The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Wisanggeni adalah putra Raden Arjuna dan Dewi Dresanala. Dalam pewayangan Jawa, bersama Antasena, saudaranya, ia dikenal sebagai kesatria ndugal kewarisan, kesatria yang memiliki keberanian, dalam batas-batas tertentu nekat, untuk menegakkan kebenaran.

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by vigomilandi, 2022-10-18 23:07:40

Jalan Cahaya Wisanggeni

Wisanggeni adalah putra Raden Arjuna dan Dewi Dresanala. Dalam pewayangan Jawa, bersama Antasena, saudaranya, ia dikenal sebagai kesatria ndugal kewarisan, kesatria yang memiliki keberanian, dalam batas-batas tertentu nekat, untuk menegakkan kebenaran.

Keywords: Wisanggeni

Jalan Cahaya Wisanggeni

There is a crack, a crack in everything

That’s how the light gets in

Kutipan itu berasal dari lagu “Anthem” yang dipopulerkan oleh
Leonard Cohen. Yang retak, patah, atau terpecah, justru menjadi jalan
masuk cahaya, ibarat kirana yang menembus ruang gelap gulita justru
melalui celah-celahnya.

Wisa geni, atau Wisanggeni, juga menyandang kerapuhan ini sejak
awal kehidupannya. Ia dipisahkan dari rahim Batari Dresanala
sebelum waktunya dan dibuang ke tengah-tengah kawah
Candradimuka oleh Batara Brahma, kakeknya sendiri. Membuang bayi
ke tengah api jelas merupakan upaya pembunuhan. Batara Brahma
sebagai Dewa Penguasa Api berusaha membinasakan cucunya sendiri
dengan api.

Sebagai konteks, tindakan Batara Brahma yang keji itu merupakan
perintah langsung Batara Guru, raja para dewa. Dari sinilah kita tahu
dari mana konspirasi bajingan itu berasal. Batara Guru dihasut oleh
Batari Durga, istrinya, untuk melenyapkan bayi itu, karena Dewasrani,
anak Batari Durga, cemburu pada Arjuna, ayah Wisanggeni, dan ingin
memperistri Batari Dresanala, ibu Wisanggeni.

Hawa nafsu dan kelakuan jahat para dewa ini tidak bisa diterima oleh
leluhur para dewa, yaitu Sang Hyang Wenang. Ia akhirnya masuk
sebagai “cahaya” ke dalam kerapuhan bayi Wisanggeni. Sang Hyang
Wenang memberikan perlindungan dan kekuatan kepada Wisanggeni
sehingga selamat dari keganasan kawah. Alih-alih membunuhnya,
kawah Candradimuka justru membentuk Wisanggeni menjadi kesatria
dengan kesaktian tanpa tanding.

Dalam kisah pewayangan Jawa, Semar menuntun Wisanggeni untuk
keluar dari kawah, memberi pemuda itu nama Bambang Wisanggeni,
serta memberikannya petunjuk untuk menegakkan keadilan atas
kebobrokan para dewa.

Wisanggeni naik ke Kahyangan Suralaya. Kahyangan diobrak-abrik.
Amukan Wisanggeni tak bisa dihentikan oleh dewa mana pun. Semua
dewa yang ditemui dan tak bisa memberikan penjelasan atas jati
dirinya dihajar habis-habisan. Batara Guru yang diam seribu bahasa
tak luput dari amukan. Hujan badai guntur dan api yang Batara Guru
hempaskan tak mempan di tubuh Wisanggeni. Batara Guru pun
melarikan diri dari kahyangan; menjadi buron dan bulan-bulanan
Wisanggeni. Batara Guru akhirnya meminta perlindungan pada Prabu
Kresna dan Werkudara.

Ketika akhirnya Wisanggeni berhadap-hadapan dengan Prabu Kresna
dan Werkudara, ia tak ciut hati. Adu mulut tak bisa dihindari, sampai
akhirnya Semar datang menjadi penengah dan memberitahu bahwa
mereka satu sama lain adalah saudara. Werkudara terpukau melihat
anak Arjuna yang sakti mandraguna, ndugal kewarisan, tidak
memiliki tata krama ini. “Wah, Arjuna duwe anak gentho.”

Singkat cerita, Batara Guru mengakui kesalahannya pada Wisanggeni
dan meminta maaf. Hanya karena mereka adalah dewa, tak berarti apa
yang mereka pikirkan dan lakukan selalu benar. Ini akhirnya jadi
semacam weling bagi kita, bahwa sebaik-baiknya manusia dengan

budi dan seluruh pertimbangannya, bukankah yang paling esensial
adalah eling lan waspada, senantiasa sadar dan kritis?

Wisanggeni juga menunjukkan bahwa apa yang remuk redam tak
menentukan jati diri kita. We may be broken as hell, but we can be
whatever we want to be nevertheless. Gusti boten sare lan tansah
paring pitulungan.

Secara personal, Wisanggeni adalah karakter wayang yang
menghadirkan ingatan akan Bapak. Setelah saya lulus SMP, sebelum
melepas saya ke tempat pendidikan yang jauh dari rumah, Bapak
sempat mengatakan, “Kowe ki kaya Wisanggeni, mlebu nang kawah
Candradimuka.” Bapak tahu saya waktu itu belum mengerti siapa
Wisanggeni, tapi hal itu tak terlalu ia pikirkan.

Kalau hal itu kemudian sekarang saya refleksikan, Bapak mempunyai
poin mengatakan hal itu. Tentu saya tidak jadi sakti seperti
Wisanggeni, tetapi setidaknya saya mengerti, bahwa seperti apa yang
Wisanggeni alami, kerapuhan adalah bagian dari kemanusiaan kita.
Tak perlu dikutuk, tak perlu juga dirayakan. Terimalah kerapuhan kita
sebagaimana adanya. Di sanalah terbuka jalan bagi cahaya yang akan
menyelamatkan kita.

Wisanggeni juga membangkitkan ingatan saya akan Bapak karena
dalam pementasan wayang, ia kerap tampil bersama kesatria sakti lain,
yaitu sepupunya bernama Raden Antasena, anak Werkudara yang
urakan dan kerap Wisanggeni panggil sebagai cah edan — yang

menjadi karakter wayang idola Bapak. Bersama Antasena, Wisanggeni
disebut sebagai satriyo ndugal kewarisan. Dua-duanya ora isa
basa, tetapi jernih budinya dan senantiasa mengutamakan kebenaran.
Kesaktian Wisanggeni dan Antasena sejajar, tetapi jauh melampaui
anak-anak Pandawa yang lain. Bagaimana tidak, dua kesatria ini
pernah ngobrak-abrik Kahyangan dan menghajar para dewa.

Kredit saya haturkan setinggi mungkin pada para pujangga Jawa yang
menciptakan karakter-karakter wayang ini, yang menurut Wikipedia,
tidak ada di naskah wiracarita Mahabharata karya Krishna
Dwaipayana Byasa dari India. Nama “Wisanggeni” dan “Antasena”
juga tidak ditemukan dalam naskah Mahabharata berbahasa Sanskerta
(terjemahan Kisari Mohan Ganguli). Dengan kata lain, karakter-
karakter wayang ini adalah wayang asli Jawa. Kredit juga saya
haturkan pada almarhum Ki Seno Nugroho, dalang humoris dari
Yogyakarta, yang sangat kompeten dalam menghidupkan karakter
Wisanggeni dalam pementasan wayangnya.


Click to View FlipBook Version