WARTA XAVERIAN TahunXLIV EdisiMaret-Oktober2023 MajalahParaFraterXaverian WARAmNeDnciHntUaiMpaAnNggIiTlaYn xaveriankita
Table of CONTENT Warta Xaverian: Wacana komunikasi antar para frater Xaverian - Tunas Xaverian, Pranovis-Novis- Skolastikat Filsafat-Teologi - dengan para seminaris, sahabat, dan para penderma. Bertujuan sebagai sarana animasi panggilan misioner serta warta kehidupan sehari-hari di rumah-rumah pendidikan Serikat Misionaris Xaverian PENERBIT: Wisma Xaverian Jakarta PENANGGUNG JAWAB: P. F.X.Sudarmanto, SX STAF REDAKSI: Fr. Andreas, SX Fr. Ichal, SX EDITOR: Fr. Piet, SX Fr. Ichal, SX DISTRIBUSI: Fr. Fritz, SX FOTO COVER: Fr. Pietro, SX ALAMAT REDAKSI: Wisma Xaverian, Jl. Cempaka Putih Raya No.42 Jakarta Pusat - 10520 Telp. (021) 4240356 Fax. (021) 4240264 3. SAJIAN UTAMA 7. CONFORTIANITAS 10. SECUIL PENGALAMAN 13. ENGLISH CORNER 15. SOPHIA 20. KISPEN 28. APA KATA MEREKA 31. SAJAK SAJA 33. DIALOG ANTAR AGAMA 36. MEMANDANG DUNIA 40. SEPUTAR MISI 44. LAYAR KACA CPR 42 46. TEOLOGI INTERNASIONAL 50. KRONIK
2 Mencintai Panggilan Xaverian Kita EDITORIAL Fr. Ichal Magung, SX @dismasaprizal Halo semuanya… Kini Para Xaverian Muda kembali menyapa Anda sekalian dalam Warta Xaverian Edisi XLIV ini. Nah, seperti biasa, frater-frater Xaverian akan memanjakan mata, hati dan budi dari Anda sekalian melalui rentetan karya yang dibuat secara apik, enerjik dan tentunya menarik dalam lembar demi lembar majalah ini. Edisi Warta Xaverian kali ini menawarkan suatu tema yang tidak kalah menarik dari edisi-edisi sebelumnya, yakni; MENCINTAI PANGGILAN XAVERIAN KITA. Adapun pemilihan tema ini terinspirasi dari tema Kapitel Jendral XVIII yang akan dilaksanakan bulan Juli 2023 nanti. Para awak muda Xaverian Indonesia akan membantu Anda sekalian untuk mengupas secara mendalam tentang penghayatan para konfrater Xaverian dalam mewujudkan kecintaan akan panggilannya sebagai seorang Xaverian Sejati. Dalam balutan momentum yang spesial ini, para frater xaverian akan menunjukkan kepada Anda bagaimana kedalaman cinta akan panggilan dan akan Pribadi Kristus itu sendiri. Penasaran bagaimana “definisi” kedalaman cinta a la seorang Xaverian? Jangan berhenti untuk membaca tulisan-tulisan yang ada di sini sampai halaman akhir! Akhirnya, tentu ada banyak kekurangan, kesalahan ataupun kekeliruan yang ada dalam Warta Xaverian edisi XLIV ini. Akan hal itu, tentunya tidak ada intensi ataupun unsur kesengajaan di dalamnya. Maka harap untuk dimaklumi. Selamat membaca. Tuhan Yesus memberkati kita semua.
Mencintai Panggilan Xaverian Kita 3 Banyak orang membuat definisi tentang cinta. Ada yang mengatakan cinta itu buta atau cinta itu pengorbanan atau cinta itu memprioritaskan kepentingan orang lain di atas kepentingannya sendiri. Cinta juga disebut sebagai penggerak utama bagi manusia untuk dapat melakukan sesuatu. Dalam Yunani kuno terdapat tiga istilah cinta yang sampai sekarang sering digunakan sebagai tiga tingkatan cinta yakni eros, philia, dan agape. Namun, jelas bahwa ketika bicara mengenai mencintai panggilan Xaverian kita, cita-citanya tentu adalah cinta tingkat tertinggi yang tanpa syarat. Cinta yang ingin dicapai bersama adalah cinta kasih yang ditunjukkan dan diajarkan oleh Kristus sendiri tentang bagaimana Allah sendiri mencintai umatnya. Akan tetapi, tentu saja penting bagi kita untuk tidak saja berkutat pada definisi cinta, akan tetapi mencari apa tindakan konkret yang sekiranya perlu dilakukan dalam mencintai panggilan Xaverian kita. Xaverian Indonesia telah mengadakan assemblea yang bertempat di Wisma Samadi pada tanggal 9-13 Januari; yang juga membicarakan bagaimana cinta ini diwujudkan terutama melalui pertobatan misioner. Sebanyak 29 pastor dan 19 frater dari Xaverian beserta dengan Mgr. Vitus Rubianto, SX berkumpul bersama, tidak hanya untuk membicarakan cinta itu namun juga menjalinnya dalam kebersamaan. Dari assemblea ini, setidaknya ada beberapa poin yang bisa dipetik dalam mewujudkan cinta Xaverian itu. Terdapat tiga jalan kerendahan hati yang diketengahkan oleh Mgr. Vitus Rubianto dari apa yang disampaikan oleh Bapa Paus Fransiskus dalam sinode. Penulis akan mengangkat satu hal yang menarik dalam kegiatan Latihan Dasar Kepemimpinan yang diadakan di komunitas skolastikat CPR 42. Dalam kegiatan itu, terdapat satu hal yang menarik mengenai cinta yakni bahwa cinta adalah keputusan. Dengan mengangkat tema kesadaran, cinta Komitmen Mencintai Dalam Kerendahan Hati @ andreaswjy Fr. Andreas Wijaya, SX Sajian Utama
4 Mencintai Panggilan Xaverian Kita sebagai keputusan dengan demikian merupakan pilihan yang disadari secara penuh berikut dengan segala konsekuensinya yang dipeluk dan dijalani dengan gembira. Tiga Jalan Kerendahan Hati Dalam mencintai Xaverian, semua anggotanya perlu memiliki sebuah sikap rendah hati. Kerendahan hati akan mendorong setiap anggota untuk terbuka, melihat kelebihan yang dimiliki oleh sesama konfrater, serta mau mendengarkan dan belajar terus-menerus baik dari konfrater maupun dari semua orang dan peristiwa yang ditemui. Hanya dengan adanya kerendahan hati, kita dapat melihat kekurangan diri sendiri dan dari situlah pertobatan dapat dilakukan. Tanpa adanya kerendahan hati, sulit untuk dapat bekerjasama dengan orang lain. Dalam assemblea, kerjasama ini begitu ditekankan baik itu dengan keuskupan atau dengan kongregasi lain atau juga dengan awam; terlebih khusus dengan Paguyuban Awam Xaverian. Sebab dalam sinode para uskup 2023, disebutkan ada tiga jalan kerendahan hati yakni paguyuban, partisipasi, dan perutusan. Dalam Tabloid Gema Keuskupan Padang, Mgr. Vitus juga menuliskan penjelasannya mengenai ketiga jalan ini. Pertama, dengan adanya partisipasi, kita semua dihindarkan dari sikap otoriter dan bekerja sendirian. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk melatih agar di setiap komunitas paroki ataupun pendidikan, setiap anggotanya lebih banyak berpartisipasi melalui kemampuan dan totalitas dirinya untuk membangun komunitas. Penulis sendiri melihat bahwa di komunitas skolastikat, partisipasi ini begitu ditekankan. Semua frater berpartisipasi dalam bagian kepengurusannya masingmasing untuk memberikan ide, pemikiran serta tenaganya untuk membangun komunitas. Akan tetapi, dalam kerendahan hati, tentu partisipasinya belum sempurna dan terus-menerus diperjuangkan serta diperbaiki agar dalam setiap kegiatan komunitas setiap orang dapat lebih berpartisipasi lagi. Jalan kerendahan hati kedua adalah paguyuban yakni komunitas itu sendiri. Mgr. Vitus mengingatkan bagaimana Paus mempertentangkan paguyuban ini dengan kata perpecahan, pengkotak-kotakan, dan persekongkolan. Artinya, dalam paguyuban ini diperlukan adanya kesatuan hati dan tujuan. Demi mencapai persatuan ini, penting adanya komunikasi yang baik antar semua anggota komunitas dengan keterbukaan.
Mencintai Panggilan Xaverian Kita 5 Di skolastikat, satu hal yang rasanya menjadi poin yang baik dan perlu diterapkan juga dalam sebuah paguyuban adalah correctio fraterna. Dalam correctio fraterna, semua anggota memberikan penguatan serta koreksi satu sama lain dengan tujuan membangun konfrater menjadi lebih baik. Keterbukaan untuk saling mengoreksi, menegur, memberi pendapat, meneguhkan, menguatkan, tidak mungkin efektif tanpa adanya kerendahan hati. Jalan kerendahan hati ketiga adalah perutusan. Mengutip Mgr. Vitus dalam tulisannya: “Perutusan membuat kita menjadi mudah terbuka, membantu kita untuk menyadari kondisi kemuridan kita dan membantu kita mampu menyingkapkan kembali sukacita Injil.” Menyadari bahwa setiap anggota komunitas adalah seorang murid yang mendapatkan perutusan dari komunitas, membuat semuanya melaksanakan pekerjaannya dalam keterhubungan dengan yang lain serta dalam kesadaran akan asal dan tujuan pekerjaannya yakni pewartaan cinta kasih Allah dan bukan pewartaan diri pribadi. Di skolastikat, hal ini diwujudkan dengan menekankan pada masing-masing anggota agar setiap keputusan sedapat mungkin dikomunikasikan dan diputuskan bersama dalam komunitas sebelum dilaksanakan. Cinta Adalah Keputusan Jika memang cinta adalah sebuah keputusan, maka cinta harus dilakukan dengan kesadaran penuh. Memang orang sering mengatakan bahwa cinta adalah soal perasaan. Dalam bahasa sehari-hari sering disebut jatuh cinta. Jatuh cinta merupakan hal yang tidak disengaja, terjadi tiba-tiba saja, turun dari mata ke hati. Akan tetapi, menurut penulis, pada akhirnya cinta tersebut harus mengalami proses dalam seringnya perjumpaan dan komunikasi untuk mengenal satu sama lain dan kemudian menjadi sebuah cinta sejati dalam sebuah keputusan membangun komitmen pernikahan. Dengan demikian, tidak ada seorang pun yang seharusnya merasa terpaksa untuk menikah, jika bukan karena keputusan diri sendiri. Demikian juga halnya dalam mencintai panggilan Xaverian. Setiap konfrater telah mengikrarkan kaul; baik sementara ataupun kekal, untuk membaktikan diri dalam kongregasi Xaverian, mencapai tujuan dan cita-cita bersama menjadi seorang misionaris yang memperkenalkan Kristus
6 Mencintai Panggilan Xaverian Kita kepada mereka yang belum mengenal-Nya. Kaul ini merupakan sebuah keputusan yang harus disadari dengan penuh; berikut dengan konsekuensi untuk setia mengikuti konstitusi Serikat Xaverian. Tanpa adanya kesadaran, konfrater akan menjalani konsekuensi yang lahir daripadanya dengan berkeluh kesah atau bahkan memilih untuk tidak menjalani konsekuensikonsekuensi tersebut. Konsekuensi yang dimaksud adalah bahwa setiap konfrater paling kurang, juga mencintai setiap individu konfrater lain serta setiap keputusan yang dipilih oleh dewan provinsial atau dewan jenderal bagi Serikat Xaverian. Tidak bisa tidak, jalan dialog dan komunikasi merupakan sebuah komitmen yang perlu diambil. Inilah keputusan yang terkandung dalam cinta bagi Panggilan Serikat Xaverian. Selain dialog dan komunikasi dengan sesama konfrater, tidak boleh dilupakan bahwa Panggilan Xaverian yang khas adalah pengikraran kaul-kaul religius dan kaul misi. Dikatakan bagaimana panggilan kita yang demikian tidak dapat lebih mulia lagi. Oleh karena itu, selain sebagai misionaris, Xaverian juga perlu menyadari identitasnya sebagai religius. Dalam kaitannya dengan ini, satu hal sederhana, penting, namun seringkali disepelekan adalah kehidupan doa. Misionaris Xaverian juga adalah seorang imam yang harus mendasarkan misinya pada kedekatan dengan sang sumber perutusan yakni Yesus Kristus sendiri. Tanpa pengenalan mendalam dan mesra dengan Yesus Kristus, pastilah seorang Xaverian akan kesulitan memperkenalkan Kristus kepada orang-orang yang belum mengenal-Nya. Dengan demikian adalah juga sebuah komitmen dan keputusan sadar untuk meluangkan waktu yang cukup setiap harinya untuk berdoa dan mendengarkan Sabda-Nya. Dalam suka dan duka, di waktu sehat dan sakit, kita tetap berusaha untuk meluangkan waktu untuk berdoa dan mendengarkan Dia. Mencintai Panggilan Xaverian kita dengan demikian harus melahirkan dalam diri kita semangat dan sukacita untuk setia serta tekun mewujudnyatakan komitmen kita dalam janji kaul yang telah diucapkan. Berbagai bentuk pengorbanan dalam cinta itu adalah sebuah konsekuensi dan bukan tujuan dan oleh karena itu harus dijalani dengan bahagia. Maka pertanyaan bagi kita Xaverian dalam mencintai Panggilan kita; apakah kita bahagia menjalaninya?
Mencintai Panggilan Xaverian Kita 7 Pada tanggal 9-13 Januari tahun 2023 para romo, bruder, dan frater Serikat Xaverian Provinsi Indonesia kembali mengadakan pertemuan rutin per dua tahun sekali. Semua yang hadir adalah para frater yang telah berkaul serta para bruder dan pastor yang berkarya di Indonesia. Pertemuan ini lebih dikenal dengan istilah Assemblea. Dalam Assemblea secara umum membahas karya misi di Indonesia dan dengan semangat kekeluargaan memberi penguatan agar semakin rendah hati serta kreatif dalam pelayanan. Dalam salah satu sesi, ada pertanyaan yang harus dijawab oleh masing-masing komunitas, baik komunitas paroki, rumah pendidikan ataupun prokur. Pertanyaannya adalah “Apakah kita sudah mencintai panggilan Xaverian kita? Apa saja tandanya?” Pertanyaan ini sudah diberikan jauh-jauh hari sebelum Assemblea dimulai. Secara komunitas, kami membahas bersama-sama dan memberikan pendapat tentang tanda-tanda bahwa kami mencintai panggilan sebagai Xaverian. Alhasil, ada banyak tanda-tanda bahwa kami mencintai panggilan sebagai Xaverian misalnya berusaha membangun hidup komunitas dengan rasa persaudaraan, Sabda Allah, iman dan cinta kasih. Confortianitas Assemblea: Cinta Personal Menuju Cinta Komunal @ Marsi_Kolin Fr. Marsi Kolin, SX
8 Mencintai Panggilan Xaverian Kita Lantas, apakah secara personal kecintaan akan panggilan sebagai seorang Xaverian itu sudah terwujud? Seharusnya iya. Akan tetapi, permasalahannya bukan sampai di situ saja. Rasa cinta adalah rahmat yang diberikan oleh Tuhan. Artinya datang setelah merasakan atau bertemu sesuatu yang menarik lalu terdorong untuk berjuang. Begitupun dalam panggilan sebagai seorang Xaverian. Masa Pranovisiat dan Novisiat merupakan pengenalan awal untuk menjadi seorang Xaverian. Dalam pengenalan itulah sekaligus diajarkan untuk mengikuti kehendak Tuhan; apakah bisa mencintai panggilan Xaverian atau tidak? Jika tidak ada tanda-tanda, tentu lebih baik mundur. Namun, jika ada tanda-tanda_misalnya ada dorongan yang kuat untuk melayani di tempat misi, dsb_tentu akan dibantu untuk memurnikan niat tersebut. Sampai pada akhirnya dengan kesadaran dan niat pribadi, seorang Novis memutuskan untuk mengikrarkan kaul perdana sekaligus merupakan tanda akan cintanya menjadi seorang Xaverian. Tantangan yang ada selanjutnya adalah bagaimana mempertahankan cinta tersebut? Dalam kehidupan rumah tangga bukanlah mencintai seseorang dan mengesahkan pernikahan sebagai suami-isteri yang menjadi tantangan, tantangan terbesar adalah bersamasama berjuang agar rasa cinta itu dapat bertahan sampai maut menjemput. Begitu pula halnya dalam mempertahankan rasa cinta pada panggilan sebagai seorang Xaverian. Tentu saja Kristus yang menjadi pusat hidup dan sumber cinta seorang Xaverian perlu diperbaharui setiap hari. Kalau tidak ada pembaharuan, bisa jadi jatuh dalam sikap tidak bersemangat, pasif dan ketidakpedulian pada panggilan serta komunitas dimana ia tinggal. Bapa Pendiri St. Guido Maria Conforti sendiri menegaskan: ”Iblis tidak melewatkan satu usaha pun guna mengecilkan hati mereka yang ingin menghayatinya. Iblis mengacaukan pikiran mereka dengan kebimbangan, ia merisaukan hati mereka dengan kecemasan, ia mengaburkan khayalan mereka dengan ketakutan yang palsu, ia menggoyahkan semangat mereka dengan mematahkan semangat. Dengan membesar-besarkan kesulitan hidup seperti itu, ia menggambarkan sebagai hal yang mustahil.” (Surat Wasiat no. 3). Melihat bagaimana Bapa Pendiri memperingatkan Xaverian untuk memupuk cinta sekaligus waspada terhadap godaan setan, menandakan bahwa ini sangat serius dan “sayang, iblis sering berhasil dalam hal ini”.
Mencintai Panggilan Xaverian Kita 9 Dalam Assemblea, ada sesi rekoleksi yang dipimpin oleh Mgr. Ruby Solichin. Ada salah satu poin menarik yang disampaikan Mgr. Rubi kepada semua Xaverian yang hadir bahwa sense of belonging menjadi poin penting dalam memupuk cinta seorang Xaverian akan panggilannya dan hal itu ditunjukkan dengan semangat dalam kegiatan apapun baik sebagai seorang frater maupun sebagai romo atau bruder yang berkarya di tempat misi. Dengan demikian, secara personal seorang Xaverian memiliki cara untuk mencintai panggilan sebagai seorang Xaverian. Seorang Xaverian juga mempunyai tugas untuk mendukung saudara sekomunitas agar semakin dikuatkan untuk mencintai panggilan sebagai seorang Xaverian. Hal ini terbukti dari kesaksian di hari terakhir kegiatan Assemblea dimana semua konfrater merasa semakin diteguhkan dan cinta mereka kepada serikat semakin dikokohkan. Hal ini sejalan dengan kata-kata Bapa Pendiri dalam Surat Wasiat no. 9: ”Bersama cinta kita kepada Allah, hendaklah kita memupuk di dalam hati kita cinta kepada diri kita sendiri dan saudarasaudara kita, teristimewa terhadap mereka yang bersama kita membentuk keluarga religius yang sama dan yang berbagi kehidupan bersama, jerih payah, pahala, pimpinan, segalanya, sambil menantikan saatnya kita juga akan berbagi kemuliaan surgawi.” Maka sangatlah penting untuk mendukung satu sama lain dalam menghayati panggilan sebagai seorang Xaverian. Misalnya, dalam komunitas membangun komunikasi yang baik antar sesama konfrater, saling membantu ketika ada yang mengalami kesusahan, dsb. Atau antar-komunitas bisa memberi dukungan dengan saling mengunjungi misalnya dari komunitas pendidikan berkunjung ke rumah pendidikan yang lain atau ke komunitas paroki. Lebih dari itu, Provinsial juga mengunjungi komunitas-komunitas yang ada di mana tempat ia memimpin provinsi tersebut. Dan lebih luar biasa lagi jika dari Direksi Jenderal berkesempatan hadir ke komunitaskomunitas untuk memberi dukungan. Tentu akan sangat menguatkan. Akhirnya mencintai panggilan sebagai seorang Xaverian merupakan anugerah dari Allah. Tugas kita sebagai seorang Xaverian adalah berusaha untuk mempertahankan cinta itu baik secara personal maupun secara komunal sebagai sebuah keluarga religius dalam semangat yang sama yaitu semangat yang diberikan Bapa Pendiri St. Guido Maria Conforti.
10 Mencintai Panggilan Xaverian Kita Mencintai Misi Tahun Skolastikat @joristo.sx_paranda Fr. Joristo, SX Secuil Pengalaman Saya pikir yang mendasar dari pilihan seseorang adalah cinta. Cinta yang melandasi sekaligus memberanikan seseorang untuk mengambil keputusan. Demikian dengan jalan hidup saya saat ini sebagai Xaverian merupakan sebuah pilihan atas dasar cinta. Saya lebih mencintai hidup membiara daripada hidup berkeluarga seperti pada umumnya. Saya lebih mencintai Xaverian daripada ordo atau tarekat lainnya. Tahun ini merupakan tahun ke-6 bagi saya hidup dalam keluarga Xaverian. Sepanjang perjalanan waktu itu, saya belum pernah merasa menyesal dengan keputusan menjadi Xaverian. Saya tidak akan pernah mengharapkan penyesalan itu datang menghampiri saya, pastinya. Sebaliknya kasih, cinta, kebahagiaan dan kehangatan sebagai keluarga adalah satu jalan panggilan yang saya alami. Saat ini, saya berada di tahun ke-3 masa Skolastikat, setelah melewati tiga formasi dasar lainnya beberapa tahun lalu; Tunas 2017-2018; Pra/Novisiat 2018-2020. Perlu diketahui bahwa setiap formasi punya tujuan capaiannya. Masa Tunas, sebagai masa adaptasi dan sebagai masa pengenalan lebih dalam tentang panggilan menjadi imam. Masa PraNovisiat, masa pembentukan diri dengan tema besarnya docibilitas “kerelaan untuk dibentuk”. Masa Novisiat, masa pengenalan lebih dalam tentang Xaverian dan pemurnian panggilan menjadi Xaverian. Dan perlu saya akui perjalanan melewati tiga masa formasi di atas tidaklah mudah jika cinta terhadap keputusan menjadi xaverian tidak semakin membara dalam diri saya. Ada banyak hal yang perlu saya tinggalkan bahkan “dimatikan” demi menjadi Xaverian, misalnya ego, keras kepala, dsb. Seperti halnya Tunas, Pra/Novisiat, masa Skolastikat juga mempunyai tujuannya, yaitu studi filsafat. Dalam bahasa yang keren, misi para frater Skolastikat adalah belajar mencintai
Mencintai Panggilan Xaverian Kita 11 kebijaksanaan. Pada masa ini, para frater dipersiapkan secara intelektual agar mempunyai pengetahuan yang mumpuni pada saat ini dan di masa depan ketika nantinya diutus. Berkenaan dengan tema warta kali ini, saya ingin membagikan pelajaran berharga dari pengalaman saya menjalani misi utama masa Skolastikat yang (bagi saya) merupakan salah satu bentuk mencintai panggilan Xaverian. Memang ada banyak bentuk mencintai Xaverian yang saya hayati di Skolastikat, tapi entah kenapa saya lebih tergerak untuk membagikan yang ini: Menerima fakta tentang diri; sikap optimis dan iman Awal mula masuk dunia Skolastikat, saya tidak karukaruan menahan rasa cemas tentang studi filsafat dan kehidupan komunitas. Tapi, awal kecintaan saya akan misi di tahun Skolastikat justru dirasakan tepat bersamaan dengan kecemasan itu. Saya sadar benar dengan kondisi psikologis saya menghadapi dunia filsafat, dengan kemampuan kognitif saya, dan sadar benar bahwa filsafat itu rumit untuk dipelajari, jadi harus serius mempelajarinya. Lebih dari itu, optimis bahwa Tuhan tidak akan membiarkan saya berjalan sendiri dalam kecemasan. Sekurang-kurangnya Dia menyata hadir dalam diri konfrater yang mendukung dan membantu saya. Ada keyakinan bahwa jika kesadaran semacam ini tidak ada, entahlah apa yang terjadi dengan nasib panggilan saya. Pada titik ini saya berpikir bahwa mencintai misi tahun Skolastikat, pertama-tama perlu menerima kenyataan diri. Namun, perlu juga menumbuhkan sikap optimis; iman kepada yang empunya panggilanku. Pengorbanan dan pemberian diri Seperti halnya cinta orang tua yang berkorban dan memberikan diri mereka untuk anak-anaknya, cinta seorang guru yang berkorban dan memberikan diri untuk muridmuridnya, atau ke level yang lebih tinggi seperti cinta Bapa di Surga yang berkorban dan memberikan dirinya dalam dan melalui Yesus Putera-Nya bagi umat manusia, demikian juga saya berkorban dan memberikan diri untuk misi di tahun Skolastikat, yaitu belajar filsafat. Tidak ada pilihan lain selain kedua hal ini. Tidak berkorban dan tidak memberikan diri untuk belajar itu artinya saya bersikap cuek dengan panggilan saya. Tentu saja rasa jenuh karena gagal paham selalu ada. Tapi apalah artinya berkorban kalau tidak berjuang. Mungkin saya perlu cantumkan juga satu ayat suci sebagai percikan
12 Mencintai Panggilan Xaverian Kita rohani yang menemani perjalanan misi saya di tahun Skolastikat; “bersukacitalah dalam pengharapan, sabarlah dalam kesesakan, bertekunlah dalam doa”. (Roma. 12:12) Kompak dan terbuka Adalah dua paket penting yang selalu diperjuangkan dalam perjalanan panggilan saya menjalani tahun Skolastikat. Wejangan-wejangan dari konfrater senior juga menekankan betapa pentingnya kekompakan dan sikap terbuka. Dua paket ini terutama harus terjadi dalam angkatan. Kekompakan dan keterbukaan yang baik tentunya memberikan kemudahan, jalan keluar bagi kesulitan-kesulitan dalam belajar filsafat yang dialami oleh setiap pribadi. Dua paket ini selalu diperjuangkan karena sering tenggelam dalam rasionalisasi pribadi sehingga agak sulit tercapai. Tuhan andalanku Bagian ini memang sudah disinggung pada bagian sebelumnya, tapi perlu disendirikan karena memang merupakan unsur yang tidak kalah pentingnya. Menyisihkan waktu sebentar untuk berdoa merupakan hal penting sekaligus perjuangan besar dalam belajar. Kadangkala kelemahan manusiawi yang selalu berambisi untuk langsung dan terus belajar melupakan hal pokok; ‘doa’. Ini akan selalu terjadi apabila tidak cepat sadar dan berkomitmen bahwa yang empunya panggilan, pemilik sejati Xaverian yang saya cintai adalah Dia, Yesus itu sendiri. Maka sebenarnya, pengorbanan dan pemberian diri, kekompakan dan keterbukaan, sebagai usaha yang bertujuan untuk mencintai panggilan Xaverian tetapi tidak menyertakan dan mengandalkan Yesus menjadi tidak ada artinya lagi. Demikian pengalaman dan pelajaran yang saya refleksikan atasnya selama masa Skolastikat menjalani misi studi filsafat. “Kau tak akan pernah menemukan pelangi jika kau menunduk,” dari Charlie Chaplin, komedian kondang asal Inggris.
Mencintai Panggilan Xaverian Kita 13 Back in 2021, Thomas Shelby was a popular character. He is the main character played well by Cillian Murphy in the Peaky Blinders series. Thomas Shelby is talked about a lot because of his calm personality that is referred to as a sigma male. If we look at YouTube lately, there are tons of videos that show how to be a sigma male like Thomas Shelby. Because of this, he is admired by many people. However, there is a lot to see in this Peaky Blinder series. Not only the figure of Thomas Shelby but also Shelby himself. This series shows how the Shelby family, with their creativity, runs the family business. This is what I think is the most interesting thing about this series. Apart from the business they run and how they outperform their competitors, the Shelbys are a tight-knit family. They are on a mission together for a common goal. Our Mission Family is not limited to blood relations. People who share a common goal can also be called family. The Xaverians family comes from various backgrounds. However, because of God’s mission, we are united as one family. What we need to know is that, God’s mission is not a personal task but a shared task. This is something we often forget. In Ratio Missionis Xaveriana, it says that “we Xaverians are called to realize our vocation in Koinonia, realizing that the community itself is already a missionary witness and that the most effective primary agent of mission is not the individual but the community”. Xaverians are called to carry out the mission ad gentes together. I remember that my Formator once said that a lone fighter is not in keeping with the Xaverian spirit because Xaverians are called to have the responsibility of facing the mission together. (cf. RMX no. 20). The theory is like that, so what about the realization? Thankfully, in the formation community, I see that the brothers English Corner Family Mission @pietrusrein Fr. Petrus Rhein, SX
14 Mencintai Panggilan Xaverian Kita are passionate about carrying out God’s mission. In various ways, the brothers take part in proclaiming Christ to those who do not yet know Him. Of course, after the Second Vatican Council, the orientation of the mission changed. It no longer relies on the number of baptisms, but on how to spread the love of Christ to others. Of course we try to spread love in the community first to support each other. This mission is carried out according to the abilities and characteristics of each confrere. There are confreres who always participate in peace groups, social groups, visiting protestant churches, teaching and others. I myself try to spread God’s love in teaching students. As a teacher, I try to explain that we as human beings should respect each other as Pope Francis said. Not only in the formation community, I also see a wider scope. In Assemblea 2023, all Xaverians in Indonesia gathered to discuss our mission. In that event, I saw how Xaverians in Indonesia are trying to grow. Especially, how to make a better community. I think that no matter what kind of mission we do, Jesus brings it together. Xaverian Family Mission cannot be done individually but koinonia. The Xaverians tries to carry out the mission inherited from St. Guido together in a family spirit. We try to build warm family relationships even though it is very difficult. in reality we tend to move alone, not caring about others. there is often an atmosphere of indifference that makes the community not work well. That is human nature. However, we want to change this tendency with a family spirit. With humbleness, we walk as a family. Therefore, Xaverian is not just an association. More than that, we are a family.
Mencintai Panggilan Xaverian Kita 15 Panggilan khusus untuk hidup membiara merupakan anugerah dan rahmat besar dari Tuhan bagi setiap insan yang dengan hati tulus mau menjawabnya. Setiap pribadi berusaha untuk mencintai dan bertanggung jawab atas pilihan tersebut. Salah satu bentuk cinta yang ditunjukkan setiap persona tentu saja melalui spiritualitas dan kharisma dari kongregasi tersebut. Kongregasi Serikat Xaverian mempunyai kharisma yang khas, yakni “mewartakan kabar gembira Kerajaan Allah kepada orang-orang bukan Kristiani” (Konstitusi Serikat Xaverian, No. 2). Hal ini menandakan esensi yang mesti dimiliki oleh setiap Xaverian terutama dalam penghayatan dan cinta terhadap panggilan itu sendiri. Dalam usaha menjalin relasi serta mencintai panggilan Xaverian, setiap konfrater pertamatama selalu menghadirkan Kristus kepada setiap orang yang dilayani. Penghayatan akan cinta terhadap Xaverian tentu saja banyak bentuknya; sesuai porsi masing-masing. Dalam perspektif saya, cinta terhadap panggilan sebenarnya ingin menjawab pertanyaan apakah cinta terhadap panggilan (terutama pada kongregasi Xaverian) adalah bagian dari hidup dan membawa manfaat? Berangkat dari pertanyaan ini, saya menggarisbawahi terutama soal ‘cinta’. Aristoteles beranggapan bahwa cinta sebagai bagian dari hidup yang bermanfaat dan membawa kebahagiaan bagi individu yang merasakannya. Oleh karena itu, saya tertarik untuk mengaitkan antara cinta menurut perspektif Aristoteles dengan cinta pada panggilan Xaverian. Aristotelianisme: Konsep Cinta Aristoteles adalah seorang filsuf Yunani kuno yang hidup sekitar tahun 384-322 SM. Dia adalah murid Plato dan mendirikan sekolah filsafat yang dikenal sebagai Lyceum. Aristoteles dianggap sebagai salah satu tokoh paling Aristotelianisme: Konsep Cinta Pada Panggilan Xaverian @ ignastobing_sx Fr. Ignasius Loyola Tobing, SX Sophia
16 Mencintai Panggilan Xaverian Kita berpengaruh dalam sejarah filsafat, dan karya-karyanya mencakup topik seperti logika, metafisika, etika, politik, dan ilmu alam. Aristoteles melihat cinta sebagai kecenderungan atau keinginan untuk menyatu dengan kebaikan atau keindahan yang terkandung dalam objek yang dicintai. Menurutnya, cinta yang baik adalah cinta yang menggiring manusia untuk mencari kebaikan bersama, bukan hanya kepuasan diri. Aristoteles juga berpendapat bahwa cinta dapat memperkuat persahabatan dan hubungan sosial yang positif. Aristoteles menganggap cinta sebagai bagian hidup yang bermanfaat dan membawa kebahagiaan bagi orang yang merasakannya. Dalam Etika Nicomachean-nya, Aristoteles mengatakan bahwa cinta adalah sesuatu yang baik dan diinginkan, dan orang harus mencintai apa yang baik dan berguna. Dia juga membedakan antara cinta yang penuh kasih sayang, yang merupakan cinta yang dalam dan tahan lama, dan cinta yang penuh gairah, yang tidak stabil dan tidak memiliki dasar yang kuat. Secara umum, bagi Aristoteles, cinta merupakan bagian penting dalam hidup yang harus dipupuk dan dicari kebahagiaannya. Cinta atau kasih sayang (philia) adalah salah satu dari sekian banyak bentuk persahabatan yang ada. Aristoteles berpendapat bahwa cinta terjadi ketika dua orang memperhatikan kualitas yang baik satu sama lain dan kemudian berbagi perasaan serta pengalaman positif satu sama lain. Aristoteles melihat cinta sebagai situasi yang saling menguntungkan dan memperkaya hidup kedua belah pihak. Jadi, dia melihat cinta sebagai bagian dari konsep persahabatan yang lebih luas. Menurutnya, cinta juga dapat berkembang seiring waktu dan kerja sama, serta membutuhkan upaya untuk menjaga dan memperkuat ikatan emosional antara dua orang. Selain pandangan cinta Aristotelian, cinta juga umumnya dilihat sebagai perasaan, pandangan ini melihat cinta sebagai perasaan emosional yang muncul dalam diri individu dan berkembang sebagai akibat dari persamaan faktor-faktor seperti daya tarik fisik atau kecocokan emosional. Seringkali cinta juga sebagai tindakan atau perilaku yang menunjukkan kepedulian, penghargaan dan kesetiaan kepada orang yang dicintai. Cinta sebagai keinginan untuk kebaikan adalah
Mencintai Panggilan Xaverian Kita 17 cinta yang berarti menginginkan kebaikan untuk orang yang dicintai dan cinta sejati melibatkan upaya untuk meningkatkan kebahagiaan dan kesejahteraan pasangan. Cinta sebagai pilihan menekankan bahwa cinta mencakup pilihan sadar dan bertanggung jawab untuk mencintai seseorang, dan kelanjutan cinta membutuhkan upaya untuk mempertahankan pilihan. Cinta Terhadap Panggilan Xaverian Dalam uraian konsep cinta di atas, Aristoteles lebih banyak menekan esensi cinta dari sudut relasi afeksi seperti hubungan sosial, persahabatan, dan juga antara pasangan. Hal ini tentu saja masih relevan jika dikaitkan dengan konsep cinta setiap persona yang terpanggil dalam keluarga Xaverian. Cinta terhadap panggilan Xaverian di sini lebih menitikberatkan pada relasi antara Tuhan yang empunya panggilan dan pribadi yang terpanggil; layaknya relasi afeksi antara sepasang kekasih. Cinta ini juga menentukan pemberian diri setiap persona pada keluarga Xaverian itu sendiri. Setiap konfrater Xaverian mestinya memiliki semangat cinta yang sama; yang memberi manfaat selain bagi dirinya juga orang lain. Hal ini menjadi penting terutama dalam pelayanan setiap konfrater. Satu keharusan bagi setiap konfrater Xaverian menghidupi kharisma yang diterima dari Tuhan melalui Bapa Pendiri serikat. Kharisma membawa kabar sukacita bagi orang-orang non-Kristiani merupakan salah satu jalan kekudusan bagi setiap konfrater Xaverian. Implementasi akan kharisma yang diterima setiap konfrater adalah salah satu bentuk cinta terhadap panggilan sebagai Xaverian. Hal ini menandakan bahwa setiap konfrater Xaverian tidak hanya membawa dan menimba cinta untuk diri sendiri, tetapi membawa manfaat bagi semua orang. Pertama-tama perlu disadari bahwa panggilan itu tidak hanya sebatas teriakan seorang yang menyapa atau memanggil pribadi yang lain dengan menyebut nama pribadi itu. Akan tetapi, esensi di balik itu adalah ada sesuatu yang menggerakan persona atas jawaban tersebut. Pengalaman transendental mestinya membantu setiap individu dalam menghayati dan menerima panggilan itu. Yang dimaksudkan pengalaman transendental adalah pengalaman mistik perjumpaan dengan Tuhan. Tidak dipungkiri bahwa
18 Mencintai Panggilan Xaverian Kita pengalaman akan relasi mesra dengan Tuhan adalah satu keharusan bagi setiap pribadi yang terpanggil. Pengalaman perjumpaan dengan Tuhan sangat membantu penghayatan serta cinta pada panggilan itu sendiri. Tidak mungkin setiap pribadi sampai pada titik kesetiaan jika tidak mempunyai pengalaman perjumpaan dengan Tuhan. Oleh karena itu, penekanan relasi cinta Aristoteles menggarisbawahi adanya tanggung jawab terhadap panggilan. Aristoteles menekankan juga bahwa cinta bukan hanya untuk kepuasan diri semata. Hal ini menjadi poin refleksi bagi setiap pribadi yang terpanggil terutama dalam menghidupi dan memaknai cinta pada panggilan. Dalam refleksi setiap anggota Xaverian, terutama komunitas para frater skolastikat menekankan empat dimensi sebagai sarana untuk lebih dalam mencintai panggilan Xaverian; dimensi hidup rohani, dimensi hidup bersama, dimensi hidup rasuli, dan dimensi hidup studi. Keempat dimensi ini menjadi tolok ukur eksistensi setiap pribadi atas jawaban terhadap cinta pada panggilan Xaverian. Bukan satu hal yang mudah (tentu saja), tetapi melalui pengalaman akan Tuhan sangat membantu persona untuk bertumbuh dan berkembang dalam perjalanan mencintai panggilan Xaverian itu sendiri. Pandangan filsafat cinta secara umum menekankan bahwa cinta melibatkan pilihan sadar dan bertanggung jawab untuk mencintai. Dalam proses keberlangsungan cinta itu memerlukan usaha untuk mempertahankan pilihan tersebut. Oleh karena itu, jawaban atas panggilan Tuhan merupakan pilihan yang penting untuk disadari dan bertanggung jawab atasnya. Kesadaran dan tanggung jawab ini merupakan manifestasi setiap persona yang mencintai keluarga Xaverian. Dalam komunitas Xaverian, setiap konfrater berasal dari daerah dan kebudayaan yang berbeda. Namun demikian, multikulturalitas bukanlah untuk mendominasi kebudayaan pribadi-pribadi tertentu, melainkan budaya Xaverian menjadi tonggak pemersatu kebudayaan-kebudayaan yang ada. Hal ini merupakan salah satu bentuk cinta pada panggilan Xaverian; bahwa keluar dari kebudayaan sendiri itu mutlak demi satu tujuan yang sama yaitu cinta pada budaya Xaverian. Cinta terhadap budaya Xaverian tentu saja salah satu manifestasi cinta pada panggilan sebagai anggota Serikat Xaverian.
Mencintai Panggilan Xaverian Kita 19 Perspektif Aristoteles menekankan relasi antara dua orang dan relasi perasaan yang mendominasi demi mencapai kebahagiaan. Cinta terhadap panggilan Xaverian mestinya dihayati sebagai relasi yang intim seperti relasi yang dimaksudkan Aristoteles untuk mencapai kebahagiaan. Kebahagiaan tertinggi mencintai panggilan tentu saja berangkat dari kesetiaan pada Tuhan dan serikat maupun komunitas yang menjadi tempat peziarahan panggilan. Yang perlu digarisbawahi adalah bahwa panggilan itu pada akhirnya tidak boleh tidak untuk membawa manfaat dan nilai kebahagiaan tertinggi bagi setiap pribadi dan banyak orang. Digambar oleh: Fr. Alfridus
20 Mencintai Panggilan Xaverian Kita Langit mulai menghitam, awan mulai terbang bebas membentuk gugusan laksana lukisan. Belumlah petang atau senja, tapi mengapa hari mulai gelap?. Sang surya tampak tersembunyi, aku dan Romo Bunglon duduk di sebuah teras biara untuk bercerita tentang hari ini. “Mungkinkah hujan akan turun Romo?” tanyaku kepada Romo Bunglon sambil memandang langit yang mulai menghitam dan sang surya yang mulai meredupkan cahaya. Sembari membersihkan kacamata, Romo Bunglon menyahut, “tenang saja frat.., mendung dan hujan kali ini berbeda, tidak perlu takut, karena setiap tetesan air hujan membawa pesan dari sang pencipta untuk mengobati hati yang remuk redam”. Tidak berhenti sampai disitu, Romo Bunglon kembali berujar, “ingat frat..,setiap tetesan air hujan selalu membawa keberkahan, setiap tetesan air datang dan pergi mewarisi teduh, lalu menandu kehangatan yang membuat hati bersukacita, juga pada giliranya akan mengiringi diri frater yang Tuhan panggil dan pilih untuk menjadi calon imam misionaris.” “Terima kasih banyak atas wejangannya romo, tapi bukankah panggilan hidup untuk menjadi imam misionaris itu penuh dengan tantangan, ya romo?” “Tantangan selalu bisa diatasi frat.., lewat rintik gerimis, mulailah untuk menyampaikan pinta dan doa yang tulus, jangan tunggu hujan lebat baru mewujudkan mimpi untuk menjadi imam misionaris”, ujar Romo Bunglon. Hujan di luar tampaknya semakin deras dan lebat, setiap tetesan tidak lagi layak disebut gerimis. Tetesan demi tetesan membasahi bumi, rintik-rintik air hujan tak terkira jumlahnya, seolah memaksa sang awan untuk menangis. Hujan yang lebat dan deras itu, ternyata tidak datang sendirian, namun datang bersama sahabatnya, sang angin yang membuat cuaca semakin dingin. “Merasa dingin ya frat?” tanya Romo Bunglon. “ia romo”, jawabku sambil menggigil. “Enjoy saja frat.., cobalah berdamai dan bersahabat dengan rasa dingin itu, hari ini mungkin frater hanya merasa dingin. Namun, Bersahabat Dengan Rasa dan Cuaca @adrian_lambu Fr. Adrianus Lambu, SX Kispen
Mencintai Panggilan Xaverian Kita 21 ketika waktu lantas memilih jalanya sendiri dan arah mata angin menuntun frater untuk menjadi imam misionaris di segala penjuru dunia, frater akan merasakan betapa indahnya bersahabat dengan seribu satu rasa dan cuaca yang menemani perjalanan panggilan frater menuju kota suragawi”, ujar Romo Bunglon dengan penuh kebapakan. “Terima kasih Tuhan atas percikan api misi yang engkau berikan kepadaku melalui Romo Bunglon yang sunggguh amat baik,” kataku dalam hati. Kemudian, Romo Bunglon kembali berujar, “tenang saja frat, tidak perlu takut, badai pasti berlalu dan Tuhan akan menyertaimu. Sekarang, mari kita tetap bercerita tentang hari ini.” “Baik, siap Romo, tetapi aku ingin agar kita menantang hujan di luar dengan secangkir kopi panas.” “Okelah Frat.., mari kita menantang hujan yang lebat ini dengan secangkir kopi panas,” kata Romo Bunglon sambil tersenyum dan mengajak aku untuk membuat kopi. Setelah membuat kopi, aku dan Romo Bunglon kembali duduk di teras sambil menikmati secangkir kopi kami masing-masing, melanjutkan cerita tentang misteri panggilan Tuhan, serta menyalakan percikan api misi. Kini aku sadar, ini bukan tentang air hujan saja, karena ternyata dalam secangkir kopi hitam, ada banyak sekali renungan tentang pahit dan manisnya hidup ini. Hujan kali ini berbeda, akhirnya aku bisa menikmati dinginnya berkat secangkir kopi panas. Dalam hati aku berkata; ternyata dingin itu tidak menakutkan, aku harus berani menghadapinya. “Sekarang mari kita ngopi (ngobrol pintar) frat, sambil menikmati kopi yang panas.” “Baik, terima kasih romo. Mari kita menikmati kopi dan hujan kali ini. Aku sangat bersyukur kepada Tuhan, karena kopi panas dan hujan turut menemani kita untuk bercerita tentang misteri panggilan di masa lalu, hari ini, esok, dan nanti. Bagiku, kopi dan hujan sama-sama air yang mendatangkan sukacita. Barangkali air kopi tidak sebening air hujan, dan air hujan tidak sehangat kopi, namun kopi mampu menghangatkan kita yang menikmati hujan. Nah, gini Romo..,kini aku menyadari bahwa perjalanan panggilanku untuk menjadi calon imam misionaris bagaikan secangkir kopi di mana pahit dan manis menyatu dalam kehangatan di antara rintik-rintik hujan. Hujan bisa menjadi inspirasi, ketika aku sedang merenung dan membuat aku bisa menjelajahi waktu, karena teringat masa lalu yang kelam dan menyenangkan. Namun, semua itu sungguh membuka mataku untuk melihat betapa dahsyat
22 Mencintai Panggilan Xaverian Kita dan dalamnya kasih Tuhan. Selebat apa pun hujan turun, ia tetaplah air yang membawa pencerahan. Tuhan menurunkan air hujan untuk membersihkan hatiku, agar tetap bertahan dan mencintai panggilanku untuk menjadi calon imam misionaris.” Hujan di luar tampaknya belum reda. Romo Bunglon juga masih setia dan mau mendengarkan ceritaku. Maka bersama hujan yang terus menerus turun, aku pun meneruskan ceritaku. “Nah.., begini Romo, aku juga menyadari bahwa dalam perjalanan panggilan ini, aku juga masih jatuh dalam kerapuhan diri dan terkadang masih merasa tidak layak di hadapan Tuhan. Mohon bantuannya romo, agar hal ini tidak menghambat aku untuk semakin mencintai panggilan menjadi imam misionaris.” “Kopi dan hujan kali ini menyatakan rasa yang teraduk dan penghangat bicara ya frat..,” ujar Romo Bunglon sembari menikmati secangkir kopi. “Nah, terima kasih atas keterbukaanmu yaa frat. Namun, sekali lagi mari kita belajar dari hujan dalam menjalani dan menghayati panggilan Tuhan ini. Hujan tak pernah menyerah, meskipun air hujan itu jatuh berkali-kali. Pernahkah frater menyadari bahwa kalau hujan itu turun dan jatuh terus? Dari hal tersebut, frater bisa belajar bahwa hujan tetap mencoba meskipun jatuh berkali-kali. Setelah panas seharian, hujan turun membasahi bumi. Cuaca menjadi berubah, hawa menjadi dingin, dan nyaman untuk beristirahat. Semoga dengan menyadari sifat hujan, frater jadi ingat untuk tidak terus memenuhi amarah melainkan tetaplah untuk bersifat enjoy menghadapi pergulatan panggilan. Seandainya kemarau itu datang tanpa diselingi oleh hujan, bumi akan menjadi kering, tak seindah yang kita bayangkan. Terpujilah Dia yang mendatangkan hujan setelah kemarau panjang.” “Terima kasih banyak atas nasihatnya, romo. Sepertinya hujan telah reda. Kini aku percaya bahwa hujan yang reda itu, bisa meredakan setumpuk luka yang sebelumya belum sembuh.” “Baik Frat..,kini aku sebagai sahabat seperjalananmu juga meyakini bahwa, frater memiliki potensi untuk menjadi Romo Bunglon yang selanjutnya. Semoga frater mampu bersahabat dengan rasa dan cuaca. Pertolongan kita dalam nama Tuhan, yang menjadikan langit dan bumi”.
Mencintai Panggilan Xaverian Kita 23 Lembayung Peziarahan @gebiy_dasman Gabriel Dasman Angin musim barat berhembus menyapu keringat yang masih menetes dari pelipisku. Ombak seakan mengantarku pada pencarian Sang Kekal, yang tak tahu entah dimana. Aku berdiri di anjungan kapal, menjemput jauh yang kian mendekat. Aku sudah melewati masa pencarian jati diriku. Dan sekarang aku hendak memberikan diriku yang telah kutemukan dalam pencarianku selama ini. Bahagia rasanya bisa membagikan kasih yang kuperoleh dengan susah payah, dengan peluh, yang membawa kehangatan dalam setiap derap langkahku kepada setiap insan. Aku menikmati setiap alurnya dengan sukacita, meski kadang duri datang menusuk jari telunjukkku, tapi aku menganggapnya sebagai sebuah sapaan. Aku tak pernah berharap menjadi orang yang istimewa, yang mendapat tepuk tangan atau sorak sorai. Aku hanya ingin meyakinkan banyak pribadi bahwa sang kekal akan senantiasa mengasihi dan mencintaimu. Aku terus berlayar dalam lamunanku yang tak pasti, hingga akhirnya aku sampai di daratan yang dipenuhi banyak pohon berdaun hijau, yang seakan melambai menyambut kehadiranku. Aku bukanlah pahlawan yang siap membawa kedamaian di hati para tawanan. Juga bukanlah hujan yang disambut dengan gembira oleh kemarau. Aku hanyalah sebuah batu yang menunggu digunakan oleh tukang bangunan, yang tak tahu kapan aku bermanfaat. Aku tak tahu apakah aku akan terkikis oleh dinginnya air hujan atau panasnya terik. Aku menatap tanaman di sekelilingku yang setiap hari berlomba menjemput sang fajar. Dan aku masih tetap di sini…diam tak bergeming serta masih mencari haluan untuk pegangan. Tetapi aku sadar bahwa sukacitaku akan segera datang menyapaku. Ohhh… lara terima kasih telah meninggalkanku di sini dengan kegembiraan yang menghinggap. Kispen
24 Mencintai Panggilan Xaverian Kita Aku selalu tahu mengapa aku di sini sekarang. Orangorang selalu bertanya, Mengapa kecintaanku begitu besar pada kesendirian? Meraka menganggap aku tak bisa memaknai arti cinta dan kebersamaan, ada juga yang menganggapku sangat egois karena lari dari tanggung jawab. Yang lainnya lagi mengatakan bahwa aku seperti menepi dari dunia dan mencari kesenangan dalam keheningan. Mereka tak pernah tahu bagaimana aku berjuang untuk memetik sesuatu dari banyaknya pohon yang ditanamkan dalam diriku oleh sang Maestro. Mereka tak pernah benar-benar memahamiku dengan baik, tetapi mereka seakan tahu segalanya tentang diriku. Aku tak pernah mencintai kesendirian. Aku hanya beranggapan bahwa Sang Kekal telah memberikan segalanya bagiku; entah itu cinta atau kebahagiaan. Aku tak pernah sendiri, Dia selalu menjadi cinta yang takan pernah meninggalkanku. Jadi, apakah salah jika aku juga memberikan diriku bagi-Nya? Labuan Bajo, 14 Februari 2010 Dear Paul… Aku pernah bernegosiasi dengan sepi agar ia menghilang dari kehampaanku tetapi aku sadar, bahwa ia datang semenjak engkau pergi… Aku tak pernah benar-benar memahami apa itu rindu. Aku ingin bertanya padamu, Apakah ia seperti seorang selibat yang meski tertambat dihati namun tak pernah tinggal? Jika benar, berarti aku sudah merindukanmu sejak saat itu. Barangkali kamu bertanya, apakah aku tak punya keluarga atau orang lain untuk kurindukan? Yaps…. Itulah masalahnya, aku tak punya semua itu sekarang. Lalu, apakah kamu mau menjadi kerinduanku? Aku iri dengan cintamu yang terlalu besar bagi Dia. Aku paham bahwa Ia adalah kesempurnaan yang tak terlukiskan, tetapi apakah kau tak terlalu egois untuk memberikan segalanya bagi Nya? Baiklah…. Jika itu memang pilihanmu, aku hanya bisa berdoa untukmu. Semoga kamu baik-baik saja di sana. Yang merindukanmu…. Theresia
Mencintai Panggilan Xaverian Kita 25 Surat itu selalu mengingatkanku pada There, teman dekatku saat aku duduk di bangku SMA. Ia mengirimnya saat aku memulai tahun ketiga dalam peziarahan hidupku yang nyata. Aku tak pernah membayangkan bagaimana aku bisa sampai pada tahap ini. Seakan baru kemarin aku berkunjung ke rumah There untuk mengerjakan tugas matematika bersama. Aku selalu ingat bagaimana senyuman almarhumah ibunya yang terukir manis dengan lesung pipitnya menyambutku setiap kali aku berkunjung. Dari dulu ia selalu berharap bahwa aku dan There bisa kuliah di universitas yang sama. Tetapi aku tak punya cukup uang untuk kuliah. Selain itu aku juga punya keinginan besar untuk pergi ke luar negeri. Satu-satunya jalan menurutku adalah menjadi seorang Misionaris. Hingga aku masuk ke dalam sebuah komunitas keluarga yang akan mempersiapkan aku untuk menyelami dalamnya kasih Sang Kekal. Tetapi tanpa sadar aku malah larut dalam kebahagiaan dengan keluarga baruku ini. Sehingga tujuanku yang semula, malah dengan mudahnya terabaikan olehku. Sekarang muncul sebuah harapan baru; yaitu agar tetap tinggal dalam sukacita yang tak berkesudahan ini. Bagaimana bisa aku melepaskannya begitu saja. Semuanya terlalu istimewa untuk kuhidupi dalam sisa peziarahanku ini. Mulanya hanya untuk mengejar bayang-bayang, tetapi kemudian bayang-bayang itu malah mengantarku pada terang. Semuanya begitu sulit untuk kupahami, ternyata melawan arus turut mengantarku pada mata air. Suasana sekelilingku semakin memaksaku untuk beranjak dari lamunanku yang semu ini. Hiruk pikuk kerumunanan masa telah menghadirkan suasana dan rasa. Dan aku masih tetap di sini, berdiri memandang daun-daun yang berguguran diterpa angin sore. Tetapi aku harus segera bergegas dari kesemuan ini, sebab banyak tugas menantiku di depan mata. Dan kepada cinta, terima kasih telah hadir dengan berbagai wujud yang tak kusadari. Hingga sapaan seorang bapak menyadarkanku dari lamunanku yang Panjang “Selamat Datang di Mentawai, Pastor”.
26 Mencintai Panggilan Xaverian Kita
Mencintai Panggilan Xaverian Kita 27
28 Mencintai Panggilan Xaverian Kita Tentang Xaverian Mencintai butuh pengenalan. Lalu bagaimana selama ini orang lain mengenal Xaverian? Apa Kata Mereka
Mencintai Panggilan Xaverian Kita 29 Dita Mahasiswi STF Driyarkara Angkatan 2023 Ibu Angel Orangtua dari Frater Fritz Bagi saya, para Frater Xaverian dalam hal ini Kak Fritz, kak Rhein dan kak Marsi, memiliki kesan yang sangat baik di kampus. Mereka lumayan aktif dan memiliki sifat penolong yang luar biasa. Mereka juga dikenal dengan sikap ramah dan baik hati. Kerelaan untuk meninggalkan keluarga dan kebudayaan, demi berkarya menjadikan dunia satu keluarga dalam bentuk pewartaan langsung kepada umat yang belum mengenal Kristus. Inilah perutusan misioner. Para Pastor Xaverian sangat antusias dan punya semangat membara dalam pelayanan misa di daerah terpencil yang belum menjadi paroki. Seorang pastor Xaverian juga sangat membimbing dan sangat membantu dalam pelayanan di Legio Maria. Meskipun jadwalnya sangat padat. Dwi Silvi OMK Pekanbaru
30 Mencintai Panggilan Xaverian Kita Motto “menjadikan dunia satu keluarga” punya Xaverian itu nyata. Ketika saya melihat Xaverian lebih dekat, saya sadar bahwa Xaverian sejatinya hidup dalam kesederhanaan tetapi penuh sukacita. Karena mereka kaya akan kasih dan saling menyayangi satu sama lain. Xaverian di angkatan saya memberikan kesan bersahabat dan bertanggung jawab. Tidak hanya di dalam kelas, tetapi juga di luar kampus. Jempol besar! Muhammad Yoga Hasta Raditya Mahasiswa STF Driyarkara angkatan 2022 Bapak Sympronius Magung Orangtua dari Frater Ical
Mencintai Panggilan Xaverian Kita 31 Tok tok tok suara pintu berbunyi Aku langsung pergi membukanya Belum aku sampai disana Dia mengetuk pintu semakin keras Ternyata seorang atlet Tok tok tok suara pintu bunyi lagi Aku bergegas menuju pintu Belum sampai aku disana Suara ketukan pintu makin keras Ternyata seorang pengusaha Tok tok tok pintu bunyi lagi Tak ingin kubuka pintu untuk ketiga kalinya Namun intuisiku bilang “buka” Akupun buka pintu dan berkata, “Mamma mia” Tak kusangka...Dia lah yang kunantikan Dialah orang yang kutunggu dan memberiku harapan Dialah misionaris Xaverian Aku mencintainya...kupeluknya mesra Kupegang tangannya...tak kubiarkan dia pergi Sebab dialah harapanku Takkan Kulepas @silalahi_willy Fr. Willy Silalahi, SX Sajak Saja
32 Mencintai Panggilan Xaverian Kita Untuk-mu, yang sedang lesu… Menatap rembulan di balik meja belajar Menerka langit yang semakin gusar Bingung… melihat buku “renungan” Yang kini, semakin ditinggalkan Menghabiskan waktu bersama beberapa bulan “Ah… mungkin ini bukan jalan Tuhan” Selorohmu sewaktu di meja makan Meskipun kita tahu itu bukan candaan Langkahmu makin linglung Saat memilih untuk menyambung… Hatimu dibungkam ego Yang kau kira bisa dinego Mana… mana semua euforia-mu? Di mana semangatmu dahulu? Mengapa engkau ingin berhenti berjuang? Mencintai Kristus dalam segala hal (?) Kuatkan hatimu, tegarkan jiwamu Ingat! Tuhan selalu menyertaimu Teguh dan segarkan kembali Panggilanmu Dan dengan lantang jawab; “Ini aku, utuslah aku!” Euforia @gandaxe Fr. Ganda Rumapea
Mencintai Panggilan Xaverian Kita 33 Tahun 2009, booming lagu dari grup band ST12 dengan judul “Jangan Pernah Berubah”. Pasti yang sudah lahir di era tersebut mengenal lagunya atau bisa mendengarkan kembali di kanal Youtube. Makna dari lagu ini adalah tentang seorang kekasih yang patah hati karena ditinggal oleh sang pujangga hati. Rasa cintanya sudah berubah sehingga ia pergi meninggalkan kekasihnya. Secara sederhana, lagu tersebut mempresentasikan bahwa semua manusia dapat berubah seperti sikap, wawasan, kematangan, ideologi, dan cara berpikir kita. Kenyataannya tidak hanya manusia saja yang mampu berubah tetapi Gereja sebagai sebuah institusi juga mampu berubah. Gereja ada di dalam dunia, bukan di luar dunia. Segala hal yang terjadi di dunia akan dirasakan oleh Gereja dan juga sebaliknya. Mengenang peristiwa sejarah berpisahnya Gereja Katolik Barat dan Timur (1054), Reformasi Protestan setelah Martin Luther diekskomunikasi (1521), serta gerakan reformasi dan revolusi yang terjadi di Eropa membuat mata Gereja semakin terbuka lebar menyadari eksistensi toleransi menjadi sebuah keniscayaan. Gereja Katolik juga semakin menyadari kenyataan bahwa manusia dilahirkan dalam budaya, berbagai aliran kepercayaan, dan agama-agama yang berbeda. Ajaran Gereja dari pertemuan akbar Konsili Vatikan II memiliki semangat pembaharuan (aggiornamento). Nilai multikultural, toleransi, dan dialog menjadi hal yang turut ditekankan sejak Konsili Vatikan II. Profesor Thomas H. Grome dari Boston College mengungkapkan evangelisasi atau pewartaan Injil bukan pertama-tama membawa orang masuk ke dalam Gereja melainkan membawa umat keluar untuk terlibat di tengah dunia; untuk ‘menghidupi imannya’ di Melangkah Keluar, Menjalin Dialog @fritz_prast Fr. Stanislas Fritz Prasetyo, SX Dialog Antar Agama
34 Mencintai Panggilan Xaverian Kita bidang ekonomi, politik, sosial, budaya, dll sebagai pekerjaan mereka. Cukuplah dengan nostalgia Gereja Katolik di masa lampau, dengan segala kemegahan dan kejayaannya. Kita harus melakukan pepatah latin, hic et nunc, yang artinya sekarang dan saat ini. Sadar dengan kenyataan Gereja dan dunia saat ini, kita perlu berkontribusi dalam pewartaan. Evangelisasi sekarang mengundang umat Kristiani untuk masuk dalam dialog yang jujur dengan umat agama lain sekaligus membangun kerja sama dengan semua orang yang berkehendak baik. Melangkah Keluar! Dialog sering diartikan sebagai sebuah seminar formal dengan pembicara dan struktur acara yang kaku. Padahal dialog sesungguhnya terjadi dalam hidup sehari-hari seperi ketika sedang naik angkutan umum, teman kerja, dll. Dalam suatu pengalaman naik transportasi online, dalam perjalanan saya dengan pengemudinya berdialog tentang agama Kristen dan katolik. Bukan keagamaan atau teologis yang rumit-rumit melainkan cukup bicara tentang kehidupan, terkisisnya nilai moral, dan mencari jalan keluar atas masalah yang ada. Dalam berbagai kesempatan sejak saya di komunitas Serikat Xaverian Cempaka Putih, saya berkunjung ke berbagai denominasi/aliran Gereja Protestan dan agama lain untuk memenuhi kerinduan saya mengenal lebih dalam temanteman yang berbeda. Lebih lanjut, saya berupaya untuk menjalin hubungan baik secara personal dengan mereka. Walaupun bukan dalam forum resmi, komunikasi yang terjalani sangat hangat dan penuh canda-tawa. Kesalahan persepsi dapat dikoreksi dengan bertemu langsung dan dapat lebih mengenal teman-teman dari Gereja lain serta agama lain. Bagi saya, dialog bukan hanya saat-saat khusus saja tetapi bisa dilakukan setiap saat. Tak dipungkiri bahwa ada ranah dialog tentang hal teologis yang berat dan rumit. Namun, banyak yang mengungkapkan bahwa dialog model itu terlalu abstrak dan berbelit-belit. Kebanyakan orang hanyalah orang biasa yang hidup mencari nafkah dengan dinamika hidup yang kompleks.
Mencintai Panggilan Xaverian Kita 35 Oleh sebab itu, setiap saat bertemu orang yang berbeda agama dapat menjadi sarana dialog. Pertama-tama bukan untuk membuat orang lain mengikuti agama yang kita yakini, melainkan agar pengalaman imanlah yang dibagikan. Iman akan Yesus yang menjadi jalan keselamatan harus menuntun umat Kristiani untuk berdialog dan bekerjasama dengan umat beragama lain. Pada saat Pentakosta terjadi, para rasul keluar dari tempat persembunyian mereka dan berbicara tentang Kristus. Mereka tidak lagi diam dan menyimpan segala pengalaman dengan Kristus, melainkan membagikannya kepada orangorang. Tidak hanya inspirasi atau keinginan saja, tetapi benarbenar mau keluar dan berjumpa. Saya sangat senang dengan ungkapan Paus Paulus VI; agar kita mau melangkah keluar untuk menjalin dialog dengan dunia, bahkan dengan seluruh umat manusia. Dialog tidak akan terjadi kalau kita hanya di rumah, tidak mau keluar untuk berkomunikasi, dan membuka pintu. Hanya mengharapkan orang untuk datang, itu keliru. Melalui perjumpaan dan dialog yang intensif, Gereja Katolik bersama Gereja-Gereja Protestan/Orthodox dan agama lain mampu menghasilkan deklarasi atau kesepakatan bersama. Beberapa kesepakatan adalah Deklarasi Katolik dan Lutheran tentang doktrin justifikasi (1999), Deklarasi Katolik dan Orthodox Rusia (2016), Deklarasi Katolik dan Islam di Abu Dhabi (2019), dan lainnya. Teladan dari pemimpin Gereja menjadi contoh kita untuk mau keluar dan berjumpa. Sering kali karena kenyaman di rumah dan kesibukan diri sendiri membuat kita tidak mau bergaul. Dari pengalaman saya akhirakhir ini bertemu dengan mereka yang berbeda agama dan Gereja, semakin mendorong saya untuk memgembangkan relasi yang lebih mendalam lagi. Kuncinya hanya satu; mau keluar untuk berjumpa, bukan lagi sekedar wacana.
36 Mencintai Panggilan Xaverian Kita Welcome back Warta Xaverian Lovers, rubrik memandang dunia kembali hadir dengan beberapa berita pilihan yang sebenarnya sih bisa teman-teman akses di Internet dengan mudah dan cepat, tapi di sini kita akan melihat nilai-nilai yang bisa kita petik dalam menumbuhkembangkan kecintaan kita akan panggilan sebagai seorang Xaverian dan misi evangelisasi. So, check it out! Kunjungi Kongo, Paus Fransiskus Desak Negara Kaya Lepaskan Afrika (tempo.co) Diperkirakan 5,7 juta orang mengungsi di Kongo dan 26 juta menghadapi kelaparan parah, sebagian besar karena dampak konflik bersenjata, menurut PBB. Sekitar setengah dari 90 juta penduduk Kongo adalah Katolik Roma. Gereja memainkan peran penting dalam menjalankan sekolah dan fasilitas kesehatan di negara Afrika tengah yang luas itu, serta mempromosikan demokrasi. Paus mengkritik negara-negara kaya karena mengabaikan tragedi yang terjadi di Kongo dan tempat lain di Afrika. “Ada kesan bahwa komunitas internasional secara praktis telah pasrah dengan kekerasan yang melahapnya (Kongo). Kita tidak bisa terbiasa dengan pertumpahan darah yang menandai negara ini selama beberapa dekade, menyebabkan jutaan kematian,” katanya. Presiden Kongo, Felix Tshisekedi membuat poin serupa, “Sementara komunitas internasional tetap pasif dan diam, lebih dari 10 juta orang telah dibunuh secara mengerikan.”Pertama kali dijadwalkan pada Juli lalu, perjalanan Paus ditunda karena penyakit lutut kronis yang kambuh. Paus Fransiskus awalnya berencana untuk melakukan perjalanan ke Goma, di Kongo timur, tetapi pemberhentian itu dibatalkan karena meningkatnya pertempuran antara pemberontak M23 dan pasukan pemerintah. Dalam referensi yang jelas untuk M23 dan milisi lain yang aktif di wilayah timur Kongo, Memandang Dunia Kunjungan Paus ke Afrika, Jantung Emas Maria & Zayed Award 2023 @ndetoerick Fr. Herybertus Jakpen Metta Ndeto, SX
Mencintai Panggilan Xaverian Kita 37 Paus mengatakan orang-orang Kongo berjuang untuk mempertahankan integritas teritorial mereka “melawan upaya menyedihkan untuk memecah belah negara”. Pada Rabu 1 Februari 2023, Paus Fransiskus merayakan Misa di bandara Kinshasa yang diperkirakan akan menarik lebih dari satu juta orang. Ia juga akan menemui korban kekerasan dari timur. Paus Fransiskus akan tinggal di Kinshasa sampai Jumat pagi, kemudian terbang ke Sudan Selatan, negara Afrika lainnya yang juga bergulat dengan konflik dan kemiskinan. Dia akan ditemani oleh Uskup Agung Canterbury, pemimpin Gereja Kristen Anglikan, dan Moderator Gereja Skotlandia. Para pemimpin agama menggambarkan kunjungan bersama mereka sebagai “ziarah perdamaian” ke negara termuda di dunia. Sudan Selatan memperoleh kemerdekaan pada 2011 dari Sudan yang mayoritas Muslim setelah puluhan tahun konflik. Dua tahun kemudian, konflik antaretnis berkembang menjadi perang saudara yang menewaskan 400.000 orang. Kesepakatan 2018 menghentikan pertempuran terburuk. Atlet Lempar Lembing Polandia Jual Medalinya untuk Biaya Operasi Jantung Seorang Bocah Lelaki (katolikku.com) Maria Magdalena Andrejczyk adalah seorang atlet lempar lembing Polandia peraih medali perak Olimpiade Musim Panas 2020 dan Juara Junior Eropa 2015, yang juga seorang Katolik yang taat, telah menjual medali Olimpiadenya dalam lelang untuk mendapatkan uang untuk operasi jantung seorang anak laki-laki Polandia. Jaringan toko Polandia Zabka memenangkan pelelangan, tetapi mereka mengembalikan medali itu kepadanya. Maria Magdalena Andrejczyk lahir 9 Maret 1996 lahir dari pasangan ayah Malgorzata Andrejczycj dan Tomasz pernah meraih penghargaan: Polish Sportspersonality of the Year, Discovery of the Year. Prestasi pribadi terbaiknya dalam lomba lempar lembing adalah lemparan sejauh 71,40 m, yang dicetak pada 2021. Dia adalah rekor Polandia serta hasil terbaik ketiga dalam sejarah kompetisi lempar lembing putri. Komunitas Katolik San’t Egidio dan Aktivis Perdamaian Kenya Raih Zayed Award 2023 (katoliknews.com) Komunitas Sant’Egidio, persekutuan awam Katolik yang didedikasikan untuk karya kemanusiaan, mendapat Zayed Award 2023, bersama seorang aktivis perdamaian
38 Mencintai Panggilan Xaverian Kita Kenya, Shamsa Abubakar Fadhil. Seperti dilansir Vaticannews, Penyelenggara mengatakan, komunitas ini diakui atas “kontribusinya untuk negosiasi perdamaian dan resolusi konflik melalui diplomasi agama dan dialog antarbudaya.” Selain itu, atas dedikasi mereka dalam layanan kepada masyarakat di berbagai belahan dunia, dan inisiatif “Koridor Kemanusiaan”, yang membawa pengungsi dari negara-negara yang dilanda perang ke Eropa. Sementara itu, Shamsa Abubakar Fadhil, yang dikenal sebagai “Mama Shamsa”, adalah penggerak komunitas dan pembangun perdamaian Kenya. Dia telah menjalankan kampanye di Kenya dan di tempat lain di Afrika untuk meningkatkan kesadaran akan kekerasan terhadap perempuan, dan bekerja untuk pemberdayaan perempuan dan kaum muda. Sebuah pernyataan yang dikeluarkan pada Selasa, 31 Januari 2023 oleh Komite Penghargaan Zayed mengatakan bahwa dia telah diakui “karena memelihara kaum muda di Kenya dan menyelamatkan kaum muda dari kekerasan, kejahatan, dan ekstremisme, dengan memberi mereka konseling, perawatan, dan pelatihan.” Penghargaan ini diberikan pada Sabtu, 4 Februari 2023 bertepatan dengan Hari Persaudaraan Manusia yang ditetapkan PBB di Uni Emirat Arab beberapa tahun lalu. Penghargaan Zayed untuk Persaudaraan Manusia telah diberikan setiap tahun selama empat tahun terakhir sebagai pengakuan atas “kontribusi pemenang untuk membangun dunia yang lebih damai dan penuh kasih melalui memajukan nilai-nilai persaudaraan manusia dan memberikan contoh yang menginspirasi dalam mempromosikan hidup berdampingan secara damai.” Penghargaan ini diluncurkan pada 2019, untuk memperingati pertemuan bersejarah antara Paus Fransiskus dan Imam Besar Al-Azhar, Ahmed Al-Tayyeb, di mana mereka menandatangani Dokumen Persaudaraan Manusia. Memetik Inspirasi Gimana nih WX Lovers, inspiratif bukan! Kehadiran Paus Fransiskus di Kongo dan Sudan memperlihatkan kepedulian dan perhatian Gereja akan realitas kemanusiaan yang memprihatinkan dalam pelbagai dimensi kehidupan. Rekonsiliasi merupakan tujuan utama dari rangkaian kunjungannya. Kunjungan ini sebenarnya cukup riskan, sebab beberapa hari sebelumnya masih ada aksi kekerasan yang
Mencintai Panggilan Xaverian Kita 39 menewaskan cukup banyak orang. Gereja ingin berjalan bersama. Kehadiran di dalam kekalutan dan kesulitan hidup orang lain sangat penting dalam kehidupan bersama. Kehadiran menandakan kepedulian, perhatian, berjalan bersama (sinodalitas) dan membawa pengharapan bagi yang ditimpa ragam persoalan kehidupan. Aktualisasi sinodalitas dalam ranah personal kita lihat dalam perhatian seorang wanita, atlet lempar lembing yang melelang medalinya untuk membantu operasi jantung seorang bocah lelaki di Polandia. Aksinya menggerakan pihak lain untuk turut serta membantu. Ada adagium Latin yang mengatakan verba docent, exempla trahunt yang berarti kata-kata mengajar, tindakan memberi teladan. Semoga teladannya menggerakkan kita juga. Last but not least, tak asing di telinga kita frasa ini: cinta itu buta. Buta berarti tidak memandang perbedaan sebagai tembok yang menjadi sekat untuk berelasi dengan yang lain. Buta melampaui kami dan mereka menjadi kita. Itulah cinta yang ditunjukkan oleh Komunitas Sant egidio dan seorang aktivis Kenya dalam aksi-aksi kemanusiaan dan dialog lintas iman dan budaya. Ibarat sebuah gelas kosong yang diisi air, mencintai menjadi penuh melalui aksi yang berbelaskasih. Fiat Lux : Jadilah terang!
40 Mencintai Panggilan Xaverian Kita Seputar Misi Mencintai Dalam Kesederhanaan P. Evan Abi, SX - Misionaris Xaverian di Burundi Setiap orang memiliki cara untuk mencintai dirinya dan mencintai orang lain. Bertolak dari cara pandang ini saya ingin merangkum pengalaman misi saya di Burundi dengan tema : « mencintai dalam kesederhanaan. » Saya menyadari dan mengetahui bahwa setiap orang memiliki kapasitas atau kemampuan untuk mencintai; namun bagaimana cara mencintai itulah yang menentukan autentisitas sebuah cinta dari dan kepada seseorang. Pendek kata saya ingin membagikan pengalaman mencintai di tempat misi saat ini. Untuk diketahui bahwa setelah di tahbiskan tanggal 21 Agustus 2020, saya ditugaskan untuk bermisi di Burundi, Afrika-Timur. Awal bulan Desember tahun 2020, saya tiba di Burundi untuk pertama kalinya. Sesaat sebelum mendarat, saya merasakan sebuah kebahagiaan yang begitu kuat seperti seseorang yang jatuh cinta pada pandangan pertama. Negara Burundi sebenarnya adalah cinta pertama saya karena di tempat inilah saya memulai misi sebagai seorang imam baru. Sebelum berkisah lebih lanjut saya akan menjelaskan sedikit tentang demografi Burundi. Luas wilayah negara Burundi : 27.834 km2, populasinya : 11, 53 juta. Agama : Katolik (60%), Protestan (15%), Islam (2%) dan tradisional (11%). Bahasa Negara : Perancis dan Kirundi. Makanan pokok : Kacang merah, pisang, nasi, kentang dan tepung dari singkong dan jagung yang dicampur dengan air panas lalu diaduk sampai kental seperti bola lalu dimakan, sering disebut boules atau Ubugari. Sayur dan lauk pauknya seperti di Indonesia ; Kol, sayur bayam, daging, ikan dan sebagainya. Secara umum, orang-orang Burundi memiliki budaya yang sangat kuat teristimewa budaya menghargai satu sama lain, menghargai orang asing, budaya mendengarkan, sopan santun dan kerja keras. Akan tetapi, nilai-nilai positif budaya mereka dicemari oleh perang yang beruntun dan memakan begitu banyak korban. Suatu hal yang terus melukai kesatuan mereka sebagai suatu bangsa adalah perang antar-etnik. Dari
Mencintai Panggilan Xaverian Kita 41 11,53 juta penduduk, mereka hanya memiliki 3 etnik (HUTUTUTSI dan BATOUA) dari ketiga etnik ini dikatakan etnik HUTU yang mayoritas, setelah itu TUTSI dan yang terakhir adalah BATOUA. Dalam sejarah Burundi diceritakan bahwa orang-orang pribumi adalah HUTU dan BATOUA sedangkan TUTSI adalah para pendatang. Peperangan terjadi karena ketidakadilan dalam birokrasi pemerintahan. Dilihat dari segi morfologi, Etnik TUTSI lebih tinggi dengan hidung mancung sedangkan HUTU sebaliknya, begitupun BATOUA. Menurut sejarah diceritakan bahwa etnik TUTSI lebih pintar dan kaya, sedangkan etnik HUTU (yang walaupun mayoritas) dikenal sebagai yang terbelakang dan hanya bisa bercocok tanam. Oleh karena itu, etnik TUTSI yang mengambil alih pemerintahan dan tatanannya. Hal yang menjadi pelatuk terjadinya kasus pembunuhan masal terbesar yakni pada tahun 1993 adalah ketika presiden pertama dari HUTU (MELCHIOR NDADAYE) dibunuh hanya setelah 102 hari menjadi presiden. K e m a t i a n presiden dari etnik HUTU melahirkan sebuah kebencian dan dendam yang begitu besar dan mendalam kepada saudara/i mereka yang beretnik TUTSI dan hal ini berakibat fatal karena dari peristiwa ini, yang beretnik HUTU membunuh semua yang beretnik TUTSI dan begitupun sebaliknya. Adapun mereka yang selamat berhasil mengungsi ke negara tentangga; baik dari etnik TUTSI maupun dari etnik HUTU. Mengapa saya menceritakan sejarah ini? Karena untuk mengenal pribadi orang-orang Burundi, kita harus mengerti sejarah yang secara langsung atau tidak langsung membentuk karakter dan kepribadian mereka. Situasi politik yang tidak stabil di Burundi itulah yang melahirkan situasi sosial dan ekonomi yang timpang. Di balik sejarah kehidupan politik, sosial dan kehidupan ekonomi, orang-orang Burundi sangat beriman. Dalam kehidupan menggereja, mereka sangat aktif ; setiap perayaan misa harian maupun pada hari minggu, gereja selalu
42 Mencintai Panggilan Xaverian Kita dipenuhi dengan umat dan mereka sangat antusias menerima sakramen pengakuan. Seringkali para pastor kewalahan untuk memberi sakramen pertobatan karena mereka hampir datang setiap hari. Yang sangat berkesan bagi saya dari masyarakat Burundi adalah cara mereka menghadapi hidup, dalam arti mereka tidak takut akan kematian, kemiskinan ataupun hal lainnya yang membuat mereka menderita. Hal ini saya amati baik waktu berada di ibu kota negara maupun sewaktu di pedesaan, sepertinya mereka itu memiliki sebuah filosofi hidup yang sangat inspiratif: kehidupan hari ini lebih penting dari pada kehidupan hari esok apapun kondisinya. Sebenarnya negara Burundi sangat kecil dilihat dari segi geografi. Selain itu, populasinya semakin bertambah dan lahan untuk tinggal ataupun untuk bekerja tidak memadai lagi. Kembali pada tema yang saya ungkapkan di awal tulisan ini bahwa setiap kali bermisi, kita ditantang untuk memberi satu warna khas pada o r a n g - o r a n g yang kita jumpai. Warna yang saya berikan adalah mencintai dalam kesederhanaan. Ketika saya tiba di Burundi akhir tahun 2020, saya memulai dengan belajar bahasa (bahasa Kirundi) dan budaya, dan setelah satu tahun belajar, saya ditugaskan menjadi ekonom di Komunitas para frater filsafat Xavérian Burundi dan menjadi animator panggilan. Selama kurang lebih dua tahun lebih di Burundi, saya selalu berusaha untuk mencintai mereka dalam bingkai kesederhanaan mereka. Bertolak dari sejarah, Misionaris Xaverian masuk ke Burundi pada tahun 1964 dan mayoritas para pastor dari Italia. Xaverian sangat dikenal di Burundi karena banyak membangun Gereja, sekolah dan poliklinik serta proyek lainnya yang sangat membantu masyarakat Burundi. Oleh karena itu Xaverian dikenal sebagai pastor yang berduit. Hal ini berakibat buruk bagi pastor xaverian lokal dan yang bukan orang Italia. Hal itupun yang terjadi pada diri saya dan sebagaimana yang saya katakan bahwa di tanah misi, setiap
Mencintai Panggilan Xaverian Kita 43 orang dituntut untuk memberi warna tersendiri pada umat dan masyarakat pada umumnya. Ketika saya enam bulan bertugas di paroki xaverian yang terletak di pedalaman untuk belajar bahasa lokal, saya berusaha untuk masuk dalam ritme kehidupan di desa, berkunjung ke rumah-rumah, makan dan minum apa yang mereka sediakan, menjenguk orang sakit, bermain dengan anak-anak, bernyanyi bersama dengan orang tua, minum minuman tradisional mereka sambil bercanda ria. Ikut mencangkul tanah serta memanen hasil pertanian di sawah dan di ladang mereka. Suatu waktu, saya menginap di sebuah rumah di pedalaman, pertemuan kami diawali dengan menonton film, lalu berbagi pengalaman dan ditutup dengan doa serta makan malam bersama. Hal yang ingin saya bagikan adalah pengalaman tidur di tempat tidur kayu dan ditemani oleh tikus sepanjang malam. Sewaktu istirahat malam saya diberi selimut seukuran dengan tubuh dan baru saja memejamkan mata, saya merasakan sesuatu yang terus berkeliaran di kaki, bagian perut serta kepala dan karena gelap saya tidak melihat apapun. Namun sepanjang malam saya bertahan hingga pagi dengan situasi itu. Di balik cerita ini saya ingin mengatakan bahwa mencintai dalam kesederhanaan bukan hanya soal memahami dan mengerti kondisi orang lain apapun itu, tetapi lebih pada menerima dan mencintai mereka dalam kondisi apapun. Saya mengingat seseorang yang mengatakan kepada saya: “Pastor, kami menyukai dan mencintaimu karena pastor mau menerima dan mencintai keadaan kami apa adanya, pastor minum dan makan apa yang kami sediakan tetapi lebih dari itu pastor memberikan harapan bahwa Tuhan mencintai kami bukan karena kami memiliki segalanya, tetapi karena dalam segalanya kami selalu bersyukur dan memuji Tuhan apapun situasi hidup kami”. Kalimat ini terus mendorong saya untuk selalu menjadi pewarta harapan di tengah umat yang terus mencari kebenaran akan kehidupan iman itu sendiri. Zaman sekarang kita dituntut untuk menjadi kreatif dalam bermisi karena kita bersaing dengan dunia dan dunia saat ini memiliki daya tarik yang begitu kuat. Jika cara hidup bermisi kita tidak mendasar dan berakar dalam kehidupan umat, dunia akan menjadi tempat pengungsian bagi mereka. Ajakan saya adalah mari kita membentuk karakter iman kita, dengan cara membangun rasa cinta kita yang mendalam akan kehidupan rohani, dan mengakarkan kehidupan rohani kita lewat teladan hidup yang autentik dan tindakan kasih yang tiada batas kepada orang lain.
44 Mencintai Panggilan Xaverian Kita Gatta Kutshi (2022) Film India yang dibintangi oleh Aishwarya Lekshmi, Karunas dan Vishnu Vishal ini dirilis pada 2 Desember 2022 dan disutradarai oleh Chella Ayyavu. Film ini menggambarkan situasi dilematis dalam kehidupan cinta khususnya membangun keluarga. Di dalamnya ada pengaruh kebiasaan, tradisi dan pandangan masyarakat tentang kehidupan berkeluarga. Hal yang lebih menarik lsgi adalah masalah kesetaraan gender yang tidak ada ujungnya dalam kehidupan peradaban manusia, khususnya di negara-negara yang masih memegang teguh budaya patriarki. Berkisah tentang Keerthi; seorang wanita cantik yang sejak kecil sudah akrab dengan gulat dan akhirnya tertarik dengan gulat. Ia sering memenangkan kompetisi kejuaraan gulat di negaranya dan ia dikenal oleh banyak orang karena prestasinya itu. Namun ayah dan ibunya tidak setuju dengan bakat Keerthi karena takut putri mereka bakalan sulit menikah. Dan benar saja, ketakutan itu nyata terjadi. Alasannya beragam; mulai dari takut kehidupan rumah tangga hancur, takut sering terjadi pertengkaran, hingga takut posisi sebagai laki-laki semakin hina jika mereka yang akan menjadi lebih taat pada perempuan. Bagi mereka, perempuan mesti taat dan tunduk pada laki-laki, tidak boleh lebih pintar atau lebih berpendidikan tinggi dibanding laki-laki. Jika tidak demikian, hal itu adalah malapetaka atau penghinaan.
Mencintai Panggilan Xaverian Kita 45 Suatu ketika, ayah Keerthi jatuh sakit. Ayahnya selalu berharap agar Keerthi meninggalkan gulatnya dan segera menikah. Hati Keerthi sangat sedih. Hingga suatu ketika Veera datang melamarnya. Veera, seorang lelaki yang aktif juga dalam kegiatan Kabaddi (sejenis gulat kuno) di daerah mereka. Veera memiliki kriteria khusus dalam mencari perempuan yang akan menjadi istrinya, harus berambut panjang. Hal itulah yang menjadi halangan bagi Keerthi sebab ia pemain gulat yang berambut pendek. Tatapi pamannya tidak kehabisan akal, ia diberi rambut palsu yang kira-kira sesuai idaman dan kriteria Veera. Saat datang lamaran, Veera langsung jatuh cinta melihat kecantikan Keerthi dan rambut panjangnya yang tertata rapi yang membuat Veera kagum. Akhirnya mereka pun menikah dan tinggal bersama. Suatu ketika, Veera dan Keerthi menghadiri suatu upacara keagamaan. Musuh Veera datang mengganggu mereka dan berusaha mengeroyoknya. Saat itu Veera kewalahan dan gagal melawan lawan-lawannya itu. Saat itulah seluruh masyarakat menyaksikan Keerthi membantai habis-habisan para lelaki yang menyerang suaminya. Seluruh masyarakat senang. Namun hal itu menjadi penghinaan bagi para lelaki di daerah itu, khususnya Veera sebagai suaminya. Ia merasa harga dirinya hancur dan dipermalukan oleh istrinya sendiri. Ia seakan kehilangan kehormatan dan nama baik yang berusaha ia jaga selama ini hanya karena istrinya membantunya dalam perkelahian sengit itu. Veera tidak terima akan hal itu, ditambah lagi Keerthi menampar paman Veera karena baginya paman Veera itu tidak menghargainya. Perpisahan pun terjadi. Namun, Keerthi menitipkan pesan bahwa ia akan kembali jika Veera sudah paham dan menerima arti dari semua yang dilakukannya. Namun bagi Veera, harga dirinya harus tetap ia pulihkan apapun caranya. Menuruti saran dari pamannya, ia pun mengikuti kompetesi gulat yang di dalamnya Keerthi juga ikut bertanding. Saat tiba hari pertandingan, petaka menimpa Keerthi. Ia jatuh pingsan saat melawan Veera, suaminya sendiri. Ternyata Keerthi hamil dan itulah yang membuatnya jatuh pingsan. Setelah melalui pertimbangan, Veera mau menerima Keerthi kembali dan mendukung keinginannya untuk menjadi seorang pegulat. Layar Kaca CPR 42
46 Mencintai Panggilan Xaverian Kita “Hidup di Manila…” @martinuszalukhub5 Fr. Martinus Zalukhu, SX Teologi Internasional Mabuhay sa Philippines, welcome to the Philippines; that was the first Greeting when I arrived at St. Nino Air Port, Philippines, on March 5, 2022. Finally, with God’s blessing, my brothers welcomed me into Community theology; after almost two years, my departure was postponed because of the Pandemic. Saat ini, di komunitas teologi Manila, kami hidup dari berbagai negara, yaitu: Brazil, Kongo, Burundi, Thailand, Indonesia, dan Italia. Dengan beragam karakter dan budaya yang berbeda, kami menggunakan bahasa Inggris untuk berkomunikasi, dan sedapat mungkin juga menggunakan bahasa Tagalog untuk berkomunikasi dengan orang Filipina. Hal ini tentunya menjadi tantangan tersendiri bagi kami semua dalam menggunakan second language or third language. Uniknya, meskipun Bahasa Inggris menjadi bahasa resmi, kebanyakan orang Filipina lebih suka menggunakan Tagalog atau Taglis-Tagalog-Inggris. Jadi, saat berjumpa dan berkomunikasi dengan mereka, kami perlu menyesuaikan diri, dan belajar berkomunikasi dengan bahasa Tagalog. Sebagai anggota baru di komunitas Manila, saya perlu menyesuaikan diri dengan budaya dan bahasa setempat. Untuk budaya, orang Filipina lebih kuat dalam kelompokfamily, ataupun group. Mereka lebih suka hidup dalam kelompok-kelompok kecil. Jika mereka telah bergabung dengan satu kelompok, mereka akan setia pada kelompoknya, dan sulit untuk bergabung ke kelompok lainya. Satu sisi, hal ini membantu mereka untuk saling membantu dalam kelompoknya. Sisi lainnya, ada semacam keengganan untuk bergabung bersama kelompok lain. Jadi, setiap ada kegiatan, di Gereja, meskipun mereka berdoa bersama, mereka masih terpisah dalam kelompok masing-masing. Adanya keunikan berkelompok, barkada-dalam
Mencintai Panggilan Xaverian Kita 47 Bahasa Tagalognya, adalah suatu tantangan tersendiri bagi kami Xaverian dalam bermisi menjadikan dunia satu keluarga. Contoh misinya adalah kerasulan bersama anak muda. Sadar akan kuatnya barkada, kami mencari dan mendekati ‘leader’ dari anak muda, agar bisa mengajak teman-temannya untuk ikut kegiatan kerasulan. Sisi positifnya, jika leader-nya rajin dan setia pada kegiatan Gereja, kita lebih mudah akrab dengan mereka, sehingga lebih mudah juga untuk menghimpun anak muda dalam pertemuan ataupun kegiatan Paroki. Sisi negatifnya, jika leader-nya tidak ikut dan tidak berkomitmen untuk bergabung dengan kegiatan Gereja, maka akan lebih sulit untuk menyatukan mereka dalam kegiatan apapun. Setelah kurang lebih satu tahun hidup di Manila, saya merasa bahwa Yesus terus membimbing saya dalam sukacitaNya. Kehidupan komunitas dengan berbagai kegiatan yang konkret dalam karya doa, fraternity, dan apostolic. Misi dimulai dari persaudaraan di komunitas dengan kehidupan harian, perayaan khusus-pesta, dan tentunya menyebarkan sukacita Injil pada umat. Melalui karya kerasulan, saya semakin mempunyai peluang untuk bisa berbagi kasih dengan umat, khususnya anak muda. Saya merasakan misi kecil dengan memberikan pendalaman iman, sebab mereka sangat membutuhkan hal itu. Hal itu membuat saya menyadari kenyataan dari hidup seorang misionaris. Realitanya...mereka adalah anak muda katolik yang sangat minim pengetahuan akan iman. Anak muda Filipina kebanyakan dibaptis dari bayi, sehingga untuk pendalaman iman, katekese, dan sebagainya sangatlah jarang. Contohnya saja, mereka belum mengerti apa itu Injil dan tujuannya, apa nama keempat Injil, dll. Untuk hal mendasar ini, kebanyakan dari mereka masih salah untuk menjawabnya, padahal mereka sudah teenager; setara SMP dan SMA. Artinya, kesadaran akan iman mereka masih sangat rendah. Hal ini menjadi tantangan bagi kami, para frater, untuk mengajak mereka lebih dekat dan belajar tentang misi menjadi garam dunia, yang dimulai dengan mengenal, membaca, dan merenungkan, serta membagikan Yesus dalam dinamika dunia mereka. Salah satu pengalaman unik adalah sering disangka sebagai orang Filipina karena sangat mirip dengan mereka; postur tubuh, wajah, gaya model rambut, dll. Saat pertama kali sampai di Filipina, mereka memanggil saya “kuya-abang’ dan mulai berbicara dalam Bahasa tagalog. Sering kali saat
48 Mencintai Panggilan Xaverian Kita saya pergi jalan-jalan dan berbelanja, mereka langsung menggunakan Bahasa Tagalog. Lalu saya hanya meminta maaf, karena saya tidak mengerti apa yang dimaksud. Saya hanya bisa menebak apa yang mereka katakan, dan perlahan mulai mamahaminya. Tentunya dalam hal ini, saya sering kali salah mengerti, tetapi saya juga banyak belajar bahasa mereka, sehingga semakin memperkaya saya dalam mengenal budaya Filipina. Pengalaman unik lainya adalah pengalaman traffic. Saat ini, komunitas kami berada di Baranggai Maligaya, Pasong Putik, Manila. Ini seperti daerah Bekasi, pinggiran kota. Traffic menjadi fenomena biasa di tempat ini, dan setiap pergi ke sekolah, Loyola School Theology, kami harus berangkat pagi hari, sekitar jam 6. 15. Kalau tidak terlalu macet, kami akan sampai di sekolah sekitar pukul 08:00, dan jika macet 8.30. Kami masih punya waktu untuk istirahat sejenak sebelum pelajaran dimulai pukul 09:00. Jika ada kelas siang, maka kami akan selesai pada pada pukul 17:00. Tentunya, kami akan menikmati traffic lagi untuk bisa sampai di rumah. Tantangan lainnya adalah hidup doa. Saya menyadari bahwa seringkali saya mengabaikan hidup doa pribadi. Alasannya bermacam-macam, salah satu alasannya adalah studi. Untuk saat ini, waktu luang untuk mengerjakan tugas hanyalah pada malam hari, dan jika fokus tentu lebih mudah mengatur kegiatan lainya. Sayangnya, sering kali saya lebih mencari hiburan dengan mendengarkan musik, nonton youtube, dll, sehingga pada waktu doa pribadi, saya masih sibuk mengerjakan tugas. Dalam hal itu, saya masih perlu banyak belajar dan mendisiplinkan diri untuk mengatur waktu pribadi dan komunitas. Inilah bagian lain dari tantangan hidup seorang teologan, hidup lebih banyak diatur secara pribadi. Jika saya tidak siap, maka masa depan-priest, juga perlu untuk dipertanyakan. Untungnya, saya punya spiritual director, Padre Simone, SX. Setiap kali colloquium, beliau selalu mengingatkan saya untuk setia menjaga hidup doa. “Menjaga hidup doa, sama seperti menjaga panggilan ini, dan tanpa doa, mungkin tidak ada yang membedakan kita dengan umat lainnya.” Demikianlah kira-kira pesan yang sering disampaikannya. Untuk saat ini, saya masih suka membuat puisi. Puisi adalah suatu tempat bagi saya menceritakan pengalaman, perasaan dan perjumpaan dengan Kristus dalam kehidupan