351
Pratonggopati terdiam. Pratonggopati tak tahu jawabnya. Namun sebenarnya,
kenyataan yang dilihatnya itu memaksa Ki Ajar Pratonggopati berpikir tentang seseorang
yang mempunyai kemampuan mendebarkan. Seseorang yang keberadaannya bagaikan
dongeng. Sebagian ada yang percaya sosok yang dimaksud itu ada sebagian lagi ada yang
menganggapnya sebagai dongeng yang tidak perlu dipercaya.
“Jika seorang pemuda bernama Ken Arok mampu mengalahkan Kuda Rangsang
dan Taji Gading sekaligus, maka Ken Arok tentu memiliki ilmu kanuragan yang sundul
langit. Namun sebenarnya, ada sebuah nama lagi yang lebih mengerikan. Ilmu kanuragan
yang dikuasainya bercampur ilmu hitam. Untuk menyempurnakannya harus dilengkapi
dengan syarat-syarat tertentu, misalnya persembahan korban manusia. Semakin banyak
orang yang dibunuhnya, maka kesaktiannya akan makin membubung. Menurut yang aku
dengar, orang itu juga menguasai kemampuan seperti yang baru saja dipamerkan oleh
Parameswara. Angin Ribut.”
Dyah Narasari merasa ada bagian dari tuturan pamannya yang aneh dan membuat
gadis itu terheran-heran.
“Bagaimana bisa demikian, paman? makin banyak orang yang dibunuhnya maka
kesaktiannya makin membubung? Apa maksudnya?”
Pratonggopati memandang raut muka keponakannya.
“Ilmu kanuragan orang yang dibunuh akan berpindah kepadanya, Jika kau yang
dibunuh, maka segala macam kemampuan kanuragan yang kaumiliki, akan menjadi
miliknya. Padahal mereka yang mati di tangan Sabalangit umumnya orang-orang yang
pinunjul119, dengan kesaktian yang tak terukur,” Ki Ajar Pratonggopati menjelaskan.
Dyah Narasari terkejut dan bulu kuduknya bangkit.
“Gila,” gadis itu tidak bisa menahan ngeri. “Siapa orang itu, paman?”
Ki Ajar Pratonggopati menghela desah agak panjang. Dari wajahnya tersirat
keprihatinan.
“Namanya Sabalangit. Menurut perhitunganku, orang itu bakal hadir pula di Air
Terjun Seribu Angsa.”
Dyah Narasari memandang wajah Ki Ajar Pratonggopati dengan tidak berkedip.
Jika pamannya sampai menyimpan rasa cemas, maka bisa dibayangkan, pertemuan di Air
Terjun itu nantinya akan menjadi pertemuan bermuatan beban sangat berat yang harus
disangga oleh ayahnya, apalagi jika harus berurusan dengan orang yang baru diceritakan
pamannya. Namun Pratonggopati memang layak cemas. Tokoh sakti yang diperkirakan
akan hadir di Air Terjun Seribu Angsa bukan hanya Sabalangit. Ada lagi seseorang yang
harus menjadi perhatian dan diperhitungkan, ia seorang perempuan tua dengan kebesaran
nama sejajar dengan Sabalangit, perempuan yang keberadaannya diselubungi teka-teki.
“Kita tinggalkan tempat ini, Narasari,” ucap Pratonggopati.
Narasari menoleh.
“Kita ke mana, paman?” tanya Narasari.
Pratonggopati mengayunkan langkah menempatkan Dyah Narasari bergegas.
“Kita intip, apa yang terjadi di Air Terjun Seribu Angsa itu,” jawab Pratonggopati.
Dyah Narasari terlonjak senang. Dalam hati memang itulah yang diinginkan, siapa
mengira pamannya justru mengajaknya menempuh perjalanan ke sana. Dyah Narasari
yang semula menempuh perjalanan bersama Parameswara, kini ia berganti pengawal,
pamannya sendiri. Dengan berjalan kaki mereka melangkah ke sebuah arah di mana di
119 Pinunjul, jawa, memiliki keunggulan
352
sana terletak Gunung Kampud, gunung dengan puncak selalu dikemuli mendung dan
acap berulah mengeluarkan lahar dan batuk-batuk.
Ketika akhirnya tidak ada siapa-siapa lagi, dua orang lelaki penduduk yang tinggal
di balik bukit, keluar dari persembunyiannya dan berlari-lari turun. Dengan pandang mata
terbelalak, takjub dan bergolak mereka memperhatikan bekas-bekas pertarungan. Bagi
mereka bekas-bekas yang ada itu sungguh luar biasa, sangat dahsyat dan tak masuk akal,
hanya para Dewa yang memiliki kesaktian yang mampu meninggalkan jejak batu percah
menjadi serpihan dan berhamburan.
Ketika nantinya ke dua orang itu pulang untuk mewartakan apa yang dilihatnya
maka gemparlah para penduduk yang tinggal di tempat terpencil itu. Mereka berbondong-
bondong turun dari bukit untuk ikut menonton. Batu-batu yang retak pecah berhamburan
menjadi bukti cerita tentang pertarungan hidup dan mati itu benar-benar nyata, tidak
bohong.
Sang waktu pun kemudian bergulir. Matahari timbul tenggelam dipeluk mendung
dan mega. Matahari telah doyong ke barat.
X
Parameswara duduk terpaku di atas kudanya yang berderap pelahan. Mata pemuda
itu berkaca-kaca. Kenyataan yang baru saja didapatnya merupakan hal yang teramat
pahit, memang bukan racun, tetapi sama pahitnya. Semakin larut Parameswara merenung,
Parameswara merasa dirinya kotor dan menjijikkan. Seolah tubuhnya berlepotan dengan
kama kental, yang berbau pesing beraroma birahi. Parameswara berusaha menepis dan
mengenyahkan akan tetapi wajah seorang perempuan yang ditemuinya saat di Kediri itu
melekat di kelopak matanya. Perempuan yang gemetar ketika melihatnya, perempuan
yang amat gugup saat menerima kehadirannya.
Kemudian sosok wajah yang tidak mungkin dienyahkan itulah wajah Patih Panji
Ragamurti. Menggigil Parameswara tiap kali menyebut nama orang itu, seseorang yang
rupanya akan menjadi bagian dari mimpi buruknya sepanjang masa. Tanpa ada Panji
Ragamurti dan tanpa ada Rara Datin tidak mungkin ada Parameswara, tetapi apakah
karena itu Parameswara harus mengucapkan terimakasih kepada mereka orang-orang
yang menjadi perantara kelahiran dirinya ke dunia?
“Kalau boleh memilih, aku lebih senang tidak ada, tidak perlu ada Parameswara.
Menjijikkan,” gumam Parameswara.
Sapu Angin adalah kuda yang cerdas. Di tempat yang lapang dengan pandangan
mata luas, jika memandang jauh ke arah selatan terlihat laut yang sangat luas, di tempat
itulah kuda itu berhenti seolah mempersilahkan Parameswara untuk melarutkan galau
hatinya di tempat yang indah itu. Parameswara meloncat turun. Sapu Angin meringkik
dan berderap entah ke mana. Parameswara tidak perlu mencemaskan kuda itu, karena
nantinya pasti akan kembali.
“Lebih baik, malam ini aku beristirahat di sini,” berbicara Parameswara itu kepada
dirinya sendiri.
353
Parameswara kemudian mengumpulkan ranting-ranting yang tersedia sangat banyak
di tempat itu. Saat senja kemudian membayang di kaki langit Sapu Angin telah kembali
dengan badan basah kuyup. Rupanya kuda itu baru saja berendam di air, ia lakukan itu
untuk mendinginkan tubuhnya yang panas.
“Apa yang akan kulakukan setelah semua ini?”
Pertanyaan sederhana yang terlontar dari lubuk hatinya itu ternyata sangat sulit
dijawabnya. Apakah kembali ke Pesanggaran untuk memangku tugas yang diberikan Ki
Ajar menjadi pucuk pimpinan perguruan Kembang Ayun? Membayangkan hal itu
Parameswara menjadi risih. Di sana ada Ken Rahastri, gadis yang ia cintai dan rindukan.
Parameswara merasa jika ia kembali justru akan memperburuk keadaan.
“Aku akan menyusul Prabawati ke Panjaringan, aku berkewajiban membantunya
memecahkan permasalahan yang tengah dihadapinya. Lalu, barangkali ada baiknya aku
mengintip apa yang sedang terjadi di Air Terjun Seribu Angsa, setelah itu apa yang akan
kukerjakan? Itu urusan nanti.”
Dengan cepat waktu menjamah petang, malam pun kemudian telah datang. Bukit
yang menghadap laut selatan itu mulai riuh oleh suara binatang-binatang malam. Bahkan
lolong serigala mulai terdengar dari kejauhan. Langit di arah laut sebagian gelap oleh
tebalnya mendung, dari arah sana kilat terlihat muncrat menjamah permukaan ombak.
Parameswara membaringkan diri di dekat perapian. Kuda Sapu Angin berdiri tidak
jauh di dekatnya.
“Kita bergantian berjaga, Sapu Angin,” kata Parameswara kepada kudanya. “Paruh
malam kau yang berjaga, separuh sisanya aku yang akan menjagamu, nanti kauboleh
tidur sepuasmu.”
Kuda Sapu Angin meringkik seperti paham atas apa yang diucapkan Parameswara.
Malam itu Parameswara menghabiskan waktu untuk istirahat sekaligus memberi
kesempatan kepada Sapu Angin untuk juga beristirahat. Udara malam tak begitu dingin
namun nyamuk-nyamuk yang beterbangan amat mengganggu mendorong Parameswara
membuat perapian lagi di arah yang lain.
Waktu terus bergerak hingga kemudian menjamah wilayah dini hari. Parameswara
tengah tidur pulas dibuai mimpi saat tiba-tiba Sapu Angin meringkik. Sapu Angin yang
tengah berbaring itu bangkit. Kuda itu kembali meringkik pelahan. Parameswara yang
tanggap atas isyarat itu segera bangkit dan memerhatikan suasana.
“Ada apa?” tanya Parameswara.
Kembali Sapu Angin meringkik kecil. (BERSAMBUNG)