The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by widya pustaka SMP Negeri 5 melaya, 2021-04-22 06:47:11

Sedang Tuhan Pun Cemburu ( PDFDrive )

Sedang Tuhan Pun Cemburu ( PDFDrive )

Sedang Tuhan pun Cemburu

yang korup dan menindas, kemapanan yang melahirkan de-
kadensi, dan seterusnya.

Karena kritik-kritik Emha yang tajam, orang mungkin
akan memberi cap pemberang kepada Emha. Tetapi, “kebe-
rangan” itu sesungguhnya merupakan bagian dari “kesaleh-
an sosial” (pinjam istilah Dr. Kuntowijoyo).

“Saya tidak bisa asyik sendiri di kamar. Tekun beribadah
untuk merayu Tuhan agar saya masuk surga sendiri, semen-
tara ketidakadilan bagai hujan lebat menikam bumi,” ujar
Emha.



Emha bukan jenis sastrawan dan budayawan “kamar” yang
eskapis, melainkan sastrawan dan budayawan yang terlibat.
Ia bergaul dengan berbagai lapisan masyarakat: dari kaum
cendekiawan sampai seniman. Dari birokrat, teknokrat,
sampai mahasiswa dan demonstran. Dari rohaniawan, ula-
ma, sampai artis.

Tidak hanya itu, Emha juga berada dalam denyut nadi
kehidupan orang-orang pinggiran. Orang-orang yang ka-
lah dan dikalahkan. Orang-orang yang dirampas haknya,
opininya, hati nuraninya, dan tanahnya. Orang-orang yang
terlempar dari perputaran sistem sosial. Tak jarang Emha
turun langsung ke lapangan: memberi empati dan bantuan
korban-korban penggusuran.

Bagi kaum drop-out sosial itu, Emha jauh lebih dipercaya
daripada anggota parlemen yang bisa dibeli.

Sebagai “orang lapangan”, ia berada dalam kedalaman
lautan persoalan sosial, seni-budaya, politik, dan agama. Ia

438

Profil Penulis

merasakan dan menghayati persoalan keperihan masyara-
kat. Keperihan yang terus membuatnya gelisah.



Kegelisahan sosial dan kegelisahan spiritual sangat kuat me-
warnai karya-karya Emha. Lihatlah puisi-puisi yang terkum-
pul, di antaranya dalam antologi 99 Untuk Tuhanku (1980),
Lautan Jilbab (1989), dan Sesobek Buku Harian Indonesia
(1993) yang memuat tiga antologi: “M” Frustasi; Sajak-sajak
Sepanjang Jalan dan Sesobek Buku Harian Indonesia. Lihatlah
naskah dramanya: Geger Wong Ngoyak Macan (ditulis bersa-
ma Fajar Suharno dan Gadjah Abiyoso), Patung Kekasih (ber-
sama Simon Hate dan Fajar Suharno), Doktorandus Mul, Am-
pas (Mas Dukun), Keajaiban Lik Par, Sidang Para Setan, Perahu
Retak dan Pak Kanjeng. Lihatlah kumpulan cerpennya: Yang
Terhormat Nama Saya (1992). Lihatlah esai dan kolomnya:
Dari Pojok Sejarah: Renungan Perjalanan (1985), Sastra Yang
Membebaskan (1984), Indonesia Bagian dari Desa Saya (1980),
Slilit Sang Kiai (1991) dan lainnya.

Dengan kaca mata common sense, Emha memandang,
menghayati, dan menganalisis setiap peristiwa di masya-
rakat—yang mungkin “kecil” dan “sederhana”, tetapi oleh
Emha diproyeksikan secara makro. Ini salah satu kelebih-
an Emha yang jarang dimiliki oleh para akademisi. Sebe-
lum para akademisi “omong” banyak soal hegemoni negara,
Emha telah mempersoalkan negara dalam salah satu esainya
yang cukup terkenal: Indonesia Bagian dari Desa Saya. Di situ
Emha melihat bagaimana negara telah hadir secara hegemo-
nis di desanya dan menjadi penentu dari nasib dan wajah

439

Sedang Tuhan pun Cemburu

desa itu. Ia meneropong kasus Pemilu 1982 yang telah “me-
morak-porandakan” sendi-sendi keguyuban orang desa.



Emha adalah anak desa. Tepatnya desa santri. Pada Ra­bu
Legi, 27 mei 1953, Emha lahir di Menturo, Sumobito, Jom-
bang, Jawa Timur. Menturo sebagai kandang budaya tradis­ i
merupakan bagian penting dari pengembaraan panjang Em­
ha, baik secara sosial, intelektual, kultur, maupun spiritual.

Emha merasa bersyukur sebagai anak desa. Dari desa ia
mendapatkan berbagai pengalaman dan pelajaran tentang
kesederhanaan, keprasajaan, kewajaran, dan kearifan hidup.

“Saya belajar banyak dari orang desa yang ‘berhati pe-
tani’. Mereka hanya makan yang ditanam. Mereka menuai
hasil berdasarkan kewajaran kerja. Mereka menjadikan ker-
ja sebagai orientasi hidup. Mereka tak pernah menguasai,
mengeksploitasi alam dan sesama manusia. Mereka tabah,
meskipun ditindih penderitaan. Saya benar-benar cemburu
pada kualitas hidup mereka,” tuturnya.

Karena pelajaran besar itulah, Emha menganggap peran
sosial bukan sebagai karier, melainkan sebagai kewajiban
kerja dan fungsi sosial yang mampu memberi makna kepa-
da masyarakat. Makna itu bisa berwujud sikap pemihakan
terhadap yang lemah atau dilemahkan. Atau, bisa juga upaya
mencari berbagai kemungkinan nilai “ideal” atau moral di
tengah kebangkrutan budaya masyarakat. Apa pun hasilnya,
hanyalah sebagai akibat belaka. “Salah satu kebahagiaan hi-
dup saya adalah bekerja ...,” katanya.

Karena pelajaran besar dari desa itu pula, Emha tetap
“bertahan” untuk hidup sederhana. Dikatakan bertahan ka­

440

Profil Penulis

rena secara ekonomis ia sesungguhnya mampu “menyesuai-
kan” diri dengan gaya hidup kelas memengah yang borjuis-
tis. Setiap hari ia masih makan di warung pinggir jalan. Sam-
pai-sampai ia sakit karena kurang gizi.

“Aneh, seorang budayawan terkenal mengidap jenis ‘pe-
nyakit’ kelas bawah. Bagaimana mungkin? Bukankah Emha
kini sudah kaya?” ujar seorang kawannya.

“Di manakah kekayaan Emha?” ujar kawannya yang lain.
Mungkin orang tidak percaya jika selama ini Emha ha-
nya berfungsi sebagai “selang” atau “talang” dari rezeki yang
diterimanya. Rezeki itu dikembalikan kepada masyarakat
untuk membiayai fungsi-fungsi sosial. Ia ikut menangani
Yayasan Pembangun Masyarakat “Al-Muhammady” di Jom-
bang yang bergerak di bidang pendidikan, sosial-ekonomi,
dan sosial-budaya. Ia pun ikut kiprah dalam Yayasan “Aba-
bil” di Yogyakarta yang menyediakan tenaga advokasi pe-
ngembangan masyarakat. Selain itu, secara ekonomis dan
kasuistik, Emha masih harus terlibat dengan orang-orang
atau pihak-pihak yang membutuhkan bantuan.



Riwayat pendidikan Emha boleh dikatakan “kurang indah”.
Jebol dari Pondok Pesantren Gontor, Ponorogo, Jawa Timur,
ia melesat ke Yogya. Emha langsung jatuh cinta kepada kota
yang oleh Rendra disebut tua ini. Bahkan, Yogya menjadi
“ibu kota hati” dan “ibu kota kebudayaan” yang kedua sesu-
dah Jombang. Di Yogya, Emha membentur-benturkan diri
ke realitas hidup yang keras. Ia tidak menyerah, meskipun
hidupnya “babak belur”.

441

Sedang Tuhan pun Cemburu

“Hidup tidak untuk dikalkulasi, tetapi dijalani!” Itulah
“kredo” hidup Emha yang cukup terkenal pada 1970-an, su-
atu massa ketika romantisme kesenimanan mencapai titik
kulminasinya di Yogya.

Setelah lulus SMA ia mencoba mencicipi kuliah di Fa-
kultas Ekonomi UGM. Tetapi, tak betah. Ia lebih memilih
“kuliah” di “Universitas Malioboro”. Bergabung dengan ke-
lompok penulis muda, Persada Studi Klub (PSK), di bawah
“maha guru” Umbu Landu Paringgi. Di (PSK) ini Emha ma-
kin menyadari potensi kepenyairan dan kepenulisannya.
Tulisan-tulisannya tersebar di berbagai media massa. Inilah
titik penting dari hadirnya pengakuan masyarakat atas ek-
sistensinya.

Kegelisahan untuk menyodorkan alternatif nilai, mem-
buat Emha selalu “gerah” berada dalam kemampuan institu-
si. Ia bagaikan udara yang terus beredar: singgah ke ruang
untuk kemudian ditinggalkannya. Ia pernah jadi redaktur
harian Masa Kini. Ia pernah menjadi sekretaris Dewan ke-
senian Yogyakarta. Tetapi, karena kemapanan itu dirasa-
kan menjepit “sayap-sayap kebebasannya”, Emha pun lepas,
“memberontak”. Yang terakhir, ketika “didhapuk” jadi fungsi-
onaris Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI). Lagi-
lagi Emha “memberontak”.

Bagai udara, Emha terus beredar. Singgah di berbagai ru­
ang dan peristiwa: di Filipina untuk mengikuti lokakarya tea-
ter (1980); International Writing Program di Universitas Iowa,
Amerika Serikat (1984); Festival Penyair Internasional (1984)
di Rotterdam, Belanda (1984); dan Festival Horizonte III di
Berlin Barat, Jerman (1985).

442

Profil Penulis


Kalau mau, sesungguhnya Emha punya paspor untuk me-
masuki lingkaran kekuasaan. Tetapi, ia toh tetap bertahan
sebagai orang “pinggiran”. Emha tetap bertahan “di kemah”
Yogya yang jauh dari hiruk-pikuk jarah-rayah kenduri na-
sional. Inilah “jalan sunyi” yang ditempuh Emha; menjaga
akal sehat dan roh masyarakat, sambil terus meneriakkan
gugatan-gugatannya: “Zaman yang rakus, Bapak/Makin tak
kenal kewajaran kerja/Hidup yang mengembangkan pencurian/
Tidaklah mengajari nriman/Dan kemunafikkan yang tak tere-
lakkan/Makin menyembunyikan kebenaran/Di tengah beratus
wajah penindasan, Bapak/Ajari kami bagaimana mampu rela/
Membiarkan diri jadi kuda tunggangan/Waktu telah bergolak/
Tak setenang itu air telaga/Langit batinku retak/Tak terucap
lagi kata lega-lila.”

Indra Tranggono

443

Melalui buku ini, Emha Ainun Nadjib, menguliti dalam-
dalam perkara kemusliman “birokrasi". Ketaatan yang
penuh rasa "takut kepada atasan", bukan kecintaan dan
pengabdian kepada Tuhan. Semua kemudian berputar pada
surga ­dan neraka, halal dan haram, pahala dan dosa. Detail-
detail ritual yang malah memicu perbedaan pendapat
antar-umat. Dalam kegelisahannya, Emha seolah berbicara
pada naluri kita, "­ Apa tidak malu kita kepada-Nya, pada

akal dan perasaan kita sendiri?"


Click to View FlipBook Version