dalamnya yang sebenarnya, mereka melongo dan satu-
satu menangis.” (hlm. 15)
c. Latar Waktu
Waktu yang muncul dalam beberapa peristiwa ialah siang
hari dan malam hari. Pagi hari dapat diketahui melalui peristiwa
saat anak-anak sedang belajar di sekolah dan tukang kebun
membuat jaring di atas bukit, lalu pada saat itu datanglah Jibril
dengan menjatuhkan genteng sekolah. Sementara waktu malam
hari ialah, saat tukang kebun didatangi oleh Jibril dalam mimpinya
saat ia tertidur di rumahnya. Berikut kutipannya.
“Lalu siang hari ia pergi ke bukit, membikin jaring dari
sabut kelapa yang dipilinnya kecil-kecil merupakan tali-tali
panjang.” (hlm. 13)
“Akulah Jibril, yang pada suatu malam mendatangi tukang
kebun itu dalam mimpi.” (hlm. 12)
Unsur mitologi budaya dalam latar tempat, suasana, dan
waktu dalam cerita ini tidak muncul secara spesifik dengan latar
yang aneh, diluar nalar atau mistis. Latar yang muncul ialah latar
dengan kehidupan dunia nyata seperti apa adanya dgnan
menggabungkannya dengan peristiwa-peristiwa mitologi.
B. Tema
Tema ialah makna yang disampaikan pengarang sebagai pesan
utama dengan penyampaian langsung dan tidaknya (Stanton, 2012,
hlm.36). Aksan (2015, hlm. 210) menyampaikan bahwa tema
merupakan gagasan pokok yang disampaikan melalui alur cerita, di
sisi lain Nurgiyantoro (2013, hlm. 133) menebutkan bahwa makna
atau pokok cerita disebut sebagai tema. Melihat dari stuktur cerita
yang muncul, maka tema yang paling terlihat ialah tentang kesufian,
artinya tema dalam cerita memunculkan adanya penyatuan antara
dunia manusia dan dunia malaikat. Kedua hal ini dapat terlihat
melalui perantara anak-anak yang masih berada pada fitrahnya yang
45
suci. Anak-anak dianggap sebagai manusia yang mampu menyatukan
dunia itu, sebab kefitrahannya. Sehingga muncul dalam cerita ini,
malaikat ingin bermain dengan anak-anak, berupaya berbuat usil
dengan memcahkan genteng sekolah, dan kegembiraan tokoh aku
saat mampu mengubah dirinya menjadi sosok batang pisang dan
membuat anak-anak bersorak bahagia.
C. Sarana Cerita
1) Sudut Pandang
Sudut pandang dalam pandangan Stanton (2012, hlm. 53)
ialah sarana cerita yang dijadikan sebagai titik kesadaran dalam
memaknai hubungan dari setiap perbedaan pada peristiwa dalam
cerita. Lebih lanjut Stanton mengatakan bahwa sudut pandang ini
terbagi menjadi sudut pandang orang pertama pelaku utama, orang
pertama pelaku sampingan, orang ketiga pelaku sampingan, orang
ketiga serba tahu.
Pada cerpen Mereka Toh Tidak Mungkin Menjaring Malaikat
menggunakan sarana cerita dengan sudut pandang orang pertama
pelaku utama. Hal ini dapat dilihat dalam seluruh cerita yang
menggunakan kata gati orang pertama “Aku” untuk menyebut tokoh
Jibril.
2) Gaya Bahasa
Dalam pandangan Stanton (2012, hlm. 61) bahwa gaya bahasa
ialah cara yang digunakan pengarang dalam memakai bahasa pada
cerita. Ia merupakan alat komunikasi yang digunakan untuk
menyampaiakan cerita (Siswandarti, 2009, hlm. 43). Dalam
pandangan lain Aminuddin (1995, hlm. 4) merumuskan bahwa gaya
bahasa ialah teknik yang digunakan seseorang dalam memaparkan ide
atau gagasannya. Sehingga gaya bahasa dalam cerpen dapat dimaknai
sebagai suatu alat yang digunakan sebagai perantara dalam
penyampaian cerita kepada pembaca.
46
“Akulah Jibril, yang angin adalah aku, yang embun adalah aku, yang
asap adalah aku, yang gemerisik adalah aku, yang menghantar panas
dan dingin.” (hlm. 12).
Dalam Pandangan Ducrot, O. & Todorov (1981, hlm. 278) gaya
bahasa di atas ialah gaya bahasa repetisi dengan mengulang
kelompok, klausa, dan kalimat dalam melukiskan sesuatu.
Pengulangan terlihat pada kalimat “yang embun adalah aku, yang
asap adalah aku, yang gemersik adalah aku.” Gaya bahasa repetisi ini
merupakan gaya bahasa yang paling banyak digunakan dalam cerpen
ini.
Pada bagian gaya bahasa yang digunakan, dapat ditemukan
mitologi budaya yang ditampilkan melalui tokoh Jibril. Dalam
pendesripsiannya secara langsung, Jibril digambarkan sebagai sosok
mahluk hidup di luar akal sehat manusia lengkap dengan kesaktian
yang dimilikinya. Mitologi dalam bentuk gaya bahasa lebih banyak
menjeaskan gaya bahasa melalui pendeskripsian mitologi budaya
tokohnya.
3) Simbol
Cerpen ini disajikan dengan simbol-simbol sufisme. Adanya
unsur angin, cahaya dan air hujan menjadi simol-simbol kepercayaan
dalam agama Islam dalam mempercayai kehadiran malaikat. Cahaya
dipercaya sebagai simbol paling dekat dengan malaikat, sehigga
pendeskripsian sosok malaikat Jibril dalam cerpen ini menggunakan
cahaya untuk menunjukkan keberadaannya.
Tokoh Jibril sendiri juga menjadi representasi kedekatan
manusia dengan mahluk gaib atau dalam hal ini malaikat. Manusia
percaya bahwa dalam kehidupannya selalu berdekatan dengan
malaikat, jin, dan mahluk halus. Di Indonesia pun dipercaya bahwa
malaikat selalu mendampingi kehidupan manusia, untuk menulis
perbuatan baik dan buruknya, juga untuk membisikkan perbutan baik
yang akan dilakukan dalam keputusannya.
47
Malaikat hadir sebagai simbol akan keberadaan hal-hal gaib di
sekitar kita. Bahkan kepercayaan mistis sangat kental di Indonesia.
Maka wajarlah bila malaikat menjadi salah satu simbol kedekatan
keberadaan manusia dengan malaikat.
4) Ironi
Ironi pada cerpen “Mereka Toh Tidak Mungkin Menjaring
Malaikat” dengan mengacu pada pendapat Stanton yang menjelaskan
bahwa ironi yang dimaksud ialah cara untuk menampilkan adanya
pertentangan, kontrastifitas dalam cerita atau sebuah peristiwa yang
berlawanan dengan apa yang telah diduga, maka ironi dalam cerpen
ini dapat dilihat pada peristiwa saat Jibril membuat genteng atap
sekolah bocor, membuat hujan wilayah yang hanya terjadi di genteng
yang bocor.
“Di halaman sekolah guru dan murid-murid itu terheran heran
memandang ke langit. Bagaimana mungkin ada hujan setempat
yang begitu kecil, demikian mereka saling berkata, yang semuanya
kusambut dengan tersenyum saja.” (Hlm. 11)
Ironi terlihat pada bagian hujan setempat yang hanya terjadi di area
genteng yang bocor. Peristiwa ini ditandai sebagai sebuah ironi
karena tidak dapat berterima dengan akal manusia. Sehingga
memunculkan perspektif baru.
“Tentu saja ia bergumam terus, sebab memang tidak ada sesuatu
pun yang tidak beres di dalam kelas itu. Segalanya baik-baik saja,
sebab ketika mereka berbondong-bondong ke bukit, buru-buru
aku ganti genting yang pecah itu, dan aku sapu lantai yang kotor
oleh kepingan-kepingan itu.” (Hlm. 12)
Peristiwa serupa juga dapat dilihat pada saat pecahan genteng yang
bocor dengan air yang membasahi lantai sekolah. Kondisi ruangan
kelas yang tidak memungkinkan untuk melanjutkan pelajaran. Tukang
kebun kemudian menuju ke kelas dengan maksud membersihkan sisa-
sisa reruntuhan, namun ia justru keheranan karena mendapati
48
ruangan kelas sudah dalam keadaan bersih. Keheranan dan hal-hal
yang tidak masuk akal inilah yang menjadi ironi dalam cerpen ini.
5) Amanat
Nurgiyantoro (2013, hlm.430) menjelaskan bahwa amanat
ialah pemahaman yang dipercayai mengandung suatu kebenaran
yang dialami oleh pengarang yang biasanya merupakan bagaian
paling penting. Amanat dalam cerita juga dapat disebut hikmah yang
biasanya berisi hal positif untuk disampaikan kepada pembaca.
“Itu jawaban yang bagus, pak,” yang membuat ia terkejut dan
menengok sekeliling mencari siapa gerangan yang bersuara cuma,
rupa tidak ada. Tukang kebun itu buru-buru menghindar.”
Kutipan di atas dapat menjelasakan bahwa, kebohonan tukang
kebun tidak dapat disembunyikan. Ia berupaya menempatkan dirinya
pada hal positif dengan mengakui bahwa pecahan-pecahan genting
dibersihkannya dengan sangat cepat. Namun ia mendapat teguran
oleh Jibril melalui bisikan di telinganya. Sehingga kita bisa
mendapatkan hikmah untuk tidak berupaya menyembunyikan
sesuatu kepada orang lain dengan tujuan untuk menjaga nama baik.
49
BAB II
M D CISTISME ALAM ERPEN
A. Mistisme dan Realisme
Karya sastra Indonesia kontemporer kian beragam dengan
hadirnya mistisme dalam beberapa karya. Mistisme yang hadir
sebagai pembeda dari gaya penceriataan dan penyampaian yang
dipilih pengarang. Mistisme dianggap Windayanto (2020, hlm. 161)
50
sebagai bagian dari kepercayaan animisme dan dinamisme yang
masih berkembang dalam masyarakat. Dalam implikasinya
kepercayaan tersebut dapat diaktualisasikan dalam keyakian berupa
kekuatan, hal-hal gaib, kesakralan, kekuatan yang dipercayai
masyarakat tradisional. Selanjutnya, mistisme inilah yang dianggkat ke
dalam karya sastra yang digambarkan melalui media tulisan (Mulia,
2016, hlm. 32). Kejadian-kejadian mistis dalam masyarakat
merupakan suatu budaya yang hanya dapat diyakini oleh para
pemeluk budayanya. Junus (1981, hlm. 90)
Mistisme yang hadir dalam karya sastra, khususnya cerpen
disandingkan dengan realisme yang terjadi dalam kehidupan
masyarakat. Sehingga hal-hal yang tampak mistis seolah-olah benar-
benar terjadi dalam cerpen. Upaya penceritaan inilah yang
melahirkan ciri cerpen realisme magis.
Magis atau misits dalam karya sastra dapat berupa folklor,
tahayul, dan kepercayaan masyarakat. Sementara realis ialah realita,
kenyataan, kasat mata, yang benar-benar terjadi dalam kehidupan
manusia. Dua hal ini kemudian oleh pengarang digabungkan dalam
sebuah unsur yang disebut realism magis. “Tokoh yang dimunculkan
dalam cerpen realisme magis ialah tokoh-tokoh yang gaib. Malaikat,
jin, setan, hantu, peri, burung atau tokoh yang bukan manusia,
bahkan tuhan juga menjadi bagian dan karakter cerita. Pembaca
seolah diajak untuk menyelami dunia realis dan non-realis yang
bersekat. Ruang dan waktu saling menabrak dan menukik. Cerita
secara holistik ditampilkan oleh sastrawan dengan memperlihatkan
batas realisme magis secara halus” (Sundusiah, 2015, hlm. 127).
Dalam ranah sastra kontemporer, realism magis menjadi
perbincangan hangat para pegiat sastra. Hal-hal yang dianggap diluar
nalar diceritakan secara apik oleh pengarang, sehingga memunculkan
kesan realita terhadap cerita yang dimunculkan. Dari aliran cerita
51
realisme magis ini, didapati beberapa unsur yang jarang dibahas oleh
para pegiat sastra, seperti unsur mitologi. Konsep mitologi dalam
aliran realisme magis terlihat memiliki karakteristik dari penyampaian
oleh masing-masing pengarangnya. Hal ini didasarkan atas budaya
asal pengarang yang memengaruhi unsur mitologi tersebut. Padahal
dalam kehidupan sehari-hari manusia selalu berdampingan dengan
mitos-mitos budaya. “Gejala mistisme dalam mitos merupakan gejala
yang biasa terjadi dalam filsafat, budaya, dan agama” (Saryono, 2009,
hlm. 2). “Realisme magis telah menjadi sangat penting bagi mode
ekspresi di seluruh dunia, karena dapat memberikan dasar sastra
untuk karya budaya yang signifikan, dalam teksnya, suara marjinal,
tradisi yang tenggelam, dan kesusastraan yang muncul telah
dikembangkan dan dibuat sebagai karya yang agung” (Faris, 2004,
hlm. 1).
Unsur realisme magis tadi tidak muncul begitu saja dalam karya
sastra. Awal mula lahirnya realism magis sebenarnya dari senis lukis,
kemudian diadopsi oleh Gabriel Garcia Marquez dalam novelnya,
kemudian para kritikus sastra meminjam istilah realism magis untuk
menyebut aliran dalam novel-novel Marquez. Hingga Marquez
akhirnya dikenal sebagai sosok yang memunculkan aliran realism
magis. Istilah realisme magis bermula dari seni lukis yang
diperkenalkan oleh kritikus asal Jerman, Franz Roh pada tahun 1925.
“Menurut pandangan Franz Roh bagian paling penting dalam realisme
magis merupakan aspek misteri dalam objek nyata yang harus
dimunculkan dalam bentuk realis pada seni lukisnya” (Bower, 2004,
hlm. 23).
B. Realisme Magis Wendy B. Faris
Realisme magis dapat dipandang sebagai sebuah bentuk sastra
yang menggabungkan dua aspek dunia dengan menggabungan
rasionalisasi dalam unsur-unsur cerita realitas dan di sisi lain berupaya
52
untuk menghadirkan hal-hal supranatural dalam wujud narasi realitas
yang berupa prosa. Realisme magis ialah sebuah terminilogi dalam
sastra yang mengacu pada narasi yang menggabungkan istilah fantasi
dan kenyataan. Istilah realisme magis bermula dari sebuah seni lukis
yang diperkenalkan oleh Franz Roh tahun 1920. Kemudian istilah
tersebut berkembang ke ranah sastra, sehingga pada 1955 istilah
realisme magis mulai diperkenalkan di Amerika Latin dan berkembang
ke berbagai Negara, (Indarwati, dkk, 2015).
Rujukan realisme magis dalam karya sastra dapat mengadopsi
teori yang diajukan oleh Wendy B. Faris dalam bukunya Ordinary
Enchantments Magical realism and the Remystification of Narrative.
Menurut Faris (Faris, 2004)., dalam mengkaji alam, budaya dan karya
realisme magis, maka terdapat lima karakteristik utama dalam
mengukur nilai “realism magis” dari sebuah karya. Unsur-unsur
tersebut ialah the irrudecible element, the phenomenal world,
unsettling doubts, marging realms, disruption of time, space, and
identity.
The irrudecible element (elemen yang tidak dapat direduksi)
ialah sesuatu yang tidak dapat dijelaskan berdasarkan aturan
universal, sehingga membutuhkan penjelasan sesuai logika,
pengetahuan, atau kepercayaan (David Young and Keith Hollaman.
Dikutip oleh Fariz 2004). Suara narasi menjelaskan kejadian yang luar
biasa – ajaib yang tidak dapat diperivikasi oleh alat indrawi manusia.
Elemen yang tidak dapat direduksi ini meliputi sesuatu yang luar
biasa, seperti yang Todorov jelaskan bahwa the irreducible element
sebagai elemen incidental dalam sebuah narasi.
Pengarang menghadirkan elemen ini dalam rencana narasi
yang sama dengan yang lainnya. Kejadian berarti bahwa dalam teks,
istilah magis bisa benar-benar terjadi. The irrudecble elemet
53
berasimilasi dengan lingkungan realitas dalam teks. Sehingga jarang
memunculkan komentar pembaca. Secara singkat, nilai magis tidak
bisa dijadikan satu kesatuan dalam sebuah realita Namun, dalam
realisme magis, realitas yang berlebihan menyebabkan orang dapat
bereaksi terhadap peristiwa magis dan menghadirkan cerita dengan
cara yang mengganggu, mendefamiliarisasi, menggarisbawahi, atau
mengkritik aspek luar biasa dari yang nyata.
The phenomenal world ( dunia yang fenomenal). Maksud dari
dunia yang fenomenal ialah menjelaskan, mendskripsikan, dan
mendetilkan dunia dalam cerita secara panjang lebar. Dunia yang
dijelaksan secara spesifik inilah dianggap memiliki kesan real dalam
realisme magis.
Unsettling doubts. Bagian ini diartikan sebagai keraguan,
keraguan ketia pembaca membaca karya sastra berciri realisme magis
sebab adanya hal yang kontradiktif. Keraguan ini juga bisa didasarkan
pada budaya pembaca. Pembaca yang sudah biasa dan lumrah
dengan budaya empirik seringkali akan merasakan hal yang janggal
pada eelemen magis. Namun, jika pembaca sudah terbiasa dengan
budaya mistisme, maka pembaca itu bisa saja tidak merasakan hal
yang janggal dalam karya sastra berciri realisme magis.
Merging realism. Pada bagian ini, dunia nyata dan magisme
digabungkan menjadi satu. Realisme magis membuat kabut
perbedaan di antara keduanya. Antara fakta dan fiksi tidak ada lagi
batas antara keduanya, mediasi kenyataan yang berbeda dihilangkan
kemudian.
Disrupion of time, space, and identity. Disrupsi ini maksudnya
adalah gangguan pada waktu, identitas, dan ruang. Disrupsi ini
kemudian menjadi bagian terakhir dari ciri yang dimunculkan oleh
Wendy B. Faris. Faris mengutip pendapat Jameson yang berbunyi
54
adanya bentuk spasial dan temporal tradisional pada pembawaan
realisme.
Keseluruha ciri realisme magis oleh Faris dapat meerikan
gambaran bagaimana struktur realisme magis dari ciri atau kekhasan
cerita prosa, khsusunya cerpen. Kelima unsur di atas dapat
diperhatikan dengan jelas adanya hubungan antara realisme dan
magis, meskipun ada pertumpangan, tindihan antara unsur dan
bentuk dari unsur-unsur tersebut. Disrupsi dalam realisme magis
selanjutnya dimaknai sebagai penyebab dari adanya interaksi atau
hubungan dari unsur-unsur magis tersebut.
C. Contoh Kajian Realisme Magis Wendy B. Faris
Setelah melalui pemaparan teori di atas, berikutnya akan
dilakukan kajian terhadap cerpen untuk melihat unsur realisme magis
yang melekat di dalamnya. Kehadiran lima ciri realisme magis dalam
cerpen dapat mengindikasikan bahwa cerpen yang dikaji memiliki ciri
realisme magis yang kuat. Berikut ialah salah satu contoh cerpen yang
diambil untuk dilakukan kajian teori realisme magis Wendy B. Faris.
1. Cerpen Memanggil Roh Singa
Usai dari perkabungan ayam. Karing tak biasanya menaruh
ayam jantan putih miliknya itu di kandang. Rusli pun nekat
mencuri ayam tersebut dari tangan Karing karena memang ayam
itu selalu menang dalam persabungan ayam. Rusli berniat mencuri
ayam itu, untuk menjadi sesembahan memanggil roh singa
bersama kawannya Ardi.
Setelah mencuri ayam milik Karing, Rusli bersama Ardi
membawa ayam tersebut ke sungai waktu tengah malam. Ia
menjalani ritual memanggil roh singa dan ayam itu, ayam jantan
putih, sebagai pelangkap menjalani ritualnya memanggil roh
sianga. Dengan roh singa itu, Rusli ingin mendapatkan sesuatu
55
yang ia idamkan. Ia bertelanjang bulat di tepi sungai, dengan
kondisi ayam di cekik, dan membiarkannya tak berkutik.
Lama Rusli mejalani ritual, ia tak menggubris apapun yang
menjadi halangannya. Termasuk binatang melata. Ia tetap
bertelanjang untuk memanggil roh singa itu dari kisah yang
dituturkan seorang dukun padanya. Konon Roh singa itu adalah
jelmaan untuk menjaga desa, ada juga yang meyebutkan roh singa
itu mirip harimau bukan singa. Tetapi orang-orang percaya, roh
singa itu bisa memberikan sesuatu yang diinginkan.
Sekian lama Rusli menjalani ritual, untuk menemukan roh
singa yang dipercayainya sebagai roh seorang dukun
dikampungnya. Rusli mengeluarkan sebuah batu tajam di
kantongnya. Ia menunjukkannya pada Ardi. Rusli berharap dengan
batu itu, ia bisa kuat, tahan banting, dan tidak terkalahkan
Contoh Kajian Wendy B. Faris
Berdasarkan uraian cerpen “Memanggil Roh Singa” di atas,
maka akan dilakukan kajian realisme magis dengan menggunakan
teori Wendy B. Faris. Berikut contoh kajiannya.
1. Irreducible Element
Unsur realisme magis melalui karakteristik elemen yang
tidak dapat direduksi menjadi kekhasan tersendiri dari aliran ini,
sebab ciri ini memosisikan cerita di luar logika manusia. Cerita
yang dinarasikan sebagai cerita yang sulit difahami menurut logika
manusia, sebab ciri ini hadir sebagai refleksi kepercayaan yang
dianut suatu masyarakat.
Cerpen memanggil roh singa mempunyai elemen yang
tidak dapat direduksi jika dilihat dari objek magis, tokoh magis,
dan kerpercayaan masyarakat. Objek magis dalam cerita ini ialah
unsur latar tempat dalam cerita. Tempat berupa tepi sungai dalam
56
cerpen ini merupakan unsur yang tidak dapat direduksi dan
mengandung elemen magis. Tepi sungai yang biasanya dijadikan
sebagai tempat memancing bagi orang-orang kampung, kini dalam
cerita dijadikan tempat menjalankan ritual topo broto atau
akkammala. Sebuah ritual yang bertujuan untuk bersemedi,
bertapa untuk mendapatkan kesaktian, kejayaan, kemasyhuran,
kekuatan dan hal lainnya yang berhubungan dengan keinginan
orang yang melakukan ritual.
“Rusli mendatangi jemabatan seorang diri. Ia menapaki
jalan setapak untuk mendekat ke tepi sungai. Ia memandang ke
segala arah. Ia melepas seluruh pakaian yang membalut tubuhnya.
Suara nyamuk dan serangga saling bersaing.” (Hal. 11)
Dalam cerita ini, Rusli melakukan ritual akkammala untuk
bertemu dengan roh singa, dengan menjadikan ayam sabung
sebagai tumbalnya. Roh singa dipercaya sebagai jelmaan seorang
dukun yang mampu menaklukkan hewan buas.
Pada tahap ini, elemen yang tidak dapat direduksi semakin
kuat. Ritual yang dilakukan Rusli, dengan hadirnya tokoh Roh
Singa, menjadikan efek magis dalam cerita ini semakin menguat.
Sehingga ciri yang pertama dari realisme magis ini dapat dilihat
dari objek magis, prristiwa magis, mahluk halus, dan kepercayaan.
“Di kolong rumah, Rusli mencoba memberitahu detail
cerita. Ardi datang ke sini karena penasaran dengan pengalaman
Rusli yang telah selesai menjalani ritual. Saya mulai faham kenapa
Rusli ingin berjumpa roh singa itu yang tak lain seorang dukun.
‘Saya belum tahu apa kegunaan batu ini. Tapi, yang saya harap,
saya bisa tahan banting dari pukulan maupun benda tajam’ ujar
Rusli.” (Hal. 11).
Kepercayaan ini erat kaitannya dengan mitos di luar nalar.
Rusli mempercayai jika roh singa itu dapat memberikan efek magis
pada dirinya. Efek magis itu berupa tahan banting, kuat secara fisik
melalui batu yang ditunjukkannya pada Ardi.
57
2. Phenomenal Word
Kehadiran dunia fenomenal dalam cerpen Memanggil Roh
Singa dimaksudkan untuk membuat cerita ini tidak berubah pada
aliran fiksi fantasi atau aliran lainnya. Dunia fenomenal
menjabarkan secara deail latar, objek, fakta sejarah untuk
memberikan kesan nyata dalam cerpen. Kesan fenomenal itu pun
terlihat pada tokoh Karring, Rusli dan Ardi yang menyukai
persabungan ayam.
Kegiatan tokoh Rusli mencuri ayam diceritakan dengan
detail untuk memberikan kesan lebih nyata dalam cerita. Di sinilah
dunia fenomenal dihadirkan melalui kenyataan yang real dalam
teks cerpen.
“Waktu yang tak lama dimanfaatkan Rusli untuk mencuri saya. Ia
pasti sudah beberapa kali mengintai gerak-gerik Karring. Begitu
leher saya dicekik, tak lama mata saya juga perih. Seperti ada
sesuatu yang dioleskan Rusli ke sepasang tangannya, agar saya tak
berdaya.”
Tokoh Rusli dijabarkan sebagai sosok yang mencuri ayam
putih dan kuat milik Karring. Ayam putih dan kuat di persabungan
ayam itu dipercaya akan menjadi tumbal yang sempurna bagi
Rusli. Agar aksinya tidak ketahuan Karring, ia lalu mencekik ayam
tersebut agar tak menimbulkan kegaduhan, juga dengan minyak
oles yang digunakan dalam aksinya itu.
“Rusli mendatangi jembatan seorang diri. Ia menapaki jalan
setapak untuk mendekat ke tepi sungai. Ia memandang ke segala
arah. Ia melepas seluruh pakaian yang membalut tubuhnya. Suara
nyamuk dan serangga saling bersaing. Kaki saya telah ia ikat kuat.
Mungkin ia takut, gerakan kecil saya bisa membuat ritual yang
direncanakannya gagal.” (Hal. 11).
Kesan mendetail juga diperlihat dalam peristiwa saat Rusli
menuju ke tepian sungai. Peristiwa ini juga dapat menjadi
penanda unsur dunia penomenal karena proses menjalani ritual
58
tokoh Rusli dijabarkan secara lebih mendalam dan panjang lebar,
namun unsur ini bukan merupakan bagian magis, meskipun
terdapat kata ritual. Perstiwa ini hanya menjabarkan pada proses
yang dilalui saat akan menjalani ritual, bukan menjabarkan
ritualnya. Sehingga efek dan kesan real dalam dunia fenomenal ini
terlihat lebih jelas.
3. Unsettling Doubts
Keraguan dalam unsettling doubts ialah sesuatu yang tidak
lumrah terjadi karena terdapat unsur elemen yang tidak dapat
direduksi dalam teks. Dalam cerita ini, pembaca merasa ragu saat
membaca penggalan peristiwa saat tokoh Rusli memanggil roh
singa dengan menjalani ritual topobroto atau bersemedi di tepi
sungai.
“Rusli mendatangi jemabatan seorang diri. Ia menapaki
jalan setapak untuk mendekat ke tepi sungai. Ia memandang ke
segala arah. Ia melepas seluruh pakaian yang membalut tubuhnya.
Suara nyamuk dan serangga saling bersaing. (Hal. 11)
Kutipan di atas membuat pembaca merasa ragu dengan
cerita atau bertanya-tanya tentang kebenaran cerita, sehingga
pembaca merasa hal itu tidak masuk pada logia manusia.
Bagaimana mungkin seorang manusia mampu memanggil roh
singa yang berada pada alam lain? Padahal manusia dan ruh,
dibatasi pada dimensi yang berbeda.
Namun keraguan ini dapat dijelaskan dengan kutipan pada
paragraf berikutnya yang mendeskripsikan bahwa untuk
mendatangkan roh singa itu, Rusli harus membawa seekor ayam
jantan putih sebagai tumbal, disertai dengan mantra-mantara
yang dilantunkannya. Rusli pun menjalani ritual itu dengan
telanjang badan, diwaktu malam hari, beberapa jam sebelum
59
subuh, dengan minyak oles, serta bacaan-bacaan untuk
memancing roh singa itu.
“Ia yakin, setelah mendapat pengakuan beberapa orang,
bahwa roh singa itu bisa ia jumpai di sekitar jembatan ini.
Beberapa detik kemudian, saya mendengar Rusli bersuara, terus
bersuara, tetapi tak jelas. Nadanya cukup rendah. Tampaknya ia
sudah memulai ritual memanggil roh, agar datang
menghampirinya.” (Hal. 11).
Hasil dari keragu-raguan itu mendatangkan akibat pada
akhir cerita. Setelah menjalankan serangkain proses ritual, Rusli
mengeluarkan sebuah batu yang dipercaya mampu menjadi
azimat bagianya dalam memperkuat diri. Batu itu dipercayainya
sebagai azimat agar ia kebal dengan benda tajam dan tahan
banting melawan musuh-musuhnya.
4. Marging Realms
Ciri keempat dari realisme magis terlihat cukup jelas pada
cerpen Memanggil Roh Singa ini. Kehadiran tokoh Ayam yang
memiliki keinginan dan kemauan seperti manusia menjadi
penanda dua alam yang bercampur, seperti penggalan kutipan
berikut ini.
“Mungkin inilah imbas dari rencana buruk saya pada
Karring. Beberapa kali sesaat sebelum bertarung, saya berencana
tak ingin mengerahkan seluruh tenaga agar bisa kalah. Saya lelah
dengan keadaan yang ada. Ketika saya kalah, Karring pasti malu
dan tak akan mengandang saya lagi. Dengan begitu, saya bisa
bebas berkeliaran. Terhindar dari lawan yang sewaktu-waktu lebih
kuat dan membunuh saya.” (Hal. 10).
Alam dunia, ruh, alam hewan dicampur menjadi satu
dalam cerita ini. Tokoh Aku selaku ayam dinarasikan sebagai tokoh
yang memiliki kemampuan berbicara, kemauan disayangi,
kemauan melepaskan diri, dan beberapa sifat yang dimiliki
manusia tampak pada tokoh ayam. Seolah tidak ada pembatas
60
antara dunia ayam dengan dunia manusia, meskipun memang
kehidupan ayam melengkapi kehidupan manusia, namun
kehadiran ayam pada cerita ini, dinarasikan sebagai tokoh yang
memiliki sifat dan tabiat selayaknya manusia.
Di sisi lain, kehadiran ruh dalam dunia gaib juga hadir
menjembatani kehidupan Tokoh Rusli dan Tokoh Ardi. Dunia ruh
berusaha dihadirkan untuk memunculkan efek magis melalui
elemen-elemen yang tidak dapat direduksi. Dalam hal ini, ruh
singa yang dianggap sebagai jelmaan dukun atau jelmaan penjaga
desa memiliki hubungan timbal balik dengan kehidupan duniawi
para tohohnya.
5. Disruption of Time, Space and Identity
Gangguan terhadap waktu, ruang dan identitas dalam
pandangan Faris ialah sebuah konsep yang ada di masyarakat
dilanggar untuk memunculkan realisme magis. Cerpen Memanggil
Roh Singa jika diselisik lebih mendalam, maka akan didapati
adanya gangguan ruang dan identitas, sementara gangguan waktu
tidak ditemukan adanya data yang selaras.
Gangguan ruang ini dapat dilihat pada latar sungai yang
dijadikan sebagai tempat melakukan ritual oleh tokoh Rusli. Rusli
diposisikan sebagai tokoh yang melakukan gangguan ruang
dengan membuka baju seutuhnya, mengolesi ayam putih jantan
dengan minyak, dan bertapa di tengah malam suntuk. Hal ini
dapat dilihat pada kutipan berikut.
“Rusli mendatangi jembatan seorang diri. Ia menapaki jalan
setapak untuk mendekat ke tepi sungai. Ia memandang ke segala
arah. Ia melepas seluruh pakaian yang membalut tubuhnya. Suara
nyamuk dan serangga saling bersaing. Kaki saya telah ia ikat kuat.
Mungkin ia takut, gerakan kecil saya bisa membuat ritual yang
direncanakannya gagal.” (Hal. 11).
61
Latar tepian sungai dijadikan sebagai tempat menjalankan
ritual. Konsep gangguan ruang ini memunculkan efek magis karena
berhubungan dengan kepercayaan masyarakat melalui ritual
akkammala yang dilakukan tokoh Rusli. Sementara gangguan lain
yang dapat dilihat dari cerpen ini ialah gangguan identitas tokoh
aku yang merupakan seekor ayam.
“Beberapa kali sesaat sebelum bertarung, saya berencana
tak ingin mengerahkan seluruh tenaga agar bisa kalah. Saya lelah
dengan keadaan yang ada. Ketika saya kalah, Karring pasti malu
dan tak akan mengandang saya lagi.”
“Rencana itu tak saya lanjutkan. Saya mempertimbangkan
kemungkinan yang lebih parah. Bisa saja karena merasa
dipermalukan, Karring bakal membunuh saya dengan keji.” (Hal.
10)
Pada kutipan di atas, dapat dilihat adanya gangguan
identitas berupa tokoh Ayam yang memiliki siasat agar tidak
menang bertarung melawan ayam lainnya. Kutipan ini termasuk
pada gangguan identitas karena ayam yang semestinya menjadi
peliharaan, bahan makanan, namun dinarasikan sebagai tokoh
yang memiliki kemampuan seperti manusia. Ketidaklasizaman
terdapat pada identitas dan perilaku yang ditunjukkan oleh tokoh
ayam. Sehigga rencana tokoh Ayam untuk kalah dalam
pertarungannya melawan ayam lain termasuk sebagai konsep
gangguan identitas.
Ciri kelima dari realisme magis pada cerpen ini, dapat
dilihat pada konsep gangguan ruang dan identitas, sementara itu
tidak ditemukannya data yang berhubungan dengan gangguan
waktu. Waktu yang dimunculkan berjalan sesuai dengan dunia
fenomenal pada ciri kedua realisme magis.
62
2. Cerpen Salamah dan Malam yang Tak Terlupakan
Nurdin didatangi arwah Salamah berupa potongan-
potongan kepalanya. Salman juga mengalami hal serupa. Warga
desa Sudi Mulyo dibuat geger dengan sosok arwah Salmah.
Potongan kepala Ssalamah berputar-putar mengelilingi Nurdin,
hingga Nurdin dibuat kacap oleh sosok mahluk halus iu.
Arwah Salamah mendatangi mereka yang dianggap terlibat
dalam kejadian itu, yang membuat Salamah mati tak berdaya
dengan mengenaskan. Semua yang terlibat dalam tragedi itu
dihantui sosok arwah wanita itu.
Kejadian itu bermula dari 55 tahun yang lalu, saat Nurdin
baru lulus SMP. Salamah dalam masa hidupnya dikenal sebagai
sosok ayng manis, pandai bernyanyu dan menari, hingga bermain
viano. Namun sayang, ayah Nurdin tak begitu suka jika ia terlalu
dekat dengan wanita itu. Pernah, ayah Nurdin murka saat dirinya
suatu waktu memboncengi wanita itu.
Tragedi itu bermula dari Diro Saidi, sosok laki-laki yang
menyumbang di acara pesta perrnikahan. Setelah beberapa
lamanya, Diro Saidi, Salamah dan beberapa orang lainnya diseret
ke hutan. Puluhan tentara mengawali mereka dengan tangan
terikat tali. Di leher Diro Saidi ada seutas tali, dengan Salamah di
belakangnya.
Nurdin tahu persis kejadian itu. Banyak orang yang
meminta mereka dibunuh, digantung, dan dihantam. Di hutan
Widaren itu, orang semakin beringas. Melihat kelakuan orang-
orang, Nurdin mengangkat batu, dan entah bagaimana batu itu
mengenai tengkuk Salamah. Ditambah ayah Nurdin menebas
leher wanita itu.
63
Kejadian 50 tahun itu membuat Nurdin dihantui dosa dan
rasa bersalah. Nurdin dan Sulaiman bergegas menuju rumah Pak
Dukuh untuk melakukan zikiran dan tahlilan. Meski tidak direstui
Pak Dukuh, ia tetap bertekad untuk membuat selamatan untuk
arwah wanita itu.
Contoh Kajian Teori Wendy B. Faris
Pada bagian ini selanjutnya akan dijabarkan ciri-ciri
realisme magis magis yang muncul dalam cerpen ini. Kelima ciri itu
ialah irreducible element, phenomenal world, unsettling doubt,
marging realms, disruption of time, space, and identiy.
1. Irruducible Element
Bagian ini dianggap sebagai elemen yang tidak dapat
direduksi karena elemen-elemen yang terdapat didalamnya
tidak sesuai dengan logika empirisme dunia barat. Dalam
cerpen Salamah dan Malam yang Tak Terlupakan, elemen yang
tidak dapat direduksi ini dapat ditemukan pada objek magis
dalam cerita, tokoh yang dihadirkan, dan keprcayaan
masyarakat.
Objek magis terlihat pada peristiwa yang dialami tokoh
Nurdin. Pada peristiwa itu, ia didatangi oleh potongan kepala
Salamah yang melayang-layang. Seorang gadis yang
kenyataannya sudah meninggal beberapa tahun silam, namun
arwahnya masih menghantui penduduk desa. Salamah
dikisahkan sebagai sosok mahluk halus yang bergentayangan
akibat dibunuh secara tragis oleh penduduk desa, termasuk
Nurdin yang menyaksikannya.
“Desa Sudi Mulyo mendadak gempar. Dari mulut ke
mulut berembus kabar, ada sepotong kepala melayang-layang
menjumpai beberapa penduduk desa. Sosok kepala itu
64
pertama kali mendatangi Nurdi, seorang pensiunan guru.”
(hal. 111)
Nurdin, Sulaiman, dan Baron Suparto, mereka
mendapati hal serupa. Didatangi arwah gentayangan pada
malam harinya. Peristiwa magis ini masuk ke ranah irreducible
element atau elemen yang tidak dapat direduksi karena
mengandung unsur magis yang tidak dapat berterima dengan
logika empirik dunia barat.
Selain dari objek magis, irreducible element juga dapat
dilihat dari kepercayaan yang dianut masyarakat. Jika melihat
dari kejadian yang dialami ketiga tokoh di atas, hal ini punya
hubungan dengan akibat perbuatan mereka yang menyiksa
dengan kejam jasad Salamah. Dalam kepercayaan masyarakat
di Indonesia, mereka yang jasadnya meninggal secara tragis
kerap kali menjadi arwah gentayangan dan menghantui orang-
orang yang menyakitinya.
“Salamah, anak sulung Diro Saidi, pemilik penggilingan
padi dan punya beberapa truk. Sudah 55 tahun berlalu. Orang
yang diciduk dari rumahnya, digelendang ke tengah hutan, dan
nyawanya lenyap di sana.” (Hal. 113)
2. Phenomenal World
Unsur yang kedua dari realisme magis ini ialah dunia
fenomenal yang merupakan bagian realistis dalam cerita.
Unsur realistis ini menjadi penonjol keberadaan realisme
magis, sehingga tidak berubah pada aliran fiksi fantasi atau
fiksi lainnya. Cerpen Salamah dan Malam yang Tak Terlupakan
juga menghadirkan peristiwa real atau nyata, juga
menghadirkan fakta sejarah untuk memperkuat keberadaan
dunia fenomenal pada ciri realisme magis ini. Dunia fenomenal
dalam cerita ini dapat ditemukan pada kenyataan dalam teks,
kenyataan yang didasari pada fakta sejarah, dan
65
penggambaran mendetail suatu peristiwa, dan tempat dalam
cerita.
Kenyataan dalam teks dapat ditemukan pada profesi
tokoh pensiunan guru, peronda, kepala desa, dan dokter.
Profesi-profesi ini dapat kita temukan pada kehidupan sehari-
hari dan berlangsung nyata pada cerpen di atas. Selain itu,
fakta sejarah dapat ditemukan pada kutipan berikut.
“Kasak-kusuk berkembang semakin liar. Tentang
kuburan Salamah yang akan digali. Tentang organisasi lama
yang akan bangkit lagi.” (hal. 114).
Fakta sejarah yang dimaksud pada kutipan tersebut
ialah terbunuhnya sekelompok orang yang dianulir sebagai
anggota PKI pada G30S tahun 1965. Mereka yang dianggap
sebagai bagian dari PKI disiksa, diseret, hingga dibunuh tanpa
terkecuali. Memiliki hubungan dengan mereka, sama saja
bagian dari mereka, sehingga tidak terkecuali, Salamah
beserta seluruh keluarganya diseret, digelandang, hingga
terbuuh secara keji dalam peristiwa bersejarah itu.
Pembantaian pada saat itu, menimbulkan derita bagi
desa Sudi Mulyo. Orang-orang yang terlibat dalam
pembantaian itu, dihantui oleh arwah Salamah berupa
potongan kepala yang melayang-layang.
3. Unsettling Doubts
Ciri realisme magis yang ketiga ini ialah keraguan yang
meresahkan atau unsettling doubts. Keraguan dalam cerpen
Salamah dan Malam yang Tak Terlupakan dapat disebabkan
karena teks, properti objek, dan latar budaya pembaca.
Mula-mula keraguan ini dipicu oleh paragraf pertama
dalam cerita yang menyebutkan kegemparan Desa Sudi Mulyo
66
yang didatangi oleh potongan kepala. Keraguan ini dipicu oleh
teks yang menyebutkan Salamah datang dalam mimpi Nurdin,
seorang pensiunan guru, dengan potongan kepala melayang
mengelilinginya.
“Salamah datang. Menghampiriku. Hanya kepalanya!
Kepala itu berputar-putar di hadapanku. Sorot matanya itu,
aku tak bisa lupa!” (Hal. 112)
Sepenggal kalimat Nurdin di atas menggambarkan
adanya keragu-raguan pembaca pada teks yang muncul akibat
adanya kejadian mistis yang dialami tokoh Nurdin. Keraguan
yang meresahkan ini terjadi karena disebabkan oleh adanya
kedekatan antara teks yang memiliki unsur elemen yang tidak
dapat direduksi dengan teks yang mengandung unsur dunia
yang fenomenal.
Keraguan yang meresahkan ini diperkuat dengan
peristiwa serupa yang dialami oleh tokoh Sulaiman dan Baron
Suparto. Mereka juga didatangi oleh sosok arwah Salamah,
persis seperti yang dialami oleh tokoh Nurdin. Peristiwa ini
kemudian membuat para lelaki dan orang-orang sekampung
tidak berani tidur di dalam rumah mereka.
Keraguan yang meresahkan yang disebabkan oleh teks,
melalui peristiwa di atas membuat pembaca mengalami
keraguan yang meresahkan makin kuat karena elemen yang
tidak dapat direduksi hadir dalam bentuk penguatan dalam
teks. Kemudian, keraguan itu dapat dijelaskan dengan latar
budaya pembaca yang dihadirkan dalam cerita.
“Nurdin mengambil batu. Dan entah angin dari mana,
Nurdin melemparkan bongkahan batu di tangannya, terkena
tepat di tengkuk Salamah. Salamah terhuyung. Nurdin
terpana. Dalam hitungan detik, ayah Nurdin mengangkat
parang, tepat mengenai kepala Salamah yang langsung
67
menggelinding roboh ke tanah. Nurdin memekik sekencang-
kencangnya.” (Hal.117)
Latar budaya pembaca pada kutipan di atas dapat
menjelaskan keraguan pembaca dalam teks ini. Nurdin,
dihantui atau didatangi oleh arwah Salamah yang
bergentayangan karena perbuatannya bersama orang-orang
kampung yang telah membunuh secara tragis Salamah. Nurdin
ikut menyiksa Salamah dengan bongkahan batu, terlebih
ayahnya yang tanpa belas kasih, memenggal dengan tragis
kepala Salamah hingga menggelinding.
Dalam kepercayaan masyarakat. Mereka yang matinya
tidak terjadi dengan wajar, mati secara tragis, biasanya
menjadi roh yang gentayangan dan kerapkali mendatangi
orang-orang yang telah menyiksanya semasa hidupnya.
Budaya ini bukan hanya terjadi di daerah tertentu, tetapi telah
menjadi budaya dan kepercayaan masyarakat Indonesia
secara umum di beberapa wilayah. Sehingga, dari keraguan
yang meresahkan ini, unsur phenomenal world menjadikan
hubungan antara yang mistis dan yang nyata, seolah menyatu
dan benar-benar terjadi dalam cerita.
4. Marging Realism
Marging relism ini dikenal juga dengan sebutan alam
yang bercampur. Biasanya dalam ciri realisme magis yang
keempat ini alam dunia dengan alam tak kasat mata, alam ruh
atau alam selain duniawi, disatukan seolah tidak memiliki
batas di antara keduanya. Mereka yang hidup di alam lain
mendiami alam dunia ataupun sebaliknya, manusia atau
mahluk hidup di dunia, masuk ke alam lain. Penyatuan dua
alam inilah yang dikenal dengan istiah marging realism.
68
Cerpen Salamah dan Malam yang Tak Terlupakan tidak
disebutkan secara pasti adanya penggabungan alam dunia dan
alam lainnya, walaupun sosok ruh Salamah bergentayangan
menghantui Nurdin dan penduduk desa, namun kejadian
tersebut terjadi melalui perantara mimpi. Tidak disebutkannya
sosok mahluk halus yang memasuki alam dunia, atau
mendiaminya. Alam mimpi dalam peristiwa di atas tidak bisa
menjadi perantara adanya peyatuan dua alam. Hal ini
membuat kurang kuatnya data untuk menyebut adanya ciri
marging realism dalam cerpen Salamah dan Malam yang Tak
Terlupakan.
5. Disruption of Time, Space, and Identity
Ciri realisme magis terakhir ini ialah disrupsi waktu,
ruang dan identitas. Disrupsi atau gangguan ini terjadi dengan
melanggar norma-norma yang tidak sesuai dengan logika.
Semisal hantu-hantu yang bergentayangan di malam hari,
namun menjadi disrupsi saat keunculannya pada siang hari.
Cerpen Salamah dan Malam yang Tak Terlupakan dapat
ditemukan adanya gangguan identias. Hal ini tergambar jelas
pada peristiwa Saat Nurdin, Sulaiman, dan Baron Suparto
mengalami peristiwa yang tidak dapat direduksi. Mereka
manusia biasa, namun mampu melihat dan menyaksikan
jelmaan ruh Salamah menjadi sosok potongan kepala yang
melayang-layang. Hal ini membuat adanya disrupsi identitas
pada ketiga tokoh.
Di sisi lain, gangguan ruang dan waktu tidak terlihat
dengan jelas pada cerita ini. Walaupun semua hubungan
kausalitas selalu berkaitan dengan sosok Potongan kepala
Salamah, namun gangguan ruang dan waktu tidak
69
dimunculkan untuk memberikan ciri realisme magis yang lebih
kuat pada cerpen ini, namun dengan mendapati empat dari
lima ciri realisme magis yang ada, hal ini dapat menunjukkan
bahwa cerpen Salamah dan Malam yang Tak Terlupakan
merupakan cerpen dengan unsur realisme magis yang kuat.
Hal ini dapat dilihat pada elemen yang tidak dapat direduksi,
dunia yang fenomenal, keraguan yang meresahkan, dan
gangguan identitas yang dialami beberapa tokohnya,
meskipun alam yang bercampur dan disrupi ruang, waktu,
tidak dapat disebutkan karena tidak dapat dibuktikan dengan
data yang jelas pada cerpen ini.
70
BAB III
M K SITOS
ARYA ASTRA
A. Teori-teori Tentang Mitos
Ada banyak teori-teori yang membahas tentang mitos dalam
karya sastra, namun secara umum, mitos-mitos yang ada selalu dikaitkan
dengan empat teori besar berikut ini. Teori-teori ini dimuncukan karena
bertalian erat dengan karya sastra. Dalam mengkaji cerpen pun, teori-
teori ini hadir untuk dapat memberikan analisis yang mendalam pada
mitos dalam karya sastra.
1. Mitologi Yunani Kuno
Mitologi Yunani dalam Pandangan Hamilton, (2009, hlm. 01)
71
ialah peradaban tempat bermulanya manusia berakal dan
berkhayal. Kita dapat melacak peradaban manusia melalui mitos-
mitos yang mereka tinggalkan. Daya tarik mitos tersebut dapat
menarik kita kembali kepada masa lampau dengan imajinasi dan hayal
yang begitu nyata, seolah memang ada peri di dalam hutan,
mendengar tiupan terompet Triton dll.
Mitos-mitos yang ada, tidak ada yang tahu dengan pasti kapan
mulai dikisahkan pertama kali. Namun sudah ada jejak kehidupan
purba yang mereka tinggalkan. Mitos-mitos yang diketahui saat ini
ialah karya penyair Yunani yang dimaktubkan sebagai karya pertama
bangsa Yunani ialah iliad. Karya inilah sebagai karya kesusastraan
tertua dengan tuturan bahasa yang indah pada thun 1000 SM.
Dengan gagasan dan perasaan mereka di dalamnya membuktikan
kehidupan mereka telah memiliki peradaban di antara bangsa lainnya.
2. Mitologi Van Peursen
Kemajuan dan perkembangan dunia hari ini, menjadikan mitos
memiliki posisi baru dalam pikiran manusia. Pemikiran dan peradaban
melahirkan adanya anggapan baru tentang mitologi. Seorang pemikir
asal Belanda, Van Peu rsen, menganggap bahwa perubahan yang
terjadi dalam peradaban hidup manusia, melahirkan adanya skema
baru dalam tiga pemikiran umum tentang mitos yaitu pikiran mistis,
pikiran ontologis, dan pikiran fungsional.
Peradaban awal kehidupan manusia disebut Van Peursen
sebagai peradaban penuh mistis dengan adanya peyorasi, kehidupan
tradisional penuh premitif dan kehidupan yang terbelakang. Peursen
menganggap kehidupan primitif menusia itu adalah saat kehidupan
dan peradaban manusia begitu dekat dengan alam, masih terjaga
72
tetap asri dan belum dirusak belum dirusak melalui teknik (Peursen,
1976, hlm. 34).
Keterbelakangan hidup atau primitivitas yang dijalani manusia
itu dipenuhi dengan alam mistis. Di dalam mistisme inilah terkandung
di dalamnya mitos-mitos. Mitos yang diartikan oleh Peursen sebagai
cerita yang menjadi pedoman dan acuan bagi beberapa kelompok
orang yang disampaikan melalui lisan, tulisan, dan pementasan. Mitos
ini dianggap bukan merupakan cerita rekaan atau dongeng-dongeng
(Peursen, 1976, hlm. 37).
Di dalam kehidupan masyarakat, mitos ini memiliki pengaruh
kuat. Kuatnya pengaruh yang dimikikinya menjadikan mitos memiliki
fungsi utama dengan menjadikan manusia untuk berhubungan
dengan kekuatan alam. Fungsi ini yang selanjutnya dijabarkan
menjadi fungsi untuk memberikan kesadaran pada manusia akan
hadirnya kekuatan gaib pada kehidupan sekitar mereka, memberikan
pengetahuan tentang dunia, dan berfungsi memberikan pengetahuan
dan jaminan masa depan.
Berikut ini merupakan skema alam pikiran mistis menurut
pandangan Peursen terhadap mitos dalam buku Strategi Kebudayaan
(terj. Dick Hartoko), Jakarta : Gunung Mulia, 1976.
S
O
Manusia adalah subjek yang berada dalam dunia (sebagai objek).
73
Dalam alam pemikiran mitis dikenal berbagai macam mitos.
Mitos adalah sebuah cerita yang memberikan pedoman dan arah
tertentu kepada sekelompok orang melalui cara penyampaian lisan,
tulisan, atau pementasan (Peursen, 1976, Hlm. 37). Pada dasarnya,
mitos adalah sebuah buku pedoman, bukan cerita dongeng semata.
Mitos mempunyai fungsi juga. Fungsi mitos yang paling utama
adalah membuat manusia bisa turut berpartisipasi dalam daya-daya
kekuatan alam (Peursen, 1976, Hlm. 37). Fungsi utama ini dapat
dijabarkan lagi ke dalam tiga fungsi, yaitu fungsi menyadarkan
manusia akan adanya kekuatan-kekuatan gaib, memberi jaminan bagi
masa kini, dan memberi pengetahuan tentang dunia.
Fungsi Mitos
Manusia berada di dunia bersama dengan yang lain. Hal lain
itu adalah daya-daya yang tak kelihatan namun dapat dirasakan
kehadirannya. Karena tak kelihatan manusia seringkali mengabaikan
daya-daya ini dan menganggapnya tidak ada. Dalam hal ini mitos
memberi peringatan kepada manusia untuk memberi perhatian pada
daya-daya yang berada di luar penguasaan ini agar dalam hidupnya
tidak celaka. Salah satu mitos dalam budaya Jawa adalah Batara Kala.
Batara Kala dianggap sebagai raksasa yang memakan bulan ketika
gerhana bulan. Memang pada dasarnya tidaklah demikian, hanya saja
masyarakat memunculkan mitos agar orang ingat akan daya alam
yang berpengaruh pada gerhana bulan yang tidak bisa diatur oleh
manusia. Intinya, manusia diingatkan agar selalu mawas diri bahwa
dirinya itu hanya bagian kecil dari alam dan agar hidup manusia bisa
aman, manusia perlu menjaga keharmonisan alam semesta. Inilah
fungsi mitos yang pertama.
Fungsi mitos yang kedua adalah memberi jaminan akan masa
kini. Maksudnya, ada banyak hal yang dialami atau diketahui adanya
namun untuk menjelaskan asal-usulnya orang tidak bisa menjelaskan.
74
Mitos membantu manusia untuk memeberi keterangan tentang apa
yang kira-kira terjadi pada masa lalu untuk dihadirkan kembali pada
masa kini. Misalnya tentang terjadinya suatu tempat (legenda), orang
membuat cerita tentang daya-daya yang membentuk tempat itu lalu
membuat semacam tarian untuk diperagakan agar asal-usul tempat
tersebut menjadi jelas. Tarian Rara Jonggrang adalah salah satu
contoh tarian yang digunakan untuk memenuhi fungsi ini.
Upacara dan Seni
Dalam alam pikiran mitis, upacara-upacara juga mendapat
perhatian besar dan merupakan bagian penting dari kehidupan
masyarakat, baik secara pribadi maupun kelompok sosial. Namun,
upacara tidak hanya dimaksudkan untuk memuja daya-daya yang
berada di luar jangkauan manusia tersebut. Upacara juga berfungsi
untuk meneguhkan hati dan menguatkan secara psikologis. Misalnya,
tentang upacara ngruwat yang dilakukan oleh masyarakat Jawa.
Ruwatan dilakukan pada anak yang dianggap punya sengkala, yaitu
seperti anak dua laki-laki semua (uger-uger lawang), anak tiga yang
tengahnya laki-laki (pancuran kaapit sendang), dan lain-
lain. Sengkala mengakibatkan hidup seorang anak kena sial. Maka
diadakanlah ruwatan, yaitu mengadakan pagelaran wayang dengan
lakon ‘Ngruwat Murwakala’. Upacara ngruwat bukan hanya untuk
menangkal daya negatif dari luar, tetapi juga memberi peneguhan
kepada sang anak agar dalam menjalani hidupnya dengan pikiran
yang positif.
Dalam alam pikiran mitos, seni memainkan peranan penting,
khususnya seni rupa. Ada banyak gambaran-gambaran yang
dipahatkan dalam gua. Fungsi gambar-gambar ini adalah menjelaskan
atau mendeskripsikan mitos dan merekam jejak-jejak perjalanan
hidup atau catatan sejarah dan kisah. Maka dalam meneliti suatu seni
75
rupa alam pikiran mitis, orang perlu melihat apakah itu sebagai
catatan sejarah atau cerita mitos.
Mitos dan Praktik Magi
Mitos berbeda dengan praktik magi. Mitos memang ada yang
berupa mitos religius, namun mitos religius berbeda dari praktik
magi. Mitos religius biasanya berhubungan dengan usaha manusia
untuk menyesuaikan diri dengan daya-daya dari luar, sedangkan
praktik magi merupakan usaha merebut kekuasaan agar manusia
memiliki daya dari luar untuk menguasai satu sama lain. Contohnya
adalah praktik santet merupakan magi, sedangkan bersih desa dan
slametan adalah mitos religi.
Dari hal-hal di atas dapat disimpulkan bahwa alam pemikiran
mitos adalah alam pemikiran yang cukup kaya dan memperlihatkan
usaha manusia dalam mengekspresikan apa yang dipercayanya, yaitu
daya-daya dari luar. Alam pemikiran ini tidak bisa dikatakan sebagai
alam pemikiran pralogis hanya karena dianggap demikian oleh kaum
rasionalis dan romantic. Alam pemikiran mitis adalah alam pemikiran
yang lain dengan alam pemikiran logis-ontologis dan memuat
kekayaannya sendiri.
3. Mitologi Roland Barthes
Barthes memandang mitologi sebagai bagian dari
perkembangan cerita kontemporer dalam mitos-mitos. Ia
membedakan istilah mitos dan mitologi. Dikatakannya bahwa mitos
merupakan cerita yang berisikan kehidupan dewa-dewi, mahluk gaib,
dan kepahlawanan, serta plotnya berkutat pada asal-usul terjadinya
benda dengan latar metafisik yang bertentangan dengan kenyataan.
Sementara mitologi dalam pandangannya ialah mitos dalam bentuk
modern yang merupakan penggabungan dari “mitos” yang bermakna
76
true mythical thinking dan “logos” yang berarti rational-scientific
thinking (Danesi, 2004, hlm. 150).
Bathes menyebut istilah mitologi sebagai sebuah mitos yang
memadukan narasi logos atau “yang masuk akal” dan “bersifat
ilmiah” dalam sebuah cerita. Sehingga mitologi ialah cerita mitos yang
dirasionalisasikan penceritaannya dengan gaya mitos modern yang
berupaya untuk membuat cerita dianggap sebagai sesuatu yang wajar
dan masuk akal. Sementara mitos ialah mitos-mitos lama yang tidak
masuk akal tetapi diyakini kebenarannya oleh para pengnut dan
pemercayanya. Perbedan ini dimaksudkan untuk membedakan secara
prinsipil perbedaan antara mitos tradisional dan mitos modern
(Barthes, 1957, hlm. 115 ).
Mitos dalam pandangan Barthes digunakan untuk mengkaji
fenomena-fenomena berdasarkan semiotika yang ada (Sunardi, 2004
hlm. 85). Mitos difungsikan sebagai alat untuk mengkaji cara bahasa
budaya bekerja. Bartehs (1967, hlm. 95) menjabarkan empat ciri yang
terdapat dalam mitologi yaitu pertama distorsi. Hubungan bentuk dan
konsep. Pada bagian ini, konsep mendistorsi benuk, hal ini membuat
makna pada tingkat pertama bukan sebagai makna yang sebenarnya.
Kedua ialah kesengajaan. Baginya mitos tidak lahir begitu saja, tetapi
ada kesengajaan untuk dikonstruksikan dengan maksud dan tujuan
lain. Ketiga ialah statment of fact, mitos seringkali hadir sebagai
sebuah dogma yang tidak perlu dierdebatkan lagi kebenarannya, hal
ini berjalan secara alami dalam pikiran manusia. Keempat ialah
adanya motivasi yang diciptakan untuk memunculkan konsep
semiotikan tingkat pertama.
Mitos dalam ranah Barthes digunakan dalam sistem semiotik.
Mitos dianggap sebagai sistem semiologi yang biasanya digunakan
77
untuk mengkritik suatu ideologi media massa melalui sistem tanda-
tanda (Barthes (1957, hlm. 107).
Mitos bermula dari terlihat adanya tanda-tanda. Isyarat
melalui tanda-tanda yang ada melahirkan metafora. Metafora yang
menguat dan mengakar dapat membentuk sebuah mitos. Bila mitos
ini diayakini kebenarannya, ia dapat membentuk sebuah ideologi
(Hasyim, 2014, hlm. 49).
4. Mitologi Levi Strauss
Srukturalisme Levi- Straus, penelitian sastra dikenal dengan
beberapa model pendekatan Abrams. Model pendekatan Abrams
tersebut dikelompokkan ke-dalam empat kelompok besar, Pertama,
pendekatan ekspresif artinya model yang menonjolkan peran
pengarang sebagai pencipta karya sastra, kedua pragmatik yang
menitikberatkan kajiannya pada tanggapan pembaca. Ketigamimetik
yaitu pendekatan yang memandang karya sastra sebagai tiruan alam
semesta. Keempat yaitu pendekatan objektif yang berfokus pada
karya sastra, yaitu pendekatan yang memberi perhatian penuh
kepada karya sastra sebagai struktur yang otonom atau yang lebih
dikenal dengan analisis structural, yang alirannya dikenal dengan
strukturalisme (Sujarma, 2019, hlm. 6). Claude Levi-Strauss, adalah
seorang strukturalis ahli antropologi asal Perancis, pemikiran-
pemikirannya yang berdasar pada pemikiran strukturalisme. Levi-
Strauss juga dikenal dunia sebagai cabang ilmu pengetahuan yang
lain seperti sastra, filsafat, sosiologi dan telaah seni (Putra, 2012,
hlm. 3). Dengan analisis struktur yang dimiliki Levi- Strauss, ia
melakukan sebuah kajian terhadap sebuah karya sastra klasik
Oedipus Clompex.
Analisis Strukturalis Levi-Strauss, Levi- Strauss mengembangkan
analisis mitos berdasarkan model linguistik. Menurutnya, ada
78
berbagai kesamaan antara bahasa dengan mitos. Persamaanya yang
pertama terletak bahwa bahasa adalah sarana komunikasi yang
berfungsi menyampaikan pesan dari individu ke individu lainnya dan
dari kelompok satu ke kelompok lainnya. Seperti halnya tentang
mitos yang disampaikan melalui bahasa melalui proses penceritaan
dari mulut ke mulut sehingga pesan tersebut bisa tersampaikan
(Sugiharto, 2013).
Persamaan yang kedua, seperti bahasa, mitos juga
mengandung aspek langue dan parole, sikronis dan diakronis,
sintagmatik dan paradigmatik. Aspek langue adalah tempat
berlangsungnya komunikasi simbolik antar manusia karena simbol
terebut dimiliki bersama. Langue adalah sistem atau fakta sosial yang
berisi aturan dan norma-norma yang tidak disadari. Pada aspek
langue-lah struktur tertentu dalam mitos yang dapat ditunjukkan.
Aspek parole/parok adalah tuturan yang bersifat individual, yang
merupakan cerminan kebabasan seseorang. Seperti halnya tentang
penceritaan mitos yang berbeda-beda (Putra dalam Sugiharto, 2013,
hlm. 8). Diakronik adalah adalah dimensi waktu yang berkaitan
dengan perkembanganmasa lampau, masa kini dan masa yang akan
datang. Sedangkan sinkronik merupakan aspek yang menjelaskan
bahwa bahasa ada pada setiap kejadian dan waktu tertentu.
Strukturalisme Levi Strauss sangat berkaitan erat dengan
masalah antropologi budaya yang digunakan untuk memahami dan
menjelaskan fenomena-fenomena dalam kebudayaan. Pada analisis
structural, Terdapat dua struktur dalam teori levi-strauss yakni
struktur luar/permukaan (surface structure) dan sruktur dalam (deep
structure). Struktur permukaan merupakan suatu relasi-relasi antar-
unsur yang dapat dibuat berdasarkan ciri empiris dari relasi- relasi
yang ada, sedangkan struktur dalam/struktur batin merupakan
susunan tertentu yang dibangun atas struktur luar yang telah berhasil
79
dibuat serta dipelajari. Struktur dalam dapat disusun dengan cara
menganalisis atau membandingkan struktur luar yang berhasil
diketemukan atau dibangun. Struktur dalam tersebut yang digunakan
sebagai model untuk memahami suatu fenomena yang diteliti karena
melalui struktur dalam, peneliti kemudian dapat memahami
fenomenakebudayaan yang dipelajari. Struktur luar misalnya mitos,
sistem kekerabatan, kostum, tata cara memasak dan sebagainya
(Tasrif, 2007). Jadi dapat disimpulkan bahwa struktur dalam adalah
struktur yang memiliki hubungan antar unsur yang dapat dibuat
berdasarkan pengalaman, pengetahuan dan kebenaran yang sudah
dipelajari, sedangkan struktur luar adalah struktur yang disusun
berdasarkan struktur dalam yang sudah dipelajari, seperti halnya
tentang pengetahuan mitos.
Struktur Luar Atau Struktur Permukaan, Teori
strukturalismemitos dipandang sebagai sistem atau tanda (Eagleton
dalam Sugihato & Widyawati 2013, hlm. 140-141). Levi- Strauss
mengatakan bahwa “sistem tanda merupakan representase dari
struktur luar yang akan menggambarkan struktur dalam (struktur
yang mendasari) dari pikiran manusia itu sendiri”. Analisis
strukturalnya, menjelaskan bahwa dalam mitos terdapat sebuah
hubungan atau unit-unit yang merupakan struktur tidak terisolasi,
tetapi merupakan kesatuan relasi- relasi yang dapat dikombinasikan
dan digunakan untuk mengungkapkan makna di balik mitos itu.
Analisis strukturalisme Levi-Strauss mengadopsi analisis yang
dilakukan oleh Heddy Shri Ahimsa-Putra terhadap sebuah dongeng
orang Bajo Pitoto Si Muhammad. Levi-Strauss memperkenalkan
istilah mitem sebagai kalimat/kata-kata yang merupakan unsur
terkecil dalam sebuah mitos dan menunjukkan relasi atau
mempunyai makna tertentu, maka Ahimsa Putra memperkenalkan
istilah ceriteme. Ahimsa mengartikan ceriteme sebagai kata, frasa,
80
kalimat, bagian dari alinea, atau alinea yang dapat ditempatkan
dalam relasi tertentu dengan ceriteme yang lain sehingga
menghasilkan makna tertentu
Kajian mitos dalam lima sastra lisan pada penelitian ini
mengadopsi langkah- langkah atau tahapan yang dilakukan Putra
dalam dongeng Pitoto’ Si Muhamma dan Ainia dalam skripsinya
Legenda Gedonsongo. Tahapan awal dalam proses analisis adalah
membaca keseluruhan cerita. Dari pembacaan tersebut diperoleh
pengetahuan tentang isi cerita tokoh-tokoh, berbagai tindakan dan
peristiwa yang mereka lakoni. Tahap kedua adalah membagi cerita ke
dalam beberapa episode, dari setiap episode tersebut harus
mendeskripsikan suatu hal yang dianggap penting dalam kehidupan
masing-masing tokoh. Pembagian tersebut bertujuan untuk
memudahkan dalam menentukan mytheme sehingga struktur
permukaan dapat terlihat dalam proses analisis selanjutnya (Putra
dalam Sugiharto, 2013, hlm. 11).
Struktur Dalam
a. Mytheme
Levi-Strauss menerapkan analisis struktural beranggapan
bahwa mitos terbangun atas satuan-satuan tertentu, unit-unit
tersebutdianggap memiliki bagian yang penting.Unit- unit konstituen
mite ialah frasa atau kalimat yang memberikan hubungan yang
penting antara berbagai aspek, kejadian, dan tokoh dalam kisah.
Unit-unit ini dinamakan mytheme dan ceriteme. Myhteme
merupakan kalimat atau rangkaian kata-kata dalam cerita tersebut,
atau kalimat yang dapat menunjukkan relasi- relasi tertentu atau
unit terkecil dari cerita.
b. Oposisi Biner
Strukturalisme Levi Strauss, menganggap suatu makna dapat
diperoleh tidak pada elemen-elemen yang dihasilkan, melainkandari
81
relasi antarelemen. Elemen-elemen yang ada di dalam mitos
merupakan pengklafisikasian mytheme-mytheme. Mytheme-
mytheme tersebut didapat dari penciptaan relasi-relasi yang bersifat
analogis. Mytheme-mytheme tersebut didapat dari penciptaan
relasi-relasi yang bersifat analogis. Relasi-relasi yang memiliki
hubungan berada pada struktur dalam (antarmytheme) yang
disederhanakan dalam proses yang bententengan dalam proses
pertentangan dwikutub-dwitunggal atau yang sering disebut dengan
oposisi biner (Sugiharto, 2013). Oposisi biner adalah gabungan
antarmytheme yang memiliki makna tertentu.
Mitos Levis Strauss, salah satu yang dipelajari oleh Levis-
Straus dalam antropologi strukturalnya adalah mitos. Dasar
pemikiran Levis-Starus menerapakn model linguistic untuk
menganalisis mitos dan bahasa. Bahasa adalah media yang
diguanakan dalam menyampaikan pesan dari individu ke kelompok
dan lainnya. Fungsi dari yang ada dalam mitos mengandung pesan
yang hendak disampaikan. Perbedaaan bahasa dan mitos,
perbedaannya hanya dari segi prosesnya. Jika bahasa menyampaikan
pesan melalui pengucapan sedangkan mitos menyampaikan melalui
penceritaan.
Berdasarkan kesamaan anatara mitos dan bahasa Levis-
Strauss menyebutkan terdapat dua konsekuensi penting yang
mengikuti, pertama bahasa mitos dibentuk oleh satuan-satuan yang
menunjukkan adanya satuan-satuan bahasa yang secara normal
berhubungan ke dalam struktur bahasa dengan mengetahui fonem,
morfem dan semantem (Sugiharto, 2013, hlm. 282). Levis Staruss
menanamkan satuan- satuan pembentukan mitos yaitu mythemes
atau mitem. Menurut Levis-Strauss seperti yang dikutip oleh
Ahimsa-Putra mengatakan bahwa, “miteme adalah unsur yang
merupakan satuan-satuan yang bersifat oposisional, relative, dan
82
negative”. Kedudukan mitem tersebut sama seperti fonem yang
merupakan unsur yang paling dalam terhadap kajian bahasa.
Analisis struktural terhadap mitos, miteme harus ditemukan
bukan pada tataranmorfem, fonem ataupun semantem. Mitem harus
berada pada tataran yang lebih tinggi, yaitu pada tatatran kalimat.
Berdasarkan penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa mitem
adalah unit terkecil dalam sebuah cerita atau kalimat yang memiliki
relasi atau hubungan yang memiliki makna tertentu.
B. Mitos Dalam Pespektif Roland Barthes
Mitos adalah suatu bentuk pesan atau tuturan yang harus diyakinii
kebenarannya tetapi tidak dapat dibuktikan. Mitos bukan konsep atau ide
tertapi merupakan suatu cara pemberian arti. Secara etimologis, mitos
merupakan suatu jenis tuturan, tentunya bukan sembarang tuturan.
Suatu hal yang harus diperhatikan bahwa mitos adalah suatu sistem
komunikasi, yakni suatu pesan (message). Tetapi mitos tidak didefinisikan
oleh objek pesan melainkan dengan cara menuturkan pesan tersebut,
misalnya dalam mitos, bukan hanya menjelaskan tentang objek pohon
secara kasat mata, tetapi yang penting adalah cara menuturkan tentang
pohon tersebut. Apa saja bisa dikatakan sebagai mitos selama diutarakan
dalam bentuk wacana/diskursus. Artinya, orang menuturkan tentang
pohon dapat dibuat dalam berbagai macam versi. Pohon yang diutarakan
oleh kelompok lingkungan bukan saja sebagai objek tetapi pohon
mempunyai makna luas, psikologi, sakral, pelestarian dan seterusnya.
Dalam arti pohon diadaptasi untuk suatu jenis konsumen, dengan
kerangka literatur yang mendukung dan imaji-imaji tertentu yang
difungsikan untuk keperluan sosial (social usage) yang ditambahkan pada
objek murni.
Pengertian mitos dalam konteks mitologi-mitologi lama
mempunyai pengertian suatu bentukan dari masyarakat yang
83
berorientasi pada masa lalu atau dari bentukan sejarah yang bersifat
statis, kekal. Mitos dalam pengertian lama identik sejarah/histori,
bentukan masyarakat pada masanya.
Menurut Roland Barthes tuturan mitologis bukan saja berbentuk
tuturan oral, tetapi tuturan itu dapat berbentuk tulisan, fotografi, film,
laporan ilmiah, olah raga, pertunjukan, iklan, lukisan. Mitos pada
dasarnya adalah semua yang mempunyai modus representasi. Paparan
contoh di atas mempunyai arti (meaning) yang belum tentu bisa
ditangkap secara langsung, misalnya untuk menangkap arti atau meaning
sebuah lukisan diperlukan interpretasi. Tuturan mitologis dibuat untuk
komunikasi dan mempunyai suatu proses signifikasi sehingga dapat
diterima oleh akal. Dalam hal ini mitos tidak dapat dikatakan hanya
sebagai suatu objek, konsep, atau ide yang stagnan tetapi sebagai suatu
modus signifikasi. Dengan demikian maka mitos tergolong dalam suatu
bidang pengetahuan ilmiah, yakni semiologi.
Dalam hal hubungan mitos dan semiologi, Barthes berhutang budi
pada Saussure. Sebab Saussure melihat studi linguistik sebagai studi
kehidupan tanda dalam masyarakat, yang kemudian diadopsi dengan
nama semiologi. Semiologi berasal dari kata semion yang berarti tanda.
Semiologi tidak berurusan dengan isi melainkan dengan bentuk yang
membuat suara, imaji, gerak, dan seterusnya yang berfungsi sebagai
tanda. Mitologi terdiri dari semiologi dan ideologi. Semiologi sebagai
formal science dan ideologi sebagai historical science. Mitologi
mempelajari tentang ide-ide dalam suatu bentuk.
Mitos yang berurusan dengan semiologi telah berkaitan dengan
dua istilah, yakni penanda signifier (significant) dan petanda signified
(signife), dan kemudian bertautan lagi dengan istilah sign (tanda).
Misalnya satu karangan bunga menandakan cinta. Dalam hal ini berarti
tidak hanya berurusan dengan signifier dan signified, bunga dan cinta,
84
karena dalam tahap analisis terdapat tiga istilah, bunga yang
menandakan cinta adalah sebagai tanda (sign).
Dalam hal ini signifier adalah suatu konsep bahasa (bunga),
signified adalah gambaran dari mental bunga, dan sign merupakan
hubungan antara konsep dan gambaran mental yang melahirkan suatu
arti, yakni: cinta. Jika hal tersebut diterapkan pada contoh psikis (Freud),
bahwa psikis manusia adalah representasi. Misalnya, di satu pihak
terdapat tingkah laku seseorang yang telah dipengaruhi oleh mimpi-
mimpinya, di lain pihak terdapat sign yang mengartikan kejanggalan
tingkah laku orang tersebut, kesalahan-kesalahan tuturannya atau
hubungan keluarganya. Berkaitan dengan contoh tersebut Barthes
cenderung memisahkan ketiga istilah (1)signifier, (2)signified, dan (3)sign
sebagaimana tampak pada bagan berikut
Di dalam mitos kita menemukan ketiga pola di atas, yakni signifier,
signified, dan sign, tetapi mitos mempunyai sistem yang lebih unik karena
sistem semiologisnya dikonstruksi dari sistem semiologis sebelumnya,
yakni sign atau tanda. Di dalam mitos terdapat dua sistem semiologi.
Pertama kita melihat bahasanya atau modus representasinya seperti
fotografi, lukisan, poster, ritual atau objek lainnya yang disebut dengan
objek bahasa atau meta-language, karena bahasa mitos merupakan
bahasa kedua, dari pembicaraan bahasa pertamanya. Ketika seorang
semiolog mulai merefleksikan meta-laguange, yang paling diperlukan
adalah tanda global atau sign, ia tidak lagi membutuhkan komposisi
bahasa, dan tidak memerlukan skema linguistik.
Sebagai contoh terkenal, Barthes mengetengahkan Paris- Match.
Kepada seorang tukang cukur Barthes mengatakan bahwa ia sedang
membaca Paris-Match. Pada halaman depan ia melihat gambar seorang
Negro memakai seragam militer Perancis sedang memberi hormat,
dengan gagahnya, matanya tajam ke atas. Dalam deskripsi contoh
tersebut, kita melihat arti gambar, tetapi lebih lanjut lagi kita dapat
85
melihat makna dari gambar tersebut, artinya bisa melihat lebih dari
sekadar sebuah gambar. Kita bisa melihat pesan yang ingin disampaikan
dari balik gambar yang dibuat, yakni Perancis merupakan sebuah daerah
kekuasaan besar, tanpa membedakan diskriminasi warna kulit, di bawah
benderanya, dan tanpa mempunyai rasa dendam kolonialisme, Negro
yang digambarkan dalam adegan tersebut mempunyai makna ingin
melayani negaranya. Namun lebih lanjut kita dihadapkan oleh sistem
semiologi yang lebih besar terdapat pada signifier yang telah dibentuk
oleh sistem semiologi sebelumnya yakni seorang Negro yang sedang
memberi hormat, yang memberi signified. Perancis dan militer, yang
kemudian memberi sign baru lagi tentang imperialime Perancis.
Jika kita telah melihat bahwa ada dua lapisan dalam sistem
semiologi yakni ada sistem lingustik dan sistem mitos, hal ini oleh Barthes
dibedakan menjadi dua istilah. Dalam lapisan bahasa, signifier disebut
meaning (seorang Negro memberi hormat), tetapi dalam lapisan mitos
disebut bentuk. Untuk kasus signified tetap sama karena tidak
menimbulkan keambiguan yakni konsep. Di dalam bahasa linguistik sign
dipakai dalam hubungan antara signifier dan signified. Tetapi di dalam
mitos sign merupakan keseluruhan dari hasil sistem semiologi terdahulu,
jadi bagi mitos disebut signifikasi atau signification. Karena pada
dasarnya mitos mempunyai dua fungsi: mitos dalam hal “menunjukkan
dan memberitahu sesuatu” agar pembaca mengerti tentang sesuatu dan
sekaligus bertujuan untuk memperdayakan.
Signifier dari mitos sekaligus merupakan meaning dan form.
Meaning dapat diperoleh dengan cara menangkap lewat indera, tidak
seperti signifier linguistik melalui mental, signifier mitos menangkap
realitas sensoris. Pemberian hormat yang dilakukan oleh seorang Negro
seperti yang terlihat pada tampilan ilustrasi ini, misalnya. Meaning dari
mitos mempunyai nilai tersendiri, mempunyai sejarahnya tersendiri juga
dan significationnya telah dibangun sebelumnya ketika mitos
86
menstransformasikan ke dalam bentuk kosong dan praktis menjadi suatu
bentuk. Di saat menjadi bentuk, meaning menghilang, sejarah pun juga
menghilang, tinggal kata-kata. Pengetahuan yang baru yang kita peroleh
ialah pengetahuan yang dibungkus oleh konsep mitos. Konsep yang
didapat bukan suatu abstraksi dari signifier tetapi ia sama sekali tidak
berbentuk. Konsep adalah elemen yang mengkonsitusikan mitos dan bila
kita ingin menguraikan mitos, kita harus dapat menemukan konsep mitos
tersebut. Misalnya konsep kebaikan, kesatuan, kemanusiaan, dan
sebagainya. Signification adalah istilah ketiga yang digunakan sebagai
kesatuan sign, suatu yang dihasilkan dari bentuk dan konsep. Signification
juga berarti proses mitos yang terus-menerus dapat menjadi sign baru
dan kemudian menjadi mitos yang baru pula.
Pandangan Saussure, Barthes juga meyakini bahwa hubungan
antara penanda dan pertanda tidak terbentuk secara alamiah, melainkan
bersifat arbiter. Bila Saussure hanya menekankan pada penandaan dalam
tataran denotatif, maka Roland Barthes menyempurnakan semiologi
Saussure dengan mengembangkan sistem penandaan pada tingkat
konotatif. Barthes juga melihat aspek lain dari penandaan, yaitu “mitos”
yang menandai suatu masyarakat.
Bagan C.1
Peta Tanda Roland Barthes
1 Signifier 2 Signified
(Penanda) (Petanda)
3 Denotative sign
(Tanda Denotatif)
2. Connotative Signifier (Penanda 3. Connotative Signified
(Petanda Konotatif)
Konotatif
4. Connotative Sign (Tanda Konotaif)
Sumber : Paul cobley & Litzza Jansz. 1999. Introducing Semotics. Ny: Totem
Books, Hlm 51. (Dalam, Sobur 2013:69).
87
Dari peta Barthes diatas terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri
atas penanda (1) dan pertanda (2). Akan tetapi, pada saat bersamaan
tanda denotatif adalah juga tanda konotatif (4). Denotasi dalam
pandangan Barthes merupakan tataran pertama yang maknanya bersifat
tertutup. Tataran denokasi menghasilkan makna yang eksplisit, langsung
dan pasti. Denokasi merupakan makna yang sebenar-benarnya, yang
disepakati bersama secara sosial, yang rujukannya pada realitas.
Tanda konotatif merupakan tanda yang penandanya mempunyai
keterbukaan makna atau makna yang implisit,tidak langsung, dan tidak
pasti, artinya terbuka kemungkinan terhadap penafsiran-penafsiran baru.
Dalam semiologi Barthes, denokasi merupakan sistem signifikasi tingkat
kedua. Denokasi dapat dikatakan merupakan makna objektif yang tetap,
sedangkan konotasi merupakan makna subjektif dan berfariasi (Nawiroh
Vera, 2014 : 26). Dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan
operasi ideologi, yang disebut sebagai “mitos” dan berfungsi untuk
mengungkapkan dan memberikan nilai-nilai dominan yang berlaku dalam
suatu periode tertentu. Di dalam mitos juga terdapat pola tiga dimensi
penanda, pertanda dan tanda. Namun sebagai suatu sistem yang unik
mitos dibangun oleh suatu rantai pemaknaan yang telah ada sebelumnya
atau dengan kata lain, mitos adalah suatu sistem pemaknaan tataran
kedua. Di dalam mitos pula, sebuah pertanda dapat memiliki beberapa
penanda (Budiman, 2001:28). Dalam pandangan Barthes dengan konsep
mitos dalam arti umum. Barthes mengemukakan mitos adalah Bahasa,
maka mitos adalah sebuah sistem komunikasi dan mitos adalah sebuah
pesan. Dalam uraiannya, ia mengemukakan bahwa mitos dalam
pengertian khusus ini merupakan perkembangan dari konotasi.
Konotasi yang sudah terbentuk lama dimasyarakat itulah mitos.
Barthes juga mengatakan bahwa mitos merupakan sistem semiologis,
yakni sistem tanda-tanda yang dimakna manusia (Hoed, 2008:59). Mitos
barthes dengan sendirinya berbeda dengan mitos yang kita anggap
88
tahayul, tidak masuk akal, ahistoris dan lain-lainnya, tetapi mitos menurut
Barthes sebagai type of speech (gaya bicara) seseorang (Nawiroh Vera,
2014 : 26). Rumusan tentang signifikansi dan mitos dapat dilihat pada
gambar berikut ini.
Bagan C.2
Signifikansi dan Mitos Roland Barthes
First Order Second Order
Reality Sign Culture
Denotasi Signifier Konotasi Ideologi
Signified Mitos
Sumber: Nawiroh Vera. 2014. Semiotika dalam Riset Komunikasi. Bogor : Ghalia
Indonesia. Hal. 30
Dari gambar di atas dapat dijelaskan bahwa signifikansi tahap
pertama merupakan hubungan antara signifier dan signified yang disebut
denokasi, yaitu makna sebenarnya dari tanda. Sedangkan signifikansi
kedua, digunakan istilah konotasi, yaitu makna yang subjektif atau paling
tidak intersubjektif yang berhubungan dengan isi, tanda kerja melalui
mitos, mitos merupakan lapisan pertanda dan makna yang paling dalam
(Nawiroh Vera, 2014 : 30).
Berdasarkan uraian dan penjelasan teori di atas, maka dapat
dirumuskan kerangka berpikir dalam kajian ini sebagai berikut. Hal ini
bertujuan untuk mempermudah dalam proses kajian cerpen realisme
magis.
89
Kerangka Berpikir
Kajian Mitos dalam Cerpen Berciri Realisme Magis
Cerpen Realisme Magis
Teori Roland Barthes
Makna Denotasi Makna Konotasi
Mitos
Ideologi
Kerangka berpikir ini sebagai konsep bagaimana hubungan teori
Mitos Barthes dengan masalah yang ingin dipecahkan, dalam hal ini,
bagaimana denotasi, konotasi, mitos, dan ideologi hadir dalam cerpen
berciri realisme magis. Teori penggunaan teori Roland Barthes dalam
kajian ini dimaksudkan dengan tujuan dapat mengkaji unsur mitos lebih
dalam, di samping itu juga ada unsur-unsur yang memengaruhi mitos
yang hadir. Sehingga melalui kajian ini, pembaca dapat mengenali mitos
secara menyeluruh dan mengetahui juga unsur-unsur yang mengikutinya.
C. Contoh Kajian Mitos Roland Barthes
Pada bagian ini akan dilakukan contoh kajian mitos dengan
menggunakan teori Roland Barthes. Obek kajiannya ialah dua buah
cerpen berciri realisme magis. Pada bab sebelumnya kedua cerpen
90
realisme magis itu dapat terlihat pada cerpen memanggil roh singa karya
Alfian Diffahatang dan cerpen Salamah dan malam yang tak terlupakan
karya Liki H.S. Kajian dimulai dari cerpen memanggil roh singa dan berikut
kajiannya.
a. Cerpen Memanggil Roh Singa
1. Kutipan pertama
“Di persabungan, selama sebulan lebih saya selalu
menunjukkan taji. Saya ayam putih jantan yang gagah
mengipas lawan-lawan. Saya jadi perbincangan orang-orang
yang bertaruh atau sekadar datang menyaksikan pertarungan
ayam. Kemenangan demi kemenangan saya capai.” (Hal. 10)
Makna denotasi pada penggalan
teks di atas dapat dilihat dari frasa “ayam
jantan putih.” Makna makna denotasinya
dapat dilihat dalam kamus besar bahasa
indonesia yaitu ayam dimaknai sebagai
unggas yang pada umumnya tidak dapat
terbang, dapat dijinakkan dan dipelihara,
berjengger, yang jantan berkokok dan
bertaji, sedangkan yang betina berkotek
dan tidak bertaji. Ayam ini selanjutnya
didesktipsikan sebagai ayam jantan yang
berwarna putih.
Secara kontekstual, kutiapan di atas menjelaskan
bahwa ayam jantan putih merupakan ayam yang dijadikan
sebagai media untuk memanggil roh singa dalam sebuah
ritual. Ayam yang dipilih ialah ayam yang kuat dalam
pertarungan dan berwarna putih mulus.
Makna konotasi ini muncul melalui penggalan teks di
atas melalalui unsur kontekstual. Ayam putih jantan dalam
91
konteks cerpen memanggil roh singa diartikan sebagai tumbal
utuk melalukan ritual. Ayam dipilih sebagai representasi
kesucian dan kekuatan, serta sesajen yang dijadikan sebagai
tumbal. Kesucian dalam hal ini dapat terlihat pada warna putih
yang melekat pada ayam sementara “jantan” dan
“menunjukkan taji” merefleksikan kekuatan. Hal ini dijelaskan
pada kalimat sebelum dan sesudahnya. Ayam yang digunakan
dalam ritual ialah ayam persabungan yang sangat tangguh dan
berwarna putih mulus.
Mitos dalam kutipan di atas ialah ayam yang berwarna
putih mulus tanpa ada warna lain yang ada pada tubuhnya
menandakan bahawa ia adalah ayam yang sangat tangguh
dipersabungan. Sehingga ayam ini sering dijadikan sebagai
objek persabungan. Mitos ini diperjelas juga dengan kutipan
berikut ini.
“Ritual yang menuntut keberanian. Dilakukan seorang diri
dengan telanjang seraya mengapit seekor ayam putih jantan.
Tengah malam, sebelum Jumat subuh masuk, waktu yang
tepat untuk memulai. Rusli ingin memanggil roh singa yang
dipercaya beberapa warga masih terlihat di desa ini.” (Hal. 10)
Ayam jantan yang dianggap kuat dan memiliki corak
warna putih yang dianggap langka sangat cocok dilakukan
dalam sebuah ritual. Ayam ini bisa menjadi media sesembahan
bagi roh singa untuk mendapatkan keinginan tokoh Rusli.
Ritual selanjutnya dilakukan di malam hari. Waktu yang dipilih
sebagai waktu yang dianggap sepi dan waktu yang sangat
lumrah untuk melakukan ritual pertapaan seorang diri untuk
memanggil roh singa.
Ideologi yang dapat dilihat dalam penggalan di atas
ialah bahwa dalam setiap ritual biasanya masyarakat memiliki
sesembahan. Sesembahan itu juga adalah sesajen. Biasanya
berupa ayam, seekor kambing, atau seekor sapi. Hewan-
92
hewan ini dijadikan sebagai persembahan atau tumbal bagi
roh yang ingin dipanggil kehadiraanya dalam sebuah ritual.
2. Kutipan kedua
“Waktu yang tak lama dimanfaatkan Rusli untuk mencuri saya.
Ia pasti sudah beberapa kali mengintai gerak-gerik Karring.
Begitu leher saya dicekik, tak lama mata saya juga perih.
Seperti ada sesuatu yang dioleskan Rusli ke sepasang
tangannya, agar saya tak berdaya. “ (Hal. 10)
Makna denotasi dalam kutipan di atas ialah zat cair
berlemak, biasanya kental, tidak larut dalam air, larut dalam
eter dan alkohol, mudah terbakar, bergantung pada asalnya,
dikelompokkan sebagai minyak nabati, hewani, atau mineral
dan bergantung pada sifatnya terhadap pemanasan dapat
dikelompokkan sebagai asiri atau tetap. Minyak ini yang
dioleskan oleh Rusli pada ayam yang ingin dicurinya.
Sebelumnya ia juga sudah mengintai ayam itu cukup lama
hingga akhirnya ia berhasil mencurinya dari Karring,
pemiliknya.
Makna konotasi kutipan di atas ialah kekuatan magis.
Minyak tidak hanya digunakan sebagai zat cair untuk
menggoreng sesuatu tetapi di sini, minyak dapat menimbulkan
efek magis dan mengeluarkan kekuatan gaib.
Mitos dari penggalan wacana di atas ialah minyak
digunakan agar tidak menimbulkan kegaduhan atau agar
suasana sepi dan tidak dihiraukan atau tidak didengar pemilik
sang ayam. Biasanya ayam akan berkeok saat dicuri atau ada
sesuatu yang membahayakannya. Namun dengan adanya
minyak yang diolesi oleh Rusli, ayam tersebut menjadi jinak,
tidak berkutik, dan tidak menimbulkan kegaduhan sewaktu ia
dicuri.
93
Ideologi dalam kutipan ini tidak dapat disebutkan
sebab ia tidak menjadi paradigma yang mesti ada dalam suatu
peristiwa. Kehadirannya tidak dapat dikatakan sebagai sebuah
keharusan atau kewajiban. Efek magis dari minyak hanya
sampai pada ranah mitos, sementara dalam kepercayaan
masyarakat umum, minyak kadang dianggap memiliki
kekuatan meski banyak juga yang menganggapnya tidak
memiliki pengaruh dan kekuatan apa pun.
3. Kutipan ketiga
“Ia yakin, setelah mendapat pengakuan beberapa orang,
bahwa roh singa itu bisa ia jumpai di sekitar jembatan ini.
Beberapa detik kemudian, saya mendengar Rusli bersuara,
terus bersuara, tetapi tak jelas. Nadanya cukup rendah.
Tampaknya ia sudah memulai ritual memanggil roh, agar
datang menghampirinya.” (Hal. 11)
“Rusli mendatangi jembatan seorang diri. Ia menapaki jalan
setapak untuk mendekat ke tepi sungai...” (Hal 11)
Makna denotasi dari penggalan kutiapn di atas juga
dapat kita lihat dari makna kamusnya yaitu jalan (dari bambu,
kayu, beton, dan sebagainya) yang direntangkan di atas sungai
(jurang, tepi pangkalan, dan sebagainya); titian besar.
Sementara kata sungai dalam kbbi diartikan sebagai aliran air
yang besar (biasanya buatan alam)atau sebuah kali.
Rusli mendatangi jembatan di tepi sungai dan
melakukan ritual seorang diri. Ia melakukan ritualnya seorang
diri dan di atas jembatan ada temannya. Ia mendengar Rusli
merapalkan beberapa kata-kata yang samar-samar terdengar
olehnya.
Makna konotasi dari penggalan kutipan di atas ialah
jembatan tepi sungai dimaknai sebagai rumah mahluk halus.
Rusli yang berupaya untuk menemukan arwah seorang dukun
melalui jelmaan seekor singa dapat ditemukan di jembatan
94