The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Implementasi paradigma "Kehutanan Sosial" 2016

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by badur62kitmedia, 2022-01-09 20:51:41

Stategi Pengembangan KPH

Implementasi paradigma "Kehutanan Sosial" 2016

Keywords: KPH

STRATEGI PENGEMBANGAN

KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN (KPH)

BERWAWASAN KEHUTANAN SOSIAL

DISUSUN SEBAGAI PRASYARAT UNTUK MENDUDUKI
JABATAN FUNGSIONAL WIDYAISWARA AHLI UTAMA
KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN

DR. Ir. BAHDARSYAH, M.Pd.
NIP. 19620412 199203 1 005
PEMBINA UTAMA MUDA/IV-C
WIDYAISAWARA MADYA

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN

BADAN PENYULUHAN DAN PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA

PUSAT DIKLAT SDM LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN

BOGOR; 27 SEPTEMBER 2016

Sumber Foto: FKKM Riau, 2005.

Kesatuan Pengelolaan Hutan

Melestarikan sumberdaya hutan tropika basah dengan ragam
jenis dan produk tanpa konflik, sehingga berfungsi optimal
sebagai sumber kehidupan manusia di muka bumi di masa
sekarang dan akan datang.

Disampaikan Pada Orasi Ilmiah Untuk Menduduki
Jabatan Fungsional Widyaiswara Ahli Utama

Kementerian Lingkungan Hidup Dan Kehutanan

DR. IR. BAHDARSYAH, M.PD.
NIP. 19620412 199203 1 005
PEMBINA UTAMA MUDA/IV-C
WIDYAISAWARA MADYA

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN

BADAN PENYULUHAN DAN PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA

PUSAT DIKLAT SDM LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN

BOGOR; 27 SEPTEMBER 2016

‫ه الرحمن الرحيم الل بسم‬

(Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang)

Assallamu ‘alaikum Wr. Wb.

Yang saya hormati …..
Bapak Kepala Badan P2SDM KLHK
Bapak Kepala LAN
Bapak/Ibu Jajaran Eselon I Kementerian LHK
Bapak Kapus Diklat SDM LHK
Para Kolega Widyaiswara lingkup KLHK
Para pelakana Orasi Ilmiah ini
Para Tamu Undangan, Hadirin; yang tidak bisa saya sebutkan satu
persatu

Alhamdullilahi rabbil alamin, Allahu Akbar; Pertama- tama
tentunya tidak ada kata yang pantas terucap kecuali Puja dan Syukur
ke Hadirat Allah SWT,
karena atas Rahmat dan
REFLEKSI DIRI

Hidayah Nya kita bisa James J.C. Yen (1920)

berkumpul di ruangan Pergilah ke masyarakat
yang Insya Allah di Tinggallah bersama mereka
berkahi, untuk mengikuti
Belajar dari mereka

orasi ilmiah dalam rangka Susun rencana bersama mereka

alih jenjang jabatan Bekerjalah dengan mereka
fungsional dari Mulai dengan apa yang mereka tahu
Bangunlah di atas apa yang mereka punya
widyaiswara ahli madya ke

ahli utama. Salawat dan Belajar dengan cara mempraktekkan
salam kita haturkan pada Mengajar dengan cara memperagakan

junjungan kita Nabi besar Bukan satu koper, tapi satu pola
Muhammad SAW …… Bukan yang ganjil sendiri dan yang akhir,

Allahuma saliallah Tapi satu sistem

Muhammad wa ala ali Bukan keping-kepingan,
Muhammad ….. semoga tapi pendekatan terintegrasi
di diakhir kelak kita Bukan menetapkan, tapi mengubah

termasuk umat yang Bukan menyakiti, tapi mengobati

memperoleh syafaat

darinya ….. Amin YRA.

1

Bapak/Ibu dan Hadirin yang saya hormati,
Ijinkan kami menyampaikan orasi dengan sistematika; Hasil penelitian
ataupun kajian baik substansi keahlian manajemen hutan maupun
bidang kediklatan; Rekomendasi; dan Perjalanan profesi widyaiswara
…………….

Orasi yang diberikan Tema:
“PENGEMBANGAN KPH UNTUK MENYELAMATKAN BANGSA”
Bapak/ibu dan hadirin yang saya hormati,
• Ijinkanlah saya mengawali orasi ini dari catatan kecil refleksi diri …..

Insya Allah akan menjadi mindset profesi rimbawan dalam
menjalankan amanah yang mulia dan terhormat. Mulailah belajar
dari alam dan masyarakat, berfikir sistem dan terintegrasi, dan
bertindak …. Bukan dengan menetapkan, tapi mengubah… Bukan
menyakiti, tapi mengobati
• Priode 2010-2015; Penelitian atau kajian yang telah dilakukan, baik
sendiri maupun tim, menghasilkan berbagai informasi penting
dalam mendorong pembentukan KPH sebagai lembaga pengelolaan
hutan di tingkat tapak diantaranya:
1. Pengelolaan KPH masih perlu difasilitasi dalam membangun

kelembagaan perencanaan KPH meliputi kebutuhan SDM;
institusi (lembaga); aturan (rule); pembiayaan; sistem
informasi; dan sarana prasarana dalam operasionalisasi
perencanaan KPH. Mekanisme perencanaan KPH perlu
mensinergikan sumberdaya baik di lingkup pemerintahan pusat
maupun daerah. Sistem perencanaan KPH harus dibangun
melalui pendekatan kelembagaan yang independen, mandiri,
dan didukung tenaga perencana profesional (Bahdarsyah,
2014).
2. Untuk membangun sistem perencanaan KPH masih perlu
pembenahan terhadap 2 hal (Bahdarsyah, 2015) yakni:
a. Kelembagaan perencanaan KPH meliputi SDM Tenaga

Perencana, organisasi, perumusan regulasi operasional, dan
pengadaan infrastruktur.
b. Mekanisme penyusunan rencana pengelolaan hutan, perlu
secara inten melibatkan pemerintah pusat, daerah, maupun

2

parapihak, sehingga rencana pengelolaan KPH dapat
terimplementasi secara tepat di lapangan.

3. KPH sebagai lembaga pengelola hutan di tingkat tapak yang
berperan sebagai fasilitator parapihak; pendekatan yang
digunakan analisis beban kerja; diperoleh hasil bahwa
kebutuhan SDM pengelola KPH sebanyak 60 orang baik
struktural maupun fungsional, sehingga mampu mengelola
hutan secara baik (Uripno dkk, Bahdarsyah/pengarah; 2013).

4. Masyarakat adat dengan kearifan lokal disimpulkan memiliki
karakter yang dapat didorong partisipasinya dalam mengelola
hutan dikarenakan (Rohaini dan Bahdarsyah, 2005):
a. Semangat gotong royong yang masih tinggi
b. Kepatuhan masyarakat terhadap aturan adat
c. Peran lembaga adat relatif masih berfungsi dalam
pengelolaan sumber daya hutan
d. Social capital; budaya malu merupakan sikap mulia yang
dimiliki masyarakat.

5. Implementasi pemberdayaan masyarakat dalam kenyataannya
yaitu dirumuskan atas kebutuhan pihak lain (keproyekan),
dimaknai sebagai aktivitas untuk tujuan tertentu, kearifan dan
sumberdaya lokal belum dimanfaatkan secara maksimal, belum
mampu mendorong kemandirian masyarakat desa dalam
penyelesaian masalah dan pemenuhan kebutuhan hidup
mereka. Peran lain seperti pengembangan kemitraan, usaha
ekonomi produktif, pengembangan jaringan dan permodalan,
dan pemandirian masyarakat desa belum terlaksana. Integrasi
aspek ekologi, sosial, dan ekonomi belum dilakukan secara
proporsional. Oleh karena itu menciptakan pembangunan
komunitas berkelanjutan membutuhkan pengembangan
kelembagaan, jaringan, permodalan, dan integrasi dimensi
ekonomi, sosial, dan lingkungan secara proporsional
(Bahdarsyah, 2012).

6. Pemantapan kawasan hutan (Santoso, P. dan Bahdarsyah,
2015) menyimpulkan:

a. Pengelolaan hutan harus dimulai dengan penataan batas
kawasan hutan dengan melibatkan partisipasi aktif
masyarakat agar kemudian hari tidak terjadi konflik lahan”.
Salah satu strategi yang dapat digunakan adalah

3

“memaksimalkan keberadaan kantor KPHP untuk sosialisasi
dan penguatan masyarakat, serta dilibatkan dalam
pemantapan kawasan dan kejelasan status lahan”.

b. Seluruh proses pengukuhan kawasan hutan (penunjukan,
penataan batas, pemetaan, pembuatan berita acara tata
batas, dan penetapan kawasan hutan) mestilah diketahui
dan dilakukan atas dukungan/bersama-sama masyarakat di
dalam dan di sekitar kawasan hutan (secara partisipatif),
karena kesemua itu adalah untuk menuju suatu kawasan
hutan yang “legal dan legitimate”.

c. Penataan batas kawasan hutan mesti melibatkan parapihak,
baik unsur pemerintah pusat dan daerah sampai dengan
instansi di tapak (KPH-KPH), serta masyarakat lokal.
Penetapan kawasan hutan dengan pengesahan berita acara
beserta petanya dapat lebih jelas, tegas, dan terus
terpelihara agar tidak lagi terjadi konflik. Pemerintah melalui
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dipandang
penting mengkaji kembali aturan-aturan terkait proses
pengkukuhan kawasan hutan untuk lebih baik dandan dapat
diakui parapihak di tingkat tapak.

d. Permenhut Nomor P.47/Menhut-II/2010 seyogianya masih
tetap dapat dipakai dasar atau tidak dicabut bagi
Kabupaten/Kota dan/atau BPKH yang masih dapat berjalan
lancar dan baik Penataan Kawasan Hutannya. Malahan
keanggotaan PTB sampai dengan Lurah/Kepala Desa dan
Tokoh-Tokoh Masyarakat sebagaimana Kepmenhut Nomor
32/Kpts-II/2001 nampaknya lebih partisipatif (pelibatan
masyarakat lokal/setempat lebih banyak dan memadai), jika
dipandang baik nampaknya para KKPH setempat dapat
masuk menjadi anggota PTB.

e. Kepala KPH sebagai pelaku langsung pengelola hutan dan
memiliki amanah menjaga, memelihara dan mengamankan
kawasan hutan, secara tepat dan baik dijadikan sebagai
anggota Panitia Tata Batas kawasan Hutan.

f. Usulan untuk di setiap desa di dalam dan di tepian yang
berbatasan dengan kawasan hutan dapat dibuat 1 (satu)
“monument batas desa dengan hutan” yang sekaligus
bersifat monumental bagi desa (menjadi kebanggaan desa)
tersebut serta dapat dimanfaatkan menjadi taman desa.

4

g. Hasil Identifikasi Kebutuhan Diklat (IKD) Tahun 2014
nampaknya masih harus diperhatikan untuk prioritas diklat
teknis bidang perencanaan bagi KPH adalah a) Diklat
Perencanaan Hutan, b) Diklat Sistem Informasi Geografis
Dasar dan Lanjutan, c) Diklat Pengukuran dan Pemetaan
Hutan, d) Diklat Inventarisasi Hutan dan Inventarisasi
Sosekbud Masyarakat Sekitar Hutan, e) Diklat Pemetaan
Partisipatif, dan f) Diklat Resolusi Konflik/Masalah Tenurial.
Berdasarkan informasi di atas, pentingnya kelembagaan KPH

sebagai lembaga pengelola hutan di tingkat tapak atau lokal
dipahami sebagai entitas manajemen hutan secara langsung
berkontribusi terhadap penyelesaian kompleksitas permasalahan,
pendistribusian manfaat hasil hutan, tata kelola hutan (good
governance), perencanaan hutan, pengendalian, dan mendorong
partisipasi parapihak. Kelembagaan KPH menjadi penentu dalam
upaya pelestarian sumber daya hutan. Oelh karena itu, hasil
penelitian sebagai persyaratan orasi ilmiah hari ini diberi judul:

• STRATEGI PENGEMBANGAN KPH BERWAWASAN
KEHUTANAN SOSIAL.

Bapak/ibu yang Insya Allah dimuliakan Allah SWT ….
• Tahun 2016; penelitian sebagai persyaratan menduduki jabatan

fungsional Widyaiswara Ahli Utama (WAU) dengan hasil sebagai
berikut:

Bapak/ibu dan hadirin yang kami hormati,
Pendahuluan dan Metodologi

Pengelolaan hutan di Indonesia di masa mendatang, menjadikan
Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) salah satu upaya pengelolaan
hutan tropika luar Jawa di tingkat tapak (site management).
Sebelumnya istilah yang sama sudah digunakan dalam pengelolaan
hutan di Jawa yang dilaksanakan oleh Badan Usaha Milik Negara
melalui “Perum Perhutani”. Dalam priode 2014-2019 pembentukan
KPH tersebut terhadap semua fungsi hutan baik Produksi (HP),
Lindung (HL), maupun Konservasi (HK) yang direncanakan 347 unit
KPHP, 182 unit KPHL, 50 unit Taman Nasional, dan 100 unit KPHK
bukan Taman Nasional (Renstra KLHK; 2015).

5

5 (lima) dekade, pembelajaran pemanfaatan hutan melalui
kapling Hak Pengusahaan Hutan (HPH; lebih dikenal dengan istilah
Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu - Hutan Alam) dan Hak
Tanaman Industri (HTI; dikenal dengan istilah Ijin Usaha
Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu - Hutan Tanaman) ternyata
dihadapkan pada berbagai masalah seperti ekologi, produksi, dan
sosial. Secara garis besar kompleksitas masalah pengelolaan hutan
tropika (Bahdarsyah; 2010) diklasifikasikan menjadi: 1) keragaman
hayati (flora dan fauna) cenderung menurun, 2) paradigma
pengelolaan masih bersifat ’timber management’, 3) profesi
rimbawan belum diperankan sesuai kapasitas, 4) realisasi
penanaman atau rehabilitasi relatif rendah, 5) konflik lahan
cenderung meningkat, dan 6) kemiskinan masyarakat desa hutan
relatif meningkat. Keenam masalah tersebut satu sama lain saling
berhubungan baik akibat maupun dampak dari rendahnya kualitas
rumusan dan praktek program dan aktivitas pengelolaan hutan.

Sejalan dengan uraian di atas, pengelolaan KPH semestinya
berlandaskan prinsip ekologi, pendekatan ekosistem, dan wawasan
kehutanan sosial. Untuk memperbaiki distorsi pemikiran
pengelolaan hutan selama ini sebaiknya menggunakan paradigma
“kehutanan sosial”. Paradigma kehutanan sosial tidak dimaknai
sebagai aktivitas pelibatan masyarakat atau parapihak saja; akan
tetapi lebih jauh dijadikan alternatif konsep pendekatan
pengelolaan hutan (Forest Management) secara holistik. Oleh
karena itu; semua kebijakan dan tujuan pengelolaan hutan
dibangun di atas landasan keilmuan yang benar dan komprehensif.
Untuk itu salah satunya di awali dengan memandang hutan sebagai
suatu kesatuan ekosistem, termasuk masyarakat di dalam dan di
sekitar kawasan KPH.

Penelitian ini berlandaskan pada pengertian strategi sebagai
perspektif yang dimaknai upaya mengeksekusi strategi berdasarkan
teori yang ada ataupun menggunakan insting alami dari cara
berpikir ataupun ideologis. Dengan demikian penelitian dengan
judul “Strategi Pengembangan KPH Berwawasan Kehutanan Sosial”
ini menjadi penting dan menhasilkan sebagai acuan dalam
memfasilitasi pengelolaan hutan yang telah disepakati di masa
mendatang.

Bapak/ibu dan hadirin yang saya hormati,

6

Secara ringkas rumusan penelitian adalah “Apa saja dimensi
ekologi, produksi, dan sosial yang perlu dipertimbangkan dalam
pengembangan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH)?”. Penelitian
bersifat eksploratoris dan deskriptif. Kajian eksploratif bertujuan
untuk melakukan penjajagan fenomena yang diteliti, sedangkan
kajian deskriptif bertujuan menjelaskan fenomena yang diteliti
(Salim, 2006). Untuk analisis data dilakukan dengan analisis
komprehensif dengan metode analog dan penilaian keahlian
(profesional judgement). Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan
“merumuskan strategy pengembangan KPH berwawasan
kehutanan sosial dalam mendukung terwujudnya pengelolaan
hutan tropika lestari”. Hasil penelitian ini diharapkan memperoleh
alternatif strategi pengelolaan hutan yang komprehensif.

Bapak/ibu yang di Rahmati Allah SWT,

Landasan teoritik

Belajar dari kegagalan pengelolaan hutan selama ini menuntut

adanya perubahan paradigma pengelolaan hutan dari pendekatan
konvensional timber management menuju strategi kehutanan sosial
bersifat komplementer dan dirancang dengan mengikuti prosedur
perencanaan artikulatif dan berbeda dalam perumusan manfaatnya
(Simon, 1999).

Pengelolaan hutan lestari dapat didefinisikan sebagai
pengelolaan ekosistem hutan dalam kondisi yang sehat dan penting
yang dapat memenuhi kebutuhan generasi sekarang dan yang akan
datang dalam hal produksi kayu, biodiversitas, sumberdaya tanah
dan air, rekreasi, dan karbon. Kriteria dasar dari strategi ekologi

dan silvikultur pada pengelolaan hutan lestari adalah: 1) konservasi
keanekaragaman hayati; 2) konservasi sumberdaya air dan tanah;
3) pemeliharaan kapasitas produktivitas hasil hutan; 4) peningkatan
fungsi kultural dan rekreasi; 5) pemeliharaan kontribusi hutan
terhadap siklus karbon; dan 6) pemeliharaan kesehatan dan
vitalitas ekosistem hutan (Fujimori, 2001).

Kehutanan sosial merupakan suatu strategi, model, atau

pendekatan penting dalam pengelolaan hutan, menitikberatkan
pada peningkatan kualitas sumberdaya hutan, pemecahan masalah

penduduk lokal, penyelesaian berbagai konflik,

mengharmonisasikan hubungan manusia dan kehutanan,

7

perubahan sosial, terintegrasi dengan keragaman, serta
pemeliharaan lingkungan. Paradigma kehutanan sosial ditekankan
tidak sekedar penghasil kayu, tetapi juga diarahkan untuk
menghasilkan berbagai ragam hasil hutan, termasuk pangan, pakan
ternak, buah, air, satwa liar, habitat, dan keindahan, serta
terdistribusi secara adil dalam pemenuhan kebutuhan berbagai
kelompok masyarakat (Weichang dkk, 1998; Caifu, 1998; Simon,
1994a; Wiersum, 1994). Dimensi sosiologi yang perlu diperhatikan
dalam kehutanan sosial meliputi lahan, tenaga kerja,
kependudukan, dan lembaga sosial (Noronha dan Spears, 1988).

Kehutanan sosial berkaitan dengan bagaimana pengambilan
keputusan dan mempengaruhi masyarakat di dalam dan di sekitar
hutan. Untuk kepentingan kedua hal dimaksud dapat dilakukan
dengan 1) memahami kepentingan dan partisipasi masyarakat
dalam mengembangkan rencana pengelolaan, 2) mengakui
perlunya distribusi manfaat hutan, 3) sejumlah ukuran penting dari
kapasitas dan kemampuan adaptasi masyarakat untuk mengukur
akibat rencana pengelolaan hutan (Davis dkk, 2001). Pada
hakekatnya hal ini sejalan dan tidak terpisahkan dari kegiatan
pembangunan sosial dengan kata lain inti pembangunan sosial
merupakan usaha konkret dalam peningkatan kualitas hubungan
sosial dan interaksi sosial, serta perlu dilakukan secara bersinergi
antar parapihak pelaku pembangunan sesuai tugas dan
kewenangannya.

Untuk keberhasilan pelaksanaan pengembangan KPH
berwawasan kehutanan sosial perlu memperhatikan pemikiran
dasar sebagai berikut dimungkinkan secara biologi (biologically
possible), layak secara ekonomi (economically feasible), dan dapat
diadopsi pada kultur masyarakat (cultural adoptable). Tanpa
melihat keluaran ekologi dan produksi, pendekatan baru
pengelolaan hutan (baca kehutanan sosial) mungkin tidak pernah
diadopsi manakala tidak dapat menyelesaikan resistensi
masyarakat (Firey, 1960; Clawson, 1975; Sedjo dan Botkin, 1997;
dalam Howe dkk, 2005).

Prinsip pemanfaatan hutan dengan konsep ini adalah pengelolaan
hutan sebagai ekosistem. Pengelolaan ekosistem berarti
pengelolaan hutan harus dilakukan berdasarkan karakteristik
ekosistem secara utuh, termasuk manusia di dalamnya.

8

Pengelolaan sumberdaya hutan diupayakan mengoptimalkan
manfaat ekologi, produksi, dan sosial.

Pengelolaan ekosistem SUMBERDAYA HUTAN
hutan;
salah satunya adalah untuk
mempertahankan kesehatan
ekosistem dan hutan.
Berkenaan dengan tujuan
tersebut, rangkuman

penjelasan para ilmuwan
tentang pengertian
kesehatan ekosistem dan
kesehatan hutan dikelompok
LINGKUNGAN EKOSISTEM

menjadi dua manfaat yakni
ekosistem dan lingkungan
(Kimmins, 1997).

Gambar 1. Skematis Pengelolaan Ekosistem Hutan dalam
pengelolaan KPH

Bapak/ibu dan hadirin yang saya hormati,

Hasil penelitian

Secara umum; KPH memiliki tugas pokok dan fungsi (PP No 6 Tahun
2007, Pasal 9) sebagai berikut:

1. Menyelenggarakan pengelolaan hutan yang meliputi Tata hutan
dan penyusunan rencana pengelolaan hutan; Pemanfaatan
hutan; Penggunaan kawasan hutan; Rehabilitasi hutan dan
reklamasi; dan Perlindungan hutan dan konservasi alam.

2. Menjabarkan kebijakan kehutanan nasional, provinsi dan
kabupaten/kota bidang kehutanan untuk diimplementasikan;

3. Melaksanakan kegiatan pengelolaan hutan di wilayahnya mulai
dari perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan
pengawasan, serta pengendalian;

4. Melaksanakan pemantauan dan penilaian atas pelaksanaan
kegiatan pengelolaan hutan di wilayahnya;

5. Membuka peluang investasi guna mendukung tercapainya
tujuan pengelolaan hutan.

9

Pembentukan KPH membutuhkan perlu pemahaman yang
benar dan dukungan manajemen hutan yang handal. Beragam
tujuan dan kepentingan pementukan KPH membutuhkan
kemampuan pengelola yang profesional, sehingga kelembagaan
KPH sebagai ujung tombak di tingkat tapak mampu mengakomodir
dan menjaga keberadaan sumber daya hutan. Sebagai gambaran
wilayah kelola KPH sebagaimana skema pada Gambar 2 berikut ini.

Gambar 2. Pembentukan wilayah kelola KPH
Sumber: Direktorat RP2WPH; Ditjen Planologi dan TL; 2014
Gambaran tugas dan fungsi KPH dan kompleknya wilayah
kelola membutuhkan kapasitas pengelola ataupun partisipasi
dengan kapsitas yang profesional. Untuk memberikan fenomena
nyata kondisi perkembangan pembentukan KPH sebagimana uraian
berikut ini.
Rangkuman Studi Dokumentasi KPH; Studi dokumentasi dilakukan
terhadap konsepsi, kebijakan, perkembangan pembangunan KPH,
dan 9 dokumen RPHJP terhadap KPHP Model dan KPHL Model yang
tersebar di wilayah provinsi Sumatera Selatan, Jambi, Lampung,
Nusa Tenggara Barat (2 unit KPH), Kalimantan Timur, Kalimantan
Selatan, Gorontalo, dan Sulawesi Tengah. Hasil kajian dokumen
menunjukkan bahwa pembentukan KPH belum optimal. Secara
umum permasalahan yang ditemukan di antaranya:

10

1. Masih berkembangnya cara berfikir (mindset) pemanfaatan hasil
hutan terbatas pada kayu; bahkan terbelengu atas status fungsi
hutan

2. Pemahaman parapihak baik internal Kementerian LHK maupun
eksternal terhadap konsep KPH;

3. Komitmen pengembangan pembentukan KPH, sehingga belum
ada pengelola hutan (KPH) di tingkat tapak secara
komprehensif;

4. Disharmonisasi dan ketidaklengkapan regulasi pendukung
operasionalisasi pengembangan KPH;

5. Kualitas dokumen perencanaan KPH; dinilai masih rendah
6. Perambahan kawasan hutan menjadi penyebab munculnya

konflik baik flora maupun fauna
7. Besarnya luas lahan kritis yang perlu segera direhabilitasi; dan
8. Kompetensi aparatur pengelola KPH; rendahnya kualitas

sumberdaya manusia kehutanan dan belum berkembangnya
profesi rimbawan sebagai pengelola hutan.

Kompleksitas permasalahan tergambar dari hasil evaluasi
kinerja pembangunan KPH; hanya 4 (empat) unit dari 43 unit yang
dinilai memiliki kinerja sangat baik. Ke 8 (delapan) permasalahan
yang satu sama saling berhubungan masih perlu diartikulasi dan
dielaborasi mendalam, sehingga dapat dijadikan acuan penting
dalam perumusan strategi pengembangan KPH berwawasan
kehutanan sosial.

Khusus, hasil kajian terhadap 9 dokumen RPHJP KPH dengan
fokus profil sumber daya hutan, profil masyarakat, kelembagaan,
dan isu strategis, kendala, dan permasalahan diperoleh banyak data
dan informasi yang perlu dipahami secara benar dalam
pengembangan alternatif strategi pengembangan KPH di masa
mendatang. Rincian hasil kajian 9 dokumen RPHJP KPH
sebagaimana dapat diikuti pada Tabel 1 berikut ini.

Tabel 1. Rangkuman Studi Dokumentasi KPH

11

No Deskripsi Informasi

1. Pemanfaatan kawasan hutan merupakan isu

penting, bahkan perubahan fungsi kawasan hutan
menjadi wilayah pemukiman transmigrasi sejak

1970 belum dilengkapi dokumen pelepasan
kawasan hutan.

2. Konflik lahan terjadi pada semua wilayah KPH
dengan kisaran 20-80%. Bentuk konflik lahan

berupa: upaya sertifikasi lahan kawasan hutan;

okupasi lahan; alih fungsi hutan; konflik pal batas;

pemukiman dalam kawasan

3. Potensi hasil hutan baik kayu maupun bukan kayu
masih ditemukan di dalam kawasan KPHP dan

KPHL. Khusus potensi kayu sebagian besar

vegetasi pada tingkat tiang dan pancang, serta
tumbuh pada topografi yang relatif berat.

4. Keberadaan Flora Langka dan di lindungi seperti
Tengkawang, Anggrek, Banggeris, Jelutung, dan

Ulin. Untuk kepentingan pelestarian sumber daya
hutan ditemukan jenis vegetasi endemik
(indogenous species).
Profil Sumber
A. Daya Hutan 5. Keberadaan Fauna Langka dan di lindungi seperti
harimau, elang bondol, babi rusa, dan anoa.

6. Potensi hasil hutan bukan kayu seperti rotan,
damar, aren, madu, tengkawang, kayu putih, dan

tanaman obat-obatan.

7. Jasa lingkungan dapat dikembangkan dalam
bentuk pengembangan edu-ecowisata seperti

Sumberdaya Air, wisata alam air terjun dan kolam
pemandian.

8. Potensi Carbon Hutan seperti di wilayah KPHP
Batulanteh.

9. Potensi pertambangan seperti galian Emas,

Mangan, besi, dan tambang galian C.
10. Mengimplementasikan konsep keilmuan
”Bufferzone Management” dalam pembuatan blok
pengelolaan KPH seperti blok perlindungan, inti,

pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu,

pemberdayaan masyarakat, dan khusus.
11. Belum seluruh wilayah KPH tertata kedalam blok

dan petak, serta batas hutan dalam keadaan
rusak

Profil 1. kondisi sosial ekonomi dan budaya masyarakat
Masyarakat
B. pada umumnya masih menggantungkan
kebutuhan hidup dari kawasan hutan

12

No Deskripsi Informasi

C. Kelembagaan 2. kebiasan masyarakat baik teknologi budidaya
maupun adat istiadat dimungkinkan diadopsi dan
diadaptasi dalam pengelolaan hutan.

3. Sebagian besar mata pencaharian penduduk
adalah petani, nelayan, buruh, wiraswata,
pegawai dan lain-lain.

4. Kondisi masyarakat di lingkar kawasan hutan yang
masih miskin.

5. Pengelolaan sebagian kawasan hutan di wilayah
KPH oleh masyarakat tanpa ijin pengelolaan.

1. Kelembagaan KPH belum sepenuhnya sesuai
ketentuan, bahkan belum dibentuk

2. Jumlah sumber daya manusia sebagai pengelola
KPH masih sangat terbatas baik kualitas maupun
kuantitas dengan < 22 orang. Bahkan pengelola
harus merangkap jabatan.

3. ketersediaan data base (bio-fisik, sosial dan
spasial) baik Wilayah kelola KPH.

4. Belum adanya sarana dan prasarana pendukung
beroperasinya kelembagaan KPH di tingkat
lapangan seperti pembentukan BKPH dan RPH.

5. Kelembagaan berbentuk Unit Pelaksanaan Teknis
Daerah (UPTD), arah kebijakan selaras dengan
pengurusan hutan dan sistem penganggaran
terbatas

6. Struktur organisasi belum mencerminkan
organisasi pengelolaan hutan sampai tingkat
tapak; Jumlah personil KPH masih terbatas 14
orang, 3 orang diantaranya ditunjuk untuk
merangkap tugas-tugas di KPH dan dilapangan
(BKPH).

7. Masih rendahnya kapasitas SDM yang ada dalam
pengelolaan hutan.

8. Belum terbangunnya sistem data dan informasi
SDH kawasan.

9. Masih lemahnya organisasi pengelola kawasan
hutan di tingkat tapak.

10. Keterbatasan tata hubungan kerja, karena tata
hubungan kerja sebagai UPTD harus dilakukan
melalui dinas kehutanan, sehingga kurang sesuai
dengan tugas dan sifat pekerjaan KPH yang
menuntut kecepatan kerja dan meningkatkan
intensitas kerjasama dengan lembaga lain.

11. Belum adanya peraturan operasional seperti
pengaturan bagi hasil tanaman produktif (hasil

13

No Deskripsi Informasi

tumpangsari), sumbangan parapihak (PDAM dan

perusahaan air mineral), dan sumbangan lainnya
12. Rendahnya kapasitas masyarakat dalam

pengelolaan sumberdaya hutan, sehingga
berpengaruh terhadap perekrutan masyarakat

sebagai tenaga lapang.
13. Belum kuatnya kelembagaan ekonomi masyarakat

sekitar hutan.

1. Aspek Kawasan;

a. kualitas dan kuantitas sumber daya hutan yang
semakin menurun.

b. Batas luar dan batas fungsi hutan sebagian
sudah hilang, rusak, dan nomornya hilang,

karena tenggang waktu rekonstruksi batas
rata-rata berumur diatas 10 tahun.

c. Belum dilakukan penataan hutan meliputi tata
blok dan petak, selama ini masih terbatas

penataan petak pada kegiatan RHL.

d. Belum diketahuinya data/peta/informasi detail
kawasan hutan.

e. Tingginya gangguan keamanan hutan seperti
perambahan, ilegal logging, penguasaan lahan
(sertifikasi), dan perladangan.

2. Aspek Kelembagaan meliputi:
a. profesionalisme kehutanan rendah
Isu Strategis, b. organisasi kehutanan di daerah belum untuk
Hambatan, mengelola hutan di tingkat tapak
D. dan c. kegagalan dalam membangun satuan terkecil

Permasalahan (unit) dalam pengelolaan hutan.

3. Aspek Rencana meliputi:

a. optimalisasi pemanfaatan hutan masih rendah
b. kepentingan parapihak beragam dan
meningkat terhadap kawasan hutan.
c. Belum ada rencana pengelolaan KPHL yang
mantap

4. Aspek Ekologi meliputi:
a. potensi HHK dan HHBK unggulan lokal seperti
jenis-jenis rajumas, kelicung, bamboo, dan
rumput ketak secara alami menurun tajam di

kawasan hutan.

b. terganggunya habitat penurunan secara drastis
jenis-jenis fauna endemik seperti rusa, kancil,

lutung, dan burung koa-kao.
c. Banyak kawasan hutan kondisinya kritis berupa
lahan kosong, padang alang-alang, dan hutan
rawang.

14

No Deskripsi Informasi

d. Lahan kritis berkisar 20-50 %.
e. Berkurangnya jumlah dan menurunnya debit

mata air, tingginya erosi, dan sedimentasi.
5. Aspek Ekonomi meliputi:

a. Sekitar ±70% masyarakat sekitar KPH
tergolong miskin.

b. Belum dikembangnya akses pemanfaatan jasa
lingkungan dan pariwisata alam.

c. Kesenjangan antara suplly dan demand bahan
baku industri kehutanan, khususnya kayu
untuk kebutuhan energi (kayu bakar) dan
HHBK (rumput ketak dan bambu).

d. Belum dikembangkannya jenis-jenis tanaman
bernilai ekonomis tinggi dalam pemberdayaan
masyarakat.

e. Belum dikembangkannya akses pasar HHBK.
f. Rendahnya insentif dan bantuan modal dari

pemerintah dan sektor swasta dalam
pengembangan usaha kehutanan.
g. Masih terbatasnya infrastruktur di wilayah
KPHL untuk mendukung berkembangnya
kegiatan ekonomi.
6. Aspek Sosial Budaya meliputi:
a. Masyarakat di sekitar kawasan KPH
mempunyai keterikatan yang tinggi terhadap
sumberdaya hutan.
b. Rendahnya pemahaman dan keperdulian
masyarakat terhadap usaha-usaha konservasi,
perlindungan dan pemeliharaan kawasan
hutan.
c. Rendahnya pengetahuan dan keterampilan
masyarakat dalam pengelolaan lahan

dikawasan hutan dan peningkatan nilai tambah
hasil-hasil hutan, khususnya HHBK.
d. Belum diakuinya secara yuridis (formal)
keberadaan masyarakat adat beserta nilai-niai
kearifan lokalnya (awiq-awiq).
e. Belum didorong sepenuhnya partisipasi tokoh
kunci masyarakat seperti tokoh agama dan
tokoh adat.

Berdasarkan infromasi penting di atas, kompleksitas permasalahan
pengembangan KPH mengindikasikan banyak hal yang belum

berjalan sebagimana mestinya. Aspek teknis meliputi kawasan,
kelembagaan, rencana pengelolaan, dan aktivitas pengelolaan

15

hutan, sedangkan aspek pendukung mulai dari pemahaman
konsepsi KPH, komitmen, pendanaan, dan sumber daya manusia
pengelola KPH. Untuk penyelesaian kompleksitas masalah ini harus
dilakukan secara komprehensi dan terpadu. Oleh karena itu strategi
pengembangan KPH berwawasan kehutanan sosial dengan prinsip
pelestarian sumber daya hutan, pendistribusian hasil hutan kayu
dan bukan kayu, dan penyelesaian masalah konflik lokal dapat
dijadikan alternatif strategi pengelolaan KPH.

Hadirin yang saya hormati,
Strategi Kehutanan Sosial; proses perumusan melalui tahapan:

A. Dimensi Ekologi, Produksi, dan Sosial Pengelolaan KPH
Strategi sebagai perspektif dimaknai upaya mengeksekusi
strategi berdasarkan teori yang ada ataupun menggunakan insting
alami dari cara berpikir ataupun ideologis. Kehutanan sosial (Social
Forestry Concept) dielabroasi melalui 3 (tiga) prinsip dasar yakni
pelestarian sumberdaya hutan, pendistribusian manfaat yang
berkemanusian dan berkeadilan, dan penyelesaian masalah konflik
lokal.
Hasil studi dokumentasi dan pembahasan sebelumnya,
terutama rangkuman studi Dokumentasi KPH menunjukkan
bahwa pembangunan KPH sampai sekarang belum berjalan
optimal, bahkan memunculkan permasalahan yang komplek. Untuk
mendeliberasi, mengartikulasi, dan menjelaskan kompleksitas
permasalahan yang satu sama lain saling berhubungan dan
berkaitan digunakan tahapan pengambilan keputusan oleh Duerr
dkk (1982).

Dasar perumusan strategi kehutanan sosial denagn alur
pengambilan keputusan dengan prediksi means-ends-values
melalui tahapan pengenalan masalah, analisis masalah, dan
evaluasi masalah (Duerr dkk, 1982), secara grafis dijelaskan
sebagaimana Gambar 3 berikut ini.

16

Pengenalan Analisis Masalah Pemecahan Masalah
Masalah Keputusan

Masalah

Deliberasi Mean End

Kristalisasi Pilihan
Stimulasi
Prediksi Aksi

Value Review

Ketidakpuasan Outcome

Gambar 3. Tahapan Pengambilan Keputusan dalam Pengelolaan Hutan
(Duerr, dkk, 1982)

Informasi pengelolaan KPH dijadikan acuan dalam
perumusan strategi pengembangannya baik yang akan maupun
telah dituangkan dalam Rencana Pengelolaan Hutan Jangka
Panjang (RPHJP) dan Jangka Pendek (RPHJPd). Dalam
perumusan strategi kehutanan sosial digunakan kriteria-kriteria
sebagaimana disajikan pada Tabel 2 berikut ini.

Tabel 2. Kriteria Strategi Pengembangan KPH berwawasan

kehutanan sosial

Uraian Kriteria

1. Orientasi Pengelolaan ragam hasil hutan dan ekosistem
2. Tujuan 1) meminimalkan konflik lahan antara

pengelola dan parapihak

2) sebagai sarana memobilisasi partisipasi

masyarakat dalam pelestarian sumberdaya
hutan

3) sebagai sarana mendapatkan pengakuan

dan kepastian batas kawasan hutan
4) mengembalikan kawasan hutan sebagai

sumber kehidupan (flora dan fauna)

17

Uraian Kriteria
3. Dimensi 5) dijadikan salah satu upaya penciptaan

a. Ekologi alternatif sumber pendapatan bagi
b. Produksi masyarakat tempatan
Integrasi dimensi ekologi, produksi, dan sosial
c. Sosial 1) Terpeliharanya ragam flora dan fauna
4. Indikator 2) Terpeliharanya pengaturan tata air
3) Terpeliharanya habitat alami
Keberhasilan 1) Tersedianya ragam produk hasil hutan

kayu dan bukan kayu
2) Terbentuknya areal tanaman unggulan

lokal secara proporsional
3) Terbentuknya areal KPH sebagai sumber

pendapatan masyarakat tempatan
1) Terbukanya akses pemanfaatan kawasan

hutan
2) Terpenuhinya kebutuhan lahan
3) Terbukanya kerjasama parapihak

1) Harmonisasi hubungan pengelola KPH
dengan parapihak

2) Peningkatan partisipasi parapihak dalam
pelestarian sumberdaya hutan

Konsep strategi awal pengembangan KPH disusun
bedasarkan data yang diperoleh dari studi dokumentasi,
pengalaman empiris, dan konsultasi parapihak. Orientasi lapangan
diperlukan dalam pencermatan kembali konsep strategi tersebut.
Dalam perumusan strategi akhir dimungkinkan untuk mengurangi

atau menambah faktor-faktor yang berpengaruh.

1. Pengenalan Masalah; hasil studi dokumentasi RPHJP terhadap 9
KPHP/L serta 1 KPHP Model sebagai lokasi kasus penelitian
digolongkan menjadi 3 (tiga) masalah pokok yaitu:

1) Pemantapan kawasan hutan; penataan batas kawasan hutan
sebagai inti aktivitas ini belum berhasil, sehingga belum
diperoleh pengakuan parapihak di lapangan

2) Pengelolaan Hutan

(1) Sistem perencanaan masih bersifat instruksi dengan
penetapan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis.

18

(2) Aktivitas teknis pengelolaan hutan belum berjalan
ataupun dilakukan secara optimal, dikarenakan:

a) Secara umum pelaksanaan pengelolaan KPH masih
terbatas pada kegiatan prakondisi terutama berkaitan
dengan penyusunan dokumen rencana pengelolaan
dan pengembangan kelembagaan

b) Arahan ruang yang diperuntukkan dalam pengelolaan
aspek ekologi, produksi, dan sosial belum
proporsional dan masih perlu disinkronkan dengan
kondisi nyata di lapangan.

c) Pengelolaan aspek ekologi direncanakan melalui
arahan blok inti dan perlindungan masih diperlukan
pengembangan kelembagaan perencanaan yang
dapat mewujudkan pengelolaan unit kelestarian
ekosistem sumberdaya hutan. Pengelolaan unit
kelestarian ekosistem dengan pendekatan masing-
masing karakteristik wilayah KPH.

d) Potensi hutan baik kayu maupun bukan kayu belum
dimanfaatkan, dikarenakan belum lengkapnya
regulasi pendukung.

3) Partisipasi Parapihak

Peningkatan partisipasi parapihak dalam mendukung
pengelolaan hutan lestari menjadi penting, dikarenakan
kompleksitas permasalahan dan pembelajaran pengelolaan
hutan sebelumnya. Informasi penting hasil dari studi
dokumentasi sebelumnya berkaitan erat dengan pelibatan
parapihak yakni:

(1) Konflik lahan merupakan isu utama bagi masyarakat
tempatan dalam pengembangan KPH

(2) Taraf hidup masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan
KPH sebagian besar masih menggantungkan kebutuhan
hidup dari kawasan hutan, baik dalam pemanfaatan hasil
hutan maupun pemenuhan kebutuhan lahan

(3) Masyarakat tempatan belum sepenuhnya merasakan
manfaat keberadaan KPH dan penting dijadikan

19

instrumen dalam memunculkan partisipasi dalam
pengelolaan hutan

(4) Ragam kepentingan dan keberadaan masyarakat adat
dengan kearifan lokal dalam pemanfaatan sumberdaya
hutan masih perlu dielaborasi dalam penyusunan
rencana pengelolaan KPH

Pengenalan masalah di atas, menjelaskan bahwa
pengembangan KPH belum diperoleh kesepahaman dan
kesepakatan sebagai entitas manajemen hutan. KPH sebagai
organisasi pengelolaan hutan tingkat tapak belum mampu
memainkan peran untuk mewujudkan pengelolaan hutan lestari.

2. Analisis Masalah; Ragam permasalahan bersifat komplek,
sistemik, dan saling memiliki keterkaitan dinilai menentukan
keberhasilan pengembangan KPH. Perkembangan ragam
permasalahan tersebut sebagai akibat perbedaan persepsi
parapihak dalam pemanfaatan kawasan hutan. Secara khusus,
hubungan antara KPH dan masyarakat di lapangan,
sebagaimana disajikan pada Gambar 3 berikut ini.

-+

Parapihak - Kawasan + KPH
Hutan

++
Gambar 3. Hubungan antara Sub sistem KPH dan Parapihak

Berdasarkan Gambar 3 di atas, menunjukkan bahwa
hubungan antara parapihak dan KPH dalam pemanfaatan
kawasan hutan ternyata kurang harmonis.

Untuk pemaknaan komponen penyusun sistem KPH di
atas, dijelaskan lebih detil dengan lingkar kausal (Causal Loop)
terhadap dimensi ekologi, produksi, sosial, dan dinamika konflik
pengelolaan hutan. Dimensi ekologi, produksi, sosial dinilai
sebagai dimensi penentu untuk di kelola dalam mewujudkan
pengelolaan hutan lestari. Untuk dimensi prakondisi
pengelolaan hutan berupa pemantapan kawasan hutan diyakini

20

dapat terselesaikan secara tidak langsung atau simultan setelah
keberhasilan pengelolaan dimensi ekologi, produksi, dan sosial.

Uraian dimensi ekologi, produksi, sosial pengembangan
KPH melalui pendalaman subsistem KPH dan Masyarakat
tempatan diperoleh variabel penting yang perlu
dipertimbangkan dalam pengelolaan hutan yaitu diversitas,
pengembangan ragam produk hasil hutan (multi produk),
kebutuhan lahan, kebutuhan kayu pertukangan, kesempatan
kerja dan berusaha, serta akses pemanfaatan sumber daya
hutan bagi parapihak terutama masyarakat tempatan. Oleh
karena itu hasil ini menjadi acuan dalam formulasi strategi
kehutanan sosial yang dalam pelaksanaannya dilakukan secara
terintegrasi dan proporsional.

Keberhasilan pengembangan KPH di dukung oleh banyak
hal (birokrat, aparatur kph, praktisi, dan akademisi; 2016) yakni:
a) Pemantapan kawasan hutan: kegiatan penataan batas

diharapkan diselesaikan pada tahapan prakondisi, sehingga
kawasan KPH mempunyai batas yang tegas, jelas, dan
disepakati parapihak di lapangan
b) Aspek sosial dijadikan prioritas penting diselesaikan sebelum
pelaksanaan kegiatan teknis pengelolaan hutan
dilaksanakan dan
c) Dilandasi persepsi kemanusiaan dan kejujuran, masyarakat
tempatan apapun etnisnya, bisa dilibatkan dalam
pengelolaan KPH. Pelibatan bukan sekedar kepedulian sosial,
namun didukung program pengembangan masyarakat
secara komprehensif. Pihak pengelola KPH perlu
mendapatkan kepercayaan (trust) masyarakat sebagai
langkah awal keberhasilan mendorong partisipasi parapihak.
d) Pengelola KPH bertanggungjawab terhadap pengamanan
keseluruhan kawasan KPH.
e) Pengembangan jenis tanaman hutan sangat tergantung
dengan prinsip ekonomi, perubahan budidaya jenis tanaman
disesuaikan dengan kebutuhan pasar dan permintaan hasil
hutan kayu.
f) Sumberdaya manusia selain profesional perlu memiliki
kompetensi memadai dalam membangun kolaborasi dan
mendorong kewirausahaan.

21

g) Penetapan kawasan hutan berdasarkan TGHK secara de
facto belum sepenuhnya sinkron dengan kondisi di lapangan.
Penetapan kawasan hutan hendaknya dilakukan
berdasarkan kondisi fisik kawasan, keberadaan masyarakat
tempatan, kesepakatan bersifat bottom-up serta melibatkan
parapihak.

Strategi kehutanan sosial dalam pengembangan KPH
perlu didukung banyak hal di antaranya:
a) Konsistensi kebijakan mulai dari perencanaan, pelaksanaan,

dan pengawasan, bahkan pembuatan contoh pengelolaan
KPH lestari secara konkrit di lapangan oleh pemerintah
b) Pemantapan batas kawasan hutan (clear, clean, and
acceptable) dilakukan kementerian teknis dan
mendayagunakan peran KKPH, sehingga kawasan hutan
yang akan dikelola sudah bebas konflik dan benar-benar
diakui parapihak
c) Sistem silvikultur pengelolaan KPH disesuaikan dengan
kondisi biofisik dan sosial ekonomi budaya masyarakat,
dengan prinsip tetap mempertahankan keberadaan seluruh
jenis asli (indigeneous spesies) dari unit kelola KPH.

Berdasarkan ketiga sub sistem KPH di atas diperoleh isu
penting dan menjadi penyebab belum operasional KPH yakni
pemahaman konsepsi, regulasi, kapasitas SDM, tata hubungan
kerja antara UPT KLH dan lembaga KPH, dan pendanaan
Pengelolaan. Ragam penyebab tersebut dapat dijadikan variabel
penting pada strategi kehutanan sosial dalam pengelolaan KPH
ditekankan pada kegiatan rehabilitasi, diversitas, ragam produk
hasil hutan, pemenuhan kebutuhan lahan, kayu pertukangan,
kesempatan kerja dan berusaha, dan terbukanya akses
pemanfaatan sumberdaya hutan.

Pembelajaran dari sub sistem parapihak atau masyarakat
tempatan ditemukan kearifan lokal penduduk asli dapat
dijadikan acuan dalam pengelolaan KPH. Peningkatan
kelembagaan masyarakat melalui usaha ekonomi produktif
menjadi penting dan berfungsi sebagai pendorong
pengembangan kapasitas masyarakat dan peningkatan interaksi
atau keeratan hubungan sosial diantara masyarakat serta antara
masyarakat dan pengelola KPH.

22

Sebagai contoh penolakan kehadiran KPH Dempelas
Tinombo disebabkan kurangnya sosialisasi KPH dan munculnya
pihak-pihak yang berperan sebagai provokator. Belajar dari
penolakan tersebut mengindikasikan bahwa pengembangan
masyarakat tidak dapat dilakukan hanya satu aspek tertentu
saja, melainkan mesti disinkronkan dengan aspek kehidupan
lain secara terpadu.

Dinamika Konflik Lahan; akibat tertutupnya akses
pemanfaatan sumberdaya hutan sebagai sumber kehidupan dan
cadangan lahan dinilai menjadi salah satu pemicu timbulnya
konflik lahan. Konflik lahan berawal dari perbedaan persepsi
terhadap keberadaan kawasan hutan yang telah dijelaskan
sebelumnya. Salah satu penghambat pembangunan KPH adalah
belum adanya kepastian batas kawasan KPH. Ketidakpastian
tersebut sebagai akibat terjadinya konflik lahan antara
pengelola dan masyarakat tempatan. Hasil kajian dokumen
RPHJP; konflik lahan di areal KPH terdapat pada semua kawasan
KPH dengan hasil 20 – 80%. Untuk memahami lebih lanjut
proses terjadinya konflik lahan sebagaimana disajikan pada
Gambar 4 berikut ini.

Kawasan + Populasi
Hutan + Perairan

Adat -+

TGHK ++
Kebijakan Masyarakat
Tempatan Industri Satwa
Kayu Liar
+ + Bukan
Konflik Kayu Kualitas Air
Kebutuhan Lahan + +- + Sungai/Danau
Lahan
+ + KPH + +-
+ Kayu
+

+Sektor Non P7+ + S4-
+ Kehutanan
<Kebutuhan Monokultur Habitat
Lahan>
Sedimentasi
+ -+ +
Diversitas
++ Nilai Ekonomi +
Lahan
+Spekulen Aksesibilitas - Erosi
+

Gambar 4. Dinamika Konflik Lahan

Berdasarkan Gambar 4 di atas, menunjukkan bahwa
strategi konvensional pengelolaan hutan (KPH) masih perlu

23

penyesuaian terhadap beragam kebutuhan dan
kepentingan, bahkan konflik lahan, serta akan menjadi
ancaman terhadap keberadaan kawasan hutan nantinya.
Pertimbangan keberadaan masyarakat tempatan hanya
sebatas areal pemukiman, sedangkan wilayah desa
mencakup kawasan yang luas termasuk lahan-lahan
budidaya dan hutan adat. Masyarakat tempatan
beranggapan bahwa kepemilikan kawasan hutan adalah
tetap milik komunal atau hak adat.

Penyelesaian status lahan masyarakat pada saat
pelaksanaan penataan batas KPH perlu mempertimbangkan
banyak hal, kondisi biofisik kawasan hutan dan sosial
ekonomi masyarakat. Dalam penyelesaian status lahan
bukan hanya mempertimbangkan aturan hukum positif,
tetapi perlu mengantisipasi dampak sosial dan ekologi dari
kegiatan penataan batas kawasan KHP. Klaim-klaim lahan
kurang mendapat perhatian dan diselesaikan secara tuntas.
Bahkan lahan yang bermasalah, secara administrasi tetap
dimasukkan sebagai sebagai kawasan hutan dan
dialokasikan sebagai blok pemberdayaan masyarakat.

Praktek penataan batas kawasan hutan sebagian
besar menimbulkan perbedaan pemahaman kepemilikan.
Sebagian besar masyarakat tempatan beranggapan bahwa
cara tersebut tidak menghilangkan status kepemilikan lahan,
mereka tetap memiliki, bahkan dijual ke pihak lain.
Disamping itu, ketentuan pembagian blok KPH dan pada
lokasi kasus penelitian, lahan yang bermasalah umumnya
dialokasikan menjadi blok pemberdayaan salah satunya
berupa pembuatan kebun karet. Beragam modus
penguasaan lahan hutan, tidak jarang ditumpangi oknum
yang berkepentingan untuk keuntungan finansiil semata.

Secara teknis dan bersifat jangka pendek
penyelesaian konflik lahan dapat diminimalisir melalui
penataan batas kawasan hutan. Sebaliknya, penyelesaian
jangka panjang mesti dilakukan melalui perubahan strategi
pengelolaan KPH dengan mengintegrasikan masyarakat
tempatan sebagai komponen penting pengelolaan KPH.

24

3. Evaluasi Masalah; perkembangan sementara strategi
pengelolaan KPH masih berlandasakan dengan paradigma
timber management. Kegiatan timber management dimulai
dari permudaan hutan, penanaman, pemeliharaan,
pengolahan, dan pemasaran hasil. Pembelajaran dari
pengelolaan hutan sebelumnya, pendekatan semacam ini
belum mendukung terwujudnya pengelolaan hutan lestari
dan mensejahterakan masyarakat.

Sebagai contoh, evaluasi strategi timber management
menunjukkan bahwa keberlangsungan pengelolaan hutan
memiliki hambatan terutama peningkatan konflik lahan.
Perolehan hasil kayu relatif rendah dan kurang beragam,
pelibatan masyarakat belum terintegrasi di dalam sistem
pengelolaan KPH, dan partisipasi parapihak dalam
pelestarian sumberdaya hutan relatif rendah. Gambaran
perkembangan konflik lahan akan terus berlangsung
(Bahdarsyah, 2010); sebagai analog dalam kasus
pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) sebagaimana
disajikan pada Gambar 5 berikut ini.

1: Luas HTI 2: Konf lik Lahan

1: 20000
2: 5300

1: 10000 1
2: 2650

1: 2 1 12
2: 2
0 1 1
Page 1 0 2013 2 2

2008 2018 2023 2028 2033

Tahun 8:54 PM Mon, Jan 04, 2010

Gambar 5. Hasil Simulasi Perkembangan Konflik Lahan

Berdasarkan Gambar 5 di atas, menunjukkan bahwa
pengelolaan hutan tanaman dengan paradigma timber
management sulit untuk mempertahankan kawasan hutan
tanaman dan akan terus mengalami penurunan sepanjang
terjadinya konflik lahan. Konflik lahan terus berlangsung
sampai tahun 2023. Efektivitas pengelolaan areal secara
maksimal atau ±50% dari total luas ijin. Gambaran dinamika
sistem tersebut dapat dijadikan petunjuk bahwa masalah

25

konflik lahan adalah masalah penting untuk diselesaikan dan
akan menentukan kelestarian kawasan hutan.

Pembelajaran penting dari contoh konflik lahan di
atas, untuk itu pengembangan KPH sebaiknya memasukkan
masyarakat di dalam dan di sekitar wilayah KPH sebagai
komponen penyusun sistem pengelolaan hutan. Oleh karena
itu keberhasilan program dan aktivitas pemberdayaan
masyarakat manakala dapat mendorong munculnya
partisipasi masyarakat dalam pelestarian sumber daya
hutan.

B. Formulasi Strategi Kehutanan Sosial

Berdasarkan uraian sebelumnya diperoleh 6 (enam) dimensi
penting dalam kelola ekologi, produksi, dan sosial. Strategi
kehutanan sosial dapat dijadikan salah satu alternatif dalam
mendukung pencapaian kelestarian sumberdaya hutan dan
peningkatan kesejahteraan masyarakat tempatan. Secara khusus,
strategi sebagai perspektif dimaknai upaya mengeksekusi
strategi berdasarkan teori yang ada ataupun menggunakan insting
alami dari cara berpikir ataupun ideologis. Hasil akhir penelitian ini
diharapkan dapat dijadikan acuan dalam perumusan pedoman
umum (guidance) dalam pengembangan KPH.

Untuk mendukung implementasi strategi kehutanan sosial,
secara umum perlu dipahami terlebih dahulu hirarki pengelolaan
KPH di luar Jawa dengan tingkat konflik lahan relatif tinggi dan
kompleksitas permasalahan yang satu sama lain saling
berhubungan (Simon, 2000) meliputi Strategi Pengelolaan
(Management Strategy): Sistem Pengelolaan (Management
System): dan Unit Pengelolaan (Management Unit)

Strategi sebagai perspektif kehutanan sosial menggariskan
secara umum kebijakan pemanfaatan sumberdaya hutan dalam
lingkup pembangunan kehutanan. Formulasi strategi kehutanan
sosial dalam pengembangan KPH digariskan melalui pedoman
umum, tujuan, dan implementasinya sebagaimana uraian-uraian di
bawah ini.

1. Pedoman Umum

26

Pengelolaan KPH diupayakan dapat memadukan kepentingan
parapihak. Persyaratan penting strategi pengembangan KPH
berwawasan kehutanan sosial adalah:

(1) Pengelolaan ekosistem hutan secara utuh dan terpadu pada
masing-masing KPH dengan tetap menghormati serta
mengakui keberadaan masyarakat yang tinggal di dalam dan
di sekitar hutan.

(2) Permasalahan krusial yang perlu diselesaikan terlebih dahulu
adalah penyelesaian batas kawasan hutan secara partisipatif
di lapangan. Pendekatan penyelesaian batas kawasan
melalui zonasi wilayah administrasi desa dengan
memberikan peran penting kepada kepala KPH (Santoso dan
Bahdarsyah, 2015).

(3) Pelestarian diversitas flora dan fauna dengan menciptakan
kondisi ekosistem hutan yang menyerupai kondisi hutan
alam, serta meminimalkan dampak kerusakan lingkungan
dan keluaran ragam hasil hutan dengan diversifikasi sistem
silvikultur

(4) Peningkatan realisasi kegiatan rehabilitasi dengan ragam
hasil hutan baik kayu maupun bukan kayu, sehingga hutan
dapat dikembalikan sebagai sumber kehidupan.

(5) Penciptaan media partisipasi parapihak dengan berbagai
skema pemberdayaan masyarakat untuk bertanggungjawab
dalam pelestarian sumberdaya hutan, khusus bagi
masyarakat tempatan diberikan akses untuk pengembangan
usaha ekonomi produktif, terutama pada blok pemanfaatan
dan blok pemberdayaan.

(6) Pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat berupa kebutuhan
lahan, kesempatan kerja, dan kayu pertukangan.
Pemanfaatan sumberdaya hutan untuk kepentingan
parapihak dan disesuaikan dengan kebutuhan masing-
masing parapihak.

(7) Pengelolaan KPH diupayakan untuk mengembalikan
keadaan ekosistem hutan alam dalam hal heterogenitas,
stratifikasi vegetasi, berjalannya proses suksesi alami, dan
ragam produk hasil hutan.

(8) Kehutanan sosial, sebagai strategi manajemen hutan dapat
mengharmonisasikan berbagai kebutuhan pengelolaan
hutan. Selain pertimbangan ekonomi, strategi ini merupakan

27

sarana memobilasi partisipasi parapihak, media penyelesaian
permasalahan lingkungan global, dan konflik sosial. Aspek
penting lainnya, dapat mendukung keberlangsungan kegiata
non kehutanan seperti pertanian, perikanan, dan
perkebunan serta keberlangsungan kehidupan umat
manusia di dunia.
(9) Pengelola KPH mampu mengartikulasikan dimensi
prakondisi, ekologi, ekonomi, dan sosial, sehingga
mendorong terwujudnya pengelolaan hutan lestari dan
memberikan hasil nyata bagi peningkatan kehidupan
masyarakat di dalam dan di sekitar KPH.

2. Tujuan Pengembangan KPH

Strategi kehutanan sosial dalam pengembangan KPH bertujuan:
meminimalkan konflik lahan antara pengelola dan masyarakat,
sebagai sarana memobilisasi partisipasi masyarakat dalam
pelestarian sumberdaya hutan, sebagai sarana mendapatkan
pengakuan dan kepastian batas kawasan hutan,
mengembalikan kawasan hutan sebagai sumber kehidupan,
serta dijadikan salah satu upaya penciptaan alternatif sumber
pendapatan bagi masyarakat tempatan.

Strategi pengembangan KPH berwawasan kehutanan
sosial dijabarkan melalui pendekatan keruangan (spasial) dan
non keruangan. Pendekatan spasial diwujudkan dalam bentuk
arahan alokasi zonasi atau blok dengan prinsip bufferzone
management. Pendekatan non spasial melalui penguatan
kelembagaan dan teknis rehabilitasi atau pola penanaman.
Strategi pengembangan KPH berwawasan kehutanan sosial
direkayasa melalui pengaturan alokasi areal peruntukkan, pola
penanaman, dan kelembagaan.

3. Perencanaan Strategi Kehutanan Sosial

Strategi pengembangan KPH berwawasan kehutanan sosial
dimungkinkan untuk dikembangkan. Hal ini terbukti dari
masukan dan penilaian akademisi, birokrat, teknokrat, dan
praktisi sebagai responden penelitian ini; sebagaimana pada
Gambar 6 berikut ini.

28

Gambar 6. Penilaian Strategi Pengembangan KPH Berwawasan
Kehutanan Sosial

Dari Gambar 6 di atas, menunjukkan bahwa konsep dasar
dari strategi kehutanan sosial yang telah dijelaskan sebelumnya
mendapat hasil penilaian relatif besar sebesar 84% responden
(Birokrat, akademisi, KKPH, dan Widyaiswara) termasuk
kategori sangat setuju (43%) dan setuju (41%). Üntuk
kepentingan implementasi strategi kehutanan sosial ini
diperoleh masukan (Responden; 2016) sebagai berikut:

1. Mengingat kondisi eksiting kawasan hutan saat ini perlu dicarikan
strategi pengelolaan hutan yang berbeda. Peluang strategi kehutan
sosial dimungkinkan di aplikasikan di beberapa KPH yang punya masalah
konflik lahan. Disamping itu sistem pengendalian KPH dalam
mewujudkan unit kelestarian ekosistem menjadi penting dalam
pelesatarian sumber daya hutan.

2. Hal penting lainnya perlu dilakukan perubahan mindset di internal
Kementerian LHK dan mensinkronkan tugas pokok dan fungsi dalam
mendukung pembangunan KPH. Minat masyarakat terhadap pengelolaan
hutan relative tinggi terutama di Jawa.

3. Perlu pemahaman dan interpretasi yang benar terhadap UU No. 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Peraturan ini sangat
memungkinkan dan mendukung pengelolaan HP dan HL dalam wadah
pembangunan KPH.

4. Validasi; pemahaman penyusunan perencanaan KPH masih terjadi bias
terutama dalam penyusunan bisnis plan (Benarkah filosofi
penyusunannya). Peningkatan praktek manajemen terutama Koordinasi,
Integrasi, Sinkronisasi, dan Simplikasi menjadi krusial antar SKPD daerah

29

dan UPT KLHK seperti Balai Pengelolaan Hutan Produksi (BPHP) dan Balai
Pengelolaan DAS dan Hutan Lindung (BPDAS-HL).
5. Keseriusan KLHK dalam mendukung pembangunan KPH dalam bentuk
implementasi kebijakan secara utuh. Pendanaan; masih ambigu antara
keberadaan UPT KLHK dan KPH. UPT KLHK (BPHP dan BPDAS dan HL)
belum sepenuhnya memahami pembangunan KPH; khususnya dalam
penyusunan program dan pembiayaan.
6. Pelaksanaan Permen LHK No. 47 Tahun 2013; tentang pengelolaan
wilayah tetentu. Belum dijabarkan secara operasional dalam kerjasama
komersial dan PUHH hasil hutan (kayu – HA). (coba dilakukan
pencermatan pasal 21 PP No 6 2006 jo 3 2007 dengan Psl 9 P47; tentang
kerjasama). Alternatif lain pendekatan melalui Permendagri P.50.
7. Pemikiran: alternatif kerjasama pemanenan mengadopsi metode
konvensional illegal logging masyarakat. Mereka sebagai pe-supply
kebutuhan bahan baku industri lokal sekitar kawasan KPH.
8. Pelibatan masyarakat dalam pengembangan karet; terdapat kendala
dalam hal alokasi plot model percontohan seluas 2 ha dari kelompok.
Ada indikasi masyarakat mengharapkan KPH membeli kebun yang ada di
dalam kawasan?.
9. Pengelolaan hutan melalui KPH bisa diprioritaskan pengelolaan aspek
sosial sebagai aspek penting dengan kata lain pengelolaan hutan
dimaknai sama dengan membangun SDM, termasuk aparatur
pemerintahan.
10. Adanya pengakuan status kawasan hutan oleh masyarakat. Program
karet usulan kelompok tani yang disebabkan kegagalan pengembangan
kakao. Potensi hutan di KPHP Dampelas Tinombo diantaranya Rotan,
Ebony, Nantu, dan Pelapi. Jarak desa karya mukti ke kawasan hutan
sekitar 5 km.
11. Mempercepat pembentukan Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) di
kelembagaan KPH dalam mendukung pengelolaan wilayah tertentu.
Namun kewajiban membentuk BLUD diselaraskan dengan konsep yang
sduah dituangkan dalam RHPJP KPH. Pembentukan BLUD KPH
diperlukan dalam pemanfaatan potensi hasil hutan kayu dan hasil non
kayu. Selain itu untuk memperkuat konsep pengelolaan KPH perlu
didorong eksistensi akademisi daerah.
12. Pendekatan Blok pemberdayaan skema Hutan Desa dengan luasan rata-
rata ±5.000 ha, untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat
terhadap pembangunan kehutanan.
13. Pemenuhan Kebutuhan SDM “Bakti Rimbawan” perlu ditingkatkan.
Peningkatan kompetensi di bidang resolusi konflik, kemitraan,
pemberdayaan, masyarakat, dan pengembangan bisnis. Sumver daya
manusia Kehutanan terkini yang bergerak di Tingkat Tapak dibekali
tentang implementasi teknis pengelolaan hutan berlandaskan kelestarian
hutan dan kesejahteraan masyarakat.
14. Dalam pengelolaan kawasan hutan sangat dituntut konsistensi SDM dan
Pengetahuan yang luas dalam penyelesaian berbagai macam persoalan
Kehutanan. Strategi pengelolaan haruslah disesuaikan pada tingkat

30

tapak agar target yang ditetapkan sebagai Visi dan Misi Kementerian LH
dan Kehutanan betul – betul dapat dilihat sebagai progres.
15. Pemanfaatan hutan untuk kesejahteraan bukanlah solusi yang absolut
tetapi lebih pada reward dalam andil pengelolaan kawasan. Pengakuan
terhadap kawasan merupakan target utama dalam pengelolaan tingkat
tapak, semua persoalan yang ada didalam kawasan hutan adalah
masalah yang harus diminimalisir dan diselesaikan dalam bentuk
program, salah satu bentuk yang harus dilakukan adalah optimalisasi
SDM dan SDA di luar kawasan.Pengembangan KPH dalam kaitannya
membangun sentra bisnis kehutanan.
16. Keberadaan UPT (BPHP, PSKL, Gakkum) KLHK yang multitafsir dalam
Tupoksi, sebagai penghambat operasional KPH
17. Perlu sosialisasi perhutanan sosial ke pemerintah provinsi, penghambat
dari birokrasi. Kehutanan sosial sangat mungkin diimplementasikan
dalam Pengelolaan KPH. Kendala regulasi dalam kehutanan sosial belum
efketif, kemitraan dalam konteks pelibatan masyarakat non komersiil.
perlu dilakukan peningkatan kapasitas masyarakat dan kelembagaan
dalam mendukung Kehutanan Sosial. KPH selain mengemban misi-misi
yang sudah diungkapkan di atas, hendaknya juga diangkat perannya
sebagai agen utama untuk menjadikan sektor kehutanan sebagai tulang
punggung pembangunan nasional. Hal ini mengingat luas kawasan
hutan yang lebih dari 100 juta hektar dan berada di negara tropis.
Negara Finlandia saja yang luas hutannya lebih kecil dan berada di
daerah temperate mampu menghasilkan konstribusi ekonomi yang
sangat besar bagi negaranya.
18. Wawasan Kehutanan Soisal juga bisa dimaknai sebagai legitimasi
pengelola hutan di tingkat tapak dan legitimasi batas kawasan hutan.
Kehutanan Sosial dapat menjadikan alternatif pemecahan masalah
sosial, ekonomi, dan konflik antar stakeholder. Penyelesaian konflik lokal
bisa juga dengan merasionalisasi kawasan hutan, sehingga pengelola
tingkat tapak (KPH) mengelola kawasan hutan betul-betul clear and
clean. KPH harus dipertahankan dan diperkuat agar hutan tetap lestari
dengan memperhatikan kesejahteraan masyarakat. Pengelolaan hutan
dimantapkan untuk ekologis, kemudian produksi dan sosial. Kejelasan
regulasi dalam pemberian akses ke masyarakat.
19. Regulasi pengelolaan dana bagi hasil antara KPH dan pihak lain, dan
penganggaran KPH perlu dievaluasi.
20. Pembentukan KPH di masing-masing provinsi perlu dirancang bangun
kembali (redesign), agar pengelolaan hutan efisien dan efektif.
Disamping itu pengembangan KPH untuk dijadikan indikator kegiatan
dalam rencana pembangunan kehutanan daerah.

*) .Masukan dari 30 responden dengan profesi Akademisi; Birokrat; Masyarakat; dan Birokrat; 2016

Dari hasil penilaian dan berbagai masukan di atas,
penerapan strategi pengembangan KPH berwawasan kehutanan
sosial dimungkinkan dalam pengelolaan hutan lestari.
Pengelolaan hutan lestari ditekankan pada pengelolaan dimensi

31

prakondisi, produksi, ekologi, dan sosial. Khusus dimensi
prakondisi beberapa konsep yang dapat dipertimbangkan,
sebagaimana dirumuskan oleh Bahdarsyah dan Santoso,
2015; bahwa pengelolaan KPH masih diperlukan membangun
kelembagaan dan mekanisme perencanaan KPH yang
profesional, mandiri, dan independen.

Membangun Kelembagaan perencanaan KPH meliputi
kebutuhan SDM; institusi (lembaga); aturan (rule);
pembiayaan; sistem informasi; dan sarana prasarana dalam
operasionalisasi perencanaan KPH. Mekanisme perencanaan
KPH perlu mensinergikan sumberdaya baik di lingkup
pemerintahan pusat maupun daerah. Oleh karena itu, sistem
perencanaan KPH harus dibangun melalui pendekatan
kelembagaan yang independen, mandiri, dan di dukung tenaga
perencana profesional. Pemikiran di atas dilandasi hasil kajian
yang telah dilakukan sebelumnya dengan simpulan yaitu:

a. Proses pelaksanaan penyusunan Rencana Pengelolaan
Hutan pada KPHL dan KPHP belum mampu
mengartikulasikan aspek ekonomi, ekologi, dan sosial.

b. Rumusan kebijakan perencanaan pengelolaan hutan pada
KPHP dan KPHL belum sepenuhnya sesuai dengan substansi
arahan pengelolaan hutan yang ditetapkan.

Acuan penyiapan kelembagaan perencana KPH baik
untuk proses pembelajaran maupun penerapannya di lapangan.
Integrasi dimensi ekologi, produksi, dan sosial dikembangkan
melalui pendekatan spasial dan non spasial. Pendekatan sapsial
dengan mengalokasikan areal KPH dibagi ke dalam 3 (tiga) yaitu
ekologi, produksi, dan sosial. Pengelolaan ketiga ruang
dilakukan dalam satu hamparan sesuai bentang lahan pada
setiap unit terkecil ekosistem hutan. Ruang ekologi ditujukan
untuk penyelamatan keaslian ekosistem hutan dengan
keragaman flora-fauna, habitat satwaliar, fungsi pengaturan
tata air, multiplier proses ekologi lingkungan, dan salah satu
media pelibatan masyarakat tempatan dalam usaha ekonomi
produktif.

Pendekatan non spasial melalui Rehabilitasi atau Pola
Penanaman dan pengembangan kelembagaan. Rehabilitasi atau
pola penanaman menggunakan pola monokultur dan polikultur

32

dengan sistem cluster bio-geo-fisik dan kondisi tutupan lahan
pada masing-masing areal KHP.

Pengembangan blok atau kawasan lindung dilakukan
penanaman jenis bukan kayu seperti rotan, tanaman hias, dan
tanaman obat-obatan. Peningkatan kualitas habitat dengan
menanam jenis penghasil buah sebagai sumber pangan
satwaliar. Jenis unggulan ditanam pada batas blok, petak, dan
topografi relatif tinggi >25%, sehingga berfungsi sebagai
tempat berkembang biak dan sarana migrasi satwaliar.
Pengembangan kawasan lindung seperti sempadan sungai
dapat digunakan pola silvofishery. Kawasan sempadan sungai
penting dilakukan pelebaran di atas batas standar ketentuan,
agar dapat mengurangi sisa bahan kimia yang potensial sebagai
racun bagi populasi hewan perairan.

Pengembangan kelembagaan KPH ditekankan pada
aspek organisasi, sumberdaya manusia, dan peraturan atau
regulasi. Ke 3 (tiga) aspek dimaksud masih perlu untuk
ditingkatkan. Dinamika pengembangan kelembagaan
memerlukan proses penyesuaian baik volume dan spesifikasi
pekerjaan, sehinga kompetensi SDM, bentuk organisasi, dan
norma dan ataupun regulasi. Seperti contoh pengembangan
kelembagaan KPH melalui priodesasi 5 tahunan (Bahdarsyah
dan Suwarno, 2013) sebagaimana peta jalan Pengembangan
Kelembagaan KPH pada Gambar 7 berikut ini.

10 th

5 th BUMD/
PERUSDA
0 UPTD
Th BLUD

UPT

D

Gambar 7. Peta Jalan Pengembangan Kelembagaan KPH

Alternatif pengembangan organisasi KPH sejalan dengan
prinsip dan kebijakan pengelolaan hutan berdasarkan fungsi

33

kawasan hutan (produksi dan lindung) dan wilayah-wilayah DAS
dibagi habis ke dalam unit-unit KPH.

SDM; kondisi Sumber daya manusia kehutanan di KPH
4.958 orang atau rata-rata 22 orang. Hal penting yang perlu
dijadikan prioritas berkaitan dengan peraturan pendukung
pengelolaan KPH meliputi peraturan operasional dalam
pengolaan wilayah tertentu. Peraturan ini perlu dijabarkan lebih
lanjut, sehingga dapat mengakomodir bentuk kerjasama
operasional komersial terutama dalam pemenfataan hasil baik
kayu maupun bukan kayu. Kelembagaan untuk pelibatan
masyarakat tempatan berupa Kelompok Tani Hutan (KTH).

Kelembagaan dalam pengelolaan KPH disesuaikan
dengan tujuan pemanfaatannya. Ruang produksi komersial
dikelola sendiri oleh KPH ataupun kerjasama bisnis dengan
investor kehutanan untuk wilayah tertentu. Ruang ekologi,
pemanfaatan hasil hutan, dan sosial terutama untuk mendorong
partisipasi parapihak, terutama masyarakat tempatan. Alternatif
kelembagaan parapihak dalam mendukung strategi kehutanan
sosial meliputi Kemitraan; Pemanfaatan ruang bersama (Share-
spatial based atau profit sharing): dan Pelimpahan wewenang
ruang pengelolaan (Share-authority based).

Keberhasilan strategi pengelolaan KPH tersebut perlu
mempertimbangkan komponen dasar penyusun komponen
sistem sumberdaya hutan yakni:

1) Pengelolaan KPH berlandaskan dimensi ekologi, produksi,
dan sosial dengan dukungan ketepatan pola penanaman dan
kelembagaan.

2) Terpeliharanya diversitas penyusunan areal KPH, sehingga
mendekati atau menyerupai ekosistem hutan alam.

3) Penanaman kayu dan bukan kayu secara proporsional
sebagai aktivitas utama pengelolaan KPH.

4) Terbangunnya areal KPH dengan ragam manfaat hasil hutan,
bermanfaat sebagai sumber kehidupan, dan terbukanya
akses pemanfaatan kawasan hutan.

5) Meminimalisir konflik lahan ditetapkan sebagai indikator
utama dalam keberhasilan pengelolaan KPH, termasuk
konflik antara satwa dan manusia.

34

6) Partisipasi parapihak atau masyarakat tempatan perlu
diintegrasikan pada manajemen KPH dalam bentuk
pemenuhan kesempatan kerja dan berusaha, kebutuhan
kayu pertukangan, dan kebutuhan lahan.
Reposisi sektor kehutanan dalam mendorong partisipasi

parapihak terbatas sebagai penyedia lahan, kesempatan kerja,
dan penyedia kebutuhan kayu pertukangan. Sebaliknya, proses
peningkatan kapasitas masyarakat dikembalikan kepada
masyarakat tempatan sebagai pelaku utama dan didukung
semua sektor sesuai tugas, fungsi, dan peran. Implikasi
pemikiran di atas, akan dapat terwujud dalam pengelolaan KPH,
manakala dirumuskan secara benar dan tertuang pada setiap
hierarki dokumen perencanaan KPH. Pengelolaan KPH
membutuhkan tahapan pembelajaran sosial yang panjang,
sehingga setiap rimbawan dengan ragam keilmuan dan
pengalaman diberi ruang untuk berkontribusi secara optimal.

Implementasi strategi kehutanan sosial dalam
pengembangan KPH perlu terinternalisasi secara baik pada
setiap proses perencanaan KPH. Proses perencanaan KPH yang
didukung tenaga profesional harus mampu mengartikulasikan
setiap dimensi ekologi, produksi, dan sosial pada setiap
perumusan dokumen perencanaan hutan. Hal yang perlu diingat
porsi perencaan akan menentukan 50% keberhasilan srategi
kehutanan sosial (“poor plan; poor result). Secara skematis
implementasi strategi kehutanan sosial dalam hierarki
perencanaan KPH sebagaimana Gambar 8, 9, 10 dan Tabel 3
berikut ini.

35

Gambar 8. Alur Penysusunan Dokumen Rencana Pengelolaan
KPH

Alur penyusunan dokumen Rencana Pengelolaan KPH
harus dirancang dengan sumber data dan informasi yang dapat
dipertanggungjawabkan. Data dan informasi diperoleh dari hasil
kegiatan inventarisasi hutan. Teknis Pengelolaan KPH meliputi
kegiatan tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan,
pemanfaatan dan penggunaan kawasan, rehabilitasi dan
reklamasi, serta perlindungan dan konservasi sumber daya
hutan harus direkayasa baik teknis kehutanan maupun sosial.
Hasil rancangan kedua aspek tersebut terintegrasi secara benar
dalam program pemberdayaan masyarakat.

36

Keterangan

• PHL: Pengelolaan Hutan

Lestari

• NKT: Nilai Konservasi

Tinggi

• PHP: Pengelolaan Hutan

Partisipatif

• BHP: Batas Hutan

Partisipatif

• BinHut: Pembinaan Hutan

• RP: Rencana

Pengelolaan

• Linhut dan PPLH:

Perlindungan Hutan dan

Pengelolaan dan

Pemantauan Lingkungan

Hidup

• Keling: Kelola

Lingkungan

Gambar 9. Rekayasa Teknis (Prakondisi, Produksi, dan Ekologi) dan Sosial
Pengelolaan KPH

Rekayasa dimensi prakondisi, ekologi, produksi, dan
sosial harus dilakukan secara terintegrasi dan proporsional.

Rekayasa ke 4 (empat) dimensi tersebut ditujukan untuk
pencapaian Pengelolaan Hutan Lestari. Upaya mendorong
partisipasi parapihak menjadi prioritas dalam kelola dimensi
sosial. Dengan demikian Pengelolaan Hutan Lestari akan dapat
diwujudkan manakala pengelola KPH mampu melakukan
rekayasa keempat dimensi tersebut.

Keme Pem

Dish BAP

UPT DISP
CAM
STAK DES

KONSULTASI / MUSRENBANG (HUT-DA)
Gambar 10. Mekanisme Komunikasi Pengembangan KPH

Mekanisme komunikasi pengembangan KPH perlu
dibangun mulai level dari pemerintah pusat sampai level

pemerintah daerah, bahkan masyarakat melalui forum
konsultasi ataupun musyawarah pembangunan. Komunikasi

37

pengembangan KPH merupakan hal penting, agar pengelolaan
hutan diketahui parapihak. Pembelajaran pengelolaan hutan
selama ini tidak terkomunikasikan secara efektif bagi pihak di
luar kehutanan. Kondisi ini yang menyebabkan program
pembangunan kehutanan tidak mendapat dukungan atau
terbangunnya komitmen parapihak serta berpartisipasi dalam
mewujudkan pengelolaan hutan lestari.

Instrumen yang diuraikan di atas, merupakan instrumen

penting bagi pengelola KPH terutama tenaga perencana dalam
merumuskan program dan kegiatan pengelolaan hutan. Kualitas
dokumen perencanaan yang dirumuskan dan terkomunikasi
secara efektif akan sangat menentukan keberhasilan
pengembangan KPH. Dengan demikian peningkatan kapasitas
lembaga perencanaan hutan menjadi krusial, terutama dalam
mewujudkan unit kelestarian ekosistem hutan. Sebagai acuan
bagi tenaga perencana KPH dalam memformulasikan faktor
penentu strategi kehutanan sosial sebagaimana pada Tabel 3

berikut ini.

Tabel 3. Faktor Penentu Formulasi Perencanaan KPH Berwawasan
Kehutanan Sosial.

Prinsip Dasar

Deskripsi Kehutanan Penjelasan
sosial

Perencanaan Insentif Perencanaan yang disusun oleh

pelaksana untuk tingkat operasional.

Tujuan Ikut Untuk memaksimumkan pemanfaatan

meningkatkan KPH bagi kepentingan ekonomi

kesejahteraan parapihak, prioritas masyarakat lokal

masyarakat atau miskin, berlandaskan asas

kelestarian pengelolaan hutan dan
ekosistem.

Sifat Intensif Bervariasi dari blok atau petak ke

pengelolaan petak untuk memaksimumkan
produktivitas setiap jengkal kawasan

sesuai keadaan fisik areal KPH
(kesuburan, topografi, keadaan

berbatu) dan tekanan sosial-ekonomi
masyarakat.

Ragam Banyak jenis Diusahakan banyak jenis (polikultur)

Produk (polikultur) menurut pertimbangan keuntungan
finansiel, sosial ekonomi masyarakat,

38

Deskripsi Prinsip Dasar Penjelasan
Kehutanan

sosial

dan kelestarian ekosistem, termasuk
kehidupan satwa liar.

Ragam Kayu dan non- Hasil yang diusahakan bermacam-

Produk kayu macam bergantung pada keadaan
sosial ekonomi masyarakat setempat

serta pertimbangan-pertimbangan
lainnya, tanpa membedakan antara

hasil pokok dengan hasil sampingan.

Daur Ganda Seharusnya dianut daur ganda karena
yang dihadapi tidak hanya satu

macam hasil dan hutan yang
dikembangkan bukan monokultur.

Masyarakat Merupakan Penduduk di sekitar hutan
diperlakukan sebagai stakeholder
di dalam mitra kerja
dan di (stakeholder) yang mempunyai kedudukan

sekitar seimbang dengan pengelola hutan dan
stakehoder lainnya.
hutan

Status Bagian dari Status kehutanan perlu dipahami

kehutanan sistem merupakan bagian dari rencana
pembangunan pembangunan wilayah, baik pada

wilayah tingkat nasional, regional maupun

tingkat distrik.
*) Sumber: Simon; 2007. Perencanaan Sumberdaya Hutan. Yogyakarta; dimodifikasi.

Tenaga perencana KPH harus mampu mengartikulasikan
pada setiap level dokumen rencana pengelolaan KPH secara
terintegrasi dari ragam kepentingan dan tujuan pemanfaatan
areal KPH. Untuk merumuskan dokumen rencana pengelolaan
KPH yang baik perlu didukung kelembagaan perencanaan KPH

yang profesional.

Model mental merupakan hasil integrasi diagram kausal
lingkar dimensi ekologi, produksi, sosial, dan konflik lahan.
Model tersebut sebagai acuan awal, dilakukan validasi pada
beberapa tahapan kegiatan pengembangan KPH di lapangan.
Akhirnya, setelah diperoleh model definitif dapat dijadikan
instrumen penilaian pengembangan KPH. Skematis hubungan
antar komponen sistem pengelolaan KPH sebagaimana disajikan
pada Gambar 11 berikut ini.

39

TGHK S PeHnuattaanan KSawasan +
HAudkautm O Hutan
-+
+ + - PPeorpauirlaasni
-
-TnMeamspy+aa+rtaaka+t + KLoanhfalikn KBauykuan + +
+ KP +
SaLtiwara SKuunaglaitia/sDaAnirau
+ KebuLtuahhaann Diversitas -+ -

KebutuhPaenrtuK+kaaynugKKaeensrjeampatan+ + -- H-abitat +
Sedimentasi
-+ Monokultur
++ +

+Kayu - Erosi

Akses
Pemanfaatan +
PenanamPoalna +H S InKdeuhsuttrainan

+ Kelembagaan

AlokasiRPuearnugntukkan

Gambar 11. Hubungan antar Komponen Sistem Pengelolaan KPH

Berdasarkan Gambar 11 di atas, tercatat bahwa diagram
kausal lingkar sebanyak lima negatif dan empat positif. Kondisi
ini menunjukkan bahwa terjadi ketidakseimbangan penyusun
komponen KPH. Ketidakseimbangan tersebut disebabkan
kegagalan teknis dan prakondisi penataan batas kawasan hutan.
Pengelolaan sumberdaya hutan dan industri kehutanan perlu
dibedakan secara tegas, terutama kemampuan penyediaan hasil
hutan kayu.

Model dasar di atas sebagai bahan simulasi dalam
penerapan strategi kehutanan sosial. Langkah ini ditempuh
mengingat hasil penerapan sebenarnya di lapangan akan
diperoleh dalam waktu relatif panjang dan tidak mungkin
dilakukan selama kurun waktu penelitian. Alternatif model dasar
dinamika sistem pengelolaan KPH dapat diikuti pada Gambar 12
berikut ini.

40

Ekologi Tanaman Unggulan
Hutan Sosial

Produksi

Akses Sumber Ragam Penanaman Manajemen Alokasi
Hasil Kayu KPH
Ruang
Pemanfaatan Kehidupan Diversitas Hutan Bukan Kayu
KPH

~

Konflik Kebutuhan +
Lahan Kptk Kelembagaan

Kebutuhan Dimensi +
Konsumsi Lahan SMosaesykarakat Pola
Lahan Per KK Penanaman

Landless Kebutuhan
Kerja
Penambahan
Konsumsi Ketersediaan
Kptk Naker

Rate Pengurangan
KKtk

Jumlah

Penduduk

Tingkat Emigrasi
Kelahiran
Tingkat

Kematian

Imigrasi

Gambar 12. Model Dasar Dinamika Sistem Pengelolaan KPH

Berdasarkan Gambar 12 di atas, komponen penyusun
struktur sistem KPH ditetapkan 3 variabel tetap: manajeman
KPH, ragam hasil hutan, dan sumberdaya hutan sebagai
sumber kehidupan. Penanaman kayu dan bukan kayu
merupakan kegiatan pokok dalam mempertahankan
diversitas dan meningkatkan kualitas ekosistem hutan.
Integrasi dimensi sosial masyarakat tempatan berupa
kebutuhan lahan, kesempatan kerja, dan kebutuhan kayu
pertukangan.

Pada penelitian ini belum dilakukan simulasi dengan
aplikasi tertentu. Sebagai contoh gambaran hasil simulasi
penerapan strategi kehutanan sosial pada kasus penelitian
hutan tanaman industri (bahdarsyah, 2010) dengan software

41

Stella 2008 dengan hasil sebagaimana disajikan pada
Gambar 13 berikut ini.

1: Kelola HTI Pulp 2: Ragam Hasil Hutan 3: Div ersitas 4: Akses…manf aatan 5: Konf lik Lahan

1: 25000 12 12 12 12
2: 20000
3: 2
4: 1 2
5: 0

1: 15000 34 34 34 34
2: 10000
3: 1 3 4
4: 0
5: 0

1

1: 5000 5 5 5 55
2: 0 2013 2018 2023
3: 0 2028 2033
4: -1
5: 0

Page 1 2008

Tahun 9:23 AM Fri, May 07, 2010

Hasil Simulasi Strategi Kehutanan Sosial dengan Running Stella

Gambar 13. Hasil Aplikasi Strategi Kehutanan Sosial

Berdasarkan Gambar 1331 di atas, menunjukkan
bahwa luas areal yang dikelola memiliki kecenderungan
meningkat mencapai 22.039 ha atau 100% pada tahun
2013. Luas areal dengan ragam hasil hutan mencapai
±17.289 ha, bahkan masih bisa lebih ditingkatkan
dengan penyesuaian batas input minimal luas lahan
bebas konflik di lapangan. Diversitas dan akses
pemanfaatan dapat dikendalikan secara berkelanjutan
selama kurun waktu 2008-2033. Konflik lahan cenderung
menurun sepanjang pembangunan hutan tanaman.

Dalam mendukung pengelolaan hutan lestari melalui
implementasi strategi pengembangan KPH berwawasan
kehutanan sosial perlu dirumuskan beberapa kegiatan
penting meliputi:

(1) Melakukan identifikasi dan inventarisasi secara detil
kondisi bio-fisik areal dan dimensi sosial masyarakat
dalam merumuskan arahan alokasi area KPH selaras
dengan kepentingan pengelolaan dimensi ekologi,
produksi, dan sosial

(2) Melakukan rehabilitasi hutan dengan pola penanaman
monokultur dan polikultur dengan jenis kayu
pertukangan, kayu pulp dan jenis asli

42

(3) Merekayasa ulang areal KPH untuk meminimalkan
dampak kerusakan lingkungan terutama erosi dan polusi
sumber air

(4) Membuka akses pemanfaatan sumberdaya hutan,
sebagai media partisipasi dalam pelestarian sumberdaya
hutan

(5) Peningkatan kapasitas dan pemberdayaan masyarakat
tempatan dengan pelibatan parapihak sesuai tugas,
fungsi, dan kompetensi.

Partisipasi Parapihak; partisipasi parapihak dalam
pelestarian sumberdaya hutan penting dan sebagai indikator
keberhasilan penerapan strategi kehutanan sosial. Mekanisme
partisipasi perlu diupayakan pada setiap tahapan kegiatan
perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi, disesuaikan dengan
tugas pokok, fungsi dan kewajiban dari masing-masing lembaga
baik dalam peningkatan kapasitas masyarakat maupun bantuan
teknis dan modal. Partisipasi parapihak perlu didorong melalui
penyediaan ruang atau lahan dan bukan ruang. Penyediaan
ruang dilakukan dengan mengalokasikan area KPH; baik blok
pemberdayaan dan pemanfaatan, maupun areal Perlindungan.
Sarana bukan ruang diterjemahkan pada pelaksanaan program
pemberdayaan masyarakat desa hutan.

Program pemberdayaan masyarakat dilakukan secara
bersama-sama. Sektor kehutanan atau pengelola KPH sebagai
penyedia lahan, kesempatan kerja, kayu pertukangan, dan
menjamin pasar hasil hutan. Koordinasi program dilakukan oleh
Badan Perencanaan Daerah Provinsi/Kabupaten atau Kota.
Pengelola KPH membuka sepenuhnya partisipasi parapihak
untuk secara aktif pada Musyawarah Rencana Pembangunan
Daerah pada setiap level pemerintahan.

Pelaksana kegiatan pemberdayaan masyarakat hutan
pada tingkat desa menjadi tanggung jawab Kepala Desa,
lembaga Usaha Desa, dan Lembaga Adat yang dijabarkan pada
Lembaga Usaha Desa. Lembaga Usaha Desa merupakan usaha
ekonomi produktif dalam bentuk semi corporate dan masyarakat
sebagai pemegang saham. Mekanisme Partisipasi Parapihak
dalam program pemberdayaan masyarakat sebagaimana
disajikan pada Gambar 14 berikut ini.

43

Dishut Perencanaan Pemerintah Pusat Bappeda Provinsi P
Provinsi Area Provinsi UPT Terkait E
Kepala R
Alokasi Areal KPH Pemerintah Daerah Bappeda Kab/Kota E
KPH (zona/Blok (Bupati/wako) UPT Terkait N
Camat C
BKPH Pemberdayaan Kepala Desa Program A
kehidupan) Pemberdayaan N
Kepala Masyarakat Hutan A
Resort A
Pendanaan N
Lembaga Adat Bantuan Teknis • Lembaga Keuangan
Sarana Produksi • Industri Kehutanan P
E
Pemberdayaan Kepala Perguruan Tinggi L
Masyarakat Usaha Ekonomi Desa Hutan Litbang A
K
Keterangan: Lembaga Diklat S
Kelola Ruang Konservasi dan Sosial N
Pengelolaan Kawasan A
: Garis Instruksional Tanaman Kehidupan Lindung A
---------- : Garis Koordinasi N
Masyarakat Tempatan
(Desa Interaksi) E
V
A
L
U
A
S
I

Gambar 14. Mekanisme Pemberdayaan Masyarakat

Bapak/ibu dan hadirin yang kami hormati,

Pada akhir orasi perkenan saya menyampaikan dan Rekomendasi
dari penelitian ini:

A. Simpulan

Berdasarkan uraian di atas; sebagian besar hasil kajian
dokumen dan validasi lapangan menemukan komplesitas
permaslahan pengembangan KPH, terutama konflik lahan hutan
mencapai kisaran 20%-80%. Oleh karena itu penelitian ini
disimpulkan bahwa Strategi Pengembangan KPH berwawasan
Kehutanan Sosial dapat dijadikan alternatif pengelolaan hutan
dengan hasil penilaian 84% termasuk kategori “sangat setuju”
dan “setuju” secara berurutan 43% dan 41%. Integrasi dimensi
ekologi, produksi, dan sosial ditekankan pada variabel
diversitas, pengembangan ragam hasil hutan (multi produk),
kebutuhan lahan, kebutuhan kayu pertukangan, kesempatan
kerja dan berusaha, serta akses pemanfaatan hutan. Indikator
keberhasilan penerapan strategi kehutanan sosial adalah
terbangunnya harmonisasi hubungan pengelola KPH dengan
parapihak dan peningkatan partisipasi parapihak dalam
pelestarian sumberdaya hutan.

44

Implementasi strategi pengembangan KPH berwawasan
kehutanan sosial perlu ditindaklanjuti penelitian tematik dalam
hal:

1. Perumusan indikator dan verifier terhadap aspek ekologi,
produksi, dan sosial; sehingga dapat dijadikan pedoman
dalam mengintegrasikan ke tiga dimensi secara proporsional
sesuai karakteristik ekosistem hutan, karakteristik biofisik,
dan sosial ekonomi budaya parapihak.

2. Penelitian substantif teknis pengelolaan KPH secara parsial
sebaiknya tetap dilaksanakan, sehingga dihasilkan acuan
pengelolaan hutan yang berlandaskan keilmuan kehutanan
secara benar.

3. Merancang aplikasi berbasis teknologi informasi sebagai
instrumen penting dalam penyusunan rencana pengelolaan
dan monitoring evaluasi perkembangan KPH di Indonesia.

B. Rekomendasi

1. Mengembangankan kelembagaan perencanaan hutan
professional, mandiri, dan independen; bertanggungjawab
terhadap pengelolaan unit kelestarian ekosistem
sumberdaya hutan.

2. Reformulasi kebijakan perencanaan hutan berdasarkan
konsepsi keilmuan berwawasan kehutanan sosial untuk
mendukung orientasi pengelolaan KPH dengan multi-produk
hasil hutan dan ekosistem.

3. Restrukturisasi organisasi internal KLHK dalam fasilitasi
pembentukan dan pengembangan KPH.

4. Sinkronisasi tugas pokok, fungsi, dan tata hubungan kerja
antara UPT Kementerian LHK dan Satuan Organisasi
Pemerintah Daerah serta lembaga pendukung lainnya.

5. Peningkatan kapasitas kelembagaan pengelolaan hutan;
terutama kelembagaan KPH dan masyarakat tempatan.
Kapasitas kelembagaan pengembangan KPH meliputi:
a. Regulasi; melakukan revisi skema ijin pemanfaatan hasil
menjadi ijin kelola kawasan dimulai dari Undang undang
Pokok Kehutanan. harmonisasi semua regulasi

45

pendukung pengembangan KPH dari perencanaan hutan
sampai pemasaran hasil hutan.
b. Sumber Daya Manusia; peningkatan kapasitas pengelola
KPH sebagai agen perubahan (social agent), sehingga
mampu menjadikan KPH sebagai lembaga penggerak
(institutional leverage) di level pemerintahan daerah
yang bertanggung jawab mengembalikan sumber daya
hutan menjadi sumber kehidupan. Khusus Kepala KPH
sebagai penentu keberlanjutan pengelolaan KPH, perlu
ditingkatkan kapasitas kepemimpinan (leadership),
kewirausahaan (enterpreneurship), dan membangun
jaringan (network). Kapasitas ini menjadi faktor
determinan dalam mengembalikan kepercayaan
parapihak melalui pengembangan produk unggulan dari
masing-masing KPH. Kompetensi pengelola KPH penting
untuk ditingkatkan dalam bidang keahlian perencanaan
hutan, pemberdayaan masyarakat, dan kewirausahaan.
Ketiga kompetensi tersebut dijadikan acuan dalam
perumusan program pengembangan SDM KPH.
c. Organisasi dikembangkan secara fleksibel berdasarkan
kebutuhan dan peningkatan volume pekerjaan teknis
pengelolaan hutan di lapangan. Dinamika
pengembangan organisasi KPH dilakukan pada unit
Bagian Kesatuan Pengelolaan Hutan (BKPH) sebagai
simpul pengembangannya.
6. Rancang bangun kembali (Redesign) pembentukan KPH;
dengan mempertimbangkan batas kewenangan,
karakteristik ekosistem sumberdaya hutan, dan ketersediaan
sumberdaya dalam pengelolaan KPH. Hal ini penting
dipertimbangkan dalam mendukung pengelolaan KPH secara
efisien, efektif, dan mandiri.

Bapak/ibu dan hadirin yang dimuliakan Allah SWT,
Untuk mengakhiri orasi ini, perkenankan saya
menyampaikan lesson learn dari Jejak Langkah Menuju
Jenjang Widyaiswara Ahli Utama.

46

Pada tahun 1999; saya mendapatkan amanah sebagai karyasiswa
Kementerian Kehutanan di Universitas Negeri Yogyakarta. Pada
kesempatan ini diakhiri thesis dengan judul “Efektivitas Internal
Pengelolaan Lembaga Diklat Lingkup Pusat Diklat Kehutanan
Bogor” (Studi Kasus Pusdiklat Kehutanan; Balai Latihan Kehutanan
Rumpin; dan Balai Latihan Kehutanan Kadipaten. Penilaian
Efektivitas dilakukan melalui 6 variabel penting organisasi yaitu
organisasi, iklim kerja, hubungan kerja, kepemimpinan, persepsi
profesi, dan kewidyaiswaraan. Hasil penelitian ini menyimpulkan 2
hal yakni kapasitas manajemen tidak profeosional dan sistem
pengembangan widyaiswara belum jelas.

Berangkat dari 2 thesis di atas, perjalanan profesi Widyaiswara
yang pertama kali diangkat atas permintaan sendiri pada tahun
1997 dengan jabatan Ajun Widyaiswara (AK: 157); profesi ini
dijalani di Balai Diklat Kehutanan Samarinda (1997-2002); di Balai
Diklat Kehutanan Pekanbaru (2002-2011); dan Pusat Diklat
Kehutanan (SDM LHK) sejak 20011 sampai sekarang.

Pembelajaran yang bisa dipetik dalam profesi ini adalah Ekektivitas
Lembaga Diklat sebagai intrumen pengembangan SDM Kehutanan
belum terwujud. Sebagai Widyaiswara; untuk menjalankan profesi
dibutuhkan ketangguhan personality, substansi kelimuan, dan
metodik didaktik. Dengan demikian kalau kita sepakat, terutama
kepada BP2SDM LHK dan LAN, untuk mencarikan kelembagaan
Diklat dan profesi Widyaiswara sebagimana layaknya institusi yang
bertanggungj jawab sebagai nstrumen pengembangan SDM
(aparatur) untuk menuju kemajuan bangsa dan kelestarian sumber
daya hutan

Penutup
”Akhirnya saya menyimpulkan bahwa masalah pengelolaan hutan
adalah masalah krusial dan menuntut kerja keras serta didukung
lembaga Diklat yang profesional.

Demikianlah Orasi Ilmiah ini, sebagai penutup perkenankan saya
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua
pihak yang telah berkontribusi dalam menyelamatkan dan melestarikan
sumber daya hutan.

47

Dari mimbar ini, dengan segala kerendahan hati dan dari lubuk yang
paling dalam; saya menyampaikan ucapan terima kasih dan
penghargaan yang tak terhingga kepada;
• Bapak/Ibu guruku Alm Prof Dr. Hasanu Simon dan Prof. Dr. Sambas

Sabarudin; guru SD, SMP, dan SMA ku yang telah membekali
dengan berbagai ilmu; sehingga bisa menjalani profesi yang mulia
ini.
• Para Pemimpin unit kerja yang telah memberi kesempatan dan
memfasilitasi selama menjalankan profesi Widyaiswara.
• Kolegaku Bapak/Ibu Widyaiswara, terutama di Pusdikat SDM LHK
Bogor, di BDK Samarainda dan BDK Pekanbaru, yang ikut
mendorong dan berkontribusi terhadap pencapaian “Widyiaiswara
Ahli Utama” hari ini.
• Secara khusus; ucapkan terima kasih ditujukan kepada kedua orang
tua saya “Ayahanda Alm. H. Radawa Kuris dan Ibunda Cikmas”;
yang telah membesarkan; mengasihi; dan mengajarkan ilmu
kehidupan; agama; dan berkorban segalanya. Demikian pula
kepada mertuaku Almarhum Bapak H. Sukirdan dan ibu Hj. Siti
Rahmah; dan Saudara-saudaraku yang selalu memberikan
dorongan dan do’a restu.
• Lebih dalam lagi kepada istri tercinta Ir. Rahmi Astuti Rohaini; dan
ketiga belahan hatiku “Hilman Syahri Fathoni, ST.; Zaky Syahri
Luthfan; Fildzah Syahri Izzati”; yang selalu setia mendampingku
dalam suka dan duka; Ayah ucapkan terima kasih dan terimalah
ma’af ku, kalau selama ini Ayah belum mampu menjadi suami dan
orang tua yang baik. Orasi ini kupersembahkan kepada kalian
semuanya.
• Bapak/Ibu pembahas Karya Tulis Ilmiah ini: Seniorku Ir. Priyambudi
Santoso, M.Sc.; Kolegaku Dr. Ir. Kusdmayanti, M.Si.; Dr. Ir. Soni
Trison, M.Si. (Akademisi IPB Bogor).

Tak lupa ijinkan Saya panjatkan do’a:
“Ya Allah; Ya Robb; …. Andaikan profesi ini membawa kebaikan kepada
keluarga dan keturunanku, umat, dan hutan dan kehutanan ….
Bimbing; Mampukan; dan Rahmati setiap langkah dan sisa umur ku …
untuk memberi manfaat dan catatkanlah menjadi ibadahku dalam
mengemban amanah sebagai kholifah di muka bumi ini … Amien YRA.

Sekali lagi, saya mohon maaf yang sebesar-besarnya; sekiranya dalam
penyampaian orasi ini kurang berkenan di hati ibu dan bapak.

48


Click to View FlipBook Version