The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Paman Klungsu dan Kuasa Peluitnya

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by Asep Mulyana, 2023-06-19 05:26:31

Teks Cerpen

Paman Klungsu dan Kuasa Peluitnya

Paman Klungsu dan Kuasa Pelutinya Di sekitar jalan simpang tiga akrab pasar, nama Paman Klungsu sudah lama mapan. ia yakni sosok yang punya kuasa di tempat itu. Dengan andalan lengking peluitnya, Paman Klungsu bisa menanggulangi kemacetan lalu lintas, khususnya di pagi hari. Pada saat itu, para pedagang pria dan wanita mirip beradu cepat meraih pasar. Mereka naik sepeda atau motor dengan dua keranjang di cuilan belakang. Puluhan anak SMP dan Sekolah Menengan Atas dengan motor yang knalpotnya dibobok pula berebut keluar dari jalan kampung ke jalan raya. Tanpa helm, tanpa SIM. Tetapi mereka kelihatan tak peduli dan amat yakin diri. Guru-guru SD, beberapa di antaranya sudah bermobil ikut menambah kepadatan lalu lintas di simpang tiga itu. Maka, orang bilang, untung ada Paman Klungsu yang dengan lengking peluitnya mampu memuat semua menjadi tanpa hambatan. Polisi lalu lintas belum pernah tiba di sana. Tetapi, Paman Klungsu biasa memakai rompi lusuh bercap “Poltas Swakarsa” dengan tulisan spidol. Entah siapa penulisnya. Selain rompi lusuh warna pupus pisang yang berpendar, Paman Klungsu pula melengkapi diri dengan peluit plastik warna merah. Meskipun kecil, suara peluit itu amat nyaring dan terbukti wibawanya ditaati oleh para pengendara. Orang-orang sering bertanya mana yang paling berwibawa di simpang tiga itu; sosok Paman Klungsu atau peluitnya. Empat-lima tahun yang lalu Paman Klungsu hanya orang lontang-lantung di pasar. Jalannya pincang. Kaki kirinya kecil dan lebih pendek. Sebatang kara, di malam hari jadi peronda pasar. Di siang hari jadi kuli angkut yang membawakan barang milik penjual dari dalam pasar ke pinggir jalan atau sebaliknya. Para penjualmemberinya seratus atau dua ratus rupiah. Itu bekal Paman Klungsu untuk pergi ke warung nasi rames milik Yu Binah di belakang pasar. Sekarang Paman Klungsu tak lagi memuat -angkut barang milik pedagang. ia merasa telah naik pangkat menjadi-ia menyebutnya sendiri-poltas swakarsa, yang amat ia banggakan. Apalagi Paman Klungsu pula sering mendapat duit receh. Itu pinjaman sopir-sopir yang merasa bersimpati. Mereka menghargai jasa Paman Klungsu yang punya prakarsa menertibkan lalu lintas di simpang tiga. Pada awalnya Paman Klungsu sering dicibir orang. “Ah, ananda cuma polisi non-kerikil, polisi-polisian. Kamu cuma berani mengatur pedagang dan anak sekolah, tapi tak berkutik jika yang melalui pejabat atau moge. Kamu pula senantiasa mengistimewakan Yu Binah. Kalau wanita itu melalui senantiasa ananda bukakan jalan.” Ketika mendapatkan cibiran itu, Paman Klungsu hanya diam. Namun bantu-membantu ia sungguh tersinggung. Jadi suatu kali ia bergerak cepat tatkala ada suatu kendaraan beroda empat bersipongah mau melanggar aturannya. Dengan langkah terpincang-pincang, Paman Klungsu menghadang mobil anggun berpelat merah itu. Paman Klungsu berdiri tepat di depan kendaraan beroda empat, tangan kanannya tegak lurus. Tetapi, kaki kirinya bersijingkat alasannya adalah lebih pendek. Peluitnya melengking-lengking sekerasnya. Pengendara kendaraan beroda empat itu mendengus dan berhenti dengan mata membulat. Kemarahan muncul penuh di parasnya. Tetapi, Paman Klungsu tak bergeming. Di luar praduga Paman Klungsu semua orang di simpang tiga bertepuk tangan mendukungnya. Peluit Paman Klungsu melengking kian nyaring dan bertubi-tubi. Tangan kanannya tetap menjulang ke atas. Orang- orang bersorak semakin riuh. Sejak kejadian itu, Paman Klungsu makin percaya diri dan merasa lebih gagah. Ia senang alasannya ternyata orang-orang berada di pihaknya. Maka, ia mengulangi sikap itu; tak mengutamakan siapa saja yang lewat juga barisan puluhan moge yang menderu menggila dari barat pada Jumat dan menggelegar pongah balik dari timur pada Ahad. Maka, Paman Klungsu dengan peluitnya yaitu sosok kekuasaan yang faktual di simpang tiga itu. Sayangnya, orang-orang pula masih jadi saksi peluit Paman Klungsu tak pernah melengking nyaring terhadap Yu Binah. Bila ia melalui, Paman Klungsu senantiasa mendahulukannya, dengan keramahan yang aktual pula. Terhadap Yu Binah, peluit Paman Klungsu seakan bisu. Sumber: Ahmad Tohari, “Paman Klungsu dan Kuasa Peluitnya” dalam Kasur Tanah Cerpen Pilihan Kompas 2017, Jakarta, Kompas, 2018.


Click to View FlipBook Version