“Ha … ha … ha …, baiklah pecundang tetapi
ada syaratnya,” kata Joko.
“Apa syaratnya?” tanya Johan.
“Mainan ini tidak aku kembalikan,” jawab
Joko.
“Baik lah,” jawab Johan.
Dengan terburu-buru Johan pergi meninggalkan
Joko. Joko pun ikut pulang dengan raut wajah
gembira karena mendapatkan mainan. Dalam
perjalanan pulang, Johan berpapasan dengan Jaka
setelah membantu ayahnya berdagang. Johan
menjadi kebingungan dan ketakutan.
“Ampun Joko !!!” ucap Johan sambil
menundukkan kepala.
“Aku bukan Joko, aku Jaka,” jawab Jaka..
“Kamu Jaka adiknya Joko, maaf aku ketakutan
karena tadi Joko mengambil mainanku,” kata Johan.
“Apa … dia berulah lagi, tunggu di sini aku akan
mengembalikan mainanmu,” ucap Jaka.
“Kau mau ke mana Jakaaa!!!” teriak Johan.
Sampai di rumah, Jaka masuk ke dalam kamar
dan menjumpai kakaknya yang tertidur pulas.
Pas sekali kakak sedang tidur, sepertinya dia
menyembunyikan mainan Johan tapi dimana?
gumam Jaka sambil mencari mainannya. Akhirnya
Jaka menemukan mainan Johan di laci kakaknya.
Dia membawa mainan itu tanpa Joko sadari.
Jaka pergi mencari Johan dan bertemu di
taman.
“Ini Johan mainanmu,” kata Jaka.
“Terima kasih, apa kakakmu tidak akan marah?”
tanya Johan.
“Tidak … karena dia sering lupa,” jawab Jaka.
Beberapa hari kemudian, Joko bermain dan
tersandung batu, jatuh tertelungkup mengakibatkan
mukanya terkena lumpur. Ia malu karena lumpur itu
terkena kotoran kucing, setelah mencuci mukanya
Joko pun menangis.
16 tahun kemudian, mereka tumbuh menjadi
remaja. Joko, Jaka, dan Johan bertemu kembali dan
menjadi para pemburu yang hebat. Joko merasa
malu bertemu Johan, karena teringat masa kecilnya.
Suatu hari mereka berburu. Mereka berpencar,
Harusnya aku meminta maaf kepada Johan,
kata hati Joko.
Akan tetapi naas, tiba-tiba dari belakang Joko
ada singa yang menerkam tubuhnya.
“Tolong …” teriak Joko.
Dari kejauhan, Jaka dan Johan mendengar
teriakannya.
“Sepertinya itu suara Joko …” ucap Jaka sambil
menatap Johan. meraka langsung mencari Joko
tetapi, Joko ditemukan dalam kondisi sekarat. Joko di
bopong dan di bawa ke desa.
Dalam perjalanan,
“Maaf ya Johan, dulu aku sering
mengganggumu,” kata Joko.
“Iya, kau tidak apa-apa kan? Bertahanlah Joko,”
ucap Johan dengan cemas. Saat mereka sampai
desa, di rumah bapak dan ibu sudah menunggu
bersama tabib yang siap memeriksa Joko.
“Anakku!!!” kata ibu Sarah dengan terisak.
“Nak bertahanlah,” kata ayah Joko lemas.
“Maaf Ayah, Ibu, Adiku … aku akan pergi
sekarang,” kata terakhir Joko sambil menutup mata.
Joko pergi meninggalkan semua.
BUS SUROBOYO
Oleh Auliana Maharani P. W
Aku anak kedua dari dua bersaudara. Namaku
Wulan, kakakku bernama Nadia. Hari Minggu pagi
aku naik bis Suruboyo bersama kakak dan
bunda. Hal ini merupakan pertama kali aku naik bis
Suroboyo rasanya sangat senang.
Kami berangkat dari rumah menuju halte
Rajawali pukul 05.30 menggunakan taksi online,
menyesuaikan jadwal kedatangan bis Suroboyo
pukul 06.00. Ada beberapa jurusan yang di tempuh
oleh bis Suroboyo. Kami memilih jurusan Rajawali -
Bungurasih.
Aku, kakak dan bunda memilih kursi dekat pintu
agar bisa melihat kondisi jalan. Pada saat di
pertengahan jalan, aku tertidur, Tak terasa tiba-tiba
kepalaku menyentuh bahu bunda.
“Wulan ngantuk ya?" tanya bunda.
"Oh … ehmm … iya Bunda hawanya sejuk
membuatku ngantuk " jawabku.
"Ini, bunda bawa teh hangat, minumlah sambil
kamu mengamati orang-orang bersepeda santai"
kata Bunda. Ku nikmati segelas kecil teh hangat
sambil melihat suasana Minggu pagi yang
cerah. Saatnya kami tiba di terminal Bungurasih.
Melihat terminal Bungurasih yang sangat luas
membuatku berlari meninggalkan kakak dan bunda.
"Dek Wulan, jangan lari nanti jatuh,” kata K
“Iya Kak …” jawabku.
Kami berjalan santa sambil bergandengan
tangan menyusuri tiap sudut tempat yang ada di
terminal. Saat sedang menyusuri tempat yang ada
disana aku melihat anak kecil yang tampak
kebingungan dan ketakutan, aku menghampirinya,
“Kamu kenapa di sini sendirian ?"
tanyaku. "Aku terpisah dengan ibuku," jawab
anak itu. “Mari kita cari ibumu bersama-sama,"
ajakku.
Kami menyusuri jalan menuju ruang informasi
terminal. Saat di tengah perjalanan tiba-tiba anak itu
mendekati seorang ibu-ibu, ternyata orang tersebut
adalah ibunya. Ibunya sangat berterima kasih kepada
kami.
Setelah terasa lelah dan sudah puas, kami
duduk-duduk di kursi yang sudah di sediakan sambil
makan dan minum bekal yang di bawa dari rumah.
Waktu sudah menunjukan pukul 09.00. Dengan
perasaan senang kami bergegas pulang dengan
menggunakan bis Suroboyo.
Untuk naik bis Suroboyo saat itu membayarnya
dengan botol plastik air kemasan, tapi untuk saat ini
pembayarannya melalui aplikasi atau online.
NGABERS YANG BAIK HATI
Oleh Annisa Raysha Andreane
Seorang lelaki bernama Jefran. Jefran adalah remaja
motor yg berusia 19 tahun. orang tua Jefran telah
tiada saat ia berusia 11 tahun.
Suatu hari Jefran berangkat ke kampusnya, tiba-tiba
temannya telepon,
“Halo Alex, ada apa?” sahut Jefran menerima
Telepon.
“Jefran nanti waktu pulang dari kampus kita
balapan motor,” suara dari HP.
“Oke lah, aku setuju,” jawab Jefran.
“Oke aku matikan ya telefonnya,” suara dari
HP.
“Oke Alex,” jawab Jefran sambil menutup
ponselnya.
Sampai di sekolah Jefran bertemu dengan temannya
bernama Jovan.
“Selamat pagi Jefran,” sapa Jovan.
“Pagi juga Jovan,” jawab Jefran.
“Ayo kita masuk kelas, sebentar lagi bel
berbunyi,” ajak Jovan.
Mereka masuk ke kelas bersama.
KRING … KRING … KRING …
Semua mahasiswa masuk ke kelas masing-
masing.. Dosennya pun datang.
“Selamat pagi, anak-anak,” sapa Pak Dosen.
“Selamat pagi juga Pak,” sahut semua murid.
“Baik anak-anak, hari ini kita belajar
matematika, keluarkan buku matematika kalian,” kata
Pak Dosen.
Pelajaran berlangsung, suasana serius di kelas.
KRING … KRING … KRING …
“Yeay pulang,” suara riuh dari kelas.
“Bensin motorku belum diisi tinggal dikit nih,
nanti mampir di pom bensin ya,” kata Alex.
“Hmm, ok,” jawab Jefran.
Di tengah perjalanan, tiba-tiba jefran berhenti.
“Eh … Eh … gimana sih Jef?” tanya Alex
dengan ngerem mendadak.
“Eh maaf Alex, jovan,” jawab Jefran.
Jefran turun dari motornya,
“Loh dia mau kemana?” tanya Alex.
“Entahlah,” sahut Jovan.
Jefran menghampiri seorang Nenek pengemis di
jalan.
“Nek, ini ada sedikit rezeki,” kata Jefran sambil
mengulurkan tangan.
“Eh makasih Cu, semoga rezekinya makin
berlimpah,” kata Nenek.
“Iya Nek, aamiin” ucap Jefran.
“Baik saya tinggal dulu ya Nek,” kata Jefran
“Iya Cu,” jawab Nenek.
Jefran kembali ke motornya
“Ayo lanjut lagi,” ajak Jefran.
Lama banget sih, kata Jovan.
“He he, maaf …” kata Jefran.
“Ya udah sih enggak apa-apa, yuk lanjut lagi,”
kata Alex.
Selesai balapan Jefran langsung pulang. Sampai di
rumah, tiba-tiba ada kucing di teras depan.
“Loh, ada kucing … Hmm ya sudah aku rawat
saja,” kata Jefran.
Jefran memberi nama Kiko untuk kucingnya.
Sebentar ya Kiko, aku beli makanan kucing dulu.
8 bulan kemudian Jefran mencari kucingnya yang
belum nampak, untuk memberi makan.
“Kiko ayo sini makan,” seru Jefran.
Kiko hanya diam dan Langsung menghampiri Jefran.
“Kenapa akhir-akhir ini, kamu diam saja, apa
sakit,” tanya Jefran sambil mengelus kepala Kiko.
Jefran membawa Kiko ke dokter hewan. Saat
sampai di dokter hewan,
“Permisi Dok,” ucap Jefran.
“Silakan masuk ada keluhan apa datang
kesini?” tanya Dokter.
“Gini Dok, beberapa hari ini kucing saya diam
terus biasanya cerewet dia,” kata Jefran.
Dokter memeriksa Kiko. Setelah beberapa
menit kemudian, dokter keluar dari ruangan,
“Apa yg terjadi pada kucing saya Dok?” tanya
Jefran cemas.
“Dia mengalami keracunan karena makanan,”
jawab Dokter.
“Tapi saya tidak pernah memberinya makanan
sembarangan,” kata Jefran.
“Hmm, baiklah kalau begitu saya kasih resep
obatnya,” kata Dokter.
“Baik Dok, terima kasih,” ucap Jefran.
Jefran mendekati Kiko yang tidak berdaya. Saat
Dokter membuat resep obat, beberapa menit
kemudian, Jefran melihat kucingnya sudah tidak
bernyawa.
“Loh Dokter … Dokter tolong Dok …” sontak
Jefran.
“Ada apa? Astaga sebentar saya periksa …
lnna lillahi wa inna ilaihi rajiun,” ucap Dokter.
“Kenapa Dok?” tanya Jefran sedih.
“Kucing kamu telah tiada,” jawab Dokter.
.Jefran menangis histeris dengan membawa pulang
Kiko untuk dikubur. Ketika membersihkan ruangan
Kiko, tiba-tiba Jefran menemukan cincin Alex.
Kok bisa cincin Alex ada di sini, jangan-jangan,
gumam Jefran.
Jefran pergi ke base camp untuk menemui Alex. Saat
sampai di base camp Jefran langsung
memukul Alex.
PUOK …
“Apa-apaan kamu Jefran!, seru Alex smbil
menahan sakit..
“Kamu yang apa-apaan, kamu kan yang
meracuni kucingku Kiko?” tanya Jefran.
“Mana buktinya?” tanya Alex.
“Ini … kenapa ada cincinmu di ruangan Kiko?”
tanya Jefran dengan marah.
“Baiklah aku jujur, memang benar aku yang
meracuni kiko,” jawab Alex.
“Tapi kenapa?” tanya Jefran.
“Karena semenjak kamu pelihara Kiko kamu
enggak pernah belapan motor sama kami,” jawab
Alex.
“Tapi enggak gitu caranya … Huh baiklah kita
balapan lari sekarang,” kata Jefran.
“Hah … serius?” tanya Alex.
“Iya,” jawab Jefran.
“Oke, aku akan ajak Jovan,” kata Alex.
“Baiklah,” jawab Jefran.
Alex meminta maaf kepada Jefran, dan mereka
tetap berteman selamanya.
TEMAN SEKOLAH
Oleh Zia Zhafira
Pada suatu hari Anna masuk dan itu hari pertama
masuk sekolah kelas 7 tetapi dia enggak sengaja
menabrak orang. Anna sudah meminta maaf tapi
orang itu dan temannya tidak menerima. Mereka
ingin menjaili Anna tapi dia sudah kabur.
Saat di kelas Anna bertemu Vanny. Dia pun
bersembunyi lalu Vanny pergi ke kelas. Anna pun
selamat. Saat di kelas, Anna bertemu Bella yang
suka melakukan perundungan. Anna, murid yang
menjadi incaran Bella untuk di jailin. Bella dan Vanny
menemukan Anna.
“Hai Anna. Ketemu lagi ya?” kata Bella.
“A.. apa yang kalian lakukan ini?” kata Anna.
“Tidak ada, tapi kenapa tadi kamu kabur?”
kata Vanny.
“Itu saja? karena aku murid baru lah” kata
Anna.
“Huh? baru masuk ya” kata Bella.
“Semua siswa pun tau kalau kita pernah
menjaili” kata Vanny
“Ja…jangan mendekat!” kata Anna.
“Berani melawan kami? kata Vanny dan Bella.
“Iya, kenapa? Aku bilangin ke kepala sekolah”
kata Anna.
“Van kamu tahu?” kata Bella.
“Yap” kata Vanny
“Heh” kata Anna.
Anna pun kabur. Mereka menjaili Anna terus
menerus selama satu bulan. Vanny dan Bella pun
sadar kalau yang dilakukan mereka itu salah. Vanny
dan Bella meminta maaf kepada Anna.
“Anna aku minta maaf ya” kata Vanny
“Iya maafin kami ya,” kata Bella
“Iya aku maafin kok, kita temenan ya?” kata
Anna.
“Iya,” kata Vanny dan Bella.
Anna pun memaafkan Vanny dan Bella.
“Ayo kita ke supermarket aku traktir,” kata
Anna.
“Ok” kata Vanny dan Bella.
SAHABAT SEJATI
Oleh Sazkia Najiva A.
Namaku Ellysha dan aku mempunyai sahabat
bernama Alyza. Kami bersahabat mulai dari kelas 1
SD. Banyak hal yang sudah kami lakukan bersama
seperti, berangkat sekolah, makan, bermain dan
banyak lainnya.
Pagi hari, aku bangun tidur dan waktu
menunjukkan jam 7:15. Aku terlambat untuk
berangkat sekolah. Aku mandi dengan tergesa-gesa
dan saat aku memakai seragam, ibu datang.
“Ellysha sayang, lain kali kamu jangan tidur
tengah malam hanya untuk bermain game,” kata ibu.
“Iya, Bu. Ellysha minta maaf,” jawabku.
Tiba-tiba bel rumah berbunyi, ibuku pun segera
keluar untuk melihat siapa yang memencet bel dan
ternyata itu adalah Alyza. Aku terkejut.
“Tumben Alyza masih belum berangkat,”
gumamku.
Akhirnya aku berangkat sekolah bersama Alyza.
Saat sampai di sekolah, aku dan Alyza
dihukum karena terlambat. Saat aku berdiri di depan
kelas bersama Alyza, aku melihat bola. Aku
menendangnya, dan sialnya aku memecahkan kaca
jendela kelas. Masalahku bertambah. Kepala sekolah
memanggil orang tuaku. Aku pulang bersama
mereka.
“Lain kali jangan menendang bola di dalam
sekolah ya,” nasehat ibu.
“Iya, Bu. Aku bersalah,” jawabku.
“Ellysha … Ellysha … Ellysha ….” panggil
Alyza.
Aku mendengar ada yang memanggil namaku. Aku
keluar rumah untuk melihat siapa yang memanggil
namaku, ternyata itu Alyza.
“Ada apa, Al?” tanyaku.
“Ayo kita main Ellysha,” ajak Alyza.
“Kita mau main di mana, Alyza?” tanyaku.
“Di taman aja, El,” jawab Alyza.
“Ya udah, yuk! Tapi aku izin dulu ya ke Ibuku,”
jawabku.
“Iya, El aku tunggu,” jawab Alyza.
Aku pun meminta izin kepada ibuku. Ibu memberi izin
untuk bermain bersama Alyza.
“Ayo Al aku boleh main sama Ibuku,” ajakku.
Aku pun bermain bersama Alyza di taman.
Pagi itu aku dan Alyza olahraga di taman
Bungkul. Kami berlari-lari kecil dan bermain sepatu
roda. Saat aku dan Alyza berolahraga,, tiba-tiba ada
orang yang datang dan menyapaku. Ternyata itu
Ayahku, aku menyapanya juga.
“Ayah mau ke mana?” tanyaku.
“Ayah mau ke rumah teman Ayah,” jawab
Ayah.
“Ya udah, Ayah hati-hati ya,” kataku.
“Iya, Nak.” kata Ayah.
Saat sedang asyik bermain sepatu roda, Alyza
membelikan air putih botol untuk aku dan dirinya. Kita
selalu berpatungan saat membeli sesuatu.
Contohnya dia yang membelikan minum, lalu aku
yang membeli makanan. Begitulah kisah sahabatku
dan Alyza.
HADIAH AYAH DAN BUNDA
Oleh Myluv Diva A
Pagi itu cerah sekali, hari ini aku dan adikku Nio
bermain bersama di teras rumah. Aku memakai baju
berwarna merah muda dan Nio memakai baju
berwarna kesukaannya yaitu merah. Di teras rumah
kami sedang mengobrol dan berfikir tentang
permainan yang akan kami mainkan.
“Kak, kita mau main apa?” tanya Nio.
“Hmm … apa ya kira-kira?” tanyaku.
“Aha!! Bagaimana kalau kita bermain bola
besar saja?” tanya Nio.
“Wah, ide bagus! Ayo kita main!” jawabku.
Akhirnya aku dan Nio bermain bola besar, di dalam
bola besar ada permainan bola basket, bola voli, dan
lain-lain. Seru sekali permainan itu. Aku dan Nio
tertawa bersama.
Beberapa lama kemudian kami bermain
bermain sepeda, skuter, polisi-polisian, bermain
petak umpet, dan lain-lain. Kami bermain hingga
lelah.
“Kak, kita istirahat saja, yuk! Aku lelah,” ajak
Nio.
“Iya Nio aku juga lelah,” ucapku.
“Ayo kita duduk di teras sambil minum,” ajak
Nio.
“Ok. Aku ambil minum dulu ya,” jawabku.
“Baik, Kak!” ucap Nio.
Lalu aku mengambil minum air putih untukku dan Nio,
lalu aku kembali ke teras.
GLEK … GLEK ….
Suara air putih masuk ke kerongkongan Nio.
Airnya yang sangat segar, membuat rasa lelah dan
haus pun hilang. Setelah minum air putih, aku dan
Nio kembali bersemangat untuk bermain, tetapi kami
bosan bermain permainan yang sudah kami
mainkan.sebelumnya. Lalu bunda dan ayah datang
sambil membawa seperangkat alat melukis. Aku dan
Nio kaget. Bunda membawa kanvas dengan gambar
bunga mawar dan mobil, ayah membawa kuas, cat,
palet, dan air.
“Nio, Myluv, kalian bosan ya?” tanya ayah.
“Iya, Ayah,” jawabku dan Nio.
“Ini Bunda membawa seperangkat alat lukis,”
ucap bunda.
“YEY!” jawabku dan Nio.
Kami pun senang karena kami seperti
mengadakan lomba melukis. Lalu ayah dan bunda
pergi ke belakang. Aku dan Nio melukis sebisa dan
sebagus mungkin. Tak sengaja Nio menumpahkan
cat dan beserta airnya. Aku mencoba mencari lap
atau kain untuk membersihkannya. Tetapi tidak ada.
Aku dan Nio kebingungan, lalu aku mencoba
membersihkan dengan tisu namun justru semakin
melebar kemana-mana. Bunda dan ayah pun datang
menghampiri dan kaget karena catnya tumpah.
“Aku minta maaf Ayah, Bunda karena telah
menumpahkan cat dan air,” kataku.
“Hm … tidak apa-apa lain kali hati-hati jika
bermain,” jawab bunda.
“Ya sudah ayo kita beresin bersama-sama biar
lebih menyenangkan,” ucap ayah.
Kami membersihkan bersama, ternyata catku habis
akibat kecerobohan Adikku. Aku sedih karena tidak
bisa melukis lagi. Tetapi aku tidak marah karena Nio
masih kecil dan belum mengerti apa-apa. Ayah dan
bunda melihatku sedih.
Malamnya aku melihat Bunda dan Ayah
sedang berdiskusi tentang hadiah. Kebetulan besok
adalah hari ulang tahunku. Keesokan harinya aku
menerima hadiah dari ayah dan bunda, ternyata aku
diberi cat air, aku senang sekali.
“Terima kasih Ayah Bunda aku senang sekali,”
ucap aku.
“Sama-sama Myluv,” ucap ayah dan bunda.
“Aku minta maaf, Kak karena ulahku Kakak
jadi sedih,” ucap Nio.
“Iya Nio tidak apa-apa,” jawabku.
PERJALANAN PULANG DARI BERLIBUR
Oleh Muhammad Ananda Faiq
Setelah sehari semalam kami berlibur, kami pun
bergegas pulang. Hingga hari pun mulai petang saat
kami memulai perjalanan pulang. Di tengah
perjalanan tiba-tiba telepon ayahku berdering.
Ternyata itu dari om Ferdy, adik ayahku yang telah
terlebih dahulu dalam perjalanan pulang. Ku dengar
percakapan antara ayah dan om Ferdy.
“Mas, jalan di depanku mulai macet. Ku lihat di
Google Map, macetnya panjang,” kata om Ferdy.
Ayahku pun bertanya, “ Lalu sebaiknya kami
lewat mana?”
“Bagaimana kalau lewat Jombang?” kata om
Ferdy.
Ayahku pun menjawab, “Baiklah, Dik.”
Kemudian ayahku menelepon om Arman, adik
ibuku yang berada di mobil lain yang juga sudah
perjalanan pulang terlebih dahulu.
“Dik, kita lewat Jombang saja, jalur yang akan
kita lewati kata Ferdy macet panjang,” kata Ayahku.
Om Arman pun menjawab, “kalau kita lewat
Jombang terlalu jauh, Mas. Kita lewat jalan Karanglo
saja. Dari map terlihat macet tapi tidak terlalu panjang
kok.”
“Ya sudah, Dik kamu lewat jalur Karanglo saja,
aku ikut Ferdy lewat Jombang,” kata ayahku.
Aku pun menyahut, “Yah, benar kata Om
Arman. Aku lihat di map, daerah Karanglo macetnya
tidak panjang. Hanya beberapa meter saja.”
“Ah sudahlah kita ikut Om Ferdy saja lewat
Jombang,” kata ayahku.
“Ya sudah, terserah Ayah. Yang penting aku
sudah mengingatkan,” jawabku sedikit kesal.
Terlihat raut wajah ibuku yang sedikit kesal
karena ayah selalu saja menuruti kata adiknya
daripada menuruti apa kata adik ibu.
“Hmm … seperti biasanya, Ayah dan Ibu
sering tak sejalan,” gumamku dalam hati.
Akhirnya mobil kami pun mengikuti mobil om Ferdy,
melewati jalan yang berkelok-kelok naik turun. Ibuku
terlihat mulai gelisah karena merasa mabuk
perjalanan akibat melewati jalan tadi. Hingga maghrib
pun tiba. Kami berhenti sebentar di sebuah masjid
untuk salat.
Saat berhenti, ibuku segera turun dan muntah.
Ayahku pun segera memijat punggung ibu dan
mengoleskan minyak kayu putih untuknya. Tampak
wajah ayah yang menyesal dan merasa kasihan
melihat ibuku yang terlihat lemas. Namun ibuku
berusaha untuk kuat menaiki tangga masjid untuk
melaksanakan salat. Setelah salat kami melanjutkan
perjalanan yang masih membutuhkan waktu agak
lama.
Tiba-tiba ibu berkata, ”Ayah kita mampir
makan dulu. Kasihan anak-anak pasti mereka lapar.”
“Oke kita berhenti di rest area dulu,” kata ayah.
Setelah tiba di rest area, kami segera makan. Ayah
menelepon om Arman sambil makan.
“Arman kamu sudah sampai mana?” tanya
Ayahku.
“Aku sudah sampai rumah, Mas. Sampean
sampai mana? Tadi cuma macet sedikit setelah itu
lancar,” jawab om Arman.
Tampak wajah ibuku yang sedikit sewot mendengar
percakapan ayah dan om Arman. Kami pun segera
melanjutkan perjalanan pulang. Alhamdulillah
setelah beberapa lama, kami pun tiba di rumah
dengan selamat. Kami segera mandi dan bersih-
bersih lalu bergegas istirahat karena besok harus
kembali dengan aktifitas masing-masing.
Pagi hari ibu telah menyiapkan makanan di
meja makan. Kami bergegas menuju meja makan
untuk sarapan.
“Ibu dan Radit maafkan Ayah kemarin ya
karena Ayah kita jadi sampai rumah larut malam,”
kata ayahku.
“Baiklah, Ibu maafkan. Lain kali Ayah jangan
hanya mendengarkan pendapat Ferdy saja. Tapi
dengarkan dan pertimbangkan juga pendapat Arman
dan Radit,” jawab ibuku.
“Iya Yah. Sudahlah yang penting kita sudah
sampai rumah dengan selamat dan sebentar lagi kita
bisa kembali beraktifitas. Ayo, Kita segera sarapan
dan berangkat!” ajakku pada ayah dan ibu.
Alhamdulillah suasana pun seperti semula terlihat
wajah ibu dan ayah sudah kembali ceria.
KADO ULANG TAHUNKU
Oleh Kenzi Hafiz Alvaro
Aku berasal dari keluarga yang sederhana. Meski
begitu ayah, ibu, kakak, dan aku sangat bersyukur.
Ayah dan ibu sangat menyayangi kami berdua,
begitu juga sebaliknya. Aku sangat menyayangi
beliau. Sudah menjadi kebiasaan setiap ada anggota
keluarga yang berulang tahun, ibu akan memasak
makanan sederhana dan ayah memberikan hadiah.
Aku sangat tidak sabar karena sebentar lagi adalah
hari ulang tahunku. Aku sangat penasaran.
“Hadiah apa ya kira-kira yang aku dapatkan?”
pikirku.
Tiba-tiba kakakku membuyarkan lamunanku.
“Hayo, lagi mikiran apa kamu?” kakak dengan
sengaja mengejutkanku.
“Ah Kakak ini pingin tahu saja. Kepo ya?”
jawabku ketus.
“Daripada melamun, mari sini bantuin Kakak
memperbaiki sepeda. Sepeda Kakak sering rusak,
maklum memang sudah lama sekali. Dulu sepeda ini
pemberian dari Kakek saat Kakak masih kecil,
sekarang sudah tidak bisa di pakai,” pinta kakak.
Aku sangat berharap kado ulang tahunku kali
ini adalah sepeda. Sudah lama aku ingin sepeda
baru. Tetapi, jika melihat kondisi ayah dan ibu
mungkin belum bisa membelikanku sepeda yang
baru. Setiap hari ayah bekerja keras sedangkan ibu
juga membantu ayah dengan menjadi buruh cuci.
Hari ulang tahunku akhirnya tiba, aku tidak
berani berharap apa-apa yang terjadi hari ini. Ayah
kerja hingga larut malam sedangkan ibu diminta
membantu saudara di acara hajatan.
“Aku kecewa. Aku menangis karena tidak ada
yang ingat hari ulang tahunku,” gerutuku.
Tanpa sadar kakakku mengetahuinya, dia
menegurku dan bertanya.
“Adik mengapa kamu menangis?” tanyanya.
“Tidak apa-apa,” jawabku.
“Coba jujur sama Kakak, mungkin Kakak bisa
membantu,” tanya kakak.
Kemudian aku menceritakan semuanya tetapi
kakak malah menasehatiku, aku masih jengkel dan
kecewa ternyata kakakku tidak mengerti perasaanku.
Aku marah, tanpa basa basi aku berlari dan
membanting pintu kamar dan menangis.
Keesokan harinya, aku terbangun dari tidurku.
Aku keluar kamar dengan malas dan masih merasa
kesal. Setelah aku keluar ke halaman, aku melihat
ada sepeda baru yang sudah lama aku impikan.
Dengan bergegas aku menghampiri sepeda itu
sambil berteriak,
“Ayah, sepeda siapa ini?” tanyaku.
dengan tersenyum ayah menjawab,
“Ya sepedamu lah, hadiah dari Ayah,” Dengan
girang dan tak percaya aku langsung memeluk ayah.
”Benarkah, Yah?” tanyaku.
“Tentu saja,” jawab ayah.
Kemudian dari dalam ibu membawakan kue
ulang tahun kesukaanku bikinan ibu. Kakakku juga
menyanyikan lagu ulang tahun untukku. Aku sangat
senang. Aku berpikir mereka lupa hari ulang tahunku.
Kemudian kami saling berpelukan dan tersenyum
bahagia.
LIBURAN YANG MENYENANGKAN
Oleh Fatikaharani N. Mahendra
Seharian ini tak terkira senangnya hatiku. Kemarin
sore mbak Sasa meneleponku. Aku diajak jalan-jalan
sama mas Jayak juga. Sudah hampir tiga minggu
musim liburan, aku tidak pergi kemana-mana.
Tulalit… Tulalit….
Ponselku berbunyi. Mbak Sasa meneleponku
“asalamualaikum, Rani. Nanti sore jadi ya
acaranya. Kamu harus sudah siap sebelum Mas
Jayak pulang kerja,” kata mbak Sasa.
“Siap, Mbak. Aku pastikan akan tepat waktu,”
jawabku.
Setelah selesai menelepon, aku lompat kegirangan.
Hatiku sangat senang.
Aku berlari ke arah ibu dan memeluknya
sambil menceritakan kalau aku diajak mbak Sasa
dan mas Jayak jalan-jalan.
“Bu, bagusnya aku pakai baju yang mana ya?”
tanyaku pada ibu.
”Pakai yang mana saja, asal rapi dan sopan,”
jawab ibu tersenyum.
Aku segera menuju ke lemari bajuku. Aku
buka dan bingung memilih baju yang mana. Ada
setelan celana dan kaos bergambar kucing tapi…
“Ah tidak sip” gumamku.
Ada pula gaun berwarna biru tapi gak jadi juga.
Akhirnya aku pilih gaun warna hitam bermotif bunga.
Aku menenteng ke arah ibu.
“Bu, aku pakai ini saja, ya?” tanyaku sambil
menunjukkan gaun hitamku. Dengan sedikit
memicingkan mata ibu menjawab.
“Yowes rapopo. Kuwi yo pantes,” sahut ibu.
Bolak-balik aku melihat ke arah ponsel dan
menunggu jam yang seolah berjalan lambat.
Akhirnya untuk menghilangkan kejenuhanku, aku
bermain masak-masakan. ternyata benar kata orang
kalau menunggu itu membosankan. Tak terasa waktu
sudah menunjukkan pukul 15.00
“Rani, ayo mandi,” terdengar suara ibuku
yang nyaring.
Aku bergegas ke kamar mandi dengan
membawa handuk dan aku segera mandi sambil
bernyanyi. Selesai aku mandi bertepatan dengan
mas Jayak pulang kerja. Dia sudah datang dengan
mbak Sasa. Selesai berdandan, kami pun
berangkat. Di sepanjang jalan hatiku sangat senang
dan akhirnya sampai di tujuan. Gedung tinggi dan
gagah itu aku memasuki yaitu BG Junction. Kami
langsung menuju ke tempat makan.
“Rani, mau makan apa?” tanya mbak Sasa
dengan sedikit malu.
“Steak moon-moon saja, Mbak, “ jawabku.
Mas Jayak langsung memesannya, aku dan
mbak Salsa menunggu di meja makan. Lima belas
menit kemudian, makanan yang kami pesan pun
datang. Aku sangat suka dan rasanya sangat
lezat. Menurutku sausnya lumayan kental tetapi
tekstur kentangnya agak keras jadi aku kasihkan ke
Mas Jayak.
Selesai makan, kami pergi ke Time Zone dan
bermain banyak permainan. Ada satu permainan
yang sangat berusaha menarik perhatianku. Ada
lingkaran dengan banyak lubang dan aku
memasukkan bola dalam lubang dan mencoba
memilih yang banyak tiketnya, dan.. .
Tara…. Jackpot…. Aku dapat bonus hingga
228 tiket. Masya Allah bahagianya aku. Akhirnya
tiket itu kami tukarkan dengan barang-barang. Ada
bolpoin, pita, jepit rambut, dan gelang.
Setelah itu kami putuskan untuk pulang. Tak
lupa mbak Sasa dan mas Jaya membelikan oleh-oleh
untuk ibu, bapak, dan kakakku. Ya Allah alangkah
bahagianya aku di akhir masa liburanku. Ada hal
indah yang telah kau berikan. terima segala
karuniaMu.
LINGKUNGAN BERSIH
Oleh Bella Shabrina
Di lingkungan rumahku sangat bersih dan asri,
tetangganya pun sangat ramah dan baik. Setiap hari,
aku bermain di lingkungan rumah bersama teman-
temanku. Pada suatu hari, aku dan teman-temanku
melihat ada orang yang membuang sampah
sembarangan.
“Eh ada yang membuang sampah
sembarangan!” ucap temanku.
“Oh iya?” ucapku.
“Seharusnya ‘kan tidak boleh membuang
sampah sembarangan” ucap temanku.
“Ya sudah mari kita bersihkan,” ucapku.
“Ya sudah ayo,” ucap temanku.
Aku dan teman-temanku pun membersihkan sampah
yang berserakan setelah membersihkan sampah
yang berserakan pak rt pun datang.
“Anak-anak, kalian sedang apa?’’ tanya pak rt.
“Eh Pak RT. Kita sedang membersihkan
sampah yang berserakan,” jawab temanku.
“Wah bagus sekali itu. Bagaimana kalau
besok kita mengadakan kerja bakti?” ucap pak rt.
“Wah ide yang bagus itu Pak RT. Supaya
lingkungan kita tetap bersih dan sehat,” jawabku.
“Betul sekali. Ya sudah besok kita adakan
kerja bakti jam 07.00 pagi,” ucap pak rt lagi.
“Oke pak!” jawabku dan teman-teman.
Keesokannya aku, teman-temanku, dan
warga pun berkumpul untuk kerja bakti. Para warga
semangat untuk melakukan kerja bakti.
“Asalamualaikum warga-warga,” sapa pak rt
pada warga.
“Walaikumsalam,” jawab warga.
“Baik warga-warga mari kita mulai kerja bakti
ya,” ucap pak rt.
“Baik, Pak RT,” jawab warga.
Kerja bakti pun dimulai aku dan warga kerja
bakti gotong royong. Setelah kerja bakti kami pun
pulang untuk beristirahat. Setelah adanya kerja bakti
lingkungan rumahku menjadi semakin bersih dan
asri.
KEBERUNTUNGAN MAFIA
Oleh Asifa Dwi Fajri
Saat pagi yang cerah ada anak yang bernama Mafia.
Dia adalah anak yatim yang hanya tinggal bersama
nenek dan ibunya. Mafia adalah tulang punggung
keluarga, dia bekerja untuk menghidupi nenek dan
ibunya.
“Mafia mau bekerja dulu ya, Bu,” ucap Mafia.
“Iya Anakku, berhati-hatilah,” jawab ibu.
Tidak lama kemudian, Mafia berangkat
bekerja. Di tengah perjalanan ia diculik dan dibawa
kabur oleh seseorang yang tidak dikenal. Lalu ada
gadis cantik dan ayahnya.
“Siapa kamu? Mau kamu bawa kemana anak
itu?” tanya ayah gadis itu.
Lalu ayah gadis itu bertengkar dengan orang yang
menculik Mafia tadi. Akhirnya orang yang menculik
Mafia kabur. Mafia sangat berterima kasih kepada
ayah gadis tadi. Ternyata gadis tadi bernama Larisa.
“Siapa namamu, cantik?” tanya Larisa pada
Mafia.
“Namaku Mafia,” jawab Mafia.
Lalu Mafia diajak ke rumah Larisa. Sesampai di
rumah, Mafia di beri makanan minuman. Ayah Larisa
menghampiri Mafia yang sedang makan. Ia
mengajak ngobrol tentang kehidupan Mafia.
“Nama kamu siapa, Nak?” tanya ayah Larisa.
“Nama saya Mafia, Om,” jawab Mafia.
“Nama yang sangat bagus,” ucap ayah Larisa.
“Kalau Om boleh tahu, apa kesibukkan kamu
sehari-hari? Dimana kamu tinggal?” tanya ayah
Larisa lagi.
“Saya bekerja di sebuah kafe sebagai
pelayan, Om. Rumah saya di daerah Perumahan
Anggrek,” jawab Mafia.
“Oh begitu. Kamu kenapa tidak sekolah,Nak?
Sayang sekali, di usiamu yang sangat muda, kamu
harus bekerja,” ucap ayah Larisa.
“Isshh ... Ayah kenapa tanya begitu? Bikin
malu saja,” kesal Larisa.
“Hem… Saya tidak ada biaya untuk
melanjutkan sekolah karena saya harus menghidupi
kebutuhan Nenek dan Ibu saya. Ayah saya sudah
meninggal sejak 3 tahun yang lalu,” jawab Mafia.
“Ya ampun, maafkan Om ya. Om sangat
lancang bertanya hal lebih,” ujar ayah Larisa.
“Tuh kan, Yah. Mafia sampai malu,” kesal
Larisa.
“Tdak apa-apa kok, Om dan Larisa,” ujar
Mafia.
Selesai Mafia makan, dia ingin mencuci piring bekas
dia makan. Namun, Larisa melarang Mafia untuk
mencuci piring itu.
“Tidak usah, Mafia. Biar aku yang
membersihkan,” ucap Larisa.
“Oh iya. Terima kasih ya, Larisa. Maaf
merepotkan,” ucap Mafia.
“Sudah tidak apa-apa,” ujar Larisa.
Ayah Larisa menghampiri Mafia. Dia ingin
menyekolahkan Mafia sampai lulus. Ayah Larisa
berniat agar Mafia satu kelas dengan Larisa.
“Mafia, Om ingin menyekolahkan kamu
bersama Larisa. Kamu mau ya?” tanya ayah Larisa.
“T-tapi Om, saya bukan siapa-siapa,” ucap
Mafia.
“Ayah serius mau menyekolahkan Mafia?”
tanya Larisa.
“Iya, Ayah serius,” jawab ayah Larisa.
“Asyik,” girang Larisa.
“Sudah ya Mafia, mulai besok kamu dan
keluarga tinggal di rumah kami. Kamu fokus
bersekolah, Nenek dan Ibu kamu bisa bekerja
dengan kami. Rumah kami sangat sepi semenjak
Ibunya Larisa meninggal,” ujar ayah Larisa.
Mafia sangat berterima kasih kepada mereka.
Mafia pun pulang dan ia bercerita ke Ibunya yang
tadi. Malam pun tiba, Mafia segera tidur. Keesokan
harinya Mafia dan Larisa bertemu dan bermain
bersama dan menjadi kawan dekat.
SAHABAT SEJATI
Oleh Alvika Putri Oktaviani
Pada suatu hari ada anak yang bernama Sisil. Dia
mencari sahabatnya yang hilang beberapa hari yang
lalu. Sahabatnya bernama Sila. Sisil hampir putus
asa mencarinya karena Sila belum ketemu juga.
Akhirnya Sisil memutuskan untuk beristirahat
sejenak. Dari belakang Sisil seperti ada yang
memanggilnya.
“Sisil… Sisil… Sisil….” ucap orang itu,
Lalu Sisil pun menoleh ke arah belakang dan
dia terkejut tidak percaya. Orang yang memanggilnya
adalah Sila, sahabatnya yang selama ini hilang dan
dia cari. Akhirnya Sisil pun mendekati Sila lalu dia
memeluk Sila dengan tangisan yang penuh bahagia.
Akhirnya kedua sahabat itu pulang bersama-sama.
Beberapa hari yang lalu mereka berdua
makan bersama di restauran. Mereka melepas
kangen bersama dengan cerita satu sama
lain. Setelah beberapa menit kemudian, mereka
pulang.
“Terima kasih ya, Sis,” ucap Sila.
“Iya, sama-sama,” sahut Sisil.
Akhirnya mereka berdua memutuskan untuk
pulang ke rumahnya Sila. Sesampai di rumah Sila,
mereka mengobrol saat Sila hilang.
“Sil, gimana ceritanya kamu bisa hilang?”
tanya Sisil.
“Saat aku mendapatkan kabar kamu
menghilang, aku sangat khawatir. Aku terus
mencarimu ke sana kemari,” ucapnya lagi.
“Jadi gini. Aku ‘kan ada kegiatan kamping.
Saat api unggun, aku kebelet pipis. Sangking aku
enggak kuat nahan, aku memutuskan untuk
berangkat ke hutan sendirian,” ucap Sila.
“Selesai aku dari hutan, aku balik menuju
tenda. Saat perjalanan menuju tenda, ada yang narik
aku dari belakang. Aku tahu kalau itu penculik. Aku
teriak minta tolong tetapi enggak ada yang nyahut,”
lanjutnya.
“Terus waktu kamu ditarik sama mereka,
kamu di bawa kemana? Kamu berusaha melawan?”
tanya Sisil.
“Aku dikurung selama beberapa hari di rumah
kosong. Untungnya waktu aku di culik, aku di kasih
makan dan minum. Kalau enggak? Aku bisa mati
kelaparan, hahaha. Saat penculik itu lagi tidur, aku
mengambil kunci yang ada di tangannya. Pelan-
pelan aku ambil lalu aku berjalan ke arah luar, dan
akhirnya aku bebas. Saat di jalan, aku ketemu kamu
dan teriak manggil kamu,” kata Sila.
“Syukur banget akhirnya kita ketemu lagi,”
ucap Sisil.
Beberapa bulan kemudian, akhirnya mereka
berdua untuk bersekolah bersama-sama. Mereka
kelas 2 SMA dan 1 kelas.
“Terima kasih ya, Sis. Kamu mau menjadi
sahabatku,” ucap Sila sambil menangis.
“Iya, sama- sama,” jawab Sisil.
“Kamu juga sahabat yang paling aku cintai dan
aku sayangi anggap saja kita adik dan kakak,” ucap
si Sisil.
“Iya, Sis,” jawab Sila.
BERSEPEDA
oleh Naila Faizah Ramadhani
Pada hari libur, aku pergi ke desa naik kereta api dan
hatiku sangat senang.
TUT… TUT… TUT….
Suara kereta api melaju dengan kencang
melintasi sawah dan naik turun gunung menyebrangi
sungai.
Oh indahnya pemandangan, batinku.
Pak kondektur menyiarkan para penumpang
kereta api akan berhenti di Stasiun Tulungagung. Aku
bersiap untuk turun. Aku dijemput oleh pamanku.
Sesampainya di rumah, aku memberi salam kepada
nenek, kakek, dan bibi.
Keesokan harinya aku bertemu teman-
temanku.
“Hai Naila, kapan kamu datang?” tanya Nia.
“Kemarin sore,” jawabku.
“Ayo, kita memanggil teman-teman untuk
bersepeda,” ajak Nia.
“Ayo!” jawabku riang.
Aku dan Nia menjemput teman yang lain untuk
bersepeda bersama. Kami pun tiba di rumah Lia.
“Lia… Lia… Lia….” sapa Nia.
“Hai Naila, apa kabar kamu?” sapa Lia.
“Baik, mari kita bersepeda,” ajakku.
“Ayo. Bentar ya aku ambil sepeda dulu,” ucap
Lia.
“Oke!” jawabku dan Nia
Kami bertiga bersepeda bersama menyusuri
jalanan. Setelah itu kami pergi menjemput Nafizah
untuk bersepeda bersama agar tidak bosan karena
bersepeda hanya bersama tiga orang saja.
“Ayo manggil Hafizah,” ucapku.
“Hafizah… Hafizah… Hafizah….” sapa kami.
“Eh ada Naila. Apa kabar kamu?’ tanya
Hafizah,
“Baik. Ayo bersepeda!” ajakku.
“Sebentar ya, aku cuci muka dulu,” ucap
Hafizah.
“Oke,” jawabku.
Setelah itu kami bersepeda bersama keliling
desa. Kami bercerita dan tertawa bersama.
Bruk…!
Suara sepeda Nia terjatuh lalu dia berteriak
dan kami segera menolongnya.
“Kenapa, Nia?” tanyaku.
“Mana yang sakit?’ tanya Lia.
“Ayo kita beristirahat dulu,” ajak Hafizah.
“Aduh ….” Nia merintih kesakitan.
“Kenapa ya kok bisa jatuh?” tanyaku heran.
“Oh bannya kempes,” ucap Lia.
“Ayo kita cari pinjaman pompa angin,” kata
Hafizah.
“Oke,” jawabku.
Kami pergi menuju tukang tambal ban. Disana
kami meminta pertolongan kepada bapak tambal
ban.
“Permisi Pak. Bolehkah kami meminjam
pompa ban?” tanya Hafizah.
“Mana yang kempes bannya? Sini saya
pompakan,” ucap pak Udin.