PEMIKIRAN ABDURRAHMAN WAHID (GUS DUR) TENTANG PENDIDIKAN
ISLAM
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Tarbiyah dan Keguruan Untuk Memenuhi Salah Satu
Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan
Oleh:
Abdul Mujib
1113011000078
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2017
ABSTRAK
Abdul Mujib (1113011000078): Pemikiran Abdurrahman Wahid (Gus Dur)
Tentang Pendidikan Islam
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui konsep pendidikan Islam
menurut perspektif Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif dengan pendekatan library
research yaitu lebih menitikberatkan pada pengumpulan data dari berbagai sumber
yang relevan. Dalam hal ini mencakup buku-buku, jurnal dan hasil penelitian yang
terkait dengan judul karya ilmiah ini.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa menurut Gus Dur tujuan pendidikan
Islam adalah prosesmenjadikan manusia sebagai insan kamil dan menjadikan
manusia memiliki jiwa sosial yang tinggi terhadap sesama manusia dan alam. Ada
tiga tujuan pendidikan Islam menurut Gus Dur yaitu pendidikan Islam berbasis
modernisme, pendidikan Islam berbasis pembebasan dan pendidikan Islam berbasis
kebhinekaan. Terkait kurikulum, Gus Dur melihat bahwa pesantren dinilai ideal
sebagai kurikulum pendidikan Islam karena pesantren memiliki nilai-nilai mandiri
yang sudah ada sejak di Indonesia dan pesantren dapat dikatakan sub-kultur karena
memiliki ciri khas yang menjadikannya sebagai salah satu identitas pendidikan
Islam. Adapun metode pendidikan Islam menurutnya ada tiga, yaitu metode
Qishah,metode Ta’lim al-Kitab dan metode Ibrah atau Mauizah. Terakhir, strategi
pendidikan Islam menurut Gus Dur ada tiga yaitu strategi sosial-politik, strategi
kebudayaan dan strategi sosial-kebudayaan.
Kata kunci: Gus Dur, Pendidikan Islam
i
Abstract
Abdul Mujib (1113011000078): Consideration of Abdurrahman Wahid About
Islamic Education
Education is a tool to form a quality human being intact both in knowledge,
social and skills for student. The educational paradigm has long been changed for
the sake of seeking the right idealism in certain societal conditions. These changes
include educational goals, method curriculum, and so on. Education must be
prosecuted to have an effective and efficient principle and able to keep up with the
times. There are many educational ideas that have been initiated by education
leaders. In this case, the author sees Abdurrahman Wahid or who is usually called
Gus Dur is one of the influential figures in Indonesia. The most prominent thing is
the pluralist and democratic attitude that Gus Dur instilled into one of the things
worth studying because it has the right relationship with Islamic education in
Indonesia.
This research is descriptive qualitative with library research approach that
is more emphasis on data collection from various relevant sources. In this case
includes books, journals and research results related to the title of this scientific
work.
The results showed that according to Gus Dur, that Islamic education is the
process of planting knowledge into the human self and the process of making
humans as insan kamil. The goal of Islamic education is to create human beings who
are obedient to Allah SWT and also make human has a high social soul against
fellow human beings and nature. According to him, education gives direction to the
empty human soul at the beginning and finally has the direction of truth in living
life. Islamic education provides a broad and free space for learners to develop their
personality that ultimately produces learners of good quality in their knowledge and
social skills so the student have a strong foundation to be able to deal strongly with
the future life.
Keywords: Gus Dur, Islamic Studies.
ii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, penulis panjatkan kepada sang kholiq yang telah
memberikan kekuatan dan kemudahan serta nikmat sehingga dengan izin-Nya
penulis dapat menyelesaikan penyusunan skriipsi ini. Tak lupa shalawat dan salam
penulis haturkan kepada Baginda Rasulullah SAW., semoga syafaat-Nya senantiasa
tercurahkan kepada umat muslimin.
Skripsi ini disusun untuk memenuhi persyaratan dalam meraih gelar
Sarjana Pendidikan (S.Pd) pada Jurusan Pendidikan Agama Islam, Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam penyusunan skripsi ini, penulis
memperoleh banyak dukungan dan saran dari berbagai pihak, sehingga ucapan
terima kasih penulis sampaikan dengan tulus dan sebesar-besarnya kepada :
1. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta .
2. Dr. Abdul Majid Khon, M.Ag dan Ibu Marhamah Saleh, Lc, M.A., selaku
Ketua dan Sekretaris Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu
Tarbiyah dan Keguruan.
3. Prof. Dr. Armai Arief, M.Ag selaku dosen pembimbing skripsi yang dengan
penuh kesabaran membimbing dan mengarahkan penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini.
4. Dosen-dosen civitas akademi Jurusan Pendidikan Agma Islam UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah membimbing penulis dari awal masuk
hingga bisa menyelesaikan skripsi ini dan Staf-staf/Karyawan yang
membantu proses administrasi penulis .
5. Terima kasih luar biasa kepada Ayahanda tercinta H. Salbini dan Ibunda
tersayang Hj. Nani, yang telah mencurahkan cinta luar biasa, nasehat dan doa
tak pernah henti, sujud abdiku kepada kalian atas doa dan pengorbanan
kalian selama ini.
iii
6. Keluarga besar PAI 2013, terkhusus teman kelas PAI B (Chabe) yang selalu
mendukung semua kegiatan yang penulis lakukan dan telah bekerja sama
dengan baik dalam pembelajaran atau kegiatan lainnya.
7. Teman-teman alumni Al-Hidayah Basmol angkatan 2010 yang juga menjadi
teman seperjuangan di kampus ini yaitu Naylah Istiqomah, Hizam Adli,
Farida Rakhmah, Istikhori, dan Haninah Halwa yang juga selalu mendukung
penulis dalam melakukan kegiatan-kegiatan baik di kampus dan luar kampus.
8. Semua pihak yang penulis tidak bisa sebutkan satu-persatu terima kasih atas
bantuannya dalam penyusunan skripsi ini.
Penulis pun menyadari skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Karena
itu penulis mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan skripsi ini
selanjutnya. Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat dan dapat dijadikan
rujukan penyusunan skripsi selanjutnya.
Jakarta, 03 November 2017
Penulis
iv
DAFTAR ISI
COVER
LEMBAR PENGESAHAN DOSEN PEMBIMBING
SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI
ABSTRAK ...................................................................................................... i
ABSTRACT ..................................................................................................... ii
KATA PENGANTAR.................................................................................... iii
DAFTAR ISI................................................................................................... v
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah................................................................ 1
B. Identifikasi Masalah ...................................................................... 9
C. Fokus Masalah............................................................................... 9
D. Rumusan Masalah ......................................................................... 10
E. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian...................................... 10
BAB II LANDASAN TEORI
A. Pendidikan Islam
1. Pengertian Pendidikan Islam..................................................... 11
2. Dasar-Dasar Pendidikan Islam .................................................. 19
3. Fungsi dan Tujuan Pendidikan Islam ........................................ 25
4. Kurikulum Pendidikan Islam .................................................... 33
5. Metodologi Pendidikan Islam ................................................... 39
v
B. Pemikiran Pendidikan Islam
1. Pengertian Pemikiran Pendidikan Islam ................................... 41
2. Tujuan Pemikiran Pendidikan Islam ......................................... 42
3. Prinsip Pemikiran Pendidikan Islam ......................................... 43
C. Hasil Penelitian Relevan ............................................................. 44
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian .............................................................. 46
B. Metode Penelitian................................................................................. 46
C. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ..................................... 47
D. Analisis Data ........................................................................................ 48
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Biografi Abdurrahman Wahid
1. Riwayat Hidup Abdurrahman Wahid ....................................... 49
2. Latar Belakang Pendidikan Abdurrahman Wahid.................... 50
B. Pembahasan
1. Tujuan Pendidikan Islam................................................................ 66
2. Kurikulum Pendidikan Islam ......................................................... 76
3. Metode Pendidikan Islam............................................................... 87
4. Strategi Pendidikan Islam .............................................................. 90
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .......................................................................................... 98
B. Implikasi............................................................................................... 99
C. Saran..................................................................................................... 100
vi
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
vii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia adalah negara yang kaya ragam budayanya serta macam
flora dan faunanya. Indonesia yang kini berkembang menuju tahap negara
maju yang harus didukung dengan baik. Dengan kekayaan alam yang
melimpah serta kekayaan sumber daya manusia yang terus meningkat,
Indonesia kini sedang berkembang cukup pesat. Di balik bangkitnya suatu
bangsa harus didukung oleh aspek-aspek yang menjadi faktor pemicunya,
seperti aspek ekonomi, sosial, budaya dan IPTEK (ilmu pengetahuan dan
teknologi). Aspek-aspek di atas menjadi sangat penting di mana harus
didukung oleh orang-orang yang memiliki potensi yang mumpuni sehingga
kita mampu mengimbangi perkembangan peradaban saat ini dan seterusnya.
Aspek pendidikan adalah salah satu aspek yang paling utama sebagai
usaha untuk menjadikan sebuah bangsa yang berkualitas. Indonesia saat ini
mulai berkembang dalam peningkatan mutu pendidikan yang berkualitas
sehingga menghasilkan output (siswa) yang berkualitas pula. Dalam
peningkatan mutu pendidikan sudah pasti memiliki tujuan utama bagi
Indonesia yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa dan membangun peradaban
yang berkelas.
Signifikansi pendidikan juga menjadi titik perhatian dalam ajaran
Islam. Islam menempatkan pendidikan dalam posisi yang sangat vital.
Indikasinya sangat jelas, yaitu lima ayat pertama Al-Qur‟an (Q.S Al-„Alaq)
yang berisi perintah membaca. Selain itu, ada puluhan ayat yang menekankan
pentingnya berpikir, meneliti, dan memahami realitas secara keseluruhan.
Bagi Islam, ilmu adalah syari‟at sekaligus tujuan agama ini. Pernyataan ini
1
2
jelas-jelas menunjukkan penghormatan dan penghargaan Islam terhadap ilmu.
Jika dianalogikan secara lebih jauh, ilmu tidak akan bisa diperoleh secara
aksimal kecuali lewat jalur pendidikan. hal ini selaras dengan pernyataan
Abdurrahman An-Nahlawi yang menyebutkan bahwa tujuan terpenting dari
diturunkannya Al-Qur‟an adalah untuk mendidik manusia. “Ini berarti bahwa
manusia adalah makhluk yang dapat dididik (homoeducable) dalam makna
luas. Dengan demikian, jelas bahwa Islam adalah agama yang sangat
memberikan penekanan kepada umatnya untuk menuntut ilmu”.1
Menurut Imam Bawani dalam ilmu Pendidikan Islam, mengatakan
bahwa pendidikan Islam pada hakikatnya adalah proses prubahan menuju ke
arah yang positif. “Dalam konteks sejarah, perubahan yang positif ini adalah
jalan Tuhan yang telah dilaksanakan sejak zaman Nabi Muhammad SAW.
Pendidikan Islam dalam konteks perubahan ke arah yang positif ini identik
dengan kegiatan dakwah yang biasanya dipahami sebagai upaya untuk
menyampaikan ajaran Islam kepada masyarakat”.2 Sejak wahyu pertama
diturunkan dengan ayat pertama yang berbunyi iqra‟ (bacalah), maka pada
saat itu juga pendidikan Islam secara praktis telah hadir dalam kehidupan
umat Islam. Merupakan sebuah proses pendidikan yang melibatkan dan
menghadirkan Allah SWT. Membaca merupakan sebuah proses pendidikan
yang dilakukan dengan memulai menyebut nama Allah SWT mengharap
ridho-Nya.
Mujammil Qomar berpandangan bahwa pendidikan Islam sebenarnya
memiliki fungsi dan peran yang sangat besar dan paling menentukan dalam
mewujudkan dan mengembangkan peradaban Islam. Artinya, maju-
mundurnya peradaban Islam itu berimplikasi pada kemajuan atau kemunduran
umat Islam amat tergantung pada kondisi riil pendidikan Islam. “Dengan
1 As‟aril Muhajir,Ilmu Pendidikn Perspektif Kontekstual, (Jakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), h. 25-
26.
2 Moh. Roqib, Ilmu Pendidikan Islam, (Yogyakarta: LkiS, 2009), h. 19.
3
pengertian lain, pendidikan Islam merupakan kunci bagi pengembangan
peradaban Islam yang terealisasikan pada pembangunan dalam semua dimensi
kehidupan kaum muslimin”.3
Mujammil Qomar menyebut,
Bagi kalangan yang menyadari urgensi pendidikan Islam tersebut tentu
memiliki perhatian serius pada nasib pendidikan Islam. Oleh karena itu,
banyak di antara pembaru (mujaddid) Islam yang menaruh perhatian pada
pendidikan Islam. Muhammad Ali Pasya, kendatipun ia sebagai pembaru
Islam yang tidak pandai membaca dan menulis tetapi memiliki
kepedulian dalam memperbarui pendidikan dengan mendirikan berbagai
macam sekolah kejuruan. Muhammad Abduh telah memutar haluan
pembaruannya dari ranah politik menuju pendidikan lantaran ia
menyadari bahwa pendidikan memiliki peran paling besar dalam
memajukan umat Islam berikut peradabannya kendatipun melalui proses
yang cukup lama. Bahkan Sayyid Ahmad Khan menekankan
pembaruannya pada bidang pendidikan dengan mendirikan Society for
The Educational Progress of Indian Muslims, kemudian mendirikan
perguruan tinggi Aligarh. Kemudian organisasi Muhammadiyah di
Indonesia menekankan gerakan perjuangnnya juga pada pendidikan.4
Dalam dinamika perkembangan dunia pendidikan, kita tidak hanya
berfokus pada kurikulum dan peraturan-peraturan pendidikan saja, tapi juga
kita mampu melihat rekam jejak tokoh-tokoh pendidikan yang telah
berkontribusi pada perkembangan pendidikan khususnya di Indonesia.
Banyak sekali tokoh pendidikan yang telah berkontribusi dalam
perkembangan dunia pendidikan di Indonesia. Banyak juga tokoh-tokoh
pendidikan yang ahli dalam bidang lain juga seperti bidang politik, filsafat
dan lain-lain. Salah satu dari sekian banyaknya tokoh tersebut adalah
Abdurrahman Wahid atau biasa disapa “Gus Dur”.
Gus Dur adalah salah satu tokoh yang sangat berpengaruh di
Indonesia, gagasannya mengenai demokrasi dan pluralismenya sangat kuat
hingga menjadi acuan para tokoh lain yang mengikutinya. Walau demikian,
3 Mujamil Qomar, Menggagas Pendidikan Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2014), hal.
145
4 Ibid.
4
Gus Dur sering juga mendapat kritikan dari orang-orang yang tidak
menyukainya. Hal yang membuat banyak pihak tidak menyukainya adalah
karena pemikiran Gus Dur yang sering dianggap “ngawur” dan dengan gaya
bicaranya yang “ceplas-ceplos” menjadi pemicunya. Namun demikian, Gus
Dur bukanlah sosok yang lemah dan mudah menyerah, dia sangat gigih
memperjuangkan gagasan dan kontribusinya terhadap kaum yang tertindas
dan didiskriminasi oleh kepemerintahan dan kondisi masyarakat saat itu.
Sujiwo Tejo mengatakan, “Keceplas-ceplosan Gus Dur kita anggap
unsur sepele. Kita lekas melupakannya. Padahal, sejatinya, unsur tampak
remeh-temeh inilah yang justru paling menentukan vitalnya kedudukkan Gus
Dur di tengah kemunafikan nusantara”.5 Jika penulis dalami makna ungkapan
terebut, Sujiwo Tejo menggambarkan bahwa dengan gaya nyeleneh-nya Gus
Dur itu lah yang membuat Gus Dur berbeda dan unik dari tokoh lain. Dia juga
menggambarkan bahwa Gus Dur merupakan tokoh yang sentral dalam
kehadirannya di tengah-tengah masyarakat dengan gaya bicaranya yang
“ceplas-ceplos” tetapi sesungguhnya ungkapan yang Gus Dur sampaikan
adalah benar tanpa menutup-nutupi hal yang diutarakannya sehingga banyak
masayarakat Indonesia menyukai hal teresebut karena itu adalah gaya khas
Gus Dur yang jujur apa adanya.
Dengan pemikiran serta karya-karyanya yang bersejarah dan
monumental maka tak heran banyak sekali orang-orang yang terpengaruh oleh
pemikirannya yang sangat diminati dan dikagumi. Ideologisnya yang
berprinsip pada asas demokrasi yang adil dan kesetaraan strata mampu
mengubah paradigma bangsa Indonesia selama ini. Hal ini pernah
disampaikan oleh seorang pengajar di pondok pesantren Raudlatul Tahlibin,
Rembang, Bisri Adib Hatani, , menganggap sebagai sosok ideal negarawan
produk pendidikan pesantren. Pemikiran Gus Dur mengajarkan sekaligus
5 Jakob Oetama dan Yenny Zannuba Wahid (ed), Damai Bersama Gus dur, (Jakarta: PT Kompas
Nusatara, 2010), h. 44.
5
mencontohkan bagaimana ber-Islam dalam konteks keindonesiaan. “Gus Dur
memandang dan meyakini perbedaan adalah rahmat, sunatullah (telah
digariskan Allah). Perbedaan itulah yang membentuk warga Indonesia
menjadi bangsa yang terhormat, mandiri dan merdeka lahir batin”, katanya.6
Pengasuh pondok pesantren Syalafiah Asy-Syafi‟iyah, Asembagus,
Situbondo, K.H. Fawaid As‟ad Samsul Arifin, mengatakan, “Saat ini yang
perlu dilakukan sepeninggal Gus Dur adalah melawan bibit-bibit perpecahan
bangsa. Munculnya gerakan fundamentalisme dan radikalisme agama yang
membahaykan persatuan perlu diwaspadai. Generasi muda harus dibentengi
dengan pemahaman tentang pemikiran Gus Dur agar terhindar dari aliran
keagamaan yang sesat”, ujarnya.7
Banyak sekali yang telah dilakukan Gus Dur demi perubahan-
perubahan bagi Indonesia. Salah satu kebijakan beliau yang cukup terkenal
adalah mengesahkan hari raya besar Imlek bagi rakyat Tionghoa serta
pencabutan Inpres nomor 14/1967 bagi rakyat Tionghoa yang kebebasannya
benar-benar terkekang. Gus Dur melihat bahwa masalah pokok dalam hal
hubungan antar umat beragama adalah pengembangan rasa saling pengertian
yang tulus dan berkelanjutan. “Kita hanya akan mampu menjadi bangsa yang
kukuh, kalau umat agama-agama yang berbeda dapat saling mengerti satu
sama lain, bukanannya sekadar saling memiliki (sense of belonging),
bukannya hanya saling bertenggang rasa satu terhadap yang lain”.8
Selain kontribusinya di dalam negeri terkait perdamaian bangsa, Gus
Dur juga menjadi sorotan tokoh internasional yang namanya wara-wiri di
jurnal-jurnal internasional terkait gagasannya tentang perdamaian dan
demokrasi. Di sinilah letak pemikiran Gus Dur mengenai negara dan Islam,
Gus Dur mencoba menyatukan nilai-nilai luhur Islam yang tinggi dengan
6 Zuhairi Misrawi, Gus dur Santri Par Excellence, (Jakarta: PT Kompas Nusatara, 2010), h. 38
7 Jakob Oetama dan Yenny Zannuba Wahid, op.cit., h. 45.
8 Abdrurrahman Wahid, Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman, (Jakarta: PT Kompas Media
Nusantara, 1999), h. 16.
6
sosial-budaya yang mana kedua aspek tersebut harus dapat bersatu tanpa
menimbulkan pergesekkan di antara masyarakat yang mana memiliki
pandangan yang berbeda-beda. Gus Dur juga berusaha memberikan gagasan
bahwa Islam yang sesungguhnya itu tidak harus selalu menjadikan kondisi
budaya tersebut harus mengacu kepada budaya arab yang diistilahkan dengan
sebutan “Arabisasi”. Itulah beberapa gagasan dan usaha-usaha Gus Dur dalam
dinamika kehadirannya terhadap perkembangan Indonesia.
Di balik sepak terjangnya dalam dunia politik Indonesia yang dikenal
banyak kalangan, walaupun sebagain aliran yang menganggap bahwa
kebijakan Gus Dur adalah guyonan konyol dan kontroversi, namun Gus Dur
juga memiliki pandangan tersendiri tentang pendidikan, terutama pendidikan
Islam di Indonesia. Memang tak banyak tulisan beliau mengenai pendidikan
yang tersebar luas, namun penulis berusaha mengungkap paradigma tentang
pendidikan Islam perspektif Gus Dur.
Dengan latar belakang pendidikan Gus Dur yang dibesarkan di
lingkungan pesantren yang kental akan pendidikan keislaman. Lingkungan
inilah yang kelak memberikan warna bagi perkembangan intelektualitasnya
hingga tumbuh dewasa. Kepindahannya dari Jombang ke Jakarta juga
memberi wahana baru bagi pertumbuhan intelektualitasnya tersebut. Di Ibu
Kota, Gus Dur, meskipun masih hidup di bangku menengah ia sudah biasa
melahap bacaan-bacaan tentang sosialisme dan marxisme. Hal inilah yang
berpengaruh pada pemikiran dan kiprahnya kelak.
Pendidikan agama yang semula kelak ia dapatkan di lingkungan
pesantren semakin bertambah ketika ia melanjutkan studi di Timur Tengah.
Karena merasa harus mengulang sebagaimana yang telah ia peroleh ketika
belajar di Tanah Air, Gus Dur lebih banyak menghabiskan waktunya untuk
membaca buku-buku pengetahuan di perspustakaan, terutama di Universitas
Al-Azhar, Kairo, Mesir. Di perpustakaan tersebutlah ia mendapatkan
pengetahuan dari buku-buku karya intelektual muslim maupun non-muslim
7
dunia. Ia juga bergaul dengan berbagai kalangan, terlebih ketika melakukan
pengembaraan ke Eropa.9
Pendidikan dasar keagamaan di pesantren, Timur Tengah dan Eropa
serta ketekunannya membaca banyak literatur sedikit banyak membentuk pola
pikir dan karakter personal pada dirinya. Pola pikir dan karakter sebagai
muslim progresif-moderatlah yang paling menonjol dalam dirinya. Karakter
dan sikap hidup inilah yang kemudian mewarnai perjalanan hidupnya, baik
sebagai aktivis LSM/NGO, intelktual Muslim yang rajin menulis di media
massa, dan pemimpin organisasi keagamaan terbesar di Tanah Air, yakni
Nahdlatul Ulama (NU). Bahkan, karakter tersebut tak berubah ketika ia
terpilih menjadi presiden ke-4 RI.
Gus Dur menyadari betul bahwa kemajemukan masyarakat Indonesia
sangat beragam, maka Gus Dur mencoba mengarahkan pada konsep
pendidikan yang berprinsip dinamis dan humanis. Kemajemukan itu sendiri
adalah sesuatu yang bersifat alami dan kodrati bagi bangsa indonesia, artinya
bangsa ini tidak bisa mengalahkan dirinya dan keadaan plural tersebut,
karenanya bangsa Indonesia bagaimanapun juga tidak bisa menghilangkan
kemajemukan itu sendiri. “Oleh karena itu, sikap yang harus diambil oleh
bangsa Indonesia buka bagaimana menghilangkan kemajemukan, tetapi
bagaimana supaya bisa hidup berdampingan secara damai dan aman penuh
toleransi, saling menghargai dan saling memahami antara anak bangsa yang
berbeda suku, budaya dan agama. Salah satu di antara upaya perekat itu
adalah lewat pendidikan agama”.10 Sepanjang perjalanan hidupnya, Gus Dur
kemudian dikenal sebagai pembela kaum minoritas, penggerak demokrasi dan
mendorong terwujudnya kehidupan damai.
9 Ahmad Nurcholis, Peace Education & Pendidikan Perdamaian Gud Dur, (Jakarta: PT
Gramedia, 2015), h. 137.
10 Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam Dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia,
(Jakarta: Kencana, 2007), h. 165.
8
Haidar Putra Daulay berpandangan bahwa “Tantangan globalisasi ini
menuntut kepada perhatian yang sungguh-sungguh dari semua lapisan
masyarakat untuk menghadapi dampak negatifnya. Tantangan pertama bagi
dunia pendidikan adalah tentang kualitas. Di era globalisasi pada dasarnya
muncul era kompetisi”.11
Mengacu pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
pendidikan Nasional yang berbunyi, “Membentuk manusia yang beriman,
bertakwa, berakhlak mulia, berkepribadian, memiliki ilmu pengetahuan dan
teknologi, keterampilan, sehat jasmani dan rohani, memiliki rasa seni, serta
bertanggung jawab bagi masyarakat, bangsa, dan negara”.12 Jika melihat
rumusan tujuan Undang-Undang tersebut jelas memiliki dua aspek yang wajib
peserta didik miliki yaitu aspek sosial dan spiritual yang baik di samping
kecakapan aspek penguasaan pengetahuanya.
Walaupun jika ditelaah tidak ada kata-kata “Islam” tetapi substansi
dari kriteria-kriteria yang disebut merujuk pada sifat-sifat yang termuat dalam
pandangan Islam mengenai pendidikan. Namun saat ini esensi dari pendidikan
itu sendiri masih kurang dirasa pada diri peserta didik, seperti kenakalan
remaja semakin banyak. Hal itu karena peserta didik yang sedang dalam
proses pembelajaran kurang diberi asupan nilai-nilai moral yang baik
sehingga nilai-nilai pendidikan yang termuat dalam Undang-Undang tersebut
kurang terinternalisasi oleh para peserta didik yang mana nilai-nilai
pendidikan tersebut juga secara tidak langsung memuat pada aspek-aspek
Pendidikan Islam.
Hal tersebut selaras dengan Muhaimin yang mengatakan bahwa,
Pendidikan adalah hal yang tumbuh dan berkembang bersama-sama
dengan pertumbuhan dan perkembangan masyarakat, bahkan merupakan
media transmisi dan transformasi sistem dan nilai-nilai kehidupan sosial
11 Ahmad Nurcholis, op cit., h. 200.
12 Departemen agama RI, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, (Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, 2003), h. 64.
9
budaya dan peradaban masyarakatnya. Demikian pula halnya dengan
pendidikan Islam, telah tumbuh dan berkembang bersama-sama dengan
pertumbuhan dan perkembangan sistem dan nilai-nilai kehidupan sosial
budaya dan peradaban Islam sepanjang sejarahnya, dan telah berfungsi
sebagai media transmisi dan transformasinya secara efektif.13
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk meneliti
mengenai pemikiran tokoh pendidikan Islam. Tokoh yang penulis teliti adalah
Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Dengan demikian, judul penelitian ini adalah
“Pemikiran Abdurrahman Wahid (Gus Dur) Tentang Pendidikan
Islam”.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, beberapa
masalah yang mendasar dapat diidentifikasikan sebagai berikut:
1. Banyak yang belum mengetahui apa konsep pendidikan Islam
perspektif Gus Dur;
2. Perkembangan pendidikan umum atau IPTEK lebih dioptimalkan
dibandingkan dengan pendidikan Islam di sekolah; dan
3. Implementasi nilai pendidikan Islam masih belum berdampak pada
peserta didik.
C. Pembatasan Masalah
Pemahaman Gus Dur yang begitu luas mengenai berbagai macam ilmu
yang dikuasai terlebih lagi ilmu pendidikan, maka dalam penelitian ini yang
menjadi fokus utama adalah pendidikan Islam menurut Abdurrahman Wahid
(Gus Dur).
13 Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam Upaya Mengefektifkan Pendidikan Islam di Sekolah,
(Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2008), h.32
10
D. Rumusan Masalah
Dari pembatasan masalah di atas, maka penulis merumuskan masalah
yang dikaji adalah bagaimana konsep Pendidikan Islam serta relevansinya
menurut Abdurrahman Wahid?
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pemikiran
Abdurrahman Wahid tentang konsep pendidikan Islam serta relevansinya
dengan pendidikan Islam saat ini.
2. Manfaat Penelitian
a. Bagi penulis, dapat menambah khasanah atau wawasan mengenai
sepak terjang Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mengenai idenya
terhadap pendidikan Islam.
b. Bagi civitas akademik, untuk memperluas khazanah keilmuan dalam
dunia pendidikan, terutama dalam analisis pemikiran tokoh Indonesia.
c. Bagi masyarakat, untuk menambah wawasan literatur dan sumber
referensi mengenai konsep pendidikan Islam dari tokoh Indonesia.
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Pendidikan Islam
1. Pengertian Pendidikan Islam
Pendidikan menurut Hasan Basri adalah berasal dari kata didik, yang
artinya bina, mendapat awalan pen-, akhiran -an, yang maknanya sifat dari
perbuatan membina atau melatih, atau mengajar dan mendidik itu sendiri.
Oleh karena itu, pendidikan merupakan pebinaan, pelatihan, pengajaran, dan
semua hal yang merupakan bagian dari usaha manusia untuk meningkatkan
kecerdasan dan keterampilannya.1
Pendidikan menurut Undang-Undang tahun 2003 adalah “Usaha sadar
dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran
agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk
memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan Negara”.2
Hasan Basri dan Beni Ahmad Saebani adalah “usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar
peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat,
bangsa, dan negara”.3
1 Hasan Basri, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2009) h. 53.
2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan
Nasional
3 Hasan Basri dan Beni Ahmad Saebani, Ilmu Pendidikan Islam, Jilid 2, (Bandung: Pustaka Setia,
2010), h. 36.
11
12
Umar Tirtahardja dan S. L. La Sulo mengatakan “Pendidikan adalah
sesuatu yang universal dan berlangsung terus tak terputus dari generasi ke
generasi di mana pun di dunia ini. Upaya memanusiakan manusia melalui
pendidikan itu diselenggarakan sesuai dengan pandangan hidup dan dalam
latar sosial-kebudayaan setiap masyarakat tertentu”.4
Pengertian pendidikan di atas dikemukakan berdasarkan perspektif
secara global atau umum. Dalam Islam istilah pendidikan diketahui cukup
banyak, baik yang terdapat dalam al-Qur‟an dan hadits. Istilah-istilah
tersebut ada yang menjelaskan pendidikan secara langsung dan juga istilah
yang berkaitan dengan pendidikan. Istilah-istilah tersebut adalah sebagai
berikut:
a. Al-Tarbiyah
Dalam Mu‟jam al-Lughah al-Tarbiyah al-Mu‟ashirah (A
Dictionary of Modern Written Arabic), karangan Hans Wehr, kata al-
tarbiyah diartikan sebagai: education (pendidikan), upbringing
(pengembangan), teaching (pengajaran), instruction (perintah,
pedagogy (pembinaan kepribadian), breeding (meberi makan), raising
(of animal) (menumbuhkan). Kata tarbiyah berasal dari kata rabba,
yarubbu, rabban, yang berarti mengasuh, memimpin, mengasuh
(anak).5 Penjelasan atas kata al-tarbiyah di atas ini lebih lanjut dapat
digambarkan sebagai berikut:
Pertama, tarbiyah berasal dari kata rabaa, yarbu, tarbiyatan yang
memiliki makna tambah (zad) dan berkembang (numu). Pengertian ini
misalnya terdapat dalam surat Ar-Rum (30) ayat 39 yang berbunyi:
4 Umar Tirtahardja dan S. L. La Sulo, Pengantar Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2012), h.
82.
5 Abudin Nata, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), h. 7.
13
َوَما آتَْيتُ ْم ِم ْن ِربًا لِيَْربَُو ِف أَْمَواِل الَنّا ِس فََل يَْربُو ِعْن َد الَلِّه ۖ َوَما آتَْيتُ ْم ِم ْن َزَكاٍة تُِري ُدوَن
َو ْجهَ الَلِّه فَأُوَٰلَئِ َك ُه ُم الْ ُم ْضعُِفون
Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia
bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah
pada sisi Allah.” (Q.S. Ar-Rum[30]:39).
Berdasarkan pada ayat tersebut, maka al-tarbiyah dapat berarti proses
menumbuhkan dan mengembangkan apa yang ada pada diri peserta
didik, baik secara fisik, psikis, sosial, maupun spiritual.
Kedua, rabaa, yurbi, tarbiyatan, yang memiliki makna tumbuh
(nasyaa) dan menjadi besar atau dewasa. Dengan mengacu kepada
kata yang kedua ini, maka tarbiyah berarti usaha menumbuhkan dan
mendewasakan peserta didik baik secara fisik, sosial, maupun
spiritual.
Ketiga, rabba, yarubbu, tarbiyatan yang mengandung arti
memperbaiki (ashala), menguasai urusan, memelihara dan merawat,
memperindah, memberi makna, mengasuh, memiliki, mengatur dan
menjaga kelestarian eksistensinya. Dengan menggunakan kata yang
ketiga ini, maka tarbiyah berarti usaha memelihara, mengasuh,
merawat, memperbaiki dan mengatur kehidupan peserta didik, agar
dapat survive lebih baik dalam kehidupannya.6
Jika ketiga kata tersebut dibandingkan atau diintegrasikan antara
satu dan lainnya, terlihat bahwa ketiga kata tersebut saling menunjang
dan saling melengkapi. Namun jika dilihat dari segi penggunaannya
tampak istilah ketiga yang lebih banyak digunakan. Selanjutnya jika
ketiga kata tersebut diintegrasikan, maka akan diperoleh pengertian
bahwa al-atarbiyah berarti proses menumbuhkan dan
6 Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Prenadamedia Group,
2016), cet. 4, h. 11.
14
mengembangkan potensi (fisik, intelektual, sosial, estetika, dan
spiritual) yang terdapat pada peserta didik, sehingga dapat tumbuh dan
terbina dengan optimal, melalui cara memelihara, mengasuh, merawat,
memperbaiki, dan mengaturnya secara terencana, sistematis, dan
berkelanjutan. Dengan demikian, pada kata al-tarbiyah tersebut
mengandung cakupan tujuan pendidikan, yaitu menumbuhkan dan
mengembangkan potensi; dan proses pendidikan, yaitu memelihara,
mengasuh, merawat, memperbaiki, dan mengaturnya.7
b. Al-Ta‟lim
Kata al-ta‟lim yang jamaknya ta‟alim, menurut Hans Weher dapat
berarti information (pemberitahuan tentang sesuatu), advice (nasihat),
instruction (perintah, direction (pengarahan), teaching (pengajaran),
training (pelatihan), schooling (pembelajaran), education
(pendidikan), dan apprenticeship (pekerjaan sebagai magang, masa
belajar suatu keahlian.8
Selanjutnya, Mahmud Yunus mengartikan kata ta‟lim merupakan
kata benda buatan (mashdar) yang berasal dari akar kata „allama.
Sebagian para ahli menerjemahkan istilah tarbiyah dengan pendidikan,
sedangkan ta‟lim diterjemahkan dengan pengajaran. Kalimat
„allamahu al-„ilm memiliki arti mengajarkan ilmu kepadanya.
Pendidikan (tarbiyah) tidak saja bertumpu pada domain kogniti, tetapi
juga afektif dan psikomotorik, sementara pengajaran (ta‟lim) lebih
mengarah pada aspek kognitif, seperti pengajaran mata pelajaran
Matematika. Pemadanan kata ini agaknya kurang relevan, sebab
menurut pendapat yang lain, dalam proses ta‟lim masih menggunakan
domain afektif.9
7 Nata, op. cit., h. 8.
8 Ibid., h. 11.
9 Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: YP3A, 1973), h. 277-278.
15
Al-Qur‟an tidak menyebutkan secara eksplisit kata “ta‟lim”.
Rasyid Ridha dan Muhammad Naquid Al-Attas mendefinisikan:
“At-Ta‟lim” sebagai proses transmisi berbagai ilmu pengetahuan
kepada jiwa individu tanpa adanya batasan dan ketentuan. Muhammad
Naquib Al-Attas mengartikan “ta‟lim” dengan berarti bahwa
pengajaran tanpa pengenalan secara mendasar.10
Kata ta‟lim dalam arti pengajaran yang merupakan bagian dari
pendidikan banyak digunakan untuk kegiatan pendidikan bersifat
nonformal, seperti majelis taklim yang saat ini sangat berkembang dan
variasi, yaitu ada majelis takim yang biasa dilakukan oleh ibu-ibu di
kampung, majelis taklim di kalangan masyarakat elite, di kantoran,
hotel dan tempat kajian keagamaan lainnya. Adapun dari segi
materinya ada yang secara khusu mengkaji kitab tertentu dan ada juga
mengkaji tentang tema-tema tertentu. Ada kajian tafsir, hadis, fikih,
dan sebagainya. Sementara waktunya diatur secara fleksibel sesuai
kebutuhan masing-masing anggota yang mengaji.
Kegiatan pendidikan dan pengajaran yang pertama kali dilakukan
oleh Nabi Muhammad SAW di rumah Arqam (Dar al-Arqam) di
Mekkah, dapat disebut sebagai majelis al-ta‟lim. Demikian pula
kegiatan Pendidikan Islam di Indonesia yang dilaksanakan oleh para
da‟i di rumah, mushala, masjid, surau, langgar, atau tempat tertentu
pada mulanya merupakan kegiatan al-ta‟lim.
Di kalangan pemikir Islam yang menggunakan kata al-ta‟lim
untuk arti pendidikan, antara lain Burhanuddin al-Jurnuji dengan
kitabnya yang berjudul Ta‟im al-Muta‟allim. Kitab yang banyak
membicarakan tentang etika mengajar bagi guru dan etika belajar bagi
murid, hingga saat ini masih dikaji di berbagai pesantren. Melalui
10 Asrorun Niam Sholeh, Reorientasi Pendidikan Islam, (Jakarta: ELSAS Jakarta, 2008), hal. 94.
16
kitab tersebut telah tumbuh semacam institution culture, yaitu budaya
institusi pesantren yang khas dan berbeda dengan budaya lainnya.
Budaya tersebut bersumber pada ajaran tasawuf akhlaki sebagaimana
yang dikembangkan oleh al-Ghazali melalui kitabnya Ihya‟ Ulum al-
Din.11
Dengan memberikan data dan informasi tersebut, maka dengan
jelas, bahwa kata al-ta‟lim termasuk kata yang paling tua dan banyak
digunakan dalam kegiatan nonformal dengan tekanan utama pada
pemberian wawasan, pengetahuan, atau informasi yang bersifat
kognitif. Atas dasar ini, maka arti al-ta‟lim lebih pas diartikan
pengajaran daripada pendidikan. Namun, karena pengajaran
merupakan bagian dari kegiatn pendidikan, maka pengajaran juga
bagian dari kegiatan pendidikan12.
c. Al-Ta‟dib
Kata Ta‟dib diterjemahkan yang berarti pendidikan sopan
santun, tata karma, adab, akhlak, moral, budi pekerti, dan etika.13
Menurut Ahmad Tsalabi yang dikutip Abudin Nata dalam “Ilmu
Pendidikan Islam” berpendapat bahwa, kata ta‟dib digunakan untuk
menunjukkan pada kegiatan pendidikan yang dilaksanakan di istana-
istana raja (al-qushur) yang para muridnya terdiri dari para putra
mahkota pangeran atau calon pengganti raja. Pendidikan yang
berlangsung di istana ini diarahkan untuk menyiapkan calon pemimpin
masa depan. Karena itu, materi yang diajarkan meliputi pelajaran
bahasa, pelajaran berpidato, pelajaran menulis yang baik, pelajaran
sejarah para pahlawan dan panglima besar dalam rangka menyerap
11 Abudin Nata, op. cit., h. 14.
12 Ibid.
13 Mahmud Yunus, op. cit., h. 37.
17
pengalaman keberhasilan mereka, pelajaran berenang, memanah, dan
menunggang kuda (pelajaran keterampilan).14
Menurut Amatullah Armstrong yang dikutip Abdul Mujib dan
Jusuf Mudzakkir dalam “Ilmu Pendidikan Islam” upaya pembentukan
adab (tata krama), terbagai atas empat macam, yaitu:
1) Ta‟dib adab al-haqq, pendidikan tata krama spiritual dalam
kebenaran, yang memerlukan pengetahuan tentang wujud
kebenaran, yang di dalamnya segala yang ada memiliki kebenaran
terendiri dan dengannya segala sesuatu diciptakan;
2) Ta‟dib adab al-khidmah, pendidikan tata krama spiritual dalam
pengabdian. Sebagai seorang hamba, manusia harus mengabdi
kepada sang Raja (Malik) dengan menempuh tata krama yang
pantas;
3) Ta‟dib adab al-syari‟ah, pendidikan tata krama spiritual dalam
syariah, yang tata caranya telah digariskan oleh Tuhan melalui
wahyu. Segala pemenuhan syariah Tuhan akan berimplikasi pada
tata krama yang mulia; dan
4) Ta‟dib adab al-shubhah, pendidikan tata krama spiritual dalam
persahabatan, berupa saling menghormati dan berperilaku mulia di
antara sesama.15
Proses “ta‟dib” harus didasarkan pada komitmen kuat untuk
membangun moralitas manusia dan dimulai diri sendiri. Dalam
“ta‟dib”, seorang pendidik harus selalu sadar bahwa proses “ta‟dib”
tidak akan pernah lepas dari arahan Allah. Tuhan ikut campur dengan
mengerahkan langkah pendidik.16
14 Abudin Nata, Ilmu Pendidikan Islam, op.cit., h. 15.
15 Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Op.Cit., h. 21.
16 Asrorun Niam Sholeh, Op.Cit., h. 95.
18
Hasil Konferensi Pendidikan Islam sedunia tahun 1980 di Islamabad,
Pakistan, merumuskan bahwa “Pendidikan Islam adalah suatu usaha untuk
mengembangkan manusia dalam semua aspeknya, baik aspek spiritual,
intelektual, imajinasi, jasmani, dan ilmiah baik secara individual maupun
kolektif menuju ke arah pencapaian kesempurnaan hidup sesuai dengan
ajaran Islam”.17
Ahmad Fatah Yasin mengatakan pendidikan harus didasarkan pada
ajaran Islam,
Pendidikan Islam adalah pendidikan yang seluruh komponen atau
aspeknya didasarkan pada ajaran Islam. Visi, misi, tujuan, proses belajar
mengajar, pendidik, peserta didik, kurikulum, bahan ajar, sarana
prasarana, pengelolaan, lingkungan dan aspek atau kompoen pendidikan
lainnya didasarkan pada ajaran Islam. Itulah yang disebut dengan
Pendidikan Islam, atau pendidikan yang Islami.18
Hal tersebut juga disepakati oleh Jalaludin, menurutnya al-Qur‟an dan
Sunnah merupakan dua dasar bagi pendidikan Islam,
Pendidikan Islam dapat diartikan sebagai usaha pembinaan dan
pengembangan potensi manusia secara optimal sesuai dengan statusnya,
dengan berpedoman kepada syari‟at Islam yang disampaikan oleh Nabi
Muhammad SAW agar supaya manusia dapat berperan sebagai pengabdi
Allah yang setia dengan segala aktivitasnya guna tercipta suatu kondisi
kehidupan yang Islami yang ideal selamat, aman, sejahtera dan
berkualitas, serta memperoleh jaminan (kesejahteraan) hidup di dunia
dan akhirat.19
Ciri khas dalam pendidikan Islam adalah perubahan sikap dan tingkah
laku sesuai dengan petunjuk ajaran Islam atau yang disebut dengan
pembentukan kepribadian muslim. Untuk itu, diperlukan adanya usaha,
17 Ahmad Fatah Yasin, Dimensi-Dimensi Pendidikan Islam, (Malang: UIN Malang Press, 2008),
h. 24.
18 Ibid., h. 36.
19 H. Jalaluddin, Teologi Pendidikan, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2001), h. 72.
19
kegiatan, cara, alat, dan lingkungan hidup yang menjunjung
keberhasilannya.20
Mengingat luasnya aspek yang harus mencakup pendidikan Islam,
maka pendidikan Islam tetap terbuka terhadap tuntutan kesejahteraan umat
manusia, baik tuntutan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi maupun
tuntutan pemenuhan kebutuhan hidup rohaniah. Kebutuhan tersebut semakin
meluas selama dengan pengalaman kehidupan manusia. Pendidikan Islam
yang bersifat universal mampu mengakomodasi terhadap tuntutan kemajuan
zaman sesuai acuan norma-norma kehidupan Islam.
Dengan demikian pengertian pendidikan Islam menurut penulis adalah
suatu usaha sadar untuk mengembangkan potensi pengetahuan, sikap dan
keterampilan peserta didik melalui pendidikan yang bernapaskan ajaran
Islam sebagaimana Islam yang telah memberikan pedoman bagi seluruh
aspek kehidupan menusia yang bersumber pada Al-Qur‟an dan Sunnah demi
tercapainya kehidupa yang baik di dunia dan akhirat.
2. Dasar-Dasar Pendidikan Islam
a. Al-Qur’an
Al-Qur‟an adalah sumber agama Islam pertama dan utama bagi
umat Islam. Al-Qur‟an adalah kitab suci yang memuat firman-firman
(wahyu) Allah SWT, yang diturunkan allah melalui Malaikat Jibril as
kepada Nabi Muhammad SAW secara berangsur-angsur selama 22 tahun
2 bulan 22 hari, yang pertama turun di kota Mekkah kemudian di kota
Madinah. Tujuannya adalah untuk menjadi pedoman atau petunjuk bagi
umat manusia dalam hidup agar sejahtera di dunia dan akhirat.
Al-Qur‟an sebagai sumber agama dan ajaran Islam memuat soal-
soal pokok berkenaan dengan (1) akidah, (2) syari‟ah, (3) akhlak, (4)
20 Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), h. 28.
20
kisah-kisah manusia di masa lampau, (5) berita-berita tentang masa yang
akan datang, (6) benih dan prinsip-prinsip ilmu pengetahuan, dan (7)
sunatullah atau hukum Allah yang berlaku di alam semesta.21
Ayat-ayat al-Qur‟an banyak memberikan prinsip-prinsip yang
berkenaan dengan pendidikan Islam, antara lain terdapat dalam surat
Luqman (31) ayat 12-19 yang berbunyi:
َولََق ْد ٰاَتَْينَا لُْق َٰم َن اْْلِ ْك َمةَ اَِن ا ْش ُكْر لَِٰلِّهۖ َوَم ْن َيّ ْش ُكْر فَاَِّنَا يَ ْش ُكُر لِنَ ْف ِسهۖۖ َوَم ْن َكَفَر
َواِْذ قَا َل لُْق َٰم ُن ِل بْنِهۖ َوُهَو يَعِظُهۖ ٰيَبُ ََّن َل تُ ْشِرْك بِالَٰلِّه ۖ اِ َّن الشْرَك.فَاِ َّن الَٰلّهَ َغٌِّن ََِحْيد
َوَو َّصْينَا اِْلنْ َٰس َن بَِوالَِديِْهۖ ََحَلَْتهُ اُُّمهۖ َوْهنًا َعَٰلى َوْه ٍن َّوفِ َٰصلُهۖ ِْف َعاَمْ ِي.لَظُْلم َع ِظْيم
ۖ َُواِ ْن َجا َه َٰد َك َعَٰلى اَ ْن تُ ْشِرَك ِْب َما لَْي َس لَ َك بِه.اَِن ا ْش ُكْر ِ ْل َولَِوالَِديْ َكۖ اََِّل الْ َم ِصْي
ِعْلم فََل تُ ِط ْع ُه َما َو َصا ِحْب ُه َما ِف ال ُّدنْيَا َم ْعُرْوفًاۖ َّواَتّبِ ْع َسبِْي َل َم ْن اَنَا َب اََِّل ۖ َُثّ اََِّل
بَََُّن اَِنَّهاۤ اِ ْن تَ ُك ِمثَْقا َل َحَبٍّة م ْن َخْرَدٍل فَتَ ُك ْن ِْف.َمْرِجعُ ُك ْم فَاُنَبئُ ُك ْم ِِبَا ُكْنتُ ْم تَ ْع َملُْوَن
ٰيَبَََُّن اَقِِم.َص ْخَرٍة اَْو ِف ال َّس َٰمَٰو ِت اَْو ِف اْلَْر ِض يَأْ ِت ِِبَا الَٰلّهُ ۖ اِ َّن الَٰلّهَ لَ ِطْيف َخبِْي
ال َّصَٰلوةَ َوأُْمْر بِالْ َم ْعُرْو ِف َوانْهَ َع ِن الْ ُمْن َكِر َوا ْصِْب َعَٰلى َماۤ اَ َصابَ َكۖ اِ َّن َٰذلِ َك ِم ْن َعْزِم
َوَل تُ َصعْر َخ َّد َك لِلَنّا ِس َوَل َتْ ِش ِف اْلَْر ِض َمَرًحا ۖ اِ َّن الَٰلَّه َل ُِي ُّب ُك َّل ُُمْتَاٍل.اْلُُمْوِر
. َواقْ ِص ْد ِْف َم ْشيِ َك َوا ْغ ُض ْض ِم ْن َصْوتِ َكۖ اِ َّن اَنْ َكَر اْلَ ْصَوا ِت لَ َصْو ُت اْْلَِمِْي.ۖفَ ُخْوٍر
Dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmah kepada Lukman, yaitu:
“Bersyukurlah kepada Allah dan barang siapa yang bersyukur kepada
Allah, maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan
21 Mohammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Pt. RajaGRafindo Persada, 1998), h.
103.
21
barang siapa yang tidak bersyukur maka sesungguhnya allah Maha Kaya
lagi Maha Terpuji (12) Dan (ingatlah) ketika Lukman berkata kepada
anaknya di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: “Hai anakku,
janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya
mempersekutukan Allah adalah benar-benar kelaliman yang besar”. (13)
Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang
ibu dan bapaknya, ibunya yang telah mengandungnya dalam keadaan
lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun.
Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang tuamu, hanya kepada-
Kulah kamu kembali (14) dan jika keduanya memaksa kamu untuk
mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu
tentang itu, maka janganlah engkau mematuhi keduanya, dan
pergaulilah keduanya di dunia dengan baik dan ikutilah jalan orang
yang kembali kepada-Ku kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu,
maka Ku beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan (15)
(Luqman berkta): “Hai anakku, sesungguhnya jika ada (suatu
perbuatan) seberat biji sawi dan berada dalam batu atau di langit atau
di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasnya).
Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi maha Mengetahui (16) “Hai
anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang
baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan
bersabarlah terhadap apa yang menimpamu. Sesungguhnya yang
demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan oleh Allah”. (17) “Dan
janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong)
dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang sombong lagi
membanggakan diri”. (18) “Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan
lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara adalah suara
keledai”. (Q.S. Luqman [31]:19)
22
Ayat-ayat di atas menggariskan prinsip materi pendidikan yang terdiri
dari iman, akhlak, ibadah, sosial, dan ilmu pengetahuan. Ayat tersebut
juga menceritakan tujuan hidup dan tentang nilai suatu kegiatan dan amal
shaleh. Artinya, kegiatan pendidikan harus mendukung tujuan hidup.
Oleh karena itu, pendidikan harus menggunakan al-Qur‟an sebagai
sumber utama dalam merumuskan berbagai macam teori pendidikan
Islam.22
b. Sunnah
Al-Hadis adalah sumber kedua agama dan ajaran Islam. Apa yang
telah disebut dalam al-Qur‟an dijelaskan lebih rinci oleh Rasulullah
dengan sunnah beliau. Karena itu,sunnah Rasul yang kini terdapat dalam
hadis merupakan penafsiran serta penjelasan yang otentik (sah) tentang
al-qur‟an. Namun, sebelum uraian ini dilajutkan ada beberapa hal yang
perlu dikemukakan.
Dalam dataran pendidikan Islam, acuan tersebut dapat dilihat dari dua
bentuk, yaitu: Pertama, sebagai acuan syar‟iyah, yang meliputi muatan
operasional-aplikatif yang meliputi cara Nabi memainkan peranannya
sebagai pendidik dan sekaligus sebagai evaluator yang profesional, adil
dan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai ajaran Islam. Kesemua ini dapat
dilihat dari bagaimana cara Nabi melaksanakan proses belajar mengajar,
metode yang digunakan sehingga dalam waktu singkat mampu diserap
oleh para sahabat, evaluasi yang dilakukan sehingga bernilai efektif dan
efisien, kharisma dan syarat pribadi yang harus ada pada diri seorang
pendidik yang telah ditunjukkan Nabi, cara Nabi dalam memilih materi,
alat peraga, dan kondisi yang sebegitu adaptik, dan lain sebagainya.
Kesemua itu merupakan figur yang ada pada diri Rasulullah SAW dan
menjadi model bagi seluruh aktivitas manusia sebagai uswatun hasanah
22 Zakiah Daradjat, Op.Cit., h. 20.
23
yang telah dibimbing langsung oelh Allah SWT sehingga hampir tidak
mungkin melakukan kesalahan dalam pelaksanaan proses pendidikannya.
Hadis juga merupakan sumber pengetahuan yang monumental bagi
Islam, yang sekaligus menjadi penafsir dan bagian yang komplementer
terhadap al-Qur‟an. Husein Nasr mengatakan bahwa Hadis Nabi
membahas berbagai hal, mulai dari metafisika sampai tata tertib di meja
makan. Di dalamnya orang menjumpai apa yang dikatakan dan dilakukan
Nabi, mulai dari kehidupan rumah tangga, sampaipada peroalan-
persoalan sosial, politik dan yang berhubungan dengan metafisika,
kosmologi dan eskatologi, dan kehidupan spiritual.23
Nabi Muhammad merupakan profil seorang pendidik yang dijadikan
landasan bagi umatna dalam proses pendidikan pada zamannya. Dalam
kaitan Rasul sebagai seorang juru pendidik, al-Abrasyi mengatakan:
“Pada suatu hari Rasul kelur dari rumahnya dan beliau menyaksikan
adanya dua pertemuan. Dalam pertemuan pertama orang berdoa kepada
Allah SWT mendekatkan diri kepada-Nya. Dala pertemuan kedua orang
sedang memberikan pelajaran. Rasul pun lantas bersabda, “Mereka ini
meminta Allah SWT bila Tuhan menghendaki, maka Isa akan memenuhi
permintaan tersebut dan jika Ia tidak menghendaki, maka Ia tidak akan
dikabulkan-Nya.tetapi golongan kedua ini mereka mengajar manusia,
sedangkan saya sendiri diutus menjadi pendidik”. Praktek pengajaran
yang terjadi, sebagaimana terungkap dalam kutipan di atas,
mengilustrasikan kepada kita contoh terbaik dari diri Rasul, memiliki visi
dan ambisi untuk mendorong orang belajar dan menyebarkan ilmu secara
luas. Rasul menjunjung tinggi misi pendidikan dan motivasi umatnya
agar selalu belajar.24
23 Abudin Nata, Pendidikan Dalam Perspektif Hadits, (Jakarta: UIN Jakarta Press 2005), h. 62-
63.
24 Ibid.
24
Dalam konteks ini, pendidikan Islam yang dilakukan Nabi dapat
dibagi kepada bentuk, yaitu: Pertama, pola pendidikan saat Nabi di
Mekah. Pada masa ini, Nabi memanfaatkan potensi akal masyarakat
Mekkah yang terkenal cerdas, dengan mengajaknya membaca,
memperhatikan dan memikirkan kekuasaan Allah, baik yang ada di alam
semesta maupun yang ada dalam dirinya. Melanjutkan tradisi pembuatan
sya‟ir-sya‟ir yang indah dengan nuansa Islami, serta pembacaan ayat-ayat
suci al-Qur‟an merubah kebiasaan masyarakat Mekah yang selama ini
memulai suatu pekerjaan menyebut nama-nama berhala dengan nama
Allah (Basmalah), dan sebagainya. Kedua, pola pendidikan saat Nabi di
Madinah. Secara geografis, Madinah merupakan daerah agraris.
Sedangkan Mekkah merupakan daerah pusat perdagangan. Ini
membedakan sikap dan kebiasaan masyarakat petani yang hidup saling
membantu antara satu dengan yang lain. Mereka hidup rukun dan jarang
sekali terjadi persengketaan. Melihat kondisi ini, pola pendidikan yang
diterapkan Nabi SAW lebih berorientasi pada pemantapan nilai-nilai
persaudaraan antara kaum muhajirin dan anshor pada satu ikatan. Untuk
mewujudkan ini, pertama-tama Nabi lakukan dengan mendirikan masjid
sebagai sarana yang efektif. Materi pendidikannya lebih ditekankan pada
penanaman ketauhidan, pendidikan keluarga, pendidikan masyarakat, dan
sopan santun (adab). Kesemua ini berjalan cuckup efektif karena
kharisma dan metode yang digunakan Nabi mampu mengayomi seluruh
kepentingan masyarakat secara adil dan demokrasi. 25
c. Ijtihad
Dalam meletakkan ijtihad sebagai sumber dasar pendidikan Islam, ada
dua pendapat. Pertama, tidak menjadikannya sebagai sumber dasar
pendidikan Islam. Kelompok ini hanya menempatkan al-qur‟an dan
25Samsul Nizar, Dasar-Dasar Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama,
2001), ha. 99.
25
hadits sebagai bahan rujukan. Sementara ijtihad hanya sebagai upaya
memahami makna ayat al-Qur‟an dan hadits sesuai dengan konteksnya.
Kedua, meletakkan ijtihad sebagai sumber dasar pendidikan Islam.
Menurut kelompok ini meskipun ijtihad merupakan salah satu metode
istinbath hukum, akan tetapi pendapat para ulama dalam hal ini, perlu
dijadikan sumber rujukan bagi membangun paradiga pendidikan Islam.26
Eksistensi ijtihad sebagai salah satu sumber ajaran Islamm setelah al-
Qur‟an dan hadits,merupakan dasar hukum yang sangat dibutuhkan
terutama pasca Nabi Muhammad SAW setiap waktu, guna mengantarkan
manusia dalam menjawab berbagai tantangan zaman yang semakin
mengglobal dan mondial. Oleh karena itu, seiring perkembangan zaman
yang semakin mengglobal dan mendesak, menjadikan eksistensi ijtihad,
terutama dibidang pendidikan, mutlak diperlukan. Sasaran ijtihad
pendidikan, tidak saja hanya sebatas bidang materi atau isi, kurikulum,
metode, evaluasi, atau bahkan sarana dan prasarana, akan tetapi
mencakup seluruh sistem pendidikan dalam arti yang luas.27
Dalam dunia pendidikan, sumbangan ijtihad dalam ikut secara aktif
menata sistem pendidikan yang dialogis, cukup besar peranan dan
pengaruhnya. Umpamanya dalam menetapkan tujuan pendidikan yang
ingin dicapai. Meskipun secara umum rumusan tujuan tersebut telah
disebutkan dalam al-Qur‟an, akan tetapi secara khusus, tujuan-tujuan
tersebut memiliki dimensi yang harus dikembangkan sesuai dengan
tuntutan kebutuhan manusia pada suatu periodesasi tertentu, yang
berbeda dengan masa-masa sebelumnya.28
26 Ibid., h. 100.
27 Ibid., hal. 101
28 Ibid., hal. 102
26
3. Fungsi dan Tujuan Pendidikan Islam
Fungsi pendidikan sesungguhnya adalah membangun manusia yang
beriman, cerdas, kompetitif, dan bermartabat.29 Beriman, mengandung
makna bahwa manusia mengakui adanya eksistensi Tuhan dan mangikuti
ajaran dan menjauhi larangan-Nya. Kecerdasan spiritual yang dimilki siswa
tercermin dari keimanan, katakwaan, akhlak mulia, budi pekerti luhur,
motivasi tinggi, optimis, dan kepribadian unggul. Kecerdasan intelektual
tercermin dari kompetensi dan kemandirian dalam bidang IPTEK serta sikap
kritis, kreatif dan imajinatif. Cerdas secara kinestetik berkaitan dengan sosok
pribadi sebagai insan yang sehat, bugar, berdaya-taha, sigap, terampi, dan
cekatan. Kemampuan berkompetensi tercermin dari kepribadian unggul dan
semangat juang tinggi, mandiri, berani menerima perubahan, dan berorientasi
global. Bermartabat mengandung makna memiliki harga diri, jati diri, dan
integritas sebagai bangsa.
Menurut Abdul Halim Soebahar, fungsi pendidikan Islam harus
menunjukkan keluasan peranan dan sesuai dengan fungsi pendidikan
nasional yang berfungsi “mengembangkan kemampuan serta meningkatkan
mutu kehidupan dan martabat manusia Indonesia dalam rangka upaya
mewujudkan tujuan nasional (UU No. 2/1989 Bab II Pasal 3)”. Beliau juga
mengemukakan fungsi pendidikan Islam mencakup empat hal, di antaranya
sebagai berikut:30
a. Makro (universal)
Pendidikan Islam dapat menginternalisasi nilai-nilai spiritual
sehingga manusia dapat menjalankan tanggung jawabnya sebagai
hamba Allah SWT dan senantiasa ihsan pada sesama manusia dan
makhluk Allah lainnya.
29 Sudarwan danim, Pengantar Pendidikan, (Bandung: Alfabeta, 2010), h. 45-46
30 Abdul Halim Soebahar, Wawasan Baru Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2002), h.
27-28.
27
b. Messo (sosial)
Pendidikan Islam dapat membangunjiwa sosial tinggi dan mampu
berkompetisi dalam pembinaan umat dan bangsa.
c. Ekso (kultural)
Pendidikan Islam dapat menyesuaikan dengan perkembangan zaman
dan budaya kontemporer.
d. Mikro (individu)
Pendidikan Islam dapat meningkatkan penguasaan profesi dan
peningkatan kualitas hidup yang baik.
Menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun
2003, “Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya
potensi peserta didik agar menjadi menusia yang beriman dan bertaqwa
kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab.31
Berpijak pada pemahaman tujuan Pendidikan Nasional, seperti
tercantum dalam UUSPN No. 20 tahun 2003 dalam kaitannya dengan
menjadikan sekolah sebagai pusat pembudayaan, pendidikan yang
dilaksanakan bermakna sebagai proses pengembangan kemampuan nilai dan
sikap yang relevan dengan tuntutan pembangunan negara kebangsaan
Indonesia. Baik UU No. 2 tahun 1989 maupun UU No. 20 tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional, memuat ketentuan bahan kajian dan pelajaran
wajib yang dipelajari dari sekolah dasar hingga sekolah lanjutan.32
Adapun tujuan umum pendidikan Islam adalah bertujuan mewujudkan
masyarakaat yang memiliki kebudayaan dan peradaba yang tinggi dengan
indikator utama adanya peningkatan kecerdasan intelektual masyarakat, etika
31 Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003 Pendidikan Nasional.
32 Drs. Tatang S., M.Si, Ilmu Pendidikan, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2012), h. 75-76.
28
dan moral masyarakat yang baik dan berwibawa, serta terbentuknya
kepribadian luhur.33
Tujuan pendidikan memuat gambaran tentang nilai-nilai yang baik,
luhur, pantas, benar, dan indah untuk kehidupan. Karena itu tujuan pendidikan
memiliki dua fungsi, yaitu memberikan arah kepada segenap kegiatan
pendidikan dan merupakan sesuatu yang ingin dicapai oleh segenap kegiatan
pendidikan.34
Tujuan dan sasaran pendidikan selalu berbeda berdasarkan pandangan
hidup masing-masing pendidik dan lembaga pendidikan. Oleh karena itu perlu
dirumuskan pandangan hidup Islam yang mengarahkan pada nilai-nilai Islam.
berdasarkan pandangan teori-teori di atas, Pendidikan Islam harus
menerapkan sistem pendidikan yang dapat memberikan kemampuan
seseorang untuk memimpin kehidupannya sesuai dengan cita-cita dan nilai-
nilai Islam yang telah menjiwai dan mewarnai corak kepribadiannya.
Secara umum, tujuan Pendidikan Islam terbagi kepada: tujuan umum,
tujuan sementara, tujuan akhir, dan tujuan operasional. Tujuan umum adalah
tujuan yang akan dicapai dengan semua kegiatan pendidikan baik dengan
pengajaran atau dengan cara lain. Tujuan sementara adalah tujuan yang akan
dicapai setelah anak didik diberi sejumlah pengalaman tertentu yang
direncanakan dalam sebuah kurikulum. Tujuan akhir adalah tujuan yang
dikehendaki agar peserta didik menjadi manusia sempurna (insan kamil)
setelah ia menghabisi sisa umurnya. Sementara tujuan operasional adalah
tujuan praktis yang akan dicapai dengan sejumlah kegiatan pendidikan
tertentu.35
33 Hasan Basri, Op.Cit., h. 56.
34 Umar Tirtahardja dan S. L. La Sulo, Pengantar Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2012),
h.37.
35 Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Pers, 2002),
h.19.
29
Menurut Omar Muhammad Al-Toumy Al-Syaibany ada tiga aspek
yang menjadi landasan tujuan dari Pendidikan Islam, yaitu36:
a. Tujuan individual yang berkaitan dengan individu-individu,
pelajaran (learning) dan dengan pribadi-pribadi mereka, dan apa
yang berkaitan dengan individu-individu tersebut pada perubahan
yang diinginkan pada tingkah laku, aktivitas dan pencapainnya, dan
pada pertumbuhan yang diingini pada pribadi mereka, dan pada
persiapan yang dimestikan kepada mereka pada kehidupan dunia dan
akhirat;
b. Tujuan sosial yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat sebagai
keseluruhan, dengan tingkah laku masyarakat umumnya, dan degan
ap yang berkaitan dengan kehidupan ini tentang perubahan yang
diingini, dan pertumbuhan, memperkaya penglaman, dan kemajuan
yang diinginkan; dan
c. Tujuan profesional yang berkaitan dengan pendidikan dan
pengajaran sebagai ilmu, sebagai seni, sebagai profesi, dan sebagai
suatu aktivitas di antara aktivitas-aktivitas masyarakat.
Berikut ini adalah tujuan Pendidikan Islam menurut berbagai tokoh
pendidikan Islam. Di antaranya sebagai berikut:
a. Al-Ghazaly
Tujuan Pendidikan Islam menurut Imam Ghazaly ada dua,
yaitu (1) Insan purna yang bertujuan mendekatkan diri kepada
Allah SWT; dan (2) Insan purna yang bertujuan mendapatkan
kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Ciri khas Pendidikan Islam
secara umum yaitu sifat moral religiusnya yang nampak jelas dalam
tujuan-tujuan yang ingin dicapai maupun sarana-sarananya, tanpa
mengabaikan masalah-masalah duniawi. Secara umum pendapat
36 Omar Mohammad Al-Toumy Al-Syaibany , Falsafah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan
Bintang), h. 399.
30
Imam Ghazaly ini sesuai dengan aspirasi-aspirasi Pendidikan Islam,
yakni aspirasi yang bernafaskan agama dan moral.37
Sedangkan sarana pokok untuk mencapai tujuan pendidikan
terdiri dari materi pendidikan. Artinya, anak didik harus disiapkan
seperangkat materi (kurikulum) yang siap untuk dipelajari. Di
samping itu, pendidik juga harus mempunyai metode pengajaran
yang relevan untuk menyampaikan kurikulum atau silabus sehingga
dapat memberikan pengertian yang sempurna dan memberikan
faidah yang besar tentang penggunaan metode terebut.38
b. Ibnu Sina
Pendapat Ibnu Sina mengenai tujuan pendidikan Islam adalah
pendidikan harus diarahkan pada pengembangan seluruh potensi
yang dimiliki seseorang ke arah perkembangannya yang sempurna,
yaitu perkembangan fisik, intelektual dan budi pekerti. Selain itu
tujuan pendidikan menurut Ibnu Sina harus diarahkan pada upaya
mempersiapkan seseorang agar dapat hidup di masyarakat secara
bersama-sama dengan melakukan pekerjaan atau keahlian yang
dipilihnya sesuai dengan bakat, kesiapan, kecenderungan, dan
potensi yang dimilikinya.39
c. Naquib Al-Attas
Naquib Al-Attas menggambarkan tujuan pendidikan Islam
dalam tulisannya mengatakan, “The purpose of seeking knowledge
in Islam is to inculcate goodness in man as an and individual self.
The end of education in Islam is to produce a good man and not to
37 Fathiyah Hasan Sulaiman, Sistem Pendidikan Versi Al-ghazaly, (Bandung: PT. Al-Ma‟arif,
1986), h. 24.
38 Ibid., h. 21
39 Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2001), h. 27 67.
31
produce a good citizen”.40 Menurutnya, tujuan pendidikan Islam
adalah menghasilkan manusia yang insan kamil dengan
menanamkan nilai kebajikan (adab) dalam diri manusia dan juga
menitikberatkan pada pengembangan individual yang cakap
spritualnya dan metrialnya. Selain itu, menurutnya pendidikan
Islam tidak hanya mencetak kepribadian yang baik saja tetapi juga
menciptakan masyarakat yang baik pula dalam kehidupan
bermasyarakat.
d. Hamka
Adapun tujuan pendidikan Islam menurut Buya Hamka adalah
berdasarkan pada konsepnya tentang hidup. Buya Hamka
menggambarkan konspnya dalam tafsir surat al-Dzariyat(51):56
َوَما َخلَْق ُت اْْلِ َّن َواِْلنْ َس إَِّل لِيَ ْعبُُدوِن
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya
merka menyembah-Ku”.
Menurut Hamka, tujuan diciptakannya manusia tidak lain
hanya untuk mengabdi kepada Allah. Jika dikaitkan dengan
pendidikan maka antara tujuan hidup manusia dan tujuan
pendidikan memiliki tujuan. Tujuan tertinggi pendidikan Islam
adalah ingin menjadikan manusia sebagai khalifah allah SWT yang
memiliki tugas utama untuk beribadah kepada Allah SWT dalam
arti seluas-luasnya.41
e. Mahmud Yunus
Tujuan pendidikan Islam ialah menyiapkan anak-anak untuk
kehidupan yang sempurna. Jasmaninya dilatih, supaya tegap dan
40 Syed Naquid Al-attas, The Concept of Education in Islam, (Kuala Lumpur: ISTAC, 1999), h.
22.
41 Sapiudin shidiq, Pendidikan Menurut Buya Hamka, Jurnal Pendidikan Agama Islam (Vol. II,
No. 2, Juli 2008), h. 120.
32
sehat. Akalya dididik, supaya pandai berpikir dan mencipta.
Kelakuannya diperbaiki supaya berakhlak mulia. Pendeknya
haruslah dididik tangan, tubuh, kepala, hati, perasaan dan lidah
anak-anak seluruhnya, sehingga mereka mencapai kehidupan yang
sempurna.42
Sebagaimana yang Rasulullah SAW telah berikan suri tauladan yang
nyata mengenai pendidikan. Beliau telah mendidik kaum Muslimin tatkala
di Makkah maupun di Madinah. Tujuan beliau adalah membentuk pribadi
muslim seutuhnya, yang tercermin dalam tata cara berpikir maupun
berperilaku. Di samping mengajar masalah-masalah yang berkaitan
dengan hukum dan yang menyangkut pengaturan kehidupan mereka,
Rasul pun mengajarkan nilai-nilai kehidupan yang mulia, seperti upaya
mencari keridhaan Allah, sifat „izzah atau kesederhanaan akan harga diri
(„izzatul mu‟min), siap mempertanggungjawabkan kewajiban-kewajiban
menyampaikan dakwah kepada selutruh umat manusia secara efisien.
Dari berbagai macam formulasi tujuan pendidikan Islam di atas, maka
dapat digambarkan bahwa pendidikan Islam bertujuan sebagai sarana
pembentukan manusia yang insan kamil. Konsep tersebut berangkat dari
dasar pemikiran filosofik bahwa Islam merupakan sumber nilai yang
universal. Kegiatan pendidikan Islam tidak hanya berupa pengisian otak
(pengetahuan) saja, namun lebih dati itu, di mana ada nilai-nilai lain yang
ingin diraih. Demi kehidupan kemanusiaan yang substansif, pendidikan
Islam melakukan proses pengisian kalbu sebagai upaya memperteguh
42 Mahmud Yunus, Pokok-Pokok Pendidikan dan Pengajaran, (Jakarta: Hidakarya Agung), h.
18.
33
potensi imaniah. Dalam hal ini, aktivitas tersebut merupakan proses
memasukkan nilai normatif religius dan etik.43
4. Kurikulum Pendidikan Islam
Dalam bidang pendidikan, kurikulum adalah unsur penting dalam
setiap bentuk dan model pendidikan mana pun. Tanpa adanya kurikulum,
sulit rasanya bagi para perencana pendidikan untuk mencapai tujuan
pendidikan yang diselenggarakannya.
Istilah kurikulum yang berasal dari bahasa Latin curriculum semula
berarti a running course, or race course, especially a chariot race course dan
terdapat pula dalam bahasa Perancis courier artinya, to run (berlari).
Kemudian istilah itu digunakan untuk sejumlah courses atau mata pelajaran
yang harus ditempuh untuk mencapai suatu gelar atau ijazah.44 Kurikulum
dalam Pendidikan Islam dikenal dengan kata “Manhaj” yang berarti jalan
terang yang dilalui oleh pendidik atau guru latih dengan orang-orang yang
dididik atau dilatihnya untuk mengembangkan pengetahuan, keterampilan
dan sikap mereka.45
Jenkins dan Shipman mengemukakan kurikulum “A curriculum is the
formation and implementation of an educational proposal to be taught and
learned within the school or other institution and for which that institution
accepts responsibility at three levels; its rationale, its actual implementation
and its effects”.46 Mereka menggambarkan bahwa kurikulum merupakan
formasi dan pelaksanaan dari tujuan pendidikan yang harus dipikirkan
matang-matang dan dipelajari dengan institusi pendidikan yang mana
43Baharuddin dan Moh. Makin, Pendidikan Humanistik, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2016), h.
147.
44 Hamdani Ihsan dan Fuad Ihsan, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 1998), h.
131
45 Omar Mohammad Al-Toumy Al-Syaibany , op. cit., h. 478
46 Steve Barlette and Diana Burton, Introduction to Education Studies, (London: SAGE
Publications Ltd, 2007), h. 75
34
kurikulum harus mencakup tiga aspek, yaitu kurikulum harus rasional,
kurikulum dapat dilaksanakan dan kurikulum memberikan dampak positif
bagi pendidikan.
Di dalam kurikulum tidak hanya dijabarkan serangkaian ilmu
pengetahuan yang harus diajarkan oleh pendidik kepada anak didik, dan anak
didik mempelajarinya, tetapi juga segala kegiatan yang bersifat kependidikan
yang dipandang perlu, karena mempunyai pengaruh terhadap anak didik,
dalam rangka mencapai tujuan pendidikan Islam. Misalnya olahraga,
kepramukaan, widya wisata, seni budaya: mempunyai pengaruh cukup besar
dalam proses mendidik anak didik, sehingga perlu diintegrasikan ke dalam
kurikulum itu.47
Menurut S Nasution menguraikan tentang konsep kurikulum bahwa,
kurikulum lazimnya dipandang sebagai suatu rencana yang disusun untuk
melancarkan proses belajar-mengajar di bawah bimbingan dan tanggung
jawab sekolah atau lembaga pendidikan beserta staf pengajarnya.48 Ada
sejumlah ahli teori kurikulum yang berpendapat bahwa kurikulum bukan
hanya meliputi semua kegiatan yang direncanakan melainkan juga peristiwa-
peristiwa yang terjadi di bawah pengawasan sekolah, jadi selain kegiatan
kurikuler yang formal juga kegiatan yang tak formal. Yang terakhir ini sering
disebut kegiatan ko-kurikuler atau ekstra-kurikuler (co-curriculum atau extra-
curriculum).
Kurikulum formal meliputi:
a. Tujuan pelajaran, umum dan spesifik.
b. Bahan pelajaran yang tersusun sistematis.
c. Strategi belajar-mengajar serta kegiatan-kegiatannya.
d. Sistem evaluasi untuk mengetahui hingga mana tujuan tercapai.
47 Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2010), h. 77-78
48 S Nasution, Kurikulum dan Pengajaran, (Bandung: Bumi aksara, 1989), h. 5.