JINGGA
Mariratul Mawaddah, M.Pd.
dan
Muhammad Fikri
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala syukur kehadirat
Allah yang selalu melimpahkan berkah dan
rahmat kepada kita semua. Sehingga buku
“Jingga” karya Mariratul Mawaddah, M.Pd.
(guru Bahasa Indonesia SMP Negeri 3 Ampek
Angkek) bersama siswa bimbingan menulis
yang dibimbingnya Muhammad fikri ini dapat
diselesaikan dengan baik.
Tujuan penulisan buku ini adalah
sebagai salah satu bentuk giat literasi bagi
guru dan siswa di SMP Negeri 3 Ampek
Angkek. Siswa yang memiliki bakat dan minat
menulis dibimbing terus menerus hingga dapat
melahirkan karya yang layak untuk dibaca.
Mengajak anak menulis sejak dini, sebagai
salah satu bentuk dukungan terhadap program
pemerintah.
Menulis puisi membutuhkan kekayaan
diksi dan kedalaman perasaan
pengarangnya.Namun meskipun sulit, pada
akhirnya buku ini selesai ditulis.
Yetti Yulia, M.Pd.
Tentang Cinta yang Buta
Mariratul Mawaddah
Duhai jingga
Padamu kusenandungkan kidung luka
Tentang cinta yang buta
Tentang jalan yang berliku
Duhai jingga
Meski tak terikat temu
Ada syahdu yang memburu
„Tuk bercerita tentang kisah yang berdebu
Kutapaki lorong waktu yang berlalu
Sungguh aku ingin berlalu
Melangkah jauh
Membiarkan asaku menuju titik temu
Seperti kapal yang berlabuh
22.30
Mariratul Mawaddah
Jarum jam terus berlari
Menyambut dua yang terlelap hingga fajar
Remuk
Redam
Lelah
Letih
Menyatu dalam irama petikan jarum jam
Kantuk mulai menyerang
Tulang mulai mengerang
Ah...
Aku ingin pergi
Aku ingin lepas
Terlalu banyak kepalsuan di sana
Jiwa-jiwa Sakit
Mariratul Mawaddah
Bekerja karna ingin dilihat
Berbuat hanya untuk menjilat
Berlagak, hanya terlihat
Sakit...
Jiwa-jiwa sakit sedang bercengkrama
Menggenggam ambisi dalam bongkahan
kesombongan
Penguasa sedang merakit robot-
robot
Yang tak punya hati dan rasa
Merelakan mata melihat pedih dan
perih
Aih ambisi dan
Tak perlu lakumu itu
Mata-mata jernih di sini
bisa melihat bongkahan
kepalsuanmu
Negeri Para Bedebah
Mariratul Mawaddah
Kabut masih saja menyambut
Menyambangi wajah-wajah sembraut
Yang kian lantang menuntut
Segala titah tak patut
Harta masih saja menggila
Gila masih saja bertahta
Tahta masih saja menduduki
Menggilai para bedebah
Ahai....
Untuk apa para pemimpin yang berlagak
piawai
Jika dusta masih saja membuai
Ah negeriku...
Tak Kunjung Terjawab
Mariratul Mawaddah
Pada hujan kusampaikan segala tanya
Yang tak kunjung kutemukan jawabannya
Pada hujan kuteriakkan suara yang tak
kunjung keluar
Pada hujan kuceritakan segala kisah
Yang tak bisa kubagi denganmu
Apa hanya aku yang selalu berbinar menatap
hujan?
Meski kadang dinginnya memedihkan
hidungku?
Apa hanya aku yang selalu ingin menulis puisi
ketika hujan turun berderai?
Ah hujan
Andai saja harga diriku tidak menahan kakiku
Untuk berlari ke arahmu
Kepalsuan
Mariratul Mawaddah
Senja mulai menyinsing
Menyisakan hingar bingar dan bising
Meski hidup terkadang berteman pusing
Kubiarkan menyambut langit yang menguning
Tetiba rintik hujan datang membawa sejumput
awan dalam kenangan
Kutanya pada angin, kabar apa yang kau
bawa untukku kawan?
Sesungging senyuman getir kau berikan
sebagai jawaban
Aku juga tersenyum memandang dunia yang
penuh kepalsuan
Sebingkai Senyum
Mariratul Mawaddah
Manis tapi bukan rasa
Indah tapi bukan pemandangan
Sejuk tapi bukan udara
Nyaman tapi bukan suasana
Hadirmu getarkan rona dalam dada
Melihatmu mengalirkan darah dalam degup
jantung yang kian memacu
Bersamamu bagaikan debur ombak
Yang hadirkan merdu dan syahdu
Apa dayaku
Bila senyummu sudah menjadi candu
Yang tak sanggup kulepas
Meski tak lagi memeluk waktu
Nyanyian Hujan
Mariratul Mawaddah
Hujan masih saja turun
Memberi senyum pada sejumput asa yang
menggantung
Membumbungkan angan pada langit yang
menghitam
Aku masih saja di sini
Menanti tarian jarum jam
Berharap waktu mengantarkan anak-
anakku pada impian yang
mengangkasa
Tak sabar kulihat masa depan
Akankah anak-anakku
Tetap menjadikanku bidadari?
Pada hujan kutitipkan tenang
Yang bergelayut di dedaunan
Kubiarkan angin berhembus
Menyambut helaian rambutku
Menyibaknya perlahan
Membisikkan damai yang berjumawa
Mengenang kisah yang menggoreskan luka
menyayat kalbu
Petir dan halilintar mengoyak-ngoyak
damaiku
Mencoba merenggut hati merah jambu
Pada hujan kusembunyikan segala rasa
Menanti tetesnya
„Tuk hapus luka yang kini bertahta
Kau tidak pernah tau
Kuatnya akar pohon cintaku
Hujan menjaganya tumbuh subur
Angin membuat bunga cintaku mekar
Lalu tiba-tiba petir dan halilintar datang
Mematahkan rantingku
Karna silau dengan hati merah jambuku
Hujan masih saja menjaganya
Meski dingin selalu iringi kedatangannya
Kenapa hujan masih mengundang
candu?
Pada untaian kata yang tak henti
menari
dalam bait-bait sajak yang
kusenandungkan
Taman Hati
Mariratul Mawaddah
Tidakkah kau lihat
Wajah-wajah lusuh dengan pakaian kumuh
Kulit legam terbakar teriknya mentari
Menyisir jalanan tuk sesuap nasi
Sedangkan kau duduk sepi
Dalam ruang penuh dimensi
Dengan topi dan dasi
Lihatlah dalam rona yang kian pudar
Resapilah di antara hari yang kian mati
Yang enyahkan segala peri
Tak bisakah kau sisipkan sebuah pelangi
Sekedar „tuk berbagi?
Kupaslah lapisan egomu warna
Tamballah retakan moralmu
Tatalah tatanan kalbumu
Hidupkanlah lentera kalbumu
Agar hidupmu dipenuhi gradasi
kehidupan
Bila
Mariratul Mawaddah
Bila ombak tak mampu mengantarku pada
damai yang bertahta
Haruskah aku melangkah pergi?
Bila riak mengiringi setiap langkahku
Haruskah aku berhenti di sini?
Bila tajamnya karang menggores kakiku
Haruskah langkahku terhenti?
Ombak, riak, dan karang adalah selaksa laut
Padanya kutitipka damai
Kubuang segala gejolak yang merongrong
Agar pagi esok dapat kusambut dengan seutas
senyuman termanis
Tarian Pena
Mariratul Mawaddah
Meski hujan tak lagi hadir
Sejuknya kan senantiasa mengalir
Meski raga tak bergerak
Bayangnya kan tetap hadirkanmu pada asa
yang berdetak
Detak asamu adalah denyut nadiku
Mengalun mendayu getarkan kalbu
Langkahmu kan slalu kutunggu
„Tuk tapaki tangga berliku
Teruslah menari menata kata
Hingga goresanmu menjadi nyata
Teruslah merangkai untaian kata
Hingga kau dikenang sepanjang masa
Senyum Mawarku
Muhammad Fikri
Tak hilang diingatanku
Senyum indah itu
Memanjakan mata seketika
Membuat mata tak bisa berkedip
Membuat mata tak bisa berpaling
Dari senyum merona itu
Hati seakan membutuhkan senyuman itu
Mata seakan mencari senyuman itu
Untuk dapatkan kedamaian
Senyum indah itu
Kan kubuat kekal di bibir mawarku
Kan kubuat senyum itu selalu terpancar
Sebagai sumber kebahagiaan
Mawarku
Muhammad Fikri
Lembut tanganmu bagai salju
Beri rasa baru untukku
Dingin tanganmu padamkan amarah dalam diri
Wajah indahmu bak mutiara di mataku
Bagaikan kilauan permata
Menerangi setiap tatapanku
„Tuk langkahkan kaki di luasnya bumi
Dalam ingatanku selalu tertanam wajah
indahmu
Dirimu takkan pernah tergores waktu
Akan lekang dalam ingatanku
Sepanjang Waktu
Muhammad Fikri
Kasihmu sepanjang waktu untukku
Tak habis dimakan waktu
Sejuta impian
Kau berikan untukku
Agarku bisa berjalan di atas kebahagiaan
Kasihmu sepanjang masa
Rinduku setiap saat untukmu
Walau wajahmu tertanam di benakku
Tapi mata ini slalu merindu senyummu
Kasih Sayangku
Muhammad Fikri
„
Dilemaku
Memilih harum atau wangi
Meninggalkan sepi atau kesendirian
Melangkah ke hulu atau ke hilir
Namun kini „tlah pasti
Aku memilih malam menyelimuti tubuhku
Ditemani dingin
Dibalut kesepian
Semua untukmu
Agar malam tak perlu menyelimutimu dengan
dingin
Agar sepei tak menemanimu
Agar tak satu tetespun bulir bening membasahi
pipimu
Asaku dalam Rangkulanmu
Muhammad Fikri
Meski kertas telah ternodai
Penuh dengan bercak pelangi
Namun putihnya kan slalu terkenang di hati
Walau asa telah mendaki
Menusuk belukar-belukar berduri
Namun namamu kan slalu tersimpan di hati
Semangat dan keinginan
Tak terpisahkan dari dinginnya tanganmu
Menumbuhkan dan merangkul sejuta impian
„Tuk wujudkan angan di masa depan
Bundaku
Muhammad Fikri
Wanita surga di tatapanku
Hatinya lembut bagaikan salju
Putih kulitnya seperti susu
Memberi warna di kehidupanku
Walau hitam kutorehkan
Namun hatinya masih putih
Walu duri kutancapkan di hatinya
Namun hatinya masih putih
Itulah bundaku
Wanita cantik bidadari hatiku
Harumnya seperti wangian surga
Lembut tangannya bagaikan sutra
Senyumnya seperti kelopak mawar
Indah memanjakan mata
Kopi
Muhammad Fikri
Sejenak menepi
Memandang hitam menyepi
Berlumur putih tertutupi
Bersatu dalam sepi
Bersama namun terurai
Karna panas menyelimuti
Kopi dan bundaku
Bagai dua sejoli
Bersama saat lelah menyelimuti
Berdua di saat mentari telah tertutupi
Memberi setetes kenyamanan
Meski tak bersama dalam kebahagiaan
Namun mengalun dalam kenyamanan
Sepangkuan dalam Kebhinnekaan
Muhammad Fikri
Kita tak perlu egois
Kita tek perlu bermulut manis
„Tuk menikam cita-cita yang membayang
Bagai mematahkan setangkai mawar yang
mengembang
Kita tidak perlu berseberangan
Walau langkah bertabrakan
Walau mulut bersinggungan
Namun jiwa tetap sepangkuan dalam
semangat kebhinnekaan
Kebhinnekaan
Kata penuh kedamaian
Menyimpan sejuta tangga persatuan
Memeluk hasrat „tuk masa depan
Bersama kita di sini
Menggenggam sejuta asa
Menepis segala beda
Perbedaan akan indah dengan tepa selira
Memadukan segenap beda
Dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika
Jalan Bersimpang
Muhammad Fikri
Lafaz azan dilantunkan di telinganya
Merdu mendayu kirimkan pesan kehidupan
Gelap dan terang bergulir tiada henti
Meniti waktu silih berganti
Lentera yang dikalungkan padanya
Jadi duri melingkat di lehernya
Lisan bersimpang di telinganya
Langkah tak sejejak mengikutinya
Tidakkah engkau menyadari
Usia yang kian meninggi
Namun hatinya kian terlucuti
Tergores dengan ego yang meninggi
Tak bisakah sedikit mengalah
„Tuk sekedar mengobat lelah
Tak bisakah meluluhkan amarah
„Tuk sekedar penawar lelah
Biar
Muhammad Fikri
Biarkan mentari hadir
Mekarkan kuncup yang bersemi
Tumbuhkan tunas yang menanti
Biarkan waktu bergulir
Hantarkan siang pada malam
Temani tidur sang pemimpi
Biarkan asa tetap bertahta
Menanti embun jadi permata
Hingga bangga tertanam di jiwa
Saat asa menjadi nyata
Duri adalah kunci
Pembuka gembok hati
Untu senantiasa berbakti
Nyanyian Perdu
Muhammad Fikri
Walau untaian kata tak bisa lagi kusyairkan
Namun nadanya akan selalu bergema
Mengirimkan nyanyain perdu
„Tuk sampaikan rindu yang kian membara
Kidung lara tak menjadi nada di telingaku
Meski gemanya membahana
Menikam pesan yang kulantunkan untukmu
Ku hanya termangu kala itu
Berharap pesan yang kulantunkan
Tak sekedar melambai di telingamu
Meraba hatimu yang suci itu
Bocah Di Ruangan Sempit
Muhammad Fikri
Kutatap bocah-bocah di ruangan sempit
Berkumpul seperti tak bernyawa
Menatap nanar di layar kaca
Termangu tanpa tegur dan sapa
Kemanakah canda dan tawa?
Yang mencerminkan wajah penuh rupa
Kemanakah rasa berbagi?
Yang selipkan rasa mengasihi
Kemanakah candaq dan sapaan
Hilang ditelan kemajuan zaman
Memakan kehangatan dalam dekapan
Sembunyikan salam dalam kebisuan
Lihatlah sekelilingmu
Ada gudu yang sendu
Ada ketapel yang menatap pilu
Ada ayunan yang merindu
Menunggu tangan kecilmu cairkan lisan yang
membeku
Lihatlah tumpukan buku dengan gambar
penuh warna
Menatapmu penuh tanda tanya
Dengarlah nyanyian syahdu
Yang melantunkan alunan lagu
Yang menatapmu tak tentu
Mungkinkah
Muhammad Fikri
Gelap tak henti meyapaku
Hadirkan sepi yang menunggu
Hantarkan mimpi yang terselimuti
„Tuk gapai asa yang tertutupi
Mungkinkah lenteraku menyala?
Menyinari langkah yang terhenti?
Dihadang gelap yang menghalangi
Menelan asa yang tertutupi
Kuhanya termangu
Mungkinkah asaku menggerus
Tergores karena mimpi yang tak berlandas
Ku tak tahu
Andaikan gelap bercahaya
Tampakkan jalan tuk gapai asa
Terangi langkah di masa depan
Lumatkan bisu dalam kebahagiaan
Mekar
Muhammad Fikri
Dekapanmu beriringan dengan kehangatan
Menyentuh sukma yang kian mendingin
Hantarkan kenyamanan
Hilangkan rindu yang kian mendalam
Langkahmu selaras di sukmaku
Berjalan menjemput asaku yang
menunggu
Tampilkan impian di lautan biru
Hempaskan duri membelenggu
Senyummu mekar di kalbuku
Tumbuh jadi impian yanag memburu
Berikan lentera waktu di hidupku
Lantunan Syair
Muhammad Fikri
Sejuk mataku memandang wajahmu
Helaian jilbabmu melambai-lambai di hidungku
Hantarkan wangian syahdu
„Tuk berikan secuil kasih di kalbuku
Tanganmu lembut menyapa kulitku
Lembut dan halus terukir di benakku
Berikan kesegaran dalam detakan
jantungku
Senyum manismu tak pudar di ingatanku
Menari-nari mengalun kasih
Berikan impian di masa depan
Bertapak di jalan kebahagiaan
Lisanmu serasa syahdu di telingaku
Berikan nada kasih untukku
Mengalun kehangatan
„Tuk lalui malam yang sepi
Tak henti kulantunkan syair
Menembus gelap, menyambut pagi
Awan Biru
Muhammad Fikri
Kan kukejar asaku
„Tuk lumatkan mimpi yang termangu
Biarpun retakan telah mengelilingiku
„Tuk kejar asaku yang telah menunggu
Kan kulalui jalan berliku
Walau duri membelenggu kalbu
Asaku kian memacu
Menjemput asa yang menunggu
Harapku padaMu
Biarlah bundaku termangu
Menatapku di awan biri
Melayang-layang tanpa terbelenggu
Melepaskan angan yang membisu
Kan kugandeng bundaku ke awan biru
Lantunkan lagu syahdu
Iringi langkah yang membiru
Tuk gapai asa yang terpangku
Mungkin Esok
Muhammad Fikri
Tak habis ku memandangmu
Menatap dengan nanar di sudut sempit
Menelan perkataan jadi kebisuan
Menikam pesan jadi kenyataan
Inginku mengalunkan pesan jadi
kenyataan
Berikan kata bunda di hadapan
Namun membisu ketika berhadapan
Tak membayang walau direncanakan
Mungkin esok kulantunkan
Bila sepi tak bertemankan
Hantarkan goresan jadi kenyataan
„Tuk kusampaikan “bunda” di hadapan
Tak Lagi Rapuh
Muhammad Fikri
Saat panas menyelimuti kalbuku
Membakar seluruh benakku
Hantarkan jiwa palsu untukku
Berikan merah pekat di wajahku
Jiwaku tak lagi rapuh
Hatiku tak lagi mengeluh
Melihat senyummu
Hantarkan pilu yang meluruh
Senyum masnis telah terlukis
Merona di bibir manis
Menambal sedih jadi kasih
Menata goresan jadi kenyataan
Engkau perempuan manis dari surga
Membawa peri untukku bermimpi
Wujudkan angan jadi nyata
„Tukku bertapak di masa depan
Mentari dan Rembulan
Muhammad Fikri
Mentari kembali membayang
Keringkan embun yang menari di dedaunan
Hangatkan dingin yang kian merinding
Menikam beku yang kian membeku
Mentari dan rembulan datang silih
berganti
Redupkan pelangi yang menari
Lumatkan peri yang mengelilingi
Kini hanya seruan seruit melambai di
hadapan
Haruskah aku berhenti?
Dengan hadangan duri mengelilingi?
„Tuk gapai asa yang terselimuti?
Merangkul angan yang tertutupi
Atau aku harus melangkah?
Dengan langkah yang tertatih
Menghadang duri menghalangi
„Tuk gapai asa yang terselimuti
Ku hanya merana di kala itu
Tak tahu jalan yang akan kuukir
Tak tahu apa yang akan kutelan
„Tuk hadang duri yang terukir
Wajah dan Matamu
Muhammad Fikri
Wajahmu bercahaya kalungkan pesan
„Tuk ku berangan di masa depan
Bibirmu berteman gincu menawan
Tebarkan senyum hangat di tatapan
Ku duduk termangu
Memandang wajahmu di kala itu
Indah menawan tanpa terbelenggu
Memancarkan sinar yang membiru
Matamu membuatku termangu
Pancarkan sinar membiru
Menelan nanar yang membelenggu
Sebarkan kasih yang kutunggu
Bundaku
Muhammad Fikri
Kulukis wajahmu di benakku
Kuikat senyummu di kalbuku
„Tuk ku bisa capai lautan biru
Bertahta sepanjang waktu
Meski detakan jantung tak sama
Meski warna darah berbeda
Namun kasihku sepanjang masa
„Tuk bundaku
Negeri Setengah Buta
Muhammad Fikri
Aku terlahir dalam negeri setengah buta
Menutup mata pada wajah-wajah lusuh
dengan pakaian kumuh
Memandang hina pada kulot legam tersengat
matahari
Menatap kosong pada langkah yang menyisir
jalanan demi sesuap nasi
Lihatlah gedung-gedung bertingkat tinggi
Para petinggi duduk rapi
Dalam ruanga penuh dimensi
Dengan topi dan dasi
Aku terlahir dalam negeri setengah buta
Lihatlah dalam rona yang kian pudar
Resapilah di antara hati yang kian mati
Yang enyahkan segala peri
Aku terhair dalam negeri setengah buta
Tak bisakah kau sisipkan sebuah pelangi
sekedar „tuk berbagi?
Aku terlahir dalam negeri setengah buta
Kupaslah lapisan egomu
Tamballah retakan moralmu
Tatalah tanaman hatimu
Gidupkanlah lentera kalbumu
Hiasilah matamu dengan gradasi warna
kehidupan
Agar aku dibesarkan dalam negeri penuh
warna
Manusia dan Budaya
Muhammad Fikri
Semburat jingga hantarkan kelopak mawar
pada tarian alam
Merdunya indang menggema berirama
Hamparan zamrud membentang
Tebar adat istiadat aneka budaya
Gemulai tari pendet memukau mata
Gendang kecai senangkan hati
Indonesia menyatukan keragaman dalam
bhinneka tunggal ika
Hadirkan Ranah Minang dalam pandangan
Goyangan tenunan meliup dalam kemewahan
Tarian jemari merangkai anyaman
Rundukan punggung tertanam dalam
kehidupan
Gotong royong jadi nada kehidupan