The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Pandanganku beralih ke sosok Panji, dia pun menatapku lekat, dibibirnya tersungging senyum seolah meyakinkanku, bahwa ada harapan yang indah di depan sana. Bukan lagi tentang penari yang kadang dihinakan tapi tentang rasa yang harus diperjuangkan

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by Imam Wahyudi, 2022-04-22 19:09:24

Cerita senja, Hujan dan sebuah kisah

Pandanganku beralih ke sosok Panji, dia pun menatapku lekat, dibibirnya tersungging senyum seolah meyakinkanku, bahwa ada harapan yang indah di depan sana. Bukan lagi tentang penari yang kadang dihinakan tapi tentang rasa yang harus diperjuangkan

Keywords: Antologi,senja,hujan,sebuah kisah,cerita

ANTALOGI CERPEN

SENJA HUJAN
DAN

SEBUAH KISAH

"Jingga membawa senja, dan hujan membawa rindu
yang terpaut. Aku terima hadirmu hujan, karena aku

menginginkan pelangimu.



YUNA

PROFIL PENULIS :

Wahjuni Agustina adalah nama lengkapnya dan akrab disapa Yuna.
Wanita yang terlahir pada tanggal 16 Agustus 1977 ini sudah tertarik
dengan sastra sejak duduk di bangku SMP, lulus pada tahun 1992 dari
SMP Negeri 1 Tuban, dan melanjutkan studi di SMA Negeri 2 Tuban.
Pada awal karirnya ia tidak bercita-cita sebagai guru. Hingga keadaan
yang menuntunnya untuk melanjutkan studi di Universitas
Ronggolawe Tuban Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Kini ia
sebagai GTT di SMP Negeri 2 Plumpang.
Karya-karya yang sudah ada di muat di antalogi Cerpen MGMP Bahasa Indonesia, antalogi
Puisi Mahasiswa PPG Tahun 2020, blog pribadi, dan juga di perpustakaan digital sekolah.

DAFTAR ISI
1. ROMANSA SANG PENARI
2. SENJA, HUJAN DAN SEBUAH KISAH
3. CINTAKU JAUH DI PULAU
4. WAKTU YANG SALAH
5. CANDRAKANTI
6. CAKA VITI
7. BEGEDE BUYUT SANTRI
8. SEKAR GENDHING WARANGGANA ( ROMANSA SANG PENARI VERSI BASA
JAWA)

ROMANSA SANG PENARI
Oleh:
Yu Na

"Mbah....aku lelah!" ujarku sembari menghembuskan bongkahan yang seakan menghimpit
rongga dadaku, kurebahkan kepalaku di pangkuan ringkih. Kurasakan usapan lembut di
kepala, kemudian pijatan pelahan ditengkukku. Hmm....benar-benar terasa nyaman jika
seperti ini. Kudongakkan kepalaku, kutatap wajah tirus menua tapi garis-garis kecantikannya
masih terlihat jelas tak memudar dimakan usia. "Mbah... aku mau berhenti." Kurasakan
tangan yang tadi mengelus dan memijatku tiba-tiba membeku. Ku beringsut bangkit, duduk
sejajar di sampingnya.
" Simbahh....bolehkah?"Aku merajuk manja. Hening, bisu memaku ruang tamu bernuansa
coklat karena dindingnya dari papan kayu yang dipelitur mengkilat. Ruangan yang dari aku
kecil tempatku bermain, bercanda, menangis dan apapun itu. Kucari jawab pada seraut wajah
yang tegang dengan mulut mengatup ratap. Ah...mungkinkah Simbah masih sama seperti hari
kemarin, bahkan bulan-bulan sebelumnya, tak suka dengan pintaku, kecewa dengan inginku.
Aku pun terdiam, berusaha mencari ketenangan akan gemuruh yang seiring menyapa
bersama dengan diamnya Simbah.
" Kanigara Larasati!"

Nah...kann....ini artinya wejangan beruntun akan mulai dibuka. Dan aku harus siap mengunci
rapat mulutku agar tak bersuara, menahan diri untuk tak beranjak meski hanya bergeser.
Karena jika sudah nama lengkapku disebut, titah simbah, bak sabda pandhita ratu. Harus
didengarkan dan dijalankan. Tuhan....sampai kapan. Lemah, lesu rasa ragaku.

" Namamu Kanigara Larasati kamu masih ingat kan apa artinya?"

Aku menggangguk lemah.

"Bunga matahari yang kokoh dan tidak pernah menyerah menjalani kehidupan." Tatapan
simbah tajam menghujam sampai ke relung hatiku.

"Baru setapak kamu jalani, mengapa harus mengeluh, harus menyerah, perlu kamu tahu,
kamu terlahir dari kekuatan Laras!"

Buliran bening tak terasa hadir perlahan menghiasi pipiku. Seperti sebelumya aku
merindukan ibu, ibu yang tak pernah ku rasakan dekapan hangatnya, sentuhan lembutnya,
suara merdunya memanggilku dan tatapannya yang penuh kasih. Aku tak pernah
mendapatkan itu, hanya dari Simbah semua yang kurindu dari ibu ku peroleh. Ibu yang telah
berpulang dan mengalah untukku ketika aku harus menyapa dunia yang kurasa saat ini benar-
benar menyesakkan dan sungguh kotor menghinakan keberadaanku.

Aku Kanigara Larasati terlahir dari seorang penari tayub, yang saat ini juga profesi yang
kujalani. Aku terlahir tanpa kehadiran seorang Ayah yang sampai saat ini disembunyikan
keberadaannya dariku. Simbah hanya bercerita Ayahku seorang pejabat, yang tak mungkin
bisa kutemui. Orang tua dari Ayahku tak menginginkan ibu sebagai menantunya, karena
seorang penari tayub merupakan profesi yang dihinakan. Ledhek, waranggana,yang terkesan
penghibur, dan tak berkelas. Tidak sesuai kriteria dari orang tua ayahku.

Dan untuk alasan itulah, sampai usiaku menginjak 22 tahun ini, aku mematikan rasaku untuk
jatuh cinta. Lima tahun sudah aku menjadi penari, sejak aku lulus SMA, aku memutuskan
untuk mematahkan segala rasaku terlebih dulu, agar rasa itu tidak dipatahkan orang lain.
Kanigara Larasati, penari tayub yang cukup tersohor kata orang aku penari kesayangan,
penari yang selalu digaungkan dipelosok Kabupaten. Karena kata mereka parasku begitu

memikat, dengan badanku setinggi 157cm sangat pas dengan namaku. Karena kata orang
parasku bagai matahari jatuh dengan kulit kuning, alis lentik, mata redup, wajah manis,
ahh...entahlah itu penilaian orang juga Simbahku sendiri. Dan itulah sisi yang menjual
disamping kemahiranku nembang dan menari hingga aku tak ada putus-putusnya menerima
job dari tempat yang satu ke yang lain.

Namun aku benar-benar lelah, karena harus bermain drama dalam kehidupanku. Aku seperti
kehilangan masa-masa mudaku, untuk mengenal apa itu hang out bareng teman atau
merasakan jatuh cinta. Semua terampas begitu saja karena aku harus meneruskan warisan
leluhur ini. Karena Simbah juga seorang penari tayub dulunya.Tapi beda dengan ibuku yang
tidak bisa bersatu dengan Ayah, almarhum Mbah Kakung adalah penabuh gamelan. Yang
selalu setia menemani Simbah Putri kemana pun ada job menari.

"Laras, tetaplah berdiri di antara kedua kakimu, jangan pernah cari penyangga, selagi kamu
mampu melakukannya, kamu primadona Laras, kamu yang mereka puja dan mereka cari-
cari!"

Simbah, menggapai, meraih lenganku, mengelus buku-buku jariku.

"Jemari lentikmu akan terus menari, menambah suasana yang tak akan bisa dihadirkan penari
lain, itu kekuatanmu Laras, dan kamu mewarisi segala apa yang di miliki oleh Utari - ibumu,
parasmu, tubuhmu, suara dan gemulaimu semua titisannya!" sepasang mata itu tampak
berkilat ketika menyampaikan kalimat pungkasan. Dan...ahhh...kembali aku rindu ibu.

Senja itu, diantara hamparan permadani menguning di batas desa, kusapukan pandanganku.
Suasana desa sudah mulai beranjak sepi, para petani sudah bergegas pulang. Sepeda minion
rakitan Pakdhe Handoyo kukayuh perlahan, kuhanya ingin nikmati suasana senja ini lepas
dari kesibukanku yang biasa membelenggu. Karena lusa aku harus menari lagi di daerah
tetangga untuk acara ritual sedekah bumi.

Tiba-tiba..wushhhh....grubyakkkk....sepedaku oleng aku terpental jatuh disisi jalan tanah yang
tak beraspal, Kuterduduk, kuelus pergelangan kakiku yang terasa sakit mungkin terkilir.
Kulihat sebuah mobil sejenis Jeep berwarna billet silver, berhenti beberapa meter di depanku,
jalanan sudah nampak sepi. Kuperhatikan mobil itu, uppss...mobil berkelas mengapa ada di
pedesaan seperti ini. Karena jelas mobil itu seharga lebih dari 1,5M, meski sepintas terkesan

mobil offroad. Kumeringis agak nyeri ternyata, dari sudut mataku kulihat ada yang turun dari
mobil itu. Outfitnya benar-benar keren dan masa kini, dari sepatu sampai t-shirt yang dia
kenakan dan ulaa--laaa,,, ku seperti melihat penampakan sosok bintang K-POP di depanku.

" Hai...kamu tidak apa-apa?" Terdengar dia berbicara padaku.

"Awww....!" Aku spontan berteriak ketika tanganya menyentuh lenganku, pertama karena
aku sedikit terkejut mendapat perlakuan semacam itu dan kedua memang benar-benar terasa
nyeri.

"Maaf...maaf...saya tidak bermaksud, boleh saya antar kamu berobat ke klinik terdekat atau
bagaimana!" ujarnya kebingungan dan terkesan kalut.

Aku tersenyum geli, melihat ekspresinya, dan deggggg....apa ini....ada rasa aneh menyelinap
di dadaku. Detak jantungku seolah iramanya berlompatan ketika sepasang mata itu begitu
dalam menatapku. Tidak...tidak boleh...jangan pernah ada...apalagi dengan makhluk di
depanku ini.

"Mbak...mbaknya baik-baik saja kan?" tanyanya memastikan.

"Emmmm...iya saya baik-baik saja!" jawabku sok kuat, dan tak ingin menampakkan ekspresi
lemah kesakitan, karena ulahnya hingga membuatku terserempet. Tapi, tunggu biasanya
orang kota terkesan egois dan tidak mau disalahkan malah mereka akan memerhatikan
miliknya dulu ada kerusakan apa tidak jika kejadiannya seperti sekarang ini, tapi
ahhh....cowok ini benar-benar berbeda.

" Oh...perlukah saya antar ke klinik?" dia menawarkan diri lagi.

"Oh...ehhh...tidak...tidak usah...saya bisa pulang sendiri!"

"Pulang, kamu yakin tidak perlu dicek dulu?" tanyanya dengan nada kawatir.

Oh...Tuhan ekspresinya itu sungguh kiyut.... hingga serasa lemas kedua kakiku.

"Ok...saya antar pulang ya, dimana rumahmu, jauh dari sini apa tidak?" tanyanya beruntun.

Kubangkit, berdiri, menepiskan tanah dan rumput yang menempel di celana jeans knee lenght
short ku,

"Aku ga pa-pa dan ga perlu kamu antar!" Eitsss...kenapa dengan diriku, aku tiba-tiba tidak
bersahabat seperti ini, dengan orang baik yang merasa bersalah dan menawarkan bantuan.
Apakah rasa untuk memupus itu hadir begitu saja.Tampak cowok itu mengernyitkan
keningnya. Menautkan sepasang alis tebalnya, tanda keheranan.

"Ok..ok..baiklah, terserah kamu, tapi aku minta maaf karena aku harus terburu-buru menemui
seseorang di desa ini!"

Aku mengangguk acuh, kemudian ku mengambil sepedaku yang tergeletak tak jauh dari
tempatku jatuh, dengan langkah tertatih menahan nyeri aku berusaha menaiki sepedaku.

"Kamu yakin baik-baik saja kan, baiklah aku permisi dulu sekali lagi aku mohon maaf!"

Kemudian cowok itu berlalu, kembali ke mobilnya dan meninggalkanku yang meringis
menahan nyeri sambil mengayuh pelan sepedaku untuk kembali pulang.

Sesampai di rumah, betapa terkejutnya aku, melihat mobil yang menyerempetku tadi
terparkir manis di halaman rumah.

Kumasukkan sepeda, disamping rumah utama yang dibuat khusus sebagai garasi oleh
simbah. Kemudian kumasuk rumah dari pintu samping, lamat-lamat kudengar perbincangan
antara Simbah dan tamunya. Kubersihkan kaki dan tanganku dari debu, dan kemudian kucoba
mendekat ke ruang tamu ingin mencari tahu siapakah tamu simbah.

Ya...Tuhan....cowok yang tadi menabrakku...ada apa dia menemui Simbah?

Brak,,,tanpa sengaja badanku menabrak guci kayu besar yang tertata diantara pintu yang
menghubungkan ruang tengah dan ruang tamu. Dan benar saja Simbah langsung mengenali
siapa yang bikin kekacauan.

"Laras, kamu sudah pulang?"

"Eh anuuu...iya Mbah!" jawabku tergagap karena tak bisa menghindar.

"Kesinilah, ini ada tamu dari kota, yang ingin bertemu dan memberimu pekerjaan besok
lusa!"
"Lohh mbahh..bukannya besok lusa, sudah ada acara !" Kuberjalan mendekat, cowok itu
terlihat terbelalak menatapku, karena tak diduga akan bertemu lagi.
"Untuk acara itu, biar Gayatri saja yang berangkat, tadi panitianya juga sudah mau menerima,
karena acara yang di kota ini lebih penting karena berhubungan dengan pemerintah
kabupaten."
Hmm...pemerintah kabupaten, berarti cowok ini bukan sembarang orang, dari penampilannya
saja bisa terlihat.
"Jadi kamu?" terdengar suaranya menyelidik.
"Oh ya..kenalkan aku Larasati."
"Owhhh kamu yang bernama Larasati, Penari Primadona dan kamu nanti yang akan menari
di acara Gebyar Pariwisata Kabupaten?" tanyanya seakan masih sangsi, tatapannya seakan
menelanjangiku, dari bawah ke atas, balik lagi, begitu untuk beberapa saat. Dan aku merasa
risih diperlakukan seperti itu.
"Ada yang salah?" jawabku agak terkesan judes. Cowok itu nampak menyibakkan rambutnya
yang bergaya medium length hairstyle, hingga membuatku benar-benar merasa terpikat.
"Kalian seperti sudah mengenal sebelumnya?" tanya Simbah mematahkan kekakuan.

" Engg anuu...mbahhh...bukan...ehh belumm.” Jawabku terbata-bata. Kulihat cowok itu
mengerling nakal, seolah merasa senang melihatku, kurang fokus seperti itu.
“Hmm...baiklah nak Panji, sepertinya kita sudah sepakat, silakan diminum dulu tehnya !”

“ Inggih..Simbah, terima kasih!”

Panji, cowok jangkung tegap berparas bak bintang K-POP idolaku Lee Min Hoo, dengan
gaya rambut memikatnya, benar-benar telah menawan hatiku. Tapi ada rasa asing yang
menahannya, Tuhan...haruskah seperti ini terus, apalagi dia sepertinya seorang yang penting
di Kabupaten. Apakah kisah ibu harus kuulang, tidak... tidak akan pernah terjadi, aku harus
menyudahi halusinasi ini. Hatiku berkecamuk tak menentu sepeninggal Panji. Aroma Paco
Rabane One Million masih tercium wanginya, meski dia telah berlalu, duhh...membuat
imajinasiku kembali mengembara. Benar-benar cowok terkeren yang aku jumpai,
tongkrongan yang berkelas, outfit pun masa kini begitu juga aroma tubuhnya, gilaaa....aku
sudah gila berhayal tentangnya.

Hari pertunjukkan pun telah tiba, Panji menawarkan ingin menjemputku tapi aku dan
Simbah menolaknya karena aku terbiasa berangkat dengan kendaraan sendiri bersama Pakdhe
Handoyo kakak ibuku sebagai manajer sekaligus body guard yang selalu melindungiku serta
Mbak Riyanti yang membantu menata riasku. Dan lagi segala kebutuhanku sudah terkemas di
mobil, setaun yang lalu kubeli dari jerih payahku menggantikan mobil simbah yang sudah
tua, dan dibiarkan terdiam di garasi. Kami pun berangkat lebih awal agar bisa istirahat dulu di
hotel yang sudah disiapkan oleh pihak panitia. Hari ini adalah hari wisuda waranggana yang
merupakan rangkaian acara gebyar wisata di kabupaten. Hampir seluruh penari tayub dari
pelosok kabupaten ikut memeriahkan kecuali mereka yang terlebih dulu punya pekerjaan,
atau terikat janji dan harusnya aku tidak ada disini tapi mereka mencariku.

Saat wisuda pun tiba, tahap pertama prosesi ini adalah amek tirto atau pengambilan air suci di
sumber mata air. Untuk boleh menjalani tahap ini, para calon waranggono harus mampu
menari minimal 10 gending tarian. Pada tahapan ini, kami dipapah menemui juru kunci
sendang untuk menyerahkan sesajen sekaligus meminta restu.

Setelah restu diyakini sudah didapat, kami harus menari di dalam sendang sebagai tanda
penghormatan. Kemudian, barulah pengambilan air suci dilaksanakan. Selanjutnya, air yang
telah dimasukkan ke dalam wadah seperti kendil keemasan diserahkan kepada sesepuh seni
tayub untuk dipercikkan ke kepala kami. Sejak saat itu, para gadis penari resmi menjadi
waranggono. Banyak masyarakat setempat dan mungkin pendatang menyaksikan, kulirik di
terop utama tempat para pejabat, kucari sosok Panji tak kutemukan juga, ahh,,mengapa diri
ini tiba-tiba merinduinya. Saat ini aku mengenakan kebaya brokrat warna pink pastel yang

melekat pas di badanku dengan bawahan rok batik keemasan yang ber-slit di bagian depan,
sanggulku berhiaskan melati, riasanku tidak semenor para penari pada umumnya karena aku
memang ingin dengan kesan femininku menonjolkan warna-warna cerah dan natural yang
dipadukan dengan efek shimmer seperti warna gold, silver, dan dusty pink. Ini mungkin yang
membuat beberapa mata seolah tak berkedip melihatku yang tampak berbeda.
Ritual telah usai, dan aku pun kembali ke hotel untuk mempersiapkan diri tampil menari di
depan penonton. Mbak Riyanti membantuku bersiap, dandananku tetap terkesan feminin tapi
agak kuberi aksend bold pada lipstik. Dandanan bak penari gambyong telah lengkap aku
kenakan. Sekali lagi kuperhatikan diriku di cermin. Hmm...Ibu,,,inikah wujudmu yang tak
pernah aku lihat.

“Larasati...kamu begitu mirip ibumu, Utari seolah-olah hidup kembali di ragamu, anggun,
cantik dan bercahaya berbeda dengan penari lain!” seru Mbak Riyanti. Ku hela nafas
perlahan, ahh...semua orang berujar seperti itu.
“Ah...mbak..aku jadi semakin rindu ibu, tinggalkan aku sendiri sebentar mbak, aku ingin
berdoa untuk beliau!” Mbak Riyanti beringsut keluar kamar, masih dengan posisiku berdiri
kutundukkan kepalaku dalam-dalam kutangkupkan tanganku di dada. Kukirimkan doa untuk
ibu tersayang, yang selalu kurindu hadirnya, semoga tempat terbaik diberikan dalam istirahat
panjangnya. Hawa hangat menelusup pori-pori kulitku, ada kenyamanan kurasakan merasuk
ragaku. Setelah itu kulangkahkan kaki keluar kamar menuju tempat acara, didampingi
Pakdhe Handoyo dan Mbak Riyanti yang begitu setia.

Di tempat acara berjajar para penari yang siap menampilkan aksi terbaiknya, ratusan
mata menatap kami, kudengar bisik-bisik, bukan...malah nyaris seperti teriakan penonton,
menyuarakan namaku. “Larasati, itu...Larasati Sang Primadona, sungguh sempurna dan
berbeda... pasti inceran para pejabat itu!” Suara-suara itu memujiku tapi juga
menghempaskanku, layaknya aku sosok yang hina yang selalu diperebutkan dan bagai piala
bergilir.

Alunan gamelan menghentak, kulantunkan tembang pembuka seperti permintaan panitia, dan
jemariku bergerak seirama gamelan. Setelah tembang pembuka pejabat mendapat kehormatan
untuk menari bersama kami, sampur/ selendang yang kami pegang nantinya harus
dikalungkan pada pejabat untuk kemudian menari bersama kami. Aku masih mencari sosok
Panji tapi tak kutemukan, dan di depan penari sudah berjajar para pejabat. Di hadapanku
sendiri sosok bapak pejabat terkesan gagah dan tampan tapi sudah berumur, seakan tak
berkedip menatapku, mulutnya sedikit ternganga ingin berujar sesuatu. Tibalah saatnya,
kulangkahkan kaki dan kudekati sosok itu, sebelumnya kurendahkan badan dan kuanggukkan
kepalaku sebagai penghormatan kemudian kukalungkan selendang merah di lehernya. Dan
bisikkannya membuatku terpana, “Utari, kaukah itu?” Gamelan mulai menghentak, dan aku
kembali terbuai untuk menari dan nembang sementara sepasang mata di depanku tetap tak
berkedip menatapku, sambil ikut menari mengikuti iringan gamelan.

Penampilan selesai, lelah terasa, kulangkahkan kaki menuju kamar hotel diikuti Mbak
Riyanti, tapi tiba-tiba. “ Tunggu!” Langkahku terhenti, dan menoleh kearah sumber suara,
sosok itu, sosok yang menari bersamaku tadi. “Iya Bapak, maaf ada yang bisa saya bantu?”
tanyaku sopan, aku tak ingin terkesan murahan meski itulah kesan masyarakat untuk penari.
“Ma..maaf, saya sebelumnya sudah bertanya pada panitia, siapa kamu dan kamu memang
bukan wanita yang saya kenal, benarkah kamu Larasati?”

“Iya Bapak, saya Larasati, Kanigara Larasati saya berasal dari Dukuh Kertasari!”

Bapak gagah itu mengerjap-ngerjapkan matanya. “ Dukuh Kertasari, sebentar apa
hubunganmu dengan Utari penari pada masa itu, wajahmu begitu mirip tidak ada celanya,
dan entah dimana dia sekarang, langkahku selalu tertahan ketika harus mencari jejaknya?”
Tuhan...rentetan kalimat yang keluar dari mulutnya membuat tubuhku lemas, apakah dia
Ayah yang selama ini aku cari dan disembunyikan dariku. Tak terasa buliran bening itu hadir
tanpa mampu kucegah. Mbak Riyanti begitu memahamiku, dipeganginya lenganku.

“ Hei...kenapa kamu menangis Larasati, adakah kata-kataku yang menyinggungmu?”

Ku gelengkan kepala lemah, tak kuasa kubersuara .Tiba-tiba ada langkah mendekati kami.
“Om Bayu disini ternyata, aku cari-cari dari tadi untuk menyampaikan pesan dari kantor!”
Ahhh...suara itu Panji, datang di saat aku harus merasa penuh luka saat ini. “Larasati, ada apa
ini...Om?” Panji nampak keheranan dan benar-benar bingung diantara kami.

“Entahlah..Panji, Om seperti mengenal sosok lain pada Larasati, sosok yang dijauhkan dari
kehidupan Om.”

“Hmm...adakah Larasati mirip kekasih lama Om?”

Aku semakin tertunduk, keyakinan kalau Pak Bayu ayahku terpampang nyata.

“Dia bukan hanya kekasih, tapi istri yang dihilangkan dari kehidupanku, yang aku sempat
nyaris tak bisa menerima kenyataan itu”.

“Istri Om....Istri setelah atau sebelum Tante Venna?”

Tuhannn,,,benar...aku tak kuasa lagi, tanpa test DNA pun aku begitu merasakan sosok itu
Ayah yang kucari, ada kekuatan meyakini itu semua.

“Sebelum Om harus menikahi Tantemu, sudah ada perempuan yang Om peristri tapi tidak
mendapat restu, dan akhirnya kehidupan kami berdua terenggut paksa, dipisahkan, dia begitu
mirip Larasati!”

Oh..Tuhan aku tak kuasa lagi menahan, ijinkan aku menjumpai sosok Ayah yang selama ini
aku cari, dan akhirnya...

“Maaf Bapak, saya anak dari Utari Dewi, penari yang terenggut kehidupannya saat harus
merelakan saya menatap dunia ini.”

Kubersimpuh di kakinya, tak kuhiraukan Panji yang merasa kebingungan. Pak Bayu, tergugu
seolah menemukan mutiara yang telah lama dicari. Matanya penuh dengan buliran bening
tapi tanpa suara isakan. Erat, didekapnya tubuhku tanpa henti mengucapkan syukur. Bergetar
tubuhku dalam pelukannya. Tangisku membuncah lukisan kerinduan dalam jeda waktu yang
berkepanjangan.

Dan...akhirnya aku bertemu dengan Ayah yang disembunyikan rapat dari putrinya, yang
dipisahkan keegoisan dan kasta. Mengalirlah kisah diantara ayah dan anak yang lama

terpisah, dalam balutan kerinduan. Ibu, tenanglah disana aku menemukan lelakimu, telah
kusampaikan segala kerinduanmu dan esok pasti akan menemuimu menumpahkan
kerinduannya sendiri padamu, meski diawal dia begitu sangat terpukul dan terpuruk karena
kau telah jauh meninggalkan aku juga Ayah. Tapi kasihmu tetap selalu merasuk di jiwa yang
tanpa lelah merinduimu.
Pandanganku beralih ke sosok Panji, dia pun menatapku lekat, dibibirnya tersungging
senyum seolah meyakinkanku, bahwa ada harapan yang indah di depan sana. Bukan lagi
tentang penari yang kadang dihinakan tapi tentang rasa yang harus diperjuangkan. Sayup-
sayup dari arah lobbi hotel terdengar lantunan nada dari Dewi Gita.

Gemulai gerakanmu... itu
Menarik semua mata

Lentiknya jemarimu... indah
Hadirkan kemesraan
Penari yang terlahir
Sebagai penghibur

Seakan tak mau perduli
Banyak yang mengganggu
Pernahkah engkau terima

Kenyataan hidup
Pernahkah kau coba mengerti

Cintamu semu
Dia yang datang tak hanya untukmu
Dimana selalu kau yang kan menunggu
Dan aku akan tetap menari, untuk coba buktikan bahwa aku layak diperjuangkan.

SENJA, HUJAN DAN SEBUAH KISAH
Oleh : Yu Na

Dia membiusku dalam setiap rangkaian aksara yang tercipta dan keluar dari bibirnya.
Tatapannya seolah membuatku tenggelam dalam palung hati yang paling dalam hingga kutak
kuasa berenang mencapai permukaannya. De javu, aku serasa menemukan sosok yang telah
lama kurindu entah siapa, kapan dan dimana. Ahhh... mungkin hanya halusinasiku yang
tanpa ruang dan waktu , membawaku seolah pernah bersamanya.

Aku cemburu, saat dia mengabaikanku, aku cemburu saat dia lebih akrab dengan
sosok lainnya. Kenapa harus seposesif ini, dia tak pernah aku kenal sebelumnya jauhhh
sebelum moment ini mempertemukan. Entah... rasa apa ini, aku pun tak mampu
mendefinisikannya. Hingga dari hari kehari aku selalu merindukannya. Rindu yang
membuatku candu akan kehadirannya. Aku jatuh cinta padamu tanpa pernah aku tahu, kita
tak pernah bertemu. Sekali lagi ruang dan waktu mencipta sebuah jarak tapi tidak dengan rasa
ini, entahlah kadang logikaku tergadaikan. Hanya tentangmu, kulukis senja dengan
kerinduan, dan hanya tentangmu kudekap malam penuh kebekuan. Kusambut hangat
mentari pagi dengan harapan, mengukir senyum saat bayangmu menyapa lirih. Tuhan... aku
tak begitu mengenal makhlukmu ini tapi mengapa hati ini seolah terbangun dengan kokohnya
bak jembatan Suramadu yang membelah lautan yang menghubungkan Pulau Madura dan
Jawa. Aku benar-benar telah jatuh cinta pada sosok maya yang telah hadir dan tanpa kuasa
ku menolaknya.

Eric.. sebuah nama, yang membuat hari-hariku penuh goresan rindu. Asing bagi ragaku tapi
tidak untuk setiap getar rasa yang dia hadirkan, diantara kegamangan dalam kisah yang tanpa
koma.

Dan aku pun mulai terbuai, membayangkan sosoknya di dunia nyata. Malamku
dipenuhi mimpi-mimpi tentangnya, sosok dalam ilusi tanpa ku paham dari ujung rambut
sampai kaki. Hari demi hari kedekatan kami semakin terasa. Rasa yang awalnya hanya
sekedar tertarik, perlahan tumbuh rasa berlebih yang sarat harap untuknya. Tak logis
memang, rasa yang muncul hanya melalui ketikan kata-kata yang terangkai di kotak pipih itu.
Atau pun pesan suara dan hanya panggilan video yang kadang terjadi.

Senja itu kukayuh sepeda gunungku, ku ingin nikmati jingga diujung cakrawala dari
bukit. Ahh....sampai juga akhirnya. Ku ambil botol air yang terselip di batang sepeda. Rasa
segar spontan merasuk membasahi rongga yang kering. Drrttt...drtttt...drrtttt...ponsel di saku
celana Blackhawkku bergetar. Kulihat profil pemanggil, ahh Eric ada apa. Jingga mulai
menyapa, saat suara Eric terdengar dari ujung sana. “ Anya...lagi sibuk?”

Rindu selalu hadir, mendengar suara yang membuai setiap relung dalam jiwaku.
“Ng....nggak....juga, ada apa Ric!”

“ Aku kangen, Anya!” Uppssss...serasa rongga dada ini penuh dengan oksigen, tapi tunggu
dulu ada apa dengan suara itu. Seolah terdengar lirih dan penuh kesangsian, ada apa ini.
Sejenak ku berusaha menenangkan diri, hingga akhirnya...

“ Anya... aku harus bagaimana, ini pilihan yang sulit, dan tak pernah ku duga terjadi dalam
kehidupanku yang berada di era Siti Nurbaya sudah tidak berkepang dua!’

Ulalaa... ku katupkan bibirku rapat, pikiran kritisku bergerak cepat meski kalimat kiasan yang
Eric sodorkan untukku.

“ Aku paham!” hanya satu frasa yang terucap nyaris tak terdengar.

“ Anya...kamu masih mendengarku, maafkan aku Anya. Percayalah tak ada niatku
mempermainkanmu meski kita tak pernah jumpa, aku tulus seperti awal kita jumpa meski
hanya lewat barisan kata.”

Aku masih terdiam. Pandangan terpaku pada jingga di atas bukit. Hampa bagai langkah tak
berjejak, jingga disana memudar terbawa rasa abstrak tak terlukis.

“Anya... jangan menghakimiku, semoga yang terbaik juga buatmu.”

Akhirnya...Tuhan... kuhembuskan keras bongkahan yang menyesakkan dada, nanar ku tatap
burung – burung yang nampak abu-abu diantara hadirnya senja, kepakkan sayap pulang
menuju sarangnya. Kulukis wajahmu saat senja. Kupanggil lirih namamu ke ujung dunia.
Pilu memeluk sukma seketika. Tiada yang menjawabku. Selain hatiku dan nyanyian ilalang
di kesunyian. Ahhh....mengapa senja selalu selaras dengan perpisahan. Dan senja terlalu
buru-buru berlalu, padahal aku baru hendak mewarnai langit untukmu dengan warna-warna
rinduku yang selalu biru, dan saat ini dengan tiba-tiba dipaksa membeku tanpa kuasaku. Dan
aku pun mulai tak nyaman dengan senja. Kurasa kehadiranmu bagai jingga di kala senja,
menyapaku dengan keindahan tapi berlalu menyisakan kegelapan.

Hari berganti, bulan pun berlalu di antara kenangan tanpa ada komunikasi lagi dengan
Eric. Kontak whatsapp pun sepertinya sudah berganti, benar-benar terhapus jejak seolah aku
tak pernah mengenalnya sebelumnya. Dua tahun berlalu aku mulai terbiasa tanpa sapanya,
hingga malam itu kujumpai sapaan di direct messege Instagramku.

“ Aku rindu Anya... rasa ini sulit untuk berubah dan aku sendiri pun tak tahu mengapa,
semakin ingin melupakanmu semakin aku terjebak rindu yang menyakitkan.”

“ Ah...kamu terlalu berlebihan Ric, kita tak pernah bertemu, ada yang lebih nyata buatmu tapi
bukan aku, dia yang di sampingmu yang bisa memandangmu dan menyentuhmu langsung.
Dan tentu saja bisa lebih memahamimu. Aku hanya sebagian dari kisah maya yang bagai
fantasi semu. Ric...kembalilah pada hidupmu saat ini jangan terus pada mimpi yang untuk
mewujudkannya itu sungguh mustahil.

“ Kamu mulai melupakanku Anya...mungkinkah telah hadir seseorang yang terbaik
itu?”

Aku terhenyak, dan mulai tersadar dua tahun ini pun aku belum bisa move on akan rasa ini,
meski sosok yang lain berlalu lalang tanpa bisa dicegah. Namun tetap saja tak bisa
menggantikan Eric yang hanya ku kenal meski lewat maya. Eric...ahhh...aku tidak bisa
membiarkannya dalam kondisi seperti saat ini, dia harus fokus jalani kehidupannya yang

bukan lagi untukku, tapi untuk seseorang yang aku yakin bisa membahagiakannya, melebihi
aku.

“Sudahlah..Eric, kita masih bisa berteman lupakan semuanya, fokuslah pada kehidupanmu
saat ini!”

Anya...kenyataan ini tidak seperti ekspektasiku, meski Gibran telah hadir di kehidupanku”

“Wahh...sudah ada pangeran kecil yaa...selamat Eric, seperti apa dia, bisa kamu kirim fotonya
untukku?”

“Iya...dia lucu menggemaskan, dan dia lah alasanku bertahan Anya, aku sangat
menyayanginya.”

Beberapa detik kemudian Eric mengirimiku sebuah foto anak laki-laki kecil yang benar-benar
menggemaskan, meski masih kecil dengan dandanan yang fashionable pasti membuat siapa
pun akan jatuh hati.

“Cakep....bangetttt...anakmu, salam sayangku juga untuknya ya...”

“Hmmm...ya nanti akan kubisikkan dapat salam dari tante cantik di seberang”

“Ehhh....ngaco...ga jadi kalo kaya gitu”

Eric membalasnya dengan emoticon tertawa.

Ya...akhirnya kembali kebersamaan maya terajut tanpa bisa dicegah, meski tidak seintens
dulu. Dan aku sangat menyadari hal itu, karena aku bukan prioritasnya lagi. Eric tidak
bahagia dengan perjodohannya, sosok yang menjadi pendampingnya, tak sesuai
ekspektasinya. Perselisihan sering terjadi hingga membuat rumah tangga serasa dalam sekam
membara. Aku terus meyakinkan Eric, untuk kembali pada keluarga kecilnya namun selalu
dijawab keraguan oleh Eric.

Surabaya, panas menyengat kulit saat aku melangkahkan kaki menyusuri G Walk Citraland.

Brukkkk....ohh God ada sosok mungil yang terhuyung setelah menabrakku, ekspresi
bersalahnya begitu lucu menggemaskan hingga buatku ingin menggendong dan
menciuminya.

“ Gibran.. owhh kamu disini ternyata”

Terdengar suara dan langkah mendekatiku dan anak kecil berumur 2 tahunan itu. Seorang
laki-laki jangkung dengan tubuh proposional terbalut outerwear jeans denim dengan celana
dan kaos item. Kaca mata hitamnya tergantung apik di hidung bangirnya.

“Daddy!” teriak sosok mungil itu.

Dan aku masih terpaku di posisiku, aku hanya kawatir jika anak itu terluka setelah
menabrakku. Kuperhatikan sosok itu mengacak rambut anak kecil itu. Meraih tangan mungil
itu dan kemudian berbalik menatapku.

Dan opppssss...ku seperti begitu mengenal sosok yang berdiri di depanku...tapi tidak aku
pasti salah. Apalagi kaca-mata itu tidak terlepas dari hidung bangirnya.

“Ehh...kamu tidak apa-apa sayang...maaf mungkin saya tadi terburu-buru sampai dia harus
tertabrak!” Ujarku mencairkan suasana, karena aku pun merasa tak enak hati. Sosok itu
menarik kaca matanya dan dibiarkannya bertengger menghiasi rambut gaya brushed on top
nya. Dan... Tuhan...serasa berhenti detak jantung ini, melihat sosok di depanku. Benarkah
dia...atau hanya hayalku yang terlalu merinduinya.

“ Anya...kamukah ini?”

Ya...Penguasa Alam, Engkau Maha Hebat, Kau letakkan makhlukmu dimana pun Engkau
berkehendak.

Eric...sosok yang berdiri di depanku dengan ekspresi tak percayanya, membuat kakiku serasa
tak bertulang. Rasa hangat membaluri sekujur tubuhku. Dia begitu mengenalku, meski
selama ini kami tak pernah bertemu langsung. Dan mulutku pun seketika terkunci susah
untuk bertutur meski sekadar mengucapkan satu kata.

“Assalammualaikum adek..!” Tangannya melambai di depan wajahku. Aku pun tergagap,
pandanganku seketika beralih pada sosok kecil yang ikut menatap heran, mulut mungilnya
mengerucut menggemaskan, mata beningnya menatapku asing.

“Hai ganteng, siapa namamu..maafkan tante ya!” Ku menunduk mendekatkan tubuhku pada
Gibran. Kusentuh lembut pipinya.

“Gibran..!” Jawabnya dengan suara cadel yang khas sambil tersenyum membuatku semakin
tertawan.

Ku balas senyumnya dengan tulus.

“Anya...?” Kembali suara itu, terdengar meminta jawab.

“Iya...apa kabar Eric?” Jawabku, berusaha menetralisir rasa yang bergejolak tak karuan.

Tatapannya tak bisa dibohongi, sarat akan kerinduan. Dan mungkin aku pun seperti itu dalam
penilaiannya. Gerimis hadir saat pertemuan itu...air langit dan tanah kering saling mencumbu
luapkan kerinduan. Begitu juga dengan dua pasang mata yang seolah saling bercengkrama
penuh makna.

“Bisakah kita berbincang disana, sekalian membelikan cake kesukaan Gibran?” Eric
menunjuk sebuah caffe yang terkenal dengan cake dan dessert-nya disini.

Aku pun mengangguk tanda setuju. Desan interior cafe ini membuat nuansa hatiku semakin
tergugu, room-nya betul-betul feminim dan hangat. Tiada kata yang terucap, dari sudut
mataku, terlihat Eric menatapku lekat, jujur aku tak nyaman dengan perlakuannya. Ku asyik
memperhatikan Gibran yang dengan lahapnya menikmati cake favoritnya.

Tapi, aku pun tak ingin suasana seperti ini terus berlanjut.

“Emmm...mana mommy-nya, Eric?” Mataku menyapu sekeliling caffe mencari sosok yang
belum pernah aku jumpai.

Eric, tergagap, ia tampak terkejut mendengar pertanyaanku yang spontan.

“Oh...ehhh...ituu...ahhh...maaf...!”

Aku tersenyum kecil, melihat kegugupannya. Ahh...Eric...kamu tak ada beda meski sekarang
kita bersua, gaya gugupmu seperti yang pernah kubayangkan saat kita dulu sering
berkomunikasi lewat chat.

Diantara rinai hujan diluar sana mengalir kisah dari bibirnya. Mereka telah memutuskan
untuk berpisah, dan hak asuh anak jatuh di tangan Eric karena sang mommy, tak ingin
mengasuhnya dengan alasan tertentu. Tuhan....rencana apalagi yang Kau hadirkan untukku.
Ku pandangi sosok mungil menawan di hadapanku, mulutnya tampak penuh dan belepotan
cheese. Ku ambil tissue lalu ku usap lembut bibir lucu itu, ada rasa sesak di dada, dia yang
seharusnya masih harus dalam dekapan hangat mommy-nya kini harus belajar mandiri
dengan rengkuhan daddy seorang. Mungkinkah ini keegoisan orang dewasa yang tak pernah

memerhitungkan ada hati kecil yang terluka. Atau goresan takdir yang entah aku pun tak
pernah paham alurnya bermuara kemana. Yang aku tahu saat ini, ada rasa nyaman disini
diantara dua makhluk Tuhan yang dihadirkan tanpa pernah aku tahu sebelumnya. Dan
settingan Tuhan memang luar biasa, aku hanya ingin mengikuti alirannya tanpa pernah
berusaha melawannya. Biarlah skenario berjalan sesuai segmen-nya. Ku pernah merasa tak
nyaman dengan senja, tapi hujan membuatku tersadar jarak antara air dan tanah begitu dekat.

Hujan punya alasan kenapa ia jatuh, tapi aku sekali lagi sulit mempunyai alasan mengapa
hatiku kembali jatuh pada sosok satu ini. Rasa itu masih saja menyelinap di antara rintik
hujan sore ini. Rasa yang enggan pergi dan akan selalu ada. Sekali lagi langit-Nya adalah
candu. Jingga membawa senja, dan hujan membawa rindu yang terpaut. Aku terima hadirmu
hujan, karena aku menginginkan pelangimu.

CINTAKU JAUH DI PULAU
Oleh : Yu Na

Perahu melancar, bulan memancar,
di leher kukalungkan ole-ole buat si pacar
angin membantu, laut terang tapi terasa

aku tidak kan sampai padanya
Sebait sajak Chairil Anwar seakan bergema dalam nyanyian ombak. Perlahan
buliran bening itu, memaksa hadir disepasang pipi bekunya. Tatapannya nanar, diantara
cahaya purnama dan belaian lembut sang bayu. Lirih diucapnya sebuah nama “Anes...!!!”
Bahunya semakin terguncang, kedua kakinya pun tak kuasa lagi menopang tubuhnya. Dan ia
pun terduduk lesu, dengan isakan yang semakin terdengar melawan derasnya deburan ombak
yang saling berkejaran di bibir pantai. Sebuah sajak yang tadi siang ia jadikan untuk bahan
pembelajaran di kelas seolah menjadi boomerang buat dirinya. Anes sosok yang belum
pernah sekali pun ditemuinya dalam wujud nyata, sosok yang hanya dikenalnya lewat chating
dan video call di aplikasi whatsap. Tapi telah mampu mengaduk-ngaduk rasa di hatinya
hingga membuat sesak rongga dadanya.

Purnama kali ini membawanya kembali di awal mengenal sosok Anes setahun yang
lalu lewat sebuah aplikasi pertemanan di sosial media. Ghea seorang wanita berstatus single
parent dengan dua anak yang mulai tumbuh remaja hasil pernikahan sebelumnya. Brian
Candra Putra adalah anak pertamanya yang kini duduk dibangku SMP kelas VII, dan Iori
Qanita anak keduanya yang masih bersekolah di SD Kelas V. Ghea harus menghidupi dan
merawat buah hatinya sendiri tanpa sosok ayah yang harusnya ada untuk mendampingi dan
bertanggung jawab sepenuhnya. Hidup adalah sebuah pilihan, dan Ghea telah memutuskan
untuk memilih. Namun biar bagaimanapun tidak ada yang akan baik-baik saja tentang sebuah
perpisahan. Meski perpisahan itu ialah kenyataan yang sulit diterima namun itu adalah
konsekuensi dari alur kehidupan yang dijalaninya. Empat belas tahun waktu yang sudah
cukup lama Ghea jalani bersama Novan, ayah dari kedua buah hatinya. Dan kenyataannya
hati itu ibarat ranting kering yang mudah patah, maka jika tak mampu menjaga dan
memeliharanya ia akan terjatuh lagi dan lagi hingga akhirnya hancur tak tersisa, terluka dan
sakit entah dalam masa yang tak tentu. Dan apabila tak mampu tuk menyembuhkan ia akan
mati rasa selamanya. Begitulah rasa yang dimiliki Ghea hingga akhirnya, keputusan itu penuh
diambilnya dengan segala resikonya. Tapi ia masih selalu bisa tetap kuat menjalani hari-
harinya karena Brian dan Iori, setia dalam dekapnya.

Ghea berusaha menjadi sosok yang lebih sabar, tegar dalam menghadapi masalah.
Yang pergi akan tetap pergi walaupun kita telah menjaganya dengan begitu kuat, dan yang
datang akan datang walaupun kadang kita tidak menginginkan kedatangannya. Jari jemari
Ghea menari diatas layar handphone yang ia pegang. Sebuah aplikasi menggelitiknya untuk
mencoba. “Hmm...seru juga kaya’nya, buat ngisi waktu senggang dan biar nggak sepi nyoba
aja deh...” Jemarinya pun menyentuh tanda instal, dan akhirnya terunduh juga. Senyum tipis
nampak dibibirnya yang dihiasi lipstik matte tipis. Aplikasi itu untuk mereka yang statusnya
single, bisa untuk pertemanan dan mungkin perjodohan kalau ternyata cocok. Ghea terlihat
geli sendiri melihat aplikasi yang tengah dicobanya. Foto-foto cowok dengan berbagai gaya
dan profil yang bermacam terpampang di depan matanya, ia ikuti arahan dari aplikasi itu jika
dirasa tidak sesuai ia harus menggeser atau mengabaikan. Dan jemari Ghea pun masih asyik
menggeser foto-foto yang disajikan, ia rasa tidak cocok dengan yang ditampilkan. Hingga
pandangannya terhenti pada sebuah foto, jemarinya pun terhenti, ditatapnya lama foto itu.
Rasa itu menelusup diam-diam hanya karena sebuah tatapan sepasang mata di foto itu, rasa
yang tak bisa ditolerir oleh logika, aneh ada sesuatu yang berdesir saat ditatapnya sepasang
mata itu. Jemarinya mulai bergerak menekan foto itu untuk melihat foto yang lain dari sosok

yang di profilnya tertulis Anes. Semakin dilihat semakin Ghea tertambat, senyum itu seakan
sudah dia kenal lama, tapi bukan milik Novan mantan suaminya. Dan akhirnya tanda suka dia
sematkan. Tanpa dia duga ternyata pemilik profil itu pun sama menyukainya. Jantung Ghea
tiba-tiba berdegup tak menentu. “ Gila seperti ABG ..yang baru mulai jatuh cinta..” pikirnya
iseng.

Tinggg!!!

Membuat Ghea terloncat, bunyi pesan masuk dari aplikasi baru itu menyadarkan
lamunannya.

“Assalammualaikum!” sapa Anes dari seberang. “Upsss...cowok ini ngechat...” Ghea
terlonjak, antara rasa senang dan bingung bercampur aduk. Tak lama ia pun membalas
dengan ramah. Mulai saat itu hubungan pertemanan pun terjalin. Dari yang semula sekedar
chatting lewat aplikasi iseng itu kemudian berlanjut lebih intens chatting melalui whatshap.
Dan yang semula hanya chatting lalu berlanjut telepon suara, sampai akhirnya saling
menyapa melalui video call.

Hari berganti hari, Ghea merasakan kenyamanan saat berkomunikasi dan Anes pun
demikian halnya. Akhirnya komitmen itu pun terjalin. Ghea dan Anes memutuskan menjalin
hubungan yang serius, karena keduanya merasa sama-sama bisa saling memahami. Status
Ghea yang single parent dengan dua anak bisa diterima Anes begitupun status Anes yang
sudah pernah nikah. Latar belakang yang seakan sama karena pernah tersakiti membuat
mereka semakin menyatu. Anes begitu pintar mengambil hati, ia tidak hanya memperhatikan
Ghea tapi juga Brian dan Iori anak-anak Ghea. Setiap kali chating ataupun telepon tak luput
dengan pertanyaan bagaimana anak-anak, lagi dimana, sudah makan, jangan boleh pulang
malam-malam dan seabreg pertanyaan yang membuat Ghea merasa benar-benar diperhatikan.

Hingga rasa asing itu pun hadir, setelah Anes berpamitan mengunjungi makam anaknya di
kota asal istrinya. Balasan chating itu tak seperti biasanya, ketika Ghea mengirim chat Anes
akan segera membalas, dan jika terlambat berjuta kata maaf dihamburkan emoticon pun
disertakan. Tapi tidak setelah hari itu, ada yang berbeda dengan Anes. Ghea membuka
kembali chat terakhir dari Anes yang setelahnya ia berjanji tak ingin mengusiknya lagi .

“ Maaf ya..emang lagi ada masalah aja, tapi aku ga ada masalah dengan kamu.”

“Ghea...maaf ya aku lagi banyak pikiran.”

“Mengapa ..Nes..seolah kamu ingin menghilang secara perlahan?” bisik Ghea lirih pada
dirinya sendiri.

Kebekuan Anes menyisakan tanya tanpa jawab pasti. Ghea sejenak dirundung dilema tapi tak
mempengaruhi aktifitasnya, itulah Ghea, seberat apapun masalah yang mendera, ia masih
kuat melangkah, masih nyaring berkicau, meski dalam kesendirian ia harus luruh dan benar-
benar jatuh

Empat bulan setelah kebekuan itu, langkah Ghea sampai ke kota asal Anes. Ada
tugas yang membawanya sampai di kota dingin itu. Senja mengajari kita menerima sebuah
perpisahan dengan jaminan pertemuan yang hangat esok hari. Hmmm....benarkah
senja....Ghea menghembuskan nafasnya perlahan. Sosok Anes ternyata tak bisa lepas begitu
saja, masih terus membelenggunya. Dirapatkannya jaket yang membalut tubuh rampingnya
kedua tangannya tersembunyi dibalik saku, gerimis senja mengiringi langkah kakinya
menyusuri kota yang sebenarnya ia rindukan. Tapi entah, saat ini Ghea bingung memaknai
rasa yang hadir dalam hatinya, jarak begitu dekat tapi serasa jauh. Ahhh... Tuhan....Kau
memang Maha Asyik membuat rasa ini jungkir balik bagai wahana hysteria. Terlalu letih
tubuh ini, berjalan menelusuri ribuan detik yang terhampar. Terlalu enggan kaki ini untuk
Begitu asyik Ghea bercengkerama dengan batinnya.

Brukkkk!!!!

Tubuh Ghea terhuyung kesamping dan nyaris roboh, jika sepasang tangan itu tidak cekatan
menyambar tubuhnya.

Seketika ia pun melepaskan tangan itu dan mundur selangkah, ditatapnya sosok di depannya.
Dan matanya pun melebar, benarkah sosok ini nyata. Dikerjap-kerjapkannya kedua mata
indahnya serasa mimpi hingga ia pun nyaris tak percaya. “Anes...” lirih ia berujar.

“Iya...anda mengenal saya?” jawab sosok itu.

Uppss....buliran bening itu hadir tak terkendali, memang benar sosok itu Anes, suara itu
masih akrab ditelinganya, tapi ia tak mengenali Ghea. Sosok menatap lekat Ghea. Serta merta
Ghea memalingkan mukanya.

“Maaf, mungkin saya salah orang!” jawab Ghea sambil menunduk dalam, ia seolah tak mau
dikenali Anes. Ghea berubah menjadi ragu dengan pertemuan tak disengaja dan tanpa
rencana ini. Ia pun berbalik berniat meninggalkan tempat itu.

“ Heyyy...tunggu...!!” suara itu menahan langkahnya.

“Ini milikmu?” Sosok itu mengulurkan sebuah handphone.

“Ohh...iya..maaf emm... terima kasih.” masih dengan menunduk dan dengan suara sedikit
bergetar Ghea menerima handphone miliknya yang terjatuh karena kejadian tubrukan tadi.
Kembali dilangkahkannya kakinya, tapi tiba-tiba....

”Ghea...kamukah ini?” Untuk kesekian kali langkah Ghea tertahan tapi tidak dengan kali ini.
Kakinya seakan terpaku di tempatnya, tubuhnya serasa beku, mulutnya kaku membisu. Ghea
tetap dalam posisinya membelakangi Anes, dirasakannya ada yang menyentuh lembut
pundaknya. Degggg....serasa ruh terlepas dari raga. Ghea tak kuasa lagi bergerak, ia hanya
diam membatu. “ Ghea...??” lirih suara itu tepat ditelinganya. Dan batu itu pun mencair, air
mata yang susah payah ditahan kini mengalir deras tak terbendung. Tapi ia tetap pada
tempatnya. Isakannya terdengar lirih, tatapan mata kilas dari pengendara dan pejalan kaki tak
dihiraukannya. Ia hanya ingin tumpahkan semua rasa sesak ini. Sosok itu merengkuhnya
lembut, dibimbingnya Ghea menuju bangku halte yang ada di tepi jalan itu. Ghea masih
tertunduk, sesekali dihelanya nafas. Ia berusaha untuk mengendalikan emosinya.

“Maaf...sekali lagi maaf..minumlah dulu biar agak tenang!!” sosok itu mengulurkan botol
mineral untuk Ghea. Tapi Ghea hanya menatap kosong botol mineral yang disodorkan.

“Ayolahh...Ghea...kamu masih percaya Anes orang yang baik kan?” Ghea terhenyak,
ditengadahkan kepalanya menatap lekat sosok disampingnya.

“Maksud kamu apa?” Jujur ia rindu dengan sepasang mata itu, yang dulu kadang
menggodanya saat berkomunikasi melalui video call. Tapi ada yang berbeda dengan sepasang
mata itu, seolah ada luka dan kepedihan disana.

“Minumlah..setelah itu agar nyaman kita pindah ngobrolnya di taman seberang jalan ini.”

“Hmmmm....baiklah!” Ghea pun meneguk air yang diberikan. Dan setelah itu mereka
menyeberangi jalanan yang mulai temaram menuju taman kota semakin indah di malam hari

dengan hiasan lampu warna warninya. Dan di bangku taman yang menghadap air mancur
warna, mereka duduk dan melanjutkan obrolan yang sempat terputus.

“Ghea...kamu masih mengenaliku?” tiba-tiba suara itu terdengar serak dan berat. Ghea
menatap penuh selidik, ada yang aneh dengan Anes, begitu pikirnya. Tapi ia yakin sosok itu
benar-benar Anes. Lalu ia pun mengangguk pasti.
“Iya... Anes, aku masih mengenalmu meski beberapa bulan kita tak saling menyapa dan
bahkan tak pernah bertemu langsung.”

Sosok itu menatap Ghea, ada ragu terlukis diwajahnya, ada kedukaan membias.

“Ghea...sebelumnya tolong jawab pertanyaanku, kamu lebih suka dibohongi atau kejujuran?”

“Tentu saja aku menjunjung kejujuran Nes, meski sepahit apapun kenyataannya harus bisa
diterima, dusta mungkin bisa menyelamatkan suatu hubungan dan jujur bisa menghancurkan,
tapi tetap kejujuran yang harus terpilih, biarkan sisanya mengalir seperti air agar semuanya
bisa tenang pada muaranya” Ghea menatap lekat sosok disampingnya, yang membuat sosok
itu rikuh dan menghela nafas berat.
“Kamu kuat Ghe...aku yakin kamu demikian adanya seperti yang sering diceritakannya,
kamu begitu mandiri, smart, cantik dan penuh percaya diri.”
“Maksud kamu?” sepasang mata Ghea melebar, di kepalanya penuh dengan tanda tanya.
Tiba-tiba dia merasa asing dengan sosok disebelahnya.
“Anes....” lirih namun jelas terdengar sosok itu menyebut nama yang begitu dirindukannya.

“Maaf Ghea...sebenarnya aku bukan Anes.”
Ghea terlonjak, sampai bergeser dari posisinya duduk. “Maksud kamu?” dikernyitkan
keningnya, ia telisik raut wajah dihadapannya.
“Jika kamu menjunjung kejujuran, jadilah pendengar yang baik aku akan mulai jujur tapi
kuminta kamu sabar setelahnya, karena aku percaya seperti Anes bahwa kamu wanita yang
tegar!”

Ada rasa yang entah apa artinya, membuat Ghea seakan melayang tanpa raga.

“Ghea...Anes kamu sebenarnya sudah berpulang di tempatnya yang abadi, 4 bulan yang lalu.”

Ghea ternganga, ia serasa tak percaya dengan apa yang didengarnya, tapi ia harus tetap bisa
mengendalikan dirinya.

“Benarkah...Anes...me..ning..ggal..” terpatah-patah ia ucapkan kata itu, ia masih belum bisa
percaya.

“Iya benar Ghea...setelah ia ziarah di makam anaknya, bus yang ditumpanginya mengalami
kecelakaan, Anes kritis ia sempat dirawat beberapa hari di rumah sakit. Selama ia dirawat ada
satu nama yang sering ia sebut yaitu namamu, kucoba cari tau lewat handphonenya siapa
kamu, dan ternyata kamu adalah wanitanya, yang ingin dia halalkan setelah ia ziarah dari
makam anaknya. Dan maaf Ghea akulah yang sebenarnya membalas chat yang kamu kirim,
karena aku tak tega dengan keadaan kalian berdua, hingga akhirnya Anes harus
menghembuskan nafas terakhirnya dan menitip pesan untuk menemukanmu, dan
menyampaikan permintaan maafnya.”

Ghea tergugu, sosok didepannya ternyata bukan sosok yang begitu ia rindukan, Anes telah
jauh. Sebuah tempat yang telah menjadi takdirnya dengan semua berkah dan kenikmatan dari
Tuhan mungkin yang pantas untuknya. Kini waktu telah menjawab pertanyaan klasik, bahwa
Ghea bukan untuk Anes di dunia. Dan pada akhirnya manusia tidak dapat menuaikan cinta
sampai dia merasakan perpisahan yang menyedihkan. Ghea benar-benar terguncang. Sosok
itu menyentuh lembut tangannya, kemudian menggenggamnya, erat.

“Sudahlah Ghea, berserahlah, ini sudah menjadi takdirnya, doakan Anes, besok pagi akan
kuantarkan kamu ke makamnya, maaf aku Adrian saudara kembarnya.”

“Ohhhh...” hanya itu yang mampu terucap dari bibir Ghea yang semakin pucat. Genggaman
Adrian, seolah memberi kekuatan untuknya.

“Senang mengenalmu Adrian, meski dengan kondisi yang seperti ini.”

“Aku juga...Ghea, sekali lagi Anes benar...maaf....kamu adalah wanita spesial.”

Ghea tersipu.

“Dia terlalu memujiku, tolong besok antarkan aku ke makamnya.” sambil disekanya air mata
yang masih setia hadir.
“Pasti..Ghea, sekarang ayo ku antar kamu kembali ke tempatmu menginap.”

Ghea mengangguk mengiyakan. Dan malampun semakin pekat menyelimuti hati yang
ternganga.

Esok paginya Adrian, menepati janjinya. Sosok kembar identik Anes itu pun,
membawa Ghea ke pemakaman umum tempat Anes beristirahat untuk selamanya. Kaki Ghea
serasa lemas tak bertulang ketika ia sampai pada batu nisan yang bernamakan Anes Rangga.
Ia pun duduk bersimpuh di letakkannya rangkaian mawar putih di pusara, diusapnya ukiran
nama itu dengan lembut.
“Aku datang...Anes...beristirahatlah, tenanglah disana sayang...terima kasih karena telah
hadir dalam hidupku dan telah mengajarkan kedewasaan..dan kini usai sudah perjalanan
bersama bayangan waktu..tak ada yang abadi di dunia ini begitu pun kita, tapi aku yakin
Tuhan telah menyiapkan rencana yang akan membuat kita bahagia...beristirahatlah sayang..”
dipanjatkannya doa, bibirnya bergetar, air mata nya sekali lagi berusaha ditahannya.
Sentuhan lembut, menyadarkannya. “Iya Adrian...terima kasih..”
“Sama-sama Ghea, tetaplah menjadi wanita tegar, wanita yang spesial, jika kamu nanti
kembali ke kotamu, sering kirim kabar juga, jangan putus silaturahmi.”

Ghea mengangguk lemah, bilah duka itu masih menancap kuat dirongga dadanya. Hanya
secercah asa yang dia titip untuk senja yang senantiasa mengajari kita menerima sebuah
perpisahan dengan jaminan pertemuan yang hangat esok hari. Semoga mentari itu segera
hadir menyapa dengan kehangatan tanpa kebekuan malam yang berkepanjangan.

----------------------------------THE END-----------------------------

WAKTU YANG SALAH
Oleh:

Yu Na

Haruskah menyalahkan waktu dengan kondisi ini, kondisi yang buatku merasa
terhimpit, dan tidak nyaman. Cinta ternyata sulit dipahami. Semua karena Quenby. Dia
yang seharusnya tak pernah ada dalam diary biruku. Cinta terlarang, dia Quenby karena dia
hadir di saat hatiku telah terisi dan dibingkai manis oleh Vivian aku jatuh cinta lagi. Quenby
mampu menembus hatiku yang telah terisi cinta Vivian. Quenby hadir, tanyaku meminta
jawab, dia hadir disaat yang tidak tepat, mengapa dia ada disaat hubunganku dengan Vivian
terkesan manis, disaat ku meyakinkan diri tak ada cinta lain selain Vivian dengan cincin
melingkari jari manis kirinya. Dan hubungan kami sudah mendapat sinyal positif dari ortu.
Tapi aku salah, Quenby hadir memberi nuansa penuh warna di hidupku. Dengan segala
pesonanya yang mampu memporak porandakan, bangunan romansa yang sudah kutata sekuat
hatiku bersama Vivian. Semakin lama, dia membelengguku dengan harapan-harapan yang
melambungkan. Quenby, cantik, smart, percaya diri, penuh semangat, dan selalu bisa
membuat suasana menyenangkan.

"Kenalkan, aku Quenby kita akan jadi partner buat KKN ini kak Keenan!" Sapa
seorang gadis, saat aku mengamati sebuah Surat Keputusan yang tertempel di papan
pengumuman kampus. Seketika aku menoleh ke sumber suara, disebelahku seorang gadis
cantik berkerudung pasmina cream dengan kacamata yang ditenggerkan diatas kepalanya, tas
fashion backpack tergantung manis di punggungnya. Tampilannya full stylish dengan
perpaduan kaos lengan panjang hitam, rok mini juga skinny jeans, dan disempurnakan
dengan sepatu kanvas hitamnya. Sementara tangannya terulur kepadaku. Nampak senyumnya
terkembang ketika aku menatapnya, dan perasaan aneh pun hadir seketika. Ah...apa ini,
tepisku berusaha menolak rasa yang hadir. "Waduhhhh...tanganku dari tadi dianggurin, malah
bengong sendiri nehh kak Keenan!" suara itu hadir kembali, mengusik lamunanku. "Eh...ohh
yaa... kenalkan juga aku Keenan." Itulah awal kedekatanku dengan Quenby, selanjutnya chat
wa, telegram atau DM di instagram tak pernah absen. Disamping chat grup kelompok KKN
kami, untuk koordinasi kegiatan yang kami lakukan. KKN kali ini memang berbeda, di masa
pandemi ini harus dilakukan secara daring dan juga luring. Meski sudah ada pemberlakuan
tatanan normal baru di lingkungan kampus, tapi perkuliahan akademik masih dilakukan
secara daring dan untuk ujian skripsi, praktikum, praktik lapangan/magang, KKN dilakukan
secara luring dengan protocol kesehatan yang ketat.

Quenby, sesuai dengan namanya dengan aura feminimnya membuatku tak kuasa
menolak pesonanya. Sebulan kedekatan kami telah menumbuhkan benih-benih rasa yang tak
seharusnya kubiarkan tumbuh subur dan berkembang semakin kuat. Aku Keenan, terkesan
cowok yang kurang komunikatif, tetapi di depan Quenby bisa begitu atraktif. Tapi masih
tetap kupendam rasa ini, meski dia memancingku untuk mengungkapkan rasa, aku tahu dan
paham dia pun punya rasa yang sama. Tapi inilah aku, terlalu sulit untuk mengutarakan rasa.
Padahal rasa itu ada untuknya, sangat kuat melebihi rasaku pada Vivian. Ah...Vivian dia yang
kukenal lewat teman, dan kadang ada rasa ragu dengan rasaku untuknya. Tapi hubungan
kami berjalan baik meski kadang aku merasa Vivian terlalu menuntutku tapi aku coba untuk
bisa memahaminya. Dan kini Quenby hadir dengan pesonanya, yang sama sekali tak
kujumpai pada Vivian. Dia dengan segala kemanjaan tapi juga kemandirian dan
kedewasaannya dalam berprinsip merupakan perpaduan menggemaskan yang setiap saat
kurindukan.

Tinggg...kuambil kotak pipih dari saku jaket jeansku, kusandarkan tubuh disamping
KLX-ku. Niatku segera cabut dari kost untuk menjemput Vivian yang ada kuliah sore
kuurungkan. Kubaca dulu DM instagram yang masuk, deggg....ternyata dari Quenby.

"Kakakkk....!" satu kata, cukup satu kata tapi mampu membuatku melayang dan terjerat
rindu. Segera kugerakkan jariku untuk membalas DM nya. "Iya by...ada apa!" kutunggu
sesaat, dan tinggg...kupastikan itu balasan dari dia. "Ini, cuman mau konfirmasi tentang
agenda kita untuk advokasi bagi komunitas pencegahan Covid. " Hmm...Quenby, ini yang
membuatku semakin mengaguminya, dia selalu bergerak cepat tanpa harus diingatkan dan
diperintah, malah dia yang menjadi motivator bagi kelompok KKN kami. "Nanti aku telepon
kamu yahh...sekarang aku mau ke kampus bentar jemput Vivian!" setelah dia balas dengan
nada mengijinkan, segera kupacu KLX-ku membelah kota sore itu menuju kampus. Tidak
sampai kumasuk area kampus karena di halte bus sebelah kampus tampak Vivian duduk
sambil asyik dengan gadgetnya. Kuarahkan motorku mendekat. "Vi...udah lama nunggunya
ya?" Gadisku itu nampak terkejut, ia mendongak setelah tahu aku yang menyapa, wajah
manisnya buru-buru langsung ditekuk, bibirnya mengerucut tanda sebal. Hmm...pasti marah
ini. "Maaf.. Vi, ngurus KKN bentar tadi!" ujarku membela diri, iya kannn... tadi Quenby DM
tentang agenda KKN juga, nggak salah jika aku buat alasan itu. "Selalu deh...!" omelnya
sambil begerak mendekatiku dan membonceng motor.

" Ke mall dulu yahh...ada yang ingin aku beli!"

"Hmm...lama ntar yahh...soalnya ku mau ngurus agenda KKN Vi!"

"Dihhh...bentar aja."

Hmm...kuusap-usap tengkukku, pasti tidak cuman sebentar, aku sangat mengenal
Vivian jika sudah ke mall. Tapi ku tak kuasa menolaknya, jujur perasaan sayang itu juga
masih bersemayam manis untuk Vivian. Aku yang diawal belum begitu tumbuh rasa, tapi
dengan berjalannya waktu seiring kedekatan kami mampu menumbuhkan rasa sayang itu.
Sampai di mall, tangan Vivian bergelayut manja di lenganku. Senyum mengembang dari
bibir tipisnya, ahh..aku lebih suka dia yang seperti ini daripada memanyunkan bibirnya
seperti tadi. Tiba-tiba di salah satu store shoes, aku seperti melihat bayangan yang sangat ku
kenal, Quenby. Betulkah dia..kuperhatikan lagi sosok itu, dengan outfit casualnya, ya
memang dia, hatiku berdesir, rindu...Disampingku Vivian masih bergelayut manja.
"Keenan... masuk situ yukkk...kayanya ada great sale deh..!" suara Vivian membuyarkan
lamunanku, ketika kami melintasi depan tenant fashion. "Hmm...aku tunggu di luar aja
dehhh...ini kan khusus fashion cewek, aku melihat sepatu sebelah sana yahh...ntar kalau udah
selesai call aku!" Ujarku, sambil menunjuk shoes store yang tadi sempat kami lewati.

Sepintas Vivian terdiam tapi akhirnya, "Okay dehh...ntar ku call, kayanya keren-keren
barangnya di dalam." Hmmm...alamat kebiasaan laper matanya kumat.

Setelah Vivian masuk, kulangkahkan kakiku ke store yang tadi sempat kulihat
sosok Quenby. Benar dia masih disana, gadis itu masih asyik menimang sebuah sneaker
daddy di tangannya. "Keren..model old tapi kekinian, bungkus aja dehhh!" gadis itu
terlonjak, ketika kubisikkan kalimat itu tepat dibelakangnya, spontan dia berbalik dan tak
pelak lagi sneaker itu mendarat pelan di bahuku. Aku pun hanya nyengir senang dengan
responnya.

"Kakak...ngagetin aja ihhh...!"

"Kamu kok disini katanya tadi mau ngurus advokasi?"

"Terus, ngapain juga kakak disini katanya tadi jemput Vivian!"

Hmm...gini neehh...kalau berhadapan dengan gadis yang pandai debat, selalu aja ada yang
buat ngeles.

" Emang jemput kok, dari kampus terus Vivian ngajak ke mall ada yang mau dibeli katanya."

"Loohhh...sama Vivian...terus kemana dia?" tanyanya sambil kepalanya digerak-gerakkan
mencari-cari.

"Ada lagi memburu great sale di sebelah sana dia!" jawabku sambil menunjuk satu arah.

"Owhhhh..kok ga ditemenin sihh..malah jalan sendiri, atauuu tadi tahu aku disini
yahhh...terus nyamperin?" cerocosnya tanpa jeda hingga buatku gelagapan. Pengen rasanya
menoel hidung kecilnya, karena gemas. Tapi kuurungkan, kawatir perasaan ini semakin
melambung.
"Kakakkkk...suka banget sihhh bengong, ntar diculik cewek cakep loohh!”

"Ga..pa-pa lahh...malah suka...apalagi kaya kamu yang nyulik!" upppsss..bener
kann..kebablasen joke-nya

Kulihat wajahnya bersemu merah, dan dia tampak salah tingkah. Ah...Quenby...rasaku tak
bisa kupungkiri untuk saat ini.

"Dihhhh...apaan sihh...ada Vivian tuhhh, kena warning ntar...!"

Hari demi hari rasa itu berusaha kutepiskan, berusaha kuingkari tapi semakin menyiksaku,
rasa rindu seolah bagai candu, jika dalam sehari tidak ada sapanya lewat chat membuatku
seperti kekurangan vitamin. Pesonanya seolah membiusku. mengikatku dalam imaji yang
sulit kukendalikan.

Dan tibalah kami harus berkegiatan KKN luring merampungkan proker selama seminggu di
desa. Setelah kupastikan barang-barang yang ku packing sudah siap semua, kubersiap
menunggu jemputan Darel, karena kelompok kami membawa 2 mobil. Sebelumnya aku
sebagai ketua kelompok bersama dua anggotaku Darel dan Vano sudah survey di desa tempat
kami KKN. Hari ini tinggal meluncur bersama kelompok, ada 6 cowok dan 4 cewek.

Suara Rubycon 2013 menderum di depan pagar rumah kostku, segera ku sambar tas carrierku
setelah ku pastikan kamar terkunci, setengah berlari ku mendekat.

"Hai...apakah sudah lengkap semua?" tanyaku sambil masuk ke mobil, duduk di jok bagian
depan sebelah Darel yang hari ini sebagai supir kami. Di jok belakang nampak Zayn dan
Gilang asyik mendengarkan musik dengan head setnya.

"Seperti rencana, yang cewek dijemput Vano dan Trian, nanti titik kumpul kita di simpang
selatan." sahut Darel, sambil mulutnya terus mengunyah permen karet. Sesampainya di
simpang selatan, tampak Vano dan keempat cewek anggota kelompok yang lain sudah
menunggu.

Quenby nampak bersandar santai di samping mobil Vano sambil memainkan gadget,
dandanannya swag abis gaya hijab casual dengan army sweatshirt yang dipadukan celana
bomber, sneaker baru yang dia beli tempo hari menyempurnakan penampilan kecenya hari
ini. Gila, aku demikian detail mengamatinya.

Ketika mobil Darel sudah mendekat, ku longokan kepalaku.

"Sudah lengkap, atau masih ada yang tertinggal?" teriakku, dan sepertinya mengagetkan
Quenby. Melihat kedatangan kami, senyumnya terlihat usil.

" Duhhh...kaya nunggu anak perawan selese luluran, lama banget..Bosss!"

Bener kan...mulut usilnya mulai bercuit, dasar Quenby.

"Udah...ayoo..segera masuk, kita berangkat!" Dia memanyunkan mulutnya, tapi kemudian
masuk kedalam mobil. Trian memberikan isyarat jempolnya, pertanda kita siap berangkat.

Gerbang Desa Mulya Asih sudah terlihat di depan, rombongan kami pun melaju membelah
jalan desa. Tepat di depan rumah berhalaman luas dan berpagar putih rombongan pun
berhenti, ya...aku dan rombongan harus melapor diri pada Bapak Kepala Desa tentang
kedatangan kami, meski beberapa hari yang lalu aku beserta dua anggota sudah datang untuk
kesekian kali berkenaan dengan proker KKN kami.

Setelah selesai melapor dengan segala persyaratannya, aku beserta rombongan menuju rumah
warga yang sudah disiapkan untuk menampung kami selama kegiatan KKN di desa Mulya
Asih.

Cicitan burung yang menyapa pagi, dan diantaranya beterbangan melintasi desa membelah
kabut tebal yang menyelimuti. Suara gemericik air sungai sayup terdengar membuatku seolah
ingin nyebur menenggalamkan raga yang butuh penyegaran. Nampak para petani bergegas ke
sawah ataupun ladang mereka. Kulihat kelima teman cowokku masih berpelukan dengan
mimpinya. Dan mungkin juga keempat cewek di rumah sebelah sama saja masih asyik
merenda mimpi di pagi yang lumayan dingin ini. Maklum desa KKN kami terletak di lembah
yang dikelilingi oleh bukit-bukit hijau.

“ Haiii...met pagi Kak Keenan, pagi-pagi sudah ngelamun....hoby banget sihhh...mending
gerakin itu body biar fresh!” Ahhh...suara nyaring itu seketika memerahkan kupingku,
nampak sosok mungil menggemaskan di tepi jalan desa sedang asyik berkacak pinggang
lengkap dengan outfit olahraga pagi ini, hoodie dan jogger dengan perpaduan warna hitam
dan abu-abu. Duhh...penampilannya bener-bener stand out.

“Eh..pagi-pagi sudah klayapan dari mana kamu By...?”

“Dihhh...ngasal saja ngatain klayapan, makanya jangan molor saja, rajin dong olah raga biar
ga disapa virus!” mulut mungil yang nyerocos diakhiri dengan manyun beberapa senti. Aku
tersenyum geli melihatnya, ku hampiri gadis yang semakin sering membuat tidurku
terganggu akhir-akhir ini.

“Suka banget sihh nonnn..manyunin itu bibir, kalo sampe gak bisa balik gimana ntar?” ujarku
menggodanya sambil membenamkan hoodynya hingga menutupi wajahnya.

“ Ah...kakakkk....”

“Husss...ga boleh teriak-teriak ntar malah ditangkap Pak Linmas dikirain bikin huru hara di
desa!”

“Habisnya kak Keenan jahara sihhh!”

“Udahhh...ahhh...yukk ikut!” Kugamit lengannya mengajaknya pergi dari depan rumah
tampungan kami.

“Eh...mau diculik kemana aku?”

Ku terdiam, sambil terus membawanya berlalu menuju arah suara gemericik air yang
menggodaku dari tadi. Sesampainya di tepian sungai kulepaskan lengannya, kulihat wajahnya
meringis kesal.

“Ngapain sihhh..kak...narik orang segitunya, terus dibawa ke sungai lagi...ngeri amatt?”

“Pikiranmu ga usah ngaco kenapa sihh...By, yang positif gitu lahh!”

Kulangkahkan kakiku menuju batuan besar...ahhh...benar-benar segar udara pagi ini, apalagi
di tepi sungai seperti ini. Hari ini sudah hari terakhir KKN kami di desa ini, besok kami
sudah meninggalkan desa Mulya Asih. Dua minggu sudah kami disini, dengan proker yang
harus kami tuntaskan, ya..di masa pandemi ini KKN harus secara daring dan luring. Hari ini
kegiatan proker penutup KKN kami. Semoga perubahan yang kami bawa memenuhi harapan
masyarakat desa. Mulai tahap survei, wawancara, membuat skala prioritas. Konflik itu juga
hadir diantara kami, dari kebijakan yang penting beres, membuat artefak untuk kenang-
kenangan bahkan sampai berkolaborasi dengan berbagai pihak untuk mencapai tujuan.
Ahhh...baru terasa benar-benar lelah raga ini, tapi lega karena rangkaian proker kami telah
terselesaikan. Ku tersenyum tipis membayangkan, hari-hari kemarin, yang penuh dengan
drama bersama ke sembilan anggota tim ku, terutama dengan Queenby.

“Ehhh...malah ditinggal bengong sendiri, senyum-senyum sendiri, kakakkkk..hati-hati ini
tempat sepiiiii...!”

“By...hari ini hari terakhir kita disini, laporan sudah mulai kamu rancang?”

“ Sudah beres Ketua....tinggal dikoreksi, meneruskan hasil monev Pak Dadang tempo hari.”

“Smart, cekatan, salut sama kamu, dan aku...!”

Ucapanku kurasakan menggantung di udara..ahhh Queenby aku begitu mengagumimu,
menyanjungmu dengan segenap rasaku, wajah bidadari di hadapanku membuat hasrat ingin

memilikinya. Tapi ahhh...bayangan senyum manis Vivian berkelebat, dan aku pun tak kuasa
karena rasa ini telah diikat manis oleh gadis berlesung pipi di seberang sana.

“ Dan...kakak apa hayoo...kok ga dilanjut ucapannya?”

“Ah...ehh..ohhh...anuuu..ga ada kokk...” upsss...kok mendadak gagap gini sih...

“Anehh ihh...Kak Keenan...ehhmmm kakkk boleh curhat dikit ga sihhh?”

Kutatap lekat seraut wajah yang tampak polos memohon di hadapanku, Ya..Tuhan semakin
tebal rasa ingin merengkuhnya. Tapi seketika kutepis pikiran anehku, dan kuanggukkan
kepala cepat. “ Apa ..By?” suaraku mendadak serak karena gumpalan rasa tertahanku.

Alisnya terangkat sebelah seolah heran mendengar suaraku, “ Hmmm... kak salah ya jika kita
punya rasa sama seseorang yang sudah punya pasangan, dosa ya kak?”

Deggghhh...pertanyaan yang seolah mampu menembus relung hatiku, bagai anak panah yang
menancap mulus tanpa kendali.

Kuberanikan menatap kedua mata indahnya yang selalu berbinar, dan mata itu seolah
menghujam jantungku, ada sesuatu yang berkilat disana yang mampu membuat lidahku kelu
tak kuasa berkata sepatah pun. Please ...Queenby berpalinglah jangan siksa aku seperti ini.
Seolah tahu yang kuinginkan, gadis itu memalingkan wajahnya ketika tatapanku benar-benar
terpaku kearahnya.

“ Maafkan aku kakk...lupakan!”

Dan tanpa sempat ku tahan Queenby sudah berlalu meninggalkanku, seorang diri di tepi
sungai. Langkahnya ringan menjauh tanpa menoleh ke belakang, kaki rampingnya begitu
lincah melesat diantara bebatuan sungai. Sementara aku mematung dalam kebekuan dan
kebingungan. Kabut sunyi perlahan mulai merayap di hati.

Ah...apakah dia juga mempunyai rasa yang sama selama ini. Seperti aku dalam diamku,
menahan gejolak yang seolah tak teredam, gemuruh yang begitu indah. Aku tak tahu sampai
kapan rasa ini terus tumbuh di dalam dada, haruskah ku sesali dan ku maki takdir ini. Jika
mentari pagi ini bisa mendengar, sayup rintih rasa yang entah harus ditempatkan dimana,
apakah harus tetap tergenggam sebuah rasa yang sebenarnya tak memberi
teduh..Ah...ntahlahhh...waktu ini benar-benar salah. Kuacak rambutku, berusaha lepaskan
pikiran kusut yang merantai otakku.

Ku keluarkan kotak pipih dari sakuku, kuusap wajah bekunya, seraut wajah berlesung pipi
tersenyum manis muncul dilayarnya, seolah mengingatkanku esok aku harus menemuinya
membawakan rindunya kembali, utuh tanpa jeda. Queenby...mungkin takdirmu kelak dalam
rengkuhan hati yang lain pada saat yang tepat, bukan pada hati yang telah berpenghuni,
maafkan aku dengan rasaku By...Cukup jangan pernah diungkap agar tak terlalu menyakitkan
jika rasa tak sanggup bermuara. Karena aku pun tak mungkin menorehkan luka pada hati
yang mengikatku dalam bingkai romansa bersama harap yang tersemat untuk terwujud di hari
yang dinantikan. Bahagia untukmu Queen-ku, meski kamu tidak harus bertahta di istana
rasaku.

----------------------------------THE END-----------------------------

CANDRAKANTI

Oleh:

YuNa

Dahulu kala di sebuah desa yang asri dan sangat subur lahan pertaniannya di bantaran
Sungai Bengawan Solo hiduplah seorang janda dengan anak gadisnya yang mulai tumbuh
dewasa bernama Candrakanti. Kecantikannya terkenal diseluruh pelosok desa, bahkan sampai
di desa-desa tetangga. Desa tersebut memang terkenal dengan kecantikan gadis-gadisnya,
tetapi kecantikan Candrakanti mampu menepis yang lainnya. Keadaan ini membuat
Candrakanti menjadi incaran pemuda di desanya bahkan pemuda desa sebelah untuk
meminangnya. Namun Candrakanti belum juga mempunyai keinginan untuk menyukai salah
satu pemuda-pemuda yang memperebutkannya.

Pada suatu hari Candrakanti menemani ibunya pergi ke pasar desa untuk menjual
hasil pertanian milik mereka. Semua mata begitu terpukau dengan kecantikan anak gadis
Mbok Laksmi tersebut. Dan bisa ditebak dagangan Mbok Laksmi banyak dikerumuni oleh
pembeli terutama kaum laki-laki, sehingga dagangannya cepat habis terjual. Mbok Laksmi
sadar semua itu juga dikarenakan putrinya Candrakanti yang menarik perhatian para pembeli
yang banyak laki-lakinya.

Dalam perjalanan menuju rumah sepulang dari pasar, mereka berpapasan dengan
seorang pemuda asing yang bukan penduduk desa tersebut. Pemuda tersebut bernama
Jayanthaka.

“ Mohon maaf mbok numpang tanya, letak pasar desa di sebelah mana ya, karena saya akan
mengantarkan pesanan barang kesana?’ tanya Jayanthaka pada Mbok Laksmi tetapi matanya
tak lepas menatap Candrakanti. Dalam hati ia begitu memuji keelokan paras gadis itu, dan
menggandrunginya.

“Oalahh..kisanak jalan lurus saja ke selatan ikuti jalanan desa ini, sebelum tanggul disitu
letak pasar desa ini, oya..apakah kisanak bukan warga desa sini, karena saya belum pernah
menjumpai?” ujar Mbok Laksmi sambil menyelidik seraut wajah gagah di depannya.

“Betul Mbok, saya bukan warga desa ini, saya warga desa Patihan, sebelah desa ini.”

“Baiklah, kisanak silakan meneruskan perjalananmu kami pun akan segera pulang, karena
sudah merasa lelah selepas berjualan di pasar” Mbok Laksmi meminta ijin untuk berlalu dari
tempat tersebut. Jayanthaka hanya mengangguk lemah setelah mengucapkan terima kasih,
hatinya serasa tidak rela melepas gadis cantik yang di jumpainya. Tapi dalam hati ia bertekad
untuk bisa menemui gadis itu kembali.

Beberapa hari setelah perjumpaan yang tidak disengaja di jalan desa itu, Jayanthaka
kembali menemui Candrakanti di sebuah acara keramaian yang diadakan yaitu acara
syukuran atas panen berlimpah di desa itu. Candrakanti berbaur dengan teman-teman
gadisnya yang membawa sesajen dan pada saat itu Jayanthaka terus memerhatikannya.
Kemudian menitipkan pesan pada salah seorang gadis yang dikenalnya untuk disampaikan
pada Candrakanti.

“Candrakanti, ada yang menyukaimu dia menitipkan salam untukmu, lihatlah di sebelah sana,
namanya Jayanthaka dia pemuda dari desa Patihan, sepertinya dia begitu mengharapkanmu!”
Candrakanti mengikuti arahan temannya, dilihatnya sosok pemuda gagah yang berdiri
disudut tanah lapang itu sambil tersenyum manis kepadanya hingga membuat Candrakanti
tertunduk malu. Dan begitulah akhirnya mereka saling berkenalan dan dekat.

Dan pada suatu pagi yang cerah Jayanthaka dan Candrakanti saling berjanji untuk
bertemu di sebuah pasar di Medang Kamulan yang terletak sebelah selatan Sungai Bengawan
Solo. Jayanthaka begitu bersemangat untuk menjumpai gadis yang ia gandrungi dan
dambakan, pagi hari itu seusai menyelesaikan pekerjaannya ia bergegas menuju pasar
Medang Kamulan. Ia begitu penuh rasa percaya diri bisa berjumpa dengan gadis idamannya,
kembang desa sebelah yang begitu membuat hari-harinya mendamba. Jayanthaka duduk di
sudut pasar yang mulai ramai, matanya mulai mencari-cari sosok yang dinantikannya. Tapi
tak kunjung dijumpainya, hingga matahari pun menyapa dengan teriknya yang menyengat
kulit, Candrakanti tak juga muncul. Jayanthaka terus bersabar menunggu diantara
kegelisahannya. Hingga semburat jingga menyeruak menggantikan terik yang memilukan,
gadis cantik itu tak kunjung menampakkan diri di depan Jayanthaka. Rasa kecewa
menyelusup dihati Jayanthaka, gadis itu mengingkari janjinya. Tapi ia tetap yakin
Candrakanti pasti datang, ia tetap menunggu dan terus menunggu, hingga senja pamit dengan
menyisakan rasa sakit dan kecewa di hati. Jayanthaka tak bergeming dari tempatnya duduk,
pandangannya mulai kabur dan hampa, saat kebekuan itu merasuk dalam jiwanya. Dan tiba-
tiba dari ujung kakinya berubah membatu dan terus merambat ke atas namun Jayanthaka

tetap tak bergerak. Kebekuan, kerinduan, kekecewaan dan rasa sakit mengubah wujudnya
menjadi arca di tempat itu.

Sejak saat itu warga desa Patihan juga ikut merasakan kekecewaan Jayanthaka dan
memutuskan untuk melarang pemudanya untuk menikahi gadis dari dusun tersebut yang
kemudian hari dinamai dengan Sisir yang artinya naksir. Karena ada pemuda yang begitu
dalam menyukai gadis hingga berakhir menderita. Larangan untuk menikahi gadis dusun sisir
begitu kuat untuk pemuda Patihan karena jika melanggar akan menerima malapetaka dalam
keluarganya. Perkembangan jaman desa tersebut berubah nama menjadi Sukorejo dan
kemudian berganti lagi menjadi Kedungsoko yang artinya suka bersenang-senang, dan
terbagi menjadi beberapa dusun. Namun dusun Sisir masih tetap ada, dan pusat pemerintahan
Desa Kedungsoko, Kecamatan Plumpang, Kabupaten Tuban pun terletak di dusun Sisir.

-----SEKIAN-----

Pesan moral cerita : Berusahalah untuk jujur meskipun akan menyakitkan dan jika membuat
janji harus ditepati, jangan membuat orang lain menderita karena perbuatan kita.

CAKA VITI

Oleh:

Nayla Balqis

Pada jaman dahulu disaat kejayaan Kerajaan Majapahit mulai memudar dan perlahan
runtuh, tepatnya pada abad XV Masehi. Di sebuah daerah di dekat bantaran sungai tepatnya
di sebelah utara Sungai Bengawan Solo sekitar 450 meter dari Sendang Beron berdirilah
sebuah dusun bernama Sugihan Dhuwur atau dikenal dengan sebutan Han Dhuwur. Nama
Sugihan diambil dari nama sang pendiri yaitu Mbah Sugihan yang masih merupakan kerabat
dari Sunan Bonang. Kata “Sugihan” dalam bahasa Sansekerta/Jawa Kuno mempunyai makna
atau arti mensucikan alam pribadi yaitu jiwa kita sendiri. Desa Sugihan merupakan desa
seniman dan desa wirausaha. Banyak seniman terlahir dari desa itu. Desa yang dari hari ke
hari semakin ramai karena ada sebuah pasar yang berdiri di desa tersebut, sehingga
masyarakat semakin mengembangkan usahanya dan masyarakat desa sekitar pun berbelanja
di desa Sugihan. lambat laun pasar desa Sugihan menjadi sentral transaksi jual beli yang
paling ramai.

Desa Sugihan Dhuwur atau Han Dhuwur mempunyai mitos bahwasanya kepala
keluarga disitu tidak boleh melebihi dari 13 Kepala Keluarga, apabila pantangan itu dilanggar
sesuatu hal akan terjadi dan menimpa warga dusun tersebut. Sebagian masyarakat yang
mempercayainya memegang teguh pantangan tersebut tetapi bagi warga yang tidak percaya
bersikap mengabaikan pantangan dan menyetujui jika ada warga pendatang yang ingin
menetap. Sehingga pertentangan itu pun terjadi.

Pada suatu ketika wabah melanda desa, penyakit yang tidak biasa menjangkiti warga.
Penyakit yang menular dan mengakibatkan warga meninggal dunia setelah beberapa hari
terserang penyakit tersebut. Kepanikan warga semakin tak terbendung, pasar menjadi sepi.
Saling mencurigai antar warga karena perbedaan keyakinan atau kepercayaan tentang mitos
yang ada membuat suasana desa berubah tidak tentram.

Sampai pada suatu hari datanglah sepasang prajurit dari Mataram, prajurit itu bernama
Caka Viti yang merupakan srikandi Mataram dan suaminya yang bernama Arya Lembu
Peteng. Mereka datang dengan maksud mencari tempat persinggahan, dan tibalah di Desa

Sugihan Dhuwur atau Han Dhuwur. Melihat kondisi yang miris warga desa, pasangan
tersebut kemudian berniat menolong. Arya Lembu Peteng yang juga seorang tabib, segera
meracik obat-obatan untuk mengobati warga desa dari wabah yang menyerangnya. Namun
tak semudah yang mereka kira, ada penolakan-penolakan dari warga yang begitu menyakini
mitos jika ada warga tambahan bencana itu akan terus mereka alami. Pasangan tersebut
ditolak dan diusir dari desa, tapi ada beberapa warga yang menyambut mereka dan memohon
pertolongan mereka.

Akhirnya dengan segala daya upaya Caka Viti yang juga merupakan pertapa dan Arya
Lembu Peteng dengan kemampuan meracik obatnya mereka berusaha membantu warga yang
membutuhkan. Caka Viti dengan kelembutan dan kebijaksanaannya mengajarkan ajaran budi
luhur dan tatanan kehidupan. Sehingga membuat warga merasa tentram dan damai dengan
ajarannya, begitupun upaya yang dilakukan sang suami Arya Lembu Peteng unyuk
menyembuhkan warga dari wabah membuahkan hasil. Sebagian warga yang ditolongnya
sembuh dari penyakit yang mematikan itu, dan berniat belajar ilmu pada pasangan suami istri
tersebut.

Berita kesembuhan sebagian warga karena pertolongan Caka Viti dan suaminya
menyebar luas di seluruh Desa Sugihan Dhuwur, dan akhirnya membuat mereka datang
berbondong-bondong untuk meminta pertolongan pada pasangan suami istri tersebut.

“ Sinuwun, tolonglah kami, sembuhkan kami dari penyakit laknat ini!” Mereka menghiba
bersimpuh didepan Caka Viti dan Arya Lembu Peteng. Suara rintihan dan tangis putus asa
hadir sehingga membuat pasangan suami istri itu merasa iba.

“Bersabarlah kalian semua, penyakit ini adalah ujian untuk kita memohonlah ampun pada
Sang Kuasa, semoga kalian segera mendapat kesembuhan!” suara Caka Viti menyeruak
diantara tangisan pilu dan keputus asaan. Seperti terhipnotis mereka perlahan bisa
menenangkan diri. Selanjutnya dengan dibantu warga yang telah terbebas dari wabah,
sepasang suami istri tersebut mengobati penyakit warga yang masih menderita.

Waktu terus bergulir, pasangan prajurit Mataram itu kemudian diterima di desa
tersebut, dan akhirnya tinggal menetap. Kondisi desa kembali seperti sediakala, nyaman dan
tentram. Caka Viti terus menerus mengajarkan ajaran budi luhur, dan selanjutnya menjadi
sesepuh Desa Sugihan Dhuwur yang masyarakatnya kemudian menyebutnya dengan Mbah
Buyut Sarah. Setelah memantapkan syiarnya, Mbah Buyut Sarah akhirnya mangkat (wafat),

dan dimakamkan di dekat makam Mbah Sugihan. Dan untuk menghormati kedua tokoh
tersebut, digelar sedekah bumi/manganan setiap tahunnya dengan pagelaran wayang kulit.

-----------SELESAI-----------

BEGEDE BUYUT SANTRI

Oleh:

Khenda Khalifatama Moda

Pada jaman dahulu kala ada sebuah desa yang terpencil, terletak di sebelah selatan
Gunung Lai. Desa itu dikenal dengan sebutan Desa Palem. Pada suatu ketika Gunung Lai
meletus, lahar dari letusan gunung tersebut mengenai desa Palem. Kondisi desa hancur luluh
lantak karena terjangan lahar. Sehingga seluruh warga dengan sisa-sisa harta benda yang bisa
dibawa berbondong-bondong menyelamatkan diri ke arah tenggara, menuju sebuah hutan.
Dimana hutan tersebut banyak sekali pohon kepoh, sebagian dari mereka mebuka hutan
tersebut untuk dijadikan pemukiman ( sekarang menjadi desa Kepohagung). Dan ada juga
yang menyelamatkan diri ke arah timur menuju hutan yang mayoritas tumbuh pohon
kesambi, yang akhirnya meluas menjadi sebuah pemukiman. Sehingga oleh penduduk
setempat dinamakan Desa Kesamben. Mereka memulai kehidupan baru di dua tempat baru
tersebut, berusaha menata kembali kehidupan yang sempat berantakan karena musibah dari
letusan Gunung Lai.

Pada zaman kekuasaan kerajaan Mataram ada salah seorang ulama dari Desa
Muntilan Jawa Tengah yang menyebarkan agama Islam. Beliau berkelana dari tempat yang
satu ke etempat yang lain dan sampailah di Desa Kesamben. Ulama tersebut bernama
“Begede Buyut Santri”. Beliau begitu gigih dalam menyebarkan ajaran dan syariat Islam.
Perjuangan dan dakwah beliau tidaklah sia-sia dikarenakan banyak penduduk yang mengikuti
ajarannya yaitu memeluk agama Islam. Makin lama desa tersebut berkembang dan meluas.
Penduduk bertambah dan semakin banyak, yang kemudian menjadi desa yang sejahtera
gemah ripah loh jinawi. Tatanan baru yang mereka bangun memmbawa perubahan pesat bagi
kehidupan mereka.

Hingga pada suatu ketika oleh karena kuasa Tuhan, penduduk yang semula sejahtera
lahir batin kemudian diserang wabah penyakit “sogok petek urus-urus” atau yang saat ini
lebih dikenal dengan sebutan muntaber. Satu per satu warga desa terjangkit wabah tersebut.
Jika ada orang terkena wabah tersebut maka bagian badan terasa panas, dan terus menerus
mengeluarkan cairan baik itu muntah-muntah dan terus menerus buang air yang kemudian
pada malam harinya meninggal dunia. Wabah tersebut semakin meluas dan menyebar
dengan cepat. Warga desa semakin dilanda kepanikan ,karena semakin banyak penduduk

yang meninggal karena wabah tersebut. Akhirnya mereka berbondong-bondong mendatangi
Begede Buyut Santri, meminta pertolongan untuk bisa mengatasi pageblug yang melanda.
Maka sebagai seorang yang menjadi panutan penduduk desa, Begede Buyut Santri segera
mengambil tindakan dengan mengutus seorang pande besi bernama Cokriyo untuk pergi ke
daerah Blitar guna mencari tumbal untuk mengatasi wabah atau pageblug tersebut.

Sepulang dari Blitar, Cokriyo membawa dua tumbal yang berupa pusaka. Pusaka
tersebut bernama Treppan dan Watusoko. Treppan berasal dari dua kosakata yaitu trep yang
berarti mancep dalam istilah bahasa Indonesia disebut tertanam, dan yang kedua berasal dari
kata pan yang berarti mapan. Yang bertujuan siapa saja yang menghuni wilayah Desa
Kesamben akan hidup mapan sejahtera lahir maupun batin. Sedangkan Watusoko juga
berasal dari dua sukukata, watu dan soko. Watu berarti batu dan soko berarti cagak atau tiang.
Dengan tujuan agar banjir lahar tidak masuk lagi ke Desa Kesamben. Harapan dengan adanya
kedua pusaka tersebut bisa menjaga desa dari segala bala yang hadir di Desa Kesamben.
Kedua pusaka Treppan dan Watusoko kemudian ditanam di dua tempat yang berbeda.
Treppan ditanam ditengah-tengah desa sedangkan Watusoko ditanam dipinggir desa. Dan
perlahan wabah pun hilang dari Desa Kesamben. Warga desa merasa bersyukur dengan
hilangnya wabah tersebut, mereka semakin mengelu-elukan Begede Buyut Santri.

Setelah bencana itu dapat teratasi keadaan pendududk desa semakin sejahtera lahir
dan batin. Kemudian Begede Buyut Santri dengan dibantu santri-santrinya dan masyarakat
sebagai wujud syukur mereka berencana untuk membangun sebuah masjid dengan
mengumpulkan batu-batu putih. Akan tetapi sebelum selesai masjid itu dibangun, Begede
Buyut Santri dipanggil oleh Allah SWT. Bekas tempat yang semula untuk mendirikan masjid
dinamakan “Semigit” padahal yang benar nama tersebut adalah “Masjid” yang lokasinya di
timur Desa Kesamben. Sedangkan makam beliau berada di pinggir desa sebelah timur yang
sering disebut oleh warga Desa Kesamben dengan sebutan “Cungkup”. Dan sampai saat ini
makam tersebut masih senantiasa dihormati oleh warga Kesamben, dengan rutin
menyelenggarakan kegiatan sedekah bumi.

--------------SELESAI------------

GENDHING SEKAR WARANGGANA
Dening
Yu Na

"Mbahh .... kulo pun kesel!" Ujarku nalika narik napas sing katon kaya nemplek ing
rongga dodo, aku nyelehke sirah ing pangkonan kang ringkih.. Aku krasa usapan alus ning
sirahku,, banjur pijetan alon ing tengkukku. Hmm .... rasane nyaman tenan kaya ngene. Tak
angkat sirahku, tak delengi kanthi setiti pasuryan sing lancip tuwa nanging garis-garis ayune
isih katon jelas lan ora luntur amarga wis tuwa. "Mbah ... kulo badhe kendel." Aku krasa
tangan sing wis ngelus-elus lan mijet sirahku dumadakan beku. Aku nuli tangi lan lungguh
ing sandhinge.

"Simbahh ... saged nggih?" Aku ngrajuk ngalem. Sepi, bisu mancep ing mbale sing
nduweni nuansa coklat amarga tembok kang digawe saka papan kayu jati sing dipoles plitur.
Mbale papan panggonan kawit aku cilik gawe papan dolanan, guyonan, nangis lan apa wae.
Aku nggoleki wangsulan ing pasuryan tegang kanthi tutuk sing kekunci rapet. Ah ... bisa uga
Simbah isih padha karo wingi, sanajan ing wulan sadurunge, ora seneng karo panjalukku,
kuciwa karo apa sing dakkarepake. Aku meneng wae, nyoba golek tentrem karo gumuruh
sing ngancani menenge Simbah.

"Kanigara Larasati!"
Nah ... bener .... iki tegese wejangan kanthi runtun bakal diwiwiti. Lan aku kudu siyap ngunci
tutuk supaya ora nyuwara, ngindhari obah sanajan mung nggeser awak. Amarga yen
jenengku lengkap diarani, dhawuhe Simbah kaya sabda Pandhita Ratu. Kudu dirungokake lan
ditindakake. Gusti Allah .... nganti kapan. Lungkrah lesu rasa ragaku.
"Jenengmu Kanigara Larasati, apa kowe kelingan apa tegese?"
Aku mung iso manthuk alon.
"Sekar srengenge ingkang kokoh lan mboten gampil nyerah nglampahaken gesang.”
Pandelenge Simbah sing landhep nancep ing njero atiku.
"Kowe kuwi nembe mlaku, kenapa kudu sambat, kudu nyerah, kowe kudu ngerti, kowe kuwi
lair saka kekuwatan Laras!"
Tumetesing luh ora krasa teko alon-alon ngiasi ana ing pipiku nglebur dadi sawiji ing
swasana.

Kaya sadurunge aku kangen marang ibu, ibu sing durung nate dakrasa kekepan angete,
sentuhan lembute,swarane sing manis merdu ngundang aku lan pandangane sing maha asih.
Aku ora nate entuk, mung saka Simbah kabeh sing dakkarepake saka ibuku dituturake.
Ibu sing wis tilar donya lan nyerah marang aku nalika kudu menehi salam marang jagad iki
sing dakrasakake saiki pancen nyesekake reged lan nginaake kahananku.

Aku Kanigara Larasati lair saka waranggana tayub, sing saiki uga dadi
penggaweanku. Aku lair tanpa ana bapak sing ana orane isih didhelikake saka aku nganti
saiki.
Simbah mung ngandhani yen bapakku minangka pejabat, lan aku ora bisa ketemu. Wong
tuwa bapakku ora pengin ibu dadi mantune, amarga waranggana tayub minangka
penggawean sing disepelekake. Ledhek, waranggana, sing dadi panglipur,ala lan ora apik.
Ora miturut kriteria wong tuwa bapakku.

Amarga iku, nganti ngancik umur 22 taun iki, aku ngubur rasaku supaya ora bisa
tresna. Aku wis dadi waranggana suwene limang taun, wiwit lulus SMA, aku mutusake
ngilangi kabeh rasane luwih dhisik, supaya wong liya ora ngganggu rasa mau. Kanigara
Larasati, sawijining waranggana tayub sing cukup misuwur. Wong-wong ujar manawa aku
minangka waranggana kang ditresnani, waranggana sing mesthi dikumandhangake ing
saindenging kabupaten. Bareng jenengku kanthi sampurna. Amarga jarene wong parasku
kaya srengenge tiba kanthi kulit kuning, alis kandel kang tumata lentik, mripat sing redup,
rupane sing manis, ahh ... aku ora ngerti apa sing dianggep wong lan Simbahku dhewe. Kuwi
sala minangka gawe penarik kajaba ketrampilan nembang lan nari kanthi ora nate mandheg
anggonku makarya nrima penggawean saka papan siji kanthi liyane

Nanging aku kesel banget, amarga aku kudu main drama sajrone uripku. Aku kaya
kelangan wektu mudhaku, ora ngerti apa iku mlaku metu bareng kanca-kanca utawa
rumangsa katresnan. Kabeh dijupuk kanthi peksa amarga aku kudu nerusake warisan leluhur
iki. Amarga Simbah uga dadi waranggana tayub mbiyen. Nanging beda karo ibuku sing ora
bisa nyawiji karo bapakku, almarhum Mbah Kakung minangka niyaga, wong kang
penggaweane nabuh gamelan. Sing mesthi setya ngancani Simbah Putri ing endi wae ono
tayub.
"Laras, tetep ngadeg ing antarane sikilmu, aja golek dhukungan, sanajan kowe bisa
nindakake, kowe kuwi dadi kembange waranggana, kowe sing dipuja, ditresnani lan
digoleki!"
Simbah, njulurke astane, nyekel tanganku, ngusap-ngusap driji-drijiku.

"Drijimu sing lentik bakal terus nari, nambah swasana sing ora bisa dituduhake waranggana
liyane, yaiku kekuwatanmu Laras, lan kowe oleh kabeh sing diduweni Utari - ibumu,
parasmu, awakmu, swara lan kemayune kabeh tumitis marang kowe! " sapasang socane
Simbah kaya mengkilat nalika ngirim ukara pungkasan. Lan ... ahhh ... maneh aku kangen
ibu.

Nalika sore iku, ana antarane gelaran permadani kang nguning ing wates desa, dak
sapokno pandanganku. Swasana ing desa wis wiwit sepi, para tani padha gage mulih.
Sepedha minion rakitane Pakdhe Handoyo dak tumpaki alon-alon, aku mung pengin
ngrasakake swasana sore uwal saka belenggu biasane. Amarga sesuk aku kudu nari maneh
ing wilayah tetanggan kanggo ritual manganan utawa sedhekah bumi.
Dumadakan..wushhhh .... grubyakkkk .... pitku gojag-gajeg, aku mumbul ing pinggir dalan
sing ora aspal, aku lungguh, ngusap tungkak sing lara, bisa uga kesleo. Aku weruh montor
kaya Jeep warna perak, mandheg sawetara meter ing ngarepku, dalan kayane wis sepi. Aku
nggatekake montor kuwi, waduh ... montor klasik kok ing deso kaya ngene. Amarga wis jelas
yen mobil regane luwih saka 1,5M, sanajan sepisanan katon montor offroad. Aku gremengan
rada lara, nanging saka sudut mripatku aku weruh ana wong sing metu saka montor.
Sandhangane pancen apik banget lan modern, wiwit sepatune nganti kaos sing dienggo lan
ulaa-laaa ,,, Aku kaya ndeleng rupane artis K-POP senenganku ing ngarepku.
"Hai ... sampean ora apa-apa?" Aku krungu dheweke ngomong karo aku.
"Awww ....!" Aku njerit kanthi spontan nalika tangane ndemek lengenku, sepisan amarga aku
rada kaget nampa tumindak kaya ngono lan sing nomer loro dakrasake lara tenan.
"Sepurane ...sepurane.. Aku ora sengaja, monggo dak terake sampeyan menyang klinik sing
paling cedhak!" jarene bingung lan kaget.
Aku mesam mesem, ndeleng ekspresine, lan deggggg .... apa iki ... ana rasa aneh sing nresep
ing dodo. Deg-degan atiku kaya ora mandheg nalika sapasang mripat kasebut mandeng
banget marang aku. Ora ... ora bisa ... ora ana ... utamane karo makhluk iki ing ngarepku.
"Mbak ...sampean apik-apik wae kan?" dheweke takon manawa mastekne.
"Emmmm ... ya ora apa-apa!" Aku mangsuli sok kuwat, lan ora pengin nuduhake ekspresi
sing lemes amarga lara, amarga tumindakke nganti nggawe aku kesrempet.
Nanging, sik.., biasane wong kutha katon egois lan ora pengin disalahake, malah bakal
nggatekake apa sing diduweni ana sing rusak opo ora kaya kedadeyan saiki, nanging ahhh ....
wong iki pancen beda banget.
"Oh ... aku kudu nggawa sampeyan menyang klinik?" dheweke nawaake maneh.
"Oh ... ehhh ... ora ... ora usah ... aku bisa mulih dhewe!"

"Mulih, apa sampeyan yakin ora prelu dipriksa dhisik?" pitakone kanthi nada kuwatir.
Duh ... Gusti, ekspresine kok gawe rasa atiku aneh tenan .... nganti sikilku krasa lemes.
"Ok ... Aku bakal nggawa sampeyan mulih, omahmu ing endi, adoh saka kene apa ora?"
pitakone kanthi ora mandeg.
Aku tangi, ngadeg, ngresiki rereged lan suket sing nemplek ing clana jeansku kang cekak
sadhengkul,
"Aku ora apa-apa lan aku ora butuh sampean nggawa aku!" Eitsss ... ono opo karo aku,
dumadakan aku ora grapyak kaya ngene, karo wong apik sing rumangsa salah lan menehi
pitulung. Apa gawe mupus lan ngilangake rasa aneh sing teko kanthi dumadakan . Katon
dheweke ngerutno bathuke lan ngeningake alis kandele pratanda gumun.
. "Ok..ok..sakkarepe sampeyan, nanging sepurane aku kudu cepet-cepet nemoni wong ing
desa iki!"
Aku manthuk ora preduli, banjur aku njupuk pitku sing dununge ora adoh saka papane aku
tiba, kanthi langkah rada pincang nahan rasa lara dak coba numpaki pitku.
"Sampeyan yakin ora apa-apa, aku njaluk sepura sepisan maneh!"
Banjur wong lanang mau ngalih, balik menyang montore lan ninggalke aku sing nahan lara
nalika alon-alon mancal pitku kanggo mulih.
Tekan omah, aku kaget tenan, ndeleng montor sing nyrempet aku, lagi diparkir kanthi apik
ing pelataran.
Aku nyelehake pitku ing sisih omah utama sing digawe khusus dadi garasi dening Simbah.
Banjur aku mlebu omah saka lawang sisih, sawise sawetara suwe aku ngrungokake
omongane Simbah lan dayohe. Aku ngresiki sikil lan tangan saka rereged, banjur nyoba
nyedhaki mbale kanggo ngerti sapa dayohe Simbah kasebut.
Duh Gusti .... wong lanang sing nabrak aku sadurunge ... ono opo dheweke ketemu karo
Simbah?
Brak ,,, awakku ora sengaja nabrak guci kayu gedhe sing diatur ing antarane lawang sing
nyambungake ruang ttengah lan mbale.
Lan wis mesthi, Simbah langsung ngerti sapa sing nyebabake kerusuhan kasebut.
"Laras, wis mulih nduk?"
"Eh anuuu ... inggih Mbah!" Aku gagap amarga ora bisa uwal.
"Ayo mrene nduk, ana tamu saka kutha, sing kepengin ketemu lan menehi kowe kerja sesuk!"
"Lohh mbahh .. benjing sampun wonten acara makaten!" Aku mlaku nyedhaki, wong lanang
mau katon kaget, amarga dheweke ora nganggit bisa ketemu maneh.


Click to View FlipBook Version