disimbokan sebagai lambang sebagai kesuburan tempat
bersemayamnya dewa gunung. Sungai kerap kali dijadikan
sebagai tempat memuja roh-roh yang dianggap mistis. Hal ini
karena kepercayaan masyarakat yang menempatkan sungai
sebagai tempat bersemayamya atau rumah bagi ruh dan
mahluk halus.
Mitos sungai juga ialah karena ia sebagai lambang
kesuburan, air kehidupan bagi masyarakat, maka kedekatan
manusia dengan sungai ini lalu menempatkannya untuk
melakukan pemujan-pemujaan dan ritual-ritual tertentu
seperti dalam cerpen ini. Rusli melakukan ritual untuk
memanggil ruh singa.
Ritual kammala atau bersemedi seraya melantunkan
mantra-mantra tertentu dilakukan tokoh Rusli di tepi sungai.
Tempat ini dianggapnya sebagai tempat bersemayamnya roh
singa yang dianggap memiliki kekuatan magis.
Ideologi dalam kutipan ini tidak dapat disebutkan
sebab ia tidak menjadi paradigma yang mesti ada dalam suatu
peristiwa. Kehadirannya tidak dapat dikatakan sebagai sebuah
keharusan atau kewajiban. Ritual untuk memanggil roh-roh
tertentu tidak mesti dilakukan di tepi sungai. Tidak ada
keharusan dan kemutlakan untuk menjadikan ritual tepi
sungai sebagai sebuah ideologi. Sehingga posisi sungai dalam
hal ini hanya sampai pada tahap mitos.
4. Kutipan keempat
“Roh singa ini dianggap jelmaan seorang dukun. Dari cerita
yang dipercaya beberapa orang, awal 1962, sang dukun
berusaha keras mengerahkan kemampuannya dan singa
peliharaannya untuk melindungi kampung dari gerombolan
pemberontak yang senantiasa melawan tentara pemerintah.
Gerombolan ini, pada malam hari, kadang tiba-tiba keluar
hutan untuk meminta paksa kebutuhan makanan dengan
menyusup ke rumah-rumah penduduk. “ (Hal 11)
95
Makna denotasi dari kata roh jika dilihat dalam kamus
besar bahasa Indonesia adalah makhluk hidup yang tidak
berjasad, tetapi berpikiran dan berperasaan (malaikat, jin,
setan, dan sebagainya). Meskipun ada tiga pengertian dari
kata roh dalam KBBI, namun Roh berupa kata benda paling
dekat maknanya dengan pengertian di atas. Sementara kata
“singa” dalam KBBI dimaknai sebagai mamalia karnivor yang
bentuknya sama dengan macan, memiliki berat tubuh berkisar
antara 1—60 kg, berotot, memiliki kepala bulat, telinga bulat,
rambut pendek, dan ekor panjang dengan rambut di ujungnya,
pada singa jantan memiliki surai.
Selanjutnya kata “dukun” dalam KBBI diartikan sebagai
orang yang mengobati, menolong orang sakit, memberi jampi-
jampi (mantra, guna-guna, dan sebagainya). Dalam hal ini
pengertian dukun yang paling dekat maknanya dengan
konteks cerita, secara denotasi ialah orang yang memberi
jampi-jampi dengan menggunakan mantra-mantra.
Makna konotasi penggalan kutipan di atas dapat
ditemukan pada frasa “roh singa.” Frasa ini sudah dijabarkan
secara makna leksikal pada penjelasan makna denotasi di atas.
Secara konotasi, dalam deskriptif kata selanjutnya dimaknai
sebagai jelmaan seorang dukun. Ruh dukun inilah yang ingin
dipanggil oleh tokoh Rusli untuk dapat memberikannya
kekuatan magis yang diinginkannya. Jika dilihat dari akhir
cerita ini, kekuatan yang dicari tokoh Rusli dalam jelmaan roh
dukun ini ialah kekuatan atau kekebalan untuk menghadapi
mush-musuhnya.
Roh yang dianggap memiliki kekuatan gaib ini
dipercaya sebagai roh sebuah singa yang menjadi jelmaan
seorang dukun. Orang-orang dalam cerita ini menganggap
96
bahwa sang dukun dan singa peliharaannya dijadikan sebagai
kekuatan untuk melawan tentara pemerintah. Mereka berdua
inilah yang melindungi penduduk dari pemerasan penduduk
saat diminta makanannya oleh tentara-tentara itu.
Mitos dalam kutipan di atas ialah sosok dukun yang
dianggap memiliki kekuatan magis. Karena kekuatannya itu, ia
dianggap sebagai jelmaan dalam roh seekor singa. Roh singa
itu pun dapat ditemui dengan melakukan ritual, karena
berbeda alam dengan manusia. Maka, tokoh Rusli mencoba
melakukan ritual kammala dengan mendatangi sungai yang
dianggap sebagai kediaman ara roh-roh makhluk halus.
Ideologi dalam kutipan ini tidak dapat disebutkan
sebab ia tidak menjadi paradigma yang mesti ada dalam suatu
peristiwa. Kehadirannya tidak dapat dikatakan sebagai sebuah
keharusan atau kewajiban. Sehingga posisi dukun yang
dianggap jelmaan roh singa dalam hal ini hanya sampai pada
tahap mitos.
5. Kutipan kelima
“Ardi memunculkan misteri baru. Berusaha mengusik pikiran
Rusli, tetapi Rusli tak peduli menanggapi. Malah, ia meraih
sesuatu di kantong celananya. Kemudian menunjukkan pada
Ardi sebuah batu. Saya penasaran dengan kelanjutan dari
ucapan Ardi. Rusli sengaja mengalihkan pembicaraan. “ (Hal
11)
“Saya belum tahu apa kegunaan batu ini. Tapi, yang saya
harap, saya bisa tahan banting dari pukulan maupun benda
tajam.” (Hal. 11)
Makna denotasi dari kata “batu” dalam penggalan
kutipan di atas dalam KBBI ialah benda keras dan padat yang
berasal dari bumi atau planet lain, tetapi bukan logam. Benda
inilah yang digunakan oleh tokoh Rusli untuk memperkuat
97
argumennya saat tokoh Ardi tidak mempercayai roh yang ingin
ditemuinya.
Makna konotasi dari batu yang dipegang tokoh Rusli
ialah perlawanan, penguat ritual yang dilakukannya. Batu itu
secara konotasi menjadi pembenar tentang kenyataan adanya
sosok roh singa di tepi sungai. Sehingga ia berupaya untuk
menunjukkannya sebagai bukti bahwa ia mendapatkan satu di
antara sekian keinginan yang ingin ia dapatkan di tepi sungai
itu.
Mitosnya adalah batu yang didapatkan Rusli, saat
ditunjukkan pada tokoh Ardi dianggap memiliki kekuatan
magis dengan ungkapan tokoh Rusli “Saya berharap bisa tahan
banting dari pukulan benda tajam.” Batu ini dalam keercayaan
masyarakat masih tetap eksis. Batu ini biasanya didapatkan
dari hasil ritual atau batu yang di dalamnya dianggap sebagai
tempat bersemayamnya roh-roh gaib yang dapat
mengeluarkan kekuatan magis. Sehingga dalam wacana ini,
batu yang ditunjukkan Rusli sebagai batu yang dapat
menolongnya untuk terhindar dari goresan benda tajam.
Dengan kata lain, ia dapat kebal dengan menggunakan batu
ini.
Ideologi dalam kutipan ini tidak dapat disebutkan
sebab ia tidak menjadi paradigma yang mesti ada dalam suatu
peristiwa. Kehadirannya tidak dapat dikatakan sebagai sebuah
keharusan atau kewajiban. Sehingga posisi batu yang dianggap
memiliki kekuatan magis dalam hal ini hanya sampai pada
tahap mitos.
b. Cerpen Salamah dan Malam yang Tak Terlupakan
1. Kutipan Pertama
“Desa Sudi Mulyo mendadak gempar. Dari mulut ke mulut
segera berembus kabar, ada sepotong kepala melayang-
98
layang menjumpai beberapa penduduk desa. Sosok kepala itu
pertama kali mendatangi Nurdin, seorang pensiunan guru.”
(Hlm. 111)
Makna denotasi dari kata kata kepala dalam KBBI
diartikan sebagai bagian tubuh yang di atas leher (pada
manusia dan beberapa jenis hewan merupakan tempat otak,
pusat jaringan saraf, dan beberapa pusat indra). Kata “kepala
inilah yang menjadi unsur mitos dalam kajian ini, namun
sesuai struktur kajian teori Barthes, maka dipandang penting
untuk mengetahui makna denotasinya terlebih dahulu.
Kata penjelas selanjutnya berupa potongan dan
melayang-layang ialah penjelasan tentang kedudukan kata
“kepala.” Pada konteks ini sepotong diartikan sebagai satu
buah kepala seseorang. Sementara kata “melayang-layang”
mengandung arti terbang tanpa sayap di sekeliling suatu
tempat.
Makna Konotasi dari kata yang dicetak tebal di atas
ialah sosok hantu berupa potongan kepala manusia yang
menakut-nakuti penduduk desa Sudi Mulyo. Sepotong kepala
yang melayang-layang tidak lagi berarti ptongan kepala yang
melayang di udara, tetapi dalam konteks makna konotasi,
kalimat ini berarti ada sosok hantu yang menjelma menjadi
potongan kepala lalu menakut-nakuti penduduk Desa Sudi
Mulyo.
Mitos dari penggalan kutipan di atas, khususnya pada
kalimat sepotong kepala yang melayang-layang ialah ada sosok
arwah yang tidak tenang kehidupannya. Akibat
ketidaktenangannnya ini, ia akan hidup kembali dalam bentuk
hantu dengan “potongan kepala” untuk menghantui, kadang
menuntut balas atas kematiannya atau kadang tidak ikhlas
99
dengan cara kematiannya. Sehingga posisi hantu yang muncul
biasanya sebagai bentuk perlawanan kematian seseorang.
Pada konteks penggalan cerpen di atas, potongan
kepala yang melayang-layang dijadikan sebagai mitos adanya
arwah orang yang meninggal dapat hidup kembali jika orang
yang meninggal itu, dibunuh secara tragis, atau si pemilik jasad
tidak setuju dengan cara kematiannya. Salamah yang
dimitoskan sebagai sosok hantu berperan sebagai sosok yang
disimbolkan sebagai sebuah perlawanan. Hantu yang
melayang-layang ini tidak puas dengan cara kematiannya yang
tragis, sehingga kepala yang melayang-layang menjadi
perlawanan tokoh Salamah dengan mendatangi tiga orang
pemuda yang pernah menyiksanya di hutan Widaren.
Ideologi dalam kutipan ini tidak dapat disebutkan
sebab ia tidak menjadi paradigma yang mesti ada dalam suatu
peristiwa. Kehadirannya tidak dapat dikatakan sebagai sebuah
keharusan atau kewajiban. Sehingga posisi hantu Salamah
berupa potongan kepala yang melayang-layang dalam hal ini
hanya sampai pada tahap mitos.
2. Kutipan Ketiga
“Keesokan malam, tersiar kabar lain. Sulaiman, kawan lama
Nurdin mengalamai hal serupa. Tengah malam ia berteriak-
teriak dan menyebut nama Salamah. Penduduk semakin
resah. Kasak-kusuk segera menjaar dari warung kopi.” (Hlm.
112)
Makna Denotasi pada penggalan kutipan di atas dapat
dimaknai secara harfiah melalui kalimat yang membentuknya,
sebab mitos yang muncul sebagai data dalam penelitian ini
berupa penggalan kalimat yang dimaksud. Kalimat di atas
memiliki makna denotasi tntang Desa Sudi Mulyo yang
100
digegerkan dengan sosok perempuan yang mendatangi orang-
orang desa melalui mimpi. Sosok tersebut tidak hanya datang
sebagai perempuan biasa, tetapi dalam mimpi itu para
pemuda desa melihat sosok Salamah berupa potongan kepala
sehingga terlihat menakutkan dan mengerikan.
Makna Konotasi dalam penggalan kutipan di atas ialah
perlawanan sosok Salamah. Kata “berteriak-teriak”
menandakan bahwa penduduk desa yang bermimpi dihinggapi
ketakutan yang sangat, sehingga mereka berteriak-teriak
karena mendapati sosok Salamah sebagai sosok hantu berupa
potongan kepala. Nudin, dalam penggalan teks di atas
berteriak-teriak ketakutan karena didatangi oleh sosok hantu.
Sehingga makna konotasi penggalan kutipan di atas ialah
sebagai bentuk perlawanan tokoh Salamah yang dibunuh
secara tragis oleh pemuda desa, ia menuntut balas atas dirinya
yang dibantai oleh penduduk desa Sudi Mulyo, terutama
Nurdin, Sulaiman dan pemuda lainnya.
Mitosnya adalah kata tengah malam dan berteriak-
teriak. Sejatinya, orang yang bermimpi tengah malam lalu
berteriak-teriak ketakutan menimbulkan unsur mitos bahwa
mimpinya itu benar dan akan menjadi kenyataan. Terlebih jika
mimpi yang dialami sesorang itu berupa kejadian yang pernah
dialaminya, lalu ada kaitannya dengan masa sekarang, maka
mimpi itu akan dianggap nyata.
Perlakukan pemuda desa Sudi Mulyo pada sosok
Salamah dengan tidak manusiawi memunculkan kejadian aneh
pada mimpi mereka. Setelah sosok Salamah dibantai dan
dipenggal kepalanya secara tragis, lalu mereka yang ikut
terlibat dalam kejadian itu memimpikan hal yang sama.
101
Didatangi potongan kepala Salamah. Mereka dihantui. Jadi,
mitosnya terletak pada perlakuan Salamah dengan cara yang
keji, membuat para pemuda Desa Sudi Mulyo dihampiri sosok
Salamah berupa hantu dalam bentuk potongan kepala.
Ideologi dalam kutipan ini tidak dapat disebutkan
sebab ia tidak menjadi paradigma yang mesti ada dalam suatu
peristiwa. Kehadirannya tidak dapat dikatakan sebagai sebuah
keharusan atau kewajiban. Sehingga teriakan orang-orang
menyebut nama Salamah di malam hari dalam hal ini hanya
sampai pada tahap mitos.
3. Kutipan ketiga
Nurdin memejamkan mata. Batinnya teraduk-aduk. Usai
merapalkan doa, ia bangit dan memacu motornya dengan
agak tergesa. Menuju ruah Sulaiman. “Aku tidak mau mati
dikejar dosa. Kita bikin tahlilan di sana. Ada belasan mati di
sana.” (Hlm. 119)
Makna Denotasi dalam kutipan di atas dapat dilihat
pada kata “tahlilan” dan kata “doa.” Kata-kata inilah yang
memunculkan mitos dan memiliki makna konotasi dalam
penggalan kutipan di atas. Dalam KBBI kata “tahlilan” diartikan
sebagai pembacaan ayat-ayat suci Alquran untuk
memohonkan rahmat dan ampunan bagi arwah orang yang
meninggal sementara kata “doa” bermakna permohonan
(harapan, permintaan, pujian) kepada Tuhan.
Makna Konotasi dari kata doa dan tahlilan adalah
untuk membuat arwah Salamah tidak lagi menghantu-hantui
mereka. Doa dan tahlilan dalam hal ini dijadikan sebagai media
untuk mengucapkan dan melakukan permohonan maaf pada
sosok Salamah. Bagi para pemuda desa Sudi Mulyo, mereka
dikejar-kejar sosok Salamah dalam mimpinya dikarenakan
102
mereka mengakui bahwa yang mereka lakukan itu salah.
Dengan sadar mereka mengatakan bahwa memenggal kepala
Salamah merupakan perbuatan dosa. Sehingga media sebagai
permohonan maafnya, atau pelebur dosanya ialah dengan
melakukan doa dan tahlilan. Sehingga doa dan tahlilan
memunculkan mitos bahwa hantu
Mitosnya adalah bahwa keberadaan hantu-hantu
dapat diusir dengan doa-doa. Hantu-hantu itu, dengan
dibacakannya doa-doa akan menjadikannya menjauh, tidak
berani mendekat, bahkan dalam beberapa hal diperlihatkan
mereka bisa terbakar dan kesakitan. Dalam kutipan ini, doa
yang dimaksud ialah doa untuk membuat si pelaku dan sosok
Salamah dapat tenang. Pelaku yang merapalkan doa dapat
meleburkan dosa-dosanya yang telah lalu dan tidak dihantui
oleh sosok potongan kepala Salamah, sementara di lain sisi,
doa ini juga bertujuan untuk membuat roh orang yang sudah
meninggal dunia menjadi lebih tengan dan tidak dapat
mengganggu orang yang masih hidup.
Ideologi dalam kutipan ini dapat dilihat dari
kepercayaan masyarakat pada tradisi tahlilan dan doa. Mitos
akan hilangnya setan, jin, atau mahluk halus dengan doa dan
tahlilan semakin menguat di masyarakat. Sehingga keberadaan
doa dan tahlilan menjadi suatu kewajiban jika seseorang
dihinggapi rasa takut atau melihat mahluk halus berupa hantu.
Doa dan tahlilan dijadikan sebagai sebuah keharusan dalam
hubungannya dengan roh, jin, mahluk halus dan hantu-hantu.
103
DAFTAR PUSTAKA
Aminuddin. 1995. Stilistika: Pengantar Memahami Bahasa dalam Karya Sastra.
Semarang: IKIP Semarang Press
Aminuddin. 1995. Stilistika: Pengantar Memahami Bahasa dalam Karya Sastra.
Semarang: IKIP Semarang Press
Barthes, R. 1967. Denotation and Conotation Element of Semiology. (Lomdon :
Jonatan Cape)
Bowers, Magie Ann. 2004. Magic(al) Realism. New York: Routlegde.
Danesi, Marcel. 2004. Messages, Sign, and Meaning: A Basic Textbook in
Semiotics and Communication Theory. Canada: Canadian Schoars’ Press
Faris, Wendy B. 2004. Ordinary Enchantments, Magical Realism and the
Remystification of Narrative. Vanderbilt University Press
Hamilton, Edith (1942—New edition 1998). Mythology. Back Bay Books
Junus, Umar. (1986). Sosiologi Sastra: Persoalan Teori dan Metode.
Kualalumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pelajaran
Malaysia
Kartikasari, Apri & Suprapto, Edy. 2018. Kajian Kesusastraan. Magetan : Ae
Media Grafika
Kosasih, E (2017) Jenis-jenis teks dalam mata pelajaran bahasa Indonesia
SMA/MS/SMK. Bandung: Yrama Widya
MuhTasrif. 2007 “Dialogia 5 Jurnal Studi Islam dan Sosial”. Jakarta : Kencana
Mulia, S.W. 2016. Realisme Magis dalam Novel Simple Miracle Doa dan Arwah
karya Ayu Utami. Jurnal Lakon, 5(1): 30-44
104
Nawiroh Vera. 2014. Semiotika dalam Riset Komunikasi. Bogor : Ghalia
Indonesia. Hal. 30
Nurgiyantoro, Burhan. (1999). Pengaktualan Unsur Mitologi dalam Puisi
Goenawan Moehammad dan Sapardi Djoko Damono. Yogjakarta : Jurnal
Cakrawala
Nurgiyantoro, Burhan. (2010). Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada
University Press.
Nurhayati. (2019). Meningkatkan Keterampilan Menulis Cerpen. Medan : USU
Press
Paul cobley & Litzza Jansz. 1999. Introducing Semotics. Ny: Totem Books, Hlm
51. (Dalam, Sobur 2013:69).
Peursen, C. A. Van, Strategi Kebudayaan (terj. Dick Hartoko), Jakarta : Gunung
Mulia, 1976
Putra, Heddy Shri Ahimsa.2012. Strukturalisme Levi-Strauss(Mitos
dan Karya Sastra). Yogyakarta: Kepel Press.
Rahmanto, B. Dan Hariyanto P. (1998). Materi pokok cerita rekaan dan drama
Jakarta : Deprikbud.
Saryono, Djoko. 2009. Suara Sufistik dan Religius dalam Karya Sastra. Malang :
A3 AsahAsihAsuh.
Stanton, Robert. 2012. Teori Fiksi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sugiharto & Widyawati. 2013. “Legenda Curug 7 Bidadari (Kajian
Strukturalisme Levi-Strauss)”. Tesis. Semarang: Universitas di Penogoro.
Sujarma. 2019. Model & Paradigma Teori Sosiologi Sastra. Yogyakarta:
Universitas Ahmad Dahlan.
105
Sumardjo, Jacob dan Saini. (1997). Apresiasi Kesusastraan. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama
Sundusiah, S. (2015). Memahami Realisme Magis Danarto dan Marquez. Jurnal
Lingua, 123-126
Tarigan, H. G. (2015). Berbicara Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa.
Bandung : Angkasa
Windayanto, Riko Nur Adi. 2020. Mistisme Jawa Dalam Cerpen Anjing-Anjing
Menerbu Kuburan Karya Kutowijoyo: Tinjauan Realisme Magis Wendy.
B. Faris. Jurnal NEOLOGIA, 160-174
Ilustrasi Gambar
https://inggrism.com/blog/cerpen-bahasa-inggris/
https://free.png.img
https://pixabay.com/vectors/ecological-leaf-leaves-nature-2026102
https://www.indephedia.com/2021/05/mitologi-yunani-cerita-
kehidupan-hingga.html
https://www.pngkey.com/maxpic/u2e6u2w7i1q8a9w7/
Lampiran
Cerpen Memanggil Roh singa:
https://www.jawapos.com/minggu/cerpen/18/10/2020/memanggil-roh-
singa/
Cerpen Mereka Toh Tidak Mungkin Menjaring Malaikat:
https://klipingsastra.com/id/kumcer/2010/01/mereka-toh-tidak-mungkin-
menjaring-malaikat/
Cerpen Salamah dan Malam yang Tak Terlupakan:
https://ruangsastra.com/2331/salamah-dan-malam-yang-tak-terlupakan/
106
GLOSARIUM
Apatis : acuh tak acuh; tidak peduli; masa bodoh
Arwah : jiwa orang yang meninggal; roh
Azimat : barang (tulisan) yang dianggap mempunyai kesaktian dan dapat
melindungi pemiliknya, digunakan sebagai penangkal penyakit
dan sebagainya
Detail : bagian yang kecil-kecil (yang sangat terperinci); segala hal ihwal
Dramatis : bersifat drama
Eksplisit : Terus terang dan tidak berbelit-belit sehingga orang dapat
menangkap maksudnya dengan mudah dan tidak mempunyai
gambaran yang kabur atau salah (tentang berita, keputusan,
pidato, dan sebagainya); gamblang
Etimologi : cabang ilmu bahasa yang menyelidiki asal-usul kata serta
perubahan dalam bentuk dan makna
Faktual : berdasarkan kenyataan; mengandung kebenaran
Fenomenal : dapat disaksikan dengan pancaindra; luar biasa; hebat
Fundamental : bersifat dasar (pokok); mendasar
Ideologi : kumpulan konsep bersistem yang dijadikan asas pendapat
(kejadian) yang memberikan arah dan tujuan untuk kelangsungan
hidup:
Kausal : bersifat menyebabkan suatu kejadian; bersifat saling
menyebabkan
Kompleks : himpunan kesatuan; kelompok
Konstruksi : susunan (model, tata letak) suatu bangunan (jembatan, rumah, dan
sebagainya)
Kontras : memperlihatkan perbedaan yang nyata apabila diperbandingkan
Marginal : tidak terlalu menguntungkan, berada di pinggir
Mistik/mistis : hal gaib yang tidak terjangkau dengan akal manusia yang biasa
107
Mitologi : ilmu tentang bentuk sastra yang mengandung konsepsi dan
dongeng suci mengenai kehidupan dewa dan makhluk halus
dalam suatu kebudayaan
Obektif : mengenai keadaan yang sebenarnya tanpa dipengaruhi pendapat
atau pandangan pribadi
Ontologi : cabang ilmu filsafat yang berhubungan dengan hakikat hidup
Oposisi : pertentangan antara dua unsur bahasa untuk memperlihatkan
perbedaan arti
Otonom : berdiri sendiri; dengan pemerintahan sendiri: kelompok sosial
yang memiliki hak dan kekuasaan menentukan arah tindakannya
sendiri
Primitif : dalam keadaan yang sangat sederhana; belum maju (tentang
peradaban); terbelakang
Rasionalisasi : proses, perbuatan menjadikan bersifat rasional; proses, perbuatan
merasionalkan
Realisme : paham atau ajaran yang selalu bertolak dari kenyataan
Reduksi : pengurangan, pemotongan (harga dan sebagainya)
Relasi : hubungan; perhubungan; pertalian
Sakral : suci; keramat
Semadi : pemusatan pikiran dan perasaan; meditasi
Signifikan : penting; berarti
Simbolisme : perihal pemakaian simbol (lambang) untuk mengekspresikan ide-\
ide (misalnya sastra, seni)
Supranatural : berkaitan dengan hal yang melampaui keberadaan alam semesta
yang terlihat; ajaib; gaib; adikodrati; supernatural
108
BIOGRAFI PENULIS
Ismail Marzuki, lahir di Lombok Timur kelahiran 1994. Saat
ini dirnya sedang menempuh pendidikan magister
Pendidikan Bahasa Indonesia di Universitas Pendidikan
Indonesia, Bandung linear dengan pendidikannya semasa S1
dulu di Universitas Mataram. Semasa kuliah dirinya aktif di
beberapa lembaga sosial seperti forum pemuda pemudi
kreatif,
Ketertarikannya pada dunia kebahasaan sudah ia tunjukkan semenjak berada di
sekolah menengah atas. Kerap beberapa kali dilibatkan dalam ajang lomba
kebahasaan menjadikannya lebih terpacu untuk menekuni Bahasa Indonesia,
ditambah kesenangannya tampil di depan umum melalui pidatao menjadikannya
lebih meminati Bahasa Indonesia. Namun tidak cukup hanya dengan bahasa
Indonesia pada dirinya, menurutnya, ia ingin mengamalkan Bahasa Indonesia
yang dipelajarinya, untuk ia ajarkan kembali. Hingga akhirnya ia memutuskan
untuk mengambil Pendidikan Bahasa Indonesia.
Selesai dari studinya, ia pernah mengajar di Sekolah Menengah Atas dan sekolah
menengah pertama. Ketertarikannya pada dunia tulis menulis membuatnya juga
pernah bergabung dengan Persatuan Wartawan Indonesia selama satu tahun
melalui koran Seputar Indonesia, Lintas NTB, dan beberapa media online
nasional. Hingga akhirnya ia memutuskan untuk melanjutkan studi dengan
beasiswa LPDP dan kini sampai buku ini terbit, ia berada di semester akhir
pendidikan Bahasa Indonesia, UPI, Bandung.
109