BERANJAK DEWASA Yth. Widya Kusuma Dewi Kami ingin mengucapkan terima kasih telah meluangkan waktu untuk melamar ke perusahaan kami. Posisi ini adalah posisi yang sangat kompetitif dan setelah beberapa pertimbangan lebih lanjut, kualifikasi Anda belum memenuhi standar kualifikasi kami. Namun, Anda masih dapat berpartisipasi dalam rekrutmen kami di masa mendatang untuk posisi yang sama serta lowongan lain yang tersedia. Kami berharap yang terbaik untuk Anda dalam pencarian pekerjaan Anda. Salam. PT. Laxada Indonesia Dan lagi.. Sudah hampir setengah jam layar laptopku hanya menampilkan pesan elektronik itu sembari memutar puluhan lagu mellow tanpa henti. Seharusnya aku tidak perlu menatap pesan satu ini berlama-lama. Aku bisa membaca beberapa lainnya yang isinya hampir sama. Bahkan aku hampir menghafal jenis kalimatnya yang sama diluar kepala. Hap! sepotong terakhir kudapan choco bar masuk ke dalam mulutku. Aku mengunyah choco bar itu sangat lama di dalam mulutku seperti enggan mendorongnya ke dalam kerongkonganku. Tatapan kosongku ini perlahan mengarah ke atas rak putih yang berjejeran beberapa frame foto dan beberapa barang lainnya. Terlihat seorang anak kecil berumur sekitar lima tahun tersenyum manis dan duduk diapit ibu dan bapaknya dalam salah satu frame itu. Sedangkan frame yang satunya memperlihatkan bocah yang sama namun dalam versi remaja sedang tersenyum bangga mengenakan medali dengan tulisan “Juara 1 Olimpiade Matematika Nasional 2014” pada papan penghargaan. “Katanya kamu pintar, tapi kok gagal terus?”
kataku pada bocah dalam foto itu berharap dia bisa menjawab perkataanku namun tentu saja hasilnya nihil. Tak ingin berlama lama menatap foto foto yang dapat memancing pecahnya cairan bening di mataku, aku memutuskan untuk mengedarkan pandangan ku ke sekeliling kamar berukuran 2x3 meter persegi yang telah ku tempati hampir 10 tahun ini “Tidak apa apa, aku bisa coba lagi. Semua akan baik baik saja.” Aku menepuk kepalaku sendiri dengan tujuan menguatkan diriku sendiri seperti membacakan mantra penambah kekuatan. Langsung saja ku buang asal bungkusan choco bar di genggamanku. Dengan gusar aku merebahkan seluruh tubuhku untuk berbaring di atas setumpuk pakaian di atas kasur yang tak pernah aku rapikan. Alunan merdu lagu yang berasal dari aplikasi streaming lagu dari laptop ku memaksaku memejamkan mata sebagai isyarat bahwa aku sedang menghayatinya. Kita beranjak dewasa Jauh terburu seharusnya Bagai bintang yang jatuh Jauh terburu waktu Mati lebih cepat… Mati lebih cepat… Mataku yang semula terpejam perlahan membuka dengan sendirinya bersama retina yang berusaha menangkap cahaya yang begitu minim di dapatkan di ruangan gelap ini. “Tidak, kali ini aku benar benar tidak baik baik saja” Dengan sigap aku menarik diriku dari atas tumpukan pakaian tadi dan merogoh kantong jeansku mencari keberadaan handphone yang belum lama ku beli dari hasil freelance ku sekitar setahun yang lalu. Jari jari ku kemudian menari-nari bebas di atas layarnya. “Bu.. Maaf ya. Aku sayang ibu dan bapak”
Begitulah kira-kira isi pesan singkat dariku pada seseorang yang menaruh harapan besar terhadapku. Lalu, ku tekan tombol panah berwarna hijau pada aplikasi pesan tersebut dan hanya mendapat satu centang abu abu. Mataku kemudian tertuju pada sebuah botol kecil berwarna putih yang terletak di rak berjejer dengan frame frame foto tadi. Lama ku tatap botol kecil bertuliskan Alprazolam di genggamanku. Lalu kukeluarkan hampir seperempat isinya memenuhi telapak tanganku. Saat kau ragu arah tuju Di situlah kau mulai terbawa arus Dan langkahmu kian tergerus Kau tahu itu, kau telah hilang arah Lalu tinggallah kau sendiri Sebelum aku pergi setidaknya aku ingin diantar oleh lagu lagu yang membuatku merasa hidup. Aneh bukan? Aku berencana untuk mati tapi meromantisasi proses kematian ku dengan ingin mendengar lagu lagu yang membuatku merasa hidup. Masih dengan menggenggam puluhan butir obat tidur di tangan sebelah kiriku, tangan kananku sibuk mengotak atik laptop untuk mencari playlist yang cocok mengantar kepergianku di aplikasi streaming lagu online. Aku merasa sedikit lucu pada diriku bahwa waktu aksi bunuh diriku lebih banyak habis karena kebingungan memilih playlist. Harusnya yang mana saja agar aku mati dengan cepat seperti lirik lagu Nadin Amizah tadi yang mendorongku melakukan ini. Saat kebingungan memilih playlist, aku menemukan beberapa fitur playlist yang disediakan aplikasi streaming musik berwarna hijau ini. Mungkin fitur ini memang ditujukan pada orang orang labil sepertiku agar lebih mudah memilih playlist. Ada fitur Sering Diputar, Teman Perjalanan, Lagu yang Disukai, dan Mesin Waktumu. Langsung saja ku pilih Mesin Waktumu yang berisi lagu lagu nostalgia yang sering aku dengarkan dahulu saat awal masa masa kuliahku yang penuh warna sebelum hidupku menjadi monokrom karena tertampar realita seperti sekarang. Sepertinya aku sudah menemukan playlist yang tepat. Kemudian
terdengar suara serak merdu dari Chris Martin, aku tersenyum tipis dengan fakta bahwa aku telah lupa ada lagu ini di dunia ini. When you try your best, but you don't succeed When you get what you want, but not what you need When you feel so tired, but you can't sleep Stuck in reverse Aku sudah siap. Dengan segera kumasukkan puluhan butir pil tidur itu ke dalam mulutku dan seketika semuanya menjadi gelap “Selamat tinggal dunia..” ——————————————— Terasa seperti ada beban berat di kedua kelopak mataku sehingga sangat sulit ku buka. Sepertinya aku telah tidur sangat lama dan nyenyak. Dengan setengah sadar, aku mencoba membuka kembali kedua mataku dan samar samar mendapati seorang gadis kecil berambut bergelombang sedang menatapku. “Kakak sudah bangun?” “Eh? Siapa ini?” Aku sedikit kaget melihat gadis kecil itu karena wajahnya cukup familiar untukku. Aku memperbaiki posisi duduk ku yang semula tertidur dengan posisi bersandar di atas kursi rotan antik. Leherku terasa agak ngilu akibat terlalu lama kusandarkan pada kepala kursi saat tertidur. Dengan penuh keheranan aku melihat ke sekeliling dan merasa tak asing dengan tempat ini. “Loh ini kan ?” “Kakak ini dari mana ya?” Gadis kecil itu mencoba bertanya lagi setelah pertanyaanya sebelumnya tidak kujawab. Namun lidahku terlalu kelu untuk menjawab pertanyaannya. “Kakak…” tanya gadis kecil itu sekali lagi karena tak kunjung mendapatkan jawaban
“Kakak jualan radio ya? Maaf tapi kami sudah punya radio disini” jelas gadis kecil itu dengan matanya yang terfokus melihat ke arah radio yang sedang berada di pangkuanku. Aku hanya menjawab pertanyaan gadis itu dengan gelengan kepala. Aku pun tak sadar sejak kapan dan mengapa aku memangku radio antik ini. Sungguh aku sangat kebingungan saat ini. Tempat ini terlalu mirip dengan tempat tinggal ku belasan tahun lalu. Tapi tidak mungkin, seingatku 10 tahun lalu rumah ini telah dirobohkan oleh pemilik aslinya setelah kami pindah ke rumah baru kami dikota yang sekarang. “Terus ngapain kesini? Nyari siapa? Ibu sama Bapak ga ada, lagi di pasar jual beras” “ Eh.. anu.. ini area persawahan Desa Bumi Angin ya?” Alih alih menjawab pertanyaannya, aku melemparkan pertanyaan lain untuk memastikan kebenaran hipotesis dalam kepalaku sembari mengedarkan pandanganku sekali lagi. Gadis itu membenarkan hipotesis ku dengan anggukan kepalanya. Aku ingin memastikan sekali lagi namun semuanya terlalu jelas. Rumah panggung kayu yang dikelilingi berhektar hektar hamparan sawah yang mulai menguning, ayunan kecil di bawah pohon tepat di depan halaman, bahkan kursi rotan depan teras yang sedang ku duduki saat ini terlampau mirip dengan rumahku dahulu. “ Nama kamu siapa?” Tanyaku “ Wiwid. Tapi di sekolah dipanggil Widya” Aku semakin tak bisa berkata kata. Ini sangat tidak masuk akal. Aku mungkin sedang bermimpi. Aku mencoba mencerna apa yang sedang terjadi kepadaku. Sekali lagi, aku menatap sekelilingku memastikan apakah ini nyata. Mataku seketika terhenti pada kalender dengan desain jadul. “ 16 Juli 2007 ?? Ini beneran di masa lalu? Gadis kecil lusuh ini beneran aku? “ batinku sedang berkecamuk mencoba memahami situasi saat ini.
Gadis kecil lusuh dengan daster mungil bergambar Dora the Explorer itu berjalan menuju kursi di depanku namun tak sadar tersandung kaki meja yang membuatnya tersungkur. “Aww.. “ Aku yang masih bergelut dengan keheranan kaget melihat gadis itu dan hendak menolongnya. Namun gadis itu dengan cepat berdiri kembali sembari membersihkan lututnya yang sedikit tergores namun untungnya tak berdarah. “Tidak apa apa. Wiwid anak kuat. Tidak apa apa” kata gadis itu pada dirinya sendiri dan berjalan menuju kursi. Aku terkekeh melihat kebiasaan menenangkan diri sendiri itu ternyata sudah lama ku lakukan. “Bodoh! Kamu tidak perlu selalu bertingkah kuat. Tidak baik baik saja juga tidak apa apa” kata ku kepadanya yang merupakan diriku juga. Sama saja aku mengatakan ini pada diriku sendiri. Seperti menampar diri sendiri. “Enak saja aku tidak bodoh! aku ini pintar! Aku dapat juara satu umum semester kemarin padahal aku baru kelas dua SD!” Kata gadis itu dengan wajah memerah menahan marah sembari mendudukan dirinya pada kursi di depanku “Iya aku tau, tapi menjadi pintar saja tidak membuat mu akan sukses di masa depan” kataku pada diriku versi kecil itu. “Jangan bohong. Ibu guru bilang kalau kita pintar pasti jadi sukses. Bapak sama ibu juga bilang begitu.” Diriku dengan versi yang lebih keras kepala itu kekeh terhadap apa yang di yakininya saat ini. “Lihat saja, kamu akan tau sendiri nanti. Harusnya kamu tidak usah berusaha mati matian untuk pintar. Jadi biasa biasa saja” Akhirnya aku bisa mengatakan ini padamu diriku yang kecil. Bukan hanya berbicara pada foto. “Kalau jadi biasa biasa saja nanti tidak ada yang memujiku. Aku tidak cantik, bajuku jelek semua, dan bapak juga tidak kaya. Beda sama Ririn
sepupuku yang selalu dipuji keluarga besar karena dia punya semua itu. Setidaknya kalau aku juara kelas, kakek dan nenek akan memujiku sedikit.“ Aku tersenyum getir saat mendengar perkataan itu. Tumbuh besar menjadi anggota keluarga paling sederhana diantara yang lainnya menumbuhkan ambisi dalam diriku untuk membuktikan kelayakan ku. Namun ambisi itu juga yang akhirnya membuatku sulit menerima kegagalan. “Menurutmu sukses yang kamu mau itu gimana? Di Masa depan kamu mau jadi seperti apa?” Tanyaku padanya dengan nada yang sedikit ku lembutkan “Sukses? Eh sukses itu gimana ya?” Widya kecil itu terlihat kebingungan memikirkan jawaban yang tepat sedangkan aku masih setia menunggu jawabannya. “Ah aku tau! aku mau punya baju yang bagus seperti kakak, tidak mau bekasan orang apalagi Ririn. Aku ingin punya kamar sendiri seperti orang orang. Ahh satu lagi!! Aku mau makan choco bar setiap hari tanpa harus nunggu hasil panen sawah!” Widya kecil itu terlihat sangat bersemangat saat menjelaskan keinginannya. Bisa kulihat ia terlihat sedikit menelan ludahnya karena membayangkan makanan yang disebutkannya tadi. “Itu saja? Itu bukan sukses namanya. Untuk apa capek capek belajar jadi pintar kalau cuma begitu. Sukses itu kalau kamu kerja di perusahaan startup terkenal dengan gaji yang tinggi. Kalau cuma yang seperti yang kamu bilang tadi aku bisa mendapatkannya dengan mudah” kataku yang sedikit tidak terima dengan cita cita ku yang cetek di masa lalu. “Wahh.. berarti kakak sudah sukses ya? Aku iri, besar nanti aku ingin jadi kakak saja.“ Dasar bodoh! Anak itu terlihat berbinar binar menatapku “Ehh sukses apanya? aku berkali kali ditolak di perusahaan startup terkenal yang aku mau berarti aku belum sukses.” Jelasku
“Hidup berkecukupan seperti kakak sudah cukup sukses bagiku. Jadi pintar tapi tidak kerja di star star itu juga tidak apa-apa. Aku mau jadi pintar biar tidak diremehkan lagi. Itu saja kok. ” Hening. Aku terdiam cukup lama. Semakin bertambah dewasa aku semakin salah mengartikan arti kesuksesan untuk diriku. Aku selalu menginginkan hal yang lebih dan lebih lagi sehingga aku lupa bahwa sebenarnya aku telah mendapatkan hal hal yang telah aku impikan sejak dulu. Aku terlalu dibutakan oleh ambisiku yang ingin mewujudkan semua ekspektasi orang orang terhadapku sampai tak sadar bahwa aku sudah terlalu memaksakan diriku. Seharusnya bukan gagal dalam meraih sesuatu yang harus ku takuti, tapi gagal dalam mensyukuri apa yang telah aku punya saat ini. “Kakak kok diam saja? Coba putar radionya siapa tau ada siaran lagu bagus” Widya kecil membuat lamunanku buyar. Aku mengikuti perintahnya dan memutar tombol besar yang berada di sisi kanan radio kecil ini. Kemudian alunan nyanyian merdu mulai menggema. Kami sangat menikmatinya Wherever you go, whatever you do I will be right here waiting for you Whatever it takes or how my heart breaks I will be right here waiting for you “Wiwid.. Ibu pulang bawa choco bar kesukaanmu nih” Terdengar suara wanita yang cukup familiar untukku berteriak dari arah luar rumah. Widya kecil kemudian berlari menuruni tangga secepat mungkin menjemput kudapan kesukaan nya. “Ibu, kita kedatangan tamu kakak cantik” Widya kemudian menarik menarik tangan ibunya dan disusul bapaknya yang mengekor di belakang. Mereka menaiki tangga dan sampai lah di teras rumah. “Mana nak? Siapa tamunya?” Tanya ibu.
“Loh? Tadi ada disini kok. Aku lupa tanya namanya. Dia kemana ya?” Widya kebingungan mencari sosok yang telah berbicara dengannya selama hampir setengah jam tadi. “Mungkin teman khayalannya bu. Anak kecil kan biasanya begitu” kata bapak yang nyelonong masuk begitu saja dalam rumah. “Tadi ada kok.. sumpah beneran..” Ibu hanya menggelengkan kepalanya melihat tingkah putri semata wayangnya itu —————————————- Tiiitt tiiittt tiiitt Terdengar suara monitor yang biasanya ditemui di ruang ICU berbunyi secara berirama sedari tadi. Aku perlahan membuka mataku dan mendapati ruangan yang dipenuhi tirai hijau. Terlihat juga ada sosok lelaki paruh baya mengenakan masker dan jas putih tak lupa jaring penutup kepala. Di Sampingnya terlihat juga ibuku yang juga memakai apd lengkap sedang duduk di kursi tepat disampingku menatap penuh kekhawatiran padaku. “Pasien sudah siuman bu. Untungnya dia cepat ditemukan dan dilarikan kerumah sakit sehingga tidak ada hal fatal yang terjadi. Kami akan memeriksa pasien secara berkala untuk benar benar memastikan kondisinya. Terima Kasih saya pamit dulu” jelas dokter tersebut Sepertinya aku sedang mendapatkan kesempatan kedua. Aku berjanji untuk menggunakannya sebaik baiknya tanpa perlu memaksakan apapun, membuktikan apapun, dan membuat semuanya berjalan apa adanya.