The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Penelitian ini dilakukan pada dua tempat sejarah yaitu Balai Arkeologi Maluku dan Balai Pelestarian Nilai Budaya Maluku yang meneliti tentang Kepulauan Banda

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by telmaferdinandus, 2021-10-01 10:43:22

Makalah Penelitian Banda Naira Kelompok IV

Penelitian ini dilakukan pada dua tempat sejarah yaitu Balai Arkeologi Maluku dan Balai Pelestarian Nilai Budaya Maluku yang meneliti tentang Kepulauan Banda

Keywords: Sejarah

MAKALAH

BANDA NAIRA SEBAGAI KOTA METROPOLIS
PADA ABAD KE XVII (1601-1700)

KELOMPOK IV

HARI/TANGGAL : 25 DSEPTEMBER 2021
X-1
KELAS : SEJARAH
NY. V. ATIUTA. S, Pd
MATA PELAJARAN :

NAMA GURU :

SMA KRISTEN YPKPM AMBON
2021

1

KATA PENGANTAR

Keanekaragaman bahasa dan sastra yang tersebar di berbagai wilayah Provinsi Maluku
sejatinya tetap menjalankan fungsi-fungsi sosialnya bagi masyarakat pendukungnya. Di balik
harapan tetap hidupnya bahasa dan sastra di Maluku, beberapa bahasa dan sastra di Provinsi
Maluku saat ini berada dalam kondisi terancam punah, bahkan beberapa diantarnya telah
punah. Situasi itu memerlukan kerja keras dari berbagai pihak untuk melakukan pengkajian
terhadap bahasa dan sastra yang ada di Maluku.

Makalah yang berjudul Banda Naira Sebagai Kota Metropolis Pada Abad XVII (1600-
1700) ini merupakan hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti atau kami yang ada di
Balai Arkeologi Maluku dan Balai Pelestarian Nilai-nilai Budaya Provinsi Maluku.
Kepulauan Banda merupakan salah satu bagian dari wilayah Indonesia yang pernah menjadi
pusat penjajahan kolonial di Indonesia yang tentunya seluruh aspek kehidupan masyarakat
termasuk bahasa dan sastra pernah dipengaruhi oleh penjajah. Oleh karena itu, makalah ini
dapat menjadi rujukan dalam untuk mengetahui apa saja bahasa dan sastra lisan masyarakat
Kepulauan Banda dalam perspektif poskolonial.

Pada kesempatan ini, kami mengucapkan terima kasih kepada Bpk. Andre Huwae yang
telah bersedia dengan segenap hati untuk memebrikan pengarahan serta informasi kepada
kami. Ucapan terima kasih juga kami sampaikan kepada semua pihak yang ikut terlibat dan
yang telah berupaya menyukseskan proses penelitian ini hingga penerbitan makalah ini.
Semoga, kehadiran makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua yang membaca.

Ambon, 24 September 2021

Telma Ferdinandus
(Ketua Kelompok)

i

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL …………………………..……………………..……….. i
KATA PENGANTAR …………………………………………………………. ii
DAFTAR ISI ………………………..……………………………………..…… iii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang …………..………………………………….…. 1
1.2 Rumusan Masalah ………..……………………………….…… 4
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian …………………………….…... 4

BAB II METODE PENELIIAN

BAB III PEMBAHASAN

2.1 Lingkungan Kepulauan Banda………………………………….…6
2.2 Masyarakat Banda................………………………………...... 8
2.3 Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat ……………….…..……… 9
2.4 Mata Pencaharian Masyaraka……………………………............. 12
2.5 Genosida VOC di Pulau Banda ………………………………….. 15
2.6 Alam dan Masa Lalu Adalah Kekayaan Banda……………….. 17

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan …………………………………………………….. 63
B. Saran ……………………………………………………………. 63

DAFTAR PUSTAKA

ii

BAB I
PENDAHULUAN

1. 1 Latar Belakang
Kepulauan Banda merupakan rangkaian pulau-pulau yang membentuk suatu

kepulauan di kawasan Indonesia bagian Timur, dalam hal ini Kabupaten Maluku Tengah.
Pulau terbesar dalam gugusan ini adalah Pulau Banda Besar yang bentuknya mirip bulan
sabit dengan luas darat 34 km persegi. Di pulau ini terdapat batu karang yang menjulang
dengan ketinggian 20 meter, yang dari jauh tampak seperti kapal kandas. Selain itu
Kepulauan Banda yang terpencil ini lebih dari 500 tahun sangat besar peranannya dalam
perdagangan dunia sehingga mendorong bangsa-bangsa Eropa datang untuk menemukan
hasil rempah-rempah diantaranya pala dan fuli. Bangsa bangsa Eropa yang berhasil
menemukan Nusantara adalah Portugis, Spanyol, Inggris dan Belanda.

Kedatangan bangsa Eropa ke wilayah Indonesia memiliki tujuan salah satunya
untuk mendapatkan rempah-rempah dari asalnya. Diantara pedagang-pedagang Eropa
yang datang ke wilayah Nusantara, pedagang-pedagang dari Belanda juga diantara
mereka. Persaingan ini berdampak pada penentuan harga rempah yang akhirnya
menyebabkan penurunan keuntungan dari penjualan rempah. Hal ini mendorong
dibentukannya sebuah perusahaan yang menghimpun perusahan-perusahan dagang asal
Belanda untuk menghindari persaingan yang berakibat pada kerugian. Maka pada tanggal
termasuk salah satunya yang berusaha menjalin hubungan dagang dengan wilayah
Nusantara. Semakin banyaknya pedagang Belanda yang datang ke Nusantara ternyata
menciptakan persaingan 20 Maret 1602 Staten Generaal mengeluarkan sebuah surat izin
pada perusahaan yang dinamakan Verenigde Oostindische Compagnie (VOC) sebagai
serikat perusahaan Belanda di Asia. Selain memiliki fungsi memperkuat perdagangan
Belanda, VOC juga berfungsi sebagai wakil pemerintahan Belanda di Hindia Belanda.

Kehadiran VOC di Kepulauan Banda adalah untuk melakukan monopoli
perdaganagan pala. Olehnya itu, untuk memhami bagaimana proses penaklukan VOC di
Banda maka lahirlah tema penulisan ini dengan judul “Penaklukan Banda Besar oleh VOC
Abad ke XVII (1601-1700)”,

Gaya hidup kebarat-baratan merupakan fenomena uumum yang marak terjadi di
masyarakat yang hidup di wilayah timur termasuk di Indonesia. Menjadi orang timur dan
mempertahankan budaya ketimuran menjadi sesuatu yang nyaris tidak pernah ada dalam

1

kehidupan masyarakat Indonesia. Mulai dari kecenderungan untuk mencontohi perilaku
orang barat, memilih citra rasa makanan yang bernuansa barat, dan berusaha mengubah
fisik menjadi seperti orang barat, bahkan sampai minat untuk menghabiskan waktu liburan
di dunia barat menjadi sangat tren di Indonesia. Anak-anak Indsonesia sudah mulai
membiasakan diri untuk membaca buku bacaan, menonton film dan mendengarkan musik
yang bertema kebarat-baratan.

Fenomena tersebut muncul dan terjadi dimasyarakat bukan secara tiba-tiba namun
banyak faktor yang melatarbelakanginya. Indonesia merupakan negara bekas penjajahan
selama berabad-abad merupakan salah satu faktor pembentuk mental dan kepribadian
rakyat untuk lebih mengagungkan segala hal yang bernuansa barat. Kebiasaan yang telah
terbentuk selama bertahun-tahun sejak leluhur menjadikannya sebagai sebuah budaya
yang sangat sulit untuk dihilangkan dari masyarakat.

Semenjak Indonesia dikuasai oleh Belanda, rakyat Indonesia telah dibiasakan
untuk tumbuh dengan segala sesuatu yang bernuansa Eropa. Perlahan dan pasti terkikis
semua kebiasaan ketimuran yang dimiliki oleh rakyat Indonesia. Semua aspek kehidupan
rakyat Indonesia yang awalnya snagat bernuansa ketimuran digantikan dengan kebiasaan
barat. Dalam hal komunikasi, rakyat Indonesia dilarang untuk menggunakan bahasa
daerah yang merupakan identitas udaya masyarakat, dalam hal pendidikan, rakyat dididik
dengan segala aturan dan pelajaran yang bernuansa barat danmasih banyak lagi sendi-
sendi kehidupan yang diatur oleh penjajah. Waktu berlangsung yang sangat lama telah
membentuk mental rakyat Indonesia untuk menjadi orang yang selalu menurut dan cepat
dipengaruhi oleh budaya barat sampai saat ini.

Apabila dikaji lebih dalam, fenomena in tentunya menjadi sebuah hal yang perlu
disikapi oleh berbagai elemen masyarakat baik pemerintah maupun masyarakat. Sebab,
pengaruh kebudayaan telah menjadikan rakyat Indonesia kehilangan banyak hal.
Khususnya masa kolonial merupakan masa yang cukup untuk merubah penderitaan dan
pengorbanan yang dilakuakn oleh rakyat Indonesia.

Banyak hal telah terjadi di masa itu dan sangat merugikan bangsa Indonesia. Tidak
hanya sumber daya alam yang dikuras habis-habisan oleh penjajah namun budaya, bahasa,
dan mental juga menjadi bagian yang tidak ketinggalan untuk dihabiskan oleh kolonial.

Secara sepintas mungkin sumber daya alam dapat dikembalikan oleh Tuhan di atas
tanah Indonesia yang subur ini, namun untuk kebudayaan, yang didalamnya ada bahasa,
sastra, dan tradisi masyarakat merupakan hal yang tidak mudah untuk dikembalikan
seperti semula begitu saja setelah Indonesia merdeka. Membutuhkan kerja keras dan

2

keinginan yang besar dari rakyat sendiri untuk mengembalikan semuanya seperti semula.
Misalnya untuk hal bahasa daerah, dibutuhkan proses pewarisan yang baik drari generasi
kepada genereasi muda untuk selalu berkomunikasi dengn bahasa daerah agar bahasa
daerah tersebut dapat terpelihara dengan baik di masyarakat. Selain itu, tradisi-tradisi
masyarakat termasuk di sastra lisan yang memiliki nilai moral, sosial, keagamaan terus
dilestarikan dan diteruskan kepada generasi muda sebagai bagian dari kebudayaan yang
layak untuk dipertahankan dari keamanan kepunahan.

Pewarisan nilai sastra secara lisan adalah wujud dari tradisi lisan sastra. Tradisi
lisan merupakan suatu jenis warisan kebudayaan masyarakat setempat yang proses
pewarisannya dilakukan secara lisan. Tradisi lisan muncul di lingkunngan kebudayaan
lisan dari suatu masyarakat yang belum mengenal tulisan. Di dalam tradisi lisan
terkandung unsur-unsur kejadina sejarah, nilai-nilai moral, nilai-nilai keagamaan, adat
istiadat, cerita-cerita khayalan, peribahasa, nyanyian serta mantra-mantra suatu
masyarakat. Kebudayaan masyarakat ini ada dan lahir dalam kehidupan masyarakat sejak
masa lampau dan akan mudah terkikis dan hilang dari masyarakat jika tidak dipertahankan
oleh masyarakat itu sendiri.

Banda Naira merupakan salah satu desa yang sangat terkenal di Indonesia bahkan
secara internasional keindahan dan kekayaan alam pulau ini telah menggoda dunia sejak
dahulu kala menjadikannya sebagai sasaran utama daerah yang dituju. Daerah yang telah
menjadi tempat pengasingan salah satu tokoh perjuangan kemerdekaan Indonesia yaitu
Moh. Hatta adalah negeri yang masih memiliki masyarakat yang tradisional namun
daerahnya sudah terkenal di mata dunia. Banda Naura pernah menjadi pusat perdagangan
pala dan fuli dunia karena Kepulauan Banda adalah satu-satunya sumber rempah-rempah
yang bernilai tinggi. Kota modernnya didirikan oleh VOC (Vereenigde Oostindische
Compagnie) yang pada zaman dahulu membantai penduduk Kepulauan Banda agar dapat
memperoleh rempah-rempah.

Kepulauan Banda telah terkenal dan sering dikunjungi wisatawan dalam negeri
maupun mancanegara yang masyarakatnya masih memiliki tanaman nilai kehidupan yang
sangat baik, bernoral serta beretika, perlu menjadi perhatian bersama. Mungkinkah
masyarakat Kepulauan Banda masih memiliki bahasa dan sastra lisan yang dapat
membentuk tatanan nilai, moral, dan etika yang baik? Hal itu perlu pengkajian yang
mendalam dan komprehensif. Sesuai dengan uraian tersebut, kita tertarik untuk melakuakn
penelitian kembali pada aspek bahasa dan sastra lisan masyarakat Pulau Banda Naira yang
ditinjau berdasarkan perspektif poskolonial.

3

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka masalah dalam penelitian ini dapat

diidentifikasi bahwa Kepulauan Banda meupakan salah satu bagian dari
wilayahIndonesia yang pernah menjadi pusat penjajahan kolonial di Indonesia yang
tentunya seluruh aspek kehidupan masyarakat termasuk bahasa dan sastra pernah
dipengaruhi oleh penjajah. Di sisi lain, wilayah Kepulauan Banda telah menjadi
daerah wisata alam yang sangat terkenal bagi wisatawan asing saat ini. Mobilitas
penduduk yang sangat tinggi tentunya menjadikan masyarakat menjadi terbuka
dengan budaya barat dan kembali lagi menjadi rakyat yang hidup berdampingan
dengan orang asing. Hal ini tentu menjadi ancaman terhadap pengembangan dan
pewarisan bahasa dan sastra di masyarakat karena seharusnya masyarakat Kepulauan
Banda menjadi rakyat yang mampu menyetarakan seluruh aspek kehidupannya
termasuk bahasa dengan dunia barat sehingga bangsa bekas penjajah tidak lagi
memandang remeh Indonesia termasuk di dalamnya. Kepulauan Banda sebagai rakyat
yang kecil yang mudah diatur dan dipengaruhi seperti masa kolonial.

Berdasarkan identifikasi masalah di atas, maka masalah penelitian ini
dirumuskan sebagai berikut: Bagaimanakah Bahasan dan Sastra Lisan Masyarakat
Kepulauan Banda pada masa Perspektif Poskolonial?
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana proses
terbentuknya Kepulauan Banda dan apa saja yang terjadi pada masa penjajahan di
Kepulauan ini. Berdasarkan tujuan penelitian tersebut, maka manfaat yang dapat
diperoleh dari penelitin ini adalah diketahuinya hal-hal apa saja yang terjadi di
Kepulauan Banda pada kolonial.

4

BAB II
METODE PENELITIAN

Metodologi penelitian pada dasarnya merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan data
dengan tujuan dan kegunaan tertentu. Ada empat hal yang perlu diperhatikan yaitu cara
ilmiah, data, tujuan, dan kegunaan bahwa metode adalah menyangkut cara yang operasional
dalam penelitian. Arti kata penelitian dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah
kegiatan pengumpulan, pengolahan, analisis, penyajian data yang dilakukan secara sistematis
serta objektif untuk memecahkan suatu persoalan.

Jadi dapat disimpulkan bahwa metodologi penelitian itu adalah upaya untuk
menghimpun data yang diperlukan dalam penelitian. Dengan kata lain, metodologi penelitian
akan memberikan petunjuk terhadap pelaksanaan penelitian atau bagaimana penelitian ini
dilakukan. Penelitian ini dilalukakan untuk memperoleh kebenaran atau membuktikan
kebenaran terhadap suastu objek permasalahan.

Berdasarkan pada rumusan masalah dan tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian
ini adalah penelitian kualitatif dengan menggunakan strategi pendekatan penelitian historis.
Terkait dengan itu menurut Andre Huwae, bahwa “metode sejarah adalah sekumpulan prinsip
dan antara yang sitematis yang dimaksudkan untuk memberikan bantuan secara efektif dalam
usaha mengumpulkan bahan-bahan sejarah, menilai secara kritis dan kemudian mengkaji
suatu sintesa dari hasil-hasilnya dalam dxbentuk tertulis”.

5

BAB III
PEMBAHASAN

2.1 Lingkungan Kepulauan Banda
Daerah Provinsi Maluku memiliki wilayah yang terdiri atas pulau-pulau dan

perairan laut. Jumalah pulau di provinsi ini diperkirkan mencapai sekitar 1.027 pulau.
Karena itu, Provinsi Maluku sering disebut sebagai “Provinsi Seribu Pulau”. Satu di
antara pulau-pulau yang ada di provinsi ini adalah gugusan Kepulauan Banda. Dari
Kota Ambon (ibu kota provinsi) Kepulauan Banda berada di arah sebelah tenggara.
Kalau dilihat di dalam peta Indonesia, Kepulauan Banda hanya bberupa titik-titik atau
noktah-noktah keen di hamparan laut yang luas, yaitu Laut Banda.

Laut Banda membentang luas di antara rangkaia pulau-pulau di Maluku dan
Sulawesi. Laut Banda dikelilingi oleh Pulau Seram dan Pulau Buru di sebelah utara,
Pulau Sulawesi di sebelah barat, Pulau Wetar, Kepualuan Leti, Kepulauan Babar,
Kepualaun Tanimbar di sebelah selatan, serta Kepulauan Kei, Kepulauan Watubela,
dan Kepulauan Gorong di sebelah timur. Laut Banda yang tergolong laut dalam
(sekitar 7.440 meter) dikenal memiliki arus sasngat kuat dengan gelombang yang
besar dan ganas. Pada musim angin barat (Desember-Maret) ataupun musim angin
timur (Mei-Oktober) gelombang di perairan laut ini tetap besar.

Kepulauan Banda terdiri atas beberapa pulau, seperti Pulau Lontar, Pulau
Banda, Pulau Gunungapi, Pulai Ai, Pulau Run, Pulau Pisang, Pulau Hatta, dan Pulau
Karaba. Selain itu masih ada sejumlah pulau karang yang tidak ada penghuninya,
seperti Suanggi, Naljalaka, dan Batukapal. Pulau yang terluas di Kepulauan Banda
adalah Pulau Lontar, yakni sekitar 44 km. Pulau Lontar juga disebut Pulau Banda
Besar. Pada umumnya pulau-pulau yang lain lebih kecil.

Secara administratif, Kepulauan Banda adalah wilayah Kecamatan Banda.
Luas daratan wilayah Kecamatan Bnada sekitar 55,300 km2 yang terbagi menjadi 10
wilayah desa. Pulau Bnada yang luasnya hanya sekitar 4,2 km2, mmeiliki 4 wilayah
desa. Sementara itu, 6 desa yang lain tersebar di beberapa pulau, yaitu 2 desa di Pulau
Lontar, dan masing-masing satu desa di Pulau Ai, Pulau Run, Pulau Gunungapi, dan
Pulau Hatta. Satu di antara 4 desa di Pulau Bnada menjadi pusat pemerintahan
kecamatan, yakni Banda Naira.

6

Sebagai pusat pemerintahan, Pulau Banda memiliki berbagai fasilitas yang
cukup lengkap dibanding dengan beberapa pulau lainnya. Berbagai gedung
perkantoran dan beberapa fasilitas lain ada di pulau ini. Di antaranya adalah kantor
kecamatan kantor kos, kantor telepon, kantor PLN, pertokoan, pasar, gedung bioskop,
hotel dan penginapan. Jalan yang melingkari pulau sepanjang 1.040 km dengan lebar
sekitar 4-5 meter sudah diaspal halus. Gang-gang kecil di perkampungan sudah
dibeton, sehingga tampak rapi dan teratur.

Di Pulau Lontar atau Pulau Banda Besar, Pulai Ai, Pulau Run, Pulau Hatta dan
pulau-pulau lain fasilitasnya tidak selengkap dan sebaik di Pulau Banda. Walaupun
demikian, hampir seluruh jalan di gugusan kepulauan ini yang lebarnya berkisar
antara 1-2 meter, umumnya sudah diaspal. Gang-gang lingkungan pun sudah dibeton
sehingga tampak rapi.

Listrik penerangan dar PLN, khususnya di Pulau Banda, juga sudah dapat
dinikmati selama 24 jam penuh. Di pulau lain, aliran listrik hanya untuk malam
harinya, yakni anmtara pukul 18.00-06.00. departemen Penerangan telah
membvangun stasiun pemancar relay televisi secara jelas. Bahkan beberapa warga ada
yang memiliki parabola sehingga siaran dari luar negeri pun dapat dilihat cukup jelas.
Televisi merupakan hiburanpenting bagi masyarakat setempat.

Pulau Banda telah memilki sambungan telepon yang dapat dimanfaatkan
untuk pembicaraan lokal, interlokal dan juga internasional. Akan tetapi, karena
salurannya masih terbatas untuk hubungan dengan Kota Ambon pun relatif sulit.
Bandar udara perintis dan dengan dermaga kapal laut yang mengfhubungkan
Kecamatan Banda dengan pulau atau daerah lain di Banda Naira, Pulau Banda. Kedua
fasilitas ini menjadikan Banda Naira sebagai pintu gerbang bagi wilayah Kecamatan
Banda. Hubungan dengan daerah lain adalah melalui Pulau Banda. Sementara itu,
hubungan antarpulau dalam satu kecamatan ini dilakukan dengan perahu “motorboat”
(speed-boat).

Dari Kota Ambon, Banda dapat dicapai dalam waktu kurang lebih selama 7
jam perjalanan, bila melakukan perjalanan dengan kapal laut. Ada dua kapal laut yang
rutin setiap dua minggu sekali merapat di Banda, yaitu KM Riniani dan KM Pertntis
Iveri. Sementara itu, bila ditempuh dengan pesawat terbang Jenis Cassa atau Twin
Otter, waktu yang dibutuhkan sekitar satu jam. Perusahaan Merpati Nusantara
melayani penerbangan Ambon-Banda pada hari-hari Senin, Rabu, Jumat, dan
Minggu, dengan pesawat jenis Cassa itu.

7

Suhu udara dan curah hujan di Kepulauan Banda rata-rata relatif tinggi. Suhu
rata-rata minimum perbulan adalah 25°C, sedang rata-rata suhu paling tinggi
(maksimum) adalah 42°C. Suhu minimum terjadi pada sekitar bula Juni-Agustus,
sedang suhu maksimum pada bulan-bulan Januari-Maret.

Pada tahun 1995, Pulau Banda yang relatif kecil ini tercatat memiliki 4
kendaraan roda empat untuk sarana transportasi darat. Tiga di antaranya merupakan
kendaraan umum yang siap melayani siapa saja dengan cara sewa (tidak ada rute
tertentu. Kendaraan umu yang cukup banyak adalah becak. Para tokoh masyarakat
Banda memang menginginkan agar jumlah kendaraan bermotor dibatasi sehingga
lingkungan tetap bersih dari plusi asap kendaraan. Kendaraan umunya yang boleh
diperbanyak adalah becak dan sepeda.

2.2 Masyarakat Banda
Pada tahun 1995, Kecamatan Banda memiliki penduduk sebanyak 15.362

jiwa. Jumlah penduduk laki-laki dan perempuan dapat dikatakan berimbang, yaitu
sebanyak 7.682 laki-laki dan 7,680 perempuan. Pertumbuhan penduduknya relatif
rendah. Sebagai gambaran, pada tahun 1985 penduduk di kecamatan ini sebanyak
14,626 jiwa. Jadi, kurang lebih selama 10 tahun (1995), penduduknya hanya
bertambah sebanyak 736 jiwa atau rata-rata sekitar 0,5% pertahun.

Jumlah penduduk per pulau di Kecamatan Banda tidak merata. Pulau Neira
(Banda) yang menjadi pusat pemerintahan (1995) berpenduduk paling banyak
jumlahnya, yaitu 6.480 jiwa (42.2%). Penduduk laki-laki sebanyak 3,247 jiwa, sedang
perempuan sebanyak 3.233 jiwa yang tersebar di Desa Rajawali, Desa Merdeka, Desa
Kampung Baru, Desa Nusantara, dan Desa Dwiwarna. Sisanya tersebar di Pulau
Lontar, Pulau Gunungapi, Pulau Ai, Pulau Run; dan Pulau Hatta.

Portugis, Belanda, Arab, Filipina, Cina, Mozambik, Persia, Benggali, Pegu,
dan Koromandel. Dari Indonesia sendiri, orang Buton merupakan pendatang terbesar
(70%), disusul orang Jawa. Menurut Iatar sejarah, kemajemukan penduduk Banda ini
tampak intensif sejak kedatangan atau penguasaan Belanda di Kepulauan Banda pada
awal abad ke-17. Belanda (VOC) datang dan menguasai Kepulauan Banda dalam
rangka memonopoli hasil pala-yang merupakan komoditas penting waktu itu. Pada
tahun 1621, terjadi perang besar di Kepulauan Banda (pelayaran Hongi). Penduduk
asli yang tidak mau tunduk pada kemauan Belanda terpaksa pindah atau mengungsi
ke pulau-pulau lain. Belanda yang membutuhkan banyak tenaga untuk mengelola

8

perkebunan pala, kemudian mendatangkan tenaga dari berbagai daerah, antara lain
dari Pulau Jawa, Irian, dan Sulawesi, termasuk Buton.

Sebelum itu, di Kepulauan Banda sudah tinggal berbagai bangsa lain, seperti
Portugis, Cina, Arab, Filipina, Arab, Mozambik, Persia, dan Koromandel. Dalam
waktu yang panjang, berbagai suku dan golongan ras itu berbaur. Akhirnya, lahir
warga masyarakat Banda seperti yang sekarang. Ada yang memiliki ayah Suku Jawa
dan ibu dari Buton, ayah dari Sulawesi, dan ibu dari Arab, dan masih banyak lagi.
Tidak ada budaya asli di Banda, tidak ada bahasa daerah di kepulauan ini. Bahasa
sehari-hari adalah bahasa Indonesia dialek Maluku. Walaupun demikian, yang jelas
semua warga di kepulauan ini mengaku sebagai orang Banda.

Penduduk asli Kepulauan Banda umumnya adalah penganut agama Islam yang
taat. Kurang lebih 90% penduduk Kepulauan Banda adalah penganut agama Islam.
Sisanya menganut agama Kristen dan Khong Hu Cu. Warga penganut agama Kristen
umumnya adalah warga pendatang yang biasanya pegawai atau angkatan bersenjata,
sedangkan penganut Khong Hu Cu adalah warga keturunan Cina.

2.3 Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat
Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Banda yang majemuk ini memiliki

toleransi tinggi, Perbedaan etnik/ras, agama, dan budaya, bukan merupakan hambatan
dalam bergaul dan melakukan kegiatan bersama. Masing-masing kelompok
masyarakat sangat menghormati dan menghargai umat atau kelompok yang lain.
Saling membantu merupakan kebiasaan bagi warga daerah setempat. Warga
masyarakat kepulauan ini sangat rukun dan jarang terjadi konOik yang
dilatarbelakangi oleh perbedaan agama, ras atau suku.

Sejak Belanda berkuasa di kepulauan ini penyerapan budaya luar tampak
cukup dominan, termasuk terhadap kebiasaan hidup orang Belanda. Peniruan pola dan
kebiasaan hidup orang Belanda atau orang Eropa lain sangat kuat dan masih tersisa
hingga kini (1995). Sebagai contoh, biasanya dalam upacara perkawinan, pengantln
pria Banda memakai jas, sedangkan pengantin wanita memakai kerudung di
kepalanya. Jenis makanan yang dihidangkan juga makanan masakan Eropa. Sebagian
warga Banda merasa bangga jika dapat menghidangkan jenis makanan ala orang
Belanda. Pesta perkawinan ini seringkali diikuti tarian dansa, seperti kebiasaan orang
Belanda.

9

Kuatnya pengaruh budaya Belanda di Banda terhadap kehidupan masyarakat
tercermin pula dalam hal bahasa. Umumnya orang-orang tua di Banda fasih berbahasa
Belanda. Selain itu, cara berdisiplin, cara menjaga kebersihan, berpakaian, dan gaya
hidup orang-orang tua di Banda masih tetap meniru orang Belanda dulu. Dalam
perkembangannya, sisa-sisa budaya Belanda ini berasimilasi dengan budaya Islam,
Melayu, dan unsur-unsur budaya lokal lain, sehingga membentuk budaya Banda
seperti yang sekarang.

Di tengah-tengah pengaruh unsur budaya barat khususnya budaya Belanda,
ternyata, masih ada sebagian warga masyarakat yang tetap berupaya melestarikan
warisan budaya para leluhumya. Dalam berbagai peristiwa penting, sebagian
masyarakat masih melaksanakan upacara adat warisan "nene-nene" (Ieluhur), antara
lain upacara "rofaer war" dan "buka puang''.

"Rofaer war" adalah upacara pembersihan sumur kampung secara massal oleh
warga suatu desa. Upacara ini hanya dilakukan setiap jangka waktu 10--15 tahun
sekali. Upacara ini bukan hanya bersifat lahiriah, tetapi juga bersifat bathiniah.
Masyarakat beranggapan bahwa mereka bukan hanya membersihkan sumumya, tetapi
secara rohaniah juga membersihkan jiwa warga dan lingkungannya. Dalam kurun
waktu selama itu, mungkin, ada warga yang telah melakukan perbuatan kotor, keji,
jahat, atau kurang balk. Jika suatu waktu sumur itu kering, warga menganggap ada
anggota masyarakat yang melanggar norma-norma adat atau norma agama. Hal itu
yang harus dibersihkan agar selamat dalam kehidupan selanjutnya.

Upacara "buka puang" adalah pengajian massal. Tujuannya adalah untuk
keselamatan dan kebahagiaan warga desa yang bersangkutan. Selain itu, upacara ini
juga dimaksudkan sebagai ucapan terima kasih kepada "nene-nene" (Ieluhur) yang
telah mengajarkan dan menurunkan berbagai pengetahuan serta agama, khususnya
agama Islam.

Adanya interaksi berbagai suku, golongan, agama, dan budaya yang cukup
intensif dalam jangka waktu lama, membuat budaya asli Banda menjadi kabur.
Usman Tbalib dosen Universitas Pattimura Ambon yang pemah meneliti kebudayaan
Banda ini menyatakan bahwa kalau mencari akar budaya masyarakat Banda yang asli,
datanglah ke "Banda Eli" (sebutan Pulau Kei Besar oleh masyarakat Banda). Pulau
Kei Besar ini berada di wilayah Maluku Tenggara. Di sana masih tersimpan adat
kebiasaan masyarakat Banda yang asli.

10

Dalam hal ini, Des Alwi Abubakar, tokoh masyarakat Banda yang menjadi
anak angkat Bung Hatta, mengatakan bahwa inti adat Banda berpusar pada dua
ekspresi, yaitu "cakalele" dan "kora-kora", Keduanya memiliki sisi ritual dan juga sisi
penampilan. Dua ekspresi ini secara kental merupakan gabungan pengaruh berbagai
agama yang ada di Banda.

"Cakalele" dikenai oleh masyarakat luas sebagai tari perang. Tarian dengan
gerak energik yang berkabar tentang kemenangan perang, suka cita, dan kejayaan
patriot rakyat. Dalam bahasa setempat, "caka" berarti tari/silat, dan "Zele" artinya
berputar-putar. Biasanya, para penari membawa tombak atau pedang dan perisai. Kini
tombak atau pedang diganti dengan bambu berbuku sepuluh.

Dalam wujud akhir, cakalele merupakan tartan yang tertib dalam suatu
lingkaran. Di tengah lingkaran berdiri dua anak wanita berumur sekitar 7--8 tahun
yang disebut "maruka" (lambang kesucian). Pada lapis kedua ada 5 orang gadis
remaja sebagai lambang keutamaan wanita. Lapis berikutnya ada 5 penari pria atau
cakalele. Biasanya tart ini dilakukan di "baileo" (rumah adat) dengan diiringi tifa,
gong 9, dan lagu adat atau "kapata" atau "kabata" (sajak- sajak pendek) yang
jumlahnya mencapai 148 buah.

Cakalele bisa berlangsung sehari semalam, atau hingga berhari-hari. Yang
jelas, tari harus berawal dan berakhir tepat pukul 24,00 waktu setempat. Puncak tarian
ini menyimbolkan pencurian mayat Imam Besar Maulana Kunfayakun (nenek
moyang orang Banda) untuk dimakamkan secara Islam. Klimaks tartan ini disebut
"tutup kampung". Ritual cakalele ini memperoleh kesempurnaan bentuknya bersama
'kora-kora', yaitu perjalanan keagamaan dengan perahu panjang yang ramping (lihat
gambar halaman muka booklet).

Biasanya, "Kora-kora" atau disebut pula "koma-koma" atau "belang" adalah
biduk (perahu) yang panjangnya sekitar 21 meter. Perahu ini tidak seindah perahu-
perahu dari Muangthai atau Hongkong. Akan tetapi, bagi warga masyarakat Banda,
"belang'' atau kora-kora memillki tempat tersendiri dan amat khas. Belang
dipergelarkan pada upacara-upacara adat penting, seperti pelantikan imam, kepala
negeri, dan pemerintahan negeri. Belang juga untuk diperlombakan pada wakt-waktu
tertentu. Di luar itu, belang hanya diparkir atau disimpan di darat, di tempat khusus.

Belang memiliki 37 orang awak perahu. Jumlah 37 orang terdiri atas 30 orang
pendayung, dan 7 orang yang berfungsi lain. Angka 30, menurut keterangan, sesuai

11

dengan jumlah huruf "ijaiyah" atau huruf alfabet Arab. Kemudian yang 7 orang terdiri
atas seorang "natu'', seorang pemukul gong, seorang jurumudi, seorang tukang timba
ruang, dan 3 orang yang berdiri di tiga tiang belang.

"Natu" ibarat mulut karena bertugas menuntun nyanyian "kapata". Gong
bagaikan dentuman jantung. Jurumudi ibarat kaki, penimba ruangan bagaikan bagian
pengeluaran kotoran. Sementara itu, 3 orang di tiang ibarat dua mata dan satu mata
hati.

Di Kepulauan Banda (1995) masih ada 8 dusun atau kampung yang masih
menyelenggarakan upacara adat cakalele dan kora-kora. Menurut warga masyarakat
setempat, adat merupakan pondasi agama. Adat berfungsi- mem bawa damai. Agama
merupakan organisasi yang melaksanakan penyebaran damai di bumi. Agama adalah
pertolongan yang menyelamatkan orang dari penderitaan. Karena itu, kerukunan
hidup perlu dikembangkan dan dilestarikan, sebagai wujud ibadah umat manusia.

Dalam struktur adat, belang diurus oleh "orang tua belang" dan "arang tua
mama belang". Setelah kepala tukang menyelesaikan pembuatan belang, wanita
secara simbolis berfungsi sebagai pihak yang menerima belang, Wanita ini
didampingi oleh "orlima" (petua adat 1--5 orang), kepala negeri dan penghulu.

Selanjutnya, belang itu dibawa berlayar ke tempat- tempat keramat yang
kurang lebih ada 7 sampai 14 tempat. Kunjungan ziarah itu seolah-olah mengenang
masa lampau (napak tilas) beberapa tempat yang punya sejarah dalam masa syiar
agama Islam. Tempat-tempat keramat ini, antara lain adalah Kota Bandaneira, Boi
Kerang, Nirawati Watrow, Perigi Putih, Kapitan Seluna Respati, Walang, Pulau Hatta,
dan Pulau Ai. Satu hal yang mutlak harus dikunjungi adalah makam Imam Besar
Maulana Kunfayakun.
2.4 Mata Pencaharian Masyarakat

Mata pencaharian utama masyarakat Banda adalah sebagai nelayan, dan
berkebun pala. Diperkirakan sekitar 85% penduduk kepulauan ini memiliki mata
pencaharian berkaitan dengan penangkapan ikan dan berkebun pala. Selebihnya (
15%) memiliki mata pencaharian di bidang perdagangan, jasa, dan pegawai.

Kepulauan Banda, sejak dulu, dikenal sebagai penghasil pala. Menurut
keterangan, pala Banda memiliki kualitas tinggi sehingga banyak diminati pasar. Laut
Banda dikenal sebagai perairan yang sangat kaya akan berbagai jenis ikan. Tidak
mengherankan bila mata pencaharian warga masyarakat Banda selain sebagai petani
kebun, juga sebagai penangkap ikan. Menurut warga setempat, petani yang

12

merangkap nelayan atau nelayan yang merangkap petani. Pala hanya dipanen dua kali
dalam setahun. Waktu selebihnya adalah hidup di perairan sebagai penangkap ikan.
Pada umumnya orientasi kegiatan masyarakat Banda banyak tertuju pada perairan
laut. Kegiatan ini sudah berlangsung secara turun temurun.

Masyarakat Banda memiliki banyak pengalaman dan pengetahuan tentang
lingkungan kelautan. Menurut keterangan, banyak hal tentang kelautan yang tidak
dapat diterangkan secara rational. Pada umumnya warga Kepulauan Banda, tahu
tentang berbagai jenis ikan dan tempat-tempat di mana banyak mengandung ikan.
Mereka percaya adanya tanda- tanda, benda atau peristiwa tertentu yang dapat
berpengaruh pada kegiatan penangkapan ikan. Warga juga percaya bahwa ada waktu
yang dianggap baik dan waktu kurang balk dalam melaut. Selain itu, tabu atau pamali
juga menjadi satu pertimbangan dalam melaut.

Berdasarkan pengalaman dan pengetahuan yang diperoleh secara turun
temurun, suatu jenis ikan akan berkumpul di tempat dan waktu tertentu. Pemusatan
suatu jenis ikan akan berbeda pada waktu musim timur dan pada waktu musim
barat. Sebagai contoh adalah tempat ikan " tale-tale" (ikan layang). Pada waktu
musim timur (Juni-September), "tale-tale" banyak ditemukan di sebelah barat Pulau
Gunungapi, di sebelah selatan, Pulau Banda, dan di sebelah utara Pulau Karaka.
Akan tetapi, pada waktu musim barat (Desember-Maret), "tale-tale" banyak
ditemukan di sebelah timur Pulau Pisang (Syahrir), di sebelah timur Pulau Banda, dan
sebelah tenggara Pulau Banda Besar (Lontar). Biasanya, waktu penangkapan ikan
dilakukan selepas senja atau menjelang fajar.

Banyak tantangan dan bahaya yang dihadapi ini selama melaut. Masyarakat
nelayan perlu berhati-hati dan berupaya mendekatkan diri pada Yang Maha Khalik.
Satu wujud dart pemahaman tersebut, antara lain, adalah upaya untuk menyatukan diri
dengan alam sekitar. Di antaranya munculnya mitos, tabu, dan upacara-upacara
tertentu. Pada hakekatnya, berbagai pemahaman itu tujuannya adalah agar
memperoleh selamat dan ketentraman hidup lahir ataupun batin.

Menurut kepercayaan orang Banda, manusia pertama yang berkuasa di
kepulauan ini berasal dari laut dengan gelar "Rat-War' (Raja Laut). Masyarakat Banda
juga, meyakini adanya Puteri Laut yang pada waktu-waktu tertentu menjelma menjadi
manusia dengan segala kecantikannya. Selain itu, ada mitos-mitos bahwa nenek
moyangnya berasal dari biota laut. Ada yang mengisahkan nenek moyangnya berasal
dari seekor gurita, ikan ko (hiu) dan mitos "Boikeke'.

13

Dalam mitos "Boikeke' diceritakan tentang seorang puteri kerajaan. Ketika
sedang berjalan-jalan, Sang Puteri melihat seekor ikan skeke meloncat di dekatnya.
Ikan ini kemudian ditangkap dan langsung digigit oleh Sang Puteri. Tanpa disadari
ikan tersebut tertelan masuk ke dalam perut. Dalam sekejap Sang Putri menjadi hamil.
Kejadian ini membuat malu raja. Karena itu, kerajaan memutuskan Sang Putri
diasingkan ke tempat yang sepi. Di tempat sepi inilah sang Putri melahirkan seorang
bayi bernama "Boikeke'.

Adanya mitos "Boikeke" ini membuat masyarakat tidak ada yang berani
menangkap apalagi memakan ikan "skeke". Setiap jenis ikan "skeke" yang tertangkap
para nelayan selalu dilepaskan kembali di laut.

Dalam hal tabu atau larangan, masyarakat memiliki berbagai larangan atau
tabu dalam kehidupannya. Satu di antaranya adalah larangan atau pantangan jika
seorang nelayan hendak melaut ada anggota keluarganya yang wanita sedang mencari
kutu. Hal ini dianggap membawa sial bagi usaha nelayan tersebut. Rasionalnya,
biasanya kaum wanita yang mencari kutu sambil membicarakan aib orang lain.
Perbuatan demikian ini dianggap sebagai dosa besar. Ganjarannya dapat berupa
kegagalan atau kesialan bagi nelayan dari keluarga itu.

Selain berbagai pantangan, para nelayan juga memanfaatkan adanya tanda-
tanda alam agar kegiatan yang dilakukan dapat berjalan lancar, selamat dan
mendapatkan hasil yang memuaskan. Ada berbagai tanda-tanda alam yang
menunjukkan di satu tempat mengandung banyak Jenis ikan tertentu. Sewaktu tiba
musim penangkapan ikan cakalang, para nelayan akan memperhatikan tanda-tanda
alam yang dapat ditengarai, antara lain (1) cuaca di malam hart sangat dingin terutama
menjelang pagi, (2) kilauan air laut ketika nelayan mendayung malam harl bagaikan
pijaran kembang api, (3) keadaan perairan terutama teluk sangat tenang, (4)
pepohonan jambu banyak yang berbunga, (5) lolongan anjing hampir sepanjang
malam, (6) kelompok burung terbang di tengah laut kemudian menukik ke permukaan
air, serta (7) ikan lumba-lumba berenang dan bermunculan di permukaan air laut.
Tanda- tanda itu dipahami oleh para nelayan bahwa suatu tempat banyak kandungan
ikannya. Di samping itu, juga dapat diperkirakan lamanya musim penangkapan dan
banyak sedikitnya kandungan ikan yang ada.

Peralatan utama nelayan adalah perahu alat penangkap ikan. Selain untuk
menangkap ikan, perahu juga digunakan untuk alat transportasi. Jenis perahu yang
digunakan warga masyarakat Kepulauan Banda, antara lain adalah (1) rurehe, (2).

14

kole-kole, (3) perahu bubu, (4) perahu jaring, (5) perahu bode, dan (6) perahu layar.
Rurehe berukuran 8.50 x 0,90 x 0,70 meter. Ada 2 bentuk rurehe ya.kni "lamadang"
(buritannya melengkung ke atas) dan "jempa" (buritannya agak tegak). Tenaga
penggerak rurehe ini adalah manusia dengan cara mendayung. Rurehe diawaki oleh
sebanyak 13 orang terdiri atas satu "tanase" (pemimpin) dan 12 orang "masnait"
(anak buah kapal/ ABK). W ilayah jangkauan rurehe hingga sekitar perairan
Kepulauan Banda.

Kole-kole berukuran 3,80,x 0,65 x 0,45 meter. Kole-kole termasuk jenis
perahu jukung yang terbuat dari batang kayu kenari yang dilubangi tengahnya. Kole-
kole hanya diawaki oleh dua orang, ya.kni satu juru mudi dan seorang pembantu.
Jangkauan kole-kole hanya sekitar perairan teluk antara Pulau-pulau Neira, Banda
Besar, Gunungapi, dan Syahrir. Kecepatannya sekitar satu mil/0,5 jam. Perahu bubu
berukuran 5,00 x 0,55 x 0. 50 meter. Bentuk perahu bubu sama dengan kole-kole. Di
kanan dan kiri perahu ini dipasang "semang'' (sayap) sebagai penyeimbang, Tenaga
penggeraknya sama dengan rurehe dan kole-kole, yaitu manusia. Wilayah
jangkauannya sama dengan kole-kole, sedang kecepatannya mencapai sekitar satu
mil/0.75 jam

Perahu jaring berukuran 6,00 x 0.65 x 0,45 meter. Bentuk perahu jaring sama
dengan rurehe, tetapi ukurannya lebih kecil. Bahan yang digunakan adalah kayu
"pilaor" atau kayu "emeng". Perahu ini diawaki oleh lima orang, yakni satu " tanase"
dan empat "masnait". Wilayah jangkauannya sama dengan kole-kole dan perahu
bubu.

Perahu bode berukuran 8,50 x 0,90 x 0.70 meter. Bagian buritan berbentuk
rata, sedangkan bagian haluannya lancip dan agak tinggi ketimbang burltan. Bahan
yang digunakan adalah kayu kenari. Tenaga penggerak perahu ini adalah mesin
tempel dan atau manusia. Awak perahu ini sebanyak tiga orang terdiri atas satu
"tanase" dan dua "masnait".

Ukuran perahu layar tidak ada data yang pasti hanya saja bobotnya antara 20--
75 ton. Perahu int termasuk perahu papan yang dasarnya terdiri atas luhas dan rusuk-
rusuk sebagai kerangka yang menghubungkan papan-papan. Tenaga penggerak
perahu ini adalah angin dan manusia, Perahu ini diawaki oleh antara 6--9 orang,
terdiri satu- nakhoda laut, satu nakhoda darata, 4--6 orang kelasi, dan satu orang
koki/juru masak. Wilayah Jangkauan perahu bode dan perahu layar sampai ke laut
lepas. Bahkan, perahu layar ini pelayarannya bersifat nasional.

15

Menurut tradisi setempat, masyarakat mengadakan upacara tertentu pada
rurehe dan perahu layar. Untuk jenis rurehe, upacara yang diselenggarakan
disebut bor omang-omang. Omang-omang maksudnya lubang kecil dengan garis
tengah 3 cm. Lubang ini berfungsi sebagai sarana sirkulasi air dalam tempat
pemeliharaan umpan hidup. Upacara ini dilaksanakan ketika rurehe selesai dibuat.
Maksud upacara ini agar rurehe memiliki kemampuan dan daya tarik tartentu terhadap
ikan yang akan ditangkap.

Daya tarik rurehe terhadap ikan dilakukan dengan menempatkan kepingan
emas pada lubang omang-omang. Tujuannya adalah agar rurehe, dengan pantulan
cahaya dari kepingan emas menarik perhatian ikan akan selalu mendekat. Selain itu,
upacara ini dimaksudkan agar memberi keselamatan dan kebahagiaan pemillknya.
Prosesi upacara ini tergambar pada alam pikiran masyarakat Banda dalam
memperlakukan perahu ini. Mereka mempersonifikasi melalui pengemboran "omang-
omang" sama halnya dengan pemotongan pusar seorang bayi yang baru lahir.
Keselamatan si bayi ketika dipotong pusarnya identik dengan keselamatan rurehe
ketika dilubangi. Jika terjadi kesalahan dalam melubangi berarti keselamatan rurehe
sekaligus pemiliknya terancam bahaya.

Upapara yang berkaitan dengan perahu layar dilakukan pada saat
penyambungan lunas. Setelah itu, barulah dirakit bagian-bagian yang lain. Upacara
diawali dengan mengucap mantra yang dilakukan pemimpin upacara. Kemudian
disisipkan sepotong kain putih di antara dua batang lunas yang akan disambung.
Ketika perahu sudah selesai dibuat, maka pemimpin upacara itu yang memimpin
peluncuran perahu. Pada tahap ini berbagai kegiatan dilakukan seperti pembacaan
doa, pengadaan perangkat upacapa seperti mayang kelapa yang digantung di bagian
depan haluan perahu, dan pengadaan penganan yang berkaitan dengan upacara. Pada
saat perahu ditarik ke laut, pemimpin upacara berdiri di bagian ujung-haluan memberi
aba-aba pada para penarik perahu. Kegiatan ini dilakukan hingga perahu mengapung
di permukaan laut.

2.5 Genosida VOC di Pulau Banda
Pala menjadi berkah sekaligus bencana bagi orang Banda, yang dibunuh dan

terusir dari tanah airnya. PADA 8 April 1608, Laksmana Pieterszoon Verhoeven,
bersama 13 kapal ekspedisi tiba di Banda Naira. Perintah Heeren Zeventien, para

16

direktur VOC di Amsterdam, sebagaimana ditulis Frederik W.S., Geschiedenis van
Nederlandsch Indie, kepada Laksamana Pieterszoon Verhoeven: "Kami mengarahkan
perhatian Anda khususnya kepada pulau-pulau di mana tumbuh cengkeh dan pala, dan
kami memerintahkan Anda untuk memenangi pulau-pulau itu untuk VOC, baik
dengan cara perundingan maupun kekerasan."

Sejak lama Banda dikenal sebagai penghasil utama pala (Myristica fragrans).
Bunganya yang dikeringkan disebut “fuli”. Bunga ini membungkus daging buah pala.
Sejak dulu pala dan fuli dimanfaatkan untuk rempah-rempah, yang mengundang
bangsa Eropa untuk datang. Sesampai di Banda, Verhoeven mendapati Inggris di
bawah pimpinan Kapten William Keeling telah berdagang dengan rakyat Banda dan
pedagang Belanda. Ia tak senang. Apalagi rakyat Banda tak mau berunding
dengannya. Ia pun menuju ke Pulau Naira beserta sekitar 300 orang prajurit untuk
membangun Benteng Nassau, di bekas benteng yang pernah dibangun Portugis.

Melihat pembangunan benteng itu, para Orangkaya Banda–pemuka rakyat
atau orang yang disegani– mau berunding tapi dengan syarat ada jaminan sandera.
Verhoeven setuju, dan menunjuk dua pedagang bernama Jan de Molre dan Nicolaas
de Visscher. Lalu Verhoeven berangkat ke tempat perundingan bersama dewan
kapten, para pedagang, pasukan bersenjata lengkap, dan tawanan Inggris sebagai
hadiah. Sesampainya di tempat perundingan, di bawah sebatang pohon di dekat pantai
bagian Timur Pulau Naira, mereka tak menemukan para Orangkaya.

Verhoeven mengutus penerjemah Adriaan Ilsevier untuk mencari para
Orangkaya. Di hutan kecil yang sekarang menjadi masjid Kampung Baru, Ilsevier
menemukan para Orangkaya. Mereka ketakutan melihat pasukan bersenjata lengkap,
sehingga meminta Verhoeven datang hanya ditemani beberapa orang. Verhoeven pun
menemui para Orangkaya di tempat yang sekarang disebut Kampung Verhoeven.
Ternyata ini jebakan. Verhoeven beserta saudagar tinggi Jacob van Groenwegen dan
26 orang Belanda lainnya dibunuh. Jan Pieterszoon Coen, juru tulis Verhoeven,
menyaksikan kejadian tersebut.

Pada 1617 Heeren Zeventien menunjuk Jan Pieterzoon Coen sebagai
Gubernur Jenderal. Setelah mendirikan markas besar VOC di Batavia, Coen ingin
merealisasikan monopoli pembelian pala di Banda. Sebelumnya Belanda tak mampu
melakukannya karena harga jual pala mereka lebih mahal ketimbang Inggris, bahkan
penduduk lokal. Coen beranggapan monopoli pala baru bisa dilakukan hanya dengan
mengusir dan melenyapkan penduduk asli Banda.

17

Pada 1621, Coen memimpin sendiri pendudukan Pulau Banda. Berangkatlah
armada berkekuatan 13 kapal besar, sejumlah kapal pengintai, dan 40 jungku dan
sekoci. Ia membawa 1.600 orang Belanda, 300 narapidana Jawa, 100 samurai Jepang,
serta sejumlah bekas budak belian. Begitu sampai di Benteng Nassau, Coen dan
pasukannya menyerang Pulau Lontor dan berhasil menguasai seluruh pulau. Desa
Selamon dijadikan markas besar. Balai desanya jadi kantor Gubernur Banda Kapten
Martin ‘t Sonck. Masjid di sebelah balai jadi penginapan pasukan, meski Orangkaya
Jareng dari Selamon keberatan.

Pada suatu malam, lampu gantung dalam masjid terjatuh. Mengira akan ada
serangan, t’Sonck menuduh penduduk Lontor. Malam itu juga, t’Sonck mengerahkan
tentaranya untuk mengejar penduduk yang melarikan diri ke hutan dan puncak
gunung. Penduduk yang ditemukan, dibunuh. Rumah dan perahu dibakar atau
dihancurkan. Mereka yang berhasil lari, sekitar 300 orang, mencari perlindungan pada
Inggris atau ke Pulau Kei dan Aru. Tak kurang dari 2.500 orang meninggal, karena
ditembak, dianiaya, atau kelaparan. Dari 14.000 orang rakyat Banda, jumlah
penduduk asli kepulauan Banda tinggal 480 orang setelah peristiwa pembantaian itu.

Mereka juga menangkap para Orangkaya dengan tuduhan sebagai pemicu
kerusuhan. Delapan Orangkaya paling berpengaruh dimasukkan ke dalam kurungan
bambu yang dibangun di luar Benteng Nassau. Enam algojo Jepang lalu masuk dan
memotong tubuh mereka menjadi empat bagian. Setelah itu algojo memenggal kepala
36 Orangkaya lainnya dan memotong badan mereka. Potongan kepala dan badan
ditancapkan pada ujung bambu untuk dipertontonkan kepada masyarakat.
Pembantaian 44 Orangkaya itu terjadi pada 8 Mei 1621.

Setelah kepulauan Banda kosong dari penduduk asli, Coen mendatangkan
orang dari berbagai bangsa untuk bekerja di pulau ini. Umumnya berasal dari
Makassar, Bugis, Melayu, Jawa, Cina, sebagian Portugis, Maluku dan Buton. VOC
memberikan hak pakai kebun-kebun pala kepada bekas tentara dan pegawai VOC.
Buruh kebun adalah budak yang didatangkan dari berbagai penjuru tanah air.
Hasilnya dijual kepada VOC.

Di lokasi pembantaian itu kini berdiri Monumen Parigi Rante. Nama 40
pejuang dan Orangkaya Banda terukir di sana bersama sederet tokoh pejuang
Indonesia yang pernah dibuang ke Banda seperti Tjipto Mangunkusumo, Iwa
Kusumasumantri, Hatta, dan Sjahrir.

18

2.6 Alam dan Masa Lalu Adalah Kekayaan Banda

Taman Laut Banda
Kepulauan Banda merupakan salah satu "daerah tujuan wisata" terpenting di

Indonesia Bagian Timur. Banda dikenal oleh masyarakat luas, antara lain, adalah
keindahan alamnya, terutama "taman lautnya". Bukan hanya oleh masyarakat atau
wisatawan lokal dan nasional, tetapi juga wisatawam manca negara. Laut Banda
menyimpan keindahan alam bawah air yang tiada duanya. Bila datang melalui laut,
bebarapa saat menjelang masuk Bandaneira, Pulau Gunungapi sudah menyambut
dari kejauhan. Sebelum masuk pelabuhan, penumpang juga dapat menyaksikan
terumbu karang dengan berbagai jenis ikan yang berenang bebas di taman bawah laut
yang bening (Gambar 3).

Menurut keterangan, pesona keindahan taman laut di wilayah ini tiada taranya.
Laut Banda yang mengelilingi Kepulauan Banda mempunyai palung-palung
(cekungan) yang kedalamannya mencapai sekitar 7.440 meter. Tak salah lagi,
inilah laut paling dalam di seantero perairan Indonesia. Umumnya, pinggiran pantai
Kepulauan Banda langsung berhadapan dengan laut terjal dengan air berwarna biru
pekat. Di beberapa tempat memang terdapat ruas pantai landai yang berlaut dangkal.
Kedalaman lautnya berkisar antara 5--20 meter. Di tempat-tempat dangkal inilah
bertebaran panorama cantik dari alam kehidupan dasar laut, Habitat ikan masih asli,
belum terusik, dan sangat fantastis.

Pantai sekitar Pulau Banda (Neira) adalah tempat utama kecemerlangan dan
keindahan simfoni la11t. Menyusul kemudian pantai Pulau Gunungapi, pantai Pulau
Ai, Pulau Lontar. Pulau Hatta, dan Pulau Run, yang keseluruhannya menyediakan
sekitar 46 tempat penyelaman. Pulau Ai memiliki pantai yang baik dengan terumbu
karang yang cantik. Tanpa menyelam pun keindahan dasar laut dengan berbagai jenis
ikannya sudah dapat dilihat. Karena itu, pantai ini menjadi satu pilihan bagi pencinta
diving (penyelam) yang senang menikmati pesona bawah laut. Pulau Gunungapi,
selain memiliki perbukitan yang nyaman didaki pada hari-hari libur, juga berpesona
dinding karang yang tegak-lurus dengan laut. Relief batu dengan warna dasar gelap,
dan di sana-sini terpancang bentuk- bentuk unik merupakan pemandangan elok,
sekaligus agak menyeramkan. Nuansa keindahan alam di pantai Pulau Gunungapi
sangat sulit untuk ditemukan di tempat lain. Turis-turis dari Australia, Amerika
Serikat, Perancis dan Belanda lazimnya memilih pantai-pantai dangkal yang
memiliki kedalaman sekitar 20--25 meter. Sementara itu turis dart Italia biasanya

19

cenderung mencari keterjalan tebing-tebing sekitar 60 meter seperti yang ada di Pulau
Ai (

Masa Lalu Banda
Ada orang mangatakan bahwa kalau bukan rempah- rempah (cengkih dan

pala), Kepulauan Nusantara lni mungkln tidak pemah menjadl ajang perebutan
kekuasaan bangsa-bangsa Eropa seperti terjadl beberapa abad lalu. Spanyol, Portugis,
Inggris dan Belanda waktu itu berlomba untuk mendapatkan dan menguasai sumber
penghasil rempah-rempah tersebut. Dalam perjalanan sejarah, Belanda kemudian
yang berhasil memenangkan perebutan itu.

Sekltar abad ke-15, sebenarnya di Kepulauan Maluku, termasuk di Kepulauan
Banda, sudah terdapat penguasa- penguasa setempat. Di slnl juga ada raja-raja keen
yang memerlntah. Kemudian, datanglah bangsa-bangsa barat, seperti Spanyol dan
Portugis yang selanjutnya Inggrts dan Belanda. Bangsa-bangsa Eropa ini saling
bersaing untuk menguasal rempah-rempah.

Belanda dengan VOC-nya memenangkan persaingan tersebut. Spanyol
menyingkir ke Filipina, Inggris yang semula menguasai Pulau Ai dan Pulau Run
akhimya juga menyerahkan kepada Belanda. Sementara itu, Portugis memilih
memusatkan kekuasaanya di Malaka.

Dengan kata lain, Kepulauan Maluku, khususnya Kepulauan Banda sebagai
penghasil pala, sudah dikenal oleh berbagai bangsa lain sejak beberapa abad lalu.
Bekas- bekas kekuasaan asing ini masih tersisa hingga sekarang di beberapa tempat
di Kepulauan Banda. Di antaranya berupa benteng dengan berbagai perlengkapannya,
serta beberapa bangunan yang menandakan kekuasaan waktu ltu,

Di Pulau Neira ada benteng Belgica yang dibangun oleh Belanda pada tahun
1611. Benteng inl berbentuk segi lima (pentagon), terletak di perbukltan. Di setiap
sudutnya dilengkapi dengan storm (pos pengintai). Tiga meriam besar dipasang pada
setiap sisi benteng. Dinding benteng tersusun dari batu persegi empat dengan lapisan
kapur. Ada sel untuk tawanan dan di tengah-tengahnya ada sebuah sumur.

Beberapa puluh Meter dari Belgica, persis di bawahnya ada benteng Nassau.
Benteng ini dibangun oleh Portugis pada sekitar tahun 1607. Setelah Portugis pergi
dimanfaatkan oleh voe (Belanda). Benteng Nassau semacam pelapis benteng Belgica.
Benteng ini memiliki 4 selokan dan bekas saluran air yang kini tertimbun pasir.
Tempo hari antara Nassau dan Belgica dihubungkan dengan sebuah terowongan

20

bawah tanah. Terowongan ltu kini telah tertutup oleh pasir pantal. Saat inl, kondisi
benteng ini rusak berat.

Di Pulau Lontar (Banda Besar) ada benteng Holland.ia yang dibangun pada
tahun 1624. Kini kondisinya juga rusak berat. Dinding dan gerbangnya sudah rekah-
rekah. Meriam-meriam yang dulu melengkapi benteng tidak terlihat lagi. Letak
benteng di perbukitan yang agak tinggi. Untuk mencapainya disediakan jalan dengan
360 anak tangga. Masyarakat setempat menyebut " tangga seribu" (Gamba! 7). Dari
benteng ini, orang dapat melihat laut Iepas, Pulau Gunungapi, Bandaneira, dan pulau-
pulau lain di sekitarnya. Di Pulau Lontar ini juga ada benteng Concordia. Benteng ini
berada di Dusun Waer, menghadap ke Pulau Hatta.

Benteng Revingie di Pulau Ai nasibnya tidak berbeda dengan Hollandia di
Pulau Lontar. Benteng di Pulau Ai kondisinya juga sudah rusak berat. Revingie
dibangun pada tahun 16 16, berbentuk segi lima dan memiliki 5 selokan. Dari
sejumlah benteng di Kepulauan Banda ini, benteng Belgica di Neira adalah yang
paling baik kondisinya. Bangunan lain peninggalan masa lalu di Kepulauan Banda ini
tidak hanya berupa benteng. Pulau Neira seolah- olah mampu membawa kita pada
suasana masa lalu ketika Belanda berkuasa. Kota lama ini ditata sedemikian rupa
sehingga setiap ruas jalan saling bertemu. Penampatan bangunan-bangunan benar-
benar mengindahkail tata ruang, Arsitektur bangunannya berciri kolonial. Pada
umumnya, bangunannya berukuran besar, tinggi, dengan pilar-pilar yang kokoh
dilengkapi dengan teras yang lapang. Menurut keterangan, sekitar 90% bangunan di
Bandaneira ini adalah peninggalan Belanda. Semua bangunan penting itu menghadap
ke selatan dengan memperhitungkan arah angin untuk mengatur sirkulasi udara.

Di Pulau Banda ini ada mesjid tua, tepatnya di Kampung Baru, yang dibangun
pada abad ke-16 (Gambar 8), Mesjid ini adalah simbol perjuangan masyarakat Banda
mempertahankan Islam. Semula mesjid ini berada di Pulau Lontar. Ketika Belanda
menguasai Pulau Lontar dengan membawa budayanya kurang dapat diterima oleh
warga setempat. Untuk menyelamatkan agama, para ulama dan masyarakat pindah
ke Bandaneira. Semua barang- barang mesjid Lontar (beduk, mimbar, tongkat kothib,
terompah kayu dan beberapa benda lain) dibawa ke Pulau Banda. Sampai saat ini,
barang-barang tersebut masih dipakai di mesjid tersebut. Bangunan penting
peninggalan Belanda yang menjadi maskot Banda adalah Istana Mini, Dulunya,
bangunan ini merupakan kediaman Gubernur Jenderal Jan Pieterzoen Coen yang
dibangun pada tahun 1786. Istana ini berada di pinggir pantai, menghadap Pulau

21

Banda Besar. Tampaknya, istana ini memiliki arti khusus bagi Pemerintah Belanda.
Hal ini terbukti dengan adanya patung Majesteit Willem Ill. yaitu raja Belahdi pada
waktu itu. Di Indonesia, hanya dua patung Willem III ini, yakni di Istana Bogar dan
Istana Mini Banda.

Di Bandaneira ada bangunan yang kini dikenal sebagai rumah budaya dengan
ukuran sekitar 30 x 20 meter. Di bangunan ini tersimpan pelbagai benda-benda
historis. Jadi, semacam meseum. Berbagai benda sejarah yang disimpan di bangunan
ini, seperti berbagai jenis senjata (senjata batu zaman purba, pedang dari abad ke-18,
meriam mini (20cm), pistol AS tahun 1802, dan senapan lantak. Berbagai jenis uang
yang tersimpan adalah uang voe berangka tahun 1770--1790, uang Batavia
berangka tahun 1810 -- 18 40, uang Nederlandsch-Indie berangka tahun 1841 --
1859, uang perak abad 17--205 dan mata uang nungget. Benda-benda lain yang ada
adalah tempat tidur zaman voe. kain batik lasem abad ke-18, gramafon putar, botol
antik, meja-meja manner beserta kursinya, dan seterika tua. Selain itu, masih ada
miniatur kora-kora, lonceng gereja buatan 1761, 1841, 1848, dan 1883, serta lukisan
tentang kebrutalan J.P. Coen dalam peristiwa 11 Maret 1621.

Yang tidak kalah menariknya adalah bangunan rumah tempat tinggal
(tahanan) Bung Hatta, Sutan Syahrir, dr. Tjiptbmangunkusumo, dan Iwa Kusuma
Sumantri, ketika diasingkan di Kepulauan Banda oleh penguasa Belanda, Rumah-
rumah tahanan itu kini menjadi obyek menarik untuk mengenang kejadian masa silam
di tempat.

22

BAB IV
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kepulauan Banda adalah salah satu gugusan pulau yang berada dalam
wilayah Maluku, Indonesia. Kepulauan Banda termasuk dalam wilayah Kecamatan Banda
dengan wilayah administratif daratan seluas 55,3 km2. Kepulauan Banda terdiri atas
beberapa pulau, seperti Pulau Lontor, Pulau Banda, Pulau Banda Api, Pulau Ai, Pulau
Run, Pulau Pisang, Pulau Hatta, dan Pulau Karaba. Selain itu masih ada sejumlah pulau
karang yang tidak ada penghuninya, seperti Suanggi, Naljalaka, dan Batukapal. Pulau
yang terluas di Kepulauan Banda adalah Pulau Lontar, dengan luas sekitar 44 km . Pulau
Lontar juga disebut Pulau Banda Besar. Pada umumnya pulau-pulau yang lain lebih kecil
luasnya. Secara administratif, Kepulauan Banda termasuk dalam wilayah Kecamatan
Banda.
3.2 Saran
Penulis menyadari sepenuhnya jika makalah ini masih banyak kesalahan dan jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, untuk memperbaili makalah tersebut penulis meminta
kritik yang membangun dari pembaca.

23

DAFTAR PUSTAKA
Helmina,Kastanya.2017.Bahasa dan Sastra Lisan Kepulauan Banda dalam Perspektif

Poskolonial. Kantor Bahasa Maluku. Badan Pengembangan dan Pembinaan
Bahasa. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Balai Pelestarian Nilai Budaya.
Ambon.
Alwi, Des. 2006. Sejarah Banda Naira. Balai Arkeologi Maluku. Ambon.
Usman,Thalib.1995. Islam di Banda Naira-Centra Perdagangan Rempah-Rempah di
Maluku. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Balai Pelestarian Nilai Budaya.
Ambon.

24


Click to View FlipBook Version