SEJARAH INDONESIA KELAS XII
PERKEMBANGAN
POLITIK DAN
EKONOMI MASA
DEMOKRASI LIBERAL
Siti Solechatul Jannah
PROFIL
Nama saya Siti Solechatul Jannah, lahir di Kediri
pada tanggal 8 September 2000. Saya anak
terakhir dari dua bersaudara. Saat ini saya
sedang menempuh pendidikan S1 di Universitas
Jember dengan program studi Pendidikan
Sejarah. Membaca adalah salah satu hobi saya,
kemudian ketika saya jenuh, hal yang sering saya
lakukan ialah mendengarkan musik.
FOLLOW ME ON
Instagram : @ccaptjn
Email : [email protected]
Kediri, Jawa Timur
KOMPETENSI INTI
KOMPETENSI DASAR
DAN INDIKATOR
KOMPETENSI INTI KOMPETENSI DASAR
KI 3. Memahami, menerapkan, KD 3.3 Menganalisis perkembangan
menganalisis pengetahuan faktual, kehidupan politik dan ekonomi
konseptual, prosedural, berdasarkan Bangsa Indonesia pada masa awal
rasa ingin tahunya tentang ilmu kemerdekaan sampai masa
pengetahuan, teknologi, seni, Demokrasi Liberal
budaya, dan humaniora dengan
wawasan kemanusiaan, kebangsaan, INDIKATOR
kenegaraan, dan peradaban terkait
penyebab fenomena dan kejadian, 3.3.1 Menjelaskan sistem
serta menerapkan pengetahuan pemerintahan pada masa Demokrasi
prosedural pada bidang kajian yang Liberal
spesifik sesuai dengan bakat dan 3.3.2 Menjelaskan sistem liberal dan
minatnya untuk memecahkan Pemilu yang berlangsung selama
masalah. masa Demokrasi Liberal
3.3.3 Menjelaskan sistem politik
KI 4. Mengolah, menalar, dan bebas-aktif dan Konferensi Asia
menyaji dalam ranah konkret dan Afrika
ranah abstrak terkait dengan 3.3.4 Menjelaskan pemikiran-
pengembangan dari yang pemikiran ekonomi Nasional pada
dipelajarinya di sekolah secara masa Demokrasi Liberal
mandiri, dan mampu menggunakan 3.3.5 Menjelaskan sistem ekonomi
metoda sesuai kaidah keilmuan. Liberal
PETA KONSEP
PERKEMBANGAN POLITIK DAN EKONOMI
PADA MASA DEMOKRASI LIBERAL
Perkembangan Politik Mencari Sistem Ekonomi
Nasional
Dari RIS ke Negara
Kesatuan Pemikiran Ekonomi
Nasional
Sistem Liberal dan
Pemilu I Sistem Ekonomi
Liberal
Politik Bebas-Aktif
dan Konferensi
Asia-Afrika
PERKEMBANGAN POLITIK
A. Dari RIS ke Negara Kesatuan
1. Republik Indonesia Serikat (RIS)
Dengan diratifikasinya hasil-hasil KMB oleh KNIP yang bersidang
tanggal 6-15 Desember, terbentuklah Republik Indonesia Serikat (RIS).
Negara yang berbentuk federasi ini terdiri dari 16 negara bagian yang
masing-masing mempunyai luas daerah dan jumlah penduduk yang
berbeda.
Dalam sidang bersama Parlemen dan Senat RIS tanggal 16 Desember
1945 Ir. Soekarno terpilih sebagai Presiden RIS. Untuk membentuk
kabinet, Presiden menunjuk empat orang formatur, dua orang dari RI dan
dua orang dari negara federal. Pada tanggal 20 Desember, Kabinet RIS
terbentuk dengan Mohammad Hatta sebagai perdana menteri. Kabinet
ini terdiri atas 13 menteri dan 3 menteri negara, 11 orang di antaranya
adalah Republiken.
Kabinet ini merupakan zaken kabinet (yang mengutamakan keahlian
anggota-anggotanya) dan bukan kabinet koalisi yang bersandar pada
kekuatan partai-partai politik.
Kabinet RIS di bawah pimpinan Hatta memerintah sampai dengan
tanggal 17 Agustus 1950. Pada hari itu RIS menjelma menjadi negara
kesatuan Republik Indonesia (RI). Dengan demikian negara federal itu
tidak sampai mencapai usia 1 tahun.
2. Kembali Ke Negara Kesatuan
RIS lahir dari hasil kompromi antara RI dan negara-negara federal
ciptaan Belanda yang dicapai dalam Konferensi Inter-Indonesia dan
dilanjutkan dalam KMB. Ini merupakan kompromi antar elite politik. Akan
tetapi, rakyat di negara-negara federal yang sejak akhir tahun 1949
menjadi negara bagian RIS, tetap menghendaki bentuk negara kesatuan.
Sejak awal tahun 1950 sudah banyak muncul gerakan-gerakan yang
menuntut pembubaran negara bagian dan penggabungannya dengan RI.
Pemberontakan yang dilancarkan oleh kelompok kecil pendukung
federalis, seperti APRA, Andi Azis, dan RMS, semakin memperkuat tuntutan
tersebut.
Pemberontakan APRA bulan Januari 1950 menyebabkan Wali Negara
Pasundan R.A.A. Wiranatakusumah mengundurkan diri. Pada tanggal 8
Maret 1950 terjadi demonstrasi di Bandung yang menuntut pembubaran
Negara Pasundan dan penggabungan seluruh daerah Jawa Barat ke
dalam RI.
Pemberontakan Andi Azis di Makassar awal April 1950 mengakibatkan
terjadinya krisis Kabinet NIT. Pada tanggal 20 April, tokoh Pemuda
Indonesia Maluku (PIM), Pupella, mengajukan mosi tidak percaya dalam
Parlemen NIT. Akibatnya, Perdana Menteri NIT Ir. P.D. Diapri
mengundurkan diri dan kabinet bubar. Kabinet baru terbentuk di bawah
Perdana Menteri Ir. Pituhena, tokoh pro-RI. Program kabinet ini ialah
pembubaran NIT dan penggabungannya ke dalam RI.
Pada tanggal 3 April 1950 dilangsungkan konferensi antara RIS-NIT-
NST. Kedua negara bagian tersebut menyerahkan mandatnya kepada
Perdana Menteri RIS, Hatta, pada tanggal 12 Mei.
Kesepakatan antara RIS dan RI (sebagai negara bagian) untuk
membentuk negara kesatuan tercapai pada tanggal 19 Mei 1950
dengan ditandatanganinya Piagam Persetujuan antara pemerintah RIS
dan pemerintah RI. Dalam piagam itu dinyatakan bahwa kedua belah
pihak dalam waktu sesingkat-singkatnya bersama-sama melaksanakan
pembentukan negara kesatuan. Sebagai tindak lanjut kesepakatan itu
dibentuklah Panitia Persiapan Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan
yang diketuai oleh Menteri Kehakiman RIS Prof. Supomo dengan wakil
ketua Perdana Menteri RI dr. Abdul Halim. Panitia ini bekerja selama
kurang lebih dua bulan dan pada tanggal 20 Juli 1950 merampungkan
tugasnya.
Setelah diadakan pembahasan di DPR masing-masing, rancangan
UUD negara kesatuan itu diterima, baik oleh Senat dan Parlemen RIS
maupun oleh KNIP. Pada tanggal 15 Agustus 1950 Soekarno
menandatangani rancangan UUD tersebut yang kemudian dikenal
sebagai Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS 1950). Dua hari
kemudian, 17 Agustus 1950, RIS secara resmi dibubarkan dan Indonesia
kembali ke bentuk negara kesatuan.
B. Sistem Liberal dan Pemilu I
1. Instabilitas Politik
Dari tahun 1950 sampai tahun 1955 terdapat empat buah kabinet
yang memerintah sehingga rata-rata tiap tahun terdapat pergantian
kabinet. Kabinet-kabinet tersebut secara berturut-turut ialah Kabinet
Natsir (September 1950-Maret 1951), Kabinet Sukiman (April 1951-April
1952), Kabinet Wilopo (April 1952-Juli 1953), dan Kabinet Ali
Sastroamidjojo I (Juli 1953-Agustus 1955). Dapat digambarkan, dalam
waktu rata-rata satu tahun itu tidak ada kabinet yang dapat
melaksanakan programnya karena Parlemen terlalu sering menjatuhkan
kabinet jika kelompok oposisi kuat.
Kabinet Natsir yang memerintah dari tanggal 6 September 1950
sampai tanggal 20 Maret 1951 adalah kabinet koalisi. Inti kabinet ini
adalah Masyumi, walaupun di antara para menterinya terdapat juga
tokoh-tokoh non partai. Di antara program-programnya, yang paling
penting ialah:
menggiatkan usaha keamanan dan ketentraman;
mencapai konsolidasi dan menyempurnakan susunan pemerintahan;
menyempurnakan organisasi Angkatan Perang dan pemulihan bekas
anggota-anggota tentara dan gerilya ke dalam masyarakat;
memperjuangkan penyelesaian soal Irian secepatnya;
mengembangkan dan memperkuat kekuatan ekonomi rakyat sebagai
dasar untuk melaksanakan ekonomi nasional yang sehat.
Kabinet Natsir mengembalikan mandatnya kepada Presiden Soekarno
pada tanggal 21 Maret 1951 dikarenakan hubungan antara kabinet dan
Parlemen yang semakin tegang, dan PIR menarik menteri-menterinya dari
kabinet.
Presiden Soekarno kemudian menunjuk Mr. Sartono dari PNI untuk
membentuk kabinet baru. Sartono berusaha membentuk kabinet koalisi
PNI-Masyumi, sebab kedua partai itu merupakan partai yang terkuat
dalam DPR saat itu. Akan tetapi, usaha Mr. Sartono menemukan
kegagalan dan pada tanggal 18 April 1951 mengembalikan mandatnya
kepada Presiden. Presiden Soekarno pada hari itu juga menunjuk dua
orang formatur baru, yaitu Sidik Djojosukarto (PNI) dan dr. Sukiman
Wirjosandjojo (Masyumi) untuk dalam waktu lima hari membentuk kabinet
koalisi atas dasar nasional yang luas. Akhirnya, setelah diadakan
perundingan, pada tanggal 26 April diumumkan susunan kabinet baru di
bawah pimpinan dr. Sukiman Wirjosandjojo (Masyumi) dan Suwirjo (PNI).
Yang terpenting dalam program kabinet ini di antaranya ialah:
keamanan: akan menjalankan tindakan-tindakan yang tegas sebagai
negara hukum untuk menjamin keamanan dan ketentraman;
sosial-ekonomi: mengusahakan kemakmuran rakyat secepatnya dan
memperbarui hukum agraria agar sesuai dengan kepentingan petani,
serta mempercepat usaha penempatan bekas pejuang di lapangan
usaha;
mempercepat persiapan-persiapan pemilihan umum;
politik luar negeri: menjalankan politik luar negeri secara bebas-aktif
serta memasukkan Irian Barat ke dalam wilayah RI secepatnya.
Penyebab sebenarnya dari jatuhnya Kabinet Sukiman ialah mosi
Sunario (PNI) berkaitan dengan penandatanganan perjanjian Mutual
Security Act (MSA) oleh menteri Luar Negeri Ahmad Subardjo dan Duta
Besar Amerika Serikat, Merle Cochran. Dengan jatuhnya Kabinet Sukiman
kembali Indonesia mengalami krisis pemerintahan.
Untuk mengatasi keadaan sering dan mudahnya kabinet dijatuhkan
oleh Parlemen, ada saran agar dibentuk zaken kabinet yang terdiri dari
tenaga-tenaga ahli pada bidangnya tanpa memperhitungkan
keanggotaannya dalam partai.
Pada tanggal 1 Maret 1952 Presiden Soekarno menunjuk Sidik
Djojosukarto (PNI) dan Prawoto Mangkusasmito (Masyumi) menjadi
formatur. Usaha kedua formatur menemui kegagalan sebab tidak ada
kesepakatan tentang calon-calon yang akan didudukkan di dalam
kabinet. Pada tanggal 19 Maret 1952 mereka mengembalikan mandat,
dan Presiden menunjuk Mr. Wilopo (PNI) sebagai formatur baru. Akhirnya,
setelah berusaha dua minggu, pada tanggal 30 Maret 1952 Mr. Wilopo
mengajukan susunan kabinetnya yang terdiri atas PNI dan Masyumi
masing-masing mendapat jatah 4 orang, PSI 2 orang, Partai Katholik
Republik Indonesia (PKRI), Partai Kristen Indonesia (Parkindo), Partai
Indonesia Raya (Parindra), Partai Buruh, dan PSII masing-masing 1 orang
dan golongan tidak berpartai 3 orang.
Program Kabinet Wilopo terutama ditujukan pada persiapan
pelaksanaan pemilihan umum (untuk Konstituante, DPR, dan DPRD),
kemakmuran, pendidikan rakyat, dan keamanan. Program luar negeri
terutama ditujukan pada penyelesaian masalah hubungan Indonesia-
Belanda dan pengembalian Irian Barat ke Indonesia serta menjalankan
politik bebas-aktifmenuju perdamaian dunia. Wilopo dengan kebinetnya
berusaha melaksanakan program itu sebaik-baiknya. Akan tetapi,
kesukaran-kesukaran yang dihadapi tidaklah sedikit. Di antara
kesukaran-kesukaran yang harus diselesaikan ialah timbulnya
provinsialisme dan bahkan separatisme.
Selain soal kedaerahan dan kesukuan, pada tanggal 17 Oktober 1952
timbul soal dalam Angkatan Darat yang terkenal dengan nama Peristiwa
17 Oktober. Peristiwa ini dimulai dengan perdebatan sengit di DPR
selama berbulan-bulan mengenai masalah pro dan kontra kebijakan
Menteri Pertahanan dan pimpinan Angkatan Darat. Aksi pihak kamum
politisi itu akhirnya menimbulkan reaksi keras dari pihak Angkatan Darat.
Gambar 1. Peristiwa 17 Oktober
(Sumber: dok. Kompas)
Kedudukan kabinet yang sudah goyah itu semakin goyah karena soal
tanah di Sumatera Timur yang terkenal dengan peristiwa Tanjung
Morawa. Akibatnya, tanggal 2 Juni 1953 Wilopo mengembalikan
mandatnya kepada Presiden.
Untuk membentuk kabinet baru yang diharapkan mendapat dukungan
yang cukup dari Parlemen, pada tanggal 15 Juli 1953 Presiden Soekarno
menunjuk Sarmidi Mangunsarkoro (PNI) dan Moh. Roem (Masyumi)
sebagai formatur. Kedua formatur gagal mencapai kesepakatan dengan
beberapa partai. Pada tanggal 24 Juni 1953 mereka mengembalikan
mandat kepada Presiden. Formatur baru, Mukarto Notowidagdo (PNI),
tidak pula berhasil mencapai kesepakatan dengan Masyumi mengenai
komposisi dan personalia kabinet. Setelah Mukarto mengembalikan
mandatnya pada tanggal 18 Juli, Presiden Soekarno menunjuk Mr.
Wongsonegoro (PIR) sebagai formatur. Ia berhasil menghimpun partai-
partai kecil untuk mendukungnya. Pada tanggal 30 Juli 1953 kabinet baru
dilantik tanpa mengikutsertakan Masyumi, tetapi memunculkan Nahdatul
Ulama (NU) sebagai kekuatan baru. Ali Sastroamidjojo diangkat sebagai
Perdana Menteri. Kabinet ini dikenal dengan nama Kabinet Ali I atau
Kabinet Ali-Wangso.
Walaupun Kabinet Ali-Wangso dapat dikatakan merupakan kabinet
yang paling lama bertahan, akhirnya pada tanggal 24 Juli 1955 Ali
Sastroamidjojo mengembalikan mandatnya. Penyebab yang utama ialah
persoalan dalam TNI AD sebagai lanjutan dari peristiwa 17 Oktober dan
soal pimpinan TNI AD menolak pimpinan baru yang diangkat oleh
Menteri Pertahanan Iwa Kusumasumantri tanpa menghiraukan norma-
norma yang berlaku di dalam lingkungan TNI AD. Selain itu, juga karena
keadaan ekonomi yang semakin buruk dan korupsi yang menyebabkan
kepercayaan rakyat merosot.
Pada tanggal 20 Juli 1955, NU menarik kembali menteri-menterinya,
yang kemudian diikuti oleh partai-partai lain. Kabinet ini merupakan
kabinet terakhir sebelum diadakannya pemilihan umum.
2. Pemilihan Umum 1955 dan Sesudahnya
Periode ini dimulai dengan dilaksanakannya Pemilihan Umum 1955
dan berakhir dengan diumumkannya Dekrit Presiden tahun 1959 tentang
kembali ke UUD 1945. Masa yang lamanya empat tahun ini mengalami
tiga kabinet yang silih berganti, yaitu Kabinet Burhanuddin Harahap
(Agustus 1955-Maret 1956), Kabinet Ali Sastroamidjojo II (Maret 1956-
Maret 1957), dan Kabinet Djuanda (Maret 1957-Juli 1959).
Setelah Kabinet Ali-Wangso menyerahkan mandatnya kembali, pada
tanggal 29 Juli 1955, Wakil Presiden Moh. Hatta mengumumkan nama
tiga orang formatur yang bertugas untuk membentuk kabinet baru.
Ketiga orang formatur itu ialah Sukiman (Masyumi), Wilopo (PNI), dan
Assaat (nonpartai). Kabinet baru ini bertugas untuk:
mengembalikan kewibawaan pemerintah, yakni mengembalikan
kepercayaan Angkatan Darat dan masyarakat kepada pemerintah;
melaksanakan pemilihan umum menurut rencana yang sudah
ditetapkan dan mempercepat terbentuknya parlemen baru.
Ketiga formatur ini mencapai persetujuan akan menempatkan Hatta
sebagai Perdana Menteri dan Menteri Pertahanan. Namun, timbul
kesukaran karena Hatta masih menjabat sebagai Wakil Presiden. Pada
tanggal 3 Agustus 1955 ketiga formatur ini mengembalikan mandatnya.
Hatta kemudian menunjuk Mr. Burhanuddin Harahap (Masyumi) untuk
membentuk kabinet. Akhirnya Burhanuddin Harahap berhasil membentuk
kabinet baru tanpa PNI pada tanggal 11 Agustus 1955. Kabinet ini terdiri
dari 23 menteri dan didominasi oleh Masyumi.
Kabinet Burhanuddin Harahap mempunyai tugas penting untuk
menyelenggarakan pemilihan umum. Tugas tersebut berhasil
dilaksanakan, meskipun harus melalui rintangan-rintangan yang berat.
Pada tanggal 27 September 1955 pemilihan umum untuk memilih anggota
parlemen berhasil dilangsungkan dan pemilihan anggota Dewan
Konstituante dilakukan pada 15 Desember 1955. Setelah menyelesaikan
tugasnya Kabinet Burhanuddin meletakkan jabatannya. Kemudian
dibentuk suatu kabinet baru berdasarkan kekuatan partai politik yang
ada dalam parlemen baru hasil pemilihan umum.
Gambar 2. Pemilihan Umum 1955
(Sumber: pemilu.kompas.com)
Selain masalah pemilihan umum, kabinet ini juga berhasil
menyelesaikan permasalahan dalam tubuh TNI-AD dengan diangkatnya
kembali Kolonel Nasution sebagai KSAD pada Oktober 1955. Program
lainnya yang berusaha dilaksanakan pada masa kabinet ini adalah
masalah politik luar negeri dan perundingan masalah Irian Barat.
Tugas Kabinet Burhanuddin dianggap selesai dengan selesainya
pemilihan umum sehingga perlu dibentuk kabinet baru yang akan
bertanggung jawab kepada parlemen yang baru. Pada tanggal 3 Maret
1956 kabinet pun bubar.
Setelah Pemilihan Umum 1955, Presiden Soekarno menunjuk partai
pemenang pemilu sebagai pembentuk formatur kabinet. PNI yang
ditunjuk Soekarno sebagai formatur kabinet mengajukan Ali
Sastroamidjojo dan Wilopo calon formatur kabinet. Presiden Soekarno
kemudian memilih Ali Sastroamidjojo. Kabinet yang terbentuk berintikan
koalisi PNI, Masyumi dan NU.
Presiden Soekarno pun akhirnya menyetujui susunan kabinet yang
telah disusun oleh tim formatur, dengan memasukkan Ir. Djuanda dalam
kabinet. Pada tanggal 20 Maret 1956, kabinet koalisi nasionalis-Islam
dengan Ali Sastroamijdojo selaku Perdana Menteri. Kabinet ini dikenal
sebagai Kabinet Ali II (1956-1957). Kabinet Ali II merupakan kabinet
pertama yang memiliki Rencana Lima Tahun yang antara lain isinya
mencakup masalah Irian Barat, masalah otonomi daerah, masalah
perbaikan nasib buruh, penyehatan keuangan dan pembentukan ekonomi
keuangan.
Dalam menjalankan programnya Kabinet Ali II muncul berbagai
peristiwa-peristiwa baru antara lain gagal memaksa Belanda untuk
menyerahkan Irian Barat yang akhirnya membatalkan perjanjian KMB.
Munculnya masalah anti Cina diantara kalangan rakyat yang kurang
senang melihat kedudukan istimewa golongan ini dalam perdagangan.
Selain itu mulai meningkatnya sikap kritis daerah terhadap pusat. Kondisi
ini mendorong lemahnya Kabinet Ali yang dibentuk berdasarkan hasil
pemilihan umum pertama. Peristiwa-peristiwa di atas membuat
kewibawaan Kabinet Ali Sastroamidjojo semakin turun.
Kurangnya tindakan tegas dari kabinet terhadap pergolakan yang
muncul membuat Ikatan Pembela Kemerdekaan Indonesia (IPKI) dan
Masyumi menarik para menterinya dari kabinet. Berbagai upaya telah
dilakukan untuk menyelamatkan kabinet oleh Ali Sastro dan Idham Khalid,
namun tidak berhasil. Ali akhirnya menyerahkan mandatnya kepada
Presiden Soekarno pada tanggal 14 Maret 1957.
Akhirnya, Presiden menunjuk dirinya sendiri, “Dr. Ir. Soekarno, warga
negara, sebagai formatur untuk membentuk kabinet ekstraparlementer
yang akan bertindak tegas dan yang akan membantu Dewan Nasional
sesuai konsepsi Presiden. Soekarno berhasil membentuk Kabinet Karya
dengan Ir. Djuanda, tokoh yang tidak berpartai, sebagai Perdana
Menteri dengan tiga wakil perdana menteri masing-masing dari PNI, NU
dan Parkindo. Kabinet ini resmi dilantik pada 9 April 1957 dan dikenal
dengan nama Kabinet Karya. Kabinet ini tidak menyertakan Masyumi di
dalamnya.
Kabinet Djuanda merupakan Zaken Kabinet dengan beban tugas
yang harus dijalankan adalah perjuangan membebaskan Irian Barat, dan
menghadapi keadaan ekonomi dan keuangan yang memburuk. Kabinet
Djuanda untuk menyelesaikan tugasnya menyusun program kerja yang
terdiri dari lima pasal yang dikenal dengan Panca Karya, sehingga
kabinetnya pun dikenal sebagai Kabinet Karya. Kelima program tersebut
meliputi:
Membentuk Dewan
Normalisasi keadaan Republik
Melancarkan pelaksanaan pembatalan KMB
Perjuangan Irian
Mempergiat pembangunan
B. Politik Bebas-Aktif dan Konferensi Asia Afrika
1. Politik Luar Negeri Setelah Pengakuan Kedaulatan
Hubungan luar negeri yang dirintis sejak Perang Kemerdekaan
berkembang sesudah Pengakuan Kedaulatan 1949. Kabinet RIS di bawah
Perdana Menteri Hatta melaksanakan hubungan luar negeri yang
dititikberatkan pada negara-negara Asia dan negara-negara Barat,
karena kepentingan ekonomi Indonesia masih terkait di Eropa. Untuk
kepentingan yang sama, pemerintah mengirimkan Djuanda guna mencari
bantuan yang tidak mengikat ke Amerika Serikat. Garis itu diteruskan
oleh kabinet penggantinya yaitu Kabinet Natsir (September 1950-Maret
1951) setelah kembali kepada bentuk Negara Kesatuan. Adapun Kabinet
Sukiman (April 1951-Februari 1952) pengganti Kabinet Natsir, menempuh
kebijakan yang menyimpang dari politik bebas-aktif. Pemerinatah
dianggap meninggalkan politik bebas-aktif dan memasukkan Indonesia
ke dalam Blok Barat. DPRS menolak meratifikasi perjanjian itu sehingga
Kabinet Sukiman jatuh dan digantikan oleh Kabinet Wilopo (April 1952-
Juni 1953). Dasar hubungan dengan Amerika Serikat masih diteruskan,
tetapi "perjanjian" Subardjo-Cochran diubah dengan bentuk lain yang
tidak melebihi batas kerja sama biasa antarbangsa. Isi perjanjian diubah
dan dibatasi pada bantuan ekonomi dan teknik saja. Bagi pemerintah
selanjutnya kebijakan yang ditempuh oleh Kabinet Sukiman menentukan
batas "kanan" bagi pelaksanaan politik bebas-aktif demi kepentingan
nasional.
Kabinet Ali Sastroamidjojo I melaksanakan ofensif diplomatik yang
menonjol. Hal itu tercermin dalam jawabannya pada tanggal 3 Juni 1952
kepada Parlemen agar pemerintah menetapkan sikap yang pasti antara
tiga kemungkinan politik luar negerinya, yaitu:
Pertama : kerja sama dengan semua negara dengan menitikberatkan
kerja sama dengan Amerika Serikat, dengan segala konsekuensinya.
Kedua : kerja sama dengan semua negara dengan menitikberatkan
kepada kerja sama dengan Uni Sovyet, dengan segala
konsekuensinya.
Ketiga : kerja sama dengan semua negara dengan menitikberatkan
kepada penyusunan kekuatan ketiga, di samping Blok Amerika dan
blok Uni Sovyet.
Selanjutnya dalam keterangannya kepada Parlemen pada tanggal
25 Agustus 1953, Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo mengemukakan
betapa pentingnya usaha pemupukan kerja sama antara negara-negara
Asia-Afrika. Isi pernyataan tersebut tidak berarti bahwa Indonesia
hendak membentuk suatu blok ketiga, guna dihadapkan kepada kedua
blok lainnya itu. Penjelasan pemerintah pada tanggal 25 Agustus tersebut
merupakan landasan dalam rangka memupuk solidaritas Asia-Afrika dan
menyusun kekuatannya agar mendapatkan posisi yang menguntungkan di
tengah-tengah percaturan politik internasional.
Kabinet berikutnya yang dipimpin oleh Burhanuddin Harahap
berusaha menjalankan politik bebas-aktif dengan agak dekat ke Barat.
Selain dengan Australia dan Amerika Serikat, hubungan baik juga dijalin
dengan kerajaan Inggris, Singapura, dan Malaysia.
Dengan Belanda dicoba membuka hubungan baru untuk
menyelesaikan masalah Uni Indonesia-Belanda dan masalah Irian.
Perundingan memakan waktu lama dan berlarut-larut sehingga
menimbulkan tentangan dari partai-partai dan kabinet sendiri. Akhirnya
Indonesia memutuskan Uni Indonesia-Belanda secara sepihak dan pada
tanggal 22, 23, dan 24 Februari Bendera Merah Putih dikibarkan.
2. Antara Dua Kekuatan Dunia
Dalam keterangan Kabinet Natsir kepada Parlemen pada bulan
September 1952 yang meninjau politik luar negeri Indonesia dari segi
pertentangan antara Amerika Serikat dan Uni Sovyet, antara lain
disebutkan: "Antara dua kekuasaan yang telah timbul, telah muncul
persaingan atas dasar pertentangan ideologi dan haluan yang semakin
meruncing. Kedua belah pihak sedang mencari dan mendapatkan kawan
atau sekutu, membentuk golongan atau blok: Blok Barat dan Blok Timur.
Dengan demikian, pertentangan paham Tahukah Kamu?
dan haluan makin meluas dan mendalam,
sehingga menimbulkan keadaan Perang Perang Dingin adalah
Dingin dan dikhawatirkan sewaktu-waktu sebuah sebutan bagi suatu
akan menyebabkan perang di daerah-
daerah perbatasan antara dua periode terjadinya
pengaruh kekuasaan itu. Dalam keadaan ketegangan politik dan
yang berbahaya itu Indonesia telah militer antara Dunia Barat
memutuskan untuk melaksanakan politik yang dipimpin Amerikat
luar negeri yang bebas dan dalam Serikat dan sekutu NATO-
menjalankan politik yang bebas itu nya, dengan Dunia Komunis
kepentingan rakyatlah yang menjadi yang dipimpin Uni Sovyet
pedomannya. Di samping itu pemerintah beserta sekutu negara-
akan berusaha membantu tiap-tiap
usaha untuk mengembalikan perdamaian negara satelitnya.
dunia, tanpa menjalankan politik Perang Dingin terjadi antara
oportunis yang hanya didasarkan
perhitungan laba-rugi dan tidak tahun 1947-1991.
berdasarkan cita-cita luhur. Perang Dingin juga
mengakibatkan ketegangan
tinggi yang pada akhirnya
memicu konflik militer
regional seperti Blokade
Berlin (1948–1949), Perang
Korea (1950–1953), Krisis
Suez (1956), Krisis Berlin
1961, Krisis Rudal Kuba
(1962), dan lain sebagainya.
Keterangan Kabinet Sukiman kepada Parlemen pada bulan Mei 1951
mengatakan antara lain: "Politik luar negeri RI tetap berdasarkan
Pancasila, pandangan hidup yang menghendaki perdamaian dunia.
Pemerintah akan memelihara hubungan persahabatan dengan setiap
negara dan bangsa yang menganggap Indonesia sebagai negara dan
bangsa sahabat, berdasarkan harga-menghargai dan hormat-
menghormati. Berhubung dengan adanya ketegangan politik, antara
Blok Uni Sovyet dan Blok Amerika Serikat, pemerintah Indonesia tidak
akan menambah ketegangan itu dengan turut ikut campur dalam Perang
Dingin yang terjadi antara dua blok itu. Berdasarkan pendirian di muka,
Republik Indonesia sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
tentu menggunakan forum PBB tersebut untuk membela cita-cita
perdamaian dunia."
Kabinet Wilopo menerangkan kepada Parlemen pada bulan Mei 1952
antara lain: ".... asal mulanya pemerinatah menyatakan sikap bebas
dalam perhubungan luar negeri, ialah yang menegaskan bahwa
berhadapan dengan kenyataan adanya dua aliran bertentangan dalam
kalangan internasional yang mewujudkan dua blok: yaitu Blok Barat
dengan sekutu-sekutunya dan Blok Timur dengan teman-temannya,
Republik Indonesia bersikap bebas-aktif dengan makna:
tidak memilih salah satu pihak untuk selamanya dengan mengikat diri
kepada salah satu dari dua blok dalam pertentangan itu;
tidak mengikat diri untuk selamanya atau akan bersikap netral dalam
tiap-tiap peristiwa yang terbit dari pertentangan antara dua blok itu.
Republik Indonesia menggandeng politik bebas-aktifnya dengan
politik bertetangga baik (good neighbour policy). Politik bertetangga
baik sering ditonjolkan terutama oleh Kabinet Ali Sastroamidjojo I dalam
bulan Januari 1953 tatkala melaksanakan hubungan dan konsultasi
dengan negara-negara tetangga seperti India, Pakistan, Birma, dan Sri
Lanka, yang sama pandangannya mengenai politik internasional,
terutama mengenai Perang Dingin, misalnya usaha untuk menghentikan
perang di Korea.
Pada waktu kunjungannya ke India (1954), Perdana Menteri Ali
Sastroamidjojo dalam pidatonya menjelaskan bahwa pelaksanaan
politik persahabatan Indonesia adalah untuk kepentingan Asia pada
umumnya. Kerja sama dan hidup berdampingan, cooperation dan co-
existence, ialah isi dan makna politik luar negeri Indonesia.
Perkembangan baru dalam pelaksanaan politik bebas-aktif ini terjadi
pada masa Kabinet Ali Sastroamidjojo I (Juli 1953-Juli 1955). Kabinet Ali I
tidak menitikberatkan hubungannya ke Barat, tetapi lebih mendekati diri
dengan negara Asia-Afrika dan negara-negara Blok Sosialis.
Kabinet Ali II (sesudah pemilihan umum) dilaksanakan hubungan
dengan blok Sosialis. Dengan Uni Sovyet pada bulan Maret 1954 dibuka
hubungan diplomatik. Berdasarkan politik bebas-aktif itu sesudah
pemilihan umum 1955, Presiden Soekarno melaksanakan muhibah, baik ke
negara Blok Barat (Mei-Juli 1956) maupun ke negara Blok Timur (Agustus
1955).
baik sering ditonjolkan terutama oleh Kabinet Ali Sastroamidjojo I dalam
bulan Januari 1953 tatkala melaksanakan hubungan dan konsultasi
dengan negara-negara tetangga seperti India, Pakistan, Birma, dan Sri
Lanka, yang sama pandangannya mengenai politik internasional,
terutama mengenai Perang Dingin, misalnya usaha untuk menghentikan
perang di Korea.
Pada waktu kunjungannya ke India (1954), Perdana Menteri Ali
Sastroamidjojo dalam pidatonya menjelaskan bahwa pelaksanaan
politik persahabatan Indonesia adalah untuk kepentingan Asia pada
umumnya. Kerja sama dan hidup berdampingan, cooperation dan co-
existence, ialah isi dan makna politik luar negeri Indonesia.
Perkembangan baru dalam pelaksanaan politik bebas-aktif ini terjadi
pada masa Kabinet Ali Sastroamidjojo I (Juli 1953-Juli 1955). Kabinet Ali I
tidak menitikberatkan hubungannya ke Barat, tetapi lebih mendekati diri
dengan negara Asia-Afrika dan negara-negara Blok Sosialis.
Kabinet Ali II (sesudah pemilihan umum) dilaksanakan hubungan
dengan blok Sosialis. Dengan Uni Sovyet pada bulan Maret 1954 dibuka
hubungan diplomatik. Berdasarkan politik bebas-aktif itu sesudah
pemilihan umum 1955, Presiden Soekarno melaksanakan muhibah, baik ke
negara Blok Barat (Mei-Juli 1956) maupun ke negara Blok Timur (Agustus
1955).
3. Konferensi Asia Afrika
Republik Indonesia bukan penganut politik luar negeri netral karena
menolak untuk mengaitkan dirinya kepada negara atau kekuatan mana
pun, betapapun besarnya. Politik dan sikap Indonesia dilandaskan
kepada kemerdekaan dan bertujuan untuk memperkuat perdamaian.
Indonesia mengambil jalan sendiri dalam menghadapi masalah-masalah
internasional. Oleh karena itu, politik ini disebut "politik bebas". Seiring
pula politik ini diperjelas dengan menambahkan kata "aktif" sehingga
menjadi "politik bebas-aktif". Dengan "aktif" dimaksudkan bahwa
Indonesia berusaha sekuat-kuatnya untuk memelihara perdamaian dan
meredakan pertentangan-pertentangan sesuai dengan cita-cita PBB.
Politik ini sedapat mungkin diusahakan agar mendapat bantuan dan
dukungan sebanyak mungkin dari negara-negara yang menjadi anggota
PBB. Contoh konkret dalam hal ini ditunjukkan oleh Perdana Menteri Ali
Sastroamidjojo pada Konferensi Kolombo yang berlangsung dari tanggal
28 April sampai dengan 2 Mei 1954.
Dalam konferensi tersebut Ali Sastroamidjojo menyarankan agar
pertemuan-pertemuan selanjutnya diperluas dengan pimpinan-pimpinan
negara-negara lainnya dari Asia-Afrika. Selanjutnya dalam akhir
kunjungan Ali Sastroamidjojo ke India pada tanggal 25 September 1954
di New Dehli dikeluarkan Pernyataan Bersama Indonesia-India yang
menekankan kembali perlunya diselenggarakan konferensi negara-
negara Asia-Afrika yang akan bermanfaat bagi usaha menunjang
perdamaian dunia serta mengadakan pendekatan-pendekatan
mengenai masalah-masalah yang sedang dihadapi.
Pertemuan para perdana menteri di Indonesia yang diselenggarakan
di Bogor dari tanggal 28-31 Desember 1954 dan disebut Konferensi
Bogor itu telah mengajukan rekomendasi untuk:
mengadakan Konferensi Asia-Afrika di Bandung dalam bulan April
1955;
menetapkan kelima negara peserta Konferensi Bogor sebagi negara-
negara sponsor;
menetapkan 25 negara-negara Asia-Afrika yang akan diundang;
menentukan empat tujuan pokok dari Konferensi Asia-Afrika.
Setelah Konferensi Persiapan di Bogor, dari tanggal 18-25 April 1955
diselenggarakan Konferensi Asia-Afrika di Bandung dengan dihadiri oleh
24 negara undangan dan 5 negara pengambil prakarsa. Agenda
Konferensi Bandung memuat lima pokok acara yang akan dibicarakan,
yaitu:
kerja sama ekonomi;
kerja sama budaya;
hak-hak asasi manusia dan hak menentukan nasib sendiri;
masalah bangsa-bangsa yang tidak merdeka
Dalam keterangan pemerintah kepada DPRS pada tanggal 14 Juni
1955 mengenai hasil-hasil Konferensi Asia-Afrika antara lain
dikemukakan bahwa konferensi dapat mengelakkan diri menjadi medan
pertentangan Perang Dingin. Selain itu, beberapa ketegangan yang
timbul di berbagai bagian benua Asia-Afrika dapat diredakan.
Pada akhir konferensi dihasilkan beberapa dokumen, yaitu: Basic
Paper on Racial Discrimination dan Basic Paper on Radio Activity.
Dokumen yang kemudian terkenal dengan nama Dasasial Bandung ialah
10 prinsip yang tercantum dalam Declaration on the Promotion of World
Peace and Cooperation.
Gambar 3. Kawasan
Negara Peserta KAA
(Sumber: Bakosurtanal,
2011)
Gambar 4. Soekarno, M.
Hatta, dan tokoh KAA
(Sumber: Jamie Mackie,
2005)
Gambar 5. Presiden
Soekarno membuka KAA
1955
(Sumber: Jamie Mackie,
2005)
MENCARI SISTEM EKONOMI
NASIONAL
A. Pemikiran Ekonomi Nasional
Perhatian terhadap perkembangan dan pembangunan dicurahkan
oleh Dr. Sumitro Djojohadikusumo, yang berpendapat bahwa
pembangunan ekonomi Indonesia pada hakikatnya adalah
pembangunan ekonomi baru. Soemitro mencoba mempraktikkan
pemikirannya tersebut pada sektor perdagangan. Ia berpendapat
bahwa pembangunan ekonomi nasional membutuhkan dukungan dari
kelas ekonomi menengah pribumi yang kuat. Oleh karena itu, bangsa
Indonesia harus sesegera mungkin menumbuhkan kelas pengusaha
pribumi, karena pengusaha pribumi pada umumnya bermodal lemah.
Oleh karena itu, pemerintah hendaknya membantu dan membimbing
para pengusaha tersebut dengan bimbingan konkret dan bantuan
pemberian kredit. Jika usaha ini berhasil maka secara bertahap
pengusaha pribumi akan dapat berkembang maju dan tujuan mengubah
struktur ekonomi kolonial di bidang perdagangan akan berhasil.
Gagasan Soemitro kemudian dituangkan dalam program Kabinet
Natsir dalam wujud pencanangan Rencana Urgensi Perekonomian (RUP)
yang sering disebut juga dengan Plan Soemitro. Wujud dari RUP tersebut
kemudian dicanangkan Program Benteng. Program ini antara lain
mencadangkan impor barang-barang tertentu bagi kelompok bisnis
pribumi, serta membuka kesempatan bagi para pedagang pribumi
membangun basis modal di bawah perlindungan pemerintah. Selain
tujuan tersebut, juga untuk menumbuhkan kaum pengusaha pribumi agar
mampu bersaing dalam usaha dengan para pengusaha keturunan Cina
dan asing lainnya. Upaya yang dilakukan pemerintah adalah memberi
peluang usaha sebesar-besarnya bagi pengusaha pribumi dengan
bantuan kredit. Dengan upaya tersebut diharapkan akan tercipta kelas
pengusaha pribumi yang mampu meningkatkan produktivitas barang dan
modal domestik.
Sayangnya dalam pelaksanaan muncul masalah karena dalam
pelaksanaan Program Benteng, pemberian lisensi impor banyak yang
disalahgunakan. Mereka yang menerima lisensi bukanlah orang-orang
yang memiliki potensi kewiraswastaan yang tinggi, namun orang-orang
yang mempunyai hubungan khusus dengan kalangan birokrat yang
berwenang mendistribusikan lisensi dan kredit. Kondisi ini terjadi karena
adanya pertimbangan-pertimbangan politik. Akibatnya, pengusaha-
pengusaha yang masuk dalam Program Benteng lamban menjadi
dewasa, bahkan ada yang menyalahgunakan maksud pemerintah
tersebut untuk mencari keuntungan yang cepat dengan menjual lisensi
impor yang dimilikinya kepada pengusaha impor yang sesungguhnya,
yang kebanyakan berasal dari keturunan Cina. Penyelewengan lain
dalam pelaksanaan Politik Benteng adalah dengan cara mendaftarkan
perusahaan yang sesungguhnya merupakan milik keturunan Cina dengan
menggunakan nama orang Indonesia pribumi. Orang Indonesia hanya
digunakan untuk memperoleh lisensi, pada kenyataannya yang
menjalankan lisensi tersebut adalah perusahaan keturunan Cina.
Perusahaan yang lahir dari kerjasama tersebut dikenal sebagai
perusahaan “Ali-Baba". Ali mewakili Pribumi dan Baba mewakili warga
keturuan Cina.
Usaha lain yang dilakukan pemerintah untuk meningkatkan pengusaha
pribumi dilakukan melalui “Gerakan Asaat”. Gerakan Asaat memberikan
perlindungan khusus bagi warga negara Indonesia Asli dalam segala
aktivitas usaha di bidang perekonomian dari persaingan dengan
pengusaha asing pada umumnya dan warga keturuan Cina pada
khususnya. Dukungan dari pemerintah terhadap gerakan ini terlihat dari
pernyataan yang dikeluarkan pemerintah pada Oktober 1956 bahwa
pemerintah akan memberikan lisensi khusus pada pengusaha pribumi.
Pemerintah, selain melakukan upaya perbaikan jangka panjang, juga
melakukan upaya perbaikan jangka pendek untuk menguatkan
perekonomian Indonesia. Salah satunya adalah mengurangi jumlah uang
yang beredar dan mengatasi defisit anggaran. Untuk itu pada tanggal
20 Maret 1950, Menteri Keuangan, Syafrudin Prawiranegara, mengambil
kebijakan memotong uang dengan memberlakukan nilai setengahnya
untuk mata uang yang mempunyai nominal Rp2,50 ke atas. Kebijakan ini
dikenal dengan istilah Gunting Syafrudin.
Gambar 6. Contoh mata uang yang digunting
(Sumber: 30 Tahun Indonesia Merdeka,
Deppen, 1975)
Upaya pembangunan ekonomi nasional juga diwujudkan melalui
Program Pembangunan Rencana Lima Tahun, 1956-1960, yang disiapkan
oleh Biro Perancang Nasional (BPN) yang dipimpin oleh Djuanda.
Program ini pertama kali dijalankan pada masa Kabinet Ali
Sastroamidjojo II. Program Pembangunan Rencana Lima Tahun berbeda
dengan RUP yang lebih umum sifatnya. Program Rencana Lima Tahun
lebih bersifat teknis dan terinci serta mencakup prioritas-prioritas proyek
yang paling rendah. Tujuan dari Rencana Lima Tahun adalah mendorong
munculnya industri besar, munculnya perusahaan-perusahaan yang
melayani kepentingan umum dan jasa pada sektor publik yang hasilnya
diharapkan mampu mendorong penanaman modal dalam sektor swasta.
Usaha pembangunan ekonomi nasional lainnya dijalankan dengan
kebijakan nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing. Nasionalisasi ini
berupa tindakan pencabutan hak milik Belanda atau asing yang
kemudian diambil alih atau ditetapkan statusnya sebagai milik
pemerintah Republik Indonesia. Pengalihan hak milik modal asing
dilakukan karena Belanda dianggap ingkar janji dengan tidak
menyerahkan Irian Barat kembali ke pangkuan RI sesuai dengan
kesepakatan dalam KMB. Sejak tahun 1957 nasionalisasi yang dilakukan
pemerintah terbagi dalam dua tahap; pertama, tahap pengambilalihan,
penyitaan, dan penguasaan atau sering disebut “di bawah pengawasan”.
kedua, pemerintah mulai mengambil kebijakan yang pasti, yakni
perusahaan-perusahaan yang diambil alih itu kemudian
dinasionalisasikan. Tahap ini dimulai pada Desember 1958 dengan
dikeluarkannya UU tentang nasionalisasi perusahaan-perusahaan milik
Belanda di Indonesia.
B. Sistem Ekonomi Liberal
Sesudah pengakuan kedaulatan, pemerintah Indonesia menanggung
beban ekonomi dan keuangan yang cukup berat dampak dari
disepakatinya ketentuan-ketentuan KMB, yaitu meningkatnya nilai utang
Indonesia, baik utang luar negeri maupun utang dalam negeri. Struktur
perekonomian yang diwarisi dari penguasa kolonial masih berat sebelah,
nilai ekspor Indonesia pada saat itu masih sangat tergantung pada
beberapa jenis hasil perkebunan yang nilainya jauh di bawah produksi
pada era sebelum Perang Dunia II.
Permasalahan yang dihadapi pemerintah Indonesia pada saat itu
mencakup permasalahan jangka pendek dan permasalahan jangka
panjang. Permasalahan jangka pendek yang dihadapi pemerintah
Indonesia saat itu adalah tingginya jumlah mata uang yang beredar dan
meningkatnya biaya hidup. Permasalahan jangka panjang yang dihadapi
pemerintah adalah pertambahan jumlah penduduk dengan tingkat hidup
yang rendah.
Namun sejak tahun 1951, penerimaan pemerintah mulai berkurang
disebabkan menurunnya volume perdagangan internasional. Indonesia
sebagai negara yang berkembang tidak memiliki komoditas ekspor lain
kecuali dari hasil perkebunan. Kondisi ini membawa dampak
perkembangan perekonomian Indonesia yang tidak mengarah pada
stabilitas ekonomi, bahkan yang terjadi adalah sebaliknya. Di sisi lain
pengeluaran pemerintah semakin meningkat akibat tidak stabilnya
situasi politik sehingga angka defisit semakin meningkat. Di samping itu,
pemerintah belum berhasil meningkatkan produksi dengan
memanfaatkan sumber-sumber yang masih ada untuk meningkatkan
pendapatan nasional. Kelemahan pemerintah lainnya adalah politik
keuangannya tidak dirancang oleh pemerintah Indonesia sendiri, namun
dirancang oleh pemeritah Belanda. Hal ini terjadi akibat dari politik
kolonial Belanda yang tidak mewariskan ahli-ahli yang cukup sehingga
usaha mengubah sistem ekonomi dari ekonomi kolonial ke ekonomi
nasional tidak mampu menghasilkan perubahan yang drastis.
Kebijakan yang ditempuh pemerintah untuk menanggulangi
permasalahan tersebut di antaranya adalah melaksanakan
industrialisasi, yang dikenal dengan Rencana Soemitro. Sasaran yang
ditekankan dari program ini adalah pembangunan industri dasar, seperti
pendirian pabrik-pabrik semen, pemintalan, karung dan percetakan.
Kebijakan ini diikuti dengan peningkatan produksi, pangan, perbaikan
sarana dan prasarana, dan penanaman modal asing.
Pada masa pemerintahan Kabinet Burhanuddin Harahap, Indonesia
mengirim delegasi ke Belanda dengan misi merundingkan masalah
Finansial Ekonomi (Finek). Perundingan ini dilakukan pada tangal 7
Januari 1956. Rancangan persetujuan Finek yang diajukan Indonesia
terhadap pemerintah Belanda adalah sebagai berikut:
Pembatalan Persetujuan Finek hasil KMB
Hubungan Finek Indonesia-Belanda didasarkan atas hubungan
bilateral
Hubungan Finek didasarkan atas undang-undang Nasional, tidak
boleh diikat oleh perjanjian lain.
Namun, usul Indonesia ini tidak diterima oleh pemerintah Belanda,
sehingga pemerintah Indonesia secara sepihak melaksanakan rancangan
Fineknya dengan membubarkan Uni Indonesia-Belanda pada tanggal 13
Febuari 1956 dengan tujuan melepaskan diri dari ikatan ekonomi dengan
Belanda.
Upaya yang dilakukan lainnya adalah upaya pembentukan Biro
Perancang Nasional pada masa Kabinet Ali II dengan tugas merancang
pembangunan jangka panjang. Biro ini dipimpin oleh Ir. Djuanda yang
kemudian diangkat menjadi Menteri Perancang Nasional. Biro ini
kemudian merancang Rencana Program Pembanguan Lima Tahun (RPLT)
yang rancangannya kemudian disetujui oleh Parlemen. Namun karena
berbagai faktor, baik faktor eksternal maupun internal, RPLT sangat
berat untuk dijalankan. Perekonomian Indonesia semakin terpuruk ketika
ketegangan politik yang timbul tidak dapat diselesaikan dengan
diplomasi, akhirnya memunculkan pemberontakan yang dalam
penumpasannya memerlukan biaya yang cukup tinggi. Kondisi ini
mendorong meningkatnya prosentasi defisit anggaran pemerintah, dari
angka 20% di tahun 1950 dan 100% di tahun 1960.
Salah satu ciri yang tampak pada masa Demokrasi Parlementer
adalah seringnya terjadi penggantian kabinet, mulai dari Kabinet
Natsir, Kabinet Sukiman, Kabinet Wilopo, Kabinet Ali Sastroamidjojo I,
Kabinet Burhanuddin Harahap, Kabinet Ali Sastroamidjojo II, dan
Kabinet Djuanda.
Pada tanggal 27 September 1955 pemilihan umum untuk memilih
anggota parlemen berhasil dilangsungkan dan pemilihan anggota
Dewan Konstituante dilakukan pada 15 Desember 1955.
Pemilihan Umum 1955 terjadi pada masa Kabinet Burhanuddin
Harahap
Kebijakan Politik Luar Negeri Indonesia adalah bebas aktif. Bebas
maksudnya tidak terikat pada blok tertentu, sedangkan aktif berarti
selalu ikut serta dalam upaya perdamaian dunia.
Konsep bebas aktif lahir ketika dunia tengah berada dalam pengaruh
dua blok utama setelah selesainya Perang Dunia ke II, yaitu Blok
Amerika Serikat dan Blok Uni Soviet.
Dalam bidang ekonomi, kebijakan ekonomi yang diterapkan pada
1950-an umumnya merupakan upaya untuk menggantikan struktur
perekonomian kolonial menjadi perekonomian nasional.
Latihan
Uji Kompetensi
1.Jelaskan gerakan-gerakan yang menuntut pembubaran sistem negara
bagian dan penggabungannya dengan RI!
2.Jelaskan penyebab jatuhnya Kabinet Wilopo!
3.Analisislah kesimpulan dari keterangan Kabinet Natsir kepada
Perlemen pada bulan September 1952, keterangan Kabinet Sukiman
kepada Parlemen pada bulan Mei 1951, dan keterangan Kabinet
Wilopo kepada Parlemen pada bulan Mei 1952!
4.Jelaskan dasar pemikiran lahirnya kebijakan politik luar negeri
bebas-aktif Indonesia!
5.Jelaskan peran serta Indonesia sebagai pelopor Konferensi Asia-
Afrika!
6.Jelaskan kebijakan-kebijakan pemikiran ekonomi nasional pada
masa demokrasi Liberal!
7.Jelaskan tujuan diberlakukannya kebijakan ekonomi Benteng!
8.Jelaskan mengapa program ekonomi Benteng ini akhirnya mengalami
kegagalan!
9.Jelaskan permasalahan-permasalahan pada sistem ekonomi liberal
Indonesia!
10.Jelaskan upaya yang ditempuh pemerintah dalam menyelesaikan
permasalahan-permasalahan tersebut!
Daftar Pustaka
Pusponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho N. 2011. Sejarah Nasional
Indonesia VI: Zaman Jepang dan Zaman Republik. cet.5 - Edisi
Pemutakhiran. Jakarta: Balai Pustaka
Ricklefs, M.C. 2007. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Diterjemahkan
dari A History of Modern Indonesia Since c.1200 Third Edition. cet.3.
Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta
IDUTS GNADIB NARAJALEBMEP AIDEM • 0202 REBMESEDSEJARAH INDONESIA KELAS XII
PERKEMBANGAN POLITIK DAN EKONOMI MASA
DEMOKRASI LIBERAL
Oleh Siti Solechatul Jannah
Program Studi Pendidikan Sejarah
Jurusan Pendidikan Imu Pengetahuan Sosial
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Jember
2020