mencakup warisan budaya, seni, bahasa, serta sistem pengetahuan yang terkait erat dengan lingkungan tempat tinggalnya. Saat kita berbicara tentang membangun dan mempertahankan lokalitas, kita sebenarnya berbicara tentang menghormati dan merawat akar-akar yang memberi kita identitas sebagai sebuah komunitas. Lokalitas tidak hanya tentang lanskap fisik, tetapi juga tentang budaya dan warisan historis yang terkandung di dalamnya. Di banyak daerah, tradisitradisi kuno, seni, dan bahasa daerah semakin terpinggirkan oleh dominasi budaya populer global. Perkembangan teknologi dan penetrasi media massa membuat generasi muda. semakin terpapar pada budaya luar, kadang-kadang mengaburkan pemahaman mereka akan keunikan budaya lokal. Salah satu cara untuk memperkuat lokalitas adalah melalui pelestarian budaya. Setiap komunitas memiliki warisan budaya yang unik, mulai dari cerita rakyat, tarian tradisional, hingga kuliner khas. Merawat dan mempromosikan warisan budaya ini bukan hanya tentang mempertahankan tradisi, tetapi juga tentang memperkenalkan keindahan dan kekayaan budaya kepada dunia. kegiatan-kegiatan Inisiatif seperti festival budaya lokal, pameran seni, dan workshop tradisional dapat menjadi sarana efektif untuk menyebarkan kesadaran akan pentingnya warisan budaya. Selain itu, pendidikan lokal juga memainkan peran penting dalam memperkuat identitas lokal. Melalui pendidikan yang mengintegrasikan nilainilai lokal dalam kurikulumnya, generasi muda dapat memahami dan menghargai warisan budaya mereka sejak dini. Ini tidak hanya membantu menjaga kesinambungan budaya, tetapi juga mengembangkan rasa kebanggaan akan identitas mereka sendiri. Namun, dalam upaya mempertahankan lokalitas, kita juga perlu menyadari bahwa dunia tidak statis. Globalisasi membawa perubahan yang tak terelakkan, dan kita perlu menemukan keseimbangan antara memperkuat identitas lokal dan berinteraksi dengan dunia luar. | Apr il 2024
Fitra Fahrur 03 | EDITORIAL Mengadopsi teknologi modern, misalnya, tidak harus berarti mengorbankan nilai-nilai tradisional. Sebaliknya, teknologi dapat menjadi alat untuk mempromosikan dan melestarikan warisan budaya lokal. Lokalitas bukanlah tentang menutup diri dari pengaruh luar, tetapi tentang memperkaya diri dari berbagai pengalaman dan pengetahuan yang datang dari berbagai budaya. Ketika kita mampu membangun identitas lokal yang kuat, kita juga menjadi lebih siap untuk berkontribusi dalam panggung global. Keterbukaan terhadap perbedaan, sambil tetap teguh pada nilai-nilai kita sendiri, akan membawa kita menuju arah kemajuan yang berkelanjutan. Modernisasi bukan berarti membuang jati diri. Lokalitas bukanlah hambatan bagi kemajuan, tetapi merupakan fondasi yang kokoh untuk menjelajahi dunia dengan identitas yang teguh dan kuat. Dengan memelihara dan memperkuat lokalitas, kita tidak hanya membangun masa depan yang lebih baik bagi diri kita sendiri, tetapi juga mewariskan warisan yang berharga bagi generasi yang akan datang. | Apr il 2024
JUNI 2023 | @lpmkavling10 @lpmkavling10 @lpmkavling10 www.lpmkavling10.com [email protected] SUSUNAN REDAKSI Pelindung Rektor Universitas Brawijaya Pembimbing Dr. Mondry, M. Sos Penanggung Jawab Adila Amanda Pemimpin Redaksi Dimas Candra Pradana Redaktur Pelaksana Fitra Fahrur Editor Dimas Candra | Adila Amanda | Florantina Agustin Nilamsari Penulis Fitra Fahrur | Rafi Ma’aruf N | Dimas Candra Pradana Penulis Sastra Adila Amanda | Muhammad Zaki | Lizana Benasti | Badra Dafa’a Ahmad | Rin Kolumnis Lila Ayu Ilustrator Gracia Cahyadi | Celina K | Az-Zahra Aqila Y.M Fotografer Fitra Fahrur Layouter Fitra Fahrur 04 | DAFTAR ISI DAFTAR ISI Fotografi Esai 05 Apa yang kau mau? Fotografi Esai 08 Gotong royong : Kerja santai tapi tercapai Fotografi. Resensi Buku 11 Orang-Orang Oetimu Kolase Foto 07 Apa yang kau mau? Kolase Foto 10 Gotong royong: Kerja santai tapi tercapai Fiksimini 14 M di Gereja (i) | M di Gereja (ii) | M di Gereja (iii) | M di Kopian (i) | M di Kopian (ii) Puisi 15 Menjadi Manusia Kritik Sastra 24 Saksi Mata hingga Eye of the Beholder : Perihal Intertekstualitas dan seterusnya Cerpen 18 Indo-tity Crisis : Sadina The (Culture) Explorer Sastra. Puisi 16 Hujan Dikota Puisi 17 Hamur-Hamur Tikas Esai Sastra 27 Mencari Osob Kiwalan dalam Sastra-Sastra Lokalitas Opini 27 Jika Stoikisme Obat Untukmu, Maka Kamu Perlu Operasi
Apa yang Kau Mau? Globalisasi telah membawa perubahan yang signifikan dalam perilaku konsumen di seluruh dunia. Salah satu aspek dari perubahan ini adalah kecenderungan masyarakat untuk lebih memilih produk luar daripada produk lokal. Fenomena ini telah memunculkan berbagai diskusi tentang dampaknya terhadap perekonomian lokal, budaya, dan identitas nasional. Penulis: Fitra Fahrur 05 | FOTOGRAFI ESAI Beberapa dari masyarakat masih memiliki perspektif kuno yang mana menganggap produk-produk luar lebih unggul dari segi kualitas, ketahanan, atau bahkan dari desain produk itu sendiri daripada produk lokal. Sebenarnya, di era sekarang banyak produk-produk lokal yang memiliki kualitas yang bahkan mungkin melebihi produk-produk luar. Hal ini bisa dilihat dari brand produk-produk lokal seperti sepatu, pakaian, dan lain-lainnya yang diproduksi sendiri oleh anak bangsa yang dapat membantah statement produk luar lebih berkualitas dari produk lokal. Banyak inovasi yang diterapkan, salah satunya pada desain produk yang menyerap kebudayaan lokal seperti barong dari Bali dan wayang dari Jawa. Bahkan inovasi mencampurkan elemen kebudayaan ini juga dilakukan di makanan seperti penggunaan daun pisang sebagai kemasan dengan tampilan yang modern. Tetapi, karena kurangnya lampu sorot terhadap brandbrand lokal sehingga masyarakat banyak yang masih belum tahu tentang produkproduk lokal tersebut. Banyak gerakan-gerakan atau upaya yang dilakukan, mulai dari pemerintah hingga masyarakat sebagai pelaku dan pendukung kebudayaan tersebut untuk memunculkan UMKM atau produk- | Apr il 2024
produk lokal ke permukaan atau bahkan hingga ke kancah internasional. Tetapi pada ujungnya, semua kembali ke perspektifnya masing masing. Seseorang tidak bisa memaksa orang lain untuk menyukai apa yang orang itu suka dan perbedaan sudut pandang tersebut tidak layak untuk dihakimi. Penting untuk diingat bahwa dukungan terhadap produk lokal juga penting untuk mendukung perekonomian lokal, melestarikan budaya, dan menciptakan kemandirian ekonomi dalam jangka panjang. Oleh karena itu, menciptakan kesadaran dan mendukung produk lokal juga merupakan langkah yang penting dalam membangun masyarakat yang berkelanjutan secara ekonomi dan sosial. Fotografer: Fitra Fahrur FOTOGRAFI ESAI | 06 Mulai dari festival UMKM, bazar produk lokal, atau bahkan campaign-campaign yang dilakukan di media sosial. Tetapi, tidak bisa dipungkiri lagi bahwa tidak semua orang bisa menyukai produkproduk lokal. Meskipun begitu, masih ada orang-orang yang lebih memilih produk lokal ketimbang produk luar. Entah dengan sebatas sebagai support kepada produk lokal atau memang sebab kualitas produk lokal yang lebih unggul daripada produk luar. Preferensi masyarakat terhadap produk luar daripada produk lokal juga bisa dipengaruhi oleh berbagai faktor yang kompleks, termasuk tentang pengaruh media, status sosial, ketersediaan, keamanan, dan konteks globalisasi. | Apr il 2024
07 | KOLASE FOTO Pasar Santai 6 Pasar Joyo Agung, Malang Apr il 2024 |
Gotong Royong: Kerja santai tetap tercapai Gotong royong, kegiatan yang kiranya jarang terjadi oleh masyarakat di kota-kota besar karena terpenuhinya semua hajat dasar masyarakat yang menjadikan masyarakat sangat individualis dan melupakan budaya gotong royong. Penulis sendiri sadar bahwa bentuk dasar gotong royong tradisional tidak cocok di iklim perkotaan yang sangat kapitalis dan memikirkan 'cuan' tanpa mengindahkan kebudayaan, kesenian dan komunitas lokal yang ada di masyarakat. Maka diperlukan adaptivitas dari bentuk gotong royong menjadi digital yang digagas oleh kaum muda dibuat lebih santai, lebih fleksibel dan mudah diakses oleh seluruh lapisan masyarakat. FOTOGRAFI ESAI | 08 Adaptasi dari gotong royong sendiri tidak hanya secara kerja keras namun kerja santai terstruktur. Menciptakan gerakan kolektif koordinatif, secara online terstruktur. Mulai dari kerja sama vendor lokal, rapat koordinasi, hingga perizinan acara, yang sekiranya gotong royong secara tradisional sangat kaku terhadap kolaborasi, hubungan kerja sama, dan koordinasi tiap elemen masyarakat. | Apr il 2024 Penyadaran gerakan kolektif harus sering di lumrahkan di kalangan masyarakat, terutama dalam konteks industri kreatif dan seni. Semangat untuk memperbarui konsep gotong royong menjadi lebih santai, fleksibel, namun tetap mempertahankan tingkat disiplin dan efisiensi yang tinggi semakin mendorong perubahan ini. Fenomena ini mencerminkan pergeseran paradigma dalam cara kita berinteraksi dan berpartisipasi dalam ekosistem digital, di mana kolaborasi dan pendekatan yang lebih lokal dan berkelanjutan menjadi semakin dihargai dan diutamakan. Dengan adanya kesadaran akan pentingnya mendukung komunitas lokal, baik secara daring maupun luring. Gotong royong secara digital yang mendukung pertumbuhan dan perkembangan pelaku seni dan industri lokal secara berkelanjutan. Ini dilakukan di pasar santai dengan meningkatkan kesadaran akan pentingnya mendukung "lokalitas", yang pada gilirannya dapat memperkuat ekonomi lokal dan menciptakan peluang baru bagi pengusaha dan seniman lokal.
09 | FOTOGRAFI ESAI Penulis : Rafi Ma’ruf Nugraha Fotografer: Fitra Fahrur Apr il 2024 | Selain itu, pasar santai juga bertujuan untuk membangun koneksi antara pelaku industri kreatif dan seni lokal. Melalui berbagai kegiatan seperti pameran seni, bazaar makanan, lokakarya, dan diskusi publik, gerakan ini memfasilitasi kolaborasi dan saling dukung antara anggota komunitas industri kreatif dan seni di Malang Raya. Dengan demikian, diharapkan tercipta komunitas yang solid dan berdaya bagi para pelaku industri kreatif dan seni. Penulis pun sadar bahwa bentuk gotong royong melalui platform digital maupun secara langsung merupakan bentuk gotong royong itu sendiri, namun kita harus menerima bahwa generasi muda memberi kultur baru gotong royong dengan kerja santai namun tetap disiplin memberikan jejaring kuat di lapisan masyarakat, mendukung komunitas juga pengusaha lokal agar roda ekonomi tidak dimainkan oleh satu pihak, dengan menjaga lokal maka global mengikuti. salam kerja santai, tabik!
10 | KOLASE FOTO Apr il 2024 | Pasar Santai 6 Pasar Joyo Agung, Malang
Orang-Orang Oetimu: Sebuah Representasi Realitas Sosial Orang-Orang Oetimu merupakan novel yang berlatar belakang zaman orde baru. Novel ini menceritakan tentang bagaimana seorang anak yang bernama Siprianus Portakes Oetimu hadir di dunia sampai ia dewasa dan dikenal sebagai Sersan Ipi. Sersan Ipi merupakan anak dari Laura yang merupakan anak dari Julio yaitu serang tentara kewarganegaraan Portugal yang ditugaskan ke Timor untuk membantu proses dekolonisasi. Julio membawa istri dan anaknya karena sang istri yang memaksa untuk ikut. Julio bertemu dengan Kapten Gustavo yang ternyata menjadi buronan dan ia menyeret Julio kedalam masalahnya. Tentara Indonesia membawa sekitar lima puluhan orang-orang termasuk Julio digiring ke pelabuhan. Mereka dipisahkan dengan perempuanperempuan muda sehingga membuat Julio dan istrinya terpisah dengan Laura. Laura berdiri di gerbang, ia melihat secara langsung bagaimana ayah ibunya dibunuh dan dibuang ke laut. Nasib buruk bertubi-tubi menimpa Laura yang masih berusia 16 tahun. Ia dan perempuan-perempuan lain dipaksa untuk memuaskan nafsu para tentara tidak bermoral itu. Laura sangat kurus dan tubuhnya sungguh tak terawat. Perutnya semakin hari semakin membesar. Bau tubuhnya sungguh menyengat, daki hingga bekas luka memenuhi wajah dan tubuhnya. Judul Buku: Orang-Orang Oetimu Penulis: Felix K. Nesi Tebal: 220 Halaman Tahun Terbit: 2019 Penerbit: CV Marjin Kiri | JUNI 2023 RESENSI BUKU | 1 1
Siapapun yang melihatnya maka mereka akan mengira bahwa Laura adalah kutukan nenek sihir. Kemudian seorang laki-laki Timor mendatangi Laura dan membantu Laura untuk melarikan diri. Ia berkata bahwa lebih baik membiarkan dirinya pergi daripada ia harus membunuhnya. Maka pada malam itu, Laura berlari masuk ke hutan, ia berjalan sekeras kerasnya sampai tidak ada sinar lampu terlihat. Berhari-hari ia berjalan dari hutan sampai ia menemukan sebuah pemukiman. Jika lapar maka ia akan makan rumput hijau. Kandungannya semakin hari semakin membesar. Ia masuk ke pemukiman warga dan membuat seluruh anak-anak disana ketakutan. Salah seorang warga menyuruh anak-anak untuk memanggil Am Siki. Am Siki merupakan seorang tetua yang sangat dihormati karena kegigihannya melawan penjajah Jepang hingga namanya mewangi di seluruh penjuru kota. Am siki menghampiri Laura, tanpa berkata apapun Laura menangis sejadi-jadinya dan ia memeluk Am Siki. Semua orang yang melihatnya terharu dan menangis. Am Siki memutuskan untuk membawa Laura ke rumah dan merawatnya. Am Siki merawat Laura seperti cucunya sendiri. Betapa terharunya Am Siki ketika Laura memanggilnya kakek, menyadari bahwa ia sudah berada di tahap cucunya memanggilnya dengan sebutan kakek. Am Siki membersihkan tubuh Laura hingga bekas borok dan dakinya menghilang. 12 | RESENSI BUKU Am Siki terkejut ketika melihat wajah asli Laura yang memiliki paras cantik mencerminkan kecantikan khas orang Portugis. Berita tentang kecantikan Laura menyebar ke seluruh penduduk desa. Mereka berbondong-bondong pergi ke rumah Am Siki untuk melihat wajah Laura. Mereka berbondong-bondong pergi ke rumah Am Siki untuk melihat wajah Laura. Perempuan itu mati, orang-orang menguburnya seperti pada umumnya. Semua orang meyakini bahwa Laura akan terus hidup untuk melindungi anaknya beserta leluhurnya. Oleh Am Siki, anak itu diberi nama Siprianus Postakes Oetimu. Orang-orang memanggilnya Ipi. Ipi tumbuh menjadi pria yang tangguh. Ia sangat mahir berkelahi dan bermain kuda. Ipi sangat menyayangi Am Siki. Am Siki meninggal dunia karena jatuh dari pohon lontar. Ipi dewasa menjadi seorang polisi. Orang-orang memanggilnya Sersan Ipi. Apr il 2024 |
RESENSI BUKU | 13 Selama membaca novel tersebut, saya dibuat kaget karena ceritanya yang cukup rinci karena setiap bagian menceritakan siapa orang tersebut yang sedang diceritakan. Yang membuat terharu yaitu bagaimana ketulusan kasih sayang antara kakek dan cucu yaitu Am Siki dan Laura hingga kasih sayang Am Siki turun ke anak Laura. Di dalam novel juga menceritakan bagaimana pemerintahan Presiden Soeharto. Alurnya yang maju-mundur membuat pembaca bingung jika tidak membaca dengan seksama. Novel ini tidak cocok untuk anak-anak berusia 19 tahun ke bawah karena ceritanya yang cukup berat. Novel ini juga tidak cocok untuk mereka yang jarang sekali membaca buku jika belum terbiasa dengan alur yang seperti ini. Akan tetapi, novel Orang-Orang Oetimu sangat cocok dibaca bagi para peneliti, baik bidang linguistik, feminisme, kolonialisme dan teori lain karena penulis memasukkan berbagai macam sudut pandang dan berbagai pandangan lewat cerita dan tokoh. Kebudayaan juga tercermin di dalam novel yaitu pada penggunaan istilah-istilah khas orang Timor. Penulis: Lila Ayu Sumber: imdb.com Saya merasa bingung sekaligus kaget bahwa dahulu kita juga menjadi orang jahat yang membantu proses dekolonisasi sebuah bangsa. Novel ini menarik untuk dibaca karena berlatar belakang pada masa pemerintahan presiden Soeharto atau pada zaman orde baru. Hal tersebut bermanfaat bagi pembaca yaitu menambah wawasan kritis tentang peristiwa sejarah di negeri ini. Sebagai pembaca, kita harus melek sejarah, bagaimana koran-koran membesarbesarkan berita atau nama seseorang, bagaimana mereka membungkam suarasuara rakyat kecil. Novel ini juga menceritakan kesucian perjalanan seorang pastor menjadi pelayan Tuhan. Kutipan yang sangat menarik dan menjadi pilar cerita yaitu “Tidak boleh dibunuh, sekalipun itu orang jahat. Tidak boleh diperkosa, sekalipun itu kuda”. Kutipan tersebut sering kali dikatakan oleh Am Siki ketika masih menjadi pendongeng bagi anak-anak hingga dikatakan kepada Ipi. Maksud dari Am Siki yaitu bahwasannya kita tidak boleh menjadi orang yang tidak bermoral. Setiap orang yang melakukan kesalahan, ia harus mengingat pesan itu. | Apr il 2024
Penulis: Adila Amanda M di Gereja (i) Di minggu pagi itu, para umat yang dituduh akan masuk neraka kaget. Seorang Utusan berkunjung ke gereja. "Segera berlindung," ucapnya, "sebelum ibadah ini diberhentikan paksa." 14 | FIKSIMINI M di Gereja (ii) Malam hari di bulan puasa, M absen salat tarawih. "Saya bagi-bagi takjil untuk umat yang baru dibom tempat ibadahnya," katanya seraya membawa bungkusan es buah anggur dan biji-biji kurma. M di Gereja (iii) M berkunjung lagi. Para umat bertanya-tanya, ada apa lagi gerangan. "Hidup kami sudah tentram, mereka sekarang toleran," ucap seorang umat. M mengangguk, "semoga bukan karena harga kursi dan kue sedang mahal-mahalnya." M di Kopian (i) Di siang yang terik sehabis jumatan, M mampir ke warung menyantap es dawet. Seseorang kabur setelah meneguk segelas es serupa. Pedagang mengoceh kesal, tapi M tertawa, "Dia baru beramal beberapa lembaran merah. Uangmu ada di sana." M di Kopian (ii) Di malam ramadan orang-orang berkumpul di kopian, tentunya untuk ngopi dan rokokan, tak terkecuali M. Dia minta sebatang. "Kau tak beribadah?" tanya seorang barista yang melewatkan ibadahnya karena bekerja. "Bukankah itu yang sedang kita lakukan?" Apr il 2024 | Ilustrator: Gracia Cahyadi
PUISI | 15 Penulis: Muhammad Zaki Menjadi Manusia Hati itu sakit Apabila tak merasa Waktu tak sedikit Yang dihabiskan dengan hampa Hati itu sehat Apabila ia terjaga Semua yang melihat Melihat dengan bangga Hati itu gembira Apabila ia cukup istirahat Tidak butuh banyak kata Juga banyak nasihat Hati itu sedih Apabila ia berduka Tak butuh hal lebih Untuk lebih terluka Menjadi manusia Adalah memiliki hati Muda ataupun lansia Selalu memiliki arti Ilustrator: Az-Zahra Aqila Y.M | Apr il 2024
Penulis: Lizana Benasti Hujan di kota Hari itu, hujan mengguyur seluruh kotaku. Aku duduk bersama ayah di seberang televisi. Menonton film komedi, tertawa terbahakbahak bersama. Dengan wajah ceria, ibu datang menghampiri kami. Membawa sebuah nampan, dengan tiga cangkir putih berisi teh hangat. Hari itu, kurasa lengkap sudah kebahagiaan keluarga kecil ini. Iya, hari itu, entah beberapa tahun yang lalu. Tidak untuk hari ini, malam ini. Hujan besar dengan petir yang saling bersahutan di luar jendela. Suasana yang teramat sepi di dalam kamar tidurku. Aku duduk terdiam di lantai. Tidak, lebih tepatnya aku duduk dan termenung di sana. Di seberang tempat tidur, lalu menatap getir tempat tidurku. Tempat tidur yang kusinggahi malam terakhir bersama ibu. Kurasa hari ini, hujan berhasil membawa kesedihan, kekecewaan, amarah, dan penyesalanku. Entah apa yang aku rasakan, Semua telah menyatu bersama derasnya air hujan malam ini. Ilustrator: Celina Kusumawardhani | Apr il 2024 PUISI | 16
Penulis: Badra Dafa'a Ahmad Hamur-hamur Tikas Hamur-hamur bahasa dirobohkan Kabes olab tidak lama hantum Genaro-genaro kilab narubuk Di Kanjuruhan, anaret dan silup kubam berastep “Umak katid itreng, iki wes ayahab ilakes.” Tapi, kebanyakan kemblas Entah dengan ojir Entah sebab gocik Entah dari sicrak yang dibeli di sore ngerom Yang pasti, pagi satugep negara kanyab tulum, malamnya cuma nendes kombet. Ilustrator: Gracia Cahyadi | Apr il 2024 PUISI | 17
18 | CERPEN Indo-tity Crisis: Sadina The (Culture) Explorer Sepulang sekolah, kondisi MRT kota New York sedikit padat. Namun aku mempunyai kekuatan untuk menyelundupkan diriku yang mungil ini di antara keramaian, suatu kebanggaan milikku sendiri. Telinga yang tersumpal penyuara jemala yang menggaungkan musik tenang tak sertamerta membuat kacau berisik di kepalaku terhenti. Tak lama lagi akan diselenggarakan gelaran pameran budaya akbar rutin di sekolah. Minggu Kebudayaan sebutannya, di mana simplenya adalah para murid akan diminta untuk memperkenalkan budayanya di pameran tersebut. Sial. Sejujurnya kalau berbicara mengenai budaya, akan menyulitkan bagiku untuk mendeskripsikannya. Karena aku sudah berada di perantauan sejak lahir, adalah kelemahanku mengenali budaya di tempat lahirku. Tidak, aku tidak lari dari rumah atau dibuang atau semacam hal-hal dramatis lainnya, tidak. Aku hanya seorang anak gadis yang tak sengaja lahir dari rahim seorang wanita Indonesia yang menikahi papaku yang berkewarganegaraan Amerika Serikat sekaligus tumbuh besar di negara ini. Besar di luar berarti membesarkan anak unggas, apalagi jika orang orang di komunitasmu bukan sebuah komunitas spesifik. Kita ketahui bersama Komunitas Asia adalah komunitas ras yang cukup besar di Amerika, entah mereka yang memang pendatang dan menetap atau yang kasusnya mirip dengan Ibuku, kisah cinta Asia-Amerika. Dan, lahir lah aku Sadina Ayunda Pramuditha-Quinn. Dan jika kita ingin mengerucutkan lebih detailnya lagi, kebanyakan orang di sekitarku adalah Asia Timur. Makanya seperti yang kubicarakan tadi, aku akan kelabakan saat menjelaskan apa atau bagaimana tentang budayaku, budaya Indonesia. Terlebih kunjunganku ke sana seakan diporsi 2 kali setahun saat Libur Raya Ied, yang membuatku hanya bisa mengakses semuanya via Internet. Penulis: Rin Apr il 2024 | Sumber: Canva
Di kala tangan kiriku berpegangan pada tiang dekat pintu MRT, maka kugunakan yang satunya untuk menyisir rambutku ke belakang. Pegangan yang semula menjadi cengkraman, perlahan ku rasakan perubahannya menjadi rematan. Frustrasi, hatiku hanya bisa mengutuk seperti ini, “Maaaaati aku!” Di saat yang bersamaan, terdengar pengumuman yang memekakkan telinga. Sekonyong-konyong fokusku terkumpul kembali, karena kalau tidak akan jauh jarak ku untuk pulang. “The next stop is 14th Avenue.” “Udah pulang dek?” sapa beliau, begitu derit pintu depan berbunyi dan menampakkan anak gadis semata wayangnya. Dilihatnya wajah dara manis empunya, namun ketidakfamiliaran langsung menyapu di sana. Ada apa dengan putrinya ini. “Apa mau makan dulu? Ibu masak sayur kangkung sama sarden kesukaan kamu,” sambungnya, kerlipnya masih tak berubah. Namun, tubuh sang dara kesayangannya bergegas menghampiri meja makan dan mulai terlihat mengisi piringnya dengan lauk. “Ada masalah di sekolah dek?” Masih tak ada jawaban. Mungkin bagi sebagian anggota keluarga bisa saja ini hal yang lumrah. Seorang anak pulang dengan keadaan letih dan berlari menyantap makanannya tanpa menjawab sepatah kata pun dengan dalih capek. Namun, bagi Nisrina putrinya tak hanya sekedar lelah atau mengatupkan mulutnya untuk menyimpan energi. Ada yang Sadina sembunyikan darinya. [- - - ] Di meja makan, hanya terdengar denting suara sendok dan juga suara dari video Youtube yang ditonton Sadina. Ibunya terdiam di sofa tak jauh dari kursinya menonton siaran tv. Memecah keheningan, pertanyaan Sadina membuat Nisrina bingung sekaligus sadar apa yang sedari tadi merecoki pikiran putrinya. “Bun.” panggilnya dari arah meja makan. Empunya hanya berdehem menanggapi. “Buat Bunda, Indonesia itu apa sih?” “Indonesia?! Selain tentu aja kampung halaman Bunda, itu sebuah negara merdeka kan?” “Bukan gitu loh, Bun,” rengeknya tidak puas. Tapi apa yang Bunda beritahu juga tidak ada yang salah bukan? “Emangnya kenapa kok tumbenan nanyain Indonesia? Kangen Nini sama Akung ya?” “Tugas,” jawabnya lesu, sedikit menggumam. “Hah?!” “Tugas, Bunda. Sebentar lagi ada minggu Budaya, jadi dedek bingung nampilin apa.” jelasnya malas. “Mau Bunda masakin sesuatu kah buat buah tangannya?” tawar Nisrina. Tidak biasa putrinya, Sadina seperti diberatkan oleh minggu Budaya seperti ini, biasanya ia akan meminta Bundanya untuk memasakkannya sesuatu untuk dibawa ke sekolah, and Mission Success. “Masalahnya tadi dedek kalah cepet dan berakhir kebagian untuk menampilkan tariannya kali ini,” Rupanya ini batu besar yang mengganggu isi hati putrinya, tanpa diminta Sadina kembali melanjutkan ucapannya. “Pun, Bunda tau sendiri dedek nggak tau apa-apa soal tari-tarian di Indonesia. Ya boro-boro tau, liat aja belum.” Belum saja Nisrina ingin menjawab, ucapannya sudah tertebak dan dipotong oleh dara manisnya. “Tarian yang dedek lihat masih kecil nggak kehitung loh ya. Dedek nggak inget apa-apa kalo soal itu.” “Mau bunda telponin tante Ningsih buat ajarin dedek?” 19 | CERPEN Apr il 2024 |
“Tante Ningsih kan ada dua, Bunda. Yang mana?” selorohnya tidak puas. Lagi-lagi kebiasaan Bundanya yang tidak pernah spesifik saat menyebutkan temantemannya. “Yang per—“ “Nah kan, nah kan. Bunda mah gitu sukanya kalo nginget pasti yang lampaunya sampai zaman dinosaurus melahirkan,” Kali ini Nisrina biarkan dara kecilnya menang, karena memang ingatannya mengenai Sri Ningsih, sahabatnya ini hanya sebatas saat mereka bertemu di festival budaya di New York beberapa tahun belakang. “Tapi mau nggak? Studio tari tante Ningsih kayaknya deket sama sekolah kamu jadi kamu bisa izin kesana sepulang sekolah.” tawarnya, dan dengan kekuatan magis yang dimiliki seluruh Ibu di dunia ini, Sadina terhipnotis dan menganggukkan kepalanya semangat sekali. “Yaudah sana mandi sama ganti baju, nanti Bunda hubungin Tante Ningsih.” Belum saja Sadina berbalik penuh ataupun melangkah penuh menuju kamarnya, Bundanya sudah lebih dulu memotong pergerakannya, “Eh, tapi ... kamu dengerin apa kata Tante Ningsih loh ya. Tante Ningsih nggak suka kalo kamu macemmacem di kelasnya,” “Siap, Ibundahara Negara!” tegasnya, dengan memberikan gerakan hormat layaknya seorang prajurit. Esok paginya, sesuai janji dari Bunda aku benar-benar dipertemukan dengan temannya, Tante Sri Ningsih. Sepengetahuanku dari rentetan kisah yang di brondong Bunda, singkatnya Tante Sri Ningsih, atau yang akrab dipanggil Tante Ningsih adalah seorang penari yang handal di masa mudanya. Dahulu semasa sekolah [- - - ] namanya seakan tak pernah absen dari kejuaraan tari-tarian tradisional, pun Bunda bilang sendiri semua orang di sekolah Bunda mengakui hal tersebut. Beliau membuka studio tari di sekitar 23rd Street. Satu stasiun sebelum 14th Street, stasiun daerah rumahku. Dan, bisa kubilang bukan seperti studio kebanyakan namun bisa kubilang studio milik Tante Ningsih cukup besar untuk menampung anak-anak murid ajarnya. Suasana Indonesia amat kental terasa saat pertama kali kutapaki masuk lobby studionya. Wewangian bunga yang tenang, alunan gamelan yang mengalun pelan lewat speaker dan juga 2 lantai yang penuh dengan ornamenornamen kayu jati. Kata Bunda, aku disuruh memasuki ruang 178 yang terletak di lantai 2. Namun, anehnya selain dipertemukan dengan sahabat Bunda yang satu ini, netraku juga bertemu dengan beberapa teman sekolah yang mungkin saja aku pernah sekali atau dua dengar maupun kutemui sendiri di banyaknya rentetan kelas. Salah keduanya adalah Jasmine dan Dilla. Bagaimana aku tahu? Tante Ningsih yang memperkenalkanku. Izinkan aku menambahkan satu paragraf lagi untuk menjelaskan bagaimana rupa Tante Ningsih hari ini. Wajahnya yang khas dengan rupa wanita jawa kental dengan rambut hitam yang sehelai atau duanya sudah dihiasi dengan uban, ia sanggul rendah dan rapi. Tubuhnya terlihat fit dan juga molek untuk wanita seumuran Bunda di usia kepala 3 menuju 4-nya. Pakaiannya hari ini hanyalah kaos hitam panjang, celana training yang ia gulung sebelahnya dan kain jarik yang ia lilit kuat di pinggangnya. Kesimpulan 3 kata, Sederhana dan Elegan. “Nah sudah semua kan? Kita mulai ya. Bodohnya adalah aku tak sadar, ucapan itulah yang tak ingin kudengar sampai 2 minggu ke depan. Karena Bunda tak 20 | CERPEN Apr il 2024 | Chop, chop ladies. On your position.”
berbohong sedikit pun soal coach Ningsih yang tak memberikan sedikit pun celah bermain dalam pelatihannya. Berulang kali salah, berulang kali mulai dari awal, berulang kali mata elang itu memicing tajam ke arahku dan kedua temanku yang juga kedapatan di bagian tari. “Sadina! Tempomu terlalu cepat!” jeritnya satu kali. “Sadina! Gerakanmu kayak lagi dikejar soang!” ingatnya dua kali “Lebih gemulaikan lagi Sadina! Kau disini sebagai seorang gadis nduk!” jeritnya tiga. Sadina, Sadina dan terus Sadina. Panas telingaku lama-lama dipanggil terus sama tuh mak lampir. “Sadina!” jeritnya kali ini. Sial, aku malah terbawa suasana. Matanya yang tak kalah tajam dari elang tersebut kulihat adanya secuil, iya benar secuil kelembutan di dalamnya. Yang ku ingat adalah setelah jeritan tersebut, ia ikuti dengan helaan nafas panjang dan berkata. “Kita istirahat 15 menit, Dila dan Jasmine kalian perhatikan lagi gerakannya ya cah ayu dah mulai bagus tadi. Sadina kamu perhatikan semuanya, kamu kebanyakan bengong tadi,” Mampus sudah. Jika dianalogikan dengan skripsi revisi temanku hanya berupa kesalahan remeh-temeh yang terlupa saat menulis, sedangkan aku seakan disuruh untuk mengganti semua objek penelitianku saat beberapa bab sudah di . . Apes tenan. Saat kudaratkan bokongku ke lantai kulihat dari ujung ruangan Dilla dan Jasmine memutuskan untuk menyusul setelah mengambil botol minum mereka masingmasing. “Sadina, ?” sapa dara dihadapanku “ Yap, yang menyapaku duluan adalah Dilla. Bisa kukatakan aksen Inggrisnya cukup apik, apa dia juga orang lokal sepertiku ya? “One and only in here. Oh ya, kata coach Ningsih kamu bisa Bahasa Indonesia kan?” “Bisa, bisa. Terserah kalian mau ngobrol pake bahasa Inggris atau Indonesia aku nggak masalah,” Ningsih? Panggilan tante lucu juga. Kami bersembang sampai 15 menit lamanya. Tante Ningsih benar-benar ketat soal waktu, dan aku melihat Dilla dan Jasmine tidak masalah akan hal itu karena dari fakta yang kudapat adalah mereka bukanlah orang lokal melainkan siswi pindahan yang berpartisipasi sebagai bentuk penampilan terakhir mereka sebelum kembali ke Indonesia. Keduanya mempunyai background yang sama dengan Tante Ningsih, tubuh mereka dibuat untuk menari. Dilla sudah menekuninya sedari TK dan Jasmine terlahir dari keluarga yang punya background didunia tari. Tidak banyak perkembangan yang terjadi padaku setelah 15 menit istirahat lalu dilanjutkan oleh 1,5 jam sesi tatapan elang dan juga ratusan ribu wejangan nasihat dari tante Ningsih. Dan harap dicatat pementasan Minggu Kebudayaan ada di awal bulan depan, dan jika aku tidak mampu menyempurnakan ini semua cukup tinggal katakan selamat datang saja pada kekecewaan dan juga cemoohan bercanda dari teman-temanku. Jujur aku iri sekali pada Dilla dan Jasmine. 21 | CERPEN Apr il 2024 | Sumber : Canva Coach ACC r ight Hi, sor ry for not int roducing myself ear lier . But , yeah i’m Sadina. You’ re Dilla r ight?”
Detik berganti menit, menit ke hari, dan hari ke minggu seperti biasanya tanpa istirahat. Tersisa 3 hari sampai waktu pementasan dan di saat progress kedua temanku cukup signifikan, sayangnya aku masih harus mengejar ketertinggalan untuk sedikit lagi hal detil, analoginya silahkan perkirakan sendiri saja. Hari minggu, akhir pekan, seharusnya hari yang baik betul? Bangun pagi dengan ceria, menyantap sarapan di depan TV ditemani siaran anime pagi hari, tak jarang jika beruntung kamu akan dihidangkan sepiring mie goreng hangat dengan telor ceplok dan juga nasi putih di atasnya. [- - - ] Tapi, itu untuk kawananku di Indonesia sana. Masih ingat kan? Kalau aku masih ada persiapan pentas yang harus kukejar. Dan, untuk segala dedikasiku di akhir minggu selayaknya karakter utama yang baik adalah aku datang ke studio lebih awal. Luar biasa! Pun akan lucu kalau ada bentuk adaptasi dramanya karena aku membayangkan diriku berjalan di lorong studio yang sebenarnya sudah terasa ‘hidup’ dengan adanya anak-anak lain asuhan Tante Ningsih yang lebih dulu mengisi studio, lalu camera zoom in ke arah pintu nomor 178, tempat latihanku, lalu berganti lagi menyoroti diriku yang membuka sedikit gagang pintunya namun kembali tertahan karena melihat Tante Ningsih menari di ballroom kosong tersebut sendirian dengan iringan lagu tari golek. Tarian yang ingin kelompok negaraku tampilkan tubin nanti. Mengintip seseorang bukanlah tindakan yang menyenangkan tentu, pula itu tidak sopan kata Bunda. Namun, aku akan sukarela memberikan lidahku pada orang lain jika aku berbohong aku tidak terkesima. Padahal Tante Ningsih seumuran dengan Bunda namun, gerak tubuhnya seperti belum terjamah usia malahan, aku merasa ini bukanlah Tante Ningsih, melainkan seorang Sri Ningsih yang menghidupkan kembali tubuh dan masa jayanya diantara alunan lagu. “Lah lho? Dah berapa lama kamu duduk manis disitu nduk?” tanyanya, sedikit terkejut mengetahui ada seorang penonton cantik terduduk di dekat pintu menontonnya menari. “Dari awal, Tan. Maaf ya karena dah ngga sopan ngintipin Tante nari sendirian,” “Nggak apa-apa, toh ini Tante cuma pemanasan aja. Maklum lah dah lama ngga nari tari golek ini, kalo Tante lupa ‘rasa’ dari gerakannya nanti kasian kamu, Dila sama Jasmine. Oh ya kamu kok rajin banget dateng awal-awal? Mau ngapain?” brondongnya dengan pertanyaan setelah menjelaskan aktivitasnya. “Latihan juga kayak Tante, hari tampilnya kan empat hari lagi. Kalo aku malah nggak ada perkembangan yang bagus kayak Dila sama Jasmine ya, mirip aja kayak kasusnya tante kalo ngga pemanasan tari kayak tadi.” Baru saja kuhempaskan tas latihanku ke depan, dari pantulan kaca kulihat adanya maksud lain dari rona wajah Tante Ningsih. Dengan kesadaran yang cepat, ia menjelaskan pula apa maksudnya tersebut. “Tapi kamu nggak mau coba ikut ‘pulang’?” Pulang? Maksudnya? “Pulang, Tante? Ke mana?” tanyaku keheranan. Kenapa ini malah menjurus ke kepulangan, apa aku diusir? Atau aku disuruh belajar sendiri di rumah? “Ya ke Indonesia, kamu kan mau merepresentasikan budaya Indonesia tho?” “Waduh, kalo itu aku juga ikut Ayah sama Bunda, Tante. Belum berani sendiri,” jawabku, sekenanya. Maksudnya Tante Ningsih apa sih? Kok aku jadi ling-lung gini?! “Menurut Sadina, budaya itu apa?” “Hal yang turun temurun kan Tan?” “Nggak salah, karena memang secara harfiahnya Budaya memang cara hidup sekelompok orang yang diturunkan lewat generasinya. Tapi, menurut Tante aslinya Budaya itu semacam ’rumah’ bagi mereka yang belum bisa, tak bisa, atau tak mampu untuk pulang,” “Maksudnya Tante?” 22 | CERPEN Apr il 2024 |
“Bundamu ngenalin kamu sama Indonesia lewat apa? Biasanya masakan kan?” tanyanya dengan sabar, aku sendiri mengangguk setuju. Keluargaku setuju masakan Bunda lebih terasa rempahnya ketimbang Ayah yang bagiku seperti “Kurang bumbu”. “Nah, Tante juga sama. Mungkin Tante mengenalkan budaya Indonesia lewat hal yang Tante suka yaitu menari. Memang tante nggak mungkin bohong selain bentuk pelestarian dan juga menarik minat orang asing untuk belajar, tapi lewat tarian ini tante juga bisa ‘pulang’ ke Indonesia, karena di setiap gerakannya Tante selalu menyimpan memori yang apik di dalamnya.” “Tapi kenapa harus dengan sebutan ‘rumah’, Tan? Tante kan pasti ada masanya buat pulang ke Indonesia kan?” “Tapi kalo dibandingin sama waktu Tante muda dulu yang full semuanya di alamin di Indonesia, New York jelas beda kan dari segala sisi? Makanya Tante jadikan alasan bahwa Budaya itu nggak hanya untuk dilestarikan atau jadi semacam pengenal antar budaya ataupun negara aslinya, tapi bagaimana itu bisa jadi sarana kita untuk pulang dan mengenang kembali rasanya sebuah rumah yang tidak ada jaminan 100% akan bisa kembali pulang dalam waktu dekat atau rentang waktu yang lama,” Dari rentetan ucapannya itu, ia seakan menarik satu amanah baik untuk para pembaca. “Budaya manapun bisa kamu jadikan rumah, tapi tolong diingat peribahasa Di mana bumi dipijak, disitu langit dijunjung. Entah seasing apapun atau sedangkal apapun ilmu tentang budayamu sendiri, jadikanlah ia rumah karena, hanya disitu identitas aslimu bersemayam entah seberapa jauh kau pergi,” Aku seakan tertampar setelah mendengar ucapan Tante Ningsih, jadi bukan karena aku tidak tahu banyak atau jarang pergi ke Indonesia aku tak tahu mengenai budayanya. Selama ini aku sudah ada Bunda, masakannya, lagu-lagu yang tak jarang beliau putar, dongeng saat masih kecil dan masih banyak lagi, namun aku belum menjadikannya rumah supaya aku bisa nyaman untuk kembali pulang. “Mau coba pulang kali ini? Tante ajarin lebih sabar deh, tapi kamunya jangan main-main lho ya, apalagi masih suka bengong.” tawarnya, yang masih sedikit menilai performa ku yang pas-pasan. Yah, namanya baru juga belajar Tan, lebih sabar lagi aja. Toh, aku juga baru mau merasakan bagaimana indahnya pulang ke Budaya sendiri. Penulis: Rin 23 | CERPEN Apr il 2024 | Sumber : Canva Now, everything star ts to make sense to me.
24 | KRITIK SASTRA Dunia karya sastra hari ini melebihi ketakterhinggaan yang dapat ditawarkan oleh sastra itu sendiri. Secara klise dan tak terhindarkan, adanya teknologi dan digitalisasi dalam hampir segala hal turut membuat akses terhadap karya sastra lebih mudah dari membalikkan telapak tangan. Semua orang dapat membaca hingga menciptakan tulisannya, mempublikasikannya, memodifikasi dan bahkan memplagiasi, serta merespon suatu teks dengan teks yang lain. Saksi Mata hingga Eye of the Beholder: Perihal Intertekstualitas dan Seterusnya Mestinya tak perlu terburu-buru mengecap suatu karya sastra yang satu adalah plagiat dan sebagainya. Sebab dalam mengerjakan proses kreatif, penulis sangat mungkin melakukan pembacaan tak hanya pada lingkungan di sekitarnya saja, melainkan juga melakukan pekerjaan pembacaan tekstual terhadap teks-teks sastra yang lain. Ini lah mengapa pembahasan soal kemiripan suatu karya akan menjadi diskursus yang perlu diperjelas paradigmanya. Pada tulisan ini, pembahasan tentang 'keserupaan' unsur-unsur dalam karya sastra ini dapat kita lihat melalui perspektif Intertekstualitas. Intertekstualitas menurut Julia Kristeva adalah ketika tanda-tanda yang ditemukan dalam unsur-unsur teks, baik intrinsik maupun ekstrinsik, memiliki keterkaitan dengan teks-teks yang lain. Apr il 2024 | Sumber : Canva Seperti yang diungkapkan oleh Teeuw (1984), setiap teks sastra dibaca dan harus dibaca dengan latar belakang teks-teks lain. Namun bukan berarti meneladani atau mematuhi kerangka teks yang sudah ada, melainkan melakukan modifikasi dan 'penyimpangan' terhadap teks tersebut. Selanjutnya, akan terbentuk pemahaman yang lebih penuh jika kita melakukan pembacaan suatu teks dan melihat keterikatannya dengan teks-teks lain. Sebuah cerpen berjudul Eye of the Beholder (2016) karangan Yusri Fajar mengingatkan kita pada riwayat orangorang yang menjadi saksi mata perkara elit politik. Dengan topik besar perihal kemampuan tokoh utama dalam melihat suatu kejahatan melalui matanya, terdapat suatu kemiripan dengan cerpen Seno Gumira Ajidarma berjudul Saksi Mata (1992).
Sumber: Canva 25 | KRITIK SASTRA Apr il 2024 | Sumber : Canva Kedua cerpen ini saling mengisi ruang kosong yang ada pada masing-masingnya. Eye of the Beholder, dalam satu ruang, merupakan bentuk penyimpangan dari Saksi Mata. Jika Saksi Mata dengan kesaktiannya kemudian bernasib malang dan harus kehilangan matanya, maka tokoh Alim dalam Eye of the Beholder adalah versi nasib baik seorang saksi mata. Ditambah lagi, Alim diceritakan memiliki superpower yang menjadikannya dapat terlepas dari tangkapan musuh-musuhnya. Kekuatannya melihat suatu kejahatan menjadikannya dipercaya dan dilindungi banyak orang. Tentu ini wujud penyimpangan dari Saksi Mata yang sama sekali tidak menunjukkan kesejahteraan dan nasib baik tokoh utama. "Because of his ability, Alim was recruited to work at some institutions in charge of crime, corruption, human trafficking, banks, educational institutions and several places of entertainment." (Fajar, 2016) "Dalam perjalanan pulang, Bapak Hakim Yang Mulia berkata pada sopirnya, “Bayangkanlah betapa seseorang harus kehilangan kedua matanya demi keadilan dan kebenaran.”" (Ajidarma, 1992) Di ruang yang lain, Eye of the Beholder memberikan konteks yang lebih sempurna pada Saksi Mata, khususnya mengenai siapa yang sebenarnya menjadi musuh dari tokoh utamanya, seperti dalam kutipan berikut: "... Maksud saya siapa yang mengambil mata saudara pakai sendok?” // “Dia tidak bilang siapa namanya Pak.” [...] “Itu lho Pak, yang hitam-hitam seperti di film.” // “Mukanya ditutupi?” // “Iya Pak, cuma kelihatan matanya.” // “Aaaah, saya tahu! Ninja kan?” // “Nah, itu ninja! Mereka itulah yang mengambil mata saya dengan sendok!" (Ajidarma, 1992) "... Alim’s ability had begun to disrupt the interests of influential communities long considered the political elites, he began to receive death treats." (Fajar, 2016) Saksi Mata cenderung memberikan sepotong informasi mengenai suatu kejadian pembantaian tanpa memberi detail konteksnya. Hanya 'keadilan dan kebenaran' yang kemudian cukup memberi pencerahan kepada pembaca mengenai konteks apa yang diceritakan dalam cerpen tersebut. Sementara itu Eye of the Beholder menceritakan dengan lebih rinci bahwa konteks cerita mengenai saksi mata ini ada hubungannya dengan para pencuri dan elit politik. Selain kemiripan topik mengenai saksi mata dan upaya-upaya penjegalan yang dialami oleh tokoh saksi mata tersebut, ada satu hal menarik yang dapat kita temukan dalam kedua cerpen ini: tempat kumuh. Keduanya menjadikan tempat kumuh sebagai tempat tinggal yang barangkali tak begitu layak. "Khiranda’s house was located in a slum on the riverbank. The water from the river often rose toward the State Palace." (Fajar, 2016)
Sumber: Canva Penulis: Adila Amanda 26 | KRITIK SASTRA Apr il 2024 | ""Rumah saudara kan di gang kumuh, orang berbisik di sebelah rumah saja kedengaran, tapi kenapa saudara diam saja?”" (Ajidarma, 1992) Kemiripan yang muncul dalam kedua cerpen ini adalah bentuk adanya keterkaitan antarteks. Pada akhirnya teks-teks tersebut tidak berdiri sendiri, melainkan bentuk intertekstualitas yang terjadi di jagat kesusasteraan kita di setiap lini waktu. Demikianlah dapat dibedakan mana karya-karya sastra yang dihasilkan dari proses panjang atas pembacaan teks dan tanda-tanda—baik secara struktur maupun sosial, dan mana yang hanya mencatut dan menjiplak tanpa melakukan pembacaan suatu tanda. Suatu karya sastra tidak hanya menjadi inspirasi untuk karya sastra yang lain, tapi juga saling mengisi bagian-bagian kosong yang barangkali luput di antara karya-karya itu.
ESAI SASTRA| 27 Mencari Osob Kiwalan dalam Sastra-Sastra Lokalitas | Apr il 2024 Sumber : Canva Mencari bahasa slang dalam karya-karya sastra seharusnya tidak terlalu sulit. Apalagi jika Kongres Cerpen IV lalu telah sepakat untuk merumuskan tema-tema lokalitas sebagai arah gerak kesusastraan ke depan. Tentu saja kongres ini memberikan hasil atas produktivitas sastra lokalan dan apresiasinya. Akan tetapi, agaknya bisa saya katakan kalau mencari bahasa slang dalam karya sastra yang luhur adalah barang yang langka. Osob kiwalan sendiri adalah bahasa slang dari Malang yang telah berkembang cukup lama. Berangkat dari sejarahnya, slang— yang digunakan untuk kelompok tertentu— malangan dipakai para gerilya untuk menyampaikan pesan tanpa diketahui oleh pihak Belanda. Setelah fungsi awalnya hilang sekalipun, slang malangan atau osob kiwalan atau bahasa kebalikan ini cukup bertahan lama hingga sekarang, meski penggunanya semakin berkurang. Slang Malangan, bagi saya yang bukan warga lokal Malang, tidak sulit untuk dipelajari seperti mempelajari slang Jogja atau slang prokem tahun 70-an. Membalik kata dari tiap hurufnya itu cukup bisa dipahami, ya meskipun banyak kata juga yang harus sesuai dengan fonologi Jawa. Pada dasarnya, fleksibilitas pengucapan tetap menjadi alasan untuk menerima dan menyepakati bahasa slang itu sendiri. Tidak ada aturan yang pakem. Bahasa Slang Subordinat Kebudayaan? Cukup bisa kita temui bahasa-bahasa slang atau gaul ini bertengger di dialog-dialog tokoh dalam karya-karya chick-lit/teen-lit. Namun sepertinya para sastrawan kondang kita cukup alergi untuk menggunakan bahasa slang. Cukup bisa kita temui bahasa-bahasa slang atau gaul ini bertengger di dialog-dialog tokoh dalam karya-karya chick-lit/teen-lit. Namun sepertinya para sastrawan kondang kita cukup alergi untuk menggunakan bahasa slang. Hal ini beralasan sebab Pierre Bourdieu menjelaskan bahwa arena-arena sastra saling berpolarisasi berikut agen-agen di dalamnya. Agen di sini bisa berarti penulis, seniman, kritikus, wartawan, dosen, mahasiswa, editor, penerbit, dan segala pihak yang turut serta dalam setiap arena yang memiliki fungsi, posisi, dan tujuan sendiri. Arena sastra yang beriedologi “seni untuk seni” sepertinya tidak ingin memakai bahasa slang yang konvensional sekaligus dipakai dalam arena sastra oposisinya.
| Apr il 2024 Osob kiwalan tempo hari ini lebih cocok jika diidentikkan dengan bahasa jawa ngalaman atau malangan. Maka, zaman memberi stereotipe osob kiwalan yang hanyalah bahasa prokem biasa haruslah disudahi dengan karya-karya sastra. Karyakarya ini bisa berupa cerpen atau novel yang secara keseluruhan menggunakan bahasa ngalaman atau sebagian seperti Agul-agul Belambangan. Sumber : Canva ESAI SASTRA| 28 Dengan kondisi demikian, sepertinya bahasa slang menjadi korban atas kontestasi legitimasi sastra di Indonesia. Padahal, jika ditilik sejarah osob kiwalan ini sudah bisa untuk dikatakan sebagai budaya lokal. Seharusnya bahasa slang ini bisa diposisikan sama dengan kebudayaan lokal lain yang mendapatkan atensi lebih. Sependek pencarian saya, osob kiwalan hanya menyentuh karya-karya puisi dan guyonan/anekdot. Lain halnya dengan sastra lokal Using yang pernah menyabet penghargaan bergengsi Hadiah Sastra Rancage 2017 dengan Agul-agul Blambangan. Moch. Syaiful—penulis Agulagul Belambangan—membuktikan bahwa menulis novel dwibahasa (bahasa Using dan Indonesia) dan memenangkan penghargaan bukanlah kemustahilan untuk memajukan sastra-sastra lokalitas. Membandingkan slang malangan dengan sastra lokal Using memang tidak apple to apple. Agul-agul Belambangan juga tidak bisa dikatakan menggunakan bahasa slang dan tepat bila diposisikan sebagai bahasa daerah (Using). Akan tetapi, osob kiwalan sekarang berada dalam posisi yang tidak sangat eksklusif (slang) bagi kelompok tertentu seperti sebelumnya. Alasan untuk tidak menggunakan bahasa slang hanya karena sastra populer lebih sering menggunakan bahasa slang yang sangat konvensional, saya pikir bukanlah hal yang dapat diterima. Leila S. Chudori dalam Namaku Alam menggunakan pronomina prokem loe-gua lebih banyak daripada pronomina aku-kamu. Penggunaan kata ganti ini tidak merusak estetika kebahasaan dalam novelnya dan malah memberikan citra karakter yang sesuai dengan latar tempat dan waktu yang dimaksud. Lebih lanjut, Leila bahkan mengenalkan kosa kata bahasa prokem tahun 70-an dalam salah satu dialog disertai catatan kaki terkait kosa kata itu.
Paragraf di atas adalah potongan anekdot berjudul Oyi Wis…! oleh Adi Lassta: Seorang yang juga menyusun kamus bahasa ngalaman sebanyak lima jilid. Ya, lima jilid. Sepertinya tidak berlebihan jika saya mengatakan aneh kalau hasil-hasil karya sastra osob kiwalan—sependek pencarian saya lagi-lagi—hanyalah puisi dan anekdot. Terlebih setelah hadirnya kamus itu. Padahal, di luar karya-karya sastra, produk-produk osob kiwalan ini sudah menjadi identitas lokal Kota Malang. Hadirnya film dokumenter, film, lirik lagu, komedi situasi, stasiun radio, hingga kaos oblong bertemakan osob kiwalan menjadi bukti penguat bahwa seharusnya karya sastra turut serta lebih dalam mendukung eksistensi bahasa slang ini. Pengguna dan penutur bahasa slang tidak perlu lagi diberi stereotipe tertentu dalam kelompok tertentu. Jika dalam kasus seperti Malang dan Jogja yang bahasa slangnya sudah menjadi identitas khas lokal, maka konsekuensinya bahasa slang yang awalnya milik kelompok tertentu ini sepatutnya sudah berada dalam budaya lokal yang tidak termarginalkan. Di Malang; Aremania, kelompok masyarakat di Pasar Besar, dan beberapa gangster menjadi pewaris aktif osob kiwalan. Baik warga lokal maupun pendatang kota Malang memiliki kebanggaan tersendiri dengan bahasa kebalikan itu. Namun, sedikitnya karya sastra yang menggunakan bahasa daerah bahkan slang, menunjukkan bahwa kedua ragam bahasa tersebut dinilai mainstream oleh kebanyakan sastrawan. Dengan tetap membawa urgensi ideologi yang jelas dan morel yang langka dalam karya sastra—bahasa slang, bahasa gaul, bahasa non-formal, bahasa tidak serius—sudah bisa memulai untuk memiliki zaman sendiri dalam legitimasi sastra lokalan. Penulis: Badra Dafa’a Ahmad Osob Kiwalan Hari Ini Wis rong mingu iki Sudrun kadit osi rudit sing kanè. Saben bengi ngimpi tonggoné kodèw sing tahès-komès. Sudrun nggendhengi temenan nang kèra ABG iku. Tapi, masalahé, arek imut sing koyok golèkan Barbie, kadit itreng lèk ditaksir. Jeneng asliné Tinuk tapi bekèn diceluk Tinuk Barbie soalé pipiné sulum terus idep é malik. (Sudah dua minggu ini Sudrun tidak bisa tidur nyenyak. Tiap malam bermimpi tetangga perempuannya yang sehat-montok itu. Sudrun sangat tergila-gila kepada remaja ABG itu. Namun masalahnya, remaja imut yang mirip boneka Barbie, tidak tahu kalau ditaksir. Nama aslinya Tinuk tapi beken dipanggil Tinuk Barbie sebab pipinya mulus dan bulu matanya lentik.) | Apr il 2024 ESAI SASTRA| 29
| Apr il 2024 ESAI SASTRA| 30 Jika Stoikisme Obat Untukmu, Maka Kamu Perlu Operasi Salah seorang kawan pernah menunjukkan lis judul buku yang beberapa di antaranya disertai gambar sampulnya. Kemudian ia bertanya apakah saya memiliki atau pernah membaca buku-buku itu. Saya pun menggelengkan kepala sebab memang tak pernah membaca satu pun dari belasan buku yang ia tanyakan itu. Namun, saya tahu pasti bahwa semua buku itu membicarakan soal Stoikisme yang kini sedang ramai di kalangan muda-mudi, semacam tren yang digandrungi anak-anak ‘kekinian’. Tanpa fafifu, dan untuk menyambung pembicaraan, langsung saja saya sarankan ia menonton kanal Youtube milik Ferry Irwandi serta membaca buku How to Be a Stoic milik Massimo Pigliucci. Ternyata saya keliru, ia jauh lebih fasih dan khatam. Semua yang saya sarankan tadi sudah dilibas habis. Percakapan singkat antara saya dan kawan saya itu menjadi pemantik mengapa akhirnya saya membuat tulisan ini. Tentu, tulisan ini tak akan membahas serta mengulik alasannya memilih Stoikisme atau memberikan tips and tricks jitu menjadi stoik yang baik untuk anak kelas 4 SD. Melainkan membicarakan bagaimana Stoikisme dipopulerkan dan seakan menjadi ‘obat’ di Indonesia. Tentang Mindset dan Sebuah Obat “Lagi-lagi apa? Ya, betul, mindset!” ungkapan ini tentu tak asing bagi kita atau setidaknya bagi saya. Namun, kiranya ungkapan ini cukup mewakilkan bagaimana Stoikisme dipopulerkan di Indonesia. Sebuah gaya hidup yang mengedepankan pengendalian pikiran dan memisahkan antara realitas internal dengan realitas eksternal. Sederhananya, semua yang terkendali seperti pemikiran dan rencana, masuk dalam rumpun realitas internal. Sementara hal-hal yang tak dapat dikendalikan, ada dalam realitas eksternal. Lalu, mengapa perlu ada dikotomi seperti itu? Singkat saja, sebab ia menghendaki agar manusia fokus dalam realitas internalnya. Dengan memberikan pemisah antara yang terkendali dengan yang tak terkendali, Stoikisme seolah ingin mengatakan bahwa kebahagiaan dan ketidakbahagiaan itu bergantung sepenuhnya atas diri sendiri. Ke-‘diri’-an adalah kunci. Kamu tak bisa menyalahkan siapa pun atas ketidakbahagiaanmu. Sebab ketidakbahagiaanmu timbul dari ketidaksesuaian ekspektasimu dengan kenyataan yang terjadi. Oleh karena tak mungkin kamu meminta kenyataan—yang Sumber : Canva
| Apr il 2024 OPINI| 31 Stoikisme Sebagai Doktrin yang Keliru Lalu apa yang salah dari Stoikisme adalah obat untuk ketidakbahagiaan? Tentu kebahagiaan adalah dambaan setiap insan. Bahkan dengan cara apa pun, orang-orang berlomba-lomba mendapatkan kebahagiaan. Namun, dalam hemat saya, ada kekeliruan dalam doktrin Stoikisme yang berkembang, khususnya di Indonesia saat ini. Memisahkan realitas internal dan realitas eksternal lalu menyatakan bahwa kebahagiaan hanya dapat diperoleh dengan berfokus pada pengendalian realitas internal adalah sebuah pemahaman yang bagi saya keliru sebab menegaskan bahwa kita tak berdaya di hadapan realitas objektif yang serba-mungkin (contingent) ini. Pada akhirnya, pemahaman ini akan membawa kita—secara sukarela—menerima kebobrokan struktural yang merusak. Stoikisme akan mengaburkan siapa-siapa yang bertanggung jawab atas semua kebobrokan ini serta mengecilkan kemampuan individual, di hadapan realitas objektif yang menekan, untuk melakukan perombakan dan menata ulang realitas demi tercapainya kebahagiaan absolut. Maka dengan ini Stoikisme bukanlah obat penyembuh atas ketidakbahagiaan, melainkan hanya obat pereda nyeri sesaat atasnya. Sebuah obat yang dikonsumsi terus-menerus hingga menjadi candu dan tak mengindahkan akar penyebab penyakit tersebut. Karenanya, yang perlu kita lakukan adalah melakukan ‘operasi’, sebuah hal yang tak disediakan oleh Stoikisme. Operasi untuk mengangkat akar penyebab penyakit, yaitu dengan menata ulang realitas ini. Penulis: Dimas Candra Pradana mana bagian dari realitas eksternal—agar sesuai dengan ekspektasimu, maka satusatunya yang ada dalam kendalimu adalah ekspektasimu. Cukup sudah tentang bagaimana Stoikisme meminta agar kita berfokus terhadap pengendalian diri, kini kita beranjak ke mengapa saya menyebut Stoikisme seakan menjadi ‘obat’ di Indonesia. Setiap obat, umumnya, dikonsumsi oleh orang sakit untuk menyembuhkan penyakitnya. Persis seperti Stoikisme. Ia adalah obat yang diresepkan oleh dokter-dokter macam Ferry Irwandi, Henry Manampiring, dkk. untuk sebuah penyakit yang kiranya kini sedang mewabah di Indonesia, khususnya di kaum mudamudi. Tak lain dan tak bukan ialah penyakit ketidakbahagiaan. Mungkin terdengar absurd, tetapi bila kita kembali pada di mana ketidakbahagiaan berasal dari ketidaksesuaian ekspektasi dan kenyataan, maka persis dari situ akan lahir penyakitpenyakit yang lebih spesifik seperti stres, depresi, kecemasan dan lain sebagainya.