The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by Pemred Bulteks, 2023-01-29 22:50:35

BULETIN TEKSTIL Edisi ke-23

BULETIN TEKSTIL Edisi ke-23

W W W . B U L E T I N T E K S T I L . C O M NOVEMBER, 2022, EDISI KE - 23 Diprediksi Kontribusi KTT G20 ke PDB TEMBUS RP7,4 TRILIUN Menjalin Persatuan Bangsa Melalui Batik INOVASI KAIN PENANGKAP AIR DARI KABUT Membangun BUDAYA GRC Terintegrasi PRESIDENSI G20 Indonesia Menjadi Harapan Untuk Navigasi Krisis Global


Read more here W W W . B U L E T I N T E K S T I L . C O M Jakarta, November 4, 2022 K onferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 akan diselenggarakan di Bali, Indonesia. Rangkaian pertemuan G20 telah dimulai sejak 1 Desember 2021 dan berpuncak pada 15-16 November 2022 mendatang. Agenda prioritas dari Presidensi G20 Indonesia 2022 yaitu Finance Track dan Sherpa Track. Finance Track merupakan pembahasan mengenai isu ekonomi serta keuangan secara global, sedangkan Sherpa Track merupakan pembahasan terkait isu yang lebih luas seperti perubahan iklim, perdagangan, pangan dan energi, geopolitik, dan isu penting lainnya. Menteri Luar Negeri, Dra. Retno Lestari Priansari Marsudi, LL.M. menyatakan Indonesia menjadi pemimpin aksi resolusi global yang mengedepankan kolaborasi antar negara dengan paradigma win-win solution di mana Presidensi G20 Indonesia 2022 dituntut untuk saling mendukung dalam mencari solusi atas krisis global yang terjadi serta tumbuh menjadi lebih kuat dan berkelanjutan. Jokowi dalam pernyataannya diBUMN Startup Day mengatakan bahwa tahun ini merupakan tahun yg berat bahkan tahun depan, tahun 2023 pun akan menjadi tahun yang gelap gulita dan sulit. Kita tidak akan pernah tahu besarnya badai seperti apa dan sekuat apa, karena tidak bisa dikalkulasi. Maka dari itu, fokus kita saat ini adalah bagaimana mendorong pemulihan ekonomi pasca Pandemi Covid19 dan sebagai sarana memimpin kolaborasi antar negara melalui Presidensi G20 Indonesia 2022. Efek domino dari kehancuran ekonomi global ini berawal dari Pandemi Covid19 di mana terhambatnya laju perputaran uang di seluruh dunia yang mengakibatkan ekonomi suatu negara tidak berjalan semestinya dan berlanjut pada lebih dari 90% negara di dunia mengalami inflasi pangan di atas 5%. Harga komoditas terutama pangan dan energi melonjak tajam hingga mencekik masyarakat. Kenaikan harga pangan tersebut nantinya akan mempengaruhi harga bahan baku ditingkat industri yang otomatis harga jual ke konsumen ikut meroket. Untuk menjaga dari inflasi, negara yang terdampak menaikkan suku bunga dalam beberapa tahun ke depan. Kondisi ini diperparah dengan adanya invasi Rusia-Ukraina yang mengakibatkan terjadinya krisis ketahanan pangan, harga energi yang tinggi dan fluktuatif, kebijakan perdagangan yang dibatasi, serta gangguan rantai pasokan. Hal tersebut dikarenakan kedua negara ini merupakan produsen utama komoditas dan juga energi dunia. Hampir seluruh negara didunia bergantung pada Fossil Fuels milik Rusia untuk memenuhi kebutuhan energi dan kelistrikan di masing-masing negaranya. Dampak langsung yang dirasakan oleh Indonesia yaitu adanya ancaman resesi di tahun 2023. Resesi ekonomi itu sendiri merupakan hal yang menakutkan bagi semua negara didunia t a k t e r k e c u a l i I n d o n e s i a . F e n o m e n a i n i mempengaruhi beberapa sektor keuangan seperti pajak, investasi, bahkan kualitas hidup dan perekonomian masyarakat yang menjadi rendah. Resesi ini juga berdampak pada pengurangan beban gaji karyawan yang menyebabkan terjadinya PHK massal yang berujung pada meningkatnya angka pengangguran di Indonesia karena semakin sulit mencari pekerjaan. Jika dilihat dari proyeksi pertumbuhan ekonomi skenario resesi, di tahun 2022 ekonomi global diprediksi akan bertumbuh sebesar 2,8% dan di tahun 2023 justru akan menurun hingga di bawah 1% yaitu 0,5%. Turunnya pertumbuhan ekonomi global di tahun 2023 sangat berdampak pada resesi yang akan terjadi di Indonesia tahun depan. Seperti yang dikatakan Presiden Jokowi, tahun 2023 Indonesia akan sangat gelap gulita dan mengalami kesulitan. Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati memimpin Pertemuan Finance Ministers and Central Bank Governors (FMCBG) G20 yang kembali digelar pada 12-13 Oktober 2022 di Washington DC, Amerika Serikat. Ini merupakan pertemuan terkahir sebelum KTT G20 pada 15-16 November di Bali, Indonesia. Bank Dunia sudah memprediksi tahun 2023 dunia akan mengalami resesi. Pada pertemuan tersebut, Sri Mulyani mengingatkan bahwa ancaman krisis pangan global juga akan terus menghantui dunia hingga tahun 2023. Tiap negara harus menghadapi inflasi yang tinggi, lambatnya pertumbuhan ekonomi, kerawanan energi dan pangan, perubahan iklim, dan fragmentasi geopolitik. Meskipun ikut terkena dampak, Indonesia menjadi salah satu negara yang tangguh dalam menstabilkan ekonomi di tengah krisis global. Core Inflation dan pertumbuhan ekonomi Indonesia salah satu yang terkuat dibandingkan dengan negara-negara lain di Asia Tenggara khususnya pada PDB Triwulan II tahun 2022. Kenaikan suku bunga di Indonesia per-Agustus 2022 juga kurang dari 5%, tepatnya 4,69%. Ke depannya, Indonesia akan terus menjaga APBN tetap sehat dan berkesinambungan untuk menghadapi tantangan resesi global. Sri Mulyani Indrawati berharap adanya tindakan nyata yang disepakati bersama untuk mengatasi persoalan ekonomi global yang kompleks. Hal ini tidak dapat dilakukan oleh satu negara saja melainkan harus adanya komitmen yang teguh dari setiap negara untuk bahu membahu menyelesaikan masalah ekonomi global yang paling mendesak. Sri Mulyani juga berharap Indonesia dapat dijadikan contoh bagi negara-negara lain dalam strategi kebijakan pemulihan ekonomi. Sri Mulyani percaya bahwa Presidensi G20 Indonesia 2022 ini merupakan harapan baru yang dapat membantu dunia menavigasi gelombang krisis yang telah menghancurkan perekonomian hampir seluruh negara di dunia. ▪ Red B-Teks/ Ly Sumber Bagas Dirgantara Pengamat Ekonomi dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) FEB UI Presidensi G20 Indonesia Menjadi Harapan Untuk Navigasi Krisis Global


Jakarta, November 4, 2022 S ekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso mengatakan perhelatan main dan side event Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 menyerap 33 ribu pekerja. Penyerapan terjadi di sektor transportasi, akomodasi, meeting, incentive, convention, and Exhibition (MICE), serta usaha mikro kecil dan menengah (UMKM). “Kalau dibandingkan dengan annual meeting pada 2018, manfaat nyata bisa 1,5 hingga 2 kali lipat bahkan lebih,” kata Susiwijono Moegiarso. Jumat (4/11/2022). Dia merinci sepanjang periode Agustus-September, di Bali telah diadakan 15 kali ministerial meeting. Terlihat sudah terjadi peningkatan lebih dari 70 persen trafik di bidang transportasi. “Di Bali kita belum melihat betul PDRB-nya (produk domestik regional bruto), tapi dari transportasi, traffic di Bali sudah confirm, tingkat hunian juga melebihi prapandemi. Demikian juga sektor pendukung side event,” ungkapnya. Lebih lanjut, dia memprediksi KTT G20 akan berkontribusi sekitar Rp7,4 triliun terhadap produk domestik bruto (PDB). Termasuk peningkatan konsumsi domestik hingga Rp1,7 triliun. Hal tersebut terlihat telah diselenggarakan 438 event di 25 kota Indonesia dengan berbagai tingkat level pertemuan sejak 1 Desember 2021. Seluruh rangkaian itu dinilai memberikan manfaat besar terutama dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Sementara itu, Staf Ahli Bidang Pemanfaatan Sumber Daya Kemaritiman Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) Nyoman Shuida menuturkan G20 memberikan dampak maksimal dan langsung bagi masyarakat. Antara lain peningkatan wisatawan mancanegara hingga 1,8–3,6 juta dan 600–700 ribu lapangan kerja baru ditopang kinerja bagus sektor kuliner, fesyen, dan kriya. Di sektor hospitality business, lanjut dia, tingkat keterisian kamar hotel khususnya di Bali sudah melonjak tinggi dibandingkan dengan saat masa pandemi COVID19 tahun 2021 “Menurut Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), pada masa pandemi COVID 2021 lalu tingkat keterisian kamar hotel hanya sekitar 20 persen, kini sudah menyentuh angka di kisaran 70 persen. Serapan tenaga kerja di sektor pariwisata, khususnya hotel, sudah mencapai sekitar 80 persen terhadap para pekerja yang saat masa pandemi dirumahkan,” ujar Nyoman. Sementara itu, konsistensi capaian itu dinilai harus tetap dipantau, dijaga. Kemudian ditingkatkan terutama setelah G20 mengingat ada potensi krisis global seperti inflasi serta krisis pangan dan energi. “Kami berharap KTT G20 bisa merumuskan berbagai kebijakan signifikan dan membantu persoalan-persoalan yang menyangkut pembangunan manusia dan kebudayaan di Indonesia,” pungkas Nyoman. ▪ Red B-Teks/ Ly Diprediksi Kontribusi KTT G20 ke PDB TEMBUS RP 7,4 TRILIUN Jakarta, November 3, 2022 ndustri Tekstil dan produk tekstil merupakan industri padat I karya, banyak prediksi bahwa di tahun 2023 merupakan tahun sulit bagi industri TPT. Melemahnya permintaan dari negaranegara ekspor utama dan ditambah gempuran prduk impor yang membanjiri pasar domestik, menjadi pembenaran bagi pengusaha untuk merumahkan karyawan bahkan PHK. Jika melihat kinerja industri TPT kuartal IV 2022, dipastikan di tahun 2023 kondisi industri masih melemah. mengingat industri ini merupakan industri yang paling rentan dengan PHK karena menyerap banyak tenaga kerja. catatan KADIN bahwa serapan tenaga kerja di sektor ini mencapai 3,65 juta orang atau sekitar 18,79% total pekerja industri manufaktur. Sementara pengeluaran industri ini banyak bersinggungan dengan dollar AS, dan seperti kita lihan Greenback sedang menunjukan powernya terhadap mata uang termasuk rupiah. Otomatis biaya produksi akan meningkat. Masih menurut data Kadin, impor kapas dan bahan baku lain oleh industri TPT dalam negeri masih cukup tinggi dan mencapai USS 1.866,1 juta, sedangkan ekspor hanya 868,4 juta. Biaya energi juga mengacu pada nilai dollar. Rata-rata biaya listrik untuk produksi di indonesia sebasar USS 10 Sen/Kwh, dan biaya ini termasuk tinggi dibandingkan dengan negara lain sepertii negara Vietnam dan bangladesh yang hanya sebesar USS 7 Sen/Kwh dan USS 6 Sen/Kwh. Selain itu juga kondisi mesin dengan teknologi yang tergolong rendahpun menyebabkan produktivitas TPT di Indonesia tertinggal. Ini yang menyebabkan mereka lebih memilih mengimpor daripada memproduksi sendiri. masih menurut data Kadin, ekspor TPT bulan September dan Oktober 2022 dilaporkan menurun sekitar 30% dibandingkan periode yang sama di tahun 2021. Permintaan dari AS dan Jerman menjadi 20%-30%. Efek jauhnya dari kondisi ini adalah PHK, belum lama ini PT. Kahatex di Sumedang Jawa Barat mengabarkan telah mem-PHK 900 Karyawan, Sedangkan jika merujuk pada catatan yang dikeluarkan Asosiasi Pertekstilan Indonesia/API sekiytar 43.000 karyawan industri TPT terkena PHK sejak Pandemi Covis-19. Kadin mengakui bahwa tantangan industri TPT sangat berat, namun Kadin berharap PHK merupakan solusi terakhir yang dipilih oleh pengusaha. ▪Red B-Teks/ Ly Prediksi Bisnis Industri TPT di Tahun 2023 Read more here Read more here


Jakarta, November 3, 2022 S ejak dua pekan lalu, karyawan yang terkena PHK mencapai 64 ribu pekerja dari 124 perusahaan di 14 kabupaten dan kota di Jawa Barat. Data ini disampaikan oleh Ketua Umum Perkumpulan Pengusaha Produk Tekstil Provinsi Jawa Barat (PPTPJB) Yan Mei. “Situasi ini bagi kami lebih parah daripada Covid-19. Kalau waktu Covid-19, kita tahu masalahnya hanya tidak bisa kirim tapi market-nya ada. Sedangkan kali ini market tidak bisa diprediksi,” ucapnya dalam konferensi pers virtual pada Rabu, 2 November 2022. PHK terjadi lantaran adanya penurunan daya beli konsumen, khususnya di negaranegara tujuan ekspor terbesar seperti Amerika Serikat dan Eropa. Yan Mei bercerita, di pabriknya sendiri yang terletak di Kabupaten Bogor, terjadi penurunan pesanan sejak April 2022 hingga 50 persen ungkap Yan. Situasi pun, menurut Yan, semakin sulit. Pada bulan-bulan berikutnya, pesanan tidak stabil hingga sempat turun sebanyak 70 persen. Hingga kini, tuturnya, sudah ada 18 perusahaan tekstil yang tutup yang berimbas pada pemutusan hubungan kerja terhadap sekitar 9.500 karyawan. Angka itu diperkirakan akan terus bertambah seiring dengan laporan-laporan baru yang masuk. Situasi geopolitik antara Rusia dan Ukraina yang sulit diprediksi juga telah menimbulkan gangguan logistik terhadap pasokan pangan secara internasional. Akibatnya, inflasi pangan bisa terus melonjak dan membuat masyarakat memprioritaskan belanja pangan sebagai kebutuhan dasar ketimbang belanja produk tekstil. “Udah bisa kebayang lebih banyak lagi korbannya. Sehingga apakah pemerintah ini bisa melakukan relaksasi, apakah dari BPJS atau apapun yang bisa dipertimbangkan,” ucap Yan Mei. Jika inflasi pangan tak terkendali, Yan Mei khawatir penurunan daya beli akan semakin dalam dan PHK akan terus menerus terjadi. Sementara jika PHK terus berlangsung, perusahaan akan lebih kesulitan lagi untuk menjalankan proses produksi. Oleh karena itu, ia berharap agar pemerintah segera melakukan kebijakan agar industri tekstil bisa terselamatkan. “Kita terus harus bersuara kepada pemerintah, meminta mencari solusi yang terbaik buat situasi yang ada sekarang,” tuturnya. Yan juga mencatat penurunan ekspor juga terjadi pada perusahaan-perusahaan besar seperti Nike, Victoria Secret, dan lainnya. Bahkan, angka penurunannya kini sudah mencapai 40 hingga 50 persen. Sementara itu Ketua Kebijakan Publik DPB Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Danang Girindrawardana merenspons kabar adanya pemutusan hubungan kerja (PHK) massal di sektor industri tekstil. Dia mengaku belum bisa menggamblangkan total karyawan yang terdampak PHK tersebut. “Kami masih menunggu data jumlah (karyawan terimbas PHK) dari para anggota Apindo dan asosiasi yang berkaitan,” ujar Danang. Sedangkan Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal membantah isu PHK 45.000 buruh di industri tekstil, garmen, sepatu, dan otomotif. Isu ini berhembus berbarengan dengan ancaman resesi yang diprediksi terjadi tahun depan. “Tidak benar berita itu. Partai Buruh dan KSPI sudah mendalami fakta-fakta, tidak benar ada PHK 45 ribu lebih di sektor tekstil, garmen, sepatu. Saya sudah periksa tidak ada PHK, apalagi (sektor) otomotif,” katanya dalam konferensi pers virtual. Said Iqbal menganggap ancaman resesi dimanfaatkan sejumlah pengusaha untuk mengambil keuntungan. Pengusaha yang disebutnya sebagai ‘pengusaha hitam’ itu menjadikan resesi sebagai alasan tidak menaikkan upah. Said Iqbal menganggap ancaman resesi dimanfaatkan sejumlah pengusaha untuk mengambil keuntungan. Pengusaha yang disebutnya sebagai ‘pengusaha hitam’ itu menjadikan resesi sebagai alasan tidak menaikkan upah. Respon Menkeu terkait PHK Massal di Industri Tekstil Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengakui kinerja ekspor Indonesia terdampak gejolak ekonomi global. Alhasil, penurunan permintaan ekspor itu mulai berimbas pada tren pemutusan hubungan kerja (PHK) di industri tekstil dan produk tekstil (TPT). Pelemahan ekspor juga tercermin dari data Purchasing Managers’ Index (PMI) Manufaktur Indonesia yang berada di level 51,8 pada Oktober 2022. Meski level itu menandakan sektor manufaktur tetap dalam tahap ekspansif, namun mengalami penurunan dibandingkan September yang sebesar 53,7. “Manufaktur kita masih di atas zona ekspansif, walaupun lebih rendah dari bulan September. Kita perkirakan dari sisi permintaan ekspor akan alami dampak dengan adanya kemungkinan pelemahan di negara maju,” ujarnya. Karena itu, pemerintah berupaya mendorong belanja negara di kuartal IV untuk meningkatkan sisi permintaan domestik. Meski demikian, ia tak menampik bahwa semua permintaan luar negeri yang turun bisa disubstitusi sepenuhnya dengan permintaan di dalam negeri. “Namun, permintaan kan enggak mungkin semuanya substitusi seluruhnya kita akan kompensasi. Jadi, kita akan terus melihat dari semua sektor-sektor ini dan kemudian apa kebijakan yang perlu untuk diformulasikan lebih lanjut dalam merespons tren global,” jelas dia. Sebagai informasi, belanja negara per September 2022 baru mencapai Rp 1.913,9 triliun atau 61,6% dari pagu. “Kebijakan fiskal memang tujuannya untuk membelanjakan alokasi yang sudah ditetapkan. Jadi kita berharap itu bisa mendukung permintaaan dalam negeri pada saat global economy demand-nya melemah karena adanya inflasi yang tinggi dan nilai tukar menguat, yang tentu juga akan menyebabkan perubahan kinerja ekonomi-ekonomi di Eropa, Amerika dan RRT,” jelas Sri Mulyani. ▪ Red B-Teks/ Ly Read more here Benarkah 64 Ribu Buruh Industri Tekstil Kena PHK, Bahkan Lebih Parah Saat Pandemi Covid-19?


Jakarta, November 6, 2022 I su mengenai peningkatan konsentrasi gas CO2 yang merupakan salah satu produk emisi industri sebenarnya telah menjadi perhatian dan menjadi permasalahan global. Berdasarkan pada hasil observasi pengukuran CO2 di atmosfer dari National Oceanic Atmospheric Administration (NOAA) Amerika Serikat pada tahun 2020, didapatkan fakta bahwa kadar gas CO2 di atmosfer telah meningkat lebih besar 50% dari level pra-industri pada kadar atmosfir sebesar 421 parts per million (ppm). Polusi CO2 dihasilkan oleh pembakaran bahan bakar fosil untuk transportasi dan pembangkit listrik, proses manufaktur semen, serta aktifitas manusia yang lainnya. Karbon dioksida bersama gas rumah kaca lainnya memerangkap panas yang memancar dari permukaan planet Bumi. Gas ini, jika tidak lolos ke luar angkasa, menyebabkan atmosfer terus menghangat. Ini berdampak pada serangkaian cuaca, termasuk panas ekstrem, kekeringan, kebakaran hutan, curah hujan yang lebih tinggi, banjir, dan badai tropis. Secara alami, pohon dan tumbuhan memiliki peran dalam menyerap kadar CO2 yang berada di atmosfer, namun terbatasnya lahan terbuka hijau dan perhutanan telah menjadi fakta yang dihadapi saat ini. Hal tersebut dapat dijadikan sebuah acuan pengingat bahwa kita perlu mengambil langkahlangkah mendesak dan serius mengenai hal tersebut, termasuk solusi inovatif yang mungkin dapat dilakukan mengenai hal tersebut. Teknologi Penangkapan Carbon Konvensional Saat ini peneliti sedang mengembangkan beberapa jenis teknologi inovatif penangkap karbon yang diharapkan dapat menjadi salah satu solusi dari permasalahan polusi CO2 yang dihadapi oleh dunia. Salah satu contoh solusi yang telah ditemukan saat ini yaitu metode penangkapan karbon dengan proses elektrokimia. Akan tetapi metode tersebut masih memerlukan biaya listrik yang masif dan harus dikeluarkan dalam proses reduksi gas CO2 di dalam sel elektrokimia. Hal tersebut menunjukan bahwa kita masih perlu mengembangkan teknologi yang inovatif dalam hal penangkapan polusi CO2 agar lebih komprehensif dalam segi biaya dan efektifitasnya. ilustrasi metode penangkapan karbon konvensional dengan proses elektrokimia menggunakan energi listrik Tekstil Fungsional Penangkap Karbon Bahan tekstil fungsional yang dapat menyerap CO2 dari udara menjadi salah satu terobosan inovatif terbaru dari para peneliti NCSU saat ini. North Caroline State University (NCSU) di Amerika Serikat telah mempublikasikan hasil penelitiannya pada jurnal ACS Sustainable Chemical Engineering beberapa bulan yang lalu. Agar bahan tekstil memiliki sifat fungsional tersebut disisipkan sebuah bahan aktif yang bernama carbonic anhydrase, sehingga kain tersebut dapat menyerap gas CO2 dari udara atau gas di lingkungan. Proyek ini sukses mendapatkan pendanaan dari U.S Departement of Energy, dengan kolaborasi Dr. Min Zhang (National Renewable Energy Laboratory) dan Dr. Jesse Thompson (University of Kentucky’s Center for Applied Energy Research), serta disponsori oleh perusahaan Novozymes selaku produsen enzim carbonic anhydrase. Bahan tekstil fungsional yang dapat menyerap CO2 dari udara yang dikembangkan oleh tim peneliti dari NCSU Bahan tekstil fungsional tersebut dibuat dengan substrat berupa kain katun yang pada permukaannya ditempelkan enzim carbonic anhydrase. Carbonic anhydrase adalah enzim yang ditemukan di semua jaringan mamalia, tanaman, alga, dan bakteri. Carbonic anhydrase membantu dalam konversi CO2 dan air menjadi bikarbonat (HCO3-) dan proton (H+) (dan sebaliknya). MATERIAL TEKSTIL MAJU Fungsional Katun Dengan Carbonic Anhydrase Sebagai Penyerap Polusi CO2 di Udara


Proses ini sangat penting untuk kehidupan dan pusat respirasi, pencernaan, dan pengaturan tingkat pH seluler. Dalam kasus ini air dibutuhkan dalam proses konversi gas karbondioksida, sehingga kain katun dipilih sebagai substrat utama karena alasan memiliki sifat yang higroskopis dan dapat dengan mudah menyerap air. Hal tersebut memberikan keuntungan karena area yang dapat terbasahi oleh air semakin banyak, sehingga area kontak kain dan gas yang dapat melakukan konversi menjadi lebih luas. Konversi gas karbondioksida dan air menjadi bikarbonat dengan bantuan enzim carbonic anhydrase Untuk membuat kain fungsional tersebut, enzim dilekatkan pada selembar kain katun dua lapis dengan ‘mencelupkan’ kain ke dalam larutan yang mengandung kitosan. Kitosan bertindak seperti lem yang melekatkan carbonic anhydrase pada kain katun. Bahan tersebut mengikat enzim, yang kemudian menempel pada permukaan kain. Serangkaian percobaan kemudian dilakukan oleh para peneliti untuk melihat seberapa efisien kain dapat memisahkan karbon dioksida dari campuran karbon dioksida dan nitrogen. Hal ini dilakukan untuk mengetahui kemampuan bahan tekstil untuk menyerap karbon dioksida secara selektif dari campuran gas di atmosfer. Pada percobaan tersebut kain digulung menjadi spiral dan dimasukkan ke dalam sebuah cerobong tabung percobaan. Kemudian para peneliti memasukan gas karbon dioksida dan nitrogen ke dalam cerobong tabung yang berisi kain tersebut. Kemudian peneliti juga menyemprotkan embun secara bersamaan ke dalam tabung tersebut. Saat gas CO2 bereaksi dengan air dan enzim di dalam tabung cerobong, CO2 berubah menjadi bikarbonat dan menetes ke filter. Proses tersebut menghasilkan larutan bikarbonat yang dapat digunakan untuk tujuan lain yang lebih berguna, seperti direaksikan dengan kalsium untuk membentuk batu kapur. Keunggulan yang ditunjukan melalui sistem ini adalah bahwa kain dapat menangkap CO2 dari lingkungan, dapat beroperasi secara pasif tanpa membutuhkan listrik dalam proses kimianya, serta menghasilkan produk samping berupa larutan bikarbonat yang dapat digunakan untuk tujuan lain yang lebih berguna. Ketika para peneliti mendorong campuran gas CO2 dan N2 melalui ceborong berisi kain tersebut dengan kecepatan 4 liter per menit (lpm), didapatkan hasil bahwa kain dapat menyerap sebesar 52,3 persen karbon dioksida yang dilewatkan. Peneliti juga mengklaim bahwa proses penyerapan dengan metode tersebut sebanyak dua passage dapat menyerap sebesar dan 81,7 persen karbon dioksida yang dilewatkan. Hal ini menunjukan potensi kinerja yang cukup positif dari kegunaan bahan yang diusulkan oleh para peneliti. Peneliti juga mengungkapkan bahwa penerapan teknologi tersebut di saluran pembuangan gas kendaraan juga masih harus dikaji lebih lanjut. Hal tersebut berkenaan dengan suhu lingkungan pada sistem pembuangan gas kendaraan yang cenderung cukup panas dapat menurunkan stabilitas kinerja enzim carbonic anhydrase untuk menyerap CO2 dari gas buang. Carbon Looper (Kain Penangkap CO2) Carbon Looper merupakan sebuah merk dari produk kain katun penangkap karbon hasil kerja sama institusi H&M Foundation dan HKRITA (Hong Kong Research Institute of Textiles and Apparel). Kain fungsional tersebut dapat dihasilkan dengan cara pengolahan kain katun dengan larutan yang mengandung amina dan membuat permukaan kain dapat menangkap karbon dioksida dari udara sekitarnya. Karbon dioksida kemudian dapat dilepaskan dari kain dengan dipanaskan hingga 30-40°C, di rumah kaca misalnya, dimana CO2 diambil oleh tanaman selama fotosintesis, sehingga karbon dioksida dilingkarkan kembali ke siklus karbon alami. Dengan kata lain karbon yang telah ditangkap tidak diubah menjadi produk yang lain, namun tetap dilepaskan dalam kondisi tertentu. Kembali ketika kain dihangatkan pada suhu 40oC. Jumlah CO2 yang diserap oleh pakaian berukuran standar per hari, kira-kira setara dengan 1/3 dari jumlah yang diserap pohon (dengan asumsi pohon menyerap 15 – 60 gram CO2 per hari). Produk Carbon Looper dalam bentuk apron masak yang digunakan di salah satu restoran di kota Stockholm Tahap penelitian saat ini melibatkan pengujian langsung bekerja sama dengan Fotografiska Stockholm, di mana staf restoran akan mengenakan Carbon Loopers dalam bentuk apron. Taman hidroponik restoran yang berada di ruang bawah tanah dapat berfungsi sebagai fasilitas pelepasan CO2. Jadi pada saat apron tersebut telah selesai digunakan (yang telah menyerap CO2 selama digunakan karyawan), apron tersebut dapat disimpan dalam ruangan hangat di taman hidroponik agar gas CO2 dapat dilepaskan pakaian, kemudian selanjutnya diserap oleh tanaman. Ilustrasi pelepasan karbon dioksida dari kain carbon looper saat dipanaskan, kemudian karbon dioksida diserap kembali oleh tanaman. Hingga saat artikel ini ditulis, para peneliti masih mencari kemungkinan metode teknologi penangkapan karbon yang dapat diterapkan sebagai solusi dari permasalahan global mengenai cemaran gas CO2 yang semakin meningkat hingga saat ini. ▪ Red B-Teks/ Andrian Wijayono Magister Rekayasa Tekstil dan Apparel, Politeknik STTT Bandung Read more here


Jakarta, November 7, 2022 Catatan Peringatan Hari Batik 2 Oktober 2022 Gaung semarak peringatan Hari Batik di sepanjang Oktober 2022 masih terasa bergelora. Setelah 2 tahun terhalang pandemi, sepanjang bulan Oktober lalu, masyarakat di berbagai daerah nampak begitu antusias dan ekspresif dalam merayakannya. Di Jakarta, Yayasan Batik Indonesia menggelar Fashion Street terpanjang yang dimulai dari Bunderan HI hingga depan Mall FX. Kegiatan ini juga dicatat dalam rekor MURI. Begitu juga di Jambi, kegiatan yang dilakukan memecahkan rekor MURI dalam berbusana Batik Jambi terbanyak. Acara itu diikuti oleh puluhan ribu ASN di 9 Pemerintahan Kabupaten dan 2 Pemerintahan Kota. Di Malang sekitar 580 difabel bersama-membuat batik ciprat sepanjang 500mtr di bundaran tugu Kota Malang. Kegiatan itu juga di catatkan dalam rekor MURI. Sementara di Solo, memperingati dengan cara berkebaya bersama Ibu Negara, Iriana Jokowi. Selain itu, masih banyak di daerah-daerah lain memperingatinya dengan caranya sendiri. Begitu juga dengan perwakilan Indonesia yang berada di Negeri lain. Batik memang bukan hanya milik suku atau komunitas tertentu anak negeri ini. Keberadaannya sudah menjalar di berbagai pelosok nusantara hingga perwakilan di manca negara. Semua memiliki hak yang sama dalam mengembangkannya. Dan juga memiliki kewajiban yang sama. Yakni, sama-sama melestarikan warisan budaya. Karena kesamaan itu, akan terjalinlah persatuan bangsa melalui selembar wastra. Melalui sebuah karya warisan budaya dalam proses menghias kain yang dinamakan batik. Memang, itu menjadi suatu kebanggaan tersendiri, karena semangat untuk mengembangkan dan melestarikan batik, sudah tercermin disana. Sedang teknis pengembangannya, dilakukan dengan berbagai macam cara sesuai dengan masing-masing karakter daerah. Salah satunya, seperti yang telah dilakukan oleh para pembatik Kota maupun Kabupaten Kediri 23 Oktober lalu. Moment Hari Batik Nasional dimanfaatkan tidak hanya sekedar menggelar karya dalam parade batik dan bazar batik. Namun, juga penguatan visi dan karakter kedaerahan dengan menggelar Jagongan Batik yang mengusung thema, Mencari Jati Diri Batik Kediren. Dua tokoh dihadirkan dalam acara itu sebagai nara sumber. Yakni Adi Kusrianto, dosen dan penulis buku batik dan Adi Wahyono, Perajin batik dari Kediri yang baru memenangkan juara motif batik Kabupaten Kediri. Dalam dialog itu, Adi Kusrianto memotifasi para pembatik untuk bangkit dan semangat menghasilkan karya yang mencerminkan batik karakter Kediren. Mengingat berdasarkan sejarah, batik pola gringsing berasal dari Kediri. Hal itu berdasarkan referensi dari penulis Belanda, Gerret Pieter Rouffaer (1860-1928) dalam bukunya De Batik Kunst in Nederlandsch Indie menyebutkan bahwa pola Gringsing sudah ada sejak abad 12 di Kediri.Dia menyimpulkan bahwa pola itu hanya bisa dibuat dengan pena yang bernama canting. Sedang Adi Wahyono menyatakan, sudah saatnya Kediri memiliki batik yang berkarakter, mencerminkan khas daerah. Karakter itu bisa dimunculkan lewat motif maupun pewarnaannya. Selain Kediri, Pasuruan juga menggelar acara unik di hari Batik. Yakni dengan mengadakan acara Batik Camp, dimana agendanya adalah diskusi batik dan sharing ilmu dalam membatik dan juga membuat payung batik. Yang pasti, momen Hari Batik Nasional sepanjang Oktober lalu makin membuka kesadaran bahwa batik seolah sudah ‘mendarah daging’ di masyarakat. Harapannya, melalui karya akan memperkokoh persatuan nusantara. Sinergi terjalin dimana-mana. Dan yang lebih penting lagi, semoga gelora ini tak hanya pada momen di bulan Oktober saja. Namun berkesinaambungan dan terus bangkit mengibarkan wastra budaya khas nusantara dikancah dunia. Awal Mula Hari Batik Bagaiaman kronologis lahirnya Hari Batik Nasional? Batik pertama kali diperkenalkan kepada dunia internasional oleh Presiden Soeharto saat mengikuti konferensi Perserikatan BangsaBangsa. Batik Indonesia didaftarkan untuk mendapat status intangible cultural heritage (ICH) melalui kantor UNESCO di Jakarta oleh kantor Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat, mewakili Pemerintah Indonesia dan komunitas batik Indonesia, pada 4 September 2008. Pada 9 Januari 2009, pengajuan batik untuk Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Nonbendawi UNESCO diterima secara resmi, dan batik dikukuhkan pada sidang keempat Komite Antar-Pemerintah tentang Warisan Budaya Nonbendawi yang diselenggarakan UNESCO di Abu Dhabi pada 2 Oktober 2009. Pada sidang dimaksud, batik resmi terdaftar sebagai Warisan Kemanusiaan Karya Agung Budaya Lisan dan Nonbendawi di UNESCO. Pemerintah Indonesia menerbitkan Kepres No 33 Tahun 2009 yang menetapan hari Batik Nasional juga dalam rangka meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap upaya perlindungan dan pengembangan batik Indonesia. Sekretaris Jenderal Menteri Dalam Negeri Hadi Prabowo menandatangani Surat Edaran Nomor 003.3/10132/SJ tentang Pemakaian Baju Batik dalam Rangka Hari Batik Nasional 2 Oktober 2019. Berdasarkan surat edaran tersebut, Kementerian Dalam Negeri mengimbau seluruh pejabat dan pegawai di lingkungan pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota untuk menggunakan baju batik pada hari Rabu. ▪ Red B-Teks/ Ratna Devi Melalui Batik MENJALIN PERSATUAN BANGSA Read more here


Jakarta, November 8, 2022 Sebelum membahas mengenai GRC dalam korporasi, terlebih dulu kita mengenal berbagai Type Budaya Perusahaan – Korporasi: ▪ Budaya Klan : Ikatan kebersamaan layak nya kelurga Hubungan yang positif dilingkungan kerja, Komunikasi yang terbuka, komitmen Bersama dan kolaborasi ; ▪ Budaya Adhokrasi : Budaya yang paling kreatif masing masing dalam organisasi adalah Risk Taker dan Inovator,. Ada komitmen yang kuat untuk menciptakan standar standar baru, mempertahankan peningkatan yang berkelanjutan, terus mencari solusi kreatif, inovasi. Visioner , berjiwa Wirausahawan, Individu yang berinisiatif dan mandiri. ▪ Budaya Pasar : Hasil akhir selalu yang utama, Persaingan secara agresif, Pemimpin yang tegas dan memiliki tuntutan kerja yang tinggi ; Pegawai berprestasi sangat dihargai dan mendapat pengakuan yang layak; “ Result oriented Organization “ ▪ Budaya Hierarki : Yang utama adalah ‘ Struktur dan Kontrol “ Perusahaan memiliki definisi yang jelas dan formal dengan serangkaian Protokol, Aturan, Regulasi, dan Kebijakan yang ketat untuk memastikan atanya keteraturan. Kelebiha nya : Stabilitas Kontrol dan Proses kerja dan Kepastian ( Prediktabilitas ). Tata Kelola, Risiko, dan Kepatuhan (GRC) adalah cara terstruktur untuk menyelaraskan IT dengan tujuan bisnis sembari mengelola risiko serta memenuhi semua peraturan industri dan pemerintah. Tata Kelola, Risiko, dan Kepatuhan (GRC) mencakup alat dan proses untuk menyatukan tata kelola organisasi serta manajemen risiko dengan inovasi dan adopsi teknologinya. Perusahaan menggunakan GRC untuk mencapai tujuan organisasi yang andal, menghilangkan ketidakpastian, dan memenuhi persyaratan kepatuhan. Kondisi Budaya Korporasi Saat Ini FAKTA ATAU KENYATAAN : 1. Masih terdapat banyak korporasi yang menerapkan GRC – secara terpisah atau secara Silo-silo, atau penerapan secara bertahap. 2. Informasi yang diperoleh secara parsial atau sebagian tidak lengkap dan komprehensif. Fragmented TI - Digital 1 3. Keterbatasan Pemahaman Organisasi atas suatu Kinerja Berprinsip terutama Pimpinan tertinggi dalam Organisasi – Korporasi – TONE AT THE TOP 4. Perilaku Etis – Berintegritas belum sepenuhnya menjadi bagian yang melekat. Dalam organisasi 5. Belum membudayanya GRC terintegrasi dalam Korporasi. Mengapa GRC Sangat Penting ? FAKTA ATAU KENYATAAN SAAT INI 1. Masih terdapat banyak korporasi yang menerapkan GRC – secara terpisah dan sendiri-sendiri, atau secara Silo-silo, atau penerapan secara bertahap misalnya dimulai dari Risk Management – Manajemen Risiko, dan kemudian Compliance – Kepatuhan dan Governance – Tata Kelola baru diterapkan kemudian. Terjadi tumpeng tindih atau duplikasi dalam penerapannya sehingga berimbas pada meningkatnya biaya serta kurang selarasnya aktifitas organisasi – korporasi. 2. Informasi yang diperoleh secara parsial atau sebagian tidak lengkap dan komprehensif, pejabat atau orang yang berada dalam jajaran organisasi termasuk pimpinan mendapat informasi yang tidak-atau kurang tepat dan telah lewat waktunya, dan bahkan absoletetidak lagi berguna; Pemanfataan TI – Digital bersifat Parsial – Not fully integrated. Membangun BUDAYA GRC Terintegrasi


3. Keterbatasan Pemahaman Organisasi atas suatu Kinerja Berprinsip terutama Pimpinan tertinggi dalam Organisasi – Korporasi, sehingga kurang kuatnya pesan yang disampaikan kepada jajaran dibawahnya tentang pentingnya bekerja secara terintegrasi – lack of “Tone at the Top” berupa komitmen Pimpinan : arahan, perintah, instruksi dan teladan. Dalam sebagian besar Korporasi, tanggung jawab implementasi GRC secara terintegrasi diserahkan kepada Jajaran dibawah Direksi, misalnya pada Sekretaris Perusahaan atau Kepala Divisi. 4. Landasan Etis dan Perilaku Berintegritas belum sepenuhnya menjadi bagian yang melekat dan integral dalam pribadi maupun Jajaran – Unit Organisasi – Korporasi. = masih sering terjadi tindakan tidak terpuji ( Fraud dan Corruption ) 5. Belum membudayanya GRC dalam Korporasi, karena itu diperlukan upaya yang terencana dan sistematis lewat “Pelatihan” untuk menjadikan GRC Terintegrasi penting, dipahami dan dilaksanakan secara tertib, berkesinambungan dan menjadi komitmen Bersama semua Jajaran Organisasi; mereka merasa terikat dan berkewajiban untuk melaksanakannya Membangun Budaya GRC Untuk membangun budaya GRC maka yang utama adalah merubah mindset atau cara berfikir. Cara Berpikir LAMA : ▪ Asset Heavy (Tanah, Gedung, Mesin-mesin) ▪ Resource Control ▪ Tangibility (Tanah, Gedung, dan lainnya) ▪ Value Chain ▪ Internal Efficiency ▪ Internal Governance (Kontrol) ▪ Analisis Industri ▪ Analisis Industri (dengan boundary yang jelas) Cara Berpikir BARU ▪ Asset Light (Teknologi) ▪ Resource O rchestration ▪ Intangibility (Network Effect) ▪ Ecosystem ▪ Ex ternal Efficiency (Interaction) ▪ Ex ternal Governance (Rating, Review) ▪ Analisis Arena (Borderless Sector) ▪ Analisis Arena (Borderless) Setelah merubah pola fikir maka tentukan tujuan yaitu Membangun Budaya Agar Lebih Selaras. Responsif. Gesit, Tangguh, Efisien Kinerja berprinsip Yang harus dilakukan adalah PRINSIP TATA KELOLA YANG BAIK, KEPATUHAN dan RISIKO YANG TERKELOLA Prinsip tata kelola yang baik meliputi Transparency Accountability, Responsibility, Independency Fairness. Kepatuhan mencakup Tone at the Top Beyond Rule and regulations; Mandatory and Voluntary; Ethical Driven Vs, Regulated Driven. sedangkanResiko yang terpetakan adalah Risiko yang harus terpetakan dengan baik dan menyeluruh meliputi : Operasi ( Proses, Sosial, Lingkungan) , Keuangan, Kebijakan, Politik dan lainnya dan Review secara berkala. Lalu bagaimana cara membangun budaya agar Lebih Selaras. Responsif. Gesit, Tangguh, Efisien PELATIHAN DAN BIMBINGAN Secara In House atau Kolaborasi Untuk pemahaman utuh Tata Kelola, Manajemen Risiko dan Kepatuhan secara terintegrasi Harus diukur secara berkala CERTIFICATIONS Knowledge Management Competency Pemanfaatan TI – Digital – New Era “ Information Quality “ MANFAAT Penerapan GRC adalah Korporasi menjadi Lincah dan Mampu beradaptasi secara cepat dan tepat mengantisipasi perubahan lingkungan bisnis serta Pencapaian Objektif, Target baik jangka Pendek maupun jangka Panjang dan terus bertumbuh dan Penciptaan Nilai Bersama. Memberi jaminan bahwa Perusahaan dijalankan secara Etis, dan berintegritas untuk mencapai tujuan terbaik yang ditetapkan , bertumbuh secara sehat dan memberi jaminan bagi Share Holder dan Stakeholder lainnya bahwa pelaksanaan Tugas Direksi dan Komisaris semata mata ditujukan untuk kepentingan terbaik bagi Korporasi. Organisasi Tangguh dan Responsif dan Bertumbuh sehat dan berkelanjutan Perilaku Etis menjadi dasar antau fondasi dari seluruh struktur, sistim, bagunan organisasi, dan sumber daya insani. Contoh Budaya GRC yang sudah di Praktekkan adalah Perusahaan Blue Bird : Kolaborasi dengan Go-Jek untuk Angkutan berbasis aplikasi – Platform digital tujuannya ; untuk menantisipasi Risiko – Bisnis Penurunan Revenue, karena Penumpang beralih ke type angkutan yang mudah dalam ketersediaan layanan : Go-Jek dan Go-Car dan untuk mengkapitalisasi “ Trust “ yang sudah terbangun sebagai transportasi yang terpercaya ; Program Pemberdayaan Karyawan yang pensiun sebagai wujud tindakan etis. ▪ Red B-Teks/ Ben Da Haan Read more here


Jakarta, November 9, 2022 Isu mengenai ketersediaan air telah menjadi perhatian untuk sebagian wilayah di dunia saat ini. Curah hujan yang rendah pada daerah-daerah tersebut juga menjadi faktor yang menyebabkan terjadinya kekeringan di sebuah wilayah. Dilansir dari BBC News Indonesia, dikatakan bahwa pada tahun 2019 terdapat sekitar 1,7 miliar orang di 17 negara terancam kekeringan dengan “tekanan ketersediaan air” pada batas ekstrem. World Resources Institute (WRI) menyatakan bahwa setidaknya terdapat 400 wilayah di dunia ini hidup dalam kondisi “kekurangan air yang ekstrem”. Hal tersebut diperburuk dengan kekeringan yang dapat disebabkan karena curah hujan yang cukup rendah, sehingga banyak wilayah dapat mengalami krisis ketersediaan air. Perkembagan industri, pertumbuhan penduduk, urbanisasi, penipisan sumber daya air dan penggundulan hutan menjadi beberapa contoh faktor yang berkontribusi terhadap masalah krisis air. Oleh karena itu para peneliti terdorong untuk dapat mengembangkan metode dapat menemukan sumber daya air yang layak secara ekonomi dan layak untuk digunakan sebagai pemecahan masalah. Di beberapa bagian Eropa dan Timur Tengah, desalinasi adalah satu-satunya sumber untuk mendapatkan kembali air tawar. Desalinasi adalah proses yang menghilangkan kadar garam berlebih dalam air untuk mendapatkan air yang dapat dikonsumsi binatang, tanaman dan manusia. Sering kali proses ini juga menghasilkan garam dapur sebagai hasil sampingan. Akan tetapi metode desalinasi tersebut cukup mahal dan memiliki biaya operasional serta konsumsi energi yang tinggi. Fakta sains mengatakan bahwa atmosfer mengandung 37,5 juta miliar galon air dalam fase uap tak terlihat, yaitu dalam bentuk kabut atmosfer. Kabut atmosfer merupakan sumber air tawar yang substansial. Memanen air kabut dengan efisiensi tinggi adalah pendekatan yang menarik untuk meringankan ancaman kekurangan air. Metode pemanenan air ini dapat dijadikan pilihan yang sangat baik apabila daerah tersebut memiliki keterbatasan sumber air dan distribusi sumber air akibat alasan geografis, namun memiliki kadar kabut yang cukup banyak. Metode penangkapan kabut tersebut secara konvensional dapat dilakukan dengan cara membentangkan bahan tekstil berupa jaring (mesh) dengan kerapatan tertentu atau kain jala, kemudian kabut akan melewati jala tersebut dan akan tertangkap oleh permukaan jala yang membentang. Ketika partikel embun yang terakumulasi telah cukup terakumulasi menjadi bulir air pada bagian jala, kemudian bulir air tersebut akan menetes akibat beratnya sendiri dan ditampung pada wadah. Ethiopia merupakan salah satu daerah yang telah secara sukses menerapkan metode ini dengan membangun menara Warka dan dapat menghasilkan air minum sebanyak 25 galon air per hari (per satu menara) dengan pemanenan air dari udara. Kain jala dari bahan nilon atau polipropilen digunakan sebagai bahan jaring untuk menangkap kabut pada menara tersebut. Dua pria membawa sisa air yang mereka ambil dari kolam kecil yang mengering di pinggir kota Chennai, India. (Dilansir dari BBC News Indonesia) Pusat desalinasi air laut di Arab Saudi Fasilitas penangkapan kabut untuk menghasilkan air bagi kegiatan agrikultur Menara Warka berbentuk vas bunga setinggi 30 khaki di Ethiopia yang digunakan untuk memanen air minum dari kabut Prinsip kerja penangkapan air dari kabut dengan menggunakan jaring atau kain jala INOVASI KAIN PENANGKAP AIR DARI KABUT


Pendekatan Biomimicry Penangkapan air dari kabut pada dasarnya diperoleh melalui pendekatan biomimicry (meniru alam), yaitu teknologi manusia yang diadopsi berdasarkan cara kerja tumbuhan dan hewan dapat memperoleh air dari udara. Beberapa hewan seperti laba-laba telah memberikan contoh untuk dapat menangkap air dari udara dengan menggunakan sarangnya. Selain sarang laba-laba, fenomena penangkapan air dari udara juga dilakukan oleh beberapa hewan dan tumbuhan lainnya seperti serangga gurun, rumput gurun dan kaktus gurun. Ketiga contoh hewan dan tumbuhan tersebut juga memiliki kemampuan untuk bertahan hidup di iklim ekstrim dengan cara memperoleh air dari udara. Serangga gurun memperoleh kemampuan penangkapan air dari udara dengan sifat hidrofilik-hidrofobik pada bagian tubuh cangkangnya. Di samping itu, kaktus memperoleh kemampuan penangkapan air melalui struktur duri pada permukaan batangnya, sehingga air dapat tertangkap pada duri dan mengalir secara kapiler pada batang tanaman. Hal ini menunjukan bahwa kadar air yang berada di atmosfer dapat digunakan sebagai sumber air bagi kehidupan. Kemungkinan Optimalisasi Kemampuan Penangkapan Air Dari Udara Meskipun teknologi tersebut telah memiliki kinerja yang cukup baik, namun ruang inovasi material tekstil masih sangat terbuka terutama dalam pengembangan kain jala dengan karakteristik yang optimum dalam pemanenan embun. Beberapa pendekatan telah dilakukan oleh para peneliti untuk mengoptimalkan aspek fungsi pemanenan pada bahan tekstil, diantaranya dapat dilakukan dengan cara (1) melalui variasi modifikasi struktur kain yang paling optimum untuk menangkap embun dan/atau (2) melalui variasi modifikasi permukaan ataupun pelapisan menggunakan bahan tertentu agar kain dapat menangkap embun. Modifikasi Struktur Kain Penangkap Air Dari Udara Institute of Textile Technology and Process Engineering (DITF) Denkendorf dan The University of Tübingen telah berkolaborasi untuk mengembangkan tekstil penangkap air dari udara dengan menggunakan pendekatan model struktur kain Spacer. Untuk dapat berfungsi secara optimum, kain penangkap air dari udara harus memiliki sifat tahan sobek, breathable, dan self-cleaning, disamping harus memiliki porositas yang baik. Peneliti menemukan bahwa struktur kain rajut spacer yang mereka hasilkan dengan konstruksi khusus mampu menghasilkan tangkapan air hingga 8 liter per hari untuk setiap satu meter persegi kain (sekitar 80% dari kandungan aerosol air di udara) dibandingkan dengan kain jala konvensional dengan hasil sekitar 3 liter per hari untuk setiap satu meter. Kain spacer ini memberikan sifat absorpsi dan desorpsi yang lebih baik karena kain tersebut memiliki permeabilitas udara yang lebih besar dibandingkan kain jala biasa. Kemudian kain spacer tersebut juga memiliki kelebihan dalam hal kekuatan tarik kain dan ketahanan jebol yang lebih baik, sehingga akan lebih awet ketika digunakan pada operasi penangkapan embun. Modifikasi Permukaan / Pelapisan Menggunakan Bahan Tertentu Dengan pendekatan biomimicry, para peneliti lebih lanjut mengembangkan kemampuan penangkapan air dari udara yang terinspirasi dari cara kerja serangga gurun, rumput gurun dan kaktus gurun dalam menangkap air dari udara. Peneliti menemukan bahwa konfigurasi sifat pembasahan hidrofilik dan hidrofobik yang tersusun sedemikian rupa telah memberikan kemampuan penangkapan air yang sangat baik pada spesies tersebut. Peneliti kemudian mereplikasi konfigurasi sifat pembasahan tersebut ke dalam selembar kain polikarbonat (PC) (bersifat superhidrofilik) yang dilapis nanopartikel SiO2-phenyl methyl silicone resin (bersifat superhidrofobik). Konfigurasi sifat pembasahan heterogen dengan paduan sifat hidrofilik dan hidrofobik untuk kain penangkap air dari kabut Lapisan daerah hidrofob pada kain Hasil dari penelitian tersebut menemukan bahwa kain yang telah dilapis dengan menggunakan konfigurasi sifat pembasahan yang heterogeny (paduan hidrofilik dan hidrofobik) dapat menangkap air dari udara yang jauh lebih baik dibanding kain dengan sifat pembasahan homogen. Dengan optimalisasi yang terus dikembangkan oleh para peneliti, teknologi ini diharapkan dapat menjadi salah satu solusi yang inovatif untuk mengatasi krisis air yang dihadapi oleh umat manusia. ▪Red B-Teks/Agung Haryanto, diolah dari berbagai sumber Penangkapan air dari udara yang dilakukan oleh serangga gurun, rumput dan kaktus gurun Penangkapan air dari udara yang terjadi pada sarang laba-laba Struktur kain rajut spacer terbasahi oleh air yang berasal dari udara Read more here


Jakarta, November 4, 2022 Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira menyebutkan turunnya ekspor produk tekstil Indonesia hingga 30 persen akibat berkurangnya daya beli di pasar Amerika Serikat dan Eropa. Ia menuturkan sejumlah langkah yang bisa dilakukan pemerintah dan pelaku ekspor tekstil Indonesia agar industri itu bisa terselamatkan di tengah ancaman resesi global 2023. Pertama, ia menyarankan agar Indonesia harus lebih cepat mencari pasar ekspor baru yang potensial. “Perlu lebih cepat bergerak mengunakan atase perdagangan atau perwakilan kamar dagang yang ada di negara-negara Afrika Utara dan Timur Tengah,” ucapnya melalui pesan pendek pada Jumat, 28 Oktober 2022. Sebelumnya, Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan pun menyatakan akan menyerbu pasar ekspor baru seperti Afrika, Eropa Timur, Asia Selatan, Asia Tengah, dan Timur Tengah. Namun, menurut Bhima langkah itu agak terlambat karena kini sudah banyak saingan dari Indonesia yaitu Vietnam, Bangladesh, bahkan dari eutopia, itu juga mulai merajai. Bhima berharap pemerintah lebih cepat bersaing dengan negara-negara pengekspor tekstil lainnya. Terlebih, pertumbuhan ekonomi di Timur Tengah dan Afrika Utara kini mencapai 5,5 persen berdasarkan data International Monetary Fund (IMF) 2022. Walaupun kedua kawasan itu pertumbuhannya dipresiksi melambat tahun depan di kisaran 3 persen, perekonomiannya masih tumbuh positif. Di sisi lain, karena profil dari industri tekstil di Indonesia masih banyak yang barupa outsourcing dari brand internasional, pengalihan pasar pun juga bergantung dari merek internasional tersebut. Karena itu, ia menyarankan agar pelaku ekspor maupun pemerintah melakukan komunikasi dengan pihak merek internasional itu, sehingga mereka tetap memilih Indonesia sebagai basis produksi. Terakhir, Bhima menyarankan agar pelaku ekspor melakukan beberapa penyesuaian, khususnya berkaitan dengan bahan dan selera konsumen Afrika dan Timur Tengah. Sebab, kualitas dan selera masyarakat di sana, menurutnya, berbeda sekali dengan konsumen di Eropa dan Amerika Serikat. “Warna dan jenis kainnya itu ada perbedaan, ada karakter khusus. Nah ini mungkin perlu mendapatkan perhatian juga,” kata dia. Sementara itu, Bhima menekankan usaha pemerintah untuk memperluas pasar ekspor harus dibarengi dengan pemberian relaksasi dan upaya mencegah terjadinya pemutusan hubungan kerja atau PHK. Misalnya, menaikan subsidi upah untuk sektor teksil atau insentif pajak. Kemudian, hal yang diperlukan adalah mengendalikan impor tekstil dan pakaian jadinya. Karena di dalam negeri pun, hasil produksi tekstil dalam negeri bersaing ketat dengan produk-produk impor, padahal Indonesia dengan populasinya yang tinggi merupakan market yang besar. Kadin Ungkap Penyebab Ekspor Impor RI Turun di September 2022 Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca perdagangan barang Indonesia pada September 2022 mengalami surplus sebesar 4,99 miliar dolar AS. Surplus ini menjadi tren positif selama 29 bulan secara beruntun sejak Mei 2020. Walaupun surplus, kinerja ekspor impor Indonesia masih tercatat melambat. Nilai ekspor Indonesia pada September 2022 mengalami penurunan sebesar 10,99 persen dibandingkan Agustus 2022. Pada bulan lalu, total eskpor Indonesia hanya mencapai 24,80 miliar dolar AS. Sementara nilai impor September 2022 juga turun sebesar 10,58 persen dibandingkan Agustus 2022. Nilai impor pada September tercatat hanya 19,81 miliar dolar AS. Anggota Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Kebijakan Moneter dan Jasa Keuangan, Ajib Hamdani menilai, perlambatan terhadap ekspor impor Indonesia disebabkan karena kegiatan ekonomi global sedang mengalami konstraksi secara umum. Ajib mengatakan, perlambatan ini juga terjadi lantaran pemerintah sedang fokus transformasi ekonomi dengan lebih banyak melakukan pengolahan hilirisasi. Menurutnya, untuk jangka panjang hal ini akan memperkuat ekonomi nasional. “Tetapi untuk jangka pendek akan membuat konstraksi kegiatan ekspor impor,” pungkasnya. ▪Red B-Teks/ Ly Read more here EKSPOR TPT MAKIN MENURUN, Ekonom Ungkap Solusi Selamat dari Ancaman Resesi 2023


Dampak pandemi menyadarkan manusia bahwa untuk bertahan hidup, m a n u s i a h a r u s d a p a t h i d u p berdampingan dengan sesama manusia dan makhluk-makhluk hidup lain. Manusia harus saling membantu, berkolaborasi, dan terinspirasi dari banyak hal. Oleh karena itu, tema Co-Exist dipilih menjadi tema besar Indonesia Trend Forecast 2023-2024. Trend muncul dari berbagai hal yang terjadi di dunia yang kemudian merubah pola berpikir masyarakat. Pandemi menyebabkan banyak kejadian yang tidak diinginkan. Banyak orang yang terpaksa berhenti bekerja dan memaksa mereka untuk berpikir kreatif untuk bertahan hidup. Pandemi juga mendorong banyak orang untuk memiliki empati terhadap sesama manusia dan lebih membantu mereka yang membutuhkan pertolongan. Dengan begitu banyaknya orang yang berhenti bekerja karena kesulitan ekonomi, mengakibatkan penyusutan kaum kelas menengah. Sulitnya ekonomi ditambah dengan kenaikan harga barangbarang yang tinggi mengakibatkan daya beli masyarakat menurun. Hal ini memaksa mereka untuk berpikir lebih praktis dan hidup secara lebih minimalis. Dengan adanya kejadian-kejadian seperti itu, banyak orang yang kemudian mencari keseimbangan hidup dengan alam, yaitu dengan cara pindah ke daerah-daerah terpencil dan menjalankan off-grid living, ya itu hidup dengan mencukupi kebutuhan-kebutuhannya sendiri tanpa bergantung dengan fasilitas-fasilitas kota besar. Selain itu, banyak manusia juga yang lebih menyadari akan kesehatan dirinya, sehingga banyak yang beralih kepada gaya hidup yang lebih alami dan sehat, misalnya dengan rapat atau konferensi di alam terbuka sambil bersepeda, dan sebagainya. Dunia digital adalah salah satu hal yang sangat terdorong maju dengan adanya pandemi. Sebagian besar manusia kini lebih melek teknologi digital. Acara atau konferensi yang diadakan secara digital atau hybrid adalah sesuatu yang sangat umum saat ini. Metaverse adalah salah satu kemajuan digital yang sangat terdorong oleh fenomena ini. Metaverse adalah dunia virtual yang diciptakan untuk berinteraksi dengan sesama pengguna lain dan karena dunia tersebut adalah virtual, mereka dapat berkreasi dan berfantasi dengan bebas. Sesuatu yang d a l am d u n i a re a l it a ny a ti d a k memungkinkan, dalam dunia virtual dapat diwujudkan. Terdapat empat pengelompokan besar konsumen untuk tema Co-Exist, yaitu: 1. The Survivors 2. The Soul Searchers 3. The Saviors 4. The Self Improvers The Survivors Lama berada dalam situasi yang tidak menentu, The Survivors berupaya keras untuk terus bertahan. Di tengah keterbatasan dan kekurangan, mereka tetap optimis. Optimisme inilah yang menjadikan mereka berpikiran positif, melahirkan kreativitas agar roda kehidupan tetap berputar. Berhemat menjadi pola berpikir baru. Simpanan barang-barang lama digunakan kembali, bahkan direka-reka menjadi bentuk dan tampilan baru dengan nuansa vintage yang amat kental. Reuse, renewal, dan upcycle menjadi bagian dari keseharian mereka. Intinya adalah bagaimana barangbarang lama yang basic kemudian ditambahkan hal-hal yang baru, seperti potongan-potongan yang dimodifikasi sehingga menghasilkan design yang baru, namun kesan vintage dan retro nya tetap terasa. Warna-warna yang terang dan kuat mendominasi palet warna The Sur v i vors yang meng gambar kan semangat dan optimisme mereka. Kata kunci The Survivors: vintage, unique, sporty casual.Tema The Survivors dibagi lagi menjadi empat sub tema: Optimistic: Optimis dan tetap bersemangat, ditandai dengan pemakaian motif-motif geometris dikombinasikan dengan warna-warna cerah dan kontras, namun tetap rapih dan dandy.Thrifty Chic: Berhemat merupakan pola berpikir utama gaya ini. Baju-baju lama dikreasikan kemb a l i , d ir e k a u l a n g d e n g a n ditambahkan aksen, atau dirubah bentuk dan tampilannya. Retro: Baju-baju vintage dari masa dahulu dikreasikan kembali dengan diberi sentuhan baru. Motif floral yang besar atau motif abstrak dipadukan dengan motif geometris. Logic: Melihat kesederhanaan melalui sudut pandang yang berbeda. Trend ini secara cerdas mengubah siluet yang sederhana (basic) menjadi sesuatu yang berbeda dari sebelumnya, misalnya dengan memanjangkan, memendekkan atau meniadakan. INDONESIAN FASHION TREND 2023-2024: CO-EXIST Jakarta, November 15, 2022 I ndonesian fashion trend forecast kembali dihadirkan oleh Indonesia Fashion Chamber. Edisi terbaru adalah Indonesian Fashion Trend 2023-2024 yang diberi tema Co-Exist. Pandemi covid-19 yang telah melanda dunia selama 3 tahun terakhir ini melahirkan berbagai kebiasaan baru (new normal) yang kini telah menjadi kebiasaan sehari-hari.


The Soul Searchers Mencari keseimbangan emosi menjadi dambaan setelah lama terbebani oleh pekerjaan. The Soul Searchers mencari ketenangan di tempat-tempat indah dan terpencil. Menikmati keindahan suasana alam di pedesaan, meresapi romantisme kesederhanaan penduduk local sungguh memberi rasa rileks dan damai. Menyatu dan bergembira bersama penduduk setempat mendatangkan inspirasi baru dalam gaya busana The Soul Searchers. Trend ini mengacu pada kelompok pasar yang ingin tampil bergaya tetapi tidak berlebihan, secara hemat tetapi kreatif. Trend ini didominasi oleh gaya yang lebih lembut, nyaman, dekat dengan alam, santai, dan membawa suasana yang sejuk. Warna-warna natural dalam nuansa pastel yang menyejukkan dan menenangkan mendominasi The Soul Searchers. Dapat juga ditambahkan warna-warna berani sebagai aksen untuk memberi kesan yang lebih gembira. Kata kunci The Soul Searchers: rural places, healing, exoticTema The Soul Searchers dibagi menjadi empat sub tema: Joyful: Suasana yang riang dan bebas diwujudkan melalui siluet yang serba longgar dan nyaman dikenakan. Bahan yang ringan dengan warna pastel banyak digunakan, ditambah dengan aksen patchwork. Healing: Gaya ini merangkul keindahan dan kearifan alam, menghormati dan mencintai alam dengan mewujudkan serta menerapkan motif-motif tumbuhan dan menggunakan warna-warna vegetatif. Rustic: Romantisme dan indahnya kesahajaan hidup di tempat terpencil adalah fokus dari gaya ini. Rustic craft atau kerajinan lokal yang dibuat secara sederhana, dihargai dan menjadi inspirasi. Rural: Gaya berpakaian penduduk lokal yang hangat dan ramah menjadi inspirasi design, ditambah dengan aksesoris yang menjadi ciri khas kebudayaan setempat tersebut. The Saviors Selalu tergerak untuk menolong, The Saviors terus berinisiatif demi membantu sesama yang sedang mengalami kesulitan. Tidak peduli dengan perbedaan, mereka bahu membahu mengatasi rintangan. Berani, tampil tegar, dan mandiri, The S av iors mendaya guna kan s e ga l a kemampuan dan perangkat mereka secara optimal. Gaya ini mendorong sifat design yang lebih maskulin, namun ditambah dengan penggabungan percampuran budaya di dalamnya. Warna-warna maskulin bernuansa keabu-abuan mendominasi The Saviors. Dipadu dengan warna-warna cobalt blue dan dusty pink sebagai aksen akan menjadikan palet warna tersebut menjadi lebih menarik dan tidak membosankan. Kata kunci The Saviors: activism, sportive, masculine, empathetic Tema The Saviors dibagi lagi menjadi 4 sub tema: Trans cultural: Dengan adanya semangat bekerjasama dan saling membantu, keberagaman budaya justru menjadi suatu keselarasan. Percampuran motif secara berani seperti yang terdapat pada motif batik sekar jagat adalah inspirasi gaya ini. I n v e n ti v e : K e si g a p a n u n t u k m e n g h a d a p i s e g a l a r i n t a n g a n m e n g i n s p i r a si g a y a i n i u n t u k memperlengkapi diri dengan busana yang praktis dan multifungsi, seperti pada pengembangan variasi blus dan jaket hoodie. Valiant: Prajurit militer yang Tangguh, gagah dan kuat adalah inspirasi gaya ini, namun diperhalus melalui siluet dan bahan yang lebih luwes dan lentur. Humanism: Pemikiran yang humanis adalah inspirasi gaya ini. Penampilan yang be rs aha j a dan tida k be rl ebihan mencerminkan empati serta nilai-nilai etis yang dianut, dengan mengangkat gaya busana basic yang sportif. The Self Improvers Kaum muda yang tumbuh di era digital; penuh semangat bereksplorasi dalam dunia maya. Di sana mereka menemukan realita baru yang memenuhi kebutuhan sekaligus melampaui keterbatasan dunia nyata. Selalu tertantang meningkatkan kemampuan dan jati diri dengan bereksperiman. Menggabungkan diri dengan teknologi digital; membentuk sebuah pembauran dunia nyata dan dunia maya, menciptakan kondisi dimana manusia dan teknologi kecerdasan buatan (Artificial Intelligence) semakin terjalin. Pada gaya trend ini, batas antara dunia nyata dan duni a maya s ema k in menghilang, sehingga menimbulkan dunia yang baru, dengan gaya design yang eksperimental, sehingga menghasilkan gaya-gaya yang fun, cute, dramatis dan mengarah ke futuristik. Warna-warna cerah merupakan palet warna dominan dari The Self-Improvers. Warna-warna tersebut bisa berdiri sendiri atau diaplikasikan dalam multi gradasi. Kata kunci The Self Improvers: multidimensions, real x v irtual, unpredictable The Self Improvers dibagi lagi menjadi empat sub tema: Kidult: Dunia maya membangkitkan semangat dan jiwa kekanakan untuk bereksplorasi dan bermain dengan temuan-temuan baru, yang diterjemahkan dalam teknik dan pengolahan bahan, serta bentuk menggembung. Te c h Pa ra d ox : Du n i a v irt u a l mendorong ketidaklaziman busana yang berbeda dari realita yang diterjemahkan melalui siluet, warna detail, material, struktur – atau gabungan dari beberapa unsur tersebut. Simulation: Kecanggihan teknologi mewujudkan angan-angan untuk menjadi bagian dari hasil kreasi dan inovasi. Melalui Artificial Intelligence atau kecerdasan buatan, manusia dapat merepresentasikan dirinya melalui avatar yang menggunakan busana dengan desain fantastis di luar realita. New Reality: Terinspirasi dari dunia maya, gaya design ini membangun realita berdasarkan pengalaman bersama dari dunia augmented reality yang diwujudkan dan diterjemahkan menjadi busana yang lebih berdaya pakai. ▪Red B-Teks/ Shinta Djiwatampu Fashion Design Program Director LaSalle College Jakarta Read more here


WARTA DUNIA EROPA Industri pakaian jadi menghadapi kesulitan berat berupa inflasi dan resesi yang diperkirakan akan meningkat tinggi, percepatan perubahan iklim dunia dan kesadaran lingkungan hidup para konsumen. Salah satu yang harus diperhatikan oleh industri pakaian jadi untuk menghadapinya adalah sustainability, dinyatakan bahwa mereka yang melakukan inovasi untuk meminimalkan dampak lingkungan akan berkembang. Terkait sustainability pendekatan sederhana yang dapat diambil adalah identifikasi sektor yang paling membebani lingkungan yaitu: ekstraksi material, kegiatan produksi, transportasi dan penanganan limbah akhir pakaian bekas. Yang popular sekarang ini adalah daur ulang botol PET bekas, sebenarnya fokus utama yang harus dilakukan gas adalah daur ulang pakaian bekas atau yang dikenal sebagai garment to garment waste. Pakaian bekas ini mempunyai potensi “menguburkan bumi” dengan volumenya yang besar dan bila tidak didaur ulang akan berpotensi merusak lingkungan, pembakaran akan membuat polusi udara sedangkan pembuangan di tempat sampah memerlukan waktu ratusan tahun untuk terurai sempurna, dan pada saat penguraiannya pakaian bekas ini akan menyumbang gas rumah kaca ke atmosfer. Ditawarkan saran bagi entitas industri pakaian jadi dan retailer sebagai berikut: 1. Beralih ke serat daur ulang terutama dengan basis natural seperti kapas, 2. Menggunakan waste pakaian bekas atau menggalakkan upcycle textile 3. Gunakan serat hasil inovasi bahan nabati seperti serat jagung, kulit apel atau kaktus 4. Gunakan serat alam nabati yang mengkonsumsi air jauh lebih hemat dalam pertumbuhannya 5. Menggunakan bahan baku yang bersertifikat seperti Better Cotton Initiative dan Responsible down & Wool standard 6. Menanam modal dalam pertanian regenerative 7. Produksi dan transportasi yang rendah jejak karbon Yang diharapkan dari pelaku bisnis pakaian jadi adalah: 1. Menghindari produk yang mengikuti trend fast fashion yang mendorong pemborosan 2. Desain produksi memperhitungkan keseluruhan siklus pakai dengan memasukkan daya tahan pakaian dan kemudahan daur ulang 3. Promosi dan sosialisasi cara perawatan pakaian, cara meningkatkan masa pakai dan pencucian yang ramah lingkungan 4. Promosikan closed loop industry dengan mengenalkan daur ulang pakaian seperti kemitraan dengan badan amal untuk penarikan kembali pakaian bekas untuk didaur ulang. (Just Style) TURKI Turki dalam statistik perdagangan pakaian jadi Dunia masuk sebagai pemasok terbesar ke 6 Dunia dan sebagai nomor urut 3 dalam ekspor pakaian jadi ke Uni Eropa. Asosiasi Eksportir Pakaian Stanbul Turkiye mengungkapkan bahwa salah satu faktor yang memungkinkan hal tersebut adalah eratnya hubungan mereka dengan Uni Eropa yang sudah dibina selama ini, mereka juga menerapkan prioritas dan prinsip yang diterapkan oleh rantai nilai global. Realisasi ekspor tekstil dan pakaian jadi Turki pada tahun 2021 mencapai US$31,2 miliar. Pekerja yang diserap industri ini sebesar 1,2 juta orang pekerja pabrik, mereka bekerja dilingkungan pabrik yang modern dan terjaga keamanan kerjanya. Secara keseluruhan dengan sektor terkait, industri TPT Turki menampung lebih dari 2 juta pekerja yang bila ditambah dengan keluarga mereka maka sekitar 12,5 juta orang menggantungkan kehidupannya di industri tekstil dan pakaian jadi Turki. Terdapat banyak imigran yang masuk ke Turki, antara lain dari Suriah yang sedang mengalami perang dinegaranya. Ada isu yang menyatakan bahwa Turki menggunakan tenaga imigran ini dalam industri pakaian jadi mereka dengan tidak memenuhi social clause yang mengatur tentang kesejahteraan dan keselamatan para pekerja. Asosiasi Eksportir Pakaian Istanbul menyatakan bahwa mereka mengekspor hampr 70% hasil produksinya ke Eropa dengan menggunakan audit regular dari brand internasional Eropa dengan menerapkan ketentuan-ketentuan yang berlaku di Eropa bagi para pemasok pakaian jadi ke negara-negara tersebut. Ditegaskan bahwa Turki tidak mengeksploitasi pekerja imigran dan pekerja anak dalam industri mereka. Keunggulan utama industri pakaian jadi Turki adalah mereka dapat memproduksi pakaian jadi berkualitas tinggi sesuai standar pasar Uni Eropa. Dalam proses produksi pabrik-pabrik di Turki mempekerjakan tenaga muda yang dinamis dan terdidik, selain itu mereka menerapkan regulasi yang mengadopsi standar peraturan Uni Eropa dalam hal kondisi kerja, hak asasi manusia dan standar lingkungan hidup. Selain itu, kedekatan jarak dari Turki ke negara-negara Uni Eropa juga merupakan nilai tambah bagi Turki. (Just Style) TAIWAN Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) Taiwan dianggap masih mempunyai potensi untuk ditingkatkan. Guna pengembangan ini industri TPT Taiwan diarahkan untuk melakukan beberapa hal sebagai berikut: 1. Menciptakan keragaman produk TPT yang mempunyai nilai tinggi Taiwan sudah berhasil melakukan diferesiasi produk TPT mereka dengan tingkat kualitas baik dan mempunyai nilai tambah tinggi, hal ini telah menempatkan industri TPT Taiwan pada posisi terhormat dalam perdagangan TPT Dunia. Telah melewati posisi industri TPT negara-negara Asia lainnya, industri TPT Taiwan berlomba dengan hasil produksi industri TPT negara-negara terkemuka seperti Eropa, Amerika Serikat dan Jepang. Pengembangan lanjutnya industri TPT Taiwan diarahkan untuk produksi barang-barang tekstil yang memiliki value added tinggi dan produk yang beragam sesuai kebutuhan konsumen Dunia , dengan menggunakan material unik melalui rekayasa teknologi dan mengikuti trend fashion untuk menghasilkan functional textile dan garment. 2. Membangun supply chain untuk produk ramah lingkungan Negara-negara di Dunia dipaksa untuk memperhatikan dan mengambil Langkah untuk mengatasi masalah pemanasan global yang memperburuk ecosystem bumi. Kesadaran warga Dunia atas kelestarian lingkungan membuat mereka menuntut produk TPT eco-friendly yang masuk kepasar. Produsen tekstil Taiwan sudah mulai meningkatkan investasi untuk memproduksi barang tekstil seperti: daur ulang nylon, daur ulang botol plastic, biobased eco textile, bahan baku tekstil dari biota laut dan proses produksi yang hemat air. Untuk memperkuat rantai pasok mereka di distribusi perdagangan tekstil Dunia Taiwan harus memperkuat kemampuan teknologi sesuai trend pasar ini sambil mematuhi regulasi terkait kelestarian lingkungan hidup. 3. Menciptakan tekstil Function yang mengikuti trend Fashion Warga Dunia semakin sadar akan hidup sehat , karenanya tuntutan akan pakaian olahraga dan pakaian untuk menghadapi cuaca ekstrim semakin meningkat dan ini akan membuka pasar bagi functional textile, pada saat yang sama kesadaran akan trend fashion semakin meningkat. Preferensi konsumen diarahkan pada gaya hidup yang mengkombinasikan: olahraga, kerja dan kualitas kehidupan. Hasilnya adalah meningkatnya kebutuhan akan tekstil yang mereka sebut sebagai function and fashion textile. Taiwan telah mendirikan fasilitas R&D untuk menguatkan industri TPT mereka dalam mensuplai kebutuhan pasar Dunia atas functional textile product sebagaimana yang diminta oleh banyak brand internasional yang memproduksi pakaian olahraga berkualitas tinggi. 4. Meningkatkan kapasitas design dan branding Beberapa brand internasional terkenal sudah mempercayai industri TPT Taiwan untuk menjadi sumber kebutuhan mereka. Perlu dilakukan pemantauan atas trend fashion sehingga Taiwan dapat mengikuti perkembangan design berkualitas yang sedang menjadi mode di pasar. Disamping itu upaya promosi dengan melakukan branding dianggap hal yang perlu dilakukan secara efektif guna mengkonsolidasi setiap tahap secara keseluruhan, mulai dari kegiatan produksi, supply chain, promosi, sampai ke pasar guna menjamin kesuksesan industri TPT Taiwan dalam jangka panjang. 5. Menciptakan smart textile Belakangan ini terlihat bahwa smart textiles menjadi prioritas dalam permintaan pasar produk tekstil. Selain untuk pakaian sport, smart textile diperlukan untuk produk Kesehatan dan tekstil kebutuhan manusia lanjut usia. Smart textile memerlukan beberapa fungsi penting seperti: performance, kenyamanan pakai, pengindraan dan pemantauan serta interpretasi pintar atas penggunanya. Smart textile ini didukung oleh teknologi IT, teknologi biomedical yang inovatif, yang mana keberhasilan Taiwan akan ditentukan oleh inovasi yang melibatkan kerjasama antar disiplin ilmu.


6. Mengembangkan supply chain TPT yang berkualitas Untuk pengembangan lanjut dan meningkatkan daya saing Taiwan harus fokus dalam aspek-aspek: upgrading dan transformasi industri, memenuhi ketentuan tentang CSR dan business sustainability. Dengan bantuan penuh dari pemerintah industri TPT harusnya diarahkan ke praktek produksi yang mencakup: lean manufacturing, memaksimalkan efisiensi produksi dan produktifitas dengan memanfaatkan Internet of Thing (IoT), Big Data dan teknologi Cloud. BELGIA Asosiasi Perguruan Tinggi Tekstil Dunia Autex (the Association of Universities for Textiles) yang didirikan pada tahun 1994, mempunyai 41 anggota dari 28 negara. Lembaga nirlaba yang beralamat di Technologiepark 70A, 9052 Zwijnarde, Ghent Belgium ini mempunyai misi untuk memfasilitasi kerjasama dalam pendidikan dan penelitian tekstil yang terdiri atas: 1. Promosi kegiatan dan prestasi perguruan tinggi tekstil di kancah global 2. Fasilitasi kerjasama pengembangan dan pelatihan tekstil maju dikalangan anggota 3. Mendorong mobilitas dan jaringan pertukaran mahasiswa dan staf akademika diantara perguruan tinggi tekstil anggota 4. Menumbuhkan kemitraan penelitian yang aktif dikalangan anggota dan mitra yang lain 5. Menyebarluaskan hasil karya penelitian dibidang ilmu, teknologi dan design tekstil melalui jurnal berkala 6. Menyelenggarakan konferensi untuk mnyebarluaskan isu mutakhir kepada professional tekstil dan mahasiswa tekstil 7. Bekerjasama dengan lembaga lain yang peduli akan tekstil dan produk tekstil 8. Menawarkan penyelenggaraan kursus dan pelatihan akademis dengan topik terkait tekstil 9. Melakukan proyek-proyek bidang tesktil yang didanai oleh public. Konferensi yang akan diadakan Autex dimasa mendatang ini antara lain: 1. Tahun 2023: RMIT di Melbourne Australia 2. Tahun 2024: Textile University of Liberec, Czech Republic 3. Tahun 2025: Textile University Dresden, Germany 4. Tahun 2026: ESITH, Morocco 5. Tahun 2027: ENIM, Tunisia Topik konferensi yang dilaksanakan: Advanced Fibres and Materials; Innovative Functional Textiles; Technical Textiles, Composites and Membranes; Protective Textiles; Medical Textiles; Tissue Engineering; Implants; Smart, Interactive and Multifunctional Textiles; Textile Processing; Innovative Textile Structures; Nanotechnology; Nanotextiles, Electrospinning; Biopolymers and Biotechnology; Surface Functionalization and Coating; Textile and Clothing Machinery; Textile Testing, Measuring Technology; CAD/CAE-Technology, Mass Customisation; Modelling and Simulation; Fashion – Design and Garment Industry; Comfort Science; Conservation of Textiles; Ecological and Environmental Textiles, Recycling and Life Cycle Analysis; Textile Economy, Textile Supply Chain Management; Innovation and Entrepreneurship; Modern Textile Education and Training; Leather and shoes industry. (Autex) UZBEKISTAN Strategi pencegahan dan mitigasi yang digerakkan oleh pekerja dengan kuat diperkirakan tidak diterapkan diseluruh tingkatan produksi perkebunan kapas di Uzbekistan, hal ini ditegaskan akan dapat menggagalkan upaya penghilangan kerja paksa di sektor kapas ini. Uzbek Forum's Cotton Chronicle 2022 menerbitkan hasil pemantauan masyarakat sipil independen atas kegiatan panen kapas Uzbekistan tahun 2022 dalam laporan berjudul Observations Of Uzbekistan's Cotton Harvest, menunjukkan bahwa walaupun kemauan politik untuk mengakhiri kerja paksa tetap kuat, kemajuan yang dihasilkan selama ini dikawatirkan terancam gagal dan perlu dilakukan reformasi yang kuat dan terarah. Program Kerja Paksa Forum Hak Buruh Internasional yang menjadi leading sector dalam kampanye kapas menyatakan bahwa panen 2022 yang menjadi panen pertama sejak pemerintah Uzbekistan secara efektif mengakhiri kerja paksa yang dijalankan negara, menunjukkan bahwa kegiatan ini tidak akan menunjukkan hasil tanpa keiikutsertaan para pekerja dalam memantau dan melaporkan pelanggaran-pelanggaran atas hak-hak pekerja. Dinyatakan bahwa kebebasan berserikat bagi pekerja dan petani sangat penting untuk mewujudkan industri kapas yang bebas kerja paksa yang eksploitatif. Kampanye Kapas menyatakan bahwa pemerintah harus melibatkan seluruh unsur terkait industri kapas yang terdiri atas: masyarakat sipil, petani kapas, perwakilan sah dari pekerja pemanen agar dapat terbangun mekanisme yang kuat untuk mencegah dan mengurangi pelanggaran hak dalam setiap tahap produksi. Terbentuknya mekanisme ini akan menjadi satu-satunya jalan untuk menjamin Uzbekistan menjadi negara pemasok serat kapas yang memenuhi standar perdagangan Dunia. Ditengarai bahwa pejabat tinggi pemerintah pusat telah menekankan secara konsisten agar pejabat lokal daerah tidak boleh menggunakan kerja paksa dalam industri kapas. Namun ditemui kenyataan bahwa pemerintah terus melakukan control ketat terhadap pelaksanaan panen kapas untuk memastikan terpenuhi target hasil panen pada masing-masing daerah. Tekanan pemenuhan target produksi terhadap otoritas pemerintah daerah ini menyebabkan mereka tetap menggunakan tenaga kerja paksa dalam panen kapas karena kurangnya tenaga kerja pemanen kapas sukarela. Internasional brand dalam tekstil dan pakaian jadi memantau ketat perkembangan di Uzbekistan apakah praktek kerja paksa ini terus berlanjut atau sudah dihentikan dan hal ini akan menjadi pegangan mereka untuk menetapkan apakah Uzbeksitan dapat atau tidak menjadi sumber barang kebutuhan mereka. Cotton Campaign menegaskan bahwa pemerintah Uzbekistan harus mengatasi persoalan kerja paksa dan menunjukkan komitmen untuk taat pada standar hakhak buruh internasional, sekarang inilah waktu reformasi untuk bergerak maju. MYANMAR Serikat Pekerja Global yang menangani hal-hal terkait kondisi kerja dan hakhak pekerja menyatakan bahwa situasi hak asasi manusia semakin memburuk di Myanmar. Serikat Pekerja telah bertemu dengan brand internasional pakaian jadi untuk membahas “Kerangka Kerja yang Bertanggung jawab” untuk exit dari Myanmar, sesuai dengan rambu-rambu regulasi yang ditetapkan oleh Prinsip Panduan PBB tentang Hak Asasi Manusia (UNGP) dan Organisasi Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD). Ethical Trading Initiative (ETI) melaporkan bahwa due diligence kebebasan berserikat tidak mungkin dilakukan dan Serikat Pekerja tidak difungsikan sebagaimana mestinya di Myanmar. Sehubungan dengan hal ini setelah pertemuan dengan Serikat Pekerja, beberapa international brand pakaian jadi telah mengumumkan niat mereka untuk menghentikan kegiatan sourcing pakaian jadi mereka di Myanmar, sementara yang lain telah menyatakan kesediaan untuk membahas secara mendalam persyaratan exit dari Myanmar. Para brand internasional didesak untuk tidak menempatkan pesanan baru, hanya menyelesaikan pesanan yang masih sedang dalam proses produksi, memastikan semua hak hukum pekerja dan pembayaran upah mereka diberikan sebagaimana ketentuan yang berlaku dalam masa transaksi Tarik diri dari Myanmar. Tantangan besar yang dihadapi negeri ini adalah tidak adanya jaminan sosial dan sistem hukum yang berfungsi untuk menjamin bahwa para pekerja dibayar sesuai dengan hak mereka. Dinyatakan bahwa banyak brand yang bermaksud mempertahankan sumber produksi mereka di Myanmar karena mereka mengira bahwa segala regulasi dijalankan dengan baik di Myanmar, namun ETI menegaskan bahwa: dalam kondisi yang ada sekarang tidak mungkin untuk menjalankan bisnis secara etis dan bertanggung jawab di Myanmar. ETI menyambut baik bahwa diskusi tentang tanggungjawab brand intarnasional terhadap pemasok dan pekerja ini telah dibawa lebih meluas keluar teritori negara Myanmar. ASEAN menyatakan keperihatinan atas eskalasi kekerasan yang terjadi di Myanmar yang meningkatkan jumlah korban serta penderitaan besar yang dialami rakyat Myanmar. Komite ASEAN akan bertemu pada 8 November 2022 di Kamboja untuk melaksanakan KTT ASEAN guna membahas hal-hal mendesak termasuk krisis kemanusiaan di Myanmar. Berita terbaru menyatakan bahwa salah satu brand internasional terkemuka, ADIDAS pada tanggal 7 November 2022 telah memulai penyelidikan ke pabrik pemasok mereka di Myanmar, untuk mengungkapkan fakta-fakta lapangan setelah terjadinya pemogokan Serikat Pekerja yang menuntut masalah pembayaran upah dan pemecatan terhadap pekerja-pekerja. ▪ Red B-Teks/ Indra I Read more here WARTA DUNIA


W W W . B U L E T I N T E K S T I L . C O M NOVEMBER, 2022, EDISI KE - 23 INDONESIA'S G20 PRESIDENCY Becomes Hope for Navigating the Global Crisis INNOVATION OF WATER CARCHING CLOTH FROM FOG G20 Summit Contributes IDR 7.4 Trillion GDP Uniting the Nation Through Batik Building an Integrated GRC CULTURE


Read more here W W W . B U L E T I N T E K S T I L . C O M Jakarta, November 4, 2022 T he G20 Summit will be held in Bali, Indonesia. The series of meetings have started from December 1, 2021 to November 15-16, 2022. Two priority agendas in the discussion of the G20 Indonesia 2022 Presidency are the Finance Track and the Sherpa Track. The Finance Track is a discussion of global economic and financial issues. While the Sherpa Track is a discussion related to broader issues such as climate change, trade, food and energy, geopolitics, and other important issues. The Minister of Foreign Affairs, Retno Lestari Priansari Marsudi, stated that Indonesia was the leader of global resolution actions that prioritized collaboration between countries with a win-win solution paradigm. She added that the G20 Indonesia 2022 Presidency must support each other in finding solutions to the global crisis and grow stronger and more sustainable. In BUMN Startup Day, President Joko Widodo admitted that this year until next year (2023) will be tough years and difficult times. All will be difficult to calculate. Therefore, the President invites all parties to focus on how to encourage economic recovery after the Covid19 pandemic and as a means to lead collaboration between countries through the G20 Indonesia Presidency in 2022. The Covid-19 pandemic has caused a domino effect for the global economic downturn. This begins with the slowing of the velocity of money around the world which causes the economy of a country to not work properly. It is proven that more than 90% of countries in the world experience food inflation above 5%. Commodity prices, especially food and energy, also jumped sharply. The increase in food prices will affect the prices of raw materials at the industrial and market (consumer) levels. To avoid inflation, affected countries generally raise interest rates in the next few years. Russian-Ukrainian invasion worsens this condition which resulted in a food security crisis; rising energy prices, restricted trade policies, and supply chain disruptions. This is because these two countries are the world's main producers of commodities and energy. Almost all countries in the world depend on Russia's Fossil Fuels to meet the energy and electricity needs of their respective countries. Indonesia must be prepared to face the threat of a recession i n 2 0 2 3 . T h e recession will have various direct impacts on several financial sectors such as taxes and investment, including a decline in the quality of life and the economy of the community. This recession also has an impact on reducing the burden of employee salaries which causes mass layoffs. In such conditions, the number of unemployed will increase due to difficulty in finding work. During a recession, the global economy is estimated to grow by around 2.8% in 2022 and decline to less than 1% to 0.5% in 2023. Global economic growth in 2023 will certainly have a major impact on the recession that will occur in Indonesia next year. Meanwhile, the Minister of Finance, Sri Mulyani Indrawati, chaired the G20 Finance Ministers and Central Bank Governors (FMCBG) Meeting on October 12-13, 2022 in Washington DC. This is the last meeting before the G20 Summit on November 15-16 in Bali, Indonesia. The World Bank predicts that countries in the world will experience a recession in 2023. At the meeting, Sri Mulyani reminded that the global food crisis will also continue to threaten the world until 2023. Each country must face high inflation, slow economic growth, energy and food insecurity, climate change, and geopolitical fragmentation. Despite experiencing the impact of the recession, Indonesia has become one of the formidable countries in stabilizing the economy in the midst of the global crisis. Core Inflation and Indonesia's economic growth is one of the strongest compared to other countries in Southeast Asia, especially in the Second Quarter of 2022 GDB. The increase in interest rates in Indonesia as of August 2022 is also only 4.69% (lower). Indonesia will continue to maintain a healthy and sustainable state budget to face the challenges of the global recession. The Minister hopes that there will be concrete actions to overcome complex global economic problems. This can only be done by a firm commitment from each country to solve global economic problems. She also hopes that Indonesia can be used as an example for other countries in their economic recovery policy strategies. Sri Mulyani believes that the Indonesia's G20 Presidency in 2022 is a new hope that can help the world navigate the wave of crises that have destroyed the economies of almost all countries in the world. ▪ Red B-Teks/ Ly Source Bagas Dirgantara Economic Observer from the Institute for Economic and Community Research (LPEM) FEB UI INDONESIA'S G20 PRESIDENCY Becomes Hope for Navigating the Global Crisis


Jakarta, November 4, 2022 T he Secretary of the Coordinating Ministry for Economic Affairs Susiwijono Moegiarso said the G20 Summit is estimated to absorb 33,000 workers from various sectors i.e. transportation, accommodation, meetings, incentives, conventions, and exhibitions (MICE), and micro, small and medium enterprises (MSMEs). Susiwijono said that compared to the annual meeting in 2018, this year's revenue could increase 1.5 to 2 times higher. He explained that during the August-September period, 15 ministerial meetings were held in Bali. This figure shows that there has been an increase of more than 70% of traffic in the transportation sector. "We haven't seen the GRDP (gross regional domestic product), but from transportation traffic and occupancy rates there has been an increase, including the side event supporting sector," he said. He predicts that the G20 Summit will contribute around IDR 7.4 trillion to GDP, including an increase in domestic consumption to IDR 1.7 trillion. The Secretary reported that as many as 438 events had been held in 25 cities with various levels of meeting since December 1, 2021. He added the entire series provided great benefits, especially in encouraging economic growth. Meanwhile, the Expert Staff for the Utilization of Maritime Resources at the Coordinating Ministry for Human Development and Culture (Kemenko PMK), Nyoman Shuida, said that the G20 had a maximum and direct impact on the community. Some of the success indicators, he explained, include an increase in foreign tourists to 1.8–3.6 million and 600,000–700,000 new jobs from the culinary, fashion, and craft sectors. In the hospitality business sector, the occupancy rate of hotel rooms, especially in Bali, has increased significantly compared to the COVID-19 pandemic in 2021. According to the Indonesian Hotel and Restaurant Association (PHRI), during the 2021 COVID pandemic, the hotel room occupancy rate was only around 20 percent, but now it has reached around 70 percent. "Similarly, labor absorption in the tourism sector, especially hotels, has reached around 80 percent of workers who were laid off during the pandemic,"Nyoman said. According to Nyoman, the consistency of these achievements must be monitored and maintained to deal with potential global crises such as inflation, food, and energy crises after the G20 Summit. "We hope that the G20 Summit can formulate various significant policies and help overcome problems related to human and cultural development in Indonesia,"Nyoman concluded. ▪ Red B-Teks/ Ly G20 Summit Contributes IDR 7.4 Trillion GDP Jakarta, November 3, 2022 M any observers predict that 2023 will still be a difficult year for the textile industry to survive in the local and global markets. Weakening demand from major exporting countries as well as the flood of imported products in the domestic market is evidence of the difficulties of the textile industry. This is also a justification for employers to lay off employees. As a labor-intensive industry, textiles are very vulnerable to the issue of layoffs. The Indonesian Chamber of Commerce and Industry (Kadin) notes that the number of workers in the textile industry reached 3.65 million people or around 18.79% of the total national manufacturing industry workers. Dependence on the US dollar is also one of the reasons the textile industry continues to experience an increase in production costs. A real example is the Greenback which is showing its power against foreign currencies, including the rupiah. According to Kadin, Indonesia is still facing high imports of cotton and other raw materials by the domestic textile industry, which is still quite high, reaching US$ 1,866.1 million. Meanwhile, Indonesia's cotton exports were only US$ 868.4 million. Energy costs also refer to dollar values. The average cost of electricity for production in Indonesia is USS 10 Sen/Kwh. This fee is high compared to other countries such as Vietnam and Bangladesh which is only USS 7 Sen/Kwh and USS 6 Sen/Kwh. The condition of machines with low technology also causes textile productivity in Indonesia to lag behind. This encourages textile producers to prefer importing rather than producing their own. Kadin Indonesia reported that textile exports in September and October 2022 fell by around 30% compared to the same period in 2021. This was as a result of the decline in demand from the US and Germany by 20% -30%. The far-reaching effect of this condition is layoffs. Recently PT. Kahatex in Sumedang, West Java, reported that it had laid off 900 employees. Referring to records issued by the Indonesian Textile Association/API, around 43,000 textile industry employees have been laid off since the Covid-19 pandemic. Kadin admits that the challenges of the textile industry are very heavy, but Kadin hopes that layoffs are the last solution chosen by entrepreneurs. ▪Red B-Teks/ Ly Textile Business Prediction in 2023 Read more here Read more here


Jakarta, November 3, 2022 T he West Java Textile Entrepreneurs Association (PPTPJB) reported that since two weeks ago, 64,000 workers had been laid off from 124 companies in 14 districts and cities in West Java. “This situation is more severe than Covid-19. During Covid-19, we only can't ship but we have a market. Meanwhile, this time the market is unpredictable,” General Chairperson of PPTPJB, Yan Mei, said in a virtual press conference on Wednesday, November 2, 2022. The layoffs occurred due to a decline in consumer purchasing power, especially in the largest export destination countries such as the United States and Europe. Yan Mei said that at her own factory, located in Bogor Regency, there has been a 50 percent decline in orders since April 2022. The situation became more difficult in the following months, orders destabilized until they fell by as much as 70 percent. So far, 18 textile companies have closed which resulted in the termination of around 9,500 employees. This figure is expected to continue to grow as new reports come in. The unpredictable geopolitical situation between Russia and Ukraine has also caused logistical disruptions to international food supplies. As a result, food inflation can continue to soar and make people prioritize food spending as a basic need rather than spending on textile products. “This situation will take many victims. For that, we hope that the government can relax, whether from BPJS (Social Security Administering Agency) or anything that can be considered, " Yan Mei said. If food inflation goes out of control, he is worried that the decline in purchasing power will deepen and layoffs will continue to occur. If the layoffs continue, the company will have more difficulty in carrying out the production process. Therefore, he hopes that the government will immediately implement policies so that the textile industry can be safe. "We must continue to speak to the government, asking to find the best solution for the current situation," he said. Yan also noted that the decline in exports also occurred in large companies such as Nike, Victoria Secret, and others. In fact, the rate of decline has now reached 40-50 percent. Meanwhile, the Head of Public Policy of the Indonesian Employers' Association (Apindo) Danang Girindrawardana responded to the news of mass layoffs in the textile industry sector. He admitted that he could not explain the total number of employees who were laid off. "We are still waiting for data on the number (of employees affected by layoffs) from Apindo members and related associations," said Danang. Meanwhile, the President of the Confederation of Indonesian Worker Unions (KSPI) Said Iqbal denied the issue of layoffs of 45,000 workers in the textile, garment, shoe, and automotive industries. This issue coincides with the threat of a recession next year. Said Iqbal considers the threat of recession used by a number of entrepreneurs to take advantage. The socalled 'black businessman' used the recession as an excuse not to raise wages. Minister of Finance's Response to Mass Layoffs in the Textile Industry The Minister of Finance, Sri Mulyani Indrawati, acknowledged that Indonesia's export performance was affected by the global economic turmoil. As a result, the decline in export demand began to have an impact on layoffs in the textile industry. The weakening of exports was also reflected in data from Indonesia's Manufacturing Purchasing Managers' Index (PMI), which was at the level of 51.8 in October 2022. Although this level indicates that the manufacturing sector is still in an expansionary stage, it has decreased compared to September of 53.7. “Our manufacturing is still above the expansion zone, although lower than in September. We estimate that in terms of export demand, there will be an impact with the possibility of weakness in developed countries," the Minister said. Therefore, the government seeks to encourage state spending in the fourth quarter to increase domestic demand. However, she did not deny that all falling foreign demand could be fully substituted with domestic demand. “However, we will compensate for requests that cannot be substituted. We will continue to see from all these sectors and then what policies need to be formulated further in response to global trends," he explained. For information, state spending as of September 2022 has only reached Rp. 1,913.9 trillion or 61.6% of the budget allocation. Sri Mulyani explained that fiscal policy is indeed aimed at spending the determined allocation. So we hope that it can support domestic demand at a time when global economic demand weakens. “The existence of high inflation and a strengthening exchange rate will of course also cause changes in the performance of the economies in Europe, America and China," explained Sri Mulyani. ▪ Red B-Teks/ Ly Read more here 64,000 Textile Industry Workers lay off, Really?


Jakarta, November 6, 2022 T he issue of increasing the concentration of CO2 gas, as one of the industrial emission products, has become a global problem. Based on the results of observations of CO2 measurements in the atmosphere from the National Oceanic Atmospheric Administration (NOAA) in the United States in 2020, it was found that CO2 gas levels in the atmosphere had increased by more than 50% from pre-industrial levels at atmospheric levels of 421 parts per million (ppm). CO2 pollution is produced by burning fossil fuels for transportation and power generation, cement manufacturing processes, and other human activities. Carbon dioxide along with other greenhouse gases traps heat radiating from the surface of the planet Earth. This gas, if it doesn't escape into space, causes the atmosphere to continue to heat up. This impacts a range of weather conditions, including extreme heat, droughts, wildfires, higher rainfall, floods and tropical storms. Naturally, trees and plants have a role in absorbing CO2 levels in the atmosphere, but the limited green open land and forestry have become a fact that is currently being faced. This can be used as a reminder that we need to take urgent and serious steps regarding this matter, including possible innovative solutions to this problem. Conventional Carbon Capture Technology Currently, researchers are developing several types of innovative carbon capture technologies which are expected to be a solution to the CO2 pollution problem faced by the world. One example of a solution that has been found at this time is the method of carbon capture by electrochemical processes. However, this method still requires high electricity costs and must be removed in the CO2 gas reduction process in electrochemical cells. This shows that we still need to develop innovative technologies in terms of capturing CO2 pollution to be more comprehensive in terms of cost and effectiveness. Illustration of conventional carbon capture method by electrochemical process using electrical energy Functional Textiles for Carbon Capture Functional textile materials that can absorb CO2 from the air are one of the latest innovative breakthroughs from NCSU researchers today. North Caroline State University (NCSU) in the United States has published the results of its research in the journal ACS Sustainable Chemical Engineering a few months ago. In order for the textile material to have functional properties, then an active ingredient called carbonic anhydrase is inserted, so that the fabric can absorb CO2 gas from the air or gas in the environment. This project was successfully funded by the U.S. Department of Energy, with the collaboration of Dr. Min Zhang (National Renewable Energy Laboratory) and Dr. Jesse Thompson (University of Kentucky's Center for Applied Energy Research), and sponsored by the company Novozymes as the producer of the carbonic anhydrase enzyme. A functional textile material that can absorb CO2 from the air, developed by a research team from NCSU The functional textile material is made with a substrate in the form of cotton cloth on which carbonic anhydrase enzyme is attached to the surface. Carbonic anhydrase is an enzyme found in all tissues of mammals, plants, algae, and bacteria. Carbonic anhydrase helps in the conversion of CO2 and water into bicarbonate (HCO3-) and protons (H+) (and vice versa). COTTON FUNCTIONAL ADVANCED Textile Material with Carbonic Anhydrase as an Absorber of CO2 Pollution in the Air


This process is essential for life and central to respiration, digestion, and regulation of cellular pH levels. In this case water is needed in the process of converting carbon dioxide gas, so cotton cloth was chosen as the main substrate because it has hygroscopic properties and can easily absorb water. This provides an advantage because the area that can be wetted by water is increasing. The fabric and gas contact area can also make the conversion wider. Conversion of carbon dioxide gas and water into bicarbonate with the help of the enzyme carbonic anhydrase To make the functional fabric, enzymes are attached to a two-ply piece of cotton cloth by 'dipping' the cloth in a solution containing chitosan. Chitosan acts like the glue that attaches carbonic anhydrase to cotton fabrics. The material binds to enzymes, which then stick to the surface of the fabric. A series of experiments were carried out by the researchers to see how efficiently the cloth could separate carbon dioxide from a mixture of carbon dioxide and nitrogen. This research was conducted to determine the ability of textile materials to selectively absorb carbon dioxide from a mixture of gases in the atmosphere. In this experiment, the cloth was rolled into a spiral and put into a test tube chimney. Then the researchers put carbon dioxide and nitrogen gas into the chimney of the tube containing the cloth. Researchers then sprayed dew simultaneously into the tube. When CO2 gas reacts with water and enzymes in the flue tube, the CO2 turns into bicarbonate and drips into the filter. The process produces a bicarbonate solution that can be used for more useful purposes. The advantages demonstrated through this system are that the fabric can capture CO2 from the environment, can operate passively without requiring electricity in the chemical process, and produce a by-product in the form of a bicarbonate solution that can be used for more useful purposes. When the researchers pushed a mixture of CO2 and N2 gases through the chimney containing the cloth at a rate of 4 liters per minute (lpm), they found that the cloth could absorb as much as 52.3 percent of the carbon dioxide it passed. Researchers also claim that the absorption process with this method as much as two passages can absorb and 81.7 percent of the carbon dioxide that is passed. This shows a fairly positive potential for the usefulness of the materials proposed by the researchers. The researcher also revealed that the application of technology in vehicle gas exhaust still needs to be studied further. This is related to the environmental temperature in the vehicle exhaust system which tends to be hot which can reduce the stability of the carbonic anhydrase enzyme performance to absorb CO2 from exhaust gases. Carbon Looper (CO2 Catching Cloth) Carbon Looper is a brand of carbon-capturing cotton fabric products in collaboration with the H&M Foundation and HKRITA (Hong Kong Research Institute of Textiles and Apparel). These functional fabrics can be produced by treating cotton fabrics with a solution containing amines and making the fabric surface able to capture carbon dioxide from the surrounding air. Carbon dioxide can then be released from the fabric by heating to 30-40°C, in a greenhouse for example, where CO2 is taken up by plants during photosynthesis, so that the carbon dioxide is looped back into the natural carbon cycle. In other words, the captured carbon is not converted into other products, but is still released under certain conditions. Back when the cloth is warmed to 40oC. The amount of CO2 absorbed by standard-sized clothing per day is roughly the equivalent of 1/3 of the amount absorbed by trees (assuming trees absorb 15 – 60 grams of CO2 per day). Carbon Looper product in the form of a cooking apron used in a restaurant in Stockholm The current stage of the research involves hands-on testing in collaboration with Fotoska Stockholm, where restaurant staff will wear Carbon Loopers in the form of an apron. The restaurant's hydroponic garden in the basement can serve as a CO2 release facility. So when the apron is finished (which has absorbed CO2 during employee use), the apron can be stored in a warm room in the hydroponic garden so that CO2 gas can be released from clothing, then further absorbed by plants. Illustration of carbon dioxide release from carbon looper cloth when heated, then carbon dioxide is reabsorbed by plants. Until this article was written, researchers are still looking for possible carbon capture technology methods that can be applied as a solution to the global problem of increasing CO2 gas pollution. ▪ Red B-Teks/ Andrian Wijayono Magister Rekayasa Tekstil & Apparel, Politeknik STTT Bandung Read more here


Jakarta, November 7, 2022 T he celebration of Batik Day throughout October 2022 is still vibrant. After 2 years of not being held due to the pandemic, throughout last October, people in various regions seemed so enthusiastic and expressive in celebrating it. In Jakarta, the Indonesian Batik Foundation held the longest Fashion Street, starting from the HI Roundabout to the front of the FX Mall. This activity is also recorded in MURI. Likewise in Jambi, the activities carried out broke the MURI record in wearing the most Jambi Batik. The event was attended by tens of thousands of ASN in 9 Regency Governments and 2 City Governments. In Malang, around 580 people with disabilities make 500 m splash batik at the Malang City monument roundabout. This activity is also recorded in the MURI. While in Solo, commemorate by wearing a kebaya with the First Lady, Iriana Jokowi. In other areas there are still many areas that commemorate it in their own way. Likewise with Indonesian representatives who are in other countries. Batik does not only belong to certain tribes or communities. Its existence has spread in various corners of the archipelago to representatives in foreign countries. All have the same rights and obligations in developing and preserving Indonesia's original cultural heritage. Because of this similarity, national unity will be established through a piece of 'wastra' (traditional cloth of the archipelago). Through a work of cultural heritage in the process of decorating a cloth called batik. It is a matter of pride to be able to develop and preserve batik. While the technical development is carried out in various ways according to each regional character. One example is that of batik from Kediri. The moment of National Batik Day was used not only to hold works in batik parades and batik bazaars but also to strengthen regional vision and character by holding Jagongan Batik carrying the theme, Finding the Identity of Kediren Batik. Two experts attended the event as resource persons i.e. Adi Kusrianto as a lecturer and batik book writer and Adi Wahyono as a batik craftsman from Kediri who just won the Kediri Regency batik motif. In the dialogue, Adi Kusrianto motivates the batik makers to be enthusiastic about producing works that reflect the batik character of Kediren.Based on history, gringsing batik pattern comes from Kediri. It was based on a reference from the Dutch writer, Gerret Pieter Rouffaer (1860-1928). In his book De Batik Kunst in Nederlandsch Indie, he mentions that the Gringsing pattern has existed since the 12th century in Kediri. He concluded that the pattern could only be made with a pen called a canting. Meanwhile, Adi Wahyono stated that it was time for Kediri to have batik that had character, reflecting regional characteristics. The character can be raised through the motif or coloring. Besides Kediri, Pasuruan also held a unique event on Batik Day. They held a Batik Camp event with a batik discussion agenda and sharing knowledge in batik and also making batik umbrellas. The moment of National Batik Day is increasingly opening awareness that batik seems to be 'ingrained' in society. The hope, through the work will strengthen the unity of the archipelago. Synergy exists everywhere. And more importantly, may this surge not only be a moment of commemoration. However, it is sustainable and continues to rise to raise the distinctive culture of the archipelago on the world stage. The Beginning of Batik Day What is the chronology of the birth of National Batik Day? Batik was first introduced to the international world by President Suharto while attending a United Nations conference. Indonesian batik was registered for intangible cultural heritage (ICH) status through the UNESCO office in Jakarta by the office of the Coordinating Minister for People's Welfare, representing the Government of Indonesia and the Indonesian batik community, on September 4, 2008. On January 9, 2009, the application for batik for UNESCO's Humanitarian Heritage for Oral and Intangible Culture was officially accepted, and batik was confirmed at the fourth session of the Intergovernmental Committee on Intangible Cultural Heritage held by UNESCO in Abu Dhabi on 2 October 2009. At the trial, batik was officially registered as a Humanitarian Heritage of Masterpieces of Oral and Intangible Culture at UNESCO. The Indonesian government issued Presidential Decree No. 33 of 2009 which stipulates the National Batik Day as well in order to increase public awareness of efforts to protect and develop Indonesian batik. Secretary General of the Ministry of Home Affairs Hadi Prabowo signed Circular Letter Number 003.3/10132/SJ regarding the Use of Batik Shirts in the Context of National Batik Day 2 October 2019. Based on the circular, the Ministry of Home Affairs appealed to all officials and employees within the provincial and district/city governments to wear batik clothes on Wednesday. ▪ Red B-Teks/ Ratna Devi Through Batik UNITING THE NATION Read more here


Jakarta, November 8, 2022 B efore discussing about GRC in corporations, let's first get to know the various Types of Corporate Culture - Corporations: ▪ Clan Culture: Bonds of togetherness like a family, positive relationships in the work environment, open communication, shared commitment and collaboration; ▪ Adhocracy Culture: The most creative cultures in each organization are Risk Takers and Innovators. There is a strong commitment to creating new standards, maintaining continuous improvement, constantly looking for creative solutions, innovation. Visionary, entrepreneurial spirit, individual with initiative, and independent. ▪ Market Culture: The end result always comes first, aggressive competition, assertive leader and high work demands; Outstanding employees are highly valued and receive proper recognition; "Result Oriented Organization" ▪ Hierarchical Culture: The main one is 'Structure and Control'. The company has a clear and formal definition with a strict set of Protocols, Rules, Regulations and Policies to ensure regularity. Strengths: Stability of control and work processes and certainty (predictability). Governance, Risk and Compliance (GRC) is a structured way to align IT with business objectives while managing risk and meeting all industry and government regulations. The GRC includes tools and processes to integrate organizational governance and risk management with innovation and technology adoption. Companies use GRC to achieve reliable organizational goals, eliminate uncertainty, and meet compliance requirements. Current State of Corporate Culture FACT OR REALITY: 1. There are still many corporations that implement GRC – separately or in silos, or in stages. 2. The information obtained is partially incomplete and comprehensive. Fragmented IT -Digital 1 3. Limited Organizational Understanding of a Principled Performance, especially the Highest Leaders in the Organization – Corporations – TONE AT THE TOP 4. Ethical Behavior – Integrity is not yet an inherent part. In the organization 5. The GRC is not yet integrated into the corporate culture. Why is GRC so Important? CURRENT FACT OR REALITY 1. There are still many corporations that implement GRC – separately or in stages, for example starting from Risk Management – Risk Management, Compliance – Compliance and Governance – Governance. There is an overlap or duplication in its application so that it has an impact on increasing costs and the lack of harmony in the activities of organizations - corporations. 2. The partially obtained information is incomplete and comprehensive, officials or people in the ranks of the organization, including the leadership, receive information that is inaccurate and overdue and even absolute is no longer useful; IT Utilization – Digital is Partial – Not fully integrated. BUILDING AN INTEGRATED GRC Culture


3. Limitations of Organizational Understanding of a Principled Performance, especially the highest leadership in the Organization - Corporations, so that the message conveyed to the lower ranks about the importance of working in an integrated manner is not strong enough - lack of "Tone at the Top" in the form of leadership commitments: directions, orders, instructions and examples. In most corporations, the responsibility for implementing GRC in an integrated manner is left to the ranks under the Board of Directors, for example to the Corporate Secretary or Division Head. 4. The Ethical Foundation and Behavior of Integrity have not yet fully become an inherent and integral part of the individual and the Staff – Organizational Unit – Corporate. = Fraud and Corruption are still common. 5. The GRC has not yet been entrenched in the Corporation, therefore a planned and systematic effort is needed through “Training”. The purpose of the training is to make the Integrated GRC important, understood and implemented in an orderly, sustainable manner and become a joint commitment of all levels of the organization. They feel bound and obligated to do it. Building a GRC Culture To build a GRC culture, the main thing is to change the mindset. The OLD Way of Thinking: ▪ Heavy Assets (Land, Buildings, Machinery) ▪ Resource Control ▪ Tangibility (Land, Building, etc.) ▪ Value Chain ▪ Internal Efficiency ▪ Internal Governance (Control) ▪ Industry Analysis ▪ Industry Analysis (with clear boundaries) NEW Way of Thinking ▪ Asset Light (Technology) ▪ Resource Orchestration ▪ Intangibility (Network Effect) ▪ Ecosystem ▪ Ex ternal Efficiency (Interaction) ▪ Ex ternal Governance (Rating, Review) ▪ Arena Analysis (Borderless Sector) ▪ Arena Analysis (Borderless) After changing the mindset, set the goal, namely Building a Culture to Be More Harmonious. Responsive. Agile, Tough, Efficient Principled performance What must be done is GOOD GOVERNANCE PRINCIPLES, COMPLIANCE and MANAGED RISK. The principles of good governance include Transparency Accountability, Responsibility, and Independence Fairness. Compliance includes Tone at the Top beyond Rule and regulations; Mandatory and Voluntary; Ethical Driven Vs, Regulated Driven. Meanwhile, Mapped Risks are risks that are well mapped and comprehensive, including: Operations (Process, Social, and Environmental), Finance, Policy, Politics and others and periodic reviews. How to build a culture to be more harmonious. Responsive. Agile, Tough, Efficient? TRAINING AND GUIDANCE In House or Collaborative, for a complete understanding of Integrated Governance, Risk Management and Compliance Must be measured regularly CERTIFICATIONS Knowledge Management Competency Utilization of IT – Digital – New Era “ Information Quality “ The BENEFITS of implementing GRC is that the corporation becomes agile and able to adapt quickly and accurately to anticipate changes in the business environment as well as the achievement of Objectives, Short-term and Long-term targets and continue to grow and create Shared Value. Provide assurance that the Company is run ethically, and with integrity to achieve the best set goals. Growing in a healthy manner and providing assurance for Share Holders and other Stakeholders that the implementation of the Duties of the Board of Directors and Commissioners is solely for the best interest of the Corporation. Resilient and Responsive Organization and grow healthy and sustainable. Ethical behavior is the basis of all structures, systems, organizational structures, and human resources. Companies that have practiced the GRC Culture are Blue Bird: Collaboration with Go-Jek for application-based transportation – the digital platform is the goal; to anticipate the Risk - Business Revenue decline, because Passengers switch to transportation types that are easy in service availability: Go-Jek and Go-Car and to capitalize on the "Trust" that has been built as a reliable transportation; Employee Empowerment Program that retires as a form of ethical action. ▪ Red B-Teks/ Ben Da Haan Read more here


Jakarta, November 9, 2022 The issue of water availability is currently a concern for some regions of the world. Low rainfall in certain areas is also a factor causing drought in the region. BBC News Indonesia reported that in 2019 around 1.7 billion people in 17 countries were at risk of drought with “water supply pressures” at extreme limits. The World Resources Institute (WRI) states that at least 400 regions of the world live in conditions of "extreme water shortage". Drought due to low rainfall has exacerbated these conditions, so that many areas are experiencing a water supply crisis. Industrial development, population growth, urbanization, depletion of water resources and deforestation are some examples of factors that contribute to the problem of the water crisis. Therefore, researchers are trying to develop methods to find economically viable water resources to overcome various problems. In parts of Europe and the Middle East, desalination is the only source of recovering fresh water. Desalination is a process that removes excess salt content in water to obtain water that can be consumed by animals, plants and humans. This process also produces table salt as a by-product. However, the desalination method is quite expensive due to operational costs and high energy consumption. It is a scientific fact that the atmosphere contains 37.5 million gallons of water in the invisible vapor phase, i.e. in the form of atmospheric mist. Atmospheric fog is a substantial source of fresh water. Harvesting mist water with high efficiency is an attractive approach to mitigating the threat of water shortages. This method of water harvesting can be a very good choice if the area has limited water sources and distribution of water sources due to geographical reasons, but has quite a lot of fog. The conventional fog capture method can be done by spreading textile material in the form of a mesh with a certain density. Next, the mist will pass through the net and be caught by the stretched surface of the net. When the accumulated dew particles have accumulated enough to become water droplets on the mesh section, then the water droplets will drip under their own weight and be accommodated in the container. Ethiopia is one of the regions that have successfully implemented this method by building the Warka tower and it can produce drinking water of 25 gallons of water/day/one tower. Nylon or polypropylene mesh was used as a netting material to catch the mist on the tower. Two men carry leftover water they took from a small drying pond on the outskirts of Chennai, India. (Reported from BBC News Indonesia) Seawater desalination center in Saudi Arabia Fog capture facilities to produce water for agricultural activities The Warka Tower takes the shape of a 30-foot-tall flower vase in Ethiopia used to harvest drinking water from the fog The working principle of catching water from fog by using nets Innovation of Water Catching Cloth from Fog


Biomimicry Approach Catching water from fog is basically obtained through a biomimicry approach (imitating nature), namely human technology adopted based on how plants and animals can get water from the air. Some animals such as spiders have provided examples of being able to capture water from the air using their webs. In addition to cobwebs, the phenomenon of catching water from the air is also carried out by several other animals and plants such as desert insects, desert grasses and desert cacti. The three examples of animals and plants have the ability to survive in extreme climates by obtaining water from the air. Desert insects, for example, acquire the ability to capture water from the air with hydrophilic-hydrophobic properties in their shell bodies. In addition, cacti gain the ability to capture water through the structure of the spines on the surface of their stems, so that water can be caught on the spines and flow in capillaries on the stems of plants. This shows that the water content in the atmosphere can be used as a source of water for life. Possibility of Optimizing Water Capability from the Air Even though this technology has had a fairly good performance, the space for textile material innovation is still very open, especially in the development of mesh fabrics with optimum characteristics in dew harvesting.Researchers have taken several approaches to optimize aspects of the harvesting function of textile materials, including: through variations of the most optimum fabric structure modification to catch dewthrough variations of surface modification or coating using certain materials so that the fabric can catch moisture. Modification of the structure of the water-catching fabric from the air Denkendorf's Institute of Textile Technology and Process Engineering (DITF) and The University of Tübingen have collaborated to develop an airborne water-catching textile using the Spacer fabric structure model approach.To function optimally, the water-catching fabric from the air must have tear-resistant, breathable, and selfcleaning properties, in addition to having good porosity. Researchers found that the spacer knit fabric structure they produced with a special construction was able to produce up to 8 liters of water catchment per day for every one square meter of fabric (about 80% of the water aerosol content in the air) compared to conventional mesh fabrics with a yield of about 3 liters per day for every meter. These spacer fabrics provide better absorption and desorption properties because they have greater air permeability than ordinary mesh fabrics.This fabric also has advantages in terms of the tensile strength of the fabric and better tear resistance, making it more durable when used in dew catching operations. Surface Modification/Coating Using Certain Materials Using a biomimicry approach, the researchers further developed the ability to capture water from the air, inspired by how desert insects, desert grasses and desert cacti work in capturing water from the air. The researchers found that the configuration of the hydrophilic and hydrophobic wetting properties in such an arrangement provided the species with excellent water catching capabilities. Researchers then replicated the configuration of the wetting properties onto a sheet of polycarbonate (PC) cloth coated with SiO2- phenyl methyl silicone resin nanoparticles (super hydrophobic). Heterogeneous wetting properties configuration with a mixture of hydrophilic and hydrophobic properties for mist-catching fabrics Coating of hydrophobic regions on fabric The results of this study found that fabrics that have been coated using a heterogeneous configuration of wetting properties (hydrophilic and hydrophobic alloys) can capture water from the air much better than fabrics with homogeneous wetting properties. With optimization continuously developed by researchers, this technology is expected to be one of the innovative solutions to overcome the water crisis faced by mankind. ▪Red B-Teks/Agung Haryanto, processed from various sources The capture of water from the air by desert insects, grasses and desert cacti The capture of water from the air that occurs in cobwebs The spacer knit fabric structure is wetted by water coming from the air Read more here


Jakarta, November 4, 2022 Director of the Center of Economics and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, said that the 30 percent decline in Indonesian textile exports was due to reduced purchasing power in the United States and European markets. Director of the Center of Economics and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, said that the 30 percent decline in Indonesian textile exports was due to reduced purchasing power in the United States and European markets. He said a number of steps can be taken by the government and Indonesian textile exporters so that the industry can be saved from the threat of a global recession in 2023. First, Indonesia must quickly seek new potential export markets. The government also needs to move faster using trade attaches or chamber of commerce representatives in North African and Middle Eastern countries. Previously, Trade Minister Zulkifli Hasan said he would invade new export markets such as Africa, Eastern Europe, South Asia, Central Asia, and the Middle East. However, according to Bhima, this is not an easy step because there are already many competitors from Indonesia, namely Vietnam, Bangladesh, and even from Eutopia (starting to dominate). Bhima hopes that the government will compete faster with other textile exporting countries. Moreover, economic growth in the Middle East and North Africa has now reached 5.5 percent based on data from the International Monetary Fund (IMF) 2022. Although it is predicted to slow down next year at around 3 percent, the two regions' economies are still growing positively. On the other hand, the transfer of the Indonesian market depends on international brands since the profile of the textile industry in Indonesia is still largely outsourced from international brands. Therefore, he suggested that exporters and the government should communicate with the international brands so that they continue to choose Indonesia as their production base. Bhima suggested that exporters should make some adjustments, particularly with regard to the ingredients and tastes of African and Middle Eastern consumers. This is because the quality and tastes of consumers in Africa and the Middle East are very different from those in Europe and the United States. "Other things that need attention are also the color and type of fabric, there are special characters," he said. According to Bhima, the government's efforts to expand the export market must be followed by the provision of relaxation and efforts to prevent termination of employment or layoffs. For example, increasing wage subsidies for the textile sector or tax incentives. In addition, the government must control imports of textiles and apparel. Local textile producers are getting tougher because they have to compete with imported products. Indonesia with a high population is a big market but local entrepreneurs can't enjoy it because they can't compete. Causes of Indonesia's Export Import Decline in September 2022, Kadin Said The Central Statistics Agency (BPS) noted that Indonesia's goods trade balance in September 2022 experienced a surplus of US$ 4.99 billion. Despite the surplus, Indonesia's export-import performance is still slowing. The value of Indonesia's exports in September 2022 decreased by 10.99 percent compared to August 2022. Last month, Indonesia's total exports only reached 24.80 billion US dollars. The value of imports in September 2022 also decreased by 10.58 percent compared to August 2022. The value of imports in September was only US$ 19.81 billion. According to a member of the Indonesian Chamber of Commerce and Industry (Kadin) for Monetary Policy and Financial Services, Ajib Hamdani, Indonesia's exports and imports are slowing because global economic activity is experiencing a general contraction. Ajib said the export-import slowdown was also due to the government's focus on economic transformation by doing more downstream processing. According to him, in the long term, it this will strengthen the national economy. "But in the short term it will create a contraction of import-export activities," he concluded. ▪Red B-Teks/ Ly Read more here TEXTILE EXPORTS DROP, Economists Offer Solutions to Save the Country from the 2023 Recession


The impact of the pandemic has made humans aware that in order to survive, humans must be able to coexist with fellow humans and other living creatures. Humans must help each other, collaborate, and be inspired by many things. Therefore, the theme CoExist was chosen to be the big theme for Indonesia Trend Forecast 2023-2024. Trends emerge from various things happening in the world which then change people’s thinking patterns. The pandemic caused many undesirable events. Many people are forced to stop working and are forced to think creatively in order to survive. The pandemic has also encouraged many people to have empathy for their fellow human beings and to help those who need help more. With so many people quitting their jobs due to economic hardship, the middle class is shrinking. Economic difficulties coupled with high prices for goods have resulted in a decline in people’s purchasing power. This forces them to think more practically and live a more minimalist life. With such incidents, many people seek a balance between life and nature, namely by moving to remote areas and practicing off-grid living, namely living by fulfilling their own needs without relying on big city facilities. . In addition, many people are also more aware of their own health, so many turn to a more natural and healthy lifestyle. The digital world is one of the things that has been greatly pushed forward with the pandemic. Most people are now more literate with digital technology. Digitally or hybridly held events or conferences are very common nowadays. The Metaverse is one of the digital advances that this phenomenon is strongly driven by. Metaverse is a virtual world created to interact with other users and because that world is virtual, they can create and fantasize freely. Something that is not possible in the real world, in the virtual world can be realized. There are four major consumer groupings for the Co-Exist theme, namely: 1. The Survivors 2. The Soul Searchers 3. The Saviors 4. The Self Improvers The Survivors Long in an uncertain situation, The Survivors try hard to stay afloat. In the midst of limitations and shortcomings, they remain optimistic. This optimism is what makes them think positively, giving birth to creativity so that the wheel of life keeps turning. Frugality becomes a new way of thinking. Stores of old items are reused, even designed into new shapes and looks with a very thick vintage feel. Reuse, renewal, and upcycle are part of their daily life. The point is how basic old items are then added to new things, such as modified pieces to produce new designs, but still feel the vintage and retro impression. Bright and strong colors dominate the color palette of The Survivors, reflecting their passion and optimism. Keywords for The Survivors: vintage, unique, sporty casual. The Survivors theme is further divided into four sub-themes: 1. Optimistic: Optimistic and still enthusiastic, marked by the use of geometric motifs combined with bright and contrasting colors, but still neat and dandy. 2. Thrifty Chic: Frugality is the main mindset of this style. Old clothes are reinvented, recreated with added accents, or changed in shape and appearance. 3. Retro: Vintage clothes from the past are recreated with a new twist. Large floral motifs or abstract motifs a re combined with geometric motifs. 4. Logic: Seeing simplicity from a different point of view. This trend intelligently transforms a simple (basic) silhouette into something different from before, for example by lengthening, shortening or eliminating. INDONESIAN FASHION TREND 2023-2024: CO-EXIST Jakarta, November 15, 2022 I ndonesian fashion trend forecast is again presented by the Indonesia Fashion Chamber. The latest edition is Indonesian Fashion Trend 2023-2024 with the theme Co-Exist. The COVID19 pandemic that has hit the world for the past 3 years has given birth to various new habits (new normals) which have now become daily habits.


The Soul Searchers Finding emotional balance is a dream after being burdened with work for a long time. The Soul Searchers seek serenity in beautiful and remote places. Enjoying the beauty of the natural atmosphere in the countryside, soaking up the romantic simplicity of the local people really gives you a feeling of relaxation and peace. Uniting and having fun with the locals brings new inspiration in The Soul Searchers fashion style. This trend refers to market groups who want to appear stylish but not excessive, in a frugal but creative manner. This trend is dominated by styles that are softer, more comfortable, close to nature, relaxed, and bring a cool atmosphere. Natural colors in soothing and calming pastel shades dominate The Soul Searchers. You can also add bold colors as accents to give a more joyful impression. Keywords The Soul Searchers: rural places, healing, exotic. The Soul Searchers theme is divided into four sub-themes: 1. Joyful: A carefree and carefree atmosphere is created through a silhouette that is completely loose and comfortable to wear. Light materials with pastel colors are widely used, coupled with patchwork accents. 2. Healing: This style embraces the beauty and wisdom of nature, respecting and loving nature by embodying and applying plant motifs and using vegetative colors. 3. Rustic: Romanticism and the beauty of the simplicity of living in a remote place is the focus of this style. Rustic crafts or local crafts that are made in a simple way are appreciated and become an inspiration. 4. Rural: The warm and friendly clothing style of the local population is the inspiration for the design, coupled with accessories that are characteristic of the local culture. The Saviors Always driven to help, The Saviors continue to take the initiative to help others in need. No matter the differences, they work together to overcome obstacles. Brave, determined and independent, The Saviors make the most of their abilities and tools. This style encourages a more masculine design trait, but adds a mix of cultures in it. Masculine shades of gray dominate The Saviors. Combined with cobalt blue and dusty pink colors as accents, this color palette will be more interesting and not boring. The Saviors’ keywords: activism, sportive, masculine, empathetic The Saviors theme is further divided into 4 sub-themes: 1. Transcultural: With the spirit of cooperation and mutual assistance, cultural diversity actually becomes harmony. The bold mixing of motifs like those found in the Sekar Jagat batik motif is the inspiration for this style. 2. Inventive: The readiness to face all obstacles inspired this style to equip itself with clothes that are practical and multifunctional, such as in the development of variations of blouses and hoodie jackets. 3. Valiant: Tough, dashing and strong military soldiers are the inspiration for this style, but refined through silhouettes and materials that are more flexible and supple. 4. Humanism: Humanist thinking is the inspiration for this style. An understated and not excessive appearance reflects the empathy and ethical values ​that are adhered to, by promoting a basic, sporty fashion style. The Self Improvers Young people who grew up in the digital age; passionate about exploring the virtual world. There they discover a new reality that meets their needs and transcends the limitations of the real world. Always challenged to improve abilities and identity by experimenting. Combining with digital technology; forming an amalgamation of the real world and the virtual world, creating conditions where humans and artificial intelligence technology are increasingly intertwined. In this style trend, the boundaries between the real world and the virtual world are increasingly disappearing, giving rise to a new world, with an experimental design style, resulting in styles that are fun, cute, dramatic and futuristic. Bright colors are the dominant color palette of The SelfImprovers. These colors can stand alone or be applied in multiple gradations. Keywords The Self Improvers: multidimensions, real x v irtual, unpredictable The Self Improvers are further divided into four sub-themes: 1. South: The virtual world evokes the spirit and the childish spirit to explore and play with new inventions, which are translated into techniques and materials processing, as well as bulging forms. 2. Tech Paradox: The virtual world encourages unconventional fashion that is different from reality which is translated through silhouettes, detailed colors, materials, structures – or a combination of these elements. 3. Simulation: The sophistication of technology makes dreams come true to be part of the results of creation and innovation. Through Artificial Intelligence, humans can represent themselves through avatars that wear clothes with fantastic designs outside of reality. 4. New Reality: Inspired by cyberspace, this design style builds reality based on shared experiences from the world of augmented reality which is realized and translated into clothes that are more wearable. ▪Red B-Teks/ Shinta Djiwatampu Fashion Design Program Director LaSalle College Jakarta Read more here


WORLD NEWS EUROPE The apparel industry is facing serious difficulties in the form of high inflation and recession, accelerating world climate change, and consumers' environmental awareness. To deal with this problem, the apparel industry must pay attention to sustainability issues. Any company that innovates to minimize its environmental impact will thrive. Sustainability is carried out by identifying sectors that burden the environment, namely: material extraction, production activities, transportation and final waste handling of used clothing. What is popular today is recycling used PET bottles. Actually, the main focus that gas should do is recycling used clothes or what is known as garment to garment waste. These used clothes have the potential to "bury the earth". With a large volume and if it is not recycled it has the potential to damage the environment and combustion will create air pollution. Meanwhile, disposal in the trash takes hundreds of years to completely decompose. When decomposed, these used clothes will contribute greenhouse gases to the atmosphere. To overcome pollution caused by used clothing, the apparel industry and retailers get the following suggestions: 1. Switch to recycled fibers especially with natural bases like cotton 2. Using used clothing waste or promoting up cycle textiles 3. Use fiber resulting from plant-based innovations such as corn fiber, apple skin or cactus 4. Use natural vegetable fibers that consume water much more sparingly in their growth 5. Using certified raw materials such as Better Cotton Initiative and Responsible down & Wool standard 6. Invest in regenerative agriculture 7. Low carbon footprint production and transportation Apparel business actors are also expected to do the following: 1. Avoid products with fast fashion trends 2. The production design takes into account the entire life cycle by incorporating the durability of the garment, and the ease of recycling 3. Promotion and dissemination of ways to care for clothes, ways to increase their service life, and environmentally friendly washing 4. Promote closed loop industry by introducing clothing recycling such as partnerships with charities for recalls of used clothing for recycling. (Just Style) TURKEY Turkey is the 6th largest apparel supplying country in the world and the third largest apparel exporter in the European Union. According to the Istanbul Turkey Clothing Exporters Association, this achievement is inseparable from the good trade relations between countries so far. They also apply the priorities and principles adopted by global value chains. Turkey's textile and apparel exports in 2021 will reach US$31.2 billion. While the workers absorbed by this industry amounted to 1.2 million people. They work in a modern and gated factory environment. Overall, Turkey's textile industry hosts more than 2 million workers. When added to their families, about 12.5 million people depend on Turkey's textile and apparel industry for a living. There are many immigrants who enter Turkey, including from Syria which is experiencing war in their country. There are rumors that Turkey uses these immigrant workers in their apparel industry by not fulfilling the social clause that regulates the welfare and safety of workers. The Istanbul Clothing Exporters Association states that its members export almost 70% of their production to Europe using regular audits of European international brands. They apply the provisions that apply in Europe to suppliers of apparel to these countries. It was emphasized that Turkey does not exploit immigrant workers and child labor in their industry. The main advantage of the Turkish apparel industry is that they can produce high quality apparel according to European Union market standards. In the production process, factories in Turkey employ dynamic and educated young workers. In addition they implement regulations that adopt European Union regulatory standards in terms of working conditions, human rights, and environmental standards. The proximity of Turkey to EU countries is also a plus for Turkey. (Just Style) TAIWAN Taiwan's textile industry still has potential for improvement. For its development, the Taiwanese textile industry is directed to do the following: 1. Creating various of textile products with high value This country has succeeded in product differentiation with a good level of quality and high added value. This has placed the Taiwan textile industry in a respectable position in the world textile trade. Taiwan's textiles have managed to outperform other Asian textile industries. Taiwan's textile production is already on par with leading manufacturers in countries such as Europe, the United States and Japan. Currently, the Taiwanese textile industry is geared towards a variety of products with high added value according to the needs of world consumers. The materials used are unique through engineering technology and follow fashion trends to produce functional textiles and garments. 2. Building a supply chain for environmentally friendly products Countries in the world must pay attention and take practical steps to overcome the problem of global warming that worsens the earth's ecosystem. The awareness of the citizens of the world for environmental sustainability makes them demand that textile products on the market must be eco-friendly. Taiwanese textile manufacturers have begun to increase investment in producing textile goods such as: nylon recycling, plastic bottle recycling, bio-based eco textile, textile raw materials from marine life, and water-saving production processes. In order to strengthen the supply chain, Taiwan's textile trade must strengthen technological capabilities according to this market trend while complying with regulations related to environmental sustainability. 3. Creating Functional textiles by following the Fashion trend Citizens of the world are increasingly aware of healthy living; hence, the demand for sportswear and clothing for extreme weather is increasing. This opened up the market for functional textiles to increase their sales. At the same time awareness of fashion trends is increasing. Consumer preferences are directed at a lifestyle that combines: sports, work and quality of life. The result is the increasing demand for textiles they call function and fashion textiles. At the same time, Taiwan has also established R&D facilities to strengthen their textile industry in supplying the needs of the world's functional textile product market. 4. Increase design and branding capacity Several well-known international brands have trusted the Taiwan textile industry to be the source of their needs. To cooperate with international brands, Taiwanese textiles need to monitor fashion trends so they can keep abreast of quality designs and market trend fashions. In addition, promotional efforts by carrying out branding need to be carried out effectively in order to consolidate each stage as a whole, starting from production activities, supply chain, promotion, to the market to ensure the success of the Taiwan TPT industry in the long term. 5. Creating smart textiles Recently, smart textiles have become a priority in the market demand for textile products. Smart textiles are not only needed for sportswear but also for health products and textiles for the needs of the elderly. This requires several important functions such as: performance, wear comfort, sensing and monitoring and intelligent interpretation of the user. This smart textile is supported by IT technology, innovative biomedical technology, in which Taiwan's success will be determined by innovation involving collaboration between disciplines. T H E


6. Developing a quality TPT supply chain For further development and increasing competitiveness, Taiwanese textiles should focus on the following aspects: industrial upgrading and transformation, compliance with CSR provisions, and business sustainability. With full support from the government, the textile industry should be directed to production practices that include: lean manufacturing, maximizing production efficiency and productivity by utilizing Internet of Thing (IoT), Big Data, and Cloud technologies. BELGIUM The Association of Universities for Textiles (the Association of Universities for Textiles), founded in 1994, has 41 members from 28 countries. This non-profit organization which is located at Technologiepark 70A, 9052 Zwijnarde, Ghent Belgium has a mission to facilitate cooperation in textile education and research which consists of: 1. Promotion of textile colleges' activities and achievements in the global arena 2. Facilitation of cooperation in the development and training of advanced textiles among members 3. Encourage mobility and exchange network of students and academic staff among member textile colleges 4. Foster active research partnerships among members and other partners 5. Disseminate the results of research work in the fields of science, technology and textile design through periodical journals 6. Organizing conferences to disseminate the latest issues to textile professionals and textile students 7. Cooperating with other institutions that care about textiles and textile products 8. Offers the organization of academic courses and training on textile-related topics 9. Undertake projects in the textile sector with public funds. Conferences that Autex will hold in the future include: 1. 2023: RMIT in Melbourne Australia 2. 2024: Textile University of Liberec, Czech Republic 3. 2025: Textile University Dresden, Germany 4. 2026: ESITH, Morocco 5. 2027: ENIM, Tunisia Conference topics held: Advanced Fibers and Materials; Innovative Functional Textiles; Technical Textiles, Composites and Membranes; Protective Textiles; Medical Textiles; Tissue Engineering; Implants; Smart, Interactive and Multifunctional Textiles; Textile Processing; Innovative Textile Structures; Nanotechnology; Nanotextiles, Electrospinning; Biopolymers and Biotechnology; Surface Functionalization and Coating; Textile and Clothing Machinery; Textile Testing, Measuring Technology; CAD/CAE-Technology, Mass Customization; Modeling and Simulation; Fashion – Design and Garment Industry; Comfort Science; Conservation of Textiles; Ecological and Environmental Textiles, Recycling and Life Cycle Analysis; Textile Economy, Textile Supply Chain Management; Innovation and Entrepreneurship; Modern Textile Education and Training; Leather and shoes industry. (Autex) UZBEKISTAN Prevention and mitigation strategies by workers are not implemented at all levels of cotton production in Uzbekistan. This could derail efforts to abolish forced labor in the cotton sector. The Uzbek Forum's Cotton Chronicle 2022 published the results of independent civil society monitoring of Uzbekistan's cotton harvest activities in 2022. The report entitled Observations Of Uzbekistan's Cotton Harvest shows that although the political will to end forced labor remains strong, the progress made so far is feared to be failing and needs to be done strong and purposeful reforms. The International Labor Rights Forum which is the leading sector in the cotton campaign stated that the 2022 harvest will be the first harvest since the government of Uzbekistan effectively ended state-run forced labor, indicating that this activity will not produce results without the participation of workers in monitoring and reporting violations on workers' rights. It was stated that freedom of association for workers and farmers is very important to realize a cotton industry that is free from exploitative forced labor. The Cotton Campaign states that the government should involve all elements related to the cotton industry consisting of: civil society, cotton farmers, and legal representatives of harvesters in order to build a strong mechanism to prevent and reduce rights violations at every stage of production. The establishment of this mechanism will be the only way to ensure that Uzbekistan becomes a cotton fiber supplier country that meets world trade standards. The central government has prohibited local local officials from using forced labor in the cotton industry. However, the government continues to exercise tight control over the implementation of the cotton harvest to ensure that the yield targets for each region are met. The existence of this obligation to meet production targets for local governments causes them to continue to use forced labor in cotton harvesting because of the lack of voluntary cotton harvesters. International brands in textiles and apparel are closely monitoring developments in Uzbekistan whether this practice of forced labor continues or has been stopped. This will be their basis for determining whether or not Uzbekistan can become a source of goods they need. The Cotton Campaign emphasized that the government of Uzbekistan must address the issue of forced labor and demonstrates a commitment to adhere to international labor rights standards. MYANMAR The Global Trade Union which deals with matters related to working conditions and workers' rights stated that the human rights situation is deteriorating in Myanmar. Trade unions have met with international apparel brands to discuss a “Responsible Framework” for exiting Myanmar, in accordance with regulatory guidelines set by the United Nations Guiding Principles on Human Rights (UNGP) and the Organization for Economic Cooperation and Development (OECD). The Ethical Trading Initiative (ETI) reports that due diligence on freedom of association is not possible and that trade unions are not functioning properly in Myanmar. In this regard, after meeting with the Trade Unions, several international apparel brands have announced their intention to stop their apparel sourcing activities in Myanmar. Likewise others have expressed a willingness to discuss in depth the terms of exit from Myanmar. International brands were urged not to place new orders. They are only allowed to complete orders that are still in the process of being produced, ensuring that all legal rights of workers and payment of their wages are provided according to the provisions in force during the transaction period. Withdraw from Myanmar. The major challenge facing the country is the absence of a functioning social security and legal system to ensure that workers are paid what they are entitled to. Many brands want to keep their production sources in Myanmar because they think that all the regulations are well implemented in Myanmar. However ETI insists that under current conditions it is not possible to conduct business ethically and responsibly in Myanmar. ETI welcomes that the discussion on the responsibility of international brands to suppliers and workers has been carried out more widely beyond the territory of Myanmar. ASEAN expressed concern over the escalation of violence that occurred in Myanmar with the increasing number of victims and the great suffering experienced by the people of Myanmar. The ASEAN Committee will meet on 8 November 2022 in Cambodia to carry out the ASEAN Summit to discuss pressing matters including the humanitarian crisis in Myanmar. One of the leading international brands, ADIDAS, on November 7, 2022 has started an investigation into their supplier factory in Myanmar to reveal the facts on the ground after the Labor Union strike that demanded payment of wages and dismissal of workers. ▪ Red B-Teks/ Indra I Read more here T H E


CREATOR & SOCIAL MEDIA CONTENT Adis Fadila Nosa MG GRAPHIC GESIGN Nyoman RadityaAndika MG CONTRIBUTORS Jabodetabek : Beddi A.Y. West Java : Kalay Selwan East Java : Hasnoel Usman North Sumatera : Boyke Silitonga MEDIA INDOTEX Name : BULETIN TEKSTIL Publisher : Indonesian Textile Institute (INDOTEX) Graha Surveyor Indonesia 16th Floor Jl. Jend. Gatot Subroto Kav. 56, Jakarta 12950 +6221 5772171 [email protected] www.buletintekstil.com EDITOR-IN-CHIEF Indra Ibrahim MARKETING: Yuliab Koersen EDITOR Shinta Djiwatampu For Advertisements, Promotions, and Company Profiles, please contact our marketing at: 0812-1949-1062 (Yuliab Koersen) WEB & IT Surya Sanjaya MG MANAGING EDITOR Lili Sumarna MG EDITOR Elis Masitoh ADMIN MANAGER Riza Muhidin W W W . B U L E T I N T E K S T I L . C O M


Click to View FlipBook Version