The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by batangvina, 2021-01-25 00:27:46

Ebook Fajar Adi Gunawan-15

Ebook Fajar Adi Gunawan-15

Abdul Wahab
Hasbullah

KH Abdul Wahab Chasbullah

K.H. Abdul Wahab Hasbullah (lahir di Jombang, 31
Maret 1888 – meninggal 29 Desember 1971 pada umur
83 tahun) KH. Abdul Wahab Hasbulloh merupakan
bapak Pendiri NU Selain itu juga pernah menjadi
Panglima Laskar Mujahidin (Hizbullah) ketika melawan
penjajah Jepang. Ia juga tercatat sebagai anggota DPA
bersama Ki Hajar Dewantoro. Tahun 1914 mendirikan
kursus bernama “Tashwirul Afkar”.

Ayah KH Abdul Wahab Hasbullah adalah KH Hasbulloh
Said, Pengasuh Pesantren Tambakberas Jombang
Jawa Timur, sedangkan Ibundanya bernama Nyai
Latifah.

Tahun 1916 mendirikan Organisasi Pemuda Islam
bernama Nahdlatul Wathan, kemudian pada 1926
menjadi Ketua Tim Komite Hijaz. KH. Abdul Wahab
Hasbulloh juga seorang pencetus dasar-dasar
kepemimpinan dalam organisasi NU dengan adanya
dua badan, Syuriyah dan Tanfidziyah sebagai usaha
pemersatu kalangan Tua dengan Muda.

KH. A. Wahab Hasbullah adalah pelopor kebebasan
berpikir di kalangan Umat Islam Indonesia, khususnya di
lingkungan nahdhiyyin. KH. A. Wahab Hasbullah
merupakan seorang ulama besar Indonesia. Ia
merupakan seorang ulama yang menekankan
pentingnya kebebasan dalam keberagamaan terutama
kebebasan berpikir dan berpendapat. Untuk itu kyai
Abdul Wahab Hasbullah membentuk kelompok diskusi
Tashwirul Afkar (Pergolakan Pemikiran) di Surabaya
pada 1914.

Mula-mula kelompok ini mengadakan kegiatan dengan
peserta yang terbatas. Tetapi berkat prinsip kebebasan
berpikir dan berpendapat yang diterapkan dan
topik-topik yang dibicarakan mempunyai jangkauan
kemasyarakatan yang luas, dalam waktu singkat
kelompok ini menjadi sangat populer dan menarik
perhatian di kalangan pemuda. Banyak tokoh Islam dari
berbagai kalangan bertemu dalam forum itu untuk
memperdebatkan dan memecahkan permasalahan pelik
yang dianggap penting.

Tashwirul Afkar tidak hanya menghimpun kaum ulama
pesantren. Ia juga menjadi ajang komunikasi dan forum
saling tukar informasi antar tokoh nasional sekaligus
jembatan bagi komunikasi antara generasi muda dan
generasi tua. Karena sifat rekrutmennya yang lebih
mementingkan progresivitas berpikir dan bertindak,
maka jelas pula kelompok diskusi ini juga menjadi forum
pengkaderan bagi kaum muda yang gandrung pada
pemikiran keilmuan dan dunia politik.

Bersamaan dengan itu, dari rumahnya di Kertopaten,
Surabaya, Kyai Abdul Wahab Hasbullah bersama KH.

Mas Mansur menghimpun sejumlah ulama dalam
organisasi Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air)
yang mendapatkan kedudukan badan hukumnya pada

1916. Dari organisasi inilah Kyai Abdul Wahab
Hasbullah mendapat kepercayaan dan dukungan penuh

dari ulama pesantren yang kurang-lebih sealiran
dengannya. Di antara ulama yang berhimpun itu adalah
Kyai Bisri Syansuri (Denanyar Jombang), Kyai Abdul

Halim, (Leimunding Cirebon), Kyai Alwi Abdul Aziz, Kyai
Ma’shum (Lasem) dan Kyai Cholil (Kasingan Rembang).

Kebebasan berpikir dan berpendapat yang dipelopori
Kyai Wahab Hasbullah dengan membentuk Tashwirul
Afkar merupakan warisan terpentingnya kepada kaum

muslimin Indonesia. Kyai Wahab telah mencontohkan
kepada generasi penerusnya bahwa prinsip kebebasan

berpikir dan berpendapat dapat dijalankan dalam
nuansa keberagamaan yang kental. Prinsip kebebasan
berpikir dan berpendapat tidak akan mengurangi ruh

spiritualisme umat beragama dan kadar keimanan
seorang muslim. Dengan prinsip kebebasan berpikir dan
berpendapat, kaum muslim justru akan mampu

memecahkan problem sosial kemasyarakatan dengan
pisau analisis keislaman.

Pernah suatu ketika Kyai Wahab didatangi seseorang
yang meminta fatwa tentang Qurban yang sebelumnya
orang itu datang kepada Kyai Bisri Syansuri. “Bahwa
menurut hukum Fiqih berqurban seekor sapi itu
pahalanya hanya untuk tujuh orang saja”, terang Kyai
Bisri. Akan tetapi Si Fulan yang bertanya tadi berharap
anaknya yang masih kecil bisa terakomodir juga. Tentu
saja jawaban Kyai Bisri tidak memuaskan baginya,
karena anaknya yang kedelapan tidak bisa ikut
menikmati pahala Qurban. Kemudian oleh Kyai Wahab
dicarikan solusi yang logis bagi Si Fulan tadi. “Untuk
anakmu yang kecil tadi belikan seekor kambing untuk
dijadikan lompatan ke punggung sapi”, seru kyai
Wahab.

Dari sekelumit cerita di atas tadi, kita mengetahui
dengan jelas bahwa seni berdakwah di masyarakat itu
memerlukan cakrawala pemikiran yang luas dan luwes.
Kyai Wahab menggunakan kaidah Ushuliyyah “Maa laa
yudraku kulluh, laa yutraku julluh”, Apa yang tidak bisa
diharapkan semuanya janganlah ditinggal sama sekali.
Di sinilah peranan Ushul Fiqih terasa sangat dominan
dari Fiqih sendiri.


Click to View FlipBook Version