KATA
sore pada senja
ANAK SAJAK
KATA
anak sajak
KATA YANG MENGANTARKAN
Buku Antologi Puisi anak sajak ‘Kata’ yang kami persembahkan untuk
seluruh masyarakat yang membaca. Memiliki tujuan untuk mengajak semua
pembaca untuk tidak pernah berhenti dalam menggapai impian dan berkarya.
Buku ‘Kata’ adalah tonggak yang tak pernah jatuh untuk menginspirasi
pembaca dalam berkarya dan berliterasi. Kata-kata yang terdapat dalam buku
ini akan menumbuhkan semangat yang tak akan pernah lekang dimakan
jaman.
Dengan bangga penulis mempersembahkan sebuah karya luar biasa dan
menjadikannya lebih luar biasa adalah semangat berkarya para pemuda
bangsa yang tak akan hilang oleh riuh ombak pantai yang seakan semakin
melahap jiwa yang tak bersalah, penulis mempersembahkan di ruang baca
kalian, buku ‘Kata’. Selamat berlayar mengarungi untaian kata di buku ini,
hai jiwa yang bebas !
Penulis
LELAH
Berjuang terus menerus tanpa hasil yang pasti. Hanya demi sebuah gelar yang
kapanpun bisa pergi. Tak tahu lelah ataupun letih. Juga tak sadar waktunya
untuk berhenti. Walau ku pun tahu jika bersamamu, hanya lara lah yang ku
rasa setiap hari. Tak bisa terhenti dan terus terjadi meski hati sudah menjadi
perih. Ku juga tak sadar karena ku selalu mengejar ambisi dan segala rasa
egois yang menggebu di dalam kalbu.
Memang lelah memang susah, tetapi tetap ku lakukan karena ku tahu bahwa
hati yang setia tak akan menyerah apapun keadaannya. Tetapi, hatimu
ternyata bukanlah hati yang setia. Hanya sebuah hati yang bisa menemukan
ruang untuk berteduh dimana saja dan kapanpun kau mau. Kecewa terasa tapi
raga tak dapat berbuat apa-apa. Hanya bisa menerima walau jiwa ingin
meronta.
(Silo, 2019)
SAPAAN MALAM
Dingin, sapa sang malam, tetap terdengar walau berakhir kelam. Tatkala ahrus
berdialog hingga menyelam dan muncul berkelebatan diantara alam.
Terdengar indah di sudut cakrawala yang berselimut keangkuhan tapi tak
tampak rupa. Malam selalu memberi bias cahaya untuk kita berimprovisasi
dalam dunia.
Hawa malam pernah berkata, hanya sunyi yang ada. Kemudian dia berkata
lagi, hanya ada bintang dan cahaya. Kembali dia bersuara, jangan kau takut
hingga meneteskan air mata. Angin malam ikut menyapa, hai aku adalah
terang, tapi terkadang aku masih ditantang. Angin malam kembali menyapa,
hai aku gelap, jangan takut padaku, aku hanya definisi yang dilupa olehnya
bahwa aku sering ditangisi.
(Boja,2019)
CAKRAWALA
Tampak seperti surga karena dia terlihat megah, bukan rumah mewah tapi
hanya segudang sawah. Kataku, kalau kamu menantang luas langit biru itu
seperti untaian kata tanpa tanda titik. Sejuk, teriak sang alam menyap
hantaman kabut yang datang seiring sang mentari Indah, kataku tapi tak
terhenti disitu Ia berkarya. Wahai sang Pencipta, kumandangkanlah
kebebasan. Jauhkan awan hitam kendaraan dan berikan sejuta makna tuk ukir
kenangan. Kenangan bersama sebuah masa, masa depan dunia.
(Boja, 2019)
IBUKOTA
Jalanan yang tidak menanjak dan menurun melainkan selalu mendua, ibarat
sebuah langkah agar engkau bisa berada di mana-mana. Dihiasi jerit tawa
yang seakan lepas di jalanan ibukota, tapi meringkuk menahan desir peluh air
mata sudah biasa. Kepadatan hari ini menjadi hiruk pikuk jalan kota berhias
untaian mobil tua yang selalu beriringan dengan kembali lepas jerit-jerit tawa.
Saat mentari terbit maupun lari terbirit inilah yang disebut Jakarta, inilah kota
penuh kenangan dengan musisi berkeliaran yang lihai memeluk irama.
Ribuan pencari dunia berjaket hijau mengadu nasib memutar roda, tanpa
terasa tubuh menjadi taruhannya. Tanpa itu semua Jakarta bukanlah sebuah
sarana, melainkan kembali kepada keyakinan semata.
(Boja, 2019)
PUASA
Sapa mentari dari persembunyian pagi tanda untuk membuka tudung saji yang
penuh akan harta duniawi. Harta yang siap memenuhi perut yang sudah
benyanyi, hingga kata siap muncul dalam benak tuk awali hari.
Panasmu jatuh siang ini, menimpa sejuta umat manusia. Entah apa takdir
berkata, terima apa yang menimpamu. Tapi bagiku ini adalah rejeki, bukan
musibah yang siap meluluh lantahkan dunia. Melainkan mengajarkan tentang
dunia yang bisu akan haru.
Secarik sajak menari lembut seiring sang mentari kembali keperaduannya.
Bersamaan terdengar tawa anak kecil menyentuh telinga hingga penuh akan
sukacita. Langit malam penuh akan indah bias kembang api penanda bahwa
kita adalah manusia. Aku mulai berlari kesana tak kunjung kembali dan aku
mendengar panggilan dari-Nya, dan aku sadar bahwa kewajiban bulan suci
penuh amanah tak perlu dilupa
(Boja, 2019)
SEJUTA SATU
Dingin ingin memeluk diri untuk ribuan konflik disini, yang hadir untuk
menghapus dengki walau hanya diam berdiri. Tumpukan etika akan harmonis
serta toleransi yang hampir menolak kata sinis bisa selesaikan masalah
dengan kritis hingga negri ini akan terasa manis.
Menolak lupa dan hadirkan sejuta satu perbedaan, itu jembatan akan hari yang
pernah tinggal dalam kenangan. Menemui isu yang berkeliaran bernyanyi
dalam canda pertanda bahwa marabahaya sudah semakin ada.
Tapi ini kita Indonesia bangsa yang tunggal dalam ika yang berusaha merajut
keindahan dalam satu wadah senyuman, berusaha untuk kembali melempar
luka dalam kenangan.
Ini kita Indonesia negara dengan sejuta satu budaya, dan selalu berujung
dengan keberhasilan yang mengangkasa. kembali kuberitahu ini kita
Indonesia negara dengan sejuta satu agama, memuja Tuhan yang beda tapi
satu dalam keindahan pelita.
Lihat ini kita Indonesia sejuta satu manusia yang hadir dalam tawa, menanya
akan hari jadi sebuah pelangi dalam indah wajah Indonesia
(Boja, 2019)
MALAM MINGGU
Berkumpul dan bersenda gurau tak menentu, langsung pecah akan tawa
yang menuntun perbincang akan apa yang terjadi esok minggu. Malam
penuh canda melempar senduakan haru, karena kita adalah kerumunan
manusia yang ingin menatap indah dunia jauh akan pilu.
(Ambarawa, 2019)
KEBIASAAN
Banyak orang menyapanya lentik, sembari memegang cerutu di tangan.
Mereka sibuk menyalakan api dengan pemantik. Tak sadar ketika hujan
datang bersama bayang rintik. Itu semua penanda bahwa kita manusia yang
mengawali akhir dengan tanda titik.
(Boja, 2019)
MIMPI BURUK
Rindu yang hilang menanti sebuah jawaban akan sebuah kebenaran sebagai
penentu akhir sebuah kenangan. Aku hanya bisa melihatmu dalam haru,
katanya kau sudah hilang dari dekapanku. Apakah ini penanda akan kelam
masa depanku ? Aku selalu berdoa agar kau nyaman dengan yang baru.
Dalam doa aku teringat akan suara mungilmu, senyuman manis jatuh karena
sikap centilmu. Tapi kini aku hanya diam menggigil dan hanya bisa
menunggu namaku terdengar dalam panggil. Tapi nyatanya duka selalu
berkutat siap menerka dalam balut tubuh yang penuh akan hina.
Pagi… Ternyata semua itu hanya ilusi semata. Dalam mimpi kau tiada, tapi
tiap pagi kau selalu menyapa. Semoga itu hanya mimpi belaka dan berakhir
dengan senyum semesta.
(Boja, 2019)
MENYAMPAIKAN
KEBAHAGIAAN
Sore itu aku bertemu dengan seorang
pria tambun dengan senyum manis
dan gigi gingsulnya. Dia menatapku
penuh rasa ingin tahu, dan perlahan
dia mendekat. Curiga muncul
mengguyur tubuh ini, dalam benak
sempat aku berkata, “ mau apa ini
orang ? sok senyum-senyum seperti
patung di museum, hahaha… aku
tanggapi saja deh mungkin penting.”
Dan benar dia adalah pemudik asal
Jakarta yang nekat melangkah dengan motornya menuju Wonosobo, tempat
indah yang terkenal dingin. Dia hanya bermodal uang 200 ribu dan tanpa pikir
panjang langsung pergi ke Wonosobo selepas mendengar sang istri telah
melahirkan Wonosobo.
Kami berbincang di salah satu minimarket di daerah Karang Jati.
Perbincangan kita berlanjut dan ternyata modal yang dia bawa telah berada
pada pucuk sekarat. Dia meminta uang hanya untuk mengisi kendaraannya
yang merintih kehausan dan mengisi kantong perutnya yang telah seharian
berpuasa. Aku sedikit ragu apakah ini benar pemudik atau hanya orang yang
meminta-minta. Tapi Dia yang di atas menerangi pikiranku untuk berbagi dan
membantu pemudik ini. Sore itu aku masih bisa bersyukur memiliki apa yang
Kau beri padaku dengan percuma. Kini aku sadar bahwa Engkau memberiku
itu untuk melengkapi sesama dan berbagi senyuman pengukir impian yang
siap mengangkasa.
(Boja, 2019)
MENTARI
Selamat pagi semesta sapaku dari hiruk pikuk dunia. Melihatmu tersenyum
pagi ini membangkitkan semangat akan diri. Sinarmu yang menyelimuti
dunia seperti pembatas antara suka dan duka.
Aku di sini setia menemanimu, pagi hingga mulai kau pergi. 12 jam terasa
cepat bagi kita, kerumunan orang yang buta akan syukur dari-Nya. Aku selalu
berucap dalam doa dan meminta dalam harap agar kau masih mau
memberikan cahayamu untuk membakar semangat kami yang terhalang oleh
hitam gelap awan malam.
Terima kasih semesta kau beri kami kesempatan untuk melihatnya.
(Boja,2019)
KAPAN
Malam ini aku sedang belajar setia menunggumu, ditemani secangkir kopi
dan sinar lampu yang mematung di langit-langit tempat ini. Kau memberiku
ruang untuk sekedar menyapa uap panas dari seduhan kopi malam ini.
Sejenak aku tertegun melihatmu hadir membawa sejuta rasa sebagai pengalih
penatku siang tadi.
Berbincang-bincang hingga melenceng entah kemana dan dimana ujung
percakapan ini. Sejuta mata indah menghiasi langit malam dengan cahayanya
hingga aku lupa ini sudah tengah malam.
Bersenda gurau bersamamu membawaku jatuh dalam sebuah dunia fantasi
yang berisi sejuta imajinasi yang susah untuk ditangisi. Lembut suaramu
menyentuh daun telinga ini yang sudah lelah bekerja hingga menjadikannya
terbuka untuk mendengar yang kedua kalinya.
Bias cahaya dari bola matamu membutakan sinar lampu yang sejak tadi
menemaniku selagi menunggu kehadiranmu. Lengkuk senyummu pertanda
bahwa aku masih diberi anugerah yang terindah malam ini. Berjalan bersama
bidadari malam ini untuk menyusuri setiap sudut ibukota dan memberi makna
akan indah dunia.
Aku hanya ingin belajar apa arti memahami? Apa arti peduli? Apa arti
memiliki? Apa arti menjaga dan masih banyak lagi yang belum sempat aku
selesaikan.
Karena katamu kamus tentang perempuan itu bak mengumpulkan banyak
tumpukan kamus bahasa asing dan menghafalkan semua, jadi perlu waktu
yang lama untuk bisa memahami perempuan.
Tapi kamu memberiku secercah harapan untuk melangkah bersamamu
membangun masa depan. Semoga aku bisa meyakinkanmu tentang rasa yang
sudah lama tertimbun dalam hati yang belum sempat aku sampaikan. (Boja,
2019)
PAGI DJAKARTA
Siul angin menyapaku lembut dengan tawa yang sering jatuh bersama bayang
di bawah rindang kalbu. Sembari mendengar jeritan kereta yang melintas
dengan santai aku bisa mencarimu di pelosok ibukota. Engkau menyapaku
dengan lentik bulu matamu yang tersembunyi di balik tirai jendela kotak
cokelat yang terpampang heboh. Tapi terkadang pagiku melayang entah pergi
kemana mencari sebuah tempat untuk bercakap pada dirinya. Dan juga pagiku
ternyata hanya sebatas kenangan semata karena aku tahu sekarang aku bukan
siapa-siapa lagi, melainkan hanya sebatang manusia yang hidup penuh akan
impian yang siap terbang mengangkasa. Selamat pagi Jakarta.
(Bintaro, 2019)
SUATU SORE DI IBUKOTA
Menapaki jalanan yang sudah mulai jauh dari ramai dan jauh dari kebiasaan
yang pernah ada. Hilangnya kemacetan di ibukota pertanda bulan suci sudah
tak terasa akan mendekat. Dan di sore tadi aku hanya melihat sekelebatan
kendaraan yang lalu lalang. Sepi adalah bagian dalam diri yang membahas
tentang apa itu rindu. Bahwa kerinduan untuk bermacet ria mulai hadir
menemani sunyinya ibukota sore tadi.
Dan itulah Djakarta-ku sore hari.
(Bintaro, 2019)
BERNYANYI BERSAMA JALANAN KOTA
Menari bersama dalam sukma menanti harapan yang terkadang jauh pergi dari
dalam diri. Perihal letih bukan jadi halangan baginya dalam mencari sesuap
nasi karena itulah yang ia punya. Berbekal gitar tua bersenar empat yang setia
menemaninya berkeliaran mengadu nasib dalam hiruk pikuk bisingnya kota.
Tatkala dia harus melangkah bersama bayang sang mentari yang memeluknya
hingga meneteskan peluh. Tapi semua itu harus dia jalani karena itulah
satusatunya tempat dimana dia bisa membeli makan walau hanya cukup untuk
sehari.
Malam ini dia berdialog dengan kursi di taman kota yang menemaninya
menghitung perjuangannya. Kembali penuh senyum dengan nasi bungkus di
tangan melebur suasana dalam bilik kecil tempat ia menjemput tenaga untuk
esok. Dan malam itu dia menutup hari dengan berterima kasih pada yang di
atas karena masih memberinya jalanan untuk bernyanyi.
(Kota Hujan, 2019)
AKU YANG MEMBIARKANMU PERGI
Restoran yang ramai malam ini membuatku baik-baik saja kecuali kamu.
Telah sejauh ini dan aku bertanya sudah berapa lama, sepertinya aku tidak
tahu. Aku sudah mulai menghitung hari, karena kamu sudah pergi dan kamu
akan berpikir cintaku akan kembali.
Tapi aku dengar kamu melakukan yang terbaik sendiri. Kamu memiliki
semuanya, kamu punya teman, kamu punya harapan, kamu punya mimpi dan
kamu benar-benar membuatnya. Dan aku dulu merasakan hal yang sama,
sampai hari dimana kamu pergi.
Aku tidak tahu mengapa aku pikir kamu selalu ada di sekitar. Melihat ke
belakang aku benar-benar menahanmu karena aku berpikir bahwa aku akan
selalu memiliki semuanya termasuk kamu.
Aku benci caramu naik tinggi kemudian sekaligus kamu jatuh. Semua orang
menatapmu benar-benar kamu adalah pusat perhatian.
Kamu adalah satu hal yang harus aku pegang, tapi aku sadar bahwa untuk
berdiri hari ini dan hari berikutnya aku harus berusaha keras untuk
membiarkanmu pergi.
(Tanggerang Selatan, 2019)
TANDA TANGAN PENYIMPAN ASIN
Hangat ini terasa di dada saat sudah terlalu lama terhisap. Terbakar dan
merana seperti api yang membara. Memang semuanya tak nikmat diawal,
tetapi jika sudah menjadi kebiasaan, semua akan bisa dinikmati secara
perlahan. Merasa waktu terhenti dan tak mulai beranjak membuatku lupa
dunia, membuatku hilang keasadaran. Semua sudah terlewat begitu saja tanpa
ada satupun langkah yang kuambil dari diriku ini.
(Silo, 2019)
CUMA DI BIBIR
Disaat sayang hanya menjadi seutas kata dan bukan menjadi sebuah rasa, saat
itulah kau harus sadar bahwa tidak ada rasa yang terpendam di dalam dada.
Semuanya sia-sia dan percuma. Hanya membuang waktu tanpa memberi
hadiah atas usahamu. Semua impian, semua kata, dan semua janji yang
terucap. Semua itu hampa tak berarti karena dirimu saja tak menganggap
diriku disini. Setelah sekian lama kusadari semua ini, bahwa semua hampa
tak berasa dan aku hanya menyia-nyiakan waktu yang ada.
(Semarang, 2019)
SEBUAH NISCAYA
Membungkam diri jadi kebiasaan, padahal nasionalis jiwanya. Berniat untuk
mencari harga diri yang muncul niat untuk mencaci maki. Inikah negeri tanah
surga dengan berjuta keragaman agama, ras, etnis, bahasa, budaya, dan
banyak yang sulit untuk disebut dalam satu untaian sajak ini. Tetapi, jangan
kau lihat negri ini cukup melalui celah sempit. Negri ini bukan negri yang
pelit dan berbelit, niscaya menjadi jaya takkan lagi mengundang kata sulit.
(Dolkopi, 2019)
BUKU USANG PEMBAWA SEJUTA SATU MIMPI
Membuka lembar demi lembar, ini rahasia pribadi yang tak perlu diumbar,
karena mereka adalah pribadi yang tegar. Mereka memiliki mimpi yang luas
dan lebar, tapi sering jatuh untuk melepas lelah dan kembali sangatlah susah.
Ditemani meja dan kursi kayu yang membawa mereka bermimpi jauh dari
ragu. Ribuan matakaca seakan menemani dan sedikit memberi ruang untuk
bersaksi. Bersaksi tentang indah imajinasi kini. Ini adalah potongan kisah
tentang kumpulan anak yang hidup dalam nestapa dan ingin bebas dari siksa
hanya demi raih sejuta satu mimpi yang keluar dari dalam hati.
(Taipei, 2019)
MEMBALIK
Terkadang diam adalah cara terbaik untuk menerima dan diterima. Karena
mengenang dan dikenang perlu waktu yang lama untuk terpahami. Kembali
kuingatkan bahwa untuk bisa dimiliki harus belajar untuk memiliki. Tapi
untuk apa mengingat masa lalu bila hanya ada lara yang teringat. Mungkin ini
saatnya untuk melangkah maju, karena untuk apa bertahan bila dirimu saja
sudah tidak bisa ditahan.
(Bandung, 2019)
NOSTALGIA RASA
Desau daun di pucuk pohon, basah embun pertanda pagi menyapa, gemercik
air menemani sautan kokok jago kepada kicau burung. Tapi semua itu jauh
dari harapan, langit berubah kelam, dentuman demi dentuman berjalan di
telinga.
Api yang membara membasahi ibukota. Teriakan dan jeritan orang-orang tak
bersalah larut dalam kesedihan. Satu persatu orang baik pergi untuk
selamanya. Dari sobekan kain biru yang menjadikannya merah dan putih kita
bertahan dalam kemerdekaan.
Tapi apakah kita sudah benar-benar merdeka ? Suara pagi hilang ditelan deru
suara perotaan. Kita memang merdeka, bebas dari belenggu kolonialisme,
tapi bukan berarti kita bebas dari penjahat yang bebas berkeliaran, koruptor
yang bebas berkorupsi, provokator yang bebas berorasi.
Kami ingin bebas dan keadilan. Keadilan yang adil dan kebebasan yang bebas.
Omong kosong yang merajalela sudah menjadi makanan kami setiap hari
layaknya dentuman sang laras panjang. Si jago merah menggempur otak kami
membentuk pribadi individualis yang berteriak tolak kebijakan tikus berdasi.
Kami hanya ingin kemerdekaan yang dulu agar kami bisa kembali menikmati
desau daun di pucuk pohon, basah embun pertanda pagi menyapa, dan
gemercik air menemani sautan kokok jago kepada kicau burung.
(Semarang, 2017)
PERIHAL BERKUNJUNG
Berkunjung bukan hanya sekedar menyapa dan bercengkrama. Berkunjung
adalah perihal membangun relasi untuk menjaga rasa dan saling mengerti.
Menjalin komunikasi untuk membangun intuisi hati kepada saudara-saudari
dan mulai memupuk simpati. Saling peduli untuk mengurangi rasa iri dan
dengki. Berikan senyuman agar simpati berdampak kepada empati.
(Segono, 2020)
KHAYAL
Sebatas perasaan yang hanya bisa terpendam,
buatku bimbang, buatku gelisah, dan apakah kau cinta?
atau hanya diriku yang selalu melontarkan kata harap.
Kau buatku tertawa.
Kau buatku Bahagia.
Tapi apakah namaku buatmu nyaman?
(Semarang, 2019)
TAHAN
Disaat cinta hanya terdiam dan tertanam dalam dada dan tak bisa
terungkapkan dalam seuntai kata ku tak tahu harus apa dan aku hanya bisa
berdialog dengan diri ini. Seratus kata seribu bahasa hanya bisa menatap
tanpa bisa mengutarakan rasa. Terasa berat, terasa susah, inginku berkata tapi
kuyakin aku akan merusak segalanya. Cuma terpendam dan tak pernah keluar
ke permukaan. Tiga buah kata yang penuh akan makna, aku masih cinta.
(Semarang, 2019)
SUDAH
Bisakah kau pergi dan menghilang dari raga ini bersama dengan rasa kasih
yang selalu kau beri setiap detik. Karena kau hadir di dunia aku merasa
terbebani dengan semua angan yang kau bawa lari. Janganlah kau kembali
lagi karena saat ini aku hanya ingin sendiri.
(Semarang, 2019)
PANCALARA
Untuk apa aku memandangmu, jika kau tak ikut menatapku.
Untuk apa aku mendengar suaramu, jika kau tak pernah memanggilku.
Untuk apa ku cium harum parasmu, jika aroma itu tak membekas padaku.
Untuk apa jemarimu menyentuh, jika itu semua tak bermaksud.
Untuk apa lidah ini beradu, jika semua itu khayalan palsu.
Dan untuk apa aku menunggu, jika kau tak juga kembali di sisiku.
(Semarang, 2019)
STATUS
Apakah aku?
Siapakah aku?
Adakah aku dalam hatimu?
Mungkin aku hanyalah malu bagimu yang tak ingin kau umbar atau kau
beritahu. Semua terasa semu saat kau menyebutku seperti itu. Tapi
kenyataannya aku tak lebih dari seekor kutu, membebani dan menganggu
hari-harimu.
(Semarang, 2019)
TIBA-TIBA
Laksana hidup, kita tidak pernah tahu apa yang akan kita hadapi. Sematang
apapun rencana yang telah dibuat kita tidak akan tahu apa yang menanti kita
di sana. Karena sebuah perjalanan akan memberikan kejutannya sendiri. Tapi
kita paling tidak harus memilliki rencana, agar apa yang terjadi di jaan nanti
kita tahu caranya berimprovisasi.
(Semarang, 2019)
RUMUSAN
Lantunan sulit, berlenggang
dengan rumit. Hanya tersisa
pikiran buntu, pusing
berputar apalah aku. Tapi
pasti terhenti, dalam
persimpangan hati, demi
sesuatu yang pasti.
(Semarang, 2019)
AKHIRI
Sebatang rokok menemaniku malam ini
Tanpa adanya dirimu disisi
Ingin rasa memiliki
Tapi apalah daya yang kudapat hanya caci
Berkat masa laluku yang terus dimaki
Dan sekarang kujadi dibenci
Ku tak tahu harus berbuat apa lagi
Yang bisa kulakukan hanya diam menanti
Mengagumimu dalam sunyi
(Golden Land, 2020)
RIIL
Saat itu di suatu terik
Kita bercengkrama tak henti
Karena telah lama tak melihat lahir
Dan hanya bisa merasakan batin
Awalnya semua manis
Hingga kau mengucap terimakasih
Satu kata seribu arti
Yang kau pilih untuk mengakhiri
Seketika ku tak mampu berpikir
Berkecamuk dalam emosi dan tangis
Melihat dirimu perlahan pergi
(Banjir Kanal, 2020)
TOLERANSI
Beredukasi hanya untuk menarik simpati tapi
empati tak pernah berbuah aksi. Berekspresi
fana hanya sekedar mencuapkan intensitas
diri yang membara.
Ketika sudah berakhir semua akan mengenang, tapi
ketika baru memulai tak banyak yang mau berjuang.
(Campurejo, 2020)
SABAR
Menanti itu perihal waktu dan menunggu itu perihal sabar
Itulah kata orang diluar sana
Tetapi diriku tak mampu dan tak kuasa
Seakan diri ini menolak kenyataan
Bahwa kau sudah tidak ada lagi dipelukan
Kau sudah jauh disana
Menikmati hidup yang kau inginkan
Sedangkan disini aku hanya berdiam
Merenungkan semua kenangan
Semua hal yang tercipta dengan indah
Saat kita masih tertawa terbahak-bahak
(Tanah Mas, 2020)
ILUSI
Kau memintaku tuk pergi
Tetapi sekarang kau datang kembali
Entah apa yang kau ingini
Setelah selama ini kau buat diri ini merintih
Kau membuka kembali memori
Kenangan indah dan ingatan yang sudah mati
Kau hidupkan kembali seakan tak ada masalah yang berarti
Diri ini tiba-tiba ingin memilikimu lagi
Tapi semua itu seakan mimpi
Kau tetap menolak diri ini
Kau sama sekali tidak menganggap suara hati ini
Yang kau pedulikan hanya yang dia yang tak berbudi
Yaitu temanku sendiri
(Kediaman, 2020)
DIRI
Saat ini ku sendiri
Tak ada siapapun di sisi
Hanya ada kenangan indah yang terlukis di hati
Entah mengapa hal itu terus datang kembali
Aku ingin melangkah meninggalkan semua ini
Namun diri ini tertahan oleh rasa perih
Seakan masih tidak bisa menerima kenyataan ini
Dan masih menginginkan kau di sini
Bersamaku melewati hari-hari
Tetapi semua itu hanyalah mimpi
Dari diri ini yang egois
Dan ingin menang sendiri
(Home, 2020)
SEPI
Malam ini malam yang sepi Tidak
ada sedikitpun suara disini Sunyi
tak berbunyi.
Hingga tiba-tiba, turun air yang datang membasahi.
Memberiku sedikit hiburan dikala hati masih sendiri.
Terbawa angin yang datang memberi hawa dingin.
Membuatku ingin menyeduh kopi pahit.
Ditemani sebuah batang berwarna putih.
Yang membuat hangat dalam diri ini.
Duduk diam tuk mengingat peristiwa bahagia di memori.
Yang dulu memberi berjuta harapan dan mimpi.
Semua kata telah diucapkan di bibir, tetapi itu
hanya bualan kata-kata yang disebut janji.
Seketika ku sadar, tuk apa mengingat dambaan mustahil.
Tak patut hal itu ada disini Semua itu harus pergi.
(Karang Anyar, 2020)
KERINDUAN
Merangkai peluh yang tertampung dalam senja. Menafsirkan rasa bisa
berbalik menjadi duka yang terbilang hina sebab waktu mengekang mata
sang dunia. Meratapi Kembali sebuah nostalgia yang berfantasi dalam sebuah
nirwana. Ini kami seonggok manusia yang peduli akan harga diri dan rela
mati demi ibu pertiwi.
(Home, 2020)
PERTEMUAN
Terpaku pada sebuah pandangan yang perlahan luntur akibat parasnya
yang memikat. Sebuah awal yang sempurna untuk akhir yang sulit
terencana. Terkadang hal seperti inilah yang perlu aku pertahankan agar
aku sulit untuk melupa dan ingat saat kita pertama bertatap muka.
(Boja, 2020)
TEMAN TAMAN
Tuk apa punya sahabat
Jika hanya membuatmu sambat
Tuk apa punya pacar
Jika hanya membuat hidupmu sekecut acar
Punyailah teman yang bisa membuatmu nyaman
Yang bisa memupuk harapan tuk bisa bersama seperti taman
Yang selalu ribut tapi tak saling mengajak gelut
Jika ada masalah selesaikan dengan tabah
Jika memang pergi adalah jalannya ya lakukanlah
(Karang Anyar, 2020)
PERBINCANGAN
Menata kata untuk memulai kalimat.
Menuturkan cerita ubah dunia menjadi bermakna.
Waktu bukan jadi penghalang dalam membangun inovasi cemerlang.
Kiat-kiat yang menuntun usaha menuju tergapainya cita-cita.
Ini kita manusia terpelajar yang tak lelah untuk mengejar.
Mengejar impian yang lama tersimpan dalam pikiran.
Cukup berbicaralah dan berbagilah, karena di situ awal cerita bisa
tercipta.
(Kendal, 2020)
IMPIAN
Tertawa ringan meraih persahabatan untuk meniti sebuah harapan.
Harapan bersama sesosok bayang yang menuntun menuju pencapaian.
Agar aku bisa melihat cakrawala menutup senjanya dengan lingkaran
senyum yang menggelora. Selamat malam, aku tahu dinginmu akan
sekejap menari di sekujur tubuh ini hingga terlelap dalam gelap.
(Nikmat Malam, 2020)