The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by hartantteack, 2021-12-13 19:44:19

makalah tentang

Demokrasi

Demokrasi parlementer ialah ,
sistem pengorganisasian dalam suatu negara dengan adanya
tanggungjawab kepada lembaga legislatif untuk melakukan
pembentukan kabinet kerja dan melakukan pemilihan predisen dan
wakil presiden.
Pembahasan
Sistem demokrasi parlementer cenderung lebih dekat dengan
kekuasaan yang diberikan oleh rakyat, namun sistem ini melakukan
pemilihan pada saat pemilu legislatif sedang dilaksanakan. Sistem
parlementer dalam pemerintah sendiri kurang stabil. Terdapat
beberapa kelebihan dan kekurangan dalam pelaksanaan demokrasi
parlementer.
Kelebihan :
dalam mementukan suatu keputusan jauh lebih singkat
pengawasan yang ketat
pelaksanaan kebijakan rakyat yang telah diberikan sudah tertera
secara jelas
Kekurangan :

lembaga eksekutif tidak ditentukan sampai kapan masa jabatannya
kekuasaan lembaga eksekutif tergantung dari mayoritas dari
dukungan perlemen
parlemen dapat dikendalikan anggota kabinet
Demokrasi parlementer (liberal) merupakan salah satu sistem
demokrasi yang menitik beratkan kedudukan badan legislatif sebagai
lembaga tertinggi daripada badan eksekutif. Negara dengan menganut
sistem demokrasi yang demikian merupakan negara yang dipimpin
oleh seorang Perdana Menteri dimana seorang Perdana menteri dan
jajaran menteri dalam kabinetnya akan diberhentikan oleh parlemen.

Sistem parlementer adalah sebuah sistem pemerintahan yg
parlemennya memiliki peranan penting dalam pemerintahan. Dalam
hal ini parlemen memiliki wewenang dalam mengangkat perdana
menteri dan parlemen pun dapat menjatuhkan pemerintahan, yaitu
dengan cara mengeluarkan semacam mosi tidak percaya. Berbeda
dengan sistem presidensiil, sistem parlemen dapat memiliki seorang
presiden dan seorang perdana menteri, yang berwenang terhadap
jalannya pemerintahan. Dalam presidensiil, presiden berwenang

terhadap jalannya pemerintahan, namun dalam sistem parlementer
presiden hanya menjadi simbol kepala negara saja.

Sejarah sistem pemerintahan Demokrasi Parlementer atau Liberal
diterapkan di Indonesia pada 1950-1959. Ketika menganut sistem ini,
pemerintahan Indonesia dipimpin oleh perdana menteri bersama
presiden sebagai kepala negara. Tanggal 17 Agustus 1950, Republik
Indonesia Serikat (RIS), yang merupakan bentuk negara hasil
kesepakatan Konferensi Meja Bundar (KMB) dan pengakuan
kedaulatan dengan Belanda, resmi dibubarkan. Abdurakhman dan
kawan-kawan dalam Sejarah Indonesia Kelas 12 (2015:48)
menyebutkan bahwa RIS kemudian diganti dengan Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI). Seiring dengan itu, sistem
pemerintahannya pun berubah menjadi Demokrasi Parlementer dan
berdasarkan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950.
Menurut tulisan Ahmad Muslih dan kawan-kawan dalam Ilmu
Pengetahuan Sosial (2015:96), pada masa Demokrasi Parlementer,
muncul partai-partai politik baru yang bebas berpendapat serta
mengkritisi pemerintahan. Kendati awal kelahiran semua partai ini
merupakan semangat revolusi, namun akhirnya mengakibatkan

persaingan tidak sehat. Bahkan, bisa dikatakan ketika masa itu
Indonesia mengalami ketidakstabilan pemerintahan. Baca juga:
Sejarah Demokrasi Parlementer: Ciri-ciri, Kekurangan, & Kelebihan
Sejarah Sistem Presidensial: Arti, Ciri-ciri, Kelebihan, Kekurangan
Sejarah Sistem Demokrasi Terpimpin di Indonesia 1959-1965 Masa
Demokrasi Parlementer (1950-1959) Secara garis besar, kabinet-
kabinet di Indonesia terbagi menjadi tujuh era di bawah pimpinan
perdana menteri. Setiap periodenya pasti memiliki permasalahannya
masing-masing. Berikut ini ketujuh masa tersebut: Kabinet Natsir
(September 1950-Maret 1951) Kabinet ini berupaya sekuat tenaga
melibatkan semua partai yang ada di parlemen. Namun, Mohamad
Natsir selaku perdana menteri ternyata kesulitan memberikan posisi
kepada partai politik yang berseberangan. Natsir adalah tokoh
Masyumi, partai Islam yang amat kuat saat itu. Usahanya untuk
merangkul Partai Nasional Indonesia (PNI) selalu saja kandas. Remy
Madinier dalam Islam and Politics in Indonesia: The Masyumi Party
Between Democracy and Integralism (2015) menyebutkan, PNI
memang kerap berseberangan pandangan dengan Masyumi. PNI
bahkan melakukan tuntutan terhadap Peraturan Pemerintah No. 39

Tahun 1950 yang dilkeluarkan Natsir. Sebagian besar parlemen
berpihak kepada PNI sehingga akhirnya Natsir mengundurkan diri
dari jabatannya. Baca juga: Tugas TNI: Sejarah, Peran, & Fungsinya
sebagai Alat Pertahanan RI Beda Isi Piagam Jakarta dengan Pancasila
dan Sejarah Perubahannya Karakteristik Partisipasi Politik: Ciri-ciri,
Penerapan, & Contoh Kabinet Sukiman (April 1951-Februari 1952)
PNI mendapatkan posisinya dalam kabinet ini. Namun, sama seperti
sebelumnya masih terdapat masalah. Sama seperti Natsir, Sukiman
Wiryosanjoyo sang perdana menteri adalah orang Masyumi. Beberapa
kebijakan Sukiman ditentang oleh PNI, bahkan kabinetnya
mendapatkan mosi tidak percaya dari partai politik yang dibentuk
oleh Sukarno tersebut. Kabinet Sukiman berakhir pada 23 Februari
1952. Kabinet Wilopo (April 1952-Juni 1953) Pada masanya, Wilopo
selaku perdana menteri berhasil mendapatkan mayoritas suara
parlemen. Tugas pokok Wilopo ketika itu menjalankan Pemilu untuk
memilih anggota parlemen dan konstituante. Akan tetapi, sebelum
Pemilu dilaksanakan, Kabinet Wilopo gulung tikar. Baca juga:
Macam Teori Kekuasaan Negara Menurut John Locke &
Montesquieu Pengamalan Pancasila Sila ke-1 di Lingkungan

Tempat Bermain Sistem Pemerintahan Indonesia Menurut UUD
1945 Kabinet Ali Sastroamidjojo I (Juli 1953-Juli 1955) Ali
Sastroamidjojo melanjutkan tugas kabinet sebelumnya untuk
melaksanakan Pemilu. Pada 31 Mei 1954, dibentuk Panitia Pemilihan
Umum Pusat dan Daerah. Rencananya kala itu, Pemilu akan diadakan
pada 29 September (DPR) dan 15 Desember (Konstituante) 1955.
Akan tetapi, lagi-lagi seperti yang dialami Kabinet Wilopo, Kabinet
Ali Sastroamidjojo bubar pada Juli 1955 dan digantikan dengan
Kabinet Burhanuddin Harahap di bulan berikutnya. Kabinet
Burhanuddin Harahap (Agustus 1955- Maret 1956) Burhanuddin
Harahap dengan kabinetnya berhasil melaksanakan Pemilu yang
sudah direncanakan tanpa mengubah waktu pelaksanaan. Pemilu 1955
berjalan relatif lancar dan disebut-sebut sebagai pemilu paling
demokratis. Kendati begitu, masalah ternyata terjadi pula. Sukarno
ingin melibatkan PKI dalam kabinet kendati tidak disetujui oleh
koalisi partai lainnya. Alhasil, Kabinet Burhanuddin Harahap bubar
pada Maret 1956. Baca juga: Sejarah Operasi Trikora: Latar
Belakang, Isi, Tujuan, dan Tokoh Sejarah Konferensi Meja Bundar
(KMB): Latar Belakang, Tokoh, Hasil Sejarah Pengakuan Kedaulatan

Indonesia oleh Belanda Kabinet Ali Sastoamidjojo II (Maret 1956-
Maret 1957) Berbagai masalah juga dialami Kabinet Ali
Sastoamidjojo untuk kali kedua ini, dari persoalan Irian Barat ,
otonomi daerah, nasib buruh, keuangan negara, dan lainnya. Ali
Sastroamidjojo pada periode yang keduanya ini tidak berhasil
memaksa Belanda untuk menyerahkan Irian Barat. Kabinet ini pun
mulai menuia kritik dan akhirnya bubar dalam setahun. Kabinet
Djuanda (Maret 1957-Juli 1959) Terdapat 5 program kerja utama
yang dijalankan Djuanda Kartawijaya, yakni membentuk dewan,
normalisasi keadaan Indonesia, membatalkan pelaksanaan KMB,
memperjuangkan Irian Barat, dan melaksanakan pembangunan. Salah
satu permasalahan ketika itu muncul ketika Deklarasi Djuanda
diterapkan. Kebijakan ini ternyata membuat negara-negara lain
keberatan sehingga Indonesia harus melakukan perundingan terkait
penyelesaiannya. Baca juga: Penyebab Sejarah Pemberontakan DI-TII
Daud Beureueh di Aceh Sejarah Pemberontakan Andi Azis:
Penyebab, Tujuan dan Dampaknya Sejarah Pemberontakan Nambi vs
Majapahit: Mati karena Fitnah Keji Akhir Demokrasi Parlementer
Singkatnya waktu periode pemerintahan kabinet-kabinet membuat

keadaan politik Indonesia tidak stabil, bahkan hal ini ditakutkan
berimbas pada segala aspek lain negara. Hal tersebut akhirnya
terselesaikan setelah Presiden Sukarno mengeluarkan Dekrit Presiden
pada 5 Juli 1959. Di dalamnya, termuat bahwa Dewan Konstituante
dibubarkan dan Indonesia kembali ke UUD 1945 alias meninggalkan
UUDS 1950. Selain itu, dibentuk juga Majelis Permusyaratan Rakyat
Sementara (MPRS) dan Dewan Pertimbangan Agung Sementara
(DPAS). Demokrasi Liberal yang sebelumnya sudah membawa
kekacauan terhadap stabilitas pemerintahan akhirnya digantikan
dengan sistem Demokrasi Terpimpin yang berlaku sejak 1959 hingga
1965.


Click to View FlipBook Version