INDIKATOR DAN INSTRUMEN UNTUK
MENDETEKSI PENGELOLAAN SUMBER
DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN YANG
TIDAK BERKELANJUTAN
PENDEKATAN ANALISIS KEUANGAN
Oleh
Mulyadi Noto
Universitas Pelita Haparan
Bambang Setiono
Center for International Forestry Research (CIFOR)
ELSDA Institute
Diterbitkan Oleh:
ELSDA Institute
Manggala Wanabakti Building IV/Room 509A
Jl. Gatot Soebroto Jakarta Pusat, 10270, Indonesia
Telepon : +6221‐5711309/ 57902778
Fax : +6221‐5711309
ELSDA Institute, adalah sebuah lembaga yang
terbentuk atas keprihatinan terhadap kondisi
sumberdaya alam Indonesia saat ini. Kami membangun
kekuatan dengan menggalang para professional di
bidang hukum dan akuntansi. Kekuatan kami bertumpu
pada kedua bidang tersebut. Dua bidang yang selama
ini dirasakan belum optimal berperan dalam
penyempurnaan pengelolaan lingkungan dan
sumberdaya alam yang lestari.
ISBN
Hak Cipta © ELSDA Institute, 2008
Cetakan Pertama, Desember 2008
Hak cipta dilindungi Undang‐undang. Dilarang
mengutip atau menyebarkan sebagian atau
keseluruhan isi buku tanpa izin tertulis dari penerbit.
ii
KATA PENGANTAR
Pembukaan UU No. 41 tahun 1999 Tentang Kehutanan
memberikan dasar filosofis bagaimana kita harus memandang hutan.
Dinyatakan bahwa hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang
Maha Esa yang dianugerahkan kepada Bangsa Indonesia, merupakan
kekayaan yang dikuasai oleh Negara, memberikan manfaat serbaguna
bagi umat manusia, karenanya wajib disyukuri, diurus, dan
dimanfaatkan secara optimal, serta dijaga kelestariannya untuk
sebesar‐besar kemakmuran rakyat, bagi generasi sekarang maupun
generasi mendatang. Melihat kata‐kata diatas sudah seharusnya
kondisi hutan di Indonesia menjadi lestari dan masyarakat yang hidup
disekitarnya menjadi sejahtera. Seperti juga alam Indonesia yang sering
dikatakan gemah ripah loh jinawi.
Namun hal tersebut sangat bertolak belakang dengan keadaan
hutan pada saat ini. Dinobatkannya Indonesia oleh Guinness Book of
Record menjadi negara penghancur hutan tercepat didunia dan
banyaknya keadaan masyarakat sekitar hutan yang miskin menjadi
sebuah ironi yang telanjang dengan Undang‐Undang diatas. Pastilah
muncul sebuah pertanyaan mengapa hal ini dapat terjadi? dimana
peran komponen negara dalam mencegah kerusakan?
ELSDA institute sebagai Institusi yang peduli terhadap keadaan
lingkungan hidup dalam hal ini hutan, mencoba memberikan
sumbangsih kepada negara dan masyarakat. Sumbangsih yang berikan
kali ini adalah sebuah kajian bersama antara Mulyadi Noto dan Dr.
Bambang Setiono berjudul “Indikator dan Instrumen Untuk Mendeteksi
Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Yang Tidak
Berkelanjutan”.
Pada Kajian ini dipaparkan tentang proses pembentukan
instrumen yang dapat digunakan sebagai indikator umum pengelolaan
lingkungan dan sumber daya alam yang lestari. Ada empat fase
kerangka berpikir dalam kajian ini. Fase pertama adalah
iii
mengindentifikasi indikator umum dan instrumen potensial, fase kedua
adalah analisis bisnis dan analisis hukum, fase ketiga adalah penetapan
indikator umum dan fase keempat adalah penetapan instrumen
pendeteksi.
Hasil dari fase keempat dapat digunakan menjadi instrumen
efektif pendeteksi pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan yang
tidak lestari. Diharapkan hasil dari analisa ini dapat digunakan oleh
pihak‐pihak yang berkompeten untuk mencegah kerusakan lingkungan
lebih lanjut. Untuk mempermudah pemahaman pembaca, pada kajian
ini disajikan studi kasus dengan contoh perusahaan terbuka. (Tbk).
Sehubungan dengan pendekatan yang digunakan adalah
pendekatan keuangan, kami mengharapkan adanya tanggapan dari
pihak‐pihak terkait seperti Ikatan Akuntan Indonesia (IAI), Badan
Pengawas Pasar modal & lembaga keuangan (BAPEPAM), Direktorat
Jenderal Pajak dan lain‐lain untuk dapat menindak lanjuti jika
ditemukan indikator pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan
yang tidak lestari.
Saran, kritik dan tanggapan dari semua pihak sangat kami
harapkan untuk penyempurnaan kajian ini. Semoga hutan di Indonesia
dapat kembali lestari secepatnya dan masyarakat sekitarnya menjadi
makmur seperti yang dituliskan pada pembukaan tersebut diatas.
Kalau bukan sekarang kapan lagi dan kalau bukan kita siapa lagi.
Jakarta, Desember 2008
Derry Wanta
Direktur ELSDA Institute
iv
DAFTAR ISI
Kata Pengantar iii
Daftar Isi v
Pendahuluan 1
Kerangka Pikir Pembentukan Instrumen dan Indikator Umum 4
Dari Kegiatan Usaha Ke Aktivitas Usaha 12
Indikator Umum Pengelolaan SDA dan Lingkungan yang Tidak 16
Berkelanjutan
Studi Kasus 33
Pelajaran yang Dapat Diambil 47
Simpulan dan Rekomendasi 50
Daftar Pustaka 52
v
1. PENDAHULUAN
K ondisi hutan dan sumber daya alam Indonesia lainnya
seperti pertambangan umum dan migas yang sudah
sedemikian parah dan lahirnya perusahaan‐perusahaan
besar berbasis sumber daya alam adalah anomali
pengelolaan sumber daya alam (SDA) dan lingkungan. Disatu sisi
telah terjadi kerusakan lingkungan dan SDA tetapi disisi yang lain
para pengusaha tetap bisa berkembang tanpa harus bertanggung
jawab terhadap kerusakan terhadap lingkungan dan SDA sebagai
akibat operasi dari perusahaan‐perusahaan ini. Jika kondisi ini
dibiarkan berlanjut, kita akan kehilangan dua hal sekaligus yaitu
lingkungan hidup dan SDA dan kekuatan ekonomi dari perusahaan
berbasis SDA. Perusahaan‐perusahaan ini akan gulung tikar karena
kekurangan bahan baku dan mengakibatkan rangkaian kegiatan
kontraksi ekonomi seperti penghapusan hutang, terganggunya
kesehatan bank, dan pemutusan hubungan kerja.
Perlu dilakukan upaya yang sungguh‐sungguh untuk
menghentikan proses penghancuran lingkungan dan SDA ini.
Kebijakan pembangunan ekonomi untuk mendorong lahirnya
perusahaan‐perusahaan besar berbasis sumber daya alam perlu
dimonitor dan dikaji agar lebih berpihak kepada upaya‐upaya
pemerintah dan masyarakat untuk melestarikan lingkungan dan
sumber daya alam. Di antara kebijakan ekonomi yang menjadi
perhatian ELSDA Institute adalah kebijakan di bidang akuntansi dan
pelaporan keuangan. Kebijakan akuntansi dan pelaporan keuangan
yang dapat menjelaskan kinerja perusahaan dalam mengelola
lingkungan dan SDA akan sangat membantu pemegang saham
perusahaan, pemerintah, dan masyarakat luas untuk menilai
Indikator dan Instrumen
ELSDA Institute
tanggung jawab perusahaan untuk melestarikan lingkungan hidup
dan sumber daya alam.
Laporan keuangan perusahaan seharusnya dapat
memberikan indikator umum tentang kualitas pengelolaan
lingkungan dan SDA yang dilakukan oleh perusahaan berbasis SDA.
Indikator umum ini merupakan parameter kuantitatif dan kualitatif
yang dapat digunakan untuk mengibarkan red flag yang akan
menstimulasi para pengambil keputusan termasuk aparat penegak
hukum untuk menyelidiki kemungkinan terjadinya tindak
Ketidakpatuhan Pengelolaan dibidang Lingkungan hidup dan SDA.
Jika kemudian informasi ini ditindaklanjuti secara memadai dalam
koridor hukum yang berlaku, akuntansi dan pelaporan keuangan
dapat memainkan peran yang besar dalam upaya menghentikan
proses penghancuran lingkungan hidup dan SDA yang saat ini tengah
terjadi.
Tulisan ini mencoba menggambarkan proses pembentukan
instrumen yang dapat digunakan sebagai indikator umum
pengelolaan lingkungan dan SDA. Pertama‐tama, tulisan ini akan
menjelaskan fase‐fase utama yang dapat dilalui dalam kerangka
pembentukan instrumen. Kemudian, selanjutnya tulisan ini akan
memperkenalkan salah satu instrumen yang dapat digunakan yaitu
Laporan Keuangan (financial statements) perusahaan.
Berdasarkan analisis keuangan yang dilakukan atas instrumen
tersebut, sejumlah indikator umum pengelolaan SDA dan lingkungan
yang tidak berkelanjutan yang mengarah pada indikasi
Ketidakpatuhan pengelolaan kehutanan diidentifikasikan dan
dipaparkan pada bagian berikutnya. Sebuah studi kasus penggunaan
laporan keuangan untuk mendeteksi indikasi ketidakpatuhan
pengelolaan kehutanan disajikan dalam tulisan ini untuk tujuan
memperjelas implementasi konsep yang telah dijabarkan. Akhirnya,
melalui tulisan ini ELSDA Institute akan mengkaji sejauh mana
2
ELSDA Institute
laporan keuangan perusahaan dapat digunakan untuk memberikan
informasi tentang kualitas pengelolaan lingkungan dan SDA dan
mengidentifikasi aspek apa yang harus diperbaiki agar laporan
keuangan dapat menjadi instrumen yang efektif untuk mendorong
kelestarian lingkungan dan SDA.
3
ELSDA Institute
2. KERANGKA PIKIR PEMBENTUKAN
INSTRUMEN DAN INDIKATOR UMUM
K
erangka pikir ELSDA Institute untuk pembentukan
instrumen dan indikator umum pengelolaan lingkungan
dan SDA dapat digambarkan dalam diagram di bawah ini.
Secara garis besar, prosesnya mencakup 4 (empat) fase utama.
Instrumen
Potensial
Instrumen Pengelolaan
Analisis Analisis
Keuangan Hukum Pendeteksi SDA
Indikator
Umum
FASE PERTAMA: Mengidentifikasi Indikator Umum dan Instrumen
Potensial
Dengan mengamati berbagai laporan tentang pengelolaan
lingkungan dan SDA, ELSDA Institute menetapkan sejumlah
indikator umum potensial untuk menilai kualitas pengelolaan
lingkungan dan SDA. Indikator umum tersebut disajikan dalam tabel
berikut ini.
4
ELSDA Institute
TABEL 1: HIPOTESA INDIKATOR UMUM
NO INDIKATOR UMUM
1 Jumlah dan sumber pemakaian bahan baku
2 Jumlah pemakaian bahan perusak lingkungan
3 Jumlah pembayaran pajak dan PNBP
4 Arus kas ke afiliasi
5 Lamanya operasi legal
6 Profil pejabat dan kekayaan normal
7 Jumlah izin produksi kayu yang diberikan
8 Izin yang merusak lingkungan hidup
9 Penyidikan dan penuntutan yang lemah
10 Putusan yang ringan atau bebas
Indikator pertama, jumlah dan sumber pemakaian bahan
baku akan memberikan indikasi tentang seberapa besar perusahaan
telah mengeksplorasi sumber daya alam. Informasi ini berguna
untuk menilai seberapa jauh perusahaan telah menerapkan
kebijakan pengelolaan SDA yang berkelanjutan. Sementara itu,
jumlah pemakaian bahan perusak lingkungan adalah indikator
seberapa besar perusahaan telah menggunakan bahan‐bahan kimia
dan energi yang memberikan kontribusi kepada pemanasan global
dan kerusakan air sungai dan lingkungan hidup lainnya. Termasuk
dalam indikator ini adalah jumlah pemakaian energi untuk
pembangkit listrik, mercuri, dan bahan‐bahan racun lainnya.
Indikator berikutnya adalah jumlah pembayaran pajak dan
penerimaan Negara bukan pajak (PNBP) yang telah dilakukan oleh
perusahaan. Jumlah pembayaran pajak dan PNBP akan memberikan
indikasi tentang konsistensi antara jumlah SDA yang telah diambil
oleh perusahaan dengan total kewajiban perusahaan kepada Negara
sebagai akibat eksploitasi tersebut. Perusahaan yang mendukung
kelestarian SDA secara minimal akan membayar seluruh kewajiban
pajak dan PNBP dengan benar dan tepat waktu. Kemudian, indikator
5
ELSDA Institute
ke empat, jumlah arus kas perusahaan yang dialirkan ke luar bisnis
perusahaan di bidang SDA akan memberikan indikasi minimnya
komitmen perusahaan kepada upaya pelestarian SDA dan
kesinambungan usahanya. Jika sebagian besar arus kas perusahaan
yang diperoleh dari bisnis SDA disalurkan ke pihak afiliasi dan pihak
ketiga di bidang non SDA terkait, kemampuan perusahaan untuk
melakukan rehabilitasi dan regenerasi SDA akan sangat kecil.
Perusahaan berbasis SDA memiliki keterbatasan dalam
mengeksploitasi dan atau memanfaatkan SDA. Mereka hanya dapat
beroperasi secara legal sesuai dengan izin eksplorasi atau produksi
yang diberikan oleh pemerintah. Lamanya perusahaan berbasis SDA
dapat beroperasi secara legal i.e. sesuai dengan izin operasinya akan
memberikan indikasi apakah perusahaan telah beroperasi
mengeksploitasi SDA secara legal.
Informasi awal yang dibutuhkan untuk mendapatkan kelima
indikator tersebut di atas dapat ditemukan pada sebuah instrumen
keuangan yang diproduksi oleh perusahaan yaitu laporan keuangan.
Instrumen ini diproduksi dengan memenuhi standar akuntansi dan
pelaporan yang mewajibkan penjelasan yang material terhadap
seluruh operasi perusahaan termasuk pengelolaan dan penggunaan
SDA serta dampaknya terhadap lingkungan hidup. Seluruh kegiatan
perusahaan ini memiliki dampak ekonomi kepada perusahaan untuk
saat ini maupun masa yang akan datang. Laporan keuangan
memberikan informasi tentang nilai uang dari kegiatan produksi,
pemasaran, dan investasi perusahaan yang dapat digunakan untuk
menghitung indikator 1 sampai dengan 5.
Tentu saja dengan kualitas akuntasi dan pelaporan yang ada
saat ini, laporan keuangan tidak dapat secara sendiri memberikan
seluruh informasi untuk menghitung indikator 1 sampai dengan 5.
Informasi pada laporan keuangan perusahaan perlu digabungkan
dengan informasi lain yang terdapat di dalam laporan industri dan
6
ELSDA Institute
perdagangan yang diterbitkan oleh Departemen Perindustrian dan
Perdagangan, laporan pengelolaan kehutanan oleh Departemen
Kehutanan, dan laporan pengelolaan SDA lainnya dari Departemen
yang terkait. Informasi lain yang perlu digunakan untuk
menghasilkan indikator 1 sampai dengan 5.
Indikator 6 sampai dengan 10 adalah indikator pengelolaan
SDA dan lingkungan hidup yang dapat diperoleh tanpa melalui
laporan keuangan. Kelima indikator non laporan keuangan ini terkait
dengan penggunaan wewenang yang dimiliki oleh pejabat
pemerintah yang diberikan mandat untuk membina dan mengawasi
pengelolaan SDA dan lingkungan oleh perusahaan maupun
masyarakat. Indikator 6 adalah memberikan informasi tentang
jumlah kekayaan pejabat negara dan profil gaya hidupnya. Gaji dan
tunjangan pejabat Negara dan hadiah‐hadiah yang diterimanya
selama menjadi pejabat harus dilaporkan kepada Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK). Pejabat Negara diwajibkan untuk
melaporkan harta kekayaannya pada saat sebelum, sedang, dan
setelah menjabat kepada KPK.
Jumlah izin yang diberikan oleh pejabat kepada perusahaan
berbasis SDA akan memberikan indikasi tentang siapa yang harus
bertanggung jawab terhadap eksploitasi SDA yang telah dilakukan
oleh perusahaan. Indikator ketujuh dan kedelapan ini dapat
diperoleh dari laporan tahunan perusahaan, laporan
departement/dinas pengelola SDA dan lingkungan, serta laporan
departemen/dinas pengelola perindustrian dan perdagangan.
Terakhir, indikator kesembilan dan kesepuluh terkait dengan
kualitas penegakan hukum. Informasi untuk menyusun indikator ini
dapat diperoleh dari hasil persidangan di peradilan dan berita di
media massa.
7
ELSDA Institute
Tabel di bawah ini menjelaskan instrumen potensial yang
dapat digunakan untuk menyusun indikator pengelolaan SDA dan
lingkungan yang berkelanjutan. Instrumen potensial ini merujuk
pada dokumen laporan yang sudah tersedia saat ini di mana
informasi yang terkandung di dalamnya dapat berpotensi
memberikan masukan bagi penyusunan indikator melalui proses
analisis keuangan dan analisis hukum.
TABEL 2: INSTRUMEN POTENSIAL
NO INSTRUMEN INDIKATOR UMUM
1 POTENSIAL
Laporan Keuangan Jumlah dan sumber pemakaian bahan
Perusahaan baku
2 Jumlah pemakaian bahan perusak
Laporan Keuangan lingkungan
Pemerintah Jumlah pembayaran pajak dan PNBP
3 Arus kas ke afiliasi
4 Laporan Transaksi Lamanya operasi legal
5 Keuangan Mencurigakan Jumlah pembayaran pajak dan PNBP
6 Laporan Gratifikasi Jumlah izin produksi kayu yang
7 Laporan Harta Kekayaan diberikan
8 Penyelenggara Negara Izin yang merusak lingkungan hidup
9 Hasil Audit Badan
Pemeriksa Keuangan Profil pejabat dan kekayaan normal
Laporan Masyarakat
Sustainability Report Penyidikan dan penuntutan yang lemah
Lain‐lain Putusan yang ringan atau bebas
8
ELSDA Institute
FASE KEDUA: Analisis Bisnis dan Analisis Hukum
Dalam fase ini serangkaian analisis keuangan dan analisis
hukum dilakukan terhadap instrumen potensial untuk
mengidentifikasikan relevansi informasi yang dikandung masing‐
masing instrumen terhadap indikator umum yang dihipotesakan.
Analisis keuangan yang dapat dilakukan mencakup Analisis Bisnis,
Analisis Laba dan Arus Kas, Analisis Transaksi Hubungan Istimewa,
Analisis Trasfer Pricing, Analisis Kualitas Pengungkapan, dan Analisis
Kekayaan Pejabat Negara. Sementara itu, analisis hukum meliputi
Analisis Kewajiban KYC dan Melapor, Analisis Kewajiban Perpajakan
dan Non Perpajakan, Analisis Kewajiban Pengelolaan Sumber Daya
Alam dan Lingkungan, Analisis Perijinan, Analisis Perubahan Kawasan
dan Tata Ruang, Analisis Dakwaan dan Alat Bukti, serta Analisis
Putusan. Dengan menghipotesakan muatan informasi masing‐masing
instrumen potensial, atas sebuah instrumen dapat dilakukan satu
atau lebih analisis keuangan atau satu atau lebih analisis hukum.
Hasil awal dari analisis ini adalah memasangkan tiap‐tiap
indikator umum dengan jenis instrumen potensial yang dapat
memasok informasi yang relevan. Sebagai contoh, analisis keuangan
terhadap laporan keuangan dapat menyimpulkan bahwa informasi
yang terkandung dalam laporan keuangan relevan untuk
menghitung atau menilai indikator‐indikator umum seperti: jumlah
dan sumber pemakaian bahan baku, jumlah pemakaian bahan
perusak lingkungan, jumlah pembayaran pajak dan PNBP, dan arus
kas ke afiliasi. Setelah tahapan awal ini, analisis mendalam dilakukan
untuk mencapai dua tujuan. Pertama, menguji validitas hipotesa
indikator umum. Kedua, mengidentifikasikan semua informasi
relevan yang harus ada dalam instrumen potensial yang dipilih agar
indikator umum dapat digunakan.
FASE KETIGA: Penetapan Indikator Umum
9
ELSDA Institute
Analisis mendalam yang dilakukan pada fase sebelumnya
akan menentukan validitas indikator umum yang dihipotesakan.
Dalam fase ini, indikator‐indikator umum yang sudah teruji
validitasnya didefinisikan berikut penetapan informasi yang harus
tersedia agar indikator umum itu dapat digunakan dan instrumen
potensial pemasok informasi relevan. Sebagai contoh, analisis
keuangan terhadap instrumen potensial Laporan Keuangan
perusahaan industri kehutanan dapat mengidentifikasikan indikator
umum pengelolaan SDA dan lingkungan yang tidak berkelanjutan
yang mengarah pada indikasi ketidakpatuhan pengelolaan
kehutanan, yang mencakup: implementasi strategi perusahaan
dalam menjaga kelestarian hutan, struktur jumlah dan sumber
pasokan bahan baku, pemenuhan kewajiban kepada negara, arus kas
yang dikembalikan ke hutan, dan struktur laba perusahaan.
FASE KEEMPAT: Penetapan Instrumen Pendeteksi
Berdasarkan analisis keuangan dan analisis hukum yang telah
dilakukan, sejumlah instrumen potensial yang tersedia dapat
ditetapkan menjadi instrumen efektif pendeteksi ketidakpatuhan
pengelolaan kehutanan. Namun demikian, boleh jadi analisis hukum
dan/atau analisis keuangan yang mendalam telah pula
mengidentifikasikan sejumlah kekurangan pengungkapan informasi
yang dikandung sebuah instrumen sehingga menghambat
pemanfaatan instrumen tersebut untuk menjadi instrumen yang
efektif. Nah, pada fase ini kekurangan‐kekurangan pengungkapan
informasi tersebut diidentifikasikan secara jelas dan coba
disodorkan kepada instansi terkait dan berwenang yang
mengeluarkan kebijakan ataupun yang menghasilkan instrumen
terkait. Rekomendasi perbaikan muatan informasi maupun cara
pengungkapan informasi coba diangkat ke permukaan. Contoh,
10
ELSDA Institute
pengungkapan sumber pasokan bahan baku seharusnya diwajibkan
dalam catatan atas laporan keuangan perusahaan yang bergerak
dalam industri hutan. Rekomendasi ini layak diajukan kepada
instansi terkait dengan pelaporan keuangan, seperti Ikatan Akuntan
Indonesia (IAI), Departemen Keuangan ataupun Badan Pengelola
Pasar Modal (Bapepam).
Instrumen Analisis Analisis Indikator
Pendeteksi Keuangan Hukum Umum
Pengelolaan
SDA
Jadi, di dalam rerangka ini akan terbentuk dua keluaran
utama: Indikator Umum Pengelolaan SDA dan Lingkungan yang
Tidak Berkelanjutan dan Instrumen Pendeteksi Pengelolaan
SDA dan Lingkungan yang Tidak Berkelanjutan. Dalam konteks
ini, ELSDA Institute mendefinisikan Indikator umum pengelolaan SDA
dan Lingkungan sebagai sejumlah parameter, berisi nilai kuantitatif
dan/atau kualitatif, yang diperoleh melalui mekanisme analisis
keuangan dan hukum terhadap instrumen relevan yang dapat
digunakan untuk mengindikasikan adanya kemungkinan
pengelolaan SDA dan lingkungan yang tidak berkelanjutan.
Sementara itu, instrumen pendeteksi Ketidakpatuhan pengelolaan
kehutanan dapat didefinisikan oleh ELSDA Institute sebagai
dokumen, dapat berupa laporan yang diterbitkan oleh instansi
ataupun perusahaan, yang berisi informasi relevan yang melalui
proses analisis keuangan dan hukum dapat membentuk nilai
kuantitatif dan/atau kualitatif bagi indikator umum pengelolaan SDA
dan lingkungan yang tidak berkelanjutan yang relevan.
11
ELSDA Institute
3. DARI KEGIATAN USAHA
(AKTIVITAS BISNIS) MENUJU
LAPORAN KEUANGAN
L
aporan keuangan perusahaan merupakan sumber
utama informasi yang tersedia bagi para pihak di luar
perusahaan. Untuk itu, laporan keuangan tak pelak lagi
merupakan instrumen potensial utama yang digunakan untuk
melakukan analisis keuangan. Namun demikian, para analis laporan
keuangan haruslah menyadari faktor‐faktor yang dapat
mempengaruhi muatan informasi dalam laporan keuangan, yang
pada gilirannya menentukan kualitas informasi yang dikandungnya.
Pemahaman mengenai faktor‐faktor tersebut sangat krusial
mengingat kualitas informasi menentukan validitas hasil analisis
keuangan.
Seperti nampak dari gambar di bawah ini, laporan keuangan
merupakan ikhtisar keuangan dari seluruh kegiatan usaha (aktivitas
bisnis) yang dilakukan oleh perusahaan untuk periode tahun buku
tertentu. Logikanya, setiap tindakan Ketidakpatuhan pengelolaan
kehutanan yang dilakukan sebagai bagian dari kegiatan usaha
perusahaan seharusnya tercermin dalam angka‐angka dan
penjelasan laporan keuangan perusahaan. Namun demikian,
kenyataan di lapangan adalah bahwa tidak semua realitas ekonomis
dari setiap kegiatan usaha yang dilakukan perusahaan, termasuk di
dalamnya mungkin tindak Ketidakpatuhan pengelolaan kehutanan,
dapat terungkap dalam laporan keuangan. Ada satu filter penting
12
ELSDA Institute
yang dapat menentukan informasi apa yang ingin dan yang tidak
ingin dimuat dalam laporan keuangan: Sistem Akuntansi
Perusahaan.
Lingkungan Kegiatan Strategi
Usaha Usaha Usaha
Lingkungan Sistem Strategi
Akuntansi Akuntansi Akuntansi
Laporan
Keuangan
Sumber: Adaptasi dari (Palepu, et al., 2004)
Sistem akuntansi akan mencatat, mengklasifikasikan serta
mengikhtisarkan data transaksi usaha sebuah entitas bisnis.
Masukan utama dari sistem akuntansi adalah data transaksi kegiatan
usaha dan keluaran utamanya adalah laporan keuangan. Transaksi
usaha yang dilakukan sebuah entitas usaha dipengaruhi oleh
lingkungan usaha di mana entitas bisnis itu terlibat dan juga strategi
usaha yang diimplementasikan entitas bisnis itu di dalam menggapai
keunggulan kompetitifnya. Dalam konteks penggunaan laporan
keuangan perusahaan industri kehutanan sebagai instrumen dalam
analisis keuangan, pengenalan atas lingkungan usaha kehutanan
mutlak diperlukan, terutama business process utama yang tipikal
dilakukan oleh perusahaan industri kehutanan. Kemudian, strategi
usaha yang dijalankan akan sangat mempengaruhi nature dari
kegiatan usaha kehutanan yang dipilih dari sekian banyak pilihan
yang masuk akal. Pemahaman atas kedua faktor tersebut
13
ELSDA Institute
memberikan dasar bagi proses critical thinking ketika melihat
ikhtisar finansial dari kegiatan usaha yang telah dilakukan yang
direfleksikan oleh angka‐angka laporan keuangan.
Dua faktor penting lain yang harus ditelaah untuk memahami
bagaimana sistem akuntansi merekam kegiatan usaha adalah
lingkungan akuntansi dan strategi akuntansi. Lingkungan akuntansi
merujuk pada sekumpulan aturan‐aturan dan prinsip‐prinsip
akuntansi yang berlaku untuk suatu lingkungan usaha tertentu.
Prinsip akuntansi yang khusus untuk industri kehutanan di
Indonesia mengacu pada PSAK No. 32. Masih terlalu sempit cakupan
PSAK ini dibanding dengan kompleksitas business process industri
kehutanan. Untuk itu, hal‐hal yang belum diatur dalam PSAK
tersebut perlakuan akuntansinya mengacu pada general accepted
accounting principles yang lain. Di dalam prinsip‐prinsip akuntansi
yang berlaku secara umum, pelaku bisnis diperhadapkan pada
berbagai alternatif perlakuan akuntansi yang memiliki dampak yang
tidak seragam terhadap figure laba bersih. Manajemen memiliki
keleluasaan untuk memilih salah satu alternatif perlakuan akuntansi
untuk dijadikan kebijakan akuntansi perusahaan. Dengan strategi
akuntansi yang dipilih, manajemen dapat ‘mengatur’ angka‐angka
dan pengungkapan laporan keuangan.
Dengan mencermati faktor‐faktor utama sebagaimana
disinggung di atas, analis keuangan dimampukan untuk dapat
melakukan critical review terhadap angka‐angka yang ada dalam
laporan keuangan. Analis keuangan dimampukan untuk
mengidentifikasikan aspek‐aspek lingkungan usaha dan strategi
usaha serta lingkungan akuntansi dan strategi akuntansi yang
diimplementasikan oleh perusahaan. Berangkat dari sana, analis
keuangan dapat mengungkap potensi‐potensi distorsi informasi
yang termuat dalam laporan keuangan. Sebelum melakukan analisis
laporan keuangan, distorsi‐distorsi yang demikian harus dieliminasi
14
ELSDA Institute
terlebih dahulu. Dengan demikian, laporan keuangan akan benar‐
benar mencerminkan secara wajar kegiatan usaha yang telah
dilakukan dan kinerja keuangan yang telah dicapai. Ini akan
menjadikan laporan keuangan bahan baku bagi analisis laporan
keuangan yang valid.
15
ELSDA Institute
4. INDIKATOR UMUM PENGELOLAAN
SDA DAN LINGKUNGAN YANG TIDAK
BERKELANJUTAN PADA INDUSTRI
KEHUTANAN
S esuai dengan pembatasan masalah yang diungkapkan
dalam bagian pendahuluan tulisan ini, indikator umum
pengelolaan SDA dan lingkungan yang tidak
berkelanjutan yang akan diulas di sini adalah indikator
umum yang mengarah pada indikasi Ketidakpatuhan pengelolaan
kehutanan yang dapat dianalisis menggunakan instrumen potensial
Laporan Keuangan perusahaan industri kehutanan. Seperti nampak
dalam gambar di bawah ini, indikator umum pengelolaan SDA dan
lingkungan yang tidak berkelanjutan yang dapat diperoleh melalui
mekanisme analisis keuangan terhadap instrumen laporan keuangan
mencakup: implementasi strategi perusahaan dalam menjaga
kelestarian hutan, struktur jumlah dan sumber pasokan bahan baku
kayu bulat, pemenuhan kewajiban kepada negara, arus kas yang
masuk kembali ke dan keluar dari hutan, dan laba normal
perusahaan.
16
ELSDA Institute
Analisis
Bisnis
Laporan Data
Keuangan Pendukung
ImK epSllteersmattaeerngiiat ans i Sumber Pemenuhan Arus Kas Analisis Laba
Hutan Pasokan Kewajiban Yang Perusahan
Bahan Baku
Kepada Dikembalikan
Negara Ke Hutan
Pengelolaan
SDA
I ndikasi
Ketidakpatuhan
Pengelolaan
Kehutanan
Dalam bagian tulisan ini akan dipaparkan proses analisis keuangan
terhadap laporan keuangan perusahaan yang bergerak di bidang
kehutanan dan proses pembentukan indikator‐indikator umum
pengelolaan SDA dan lingkungan yang tidak berkelanjutan yang
mengarah pada indikasi Ketidakpatuhan pengelolaan kehutanan.
Seperti juga terlihat pada gambar di atas, sumber utama analisis
adalah laporan keuangan. Namun demikian, data‐data pendukung
lain tetap diperlukan agar analisis dapat dilakukan secara optimal.
17
ELSDA Institute
INDIKATOR 1 : IMPLEMENTASI STRATEGI PERUSAHAAN DALAM
MENJAGA KELESTARIAN HUTAN
Laporan Tahunan (Annual Report) sebuah perusahaan
memuat Laporan Keuangan Utama (Basic Financial Statements)
beserta informasi tambahan yang dipandang oleh manajemen perlu
untuk disampaikan kepada pengguna laporan tahunan. Salah satu
informasi penting yang disajikan oleh manajemen perusahaan di
dalam industri kehutanan adalah pernyataan eksplisit mengenai
strategi perusahaan di dalam mempertahankan kesinambungan
pasokan bahan baku kayu bulat. Hal ini perlu dilakukan mengingat
dalam tahun‐tahun belakangan ini pembabatan hutan alam sudah
sangat dibatasi ruang lingkupnya sehingga perusahaan harus
mampu meyakinkan para stakeholders bahwa pasokan bahan baku
kayu bulat perusahaan dapat dipenuhi oleh sumber‐sumber yang
dapat diperbaharui. Dengan lebih mengandalkan sumber‐sumber
yang dapat diperbaharui ini, perusahaan dapat dipandang telah
mengimplementasikan strategi usaha yang tepat di dalam ikut
menjaga kelestarian hutan alam Indonesia.
Strategi » Identifikasi pernyataan strategi kelestarian hutan
yang dipublikasikan perusahaan
Kelestarian
Hutan
Implementa
si Strategi »a n Mgkean‐ealnagakha i mdapllaemm le anptoarsai nst kraetueagni gdaenn gan melihat
Simpulan
Atas
» Menarik simpulan dari telaah implementasi
Strategi
strategi kelestarian h utan
18
ELSDA Institute
Strategi mendasar untuk mendapatkan sumber pasokan kayu
bulat yang dapat diperbaharui adalah melakukan investasi yang
memadai dalam Hutan Tanaman Industri (HTI), baik dengan
melakukan investasi langsung (direct investment) maupun dengan
melakukan akusisi terhadap perusahaan HTI. Secara eksplisit,
manajemen perusahaan harus mengungkapkan strategi investasi
dalam HTI ini dalam laporan tahunannya untuk memberikan sinyal
positif bagi para stakeholder mengenai niat serius perusahaan untuk
ikut melestarikan hutan alam. Jika pernyataan eksplisit mengenai
strategi ini tidak diungkapkan dalam laporan tahunan, ELSDA
Institute menganggap perusahaan sudah terindikasi melakukan
pengelolaan SDA dan lingkungan yang tidak berkelanjutan dalam
konteks bahwa perusahaan tersebut ikut memperparah kerusakan
hutan alam karena tidak punya niatan menggunakan sumber
pasokan kayu bulat yang dapat diperbaharui dan berkelanjutan.
Namun demikian, kalaupun penyataan eksplisit terhadap strategi
investasi dalam HTI telah diungkapkan dalam laporan tahunan,
ELSDA Institute perlu mencermati dulu implementasi strategi
tersebut sebelum memberikan simpulan mengenai ada tidaknya
indikasi pengelolaan SDA dan lingkungan yang tidak berkelanjutan
oleh perusahaan.
Secara menyeluruh, analisis keuangan yang dilakukan ELSDA
Intitute untuk mencermati implementasi strategi perusahaan dalam
menjaga kelestarian hutan diilustrasikan dalam diagram di atas.
Dalam analisis implementasi ini, ELSDA Intitute akan mencermati
angka‐angka laporan keuangan yang berkaitan dengan mutasi pos
HTI Dalam Pengembangan dan mutasi pos Hutan Tanaman Industri
itu sendiri.
19
ELSDA Institute
HTI Dalan Hutan Tanaman
Pengembangan
Industri
» Investasi » Siap Tebang » Penebangan
» Divestasi » Divestasi
Mutasi tambah pada pos HTI Dalam Pengembangan
menunjukkan besar investasi yang dilakukan perusahaan dalam
mengembangkan HTI (baik langsung mupun melalui akusisi
perusahaan HTI) sementara mutasi kurang pada pos HTI Dalam
Pengembangan menunjukkan pemindahan status ke HTI untuk areal
yang sudah siap tebang. Sementara itu, mutasi tambah pada pos
Hutan Tanaman Industri menunjukkan penambahan areal yang
sudah siap ditebang dan mutasi kurang merupakan amortisasi yang
dilakukan atas HTI selaras dengan proses penebangan areal HTI.
Namun demikian, perlu diwaspadai adanya mutasi kurang pada HTI
Dalam Pengembangan dan Hutan Tanaman Industri yang disebabkan
oleh transaksi divestasi oleh perusahaan.
Informasi mengenai mutasi tambah dan kurang pada pos HTI
Dalam Pengembangan dan pos Hutan Tanaman Industri barulah
menunjukkan besaran rupiah dari HTI yang dikelola perusahaan dan
belum memperlihatkan mutasi dalam satuan luas area HTI yang
dikelola. Sungguh merupakan informasi yang berguna apabila dalam
Catatan Atas Laporan Keuangan untuk perusahaan‐perusahaan di
bidang kehutanan menyajikan angka‐angka tersebut. Sebenarnya
PSAK No. 32 tentang Akuntansi Kehutanan sudah mensyaratkan
perusahaan untuk menyajikan data area HTI yang dikelolanya.
20
ELSDA Institute
Sayangnya, dari sejumlah laporan keuangan yang telah ditelaah,
tidak ada satupun yang mengungkap informasi penting tersebut.
Jadi, untuk sementara analisis keuangan atas implementasi strategi
perusahaan dalam melestarikan hutan hanya dapat dilakukan atas
parameter mutasi rupiah pos HTI Dalam Pengembangan dan pos
Hutan Tanaman Industri saja.
INDIKATOR 2 : STRUKTUR JUMLAH DAN SUMBER PASOKAN BAHAN
BAKU KAYU BULAT
Salah satu kontributor terbesar untuk tingkat kerusakan
hutan alam Indonesia dan mewakili jenis Ketidakpatuhan
pengelolaan kehutanan yang terbesar adalah illegal logging.
Ditenggarai bahwa mayoritas sumber pasokan bahan baku kayu
bulat bagi industri kehutanan Indonesia berasal dari illegal logging
dan seluruh transaksi terkait dengannya. Indikasi penggunaan bahan
baku kayu bulat yang berasal dari illegal logging oleh sebuah
perusahaan dapat dideteksi dari laporan keuangannya. Sayangnya,
laporan keuangan yang diterbitkan oleh perusahaan industri
kehutanan tidak secara rinci menyajikan jumlah dan sumber
pasokan bahan baku kayu bulat. Akibatnya, analisis keuangan
terhadap laporan keuangan untuk mendeteksi indikasi
ketidakpatuhan ini dilakukan dengan menganalisis Struktur Harga
Pokok, sebagaimana diilustrasikan dalam diagram berikut ini:
21
ELSDA Institute
Analisis Analisis
Bahan Baku Struktur Harga
Pokok
Penjualan
Jumlah
Penggunaan
Bahan Baku
Sumber Bahan Kewajiban
Baku Pada Negara
Penyalahgunaan HPH Undestatement Kewajiban
Pembalakan liar Kurang Bayar Kewajiban
Analisis terhadap struktur harga pokok berpotensi menghasilkan
informasi mengenai jumlah pengunaan bahan baku kayu bulat.
Berangkat dari informasi ini, setidaknya akan didapat dua informasi
yang menjadi bakal indikator umum pengelolaan SDA dan
lingkungan yang tidak berkelanjutan (dan juga berindikasi
Ketidakpatuhan pengelolaan kehutanan). Pertama, sumber pasokan
bahan baku kayu bulat yang dapat mengidentifikasikan indikasi
Ketidakpatuhan pengelolaan kehutanan dalam konteks
penyalahgunaan Hak Pengusahaan Hutan dan pemakaian kayu bulat
yang berasal dari illegal logging. Kedua, jumlah kewajiban kepada
negara dalam bentuk kewajiban membayar Dana Reboisasi dan
PSDH kepada negara oleh semua pihak yang menurut peraturan
yang berlaku memiliki kewajiban tersebut. Indikasi Ketidakpatuhan
pengelolaan kehutanan yang dapat diindikasikan mencakup
manipulasi jumlah kewajiban dengan cara merendahkan jumlah
kewajiban (understatement kewajiban) dan juga kurang bayar
22
ELSDA Institute
kewajiban kepada negara. Pada bagian ini akan dibahas indikator
Ketidakpatuhan pengelolaan kehutanan yang pertama, sedangkan
indikator Ketidakpatuhan pengelolaan kehutanan yang kedua akan
dibahas pada bagian setelah ini.
Penggunaan
Bahan Baku
‐
Analisis = Bahan Baku
Kapasitas HTI Bahan Baku yang Dipasok
yang Dipasok
‐Hutan Alam
Bahan Baku
Analisis yang Dipasok = Bahan Baku
yang Dipasok
Kapasitas HPH
Pembelian
‐
Analisis
Dokumen Dipasok
Pembelian
Pembelian
Legal
=
Penyalahgunaan
HPH Dipasok Dari
Pembalak Liar
Analisis struktur harga pokok dilakukan dengan membagi
total biaya pemakaian bahan baku kayu bulat (satuan rupiah)
dengan harga pembelian kayu bulat rata‐rata (satuan rupiah per
m2). Hasilnya berupa jumlah total penggunaan bahan baku kayu
bulat (satuan m2). Dari angka total ini, Analisis Kapasitas HTI,
Analisis Kapasitas HPH dan Analisis Dokumentasi Pembelian
dilakukan untuk mendapatkan jumlah dan sumber pasokan bahan
baku: bahan baku yang dipasok HTI, bahan baku yang dipasok HPH,
23
ELSDA Institute
bahan baku yang dibeli secara legal, dan bahan baku yang diperoleh
secara ilegal.
Asumsi yang digunakan dalam analisis keuangan ini adalah
bahwa perusahaan memiliki niatan untuk melestarikan hutan
sehingga prioritas sumber pasokan bahan baku adalah hutan
tanaman industri yang dikelola perusahaan. Penggunaan sumber
pasokan yang lain hanya merupakan nilai tambah bagi proses
produksi. Analisis atas kapasitas HTI akan mendapatkan jumlah kayu
bulat yang dipasok oleh HTI. Jika jumlah ini dikurangkan dari total
pemakaian kayu bulat, angka yang didapat adalah jumlah bahan
baku yang dipasok oleh hutan alam. Pasokan kayu bulat dari hutan
alam dapat berasal dari tiga sumber utama: bahan baku yang dipasok
HPH, bahan baku yang dibeli secara legal, dan bahan baku yang
diperoleh secara ilegal. Analisis atas kapasitas HPH yang dimiliki
perusahaan akan mendapatkan jumlah bahan baku yang dipasok
oleh HPH. Jumlah pemakaian kayu bulat selebihnya merupakan
bahan baku yang dibeli dari luar, baik legal maupun ilegal.
Keterbatasan informasi yang dikandung oleh laporan
keuangan mengharuskan proses analisis keuangan menggunakan
data penunjang yang diambil dari luar laporan keuangan. Data
penunjang dalam konteks ini adalah dokumen‐dokumen pembelian.
Analisis atas dokumen pembelian ini akan memberikan gambaran
berapa banyak bahan baku yang dibeli secara legal. Dengan
demikian, sisa pasokan bahan baku yang ada dapat patut dicurigai
berasal dari pembelian ilegal atau berasal dari illegal logging.
Dengan demikian, analisis keuangan atas jumlah dan sumber
pasokan bahan baku dapat mengindikasikan ada tidaknya tindak
Ketidakpatuhan pengelolaan kehutanan dalam konteks illegal
logging.
24
ELSDA Institute
INDIKATOR 3 : PEMENUHAN KEWAJIBAN KEPADA NEGARA
Analisis terhadap jumlah dan sumber pasokan bahan baku
kayu bulat dapat digunakan untuk menghitung total kewajiban
perusahaan kepada Negara dalam hal pembayaran Dana Reboisasi
dan PSDH. Sebagaimana digambarkan dalam diagram di bawah ini,
dari analisis struktur harga pokok dapat diketahui total penggunaan
kayu bulat oleh perusahaan. Apabila jumlah ini kemudian dikalikan
dengan tarif DR dan PSDH yang sesuai maka akan didapatkan jumlah
total kewajiban pembayaran DR dan PSDH kepada negara.
Analisis Bahan
Baku
Analisis
Struktur Harga
Pokok
Jumlah
Penggunaan
Bahan Baku
Kewajiban
Kepada Negara
Ketentuan Tarif
DR PSDH
Realisasi pemenuhan kewajiban pembayaran DR dan PSDH
dapat diperoleh dengan melakukan analisis terhadap Neraca,
Laporan Laba Rugi dan Laporan Arus Kas perusahaan. Analisis
terhadap neraca dilakukan untuk menghitung mutasi yang terjadi
pada pos kewajiban DR dan PSDH yang Masih Harus Dibayar. Mutasi
yang terjadi merupakan mutasi bersih dari mutasi tambah, berupa
pembebanan DR dan PSDH selama tahuan berjalan, dan mutasi
kurang, berupa pembayaran DR dan PSDH kepada negara. Mutasi
tambah tersebut dapat diketahui dengan melakukan analisis
25
ELSDA Institute
terhadap besar pembebanan DR dan PSDH yang dilaporkan dalam
Laporan Laba Rugi. Sementara itu, realisasi pemenuhan kewajiban
kepada negara dapat dilihat dari arus kas keluar untuk pembayaran
DR dan PSDH yang dapat dianalisis dalam Laporan Arus Kas
perusahaan.
Jumlah
Penggunaan
Bahan Baku
Ketentuan Tarif Kewajiban
DR PSDH Kepada Nega ra
Analisis DR dan Jumlah
PSDH Kewajiban Yang
Jumlah Belum Dipenuhi
Kewajiban
Yang Dipenuhi
Analisis Neraca,
Laba Rugi dan
Arus Kas
Hubungan matematis antara angka‐angka pada ketiga jenis
laporan keuangan tersebut perlu dicermati mengingat tidak semua
laporan keuangan mengungkapkan angka‐angka pemenuhan
kewajiban kepada negara secara eksplisit. Dalam banyak kasus,
perlakuan akuntansi untuk beban DR dan PSDH yang diterapkan
oleh perusahaan adalah dengan menggabungkan beban DR dan
PSDH ke dalam pos Beban Produksi secara global. Jika ini yang
terjadi, besar DR dan PSDH yang diperhitungkan oleh perusahaan
26
ELSDA Institute
hanya dapat diketahui dari mutasi angka‐angka neraca dan laporan
arus kas. Masalah juga akan muncul apabila dalam laporan arus kas,
perusahaan tidak secara eksplisit menyajikan arus kas keluar untuk
pembayaran kewajiban DR dan PSDH kepada negara. Kembali,
hubungan logis antara neraca dan laporan laba rugi untuk pos DR
dan PSDH dapat digunakan untuk menghitung realisasi pemenuhan
kewajiban kepada negara tersebut.
Dengan membandingkan antara jumlah kewajiban kepada
negara yang seharusnya dibayar dengan jumlah realisasi pemenuhan
kewajiban kepada negara, kekurangan ataupun kelebihan
pemenuhan kewajiban kepada negara dapat diketahui. Kekurangan
pemenuhan kewajiban kepada negara dapat menjadi indikasi adanya
pengelolaan SDA dan lingkungan yang tidak berkelanjutan yang
mengarah pada indikasi tindak Ketidakpatuhan pengelolaan
kehutanan. Dalam hal ini, tindak ketidakpatuhan pengelolaan
kehutanan yang dilakukan perusahaan dapat berupa hanya sekedar
kurang melakukan pembayaran kewajiban kepada negara ataupun
malah melakukan manipulasi perhitungan kewajiban kepada negara.
INDIKATOR 4 : ARUS KAS YANG MASUK KEMBALI KE DAN KELUAR
DARI HUTAN
Analisis Arus
Kas
Kembali Ke Tidak Kembali
Hutan Ke Hutan
Transfer Price
Investasi Pada
HTI
Pemenuhan Investasi di Luar 27
Kewajiban Industri Hutan
Kepada Negara
Money
Reinvestasi Laundering
Dalam
Perusahaan
ELSDA Institute
Analisis terhadap Laporan Arus Kas perusahaan dapat
mendeteksi adanya indikasi arus kas yang kembali ke dalam ataupun
yang keluar dari industri kehutanan. ELSDA Institute memandang
praktik membawa kas keluar dari industri kehutanan merupakan
sebuah tindak pengelolaan SDA dan lingkungan yang tidak
berkelanjutan. Dengan adanya arus kas keluar dari industri
kehutanan berarti tidak akan tersedia cukup dana segar yang dapat
digunakan oleh perusahaan untuk melakukan investasi pada Hutan
Tanaman Industri, membayar seluruh kewajiban kepada negara dan
melakukan reinvestasi untuk meremajakan peralatan perusahaan
yang ada. Minimnya dana untuk melakukan investasi pada HTI
menyebabkan minimnya kontribusi perusahaan bagi kelestarian
hutan alam. Tidak adanya reinvestasi untuk peremajaan peralatan
akan mengganggu kesinambungan efisiensi dalam proses produksi
sehingga untuk mendapatkan keluaran yang sama perusahaan harus
mengkonsumsi masukan yang lebih besar sehingga akan
mempercepat pengurangan sumber daya kayu bulat. Juga, kewajiban
kepada negara yang kurang dipenuhi akan memaksa pemerintah
memangkas upaya‐upaya pelestarian hutan. Dengan demikian, sekali
lagi, ELSDA Institute mengambil sikap bahwa tindakan
memindahkan kas keluar dari industri kehutanan merupakan
indikasi tindak pengelolaan SDA dan lingkungan yang tidak
berkelanjutan.
Laporan Arus Kas perusahaan terbagi dalam tiga bagian
utama: arus kas dari kegiatan operasional, arus kas dari kegiatan
investasi dan arus kas dari kegiatan pembiayaan. Arus kas keluar
yang utama dalam kegiatan operasional adalah pembayaran kepada
pemasok, terutama untuk pembelian bahan baku kayu bulat dan
biaya produksi utama. Jumlah yang tidak normal pada arus kas
keluar ini patut dicurigai untuk terindikasi adanya praktik markup
dalam skema mekanisme transfer price antara perusahaan dengan
afiliasi. Di sini, perusahaan melakukan pembayaran untuk pembelian
28
ELSDA Institute
bahan baku kayu bulat dan/atau pengeluaran biaya produksi di atas
jumlah yang wajar dengan maksud menutupi tujuan sebenarnya
yaitu membawa kas keluar dari industri kehutanan.
Kegiatan investasi yang dilakukan perusahaan dapat
dianalisis pada arus kas dari kegiatan investasi. Barangkali indikasi
Ketidakpatuhan pengelolaan kehutanan dalam bentuk melakukan
investasi di luar industri kehutanan lebih kasat mata di sini. Dari
rincian arus kas untuk kegiatan investasi dapat dilihat kegiatan
investasi apa saja yang telah dilakukan, mana yang memang terkait
dengan industri kehutanan dan mana yang tidak relevan sama sekali.
Bentuk yang paling umum terjadi adalah arus kas keluar dalam
bentuk akusisi perusahaan afiliasi. Jika perusahaan afiliasi yang
diakusisi merupakan perusahaan pengelola HTI jelas hal ini
merupakan hal yang positif, namun bagaimana jika perusahaan
melakukan akusisi terhadap perusahaan yang bergerak di bidang
distribusi makanan?
Sementara itu, arus kas keluar dari industri kehutanan dalam
bentuk money laundering dapat dikaji indikasinya dari arus kas dari
kegiatan pembiayaan. Di sini, perusahaan dapat saja melakukan
pemberian uang muka ataupun pinjaman lunak kepada perusahaan
afiliasi dengan maksud membiayai ataupun mengaburkan tindakan
bisnis ilegal yang dilakukan perusahaan afiliasi. Uang muka dan
pinjaman ini kemudian secara perlahan tapi pasti dihapus dari
pembukuan perusahaan dengan alasan bahwa uang muka dan
pinjaman itu berusia sudah terlalu lama dan tingkat penagihannya
kembali semakin kecil.
Terus terang, menganalisis arus kas keluar untuk tujuan
mengidentifikasikan tindak pengelolaan SDA dan lingkungan yang
tidak berkelanjutan merupakan pekerjaan yang sulit.
Membengkaknya pembayaran kepada pemasok, tindakan akusisi
29
ELSDA Institute
terhadap perusahaan afiliasi maupun hubungan pinjam meminjam
dengan perusahaan afiliasi tidaklah serta merta memojokkan
perusahaan sudah melakukan tindak Ketidakpatuhan pengelolaan
kehutanan. Namun demikian, setidaknya angka‐angka yang tersaji
dapat memicu penelaahan lebih lanjut yang kelak akan dapat
membuktikan ada tidaknya indikasi tindak Ketidakpatuhan
pengelolaan kehutanan yang dimaksud.
INDIKATOR 5 : LABA TIDAK NORMAL PERUSAHAAN
Analisis keuangan atas laporan keuangan perusahaan
setidaknya akan memberikan gambaran kondisi perusahaan dalam
dua perspektif waktu: kinerja perusahaan di masa lampau dan
prediksi kinerja perusahaan di masa datang. Analisis terhadap trend
dan struktur laba perusahaan dapat menfasilitasi para analis
keuangan untuk melakukan prediksi kinerja perusahaan di masa
datang. Tingkat pertumbuhan yang positif dari laba perusahaan
memberikan gambaran akan terjaganya kesinambungan pencapaian
laba, yang pada akhirnya memberikan gambaran positif akan
kesinambungan usaha perusahaan. Sebaliknya, kesinambungan
usaha perusahaan akan sangat dipertanyakan apabila tingkat
pertumbuhan laba perusahaan menunjukkan angka negatif.
Analisis
Laba
Struktur
Laba Rugi
Kesinambungan Transfer Price
Laba
Indikasi 30Kebijakan
Ketidakpatuhan
Akutansi
Pengellolaan Garbage Bin
Kehutanan
ELSDA Institute
Dikaitkan dengan konteks indikasi pengelolaan SDA dan
lingkungan yang tidak berkelanjutan, analisis terhadap struktur laba
dapat mengidentifikasikan abnormalitas dari laba yang diperoleh
perusahaan. Adalah suatu yang tidak normal apabila perusahaan
secara konsisten menunjukkan laba yang negatif tetapi perusahaan
yang bersangkutan terus dapat beroperasi secara normal. Jika itu
terjadi, ELSDA Institute patut mempertanyakan sejumlah aspek yang
pada akhirnya dapat menjurus pada indikasi tindak Ketidakpatuhan
pengelolaan kehutanan, yang mungkin merupakan tindak
Ketidakpatuhan pengelolaan kehutanan yang tidak langsung (tidak
seperti illegal logging misalnya).
Akuntansi yang berlaku bagi industri kehutanan, seperti juga
untuk industri yang lain, adalah akuntansi yang berbasis akrual.
Pendapatan dan beban yang dilaporkan dalam Laporan Laba Rugi
merupakan pendapatan dan beban yang diakui berdasarkan saat hak
dan kewajiban muncul bukan berdasarkan kapan kas diterima
ataupun dikeluarkan. Dengan demikian, besar laba yang dilaporkan
perusahaan akan sangat dipengaruhi oleh kebijakan akuntansi yang
dipilih oleh perusahaan. ELSDA Institute patut mempertanyakan
kebijakan akuntansi yang dipilih perusahaan apabila abnormalitas
figur laba yang ditampilkan sangat signifikan. Salah satu contoh
penting kebijakan akuntansi yang dapat ditelaah adalah kebijakan
memperlakukan pengeluaran biaya untuk pengembangan Hutan
Tanaman Industri menjadi beban perusahaan seluruhnya padahal
PSAK 32/1994 mengharuskan beberapa pengeluaran harus
dikapitalisasi. Kebijakan akuntansi yang demikian akan
membengkakkan beban perusahaan yang akan menurunkan jumlah
laba yang dilaporkan.
Praktik markup dalam skema mekanisme transfer price
antara perusahaan dengan para perusahaan afiliasi dapat
menyebabkan beban produksi menjadi tinggi. Hal ini juga akan
31
ELSDA Institute
menarik turun laba yang dilaporkan perusahaan. Praktik transfer
price merupakan praktik yang lazim dalam dunia bisnis, namun jika
kemudian praktik ini dilakukan dengan tujuan penggelapan pajak
ataupun menguras kas keluar dari industri kehutanan, praktik
transfer price dapat dipandang sebagai indikasi tindak
Ketidakpatuhan pengelolaan kehutanan. Memang, adanya praktik
transfer price tidak otomatis menjadikan perusahaan pelaku
Ketidakpatuhan pengelolaan kehutanan. Namun demikian,
setidaknya terungkapnya praktik ini akan memicu instansi terkait
(Direktorat Jenderal Pajak untuk masalah penggelapan pajak
ataupun PPATK untuk masalah arus kas keluar dari hutan dan money
laundering) untuk melakukan investigasi lebih dalam lagi selaras
dengan kewenangan yang diatur peraturan perundangan yang
berlaku.
ELSDA Institute juga mencurigai bahwa tindak
Ketidakpatuhan pengelolaan kehutanan yang dilakukan oleh
perusahaan sangat difasilitasi oleh skema suap menyuap kepada
oknum pejabat instansi terkait. Biasanya pengeluaran dana untuk
suap menyuap ini akan disembunyikan dalam pembukuan
perusahaan dengan jalan memasukkannya sebagai pengeluaran
biaya tertentu. Sinyalemen ini perlu dikerangkakan ketika
melakukan analisis terhadap pos‐pos biaya dalam lapaoran
keuangan yang figur angkanya material. Patut dicurigai bahwa pos‐
pos biaya tersebut merupakan garbage bin untuk menampung
seluruh pengeluaran dana untuk kegiatan suap menyuap.
32
ELSDA Institute
5. STUDI KASUS PADA PT XYZ, TBK
B
agian ini ingin menjelaskan bagaimana analisis keuangan
dilakukan dengan menggunakan Laporan Keuangan dari
perusahaan yang nyata. Tujuan dari ilustrasi ini adalah
untuk menggambarkan bagaimana informasi dalam laporan
keuangan dapat memberdayakan indikator umum Ketidakpatuhan
pengelolaan kehutanan untuk mampu menyodorkan sejumlah red
flag yang dapat memicu penelaahan lebih jauh untuk sampai pada
simpulan ada tidaknya Ketidakpatuhan pengelolaan kehutanan yang
telah dilakukan oleh perusahaan.
Instrumen » Laporan keuangan data relevan lainnya
Potensial
Analisis Instrumen Pengelolaan
Analisis Hukum Pendeteksi SDA
K euangan
Indikator Indikasi
Umum Ketidakpatuhan
» Strategi Pengelolaan
» Kewajiban pada negara Kehutanan
» Arus kas ke hutan
» Laba » Pembalakan liar
» Manipulasi DR PSDH
» Arus kas keluar hutan
33
ELSDA Institute
5.1. PENJELASAN SINGKAT MENGENAI PT XYZ, TBK.
PT XYZ, Tbk didirikan pada tanggal 4 April 1979 di
Banjarmasin, Kalimantan Selatan dengan nama PT BRPMK. Sejak
tahun 1990, setelah mengalami beberapa kali pergantian nama
perusahaan, PT BRPMK menjadi PT XYZ. Saat ini PT XYZ, Tbk. Telah
berkembang menjadi sebuah holding company dengan mencakup
sekitar 17 perusahaan afiliasi yang membentuk sebuah perusahaan
industri kayu terpadu, yang secara konsisten menghasilkan produk‐
produk kayu berkualitas tinggi untuk pasar internasional. Saat ini,
sekitar 85% produksi PT XYZ, Tbk. diekspor ke manca negara dalam
bentuk kayu lapis, blockboard, woodworking dan particleboard.
Pencapaian kinerja seperti ini diraih karena dukungan lebih dari
6.000 sumber daya manusia berkualitas PT XYZ, Tbk. di seluruh
wilayah Indonesia.
Dengan orientasi untuk mengembangkan industri pengolahan
kayu di dalam negeri, PT XYZ, Tbk. mengembangkan usaha dalam
industri kayu terpadu yang berintikan kayu lapis. Dengan didukung
oleh dana investasi yang segar menyusul keberhasilan perusahaan
melakukan penawaran perdana (IPO) pada tahun 1993, PT XYZ, Tbk.
terus melaksanakan pengembangan usaha ke bidang hutan tanaman
industri antara lain di Kalimantan Barat, Kalimantan Timur,
Sumatera Selatan, Sulawesi Tenggara dan Maluku Utara, sebagai
upaya penyediaan bahan baku yang lestari bagi industri. Saham PT
XYZ, Tbk. Mulai tercatat di Bursa Efek Jakarta dan Bursa Efek
Surabaya pada 1 Oktober 1993. Nilai kapitalisasi pasar pada tanggal
31 Desember 2005 telah mencapai figur Rp 1.439.602.886.700,‐
dengan sekitar 945 pemegang saham.
5.2. ANALISIS 1 : IMPLEMENTASI STRATEGI PERUSAHAAN DALAM
MENJAGA KELESTARIAN HUTAN
34
ELSDA Institute
Dalam Laporan Tahunan 2003 secara eksplisit PT XYZ Tbk
mengungkapkan strategi perusahaan untuk menjaga kelestarian
pasokan bahan baku dengan cara melakukan investasi pada Hutan
Tanaman Industri. Selengkapnya strategi tersebut adalah sebagai
berikut:
“Kelompok Usaha PT XYZ Tbk berupaya untuk menjadi pemimpin di
bidangnya dan berusaha untuk tetap kompetitif di pasar internasional,
dimana dalam hal ini Perseroan telah menerapkan berbagai strategi
jangka panjang untuk mengantisipasi resiko kelangkaan kayu
gelondongan dari hutan alam.
Divisi Riset dan Pengembangan telah melakukan pembudidayaan
produksi benih (seed procurement), pemuliaan pohon (tree
improvement) dan konservasi sumber daya genetik (genetik resoures
conservation). Langkah ini dilakukan untuk memperoleh jenis
tanaman yang berkualitas, cepat tumbuh, riap yang lebih besar dan
tahan penyakit dengan rotasi panen yang diperpendek.
Sampai akhir Desember 2003, Perseroan telah membangun HTI seluas
243.600 Ha yang tersebar di Sumatera Selatan, Kalimantan, Sulawesi
dan Maluku. Spesies tanaman yang digunakan adalah Paraserianthes
falcataria, Gmelina arborea, Acacia mangium dan Duabanga
molucana. Nantinya PT XYZ Tbk menggunakan kayu gelondongan dari
hasil hutan alam hanya untuk meningkatkan nilai tambah produk
produk Perseroan. “
Sementara itu, dalam Laporan Tahunan 2005 PT XYZ Tbk
kembali menyatakan bahwa investasi pada Hutan Tanaman Industri
merupakan strategi bisnis perusahaan untuk mengatasi pembatasan
jatah tebang industri.
Menyadari kondisi bisnis di bidang kehutanan yang belum pulih
sampai dengan saat ini, manajemen Perseroan
mengimplementasikan dua program strategis, yaitu:
1. Efisiensi
35
ELSDA Institute
Sehubungan dengan pembatasan jatah tebang bagi industri,
mengakibatkan industri kayu mengalami kekurangan bahan
baku, menghadapi kondisi yang tidak menguntungkan
tersebut, Perseroan melakukan langkah langkah antisipasi
sebagai berikut:
1. Menghentikan fasilitas industri yang mengalami kesulitan
bahan baku.
2. Menutup campcamp pengusahaan hutan yang tidak
produktif.
3. Penjualan aset yang tidak produktif.
4. Melaksanakan berbagai program penghematan biaya
rutin.
2. Merumuskan kembali strategi Bisnis Perseroan.
Manajemen melakukan perumusan kembali strategi
bisnisnya dengan melakukan upayaupaya sebagai berikut:
1. Strategi Operasional.
Perseroan akan berusaha untuk melakukan intensifikasi
program penelitian dan pengembangan untuk
meningkatkan kualitas dan jenis produk yang dihasilkan
agar lebih responsif terhadap kebutuhan konsumen.
2. Strategi Investasi.
Perseroan akan lebih fokus pada penanaman kembali
areal HTI yang telah dimiliki dengan menanam jenis kayu
yang sesuai dengan kebutuhan industri Perseroan.
Implementasi dari strategi perusahaan tersebut
diejawantahkan oleh figur‐figur pos “Hutan Tanaman Industri Dalam
Pengembangan” dan pos “Hutan Tanaman Industri” pada Neraca
perusahaan. Oleh karena itu, dengan melakukan analisis terhadap
mutasi tambah dan mutasi kurang pada kedua pos laporan keuangan
36
ELSDA Institute
tersebut, sejauh mana konsistensi antara pernyataan strategi
kelestarian hutan PT XYZ Tbk dengan implementasinya dapat dinilai
dan disimpulkan. Berikut ini adalah mutasi pos‐pos terkait dalam
laporan keuangan PT XYZ Tbk untuk periode 2003‐2006.
a. Mutasi Pos HUTAN TANAMAN INDUSTRI
2003 2004 2005 2006
Biaya Perolehan
Saldo Awal 426.689,49 85.995,56 100.584,10 92.246,24
Penambahan 85.995,56 14.588,54 ‐ ‐
Pengalihan (426.689,49) ‐ ‐ ‐
Saldo Akhir 85.995,56 100.584,10 100.584,10 92.246,24
Akumulasi Amortisasi
Saldo Awal 48.851,33 1.843,15 5.163,60 8.337,86
Penambahan 4.893,98 3.320,45 3.174,26 (5.470,59)
Pengalihan (51.902,16) ‐ ‐
Saldo Akhir 1.843,15 5.163,60 8.337,86 2.867,27
Nilai Bersih 84.152,41 95.420,50 92.246,24 89.378,97
b. Mutasi Pos HTI DALAM PENGEMBANGAN
2003 2004 2005 2006
Saldo Awal 150.972,99 68.982,52 54.446,85 57.003,23
Penambahan 7.771,13 2.298,68 2.556,37 385,76
Pengurangan
Penghapusan ‐ (2.245,81) ‐ (1.712,06)
Pengalihan (85.995,56) (14.588,54) ‐ (37.739,77)
Pemindahan ke (3.766,04) ‐ ‐
HTI 54.446,85 57.003,23 17.937,16)
Saldo Akhir 68.982,52
Dari mutasi tambah dan kurang yang terjadi pada pos Hutan
Tanaman Industri dan HTI Dalam Pengembangan secara jelas dapat
diketahui bahwa implementasi strategi kelestarian hutan PT XYZ
Tbk tidaklah selantang pernyataan strategi yang dituangkan dalam
laporan tahunannya. Investasi yang dikucurkan untuk
mengembangan HTI dari tahun ke tahun terus menurun, di mana
37
ELSDA Institute
dalam tahun terakhir hanya Rp. 385,76 juta yang disisihkan untuk
mengembangkan HTI. Perusahaan justru melakukan divestasi HTI
dengan cara melepas anak perusahaan pengelola HTI. Akibatnya,
nilai HTI Dalam Pengembangan turun drastis dari Rp. 68,9 milyar di
tahun 2003 menjadi Rp. 17,9 milyar di tahun 2006. Sementara itu,
pertambahan area HTI yang siap ditebang mengalami stagnasi
ditandai dengan tidak adanya penambahan area HTI siap tebang
dalam dua tahun terakhir. Hasilnya, HTI terus mengalami
penurunan.
Dari analisis di atas ELSDA Institute dapat mengambil
kesimpulan bahwa PT XYZ Tbk memiliki indikasi melakukan
Ketidakpatuhan pengelolaan kehutanan dalam artian perusahaan
tidak ikut berpartisipasi dalam upaya‐upaya serius untuk
melestarikan hutan alam. Dengan tidak menyediakan lahan HTI yang
memadai, pasokan bahan baku PT XYZ Tbk mau tidak mau harus
dipasok oleh sumber di luar HTI, yaitu hutan alam, baik lewat
penebangan hutan sendiri via HPH maupun pembelian kayu bulat.
Pasokan di luar HTI akan memaksa hutan alam untuk terus ditebang,
ditebang dan ditebang. Kerusakan hutan alam merupakan outcome
dari tidak dilaksanakannya strategi kelestarian hutan oleh PT XYZ
Tbk. Ini jelas merupakan tindak Ketidakpatuhan pengelolaan
kehutanan.
Analisis mengenai besar area HTI secara total, area yang
dikembangkan, area yang siap ditebang, area yang ditebang dalam
suatu periode tidak dapat dilakukan. Data‐data yang dibutuhkan
untuk analisis tersebut belum tersedia dalam laporan tahunan PT
XYZ Tbk. Jika data tersebut tersedia, indikasi Ketidakpatuhan
pengelolaan kehutanan oleh PT XYZ Tbk akan semakin jelas dan
detail, tidak sekedar berdasarkan mutasi nilai rupiah dari pos‐pos
HTI dan HTI Dalam Pengembangan. Jadi, untuk menjadikan laporan
keuangan sebagai instrumen efektif untuk mendeteksi
38
ELSDA Institute
Ketidakpatuhan pengelolaan kehutanan tambahan pengungkapan
data di atas memang diperlukan.
5.3. ANALISIS 2 : STRUKTUR JUMLAH DAN SUMBER PASOKAN
BAHAN BAKU KAYU BULAT
Seperti juga laporan keuangan perusahaan industri
kehutanan yang lainnya, laporan keuangan PT XYZ Tbk tidak secara
eksplisit menyajikan data mengenai jumlah dan sumber pasokan
bahan baku kayu bulat. Oleh karena itu, analisis terhadap butir 2 ini
harus dilakukan dengan menelaah struktur harga pokok produksi
yang dilaporkan dalam Laporan Laba Rugi perusahaan. Analisis
dilakukan dengan membagi jumlah biaya pemakaian kayu bulat dari
masing‐masing sumber dengan harga beli rata‐rata untuk sumber‐
sumber yang bersangkutan. Hasilnya, jumlah total pemakaian bahan
baku dalam satu tahun untuk tiap‐tiap sumber bahan baku akan
diketahui.
Dari lima tahun laporan keuangan PT XYZ Tbk yang ditelaah,
tidak satupun laporan keuangan yang secara lengkap menyajikan
jumlah total pemakaian bahan baku dalam strukur harga pokok
produksinya. Bahkan untuk tiga tahun terakhir, biaya bahan baku
disajikan secara angka global sehingga sulit untuk dianalisis lebih
lanjut. Hanya dalam laporan keuangan tahun 2003 saja struktur
harga pokok produksi disajikan secara detail. Untuk tahun buku
2003, jumlah biaya pemakaian bahan baku kayu bulat telah
diklasifikasikan menjadi pasokan kayu bulat dari HTI dan dari HPH.
Termasuk dalam HPH ini adalah pembelian kayu bulat oleh
perusahaan dari perusahaan HPH lainnya. Rincian lebih lanjut
mengenai struktur sumber bahan baku tidak tersedia dalam laporan
keuangan. Oleh karena itu, jumlah dan sumber pasokan bahan baku
PT XYZ Tbk hanya dapat dikaji dari dua sumber tersebut, seperti
yang ditampilkan dalam table berikut ini.
39
ELSDA Institute
TABEL 3: PENGGUNAAN KAYU BULAT
HPH HTI Total
854,97 M
Pemakaian kayu bulat (dalam rupiah) 431.000 363,13 M 1.218,10 M
1.983.694 m3
Harga rata‐rata per meter kubik 431.000
Jumlah pemakaian kayu bulat (dalam 842.532 m3 2.826.226 m3
meter kubik)
Idealnya, analisis jumlah dan sumber pasokan bahan baku
melibatkan Analisis Kapasitas HTI, Analisis Kapasitas HPH, Analisis
Dokumentasi Pembelian sebagaimana telah dibahas pada bagian
sebelumnya tulisan ini. Sayangnya, data‐data pendukung yang
dibutuhkan belum tersedia dalam laporan keuangan PT XYZ Tbk.
Akibatnya, analisis jumlah sumber dan pasokan bahan baku belum
mampu mendeteksi indikasi Ketidakpatuhan pengelolaan
kehutanan, berupa kemungkinan adanya pembelian kayu bulat yang
berasal dari illegal logging.
Penggunaan
NA Analisis Bahan Baku = 26.226
Kapasitas HTI Bahan Baku = Bahan Baku
AnaNlisiAs N‐AyBaanhga Dni pBaaskouk NAyang Dipasok yangN DAipa sok
Pembelian
Kapasitas HPH ‐Hutan Alam ‐
Dipasok
DAoNnkaulAmisie sn NABahan Baku PemNbAeli an
Legal
Pembelian yang Dipasok
=
NAPenyalahgunaan 40DipaNsoAk D ari
HPH Pembalak Liar
ELSDA Institute
5.4. ANALISIS 3 : PEMENUHAN KEWAJIBAN KEPADA NEGARA
Kewajiban kepada negara yang harus dipenuhi PT XYZ Tbk
adalah pembayaran iuran DR dan PSDH selaras dengan jumlah kayu
bulat yang digunakan untuk proses produksi. Jika mengambil data
tahun buku 2003, jumlah total pemakaian kayu bulat adalah sebesar
2.826.226 m3. Dengan asumsi tarif DR rata‐rata USD14.06
(Rp.119.000) per m3, jumlah DR yang harus dipenuhi oleh
perusahaan Rp. 336,32 M, sementara untuk PSDH, dengan asumsi
tarif PSDH 10 persen dan harga patokan rata‐rata Rp. 431.000,
jumlah PSDH yang harus dipenuhi oleh perusahaan Rp. 121,81 M.
Dengan demikian, total kewajiban kepada negara yang harus
dipenuhi oleh PT XYZ Tbk dalam tahun 2003 adalah sebesar Rp.
458,13 M.
Dalam struktur biaya PT XYZ Tbk, beban kewajiban kepada
negara berupa DR dan PSDH dibebankan sebagai salah satu unsur
Beban Produksi/Pabrikasi. Sayangnya, Laporan Laba Rugi
perusahaan tidak memerinci unsur‐unsur Beban Produksi/Pabrikasi
sehingga jumlah pembebanan DR dan PSDH yang sesungguhnya
tidak dapat diketahui. Untuk dapat menghitung berapa besar DR dan
PSDH yang telah dibebankan oleh perusahaan, analisis terhadap
Neraca dan laporan Arus Kas dilakukan. Analisis neraca digunakan
untuk menganalisis perubahan neto saldo pos Kewajiban DR dan
PSDH yang Terhutang. Perubahan neto ini disebabkan oleh mutasi
tambah berupa transaksi pembebanan DR dan PSDH dan mutasi
kurang berupa pembayaran kewajiban DR dan PSDH. Mutasi kurang
berupa pembayaran kewajiban DR dan PSDH dapat dianalisis
melalui Laporan Arus Kas. Perpaduan analisis keduanya akan dapat
menghasilkan figur pembebanan DR dan PSDH, sebagaimana
diuraikan dalam table berikut ini.
41
ELSDA Institute
T A B E L 4 : K E W A J I B A N N E G A R A Y A N G T E R H U T A N G
2003 2004 2005 2006
Saldo Awal 59.922.127.450 84.275.247.820
Beban DR/PSDH 32.909.664.244 14.431.154.692 82.851.361.002 73.009.882.024
Pembayaran 8.556.543.874 15.855.041.510
Saldo Akhir 84.275.247.820 82.851.361.002 24.729.911.697 25.285.207.057
34.571.390.675 36.405.768.802
73.009.882.024 61.889.320.279
Dari tabel di atas, jelas terlihat bahwa, untuk tahun buku
2003, jumlah pembebanan DR dan PSDH yang telah dilakukan
perusahaan adalah sebesar Rp. 32,91 milyar. Jika angka ini
dibandingkan dengan jumlah kewajiban DR dan PSDH yang
seharusnya dibayar oleh perusahaan, yakni sebesar Rp. 458,13
milyar, hal ini berarti perusahaan mengalami kurang melakukan
pemenuhan kewajiban sebesar Rp. 425,22 milyar. Adanya figur
defisit ini mengindikasikan bahwa PT XYZ Tbk telah melakukan
tindak Ketidakpatuhan pengelolaan kehutanan, berupa kealpaan
melakukan pemenuhan kewajiban kepada negara. Investigasi lebih
lanjut perlu dilakukan untuk menentukan apakah angka defisit ini
hanya disebabkan oleh kurang melakukan perhitungan kewajiban
atau karena memang perusahaan sengaja melakukan manipulasi
jumlah kewajiban kepada negara.
5.5. ANALISIS 4 : ARUS KAS YANG MASUK KEMBALI KE DAN
KELUAR DARI HUTAN
Dari laporan keuangan PT XYZ Tbk, arus kas yang
dikembalikan ke hutan oleh perusahaan hanyalah berupa arus kas
keluar untuk pengembangan HTI dan untuk pembayaran kewajiban
kepada negara dalam bentuk iuran DR dan PSDH. Dibandingkan
dengan jumlah total arus kas keluar perusahaan, arus kas yang
dikembalikan ke hutan oleh PT XYZ Tbk (dalam bentuk
pengembangan HTI) sangatlah kecil, kurang dari satu persen. Begitu
42
ELSDA Institute
pula dengan arus kas keluar untuk pemenuhan kewajiban kepada
negara, proporsinya masih terlalu kecil.
TABEL 5: ARUS KAS KE HUTAN
2003 2004 2005 2006
4,69 M 5,36 M 1,62 M
Arus Kas Untuk HTI 11,59 M 1.409,11 M 1.127,25 M 847,73 M
0,33 % 0,47 % 0,19 %
Mutasi Kas Keluar 2.195,13 M
Persentase Kas Untuk HTI 0,53 %
Terhadap Total Kas Keluar
TABEL 6: PEMBAYARAN DR PSDH
2003 2004 2005 2006
Saldo Awal 59.922.127.450 84.275.247.820 82.851.361.002 73.009.882.024
Beban 32.909.664.244 14.431.154.692 24.729.911.697 25.285.207.057
DR/PSDH
Pembayaran 8.556.543.874 15.855.041.510 34.571.390.675 36.405.768.802
Saldo Akhir 84.275.247.820 82.851.361.002 73.009.882.024 61.889.320.279
Sementara itu, arus kas yang kembali ke hutan dalam bentuk
investasi peremajaan infrastruktur produksi memang menunjukkan
angka negatif selama periode 2003‐2006, yang berarti PT XYZ tetap
melakukan perbaikan fasilitas pabrik. Namun, dengan rata‐rata
pengeluaran kas yang sebesar Rp. 8,39 M, investasi ini tidaklah
terlalu signifikan dibanding total arus kas keluar yang ada. Kalau
dilihat trendnya dalam periode 2003‐2005, besar investasi dalam
pembelian aktiva tetap memperlihatkan angka yang terus menurun.
Bagian terbesar dari arus kas keluar digunakan oleh
perusahaan untuk melakukan pembayaran untuk kegiatan
operasional perusahaan, berupa pembayaran kepada pemasok dan
karyawan serta pembayaran beban operasional. Malah untuk tiga
tahun terakhir, besar arus kas keluar untuk kegiatan operasional ini
tidak cukup diimbangi dengan penerimaan kas dari penjualan. Hal
ini menyebabkan terjadinya defisit arus kas yang berasal dari
43
ELSDA Institute
kegiatan operasional dalam tahun 2003‐2005. Defisit ini kemudian
coba ditutupi dengan melakukan pengelolaan kas dari kegiatan
investasi dan pendanaan. Dengan cara demikian, secara total
perusahaan dapat mempertahankan jumlah kas dalam perusahaan.
Dalam tahun 2005 misalnya, defisit kas operasional sebesar Rp.
308,8 M dapat ditutupi dengan arus kas posoitif dari kegiatan
investasi dan pendanaan sehingga secara total terdapat kenaikan kas
bersih sebesar Rp. 689 M. Namun demikian, dalam tahun‐tahun
tertentu defisit kas dari operasional kurang dapat ditutupi dengan
kas dari kegiatan investasi dan pendanaan. Dalam tahun 2006
misalnya, defisit kas operasional sebesar Rp. 244 M malah
diperparah dengan arus kas negatif dari kegiatan investasi dan
pendanaan sehingga secara total terdapat penurunan kas bersih
sebesar Rp. 383,89 M.
Begitu besarnya porsi arus kas keluar yang digunakan untuk
membiayai kegiatan operasional dapat menyulut perhatian yang
khusus mengenai kemungkinan adanya praktik markup dalam
pembayaran berbagai pos‐pos biaya. Dengan menggelembungkan
pos‐pos biaya ini, arus kas yang keluar dari hutan bukan merupakan
hal yang mustahil. Jika dilakukan markup sebesar 20 persen
misalnya, arus kas yang keluar dari hutan dalam bentuk larinya kas
ke kantong‐kantong oknum akan mencapai angka 20 persen.
Sayangnya, ELSDA Institute belum dapat menemukan rasio normal
Beban Operasional/Penjualan untuk industri kehutanan. Akibatnya,
sulit bagi ELSDA Institute untuk menentukan ada tidaknya indikasi
praktik markup yang telah dilakukan oleh manajemen PT XYZ, Tbk.
5.6. ANALISIS 5 : LABA TIDAK NORMAL PERUSAHAAN
Tingkat pertumbuhan PT XYZ, Tbk. memperlihatkan angka
negatif untuk hampir seluruh indikator utama pertumbuhan: jumlah
penjualan, jumlah laba usaha ataupun jumlah aktiva perusahaan.
Secara normal kecenderungan ini mengindikasikan ketidakpastian
44