The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by Perpustakaan Brawijaya E-Books, 2022-10-04 21:41:43

Negeri di Ujung Tanduk

by Tere Liye

Episode 33
Epilog

DENGAN menumpang helikopter Lee, setengah jam kemu­

dian aku tiba di rumah sakit tempat Om Liem lebih dulu di­
bawa. Menurut informasi dokter, kondisi Om Liem stabil meski
fisiknya amat lemah, harus banyak tidur, beristirahat. Situasi
terburuk baginya adalah harus berjalan dengan tongkat jika ter­
nyata kaki kanannya tidak bisa digerakkan lagi seperti semula
karena tertembus peluru. Itu tidak terlalu buruk, mengingat ma­
sih banyak kemungkinan yang lebih mengerikan yang bisa terjadi
di atas kapal kontainer itu.

Rudi dan Detektif Liu masih di atas kapal, mengurus penang­
kapan besar-besaran. Seluruh tersangka dinaikkan ke atas kapal
polisi, dibawa ke markas besar kepolisian Hong Kong. Jika se­
mua urusan administrasi selesai, pesawat Hercules milik ang­
katan udara yang dibawa Rudi sepertinya penuh sesak saat
kembali ke Jakarta, membawa sebagian besar anggota mafia hu­
kum ring pertama dalam daftar yang dibuat Kris. Ada banyak

352

kasus hukum yang menunggu mereka, proses pengadilan massal
telah menunggu di Jakarta.

Tuan Shinpei, yang memiliki paspor Hong Kong, ditahan
satuan khusus antiteror Hong Kong SAR. Lebih banyak tun­
tutan yang harus dia hadapi di sini, termasuk jebakan yang dia
lakukan di kapal pesiar. Dia mengakui sendiri hal itu sebelum
baku tembak terjadi dan Detektif Liu merekam semuanya—itu­
lah kenapa Rudi terus menahanku bertindak, dengan menempel­
kan moncong pistol di pelipis lebih keras, agar lebih banyak
informasi yang diperoleh. Tuan Shinpei, pemilik bisnis besar di
Hong Kong, penguasa dunia hitam di Hong Kong, orang nomor
satu dalam mafia hukum di Jakarta telah tamat riwayatnya, tidak
ada celah hukum yang bisa dia rekayasa.

Aku tidak akan menembaknya di kapal kontainer, bahkan jika
aku punya berkali-kali kesempatan dan Detektif Liu tidak ke­
beratan, pembalasan terbaik bagi Tuan Shinpei adalah menjalani
proses hukum dengan adil tanpa ampun, sesuatu yang selama
ini berkali-kali dia hinakan. Tidak ada yang lebih menyakitkan
bagi Tuan Shinpei, selain menghabiskan sisa hidupnya dalam
penjara, hukuman dari proses pengadilan yang benar, sesuatu
yang tidak pernah dipercayainya. Hukum bisa ditegakkan.

Om Liem dirawat di salah satu ruangan rumah sakit. Sedang
beristirahat, dokter melarang kami mengganggunya. Aku meng­
angguk, membiarkan Om Liem tidur, meminjam telepon geng­
gam Lee yang masih menunggu bersamaku, segera menghubungi
Maggie.

Belum genap satu kali nada panggil, Maggie sudah mengang­
kat telepon. Suara Maggie terdengar bergetar, berseru lebih dulu

353

dengan intonasi penuh cemas dan harap, ”Thomas?” Dia pasti
mengenali kode negara di layar teleponnya.

”Iya, ini aku, Meg,” aku menjawab pelan.
Maggie menangis. Membuat orang-orang di ruangan kerja
Kris menoleh, termasuk Maryam dan Tante Liem yang menung­
gu cemas sejak tadi malam.
”Aku baik-baik saja. Hanya lecet, lebam, sedikit bengkak,” aku
mencoba bergurau. ”Bukankah kau selalu bilang, Thomas akan
selalu kembali ke kantornya, apa pun yang terjadi di luar sana.”
Maggie tidak menjawab, dia berusaha menghentikan tangis­
nya.
”Suruh staf kantor segera menjemput Kadek dan Opa di se­
kolah berasrama, Meg.” Aku mulai memberikan tugas, dan
Maggie bergegas menyeka pipinya, cekatan meraih notes dan
bolpoin. ”Kausiapkan perjalanan mereka ke Hong Kong, juga
tiket untuk Tante Liem. Mereka bisa membesuk Om Liem.
Nah, khusus yang satu ini, kau boleh ikut serta. Kau sudah
lama tidak berlibur, bukan? Kau bisa mengambil cuti selama
yang kau mau, memilih hotel terbaik, berkunjung ke lokasi wi­
sata, tagihkan semuanya ke kantor.”
Maggie tidak berkomentar, tapi aku tahu, itu sesuatu yang
layak dia terima atas banyak bantuan yang telah dia berikan.
”Bilang ke Maryam, semua tuduhan di Hong Kong telah di­
cabut oleh kepolisian. Dia bisa mengambil seluruh dokumen
perjalanan, paspor, dan barang-barang yang disita. Kalau kau
tidak keberatan satu perjalanan dengan nenek lampir itu, kau
pesankan tiket sekalian untuknya ke Hong Kong bersama yang
lain. Tapi itu kalau kau tidak keberatan. Mengingat beberapa

354

hari lalu kau masih meributkan prospek disuruh-suruh untuk
keperluan Maryam.”

Maggie mendengus pelan. Aku bisa mendengarnya.
Aku sempat bicara dengan Tante setelah memberikan satu-
dua tugas lain ke Maggie. Suara Tante terdengar serak. Sejak
tadi malam dia amat mencemaskan Om Liem. Aku tahu, se­
benci apa pun, tetap jauh lebih besar rasa sayang Tante pada
Om Liem. Sayangnya, Om Liem sedang tidur, jadi aku tidak
bisa memberikan telepon genggam kepadanya agar Tante bisa
bicara.
Aku juga bicara dengan Maryam. Suaranya juga serak, kurang
tidur, berantakan, cemas, tegang, tapi di luar itu, dia baik-baik
saja. Dalam urusan ini, bukan Maryam, akulah yang menghela
napas lega, karena Maryam tidak jadi kehilangan karier, masa
depan, semuanya. Dia tidak kehilangan kehidupannya. Aku akan
merasa amat bersalah jika Maryam harus menghabiskan hidup­
nya menjadi buronan hanya karena dia datang di tempat dan
waktu yang keliru.
”Kita memenangi konvensi, Thomas...,” Maryam menyampai­
kan kabar hebat itu. ”Maksudku klien politikmu telah meme­
nangi konvensi partai di Denpasar.”
”Kau tidak sedang bergurau?”
”Tidak, Thom. Baru setengah jam lalu voting kandidat pre­
siden selesai dilaksanakan. Disiarkan langsung oleh beberapa
stasiun televisi. Klien politikmu menang telak dalam penghi­
tungan suara, nyaris sembilan puluh persen. Itu sungguh meng­
harukan. Kemenangan besar. Kau berhasil, Thomas. Kaulah
yang membuatnya terjadi.”
”Kita yang berhasil, Maryam. Kau membantu banyak.”

355

Aku menutup telepon setelah satu dua kalimat lagi tentang
kabar hebat dari Maryam. Dengan kabar baik dari konvensi
partai, semua urusan rampung sudah. Aku menyerahkan telepon
genggam kepada Lee.

Aku menghela napas panjang, menatap lorong rumah sakit
tempat kamar Om Liem berada. Lorong itu lengang, hanya se­
sekali dokter dan perawat melintas memeriksa pasien.

”Ada seseorang yang ingin bertemu denganmu, Thomas.” Lee
menepuk bahuku.

Aku menoleh. Siapa?
”Sebentar lagi tiba. Sebelum kau menelepon, beliau sudah
menuju kemari.”
”Siapa?” aku bertanya.
”Kau akan suka bertemu dengannya, Thomas. Kecuali bagian
yang itu, cerita-cerita lama. Maksudku tentu saja itu penting,
tapi ayolah, diceritakan berkali-kali seperti kaset rusak. Aku
sampai hafal setiap kalimatnya.” Lee tertawa.
Aku ikut tertawa, aku tahu siapa yang dimaksudkan Lee.
”Tapi kau jangan bilang-bilang padanya aku mengeluh soal
ini, Thomas.”
Aku menggeleng. Aku juga punya masalah yang sama dengan
Lee.

***

Lima menit menunggu, pintu lorong terbuka. Ditemani beberapa
staf, orang yang ingin menemuiku itu melangkah masuk. Aku
berdiri, menatap wajah tua yang semakin dekat. Itu adalah Chai

356

Ten, kakek Lee, teman perjalanan Opa saat mengungsi dari
tanah kelahiran mereka enam puluh tahun lalu.

Wajah Chai Ten teduh, tatapan matanya bercahaya. Usianya
sama dengan Opa. Perawakannya saja yang berbeda. Kakek Lee
lebih tinggi dan tubuhnya lebih berisi. Lee benar, aku me­
nyukainya. Dalam banyak hal, kakek Lee mirip dengan Opa.
Suaranya yang bersahabat, gestur wajah yang menghargai.

”Ini kebahagiaan besar, Thomas, bertemu dan memeluk lang­
sung cucu orang yang pernah menyelamatkan hidupku.” Kakek
Lee menatapku penuh penghargaan.

Aku mengangguk, bilang terima kasih banyak atas bantuan­
nya.

Kakek Lee menggeleng, semua itu tidak seberapa.
Kakek Lee menatapku takzim, lantas dia berkata pelan, ”Kau
tahu, Nak, sepotong intan terbaik dihasilkan dari dua hal: suhu
dan tekanan tinggi di perut bumi. Semakin tinggi suhu yang
diterimanya, semakin tinggi tekanan yang diperolehnya. Jika dia
bisa bertahan, tidak hancur, dia justru berubah menjadi intan
yang berkilau tiada tara. Keras. Kokoh. Mahal harganya.
”Sama halnya dengan kehidupan, seluruh kejadian menyakit­
kan yang kita alami, semakin dalam dan menyedihkan rasanya,
jika kita bisa bertahan, tidak hancur, kita akan tumbuh menjadi
seseorang yang berkarakter laksana intan. Keras. Kokoh. Seperti
jalan hidupmu, Thomas. Aku tahu dari cerita Lee. Orangtuamu
dibakar, masa kanak-kanak dan remajamu penuh kesedihan, di­
bebani kenangan abu orangtua. Tapi lihatlah, kau menjadi sese­
orang yang begitu gagah, amat membanggakan.
”Kau mewarisi seluruh kebijakan hidup yang dimiliki opamu,

357

Thomas. Dia juga pernah mengalami masa-masa sulit pada masa
mudanya. Perjalanan dengan kapal nelayan itu, mengungsi dari
tanah kelahiran, tidak saja membuatnya menjadi kokoh, mampu
bertahan dari kesulitan hidup, tapi lebih dari itu, membuktikan
opamu memiliki hati yang mulia.

”Kau tahu, Thomas, jarak antara akhir yang baik dan akhir
yang buruk dari semua cerita hari ini hanya dipisahkan oleh
sesuatu yang kecil saja, yaitu kepedulian. Opamu memilih
peduli, maka dengan seluruh kesusahan, dengan keterbatasan
yang dia miliki, dia tetap memutuskan menolongku yang sakit
parah di atas kapal nelayan itu, meskipun itu bisa menyulitkan
bahkan membahayakan dirinya sendiri. Dengan kepedulian dia
bersedia membagi jatah makanannya yang sedikit, memberikan
air minum yang susah payah didapat. Dengan kepedulian dia
bersedia merawatku siang-malam, berhari-hari. Apa untungnya
bagi opamu saat itu? Tidak ada. Tetapi panggilan hatinya mem­
buatnya melakukan semua itu. Enam puluh tahun kemudian,
sepotong kejadian tersebut memberikan perbedaan. Kita tidak
tahu apa yang terjadi hari ini kalau opamu memilih tidak peduli.
Aku sakit keras, sekarat, tidak ada pertolongan berarti hanya
soal waktu tubuh dinginku dilempar ke lautan.

”Begitu juga hidup ini, Thomas. Kepedulian kita hari ini akan
memberikan perbedaan berarti pada masa depan. Kecil saja, se­
pertinya sepele, tapi bisa besar dampaknya pada masa menda­
tang. Apalagi jika kepedulian itu besar, seperti yang dilakukan
opamu terhadapku, lebih besar lagi bedanya pada masa men­
datang.

”Selalulah menjadi seperti opamu, Nak. Selalulah menjadi

358

anak muda yang peduli, memilih jalan suci penuh kemuliaan.
Kau akan menjalani kehidupan ini penuh dengan kehormatan.
Kehormatan seorang petarung.”

359

Ikuti Kisah Sebelumnya

Untuk pembelian online:
e-mail: [email protected]
website: www.gramedia.com

Gramedia Pustaka Utama



Sekuel NEGERI PARA BEDEBAH––Anugerah Pembaca Indonesia 2012


Click to View FlipBook Version