PERKEMBANGAN PENDIDIKAN DI KOTA BLANGPIDIE PASCA
KEMERDEKAAN
1945-2014
Skripsi
Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan
memenuhi syarat-syarat guna memperoleh
gelar Sarjana Pendidikan
oleh
Rahmad Nuriman
1006101050046
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SYIAH KUALA
DARUSSALAM-BANDA ACEH
2015
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada tanggal 17 Agustus 1945 Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
disambut dengan semangat yang tinggi, walaupun kehidupan masih sulit tetapi
semangat kemerdekaan telah menyebabkan kesadaran pentingnya pendidikan
untuk mengisi kemerdekaan disadari sungguh-sungguh oleh segenap lapisan.
Jongen School dan Meisyeschool diubah namanya menjadi Sekolah Rakyat
Negeri 6 tahun, yang sebelumnya hanya 3 tahun. Tahun 1948 Sekolah Gadang
dijadikan Sekolah Rakyat VI, kemudian berganti nama menjadi Sekolah Dasar
Negeri. Perguruan Islam tingkat ibtidaiyah yang dulu dinamakan Sekolah Agama
berganti dengan nama Sekolah Rendah Islam (SRI) dan menjadi Sekolah Negeri
dibawah Pendidikan Agama, hingga kini namanya menjadi Madrasah Ibtidaiyah
Negeri (MIN), dibawah kementrian Agama.
Pada masa agresi Belanda II tahun 1948 hampir seluruh wilayah Indonesia
dikuasai oleh Belanda, kecuali beberapa daerah saja seperti Aceh, sehingga
suasana politik dan keamanan di Aceh pada waktu itu relative kondusif.
Blangpidie sebagai salah satu pusat kegiatan politik dan perdagangan di Aceh
Selatan pada waktu itu bertambah ramai dan semarak dengan didatangi oleh
banyak pendatang baru. Sehingga pada awal tahun 1960, mulai timbul berbagai
2
gerakan rakyat yang bersifat politik dengan tujuan menuntut kepada pemerintah
agar 6 wilayah kecamatan dapat dijadikan sebuah kabupaten (Zakaria Ahmad,
2009: 56-58). Berakhirnya konflik DI/TII Aceh dengan turun gunungnya
Teungku Daud Beureueh pada tahun 1962, sangat besar pula pengaruhnya
dibidang pendidikan di provinsi Aceh. Terbentuknya Daerah Istimewa Aceh telah
melahirkan ide dan gagasan baru di bidang pembangunan pendidikan, di kota
Blangpidie yang dulunya bernama Kuta Batee atas prakarsa pimpinan cabang
Muhammadiyah Blangpidie dan sekitarnya, membangun satu unit PGAP
(Pendidikan Guru Agama Pertama) Muhammadiyah. Ditingkat provinsi Aceh
pada saat itu dibangun Kompleks Perkampungan Pelajar dan Mahasiswa
(KOPELMA) di Darussalam. Sedangkan tingkat kabupaten dibangun Kompleks
Perkampungan Pelajar, yang untuk Kabupaten Aceh Selatan dipilih kompleks
Padang Meurante Susoh sebagai sentral pendidikan disana. Dalam upaya
menampung dan mengisi perkampungan pelajar tersebut di dirikan Sekolah
Menengah Atas (SMA) Swasta. Menjelang akhir tahun 1960 situasi berubah
cepat, pemerintah mencetuskan Demokrasi Terpimpin. Situasi politik, ekonomi
dan aspek-aspek sosial lainnya merosot tajam. Pembangunan kompleks
Perkampungan Pelajar Padang Meurante menjadi terhenti, berbagai usaha telah
dilakukan dalam menyelamatkan SMA swasta yang menjadi modal perkampung
pelajar Padang Meurante agar proses belajar mengajar tetap berjalan. Akhirnya
pada bulan Agustus 1964, SMA swasta Padang Meurante dinegerikan dengan
nama SMA Negeri Blangpidie.
3
Baru pada tahun 1999 pemerintah mengeluarkan SK No.
06/KPTS/DPRD/1999 yang menyetujui peningkatan status Pembantu Bupati
Aceh Selatan Wilayah Blangpidie menjadi Kabupaten Daerah Tingkat II Aceh
Barat Daya, dan juga berdasarkan keluarnya UU tentang pembentukan Aceh
Barat Daya sebagai daerah otonom bersama dengan Kabupaten Gayo Lues,
Kabupaten Aceh Jaya, Kabupaten Nagan Raya dan Kabupaten Aceh Tamiang
yang dikeluarkan pada tanggal 10 April 2002 (Zakaria Ahmad, 2009: 276-277).
Sebelumnya, sejak awal kemerdekaan kabupaten ini terintegrasi dalam
kabupaten Aceh Barat dan Aceh Selatan. Disana ditemui berbagai etnis
masyarakat, seperti Aceh, Aneuk Jamee dan Cina. Semenjak zaman kerajaan
Aceh Darussalam, daerah pesisir pantai barat daya telah berkembang dalam
berbagai aktivitas perdagangan internasional, khususnya lada, padi, dan hasil
bumi lainnya.
Setelah menjadi Kabupaten Aceh Barat Daya pada tahun 2002,
pertambahan sekolah di Blangpidie sangat signifikan baik negeri maupun swasta.
Berbagai sekolah tumbuh mulai dari Play Group, Taman Kanak-kanak, Sekolah
Dasar, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama, Sekolah Lanjutan Tingkat Atas,
Sekolah Menengah Kejuruan, maupun Perguruan tinggi juga tumbuh disana.
Diantara perguruan tinggi swasta tersebut adalah Universitas Muhammadiyah,
Universitas Serambi Mekkah, Universitas al Muslim, Yayasan Pendidikan
Getsempena dan cabang Universitas Terbuka di Aceh Barat Daya. (Hasbullah,
2011 : 24-25).
4
Berdasarkan permasalahan diatas, maka tertarik bagi penulis untuk
memperkenalkan judul tentang “Perkembangan Pendidikan di Kota Blangpidie
Pasca Kemerdekaan 1945-2014”.
1.2 Rumusan Masalah
Dari latarbelakang di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah:
1. Bagaimana perkembangan pendidikan di kota Blangpidie pada masa
pasca kemerdekaan 1945-2014?
2. Apa saja faktor-faktor penghambat perkembangan pendidikan di kota
Blangpidie pada masa pasca kemerdekaan 1945-2014?
1.3 Tujuan Penelitan
Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka yang menjadi tujuan dalam
penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui bagaimana perkembangan pendidikan di kota
Blangpidie pada masa pasca kemerdekaan.
2. Untuk mengetahui apa saja faktor penghambat perkembangan
pendidikan di kota Blangpidie pada masa pasca kemerdekaan.
5
1.4 Manfaat Penelitan
Hasil penelitian ini diharapkan akan membawa manfaat yang secara
umum dapat diklasifikasikan dalam dua manfaat, yaitu:
a) Manfaat Teoritis:
1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber yang bermanfaat
untuk dipelajari mengenai perkembangan pendidikan di kota Blangpidie
pada masa pasca kemerdekaan.
2. Dengan hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi peneliti lainnya
yang ingin mengembangkan lebih lanjut tentang penelitian ini.
b) Manfaat Praktis:
1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi
pemerintah Kabupaten Aceh Barat Daya guna mengetahui perkembangan
pendidikan di kota Blangpidie.
2. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan manfaat bagi
pembaca, terutama masyarakat Kabupaten Aceh Barat Daya dan juga
masyarakat Kota Blangpidie.
1.5 Anggapan Dasar Dan Hipotesis
1.5.1 Anggapan Dasar
Anggapan dasar ialah pernyataan-pernyataan teoretis yang didasari
pemikiran kearah ditemukannya jawaban-jawaban sementara atas masalah
untuk diuji kebenarannya (hipotesis), atau dengan kata lain rumusan anggapan
6
dasar berupa pernyataan kebenaran teoritis/konsepsional yang dijadikan
landasan bagi upaya mencari jawaban-jawaban atas masalah penelitian
(Wasty Soemanto, 2004: 13-14). Adapun yang menjadi anggapan dasar dalam
penelitian ini adalah “Perkembangan pendidikan di kota Blangpidie dari tahun
1945-2014, terus berkembang baik itu pendidikan ditingkat dayah maupun
tingkat pendidikan yang umum.”
1.5.2 Hipotesis
Hipotesis tidak lain dari jawaban sementara terhadap masalah
penelitian, yang kebenarannya harus diuji secara empiris. Hipotesis adalah
pernyataan yang diterima secara sementara sebagai suatu kebenaran
sebagaimana adanya, pada saat fenomena dikenal dan merupakan dasar kerja
serta paduan dalam verifikasi (Moh. Nazir, 1983 : 151). Hipotesis dalam
penelitian ini adalah “Pendidikan di kota Blangpidie pada masa pasca
kemerdekaan 1945-2014 terus berkembang mulai dari pendidikan dayah
maupun tingkat pendidikan Taman Kanak-kanak hingga sampai tingkat
Sekolah Menengah Atas.”
1.6 Lokasi Dan Waktu Penelitian
Penelitian ini berlokasi di Kota Blangpidie Kabupaten Aceh Barat Daya.
Sedangkan waktu penelitian sudah dimulai dari awal bulan Mei tahun 2014, yaitu
sejak penulisan proposal penelitian ini. Dan akan direncanakan sampai selesai
bulan Maret tahun 2015.
7
1.7 Definisi Istilah
Untuk mempermudah pemahaman karya tulis ini, maka perlu didefinisikan
istilah. Istilah ini menjadi pokok pembahasan utama dalam karya tulis ini, yaitu:
a. Perkembangan kota Blangpidie
Blangpidie pada awalnya bernama Kuta Batee yang berubah namanya
saat orang-orang Pidie yang membangun akitivitas pertanian di daerah
tersebut, sebelumnya di kota ini hidup beberapa mesyarakat yang hidup secara
berkelompok. Namun kota Blangpidie tetap dibawah penguasaan Kerajaan
Aceh Darussalam, ketika Belanda masuk ke Aceh pada tahun 1873 Blangpide
termasuk kota yang di perjuangkan oleh Teuku Pekan dalam mempertahankan
wilayahnya. Oleh karena memiliki tempat strategis dalam jalur perdagangan
lada dan juga memiliki tempat wisata memadai, membuat Belanda semakin
ingin merebut kawasan tersebut. Sebelumnya pernah juga terjadi konflik
dengan armada Amerika Serikat yang memperebutkan lada, karena kejadian
tersebut pelabuhan Susoh yang saat itu menjadi tempat pelabuhan bebas di
bom bardir oleh armada Amerika. Setelah terjadinya konflik DI/TII 1962,
banyak dibangunnya gedung-gedung sekolah dan meningkatnya prestasi
pendidikan tingkat SD, SMP dan SMA. Baru pada tahun 2002 sesuai dengan
UU No. 02 tentang pembentukan Kabupaten Aceh Barat Daya dengan ibu
kotanya Blangpidie.
8
b. Pasca Kemerdekaan
Secara garis besar pendidikan di Blangpidie pada masa pasca
kemerdekaan, lebih diupayakan untuk dapat menyamai dan mendekati sistem
pendidikan di Negara-negara maju. Pada masa peralihan antara tahun 1945-
1950 Indonesia banyak mengalami kesulitan termasuk pendidikan. Pada masa
pasca kemerdekaan kurikulum pendidikan saat itu diberi nama Leer Plan yang
artinya Rencana Pembelajaran. Blangpidie yang termasuk dalam pengaruh
kolonial Belanda dan Jepang pada saat itu masih mengikuti cara belajar yang
lebih mengutamakan sifat atau watak manusia serta kesadaran bernegara dan
bermasyarakat, materi pelajaran dihubungkan dengan kejadian sehari-hari dan
lebih perhatian terhadap kesenian dan pendidikan jasmani.
Dari hasil yang diperoleh akibat pemekaran Kabupaten Aceh Barat
Daya dari Kabupaten Aceh Selatan, beberapa gedung sekolah dan universitas
mulai berdiri dan makin meningkatnya prestasi anak bangsa dimulai dari TK,
SD, MIN, SMP, MTsN, SMA dan MAN hingga terbentuknya beberapa
Universitas seperti Universitas STKIP Muhammadiyah dan Universitas
Serambi Makkah di kota Blangpidie.
1.8 Sistematika Penulisan
Penulisan skripsi ini terdiri dari lima bab. Pada bab yang pertama
membahas tentang latar belakang yang menjelaskan secara umum tentang
permasalahan yang akan diteliti. Kemudian pada bab ini juga terdapat rumusan
9
masalah dan tujuan penelitian, yang menggambarkan beberapa pertanyaan
penelitian serta tujuan yang ingin dicapai. Selanjutnya pada bab ini juga
dijelaskan tentang manfaat penelitian yang terdiri dari manfaat teoritis dan
manfaat praktis. Anggapan dasar dan hipotesis juga terdapat pada bab satu ini,
yang memberikan tentang jawaban atau dugaan sementara terhadap pertanyaan
penelitian. Lokasi penelitian juga terdapat pada bab ini yang menjelaskan tempat
dan waktu penelitian. Pembahasan terakhir pada bab pertama yaitu mengenai
definisi istilah, yang menjelaskan beberapa istilah dalam skripsi ini.
Bab yang kedua memberikan penjelasan mengenai tinjuan pustaka. Pada
bagaian ini penulis mencantumkan berbagai kajian sebelumnya yang mempunyai
korelasi dengan masalah yang akan diteliti, yaitu tentang perkembangan
pendidikan di Blangpidie itu sendiri.
Bab tiga mengupas secara rinci tentang metode penelitian yang dilakukan
dalam penulisan skripsi ini. Pada bab ini penjelasan dimulai dari pendekatan dan
jenis penelitian serta langkah-langkah yang digunakan. Selanjutnya juga
dijelaskan tentang teknik pengumpulan data yang terdiri dari wawancara,
observasi, studi kepustakaan dan studi dokumentasi. Pada bab ini juga diberikan
penjelasan tentang teknik analisis data yang penulis lakukan.
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Kajian tentang perkembangan pendidikan di Aceh khususnya di Aceh Barat
Daya masih sangat kurang mendapat perhatian dikalangan sejarawan. Kajian-
kajian tentang Aceh Barat Daya lebih banyak mengarah tentang kajian sejarah
seperti perkembangan etnis, sejarah kenegrian dan sistem kehidupan ekonomi
masyarakat. Diantara peneliti yang mengkaji tentang kabupaten adalah Hasbullah
dan Zakaria Ahmad.
Perkembangan pendidikan di Aceh sejak berakhirnya kerajaan Aceh
Darussalam sampai menjelang berakhirnya masa Pembangunan Jangka Panjang
Pertama pada awal 1994 merupakan refleksi dari perjalanan sejarah Aceh, dalam
masa itu sendiri terjadi beberapa gejolak dan perubahan-perubahan yang sangat
drastis. Struktur kehidupan sosial politik masyarakat Aceh mengalami perubahan
yang luar biasa sejak mulai diperangi oleh Belanda.
Pendidikan yang ada di Aceh sekarang ini merupakan produk sejarah yang
penuh dengan pergolakan tersebut, pada masa kerajaan Aceh pendidikan
dilaksanakan pada Meunasah dan Dayah mulai dari tingkat rendah sampai tingkat
tinggi. Terjadinya perang telah membuat lembaga-lembaga ini hancur berantakan
serta kehilangan guru dan murid-muridnya. Setelah Belanda mulai menguasai
Aceh, mereka menetapkan sistem pendidikan barat sebagaimana halnya di
daerah-daerah lain di Hindia Belanda.
11
Jepang yang telah berhasil mengusir Belanda dari Nusantara ini pada awal
Perang Dunia II juga membawa sistem pendidikan yang berbeda dengan
pendidikan yang diterapkan oleh Belanda dan disesuaikan baik dengan
kebudayaan Jepang. Karena ada sistem pendidikan yang ditinggalkan oleh
Belanda dan Jepang itu Republik Indonesia mulai membangun sistem pendidikan
baru yang bersifat nasional setelah berhasil merebut kemerdekaan dari Belanda
melalu perjuangan bersenjata keras.
Inilah perjalanan sejarah yang mempengaruhi pendidikan di Aceh, diatas
segalanya sistem pendidikan tradisional yang ada tetap bertahan dan juga
beradaptasi dengan sistem yang baru. Sebagai produk dari suatu sejarah yang
panjang dan penuh gejolak itu, pendidikan di Aceh telah mengalami perubahan-
perubahan yang sangat drastis. Namun sampai pada saat itu perjalanan dan
perubahan masih terus berlanjut karena bentuk dan sistem pendidikan yang ada
sekarang dirasakan belum memenuhi harapan masyarakat Aceh.
Bentuk dan sistem pendidikan yang ada di Aceh sekarang ini belum
merupakan suatu bentuk integral yang bersatu dan memiliki hakikat tersendiri,
tetapi lebih kepada bentuk yang terpisah-pisah sebagai warisan masa pra-
penjajahan, ditambah model-model yang diperkenalkan selama penjajahan dan
kemerdekaan juga percobaan-percobaan baru sebagai interaksi antara bentuk dari
model-model tersebut.
Pusat pendidikan rakyat yang paling penting dalam masyarakat Aceh
termasuk Aceh Barat Daya ialah mesjid dan meunasah yang didirikan diseluruh
12
tempat dan pelosok. Disini anak-anak menerima pelajaran dari seorang guru
(teungku) yang mengepelai meunasah tersebut yang disebut teungku meunasah.
Materi yang diajarkan di meunasah ialah mata pelajaran membaca Al-Qur’an,
biasanya dimulai dari mempelajari huruf-huruf Al-Qur’an dan seterusnya
meningkat sampai dapat membaca Al-Qur’an. Di Aceh Barat Daya sebelum
kedatangan Belanda dikenal dua pusat pendidikan di Ujung Tanah Susoh yang
dipimpin oleh Habib Quraisy dan di Blangpidie terdapat pula sebuah rangkang
yang dipimpin oleh Tgk. Syekh Mahmud. (Zakaria Ahmad, 2009 : 147-148).
Lembaga pendidikan Islam yang selama ini dikelola dalam bentuk rangkang
(pesantren/dayah) dan kelompok pengajian oleh ulama-ulama setempat secara
tradisional mengalami pengembangan yang penting. Siswa-siswa yang bersekolah
di OIS (Openbaar Inlander Sches’chool) dan Vervolkschool yang melanjutkan
studi ke sekolah Islam Modern di Thawalib Padang Panjang, Normal Islam di
Bireun, Madrasah Islam di Langkat dan tempat-tempat lain hingga sepulangnya
mereka ke kampung halaman bersama ulama yang ingin melakukan pembaharuan
pendidikan Islam mendirikan madrasah-madrasah Islam dengan memakai sistem
sekolah-sekolah yang didirikan oleh pemerintah Belanda.
Pada masa kemerdekaan 1945 ada beberapa sekolah yang memasuki masa
peralihan dari sekolah 3 tahun ke sekolah 6 tahun, dan ini tidaklah mudah untuk
dilakukan. Kendala yang dihadapi ialah tenaga guru dan ruang kelas yang tidak
memadai. Oleh karena itu Sekolah Gadang (Vervolkschool) tetap dipertahankan
untuk menampung murid-murid dari sekolah yang belum mampu menjadi 6
13
tahun. Baru pada tahun 1948 Sekolah Gadang dijadikan Sekolah Rakyat VI,
sehingga hampir disetiap mukim sudah ada Sekolah Rakyat VI. Untuk mengatasi
kekurangan guru oleh tingkatan pendidikan, pengajaran dan kebudayaan
kabupaten Aceh Selatan dilaksanakan program kursus Guru Cepat (RGC) yang
lebih dikenal dengan guru magang atau guru bantu, lama kursus yaitu selama 1
tahun. Cara belajarnya ilalah dengan memperhatikan bagaimana cara guru
berpengalaman mengajar. Mereka harus selalu berada di dalam kelas dan
terkadang diadakan latihan mengajar, setelah latihan selama 1 tahun yang
bersangkutan menjadi guru bakti dengan status pegawai negeri. Mereka yang
diterima untuk magang ialah yang sudah menamatkan Sekolah Rakyat VI,
Sekolah Rakyat VI ini kemudian berubah nama menjadi Sekolah Dasar Negeri.
Peguruan Islam tingkatan Ibtidaiyah yang dahulunya dinamakan Sekolah
Agama berubah nama menjadi SRI (Sekolah Rendah Islam) dan menjadi sekolah
negeri dibawah asuhan tingkatan pendidikan Agama. Sekarang namanya
Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN). Pada permulaan kemerdekaan hampir setiap
kecamatan sudah ada Sekolah Rendah Islam. Pada tahun 1949 setelah penyerahan
kedaulatan oleh Belanda, terbentuklah sebuah pemerintahan baru yaitu RIS
(Republik Indonesia Serikat). Dimasa ini sebuah program pembangunan yang
berhubungan dengan pendidikan ialah percepatan pengadaan guru dalam
kewajiban belajar bagi seluruh rakyat Indonesia.
Saat berakhirnya konflik DI/TII di Aceh sangat besar pengaruhnya dalam
bidang pendidikan. Di Blangpidie atas pengatur pimpinan Muhammadyah
14
Cabang Blangpidie dan sekitarnya dibangun PGAP Muhammadyah. Oleh
masyarakat Susoh yang merasa perlu adanya SLTP (Sekolah Lanjutan Tingkatan
Pertama) untuk menampung tamatan Sekolah Rakyat VI Negeri dan Swasta,
maka didirikanlah SMP Swasta yang dikepalai oleh Tgk. Syahruddin, alumni
Thawalib Padang Panjang. Atas pengatur pedagang-pedagang Blangpidie dan
tokoh-tokoh masyarakat Blangpidie didirikan pula sebuah sekolah ekonomi
dengan nama SMEP Blangpidie yang dikepalai oleh Drs. Zakaria Ahmad.
Setelah terbentuknya komplek perkampungan pelajar dan mahasiswa
(KOPELMA) Darussalam pada tanggal 2 September 1959 merupakan wujud
nyata dari usaha-usaha mengintegrasikan pendidikan di Aceh dalam pelaksanaan
konsep keistimewaan Aceh dalam bidang pendidikan.
Menjelang penutupan tahun 1960 situasi berubah cepat. Bung Karno
mencanangkan Demokrasi Terpimpin, pembangunan perkampungan pelajar
Padang Meurante macet total. Sumbangan dari masyarakat tidak mungkin dapat
diperoleh lagi dalam suasana ekonomi yang semakin memburuk, dan dari
pemerintah daerah pun terhenti. SMA Swasta yang menjadi modal
perkampungan pelajar Padang Meurante proses belajar pun terhenti pula akibat
kepindahan R. Supeno dan disusul Kepala SMA Supardi ke Banda Aceh.
Sementara itu kepada perwakilan Kabupaten Aceh Selatan bersama panitia
perkampungan pelajar Padang Meurante mengusahakan dan menjajaki kembali
usulan penegerian SMA tersebut, perjuangan penegerian tersebut berjalan dengan
lancar dan berhasil. Pada bulan Agustus 1964 SMA Swasta Padang Meurante
15
disetujui untuk dinegerikan dengan nama SMA Negeri Blangpidie dan pada akhir
bulan September 1964 H. M. Thamrin Z diangkat menjadi kepala SMA Negeri
Blangpidie yang definitive.
Pecahnya peristiwa G 30 S PKI tahun 1965 telah membawa perubahan besar
di Indonesia. Dengan bantuan luar negeri yang mulai membanjiri Indonesia,
mulailah perubahan ekonomi Indonesia yang dipimpin oleh Prof. Soemitro
Djojohadikusumo, sehingga situasi ekonomi di Indonesia mulai membaik dan
dimulailah pembangunan besar-besaran dibidang pendidikan. Pada tahun 1970-an
pembangunan sekolah dasar dilakukan secara besar-besaran yang dinamai dengan
sekolah Inpres. Namun sampai pada tahun 1980 belum ada berita tentang adanya
jenis sekolah Taman Kanak-kanak (TK), baru pada tahun 1990 oleh pihak swasta
mendirikan 2 buah TK di kecamatan Susoh, yaitu Kampung Pinang dan Kampung
Rawa. Menjelang terbentuknya Kabupaten Aceh Barat Daya hampir tiap
kecamatan sudah ada Taman Kanak-kanak (TK). (Zakaria Ahmad, 2009 : 156-
167).
16
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Pendekatan dan Jenis Penelitian
Pendekatan kualitatif merupakan penelitian yang memanfaatkan
wawancara terbuka untuk menelaah dan memahami sikap, pandangan, perasaan,
dan perilaku individu atau sekelompok orang. Pendekatan kualitatif adalah
penelitian yang bermaksut untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami
oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan dan lain-
lain (Maleong Laxy, 2007: 5-6).
Metode adalah cara atau prosedur untuk mendapatkan objek, juga
dikatakan bahwa motode adalah cara untuk berbuat atau mengerjakan sesuatu
dalam suatu sistem yang terencana dan teratur (Suhartono W. Pranoto, 2006: 11).
Metode yang dilakukan dalam penelitian ini adalah metode sejarah
Gilbert J. Garraghan (1957:33), mengemukakan penelitian historis adalah
seperangkat aturan dan prinsip sistematis untuk mengumpulkan sumber-sumber
sejarah secara efektif, menilainya secara kritis, dan mengajukan sintesis dari
hasil-hasil yang dicapai dalam bentuk tertulis (Dudung Abdurrahman,1999: 43-
44).
Berbeda dari pengertian di atas Kuntowijoyo (2005: 90) mengemukakan 5
langkah yang harus dilakukan dalam mengadakan penelitian sejarah, yaitu:
17
1) Pemilihan Tema
2) Mengumpulkan Sumber
3) Kritik Sumber
4) Penafsiran Sumber
5) Penulisan Sejarah
3.2 Teknik Pengumpulan Data
Dalam kegiatan pengumpulan data mengenai perkembangan pendidikan di kota
Blangpidie pasca kemerdekaan 1945-2014, penulis memakai teknik pengumpulan
data sebagai berikut:
1. Dokumentasi
Dalam hal ini penulis akan menyimpulkan berbagai dokumen seperti
dokumen perkantoran, hasil penelitian, data pembangunan, dll. Hal ini
dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perkembangan kota
Blangpidie dalam aspek pendidikan.
2. Wawancara
Wawancara merupakan salah satu teknik yang tidak bisa dipisahkan dari
penulisan sejarah kontenporer. Hal ini dikarnakan masih banyak terdapat para
aktor atau pelaku sejarah yang masih hidup, yang masih dapat mengingat
tentang perkembangan kota Blangpidie Pasca Kemerdekaan. Dalam hal ini
penulis akan memilih informat yang dianggap mempunyai pengetahuan
tentang aspek yang dikaji diantara informan yang akan diwawancarai ialah:
18
Kepala Bapeda Kabupaten Aceh Barat Daya. Sejarawan diantaranya: Zakaria
Ahmad dan Hasbullah. Dan tokoh-tokoh masyarakat.
3. Studi kepustakaan
Dalam kegiatan studi kepustakaan yang bertujuan untuk mengetahui
informasi awal tentang kota Blangpidie itu sendiri, penulis akan mengumpulkan
berbagai literature berupa buku-buku dan hasil laporan penelitian. Studi
kepustakaan ini penulis adakan di berbagai keperpustakaan seperti Perpustakaan
Kabupaten Aceh Barat Daya, Perpustakaan Wilayah Banda Aceh, Balai Sejarah
dan Perpustakaan UNSYIAH.
3.3 Analisis Data
Analisis data adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja
menggunakan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan
yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola,
menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan dapat memumutuskan
apa yang dapat diceritakan kepada orang lain (Maleong Laxy, 2007: 248).
Agar penelitian ini mendekati tujuannya maka langkah yang ditempuh
dalam metode sejarah adalah sebagai berikut:
1. Heuristik: mengumpulkan data, pengumpulan data dalam penelitian ini
menggunakan sumber skunder yakni buku-buku yang berhubungan
dengan masalah dari judul yang diangkat.
19
2. Verifikasi/Kritik sumber: hal ini berfungsi untuk menentukan benar atau
tidaknya suatu sumber, kritik sumber dapat dilakukan dengan dua cara:
a. Kritik Ekstern, yang menyangkut dengan dokumennya seperti apakah
dokumen tersebut masih utuh dan apakah dokumen tersebut
diperlukan atau tidak.
b. Kritik Intern, yaitu menilai isi dari dokumen yang diperoleh.
3. Interpretasi: melakukan penafsiran dari fakta yang penulis dapatkan.
4. Historiografi: yakni penulisan sejarah yang ditulis dalam bentuk skripsi
Berdasarkan semua keterangan diatas, maka dapat disusun fakta sejarah
yang dapat dibuktikan kebenarannya. Tidak semua fakta dapat dimasukkan
karena yang diambil hanyalah fakta yang relevan dan sesuai dengan topik.
20
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Letak Geografis Aceh Barat Daya
Aceh Barat Daya terletak di daerah yang sangat strategis, luas wilayah
1.490 m2. Sebelah utara berbatasan dengan daerah Kabupaten Gayo Lues,
sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Aceh Selatan dan Samuderah
Indonesia, sebelah barat berbatasan dengan Nagan Raya.
Topografi daerah ini berbukit-bukit dengan daratan yang relative sempit
dibandingkan dengan pesisir timur Aceh, Bukit Barisan yang sebagian besar
pesisir barat berlereng agak curam dan bergunung-gunung kecuali sedikit yang
agak luas di kawasan dataran rendah seperti Melaboh dan Singkil yang memiliki
kelebaran 10 kilometer kearah pegunungan Bukit Barisan.
Kawasan dataran rendah di daerah Aceh Barat Daya terletak di bagaian
barat di beberapa tempat yang terdapat rawa-rawa, yaitu di Kecamatan Kuala
Batee dan Babahrot. Daerah pegunungan terletak disisi sebelah timur dengan
Gunung Leuser, daerah ini berada pada ketinggian 0-100 meter dari permukaan
laut yang diperkirakan seluas 43,04% dari keseluruhan daerahnya. Selebihnya
adalah daerah pantai yang memiliki kemiringan seluas 27,05%, daerah yang
bergelombang seluas 21,81% dan daerah yang terjal seluas 5,10%.
21
4.2 Sejarah Singkat Pendidikan Di Aceh
a) Pendidikan Masa Kerajaan Aceh Darussalam
Aceh pada masa dulu sudah dijuluki kota Serambi Mekkah, oleh karena
pendidikan Islaminya yang kuat, julukan ini sebagai aspirasi masyarakat
muslim di Asia Tenggara terhadap Aceh yang begitu gigih dalam
mengembangkan dan mempertahankan islam sebagai agama yang suci.
Pendidikan di Aceh pada mulanya dimulai dengan pendidikan dayah,
yang diajarkan oleh seorang Guree (guru) atau seorang Teungku disetiap
meunasah. Pada masa kerajaan Aceh Darussalam pendidikan di Aceh hanya
berfokus pada pendidikan agama, dan ini hanya laksana di meunasah dan
dayah-dayah yang ada di desa mulai dari tingkat rendah hingga sampai tingkat
tinggi. Pemimpin pendidikan terdiri dari teungku meunasah yang mempunyai
pengaruh dalam masyarakat, untuk menjalankan pendidikan disejumlah
rangkang-rangkang teungku dibantu oleh wakil-wakilnya, sesuai dengan ilmu
yang diajarkan pada muridnya dirangkang tersebut (Husein, Ibrahim. 2002: 47-
48).
Adapun materi yang diajarkan pada lembaga-lembaga pendidikan di Aceh
berbeda-beda dari satu tingkat ketingkat lainnya. Pada masa kerajaan Aceh
Darussalam ilmu-ilmu yang dipelajari dalam pendidikan dayah ini dimulai dari
kelompok yang masih menghija (mengija) yang belum lancar membaca Al-
Qur’an, sampai kepada mereka yang mempelajari ilmu khusus seperti tasawuf,
bahasa Arab dan bahasa Jawi.
22
Dalam proses belajar mengajar pasa masa Kerajaan Aceh Darussalam
guree memperkenalkan Al-Qur’an sebagai dasar pelajaran yang diterima oleh
murid, pada tingkat dasar ini mereka mempelajari huruf-huruf Arab dan
menghafal ayat-ayat yang terdapat dalam Al-Qur’an. Dalam mempelajari huruf
Arab itu guree memperkenalkan metode baghdadiyah, metode ini melafazkan
huruf-huruf arab secara alphabet dalam dialeg lidah orang Aceh seperti Aleh
untuk huruf Alif , Zou untuk huruf Zai, Keuh untuk huruf Kaf, dan lain
sebagainya, namun terkadang ditemui perbedaan pengucapan antara satu daerah
dengan daerah lainnya.
Dalam pengajaran pendidikan dalam dayah juga menggunakan metode
Targhib dan Tarhib. Hal ini diterapkan baik dengan cara menakut-nakuti dan
mengancam peserta didik dengan berbagai tingkatan, mulai dari ancaman
teoritis hingga praktis, hingga diberikan ganjaran pujian dan sejenisnya.
Disamping itu untuk tingkat yang lebih tinggi tentunya memiliki metode-
metode pendidikan lain layaknya pendidikan umumnya seperti metode hafalan,
tanya jawab, diskusi, prakti (demontrasi), dan lain-lain (Idris, Tamsin. 2011:
23-25).
Pada masa ini dayah menawarkan tiga tingkatan pengajaran, dimulai dari
rangkang (junior), bale (senior) dan dayah manyang (universitas). Ada juga
dibeberapa dayah hanya terdapat rangkang dan bale, meskipun demikian
ditempat tertentu terdapat tiga tingkatan sekaligus mulai dari junior hingga
universitas. Sebelum murid belajar di dayah mereka sudah mampu terlebih
23
dahulu membaca Al-Qur’an, kemampuan membaca Al-Qur’an tersebut mereka
dapatkan dirumah atau dari teungku di meunasah.
Sejak kerajaan Aceh terlibat perang dengan Belanda dari tahun 1873-
1910, pendidikan dayah terhenti karena teungku atau guree itu ikut berperang.
Setelah perang berakhir, para ulama dan pemimpin-pemimpin agama kembali
ke desa dan mengaktifkan kembali pendidikan dayah (Husein, Ibrahim. 2002:
50).
b) Pendidikan Pada Masa Kolonial Belanda
Pemerintah kolonial Belanda mendirikan dua macam sekolah bagi
rakyat Aceh. Pertama, sekolah rakyat biasa dan kedua sekolah untuk golongan
yang elite. Untuk rakyat biasa didirikan seokalah yang bernama “Sekolah
Desa” (Volkschool) pada tahun 1907. Lama belajarnya selama 3 tahun dan
mata pelajarannya hanya membaca dan menulis dalam bahasa Melayu dengan
menggunakan tulisan Latin. Sekolah yang didirikan oleh pemerintah Kolonial
Belanda ini baru diterima oleh sebagian rakyat Aceh berbaringan dengan
masuknya Sarekat Islam (S.I) pada tahun 1920. Mulai tahun 1938, pemerintah
kolonial Belanda membuka Vervolgschool yang masa belajarnya 5 tahun,
sekolah ini merupakan sambungan dari Volkschool. Sedangkan sekolah untuk
golongan elite ialah sekolah H.I.S (Hollands Inlandsche School) yang pada
1938 telah berjumlah sebanyak 8 sekolah di seluruh Aceh dan muridnya
berjumlah 1.500 orang (Husein, Ibrahim. 2002: 51-53).
24
Dalam tahun-tahun berikutnya sampai pada Belanda meninggalkan
Indonesia tahun 1942, jumlah sekolah desa diperbanyak yang tersebar
diseluruh daerah. Selain itu juga didirikan beberapa jenis sekolah tingkat dasar
dan tingkat menengah seperti Vervolgschool, Inlandsche School,
Meisjesschool, Hollandsch Inlandsche School, Ambachtschool, MULO dan
sebagainya. Inisiatif Belanda mendirikan sekolah-sekolahnya di Aceh
merupakan Awal dari pembaharuan pendidikan di Aceh, pembaharuan ini
kemudian menjadi lebih berkembang setelah munculnya lembaga-lembaga
islam modern (Madrasah Islam) dan sekolah-sekolah swasta yang sebelumnya
didirikan di pulau Jawa, yakni Muhammadiyah dan Taman Siswa.
Penerapan sistem pendidikan Belanda tidak terlepas dari tujuan
penjajahannya, merekrut pegawai murah, menciptakan golongan baru dalam
masyarakat. Keberadaan pendidikan modern ala Barat dianggap sebagai
media dalam mengkafirkan masyarakat Aceh. Karena pandangan yang
demikan maka masyarakat Aceh yang kuat akan budaya islamnya, enggan
untuk menyekolahkan anak-anaknya kesekolah buatan Belanda.
Pada awal penerapan pendidikan Belanda khususnya di Aceh,
pendidikan hanya diperuntukan pada golongan Uleebalang (bangsawan),
disamping itu adanya unsur pemaksaan. Ada berbagai pandangan dalam
masyarakat Aceh tentang pendidikan Belanda, akan tetapi keanekaragaman
pandangan ini sekaligus menunjukkan bahwa dalam situasi penjajahan
kolonial masyarakat tidak lagi bebas dalam menentukan arah bagi pendidikan
25
mereka, dan untuk itu hanya dua pilihan, menerima atau menolak apa yang
ditawarkan oleh pemerintah kolonial, atau mengambil pilihan lain menurut
cara-cara yang mereka anggap lebih aman (http://pendidikan.sejarah.com).
c) Pendidikan Pada Masa Pendudukan Jepang
Tentara Jepang menduduki Aceh hanya dalam masa tiga setengah
tahun, karena itu mereka tidak sempat menjalankan politik pendidikannya di
daerah ini. Dari gerak-gerik pemerintahan Jepang selama 3 setengah tahun ini
pemerintah Jepang memiliki rencana pendidikan yang besar, yaitu
memasukkan Indonesia kedalam Asia Raya ciptaan Jepang. Namun rencana
itu gagal dikarenakan Jepang kalah oleh Sekutu sebelum rencananya berjalan.
Ada beberapa hal penting selama kependudukan Jepang di Aceh,
diantara lain yaitu:
1. Menghapus semua sekolah yang berbau Belanda, sekolah H.I.S dan
Europescheschool dijadikan sekolah rakyat dan bahasa Belanda sebagai
bahasa pengantar diganti dengan bahasa Indonesia. Sekolah MULO di
Kutaraja dijadikan Sekolah Menengah Biasa (Tyugakko), bahasa Jepang
diajarkan pada tiap-tiap sekolah. Lagu Kimigayo, wajib dipelajari dan
diajarkan disemua sekolah tanpa terkecuali. Nyanyian dalam bahasa
Jepang juga diajarkan pada semua Sekolah Rakyat.
2. Para guru diwajibkan mempelajari bahasa Jepang dan kursus bahasa
Jepang ada dibuka dimana pun, bahkan mereka membentuk sekolah guru
26
yang dalam bahasa Jepang disebut Shihan Gakko. Sedangkan sekolah
agama diperbolehkan berjalan seperti biasanya, namun mempelajari
bahasa Jepang tetap diwajibkan pada setiap guru ataupun guree (teungku).
Pada waktu itu terdapat dua sekolah guru, yaitu Shihan Gakko
Kutaraja dan Sekolah Normal Islam Bireun. Salah satu gejala sosial yang
berkenaan dengan pendidikan pada masa pendudukan Jepang ini, sebagian
dari pemuda Aceh mendapatkan kesempatan untuk masuk kedalam
pendidikan militer Jepang dengan mendaftarkan diri sebagai Giyugun yang
dipusatkan di Lhoksumawe dan beberapa tempat lainnya di Aceh (Husein,
Ibrahim. 2002:57-59).
Sementara itu untuk pembinaan kesiswaan, Jepang mewajibkan bagi
setiap murid sekolah untuk rutin melakukan aktivitas seperti menyanyikan
lagu kebangsaan Jepang tiap pagi, mengibarkan bendera Jepang Hinomura
dan menghormat pada Kaisar Jepang Tenno Heika. Setiap pagi mereka juga
harus melakukan Dai Toa, bersumpah setia kepada cita-cita Asia Raya,
mereka juga diwajibkan malakukan Taiso senam Jepang dan melakukan
latihan fisik dan militer (http://sejarah.pendidikan.com).
4.3 Sejarah Singkat Pendidikan di Blangpidie Pada Masa Pasca Kemerdekaan
4.3.1 Pendidikan di Blangpidie Sebelum Pemekaran
Sebelum masa pemekaran Blangpidie termasuk dalam wilayah
Kabupaten Aceh Selatan, dan yang menjadi pusat kotanya adalah Tapaktuan.
27
Sehingga pada masa itu Blangpidie yang menjadi salah satu pusat perpolitikan
dan jalur perdagangan menjadi makin berkembang, bahkan sampai pada
bidang pendidikan.
Kemunculan pendidikan di Aceh Selatan pada mulanya lebih mengarah
pada pendidikan agama, budi pekerti dan keterampilan yang terkadang satu
sama lain saling berhubungan. Bentuk pertama diwujudkan melalui pengajian
tempat anak-anak belajar Al-Qur’an, disamping itu beberapa ulama
membentuk sebuah dayah yang merupakan wahana khusus pendalaman ilmu
agama. Disana santri dari berbagai desa tinggal bermukim untuk mempelajari
cabang-cabang pengetahuan bahasa Arab, fiqih dan tasauf.
Setelah seluruh Aceh Selatan ditaklukan oleh pemerintah kolonial
Belanda maka sekolah dasar pun dibuka di daerah-daerah lain. Ditengah
kekaruan pertumbuhan sekolah umum dan madrasah, pesantren yang secara
tradisional merupakan wahana pendidikan Islam yang masih tetap berlanjut.
Seorang ulama dari Aceh Besar yaitu Tgk. Syekh Mud atas bantuan
uleebalang Blangpidie membangun pesantren Bustanul Huda dekat mesjid
agung Blangpidie. Pasalnya tiada lain adalah memodifikasi corak pesantren
dengan kombinasi dayah dan madrasah, artinya pesantren tersebut
memperkenalkan sistem kelas disamping adanya rangkang (pondok) sekaligus
menampung santri wanita walaupun kelasnya terpisah.
Perubahan nyata dalam bidang pendidikan di Blangpidie terjadi setelah
masa kemerdekaan, karena Negara Republik Indonesia memandang
28
pendidikan sebagai unsur strategis dalam membina bangsa. Politik pendidikan
yang bersifat berlebihan dihapuskan. Disamping itu, baik masyarakat maupun
pemerintah membangun sekolah lanjutan guna menampung lulusan dari
Sekolah Rakyat. Pada tahun 1947-1948 pemerintah mengsponsori pendirian
sebuah SMP di Tapaktuan, dan beberapa tahun berikutnya pemerintah
membangun SGB (Sekolah Guru B) yang masih ada di daerah Pante Pirak
Susoh dan Tapaktuan guna mempersiapkan tenaga guru sekolah dasar yang
ada. Menurut data yang tersedia, di Blangpidie pada awal tahun 1950-an
mempunyai 52 buah Sekolah Rakyat 6 tahun dan 32 buah Sekolah Rakyat 3
tahun (Sulaiman, Isa. 2002: 417 - 422).
Pembangunan kota pelajar mahasiswa Darussalam yang dimulai pada
tahun 1950 menimbulkan dampak yang cukup berarti bagi masyarakat. Seperti
di kabupaten Aceh Selatan pemerintah kota berlomba-lomba membangun
sebuah sekolah lanjutan baik SLP maupun SLA. Masyarakt di kecamatan
Manggeng, Blangpidie, Meukek, Kluet Selatan dan Singkil membangun SMP
ditempat mereka masing-masing yang nantinya satu persatu sekolah tersebut
mendapatkan status negeri dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Dua
SGB yang terdapat di Sosoh dan Tapaktuan diubah statusnya oleh Pemerintah
menjadi SMP Negeri dan SMEP.
Selain itu, rakyat dan pemerintah daerah mengsponsori pembentukan
SMA yang pertama di Tapaktuan pada tahun 1959 dan berikutnya pada tahun
1960 di Padang Meurante, Susoh. Usaha itu sangatlah menguntungkan, karena
29
lokasi tersebut akhirnya dijadikan kampung pelajar. Berkat usaha itu SMA di
Tapaktuan mendapatkan status pada tahun 1965, akan tetapi lokasi SMA itu
dipindahkan ke Blangpidie. Berbaringan dengan penegrian SMA Blangpidie,
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan memberikan pula dua SLA
Kejuruan yaitu masing-masing SPG Negeri dan SMEA Negeri (Sulaiman, Isa.
2002: 423).
Perkembangan Perguruan Tinggi Swasta yang terbentuk di Aceh karena
adanya lulusan dari SLTA pada sekitaran tahun 1980-an, dan ini juga terjadi
di daerah Aceh Selatan. Pada tahun 1986 Letnan Kolonel Nyak Ahmad dan
Drs. Abdullah Sarong membentuk sebuah Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu
Pendidikan (STKIP) Serambi Makkah di kawasan Tapaktuan dan Blangpidie.
Sekolah agama juga mengalami perubahan pada masa kemerdekaan,
sebagaian dari sekolah Madrasah Ibtidayah berubah namanya menjadi SRI
yang dibentuk oleh kantor Pimpinan Agama, namun sekolah ini hanya
terdapat di daerah Tapaktuan yang pada permulaan tahun 1950 terdapat
sebanya 30 SRI. Sedangkan di Blangpidie tidak ada perubahan terhadap
Madrasah Ibtidayah.
Muhammadiyah dan PI perti mengurus Madrasah diniyah khusus,
Muhammadiyah mengelola 8 Madrasah diniyah di Meukek dan Labuhan Haji.
Sementara PI perti mengelola Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) yang
tersebar di Meukek, Labuhan Haji, Manggeng dan Blangpidie. Disamping itu
ada sebuah Madrasah diniyah Putri di daerah Tangan-tangan yang dipimpin
30
oleh Cut Fatimah Nagur. Pertumuhan Madrasah dan SRI itu telah mendorong
masyarakat di Aceh Selatan untuk membangun madrasah lanjutan yang
mereka dirikan pada beberapa kecamatan, Kuliyatul Muallimin di Lam Kuta
Susoh, PGA Muhammadiyah di Blangpidie, Madrasah Tsanawiyah
Muhammadiyah di Labuhan Haji dan Meukek. Sehingga pada tahun 1959
Aceh Selatan mempunyai 8 Madrasah dengan jumlah siswa sekitar 250 orang
(Sulaiman, Isa. 2002: 424).
Pada tahun 1960, terjadi penegrian terhadap beberapa Madrasah yang
pada saat itu proses berjalannya masih sangat lambat. Tiga madrasah swasta
yang terdapat di kawasan Samadua, Susoh dan Suak Bakong dinegrikan
menjadi MTSN sedangkan sisanya masih berstatus swasta. Lambanbya proses
penegrian tidak membuat masyarakat putus asa terhadap pembangunan
sekolah agama, pasalnya sebagian penduduk masih berpandangan pentingnya
anak untuk dididik pada sekolah yang memberikan ilmu pengetahuan umum
dan agama. Kenyataan sikap yang demikan dapat dilihat dari peningkatan
madrasah yang dibangun atas kebijakan masyarakat dipelosok desa.
Perlakuan-perlakuan istimewa dari pemerintah yang dinikamti baik itu
dari sekolah umum atau sekolah agama tidak membuat pendidikan di
pesantren hilang eksistensinya, sebab tidak ada lain sistem sosial masyarakat
yang masih relegius dan agraris kecuali hanya seorang ulama yang masih
memiliki status terhormat dimata masyarakat. Pesantren-pesantren yang
tumbuh pada masa kemerdekaan semakin tumbuh dan berkembang seperti
31
pesantren Darussalam di Labuhan Haji dan Bustanul Huda di Blangpidie,
pesantren Darussalam yang berada dibawah pimpinan Tgk. H. Muda Wali Al-
Khalidi pernah memiliki santri sebanyak 2000 orang.
Suasana politik dan modernisasi yang terjadi disekeliling pesantren telah
membuat mereka terlibat dalam dinamika pesantren, hal yang demikian
terpaksa aktivitas pesantren ikut dalam kehidupan politik. Hal pertama yang
membuat pesantren ikut tergabung dalam situasi politik ini yaitu hanya
semata-mata untuk mengikuti PI perti dan kemudian PI perti terpecah
sehingga menjadi PPP pada tahun 1971. Hal yang kedua adalah untuk
mengembangkan diri memlalui kurikulum. Pesantren Darussalam dan
Bustanul Huda telah menjalankan pendidikan bahasa Inggris dan beberapa
pengetahuan umum atau keterampilan yang diajarkan pada para santri, dan
mereka juga telah memiliki lahan pertanian, koperasi dan pusat komunikasi
pesantren (Sulaiman, Isa. 2002: 426).
4.3.2. Pendidikan di Blangpidie Setelah Pemekaran
Pada tahun 1980 belum ada kabar tentang adanya jenis sekolah Taman
Kanak-kanak (TK), baru pada 1990 atas kebijakan masyarakat mendirikan 2
buah TK di Kecamatan Susoh, yaitu kampung Pinang dan kampung Rawa.
Sampai pada saat menjelang terbentuknya kabupaten Aceh Barat Daya hampir
disetiap kecamatan sudah ada TK.
32
Kecamatan TK Jumlah Guru
Babahrot 1 Murid 0
0
Kuala Batee 2 101 6
Susoh 8 297 21
3 332 13
Blangpidie 1 38 3
Tangan-tangan
Manggeng 3 159 13
Jumlah 18 927 59
(Sumber data: Aceh Barat Daya Dalam Angka, 2003)
Di kecamatan Blangpidie tercatat sebanyak 3 TK dan memiliki murid
332 yang diajarkan oleh 13 guru. Sedangkan pada tingkat pembangunan Sekoah
Dasar (SD) di Blangpidie tercatat dalam sebanyak sebanyak 22 sekolah dan
memiliki murid 3.587 yang diajarkan oleh 224 guru.
Kecamatan Jumlah
Murid
SD Guru
Babahrot 14 2.928 80
Kuala Batee 13 2.210 89
Susoh 14 2.097 99
33
Blangpidie 22 3.587 224
Tangan-tangan 17 2.862 121
Manggeng 21 3.022 203
Jumlah 101 16.706 816
(Sumber data: Aceh Barat Daya Dalam Angka, 2003)
Sekolah Dasar ini dibangun guna untuk menampung anak-anak lulusan
dari TK. Menjelang terbentuknya kabupaten Aceh Barat Daya semakin banyak
orang tua siswa ingin melanjutkan pendidikan anaknya sehingga hampir
disetiap kecamatan telah berdiri SLTP.
Kecamatan Jumlah
Murid
SMP Guru
Babahrot 2 504 0
Kuala Batee 1 633 74
Susoh 3 916 65
4 1.050 80
Blangpidie 2 799 39
Tangan-tangan
Manggeng 4 806 36
Jumlah 16 4.708 294
(Sumber data: Aceh Barat Daya Dalam Angka, 2003)
Di kecamatan Blangpidie tercatat sebanyak 4 SMP yang memiliki murid
1.050 siswa dan 80 guru yang mengajar. Sejalan dengan perkembangan
34
Sekolah Lanjutan Pertama (SLTP), maka Sekolah Menengah Umum yang pada
permulaan kemerdekaan bernama Sekolah Menengah Tinggi (SMT) yang
kemudian berubah lagi menjadi Sekolah Menengah Atas (SMA). SMA pertama
dibangun diperkampungan Pelajar Meukek dalam status SMA Swasta yang saat
sudah dinegrikan bernama SMA Negeri Blangpidie. Dimasa sekarang sudah
disetiap kecamatan memiliki SMA.
Dalam kecamatan Blangpidie menurut sumber data Aceh Barat Daya
dalam angka tahun 2003, sudah memiliki 2 SMA dengan jumlah murid 524 dan
guru sebanyak 53 orang.
Kecamatan Jumlah
Murid
SMA Guru
Babahrot 1 0 28
Kuala Batee 1 141 14
Susoh 1 292 22
2 524 53
Blangpidie 1 279 30
Tangan-tangan
Manggeng 1 434 14
Jumlah 7 1.670 161
(Sumber data: Aceh Barat Daya dalam angka, 2003)
Mengenai sekolah kejuruan memang belum tercantum data di Aceh
Barat Daya Dalam Angka tahun 2003, tetapi dalam profil/database pendidikan
35
Aceh Barat Daya terdapat satu buah sekolah kejuruan yang bernama Sekolah
Menengah Kejuruan (SMK) dengan jumlah murid 270 orang.
Kabupaten Aceh Barat Daya yang terletak di pantai Barat Aceh dengan
ibukotanya Blangpidie ini sudah berkembang pesat dalam bidang pendidikan,
hingga pada tanggal 15 juni 2003 terbentuklah panitia pelaksanaan Pendirian
Perguruan Tinggi Muhammadiyah berdasarkan SK. PD Muhammadiyah
Kabupaten Aceh Barat Daya dengan nomor: 02/KEP/III.3/f/2003 tertanggal 28
Rabiul Akhir 1424H/29 Juni 2003 M.
Pada tahun 2004 didirikanlah Fakultas Tarbiyah dan Fakultas Ekonomi
yang merupakan cikal bakal STIT dan STKIP Muhammadiyah, jumlah
mahasiswa yang terdaftar sebanyak 285 untuk Fakultas Tarbiyah dan Fakultas
Ekonomi 22 orang (Ahmad, Zakaria. 2009: 166-170). Hingga sekarang total
jumlah mahasiswa sebanyak 1.405 dengan tenaga pengajar sejumlah 7 Dosen
berpendidikan S2 dan 58 Dosen berpendidikan S1.
Di Blangpidie juga terdapat sejenis lembaga pendidikan agama
tradisional yang dalam masyarakat Aceh disebut rangkang, dayah dan pondok
pengajian atau istilah sekarang yaitu pesantren. Saat menjelang terbentuknya
Kabupaten Aceh Barat Daya lembaga pendidikan ini telah berkembang pesat,
sebagian besar hampir seluruh lembaga pendidikan dikelola oleh swasta dan
dibantu secara tidak tetap oleh pemerintah. Di Blangpidie terdapat sebanyak 9
pesantren dan memiliki santri 1.364 orang, dan ustadz/ustadzahnya sebanyak 12
orang.
36
Dalam masa pembaharuan pendidikan agama yang bermula sekitar tiga
puluhan tahun yang lalu berjalan dengan pesat, meskipun mendapat tantangan-
tantangan dari beberapa pihak ulama yang tidak mengerti apa-apa. Akan tetapi
hal ini tidak menghambat jalannya pembaharuan. Memang jika mengingat
bahwa pembaharuan pendidikan agama di Aceh dalam waktu yang singkat telah
diterima oleh ulama-ulama lain dan seluruh rakyat, bahwa dalam kurun waktu
delapan tahun madrasah yang tumbuh hampir mengimbangi sekolah-sekolah
yang sudah didirikan sejak zaman Hindia Belanda. Akan tetapi kurikulum di
madrasah-madrasah yang tersebar diseluruh kawasan Aceh itu beraneka ragam
dan simpang siur, sulit menemui madrasah yang kurikulumnya itu sama.
Kebanyakan berada mulai dari lama masa belajar lima atau tujuh tahun,
banyaknya jam pelajaran dalam sehari sampai kepada jumlah dan ilmu-ilmu
yang di ajarkan dari buku-buku yang dipakai.
Tidak saja kurikulum, namun kehidupan atau perjalanan sekolah-
sekolah agama itu pun berbeda. Faktor yang menyebabkan ketidak seragaman
kurikulum timbul karena ia tidak dibuat oleh satu tangan, tetapi masing-masing
sekolah menyusun kurikulumnya sendiri. Kurikulum yang dipakai di suatu
madrasah biasanya diwarnai oleh alam pikiran guru yang pribadinya tinggi
diantara mereka yang menyusun kurikulum itu. Jika tokoh yang dianggap tinggi
tamatan Thawalib, maka kurikulum yang dibuat adalah kurikulum yang mirip
dengan Thawalib.
37
Selanjutnya jika kurikulum dibuat oleh guru-guru yang berasal dari
pesantren Aceh yang tidak belajar keluar daerah, biasanya mereka mengambil
contoh dari kurikulum madrasah yang dianggap madrasah induk di daerah itu,
seperti Madrasah Ibtidayah Blangpidie sebelum di negerikan.
Sampai di tahun 2014 menurut hasil data dari Dinas Pendidikan
Kabupaten Aceh Barat Daya, jumlah Sekolah Dasar (SD) di kecamatan
Blangpidie menurun menjadi 17 sekolah baik negeri maupun swasta dari 22
sekolah. Dikarenakan beberapa SD swasta lainnya memutuskan untuk
bergabung dalam SD negeri. Sedangkan SMP dari 2 sekolah meningkat
menjadi 4 SMP, diantaranya 3 negeri dan 1 swasta yaitu SMP Satu Atap Cot
Jeurat. Dan tingkat SLTA juga menjadi makin meningkat dari hanya 2 SMA
saja bertambah 3 sekolah, diantaranya adalah MAN dan SMK.
38
BAB V
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan uraian diatas, maka dapat diambil kesimpulan dalam
perkembangan pendidikan di kota Blangpidie.
5.1.1 Dari masa pasca kemerdekaan tahun 1945 hingga sampai terbentuknya
Kabupaten Aceh Barat Daya, di kecamatan Blangpidie sudah terbangun
sebanyak 3 TK dan memiliki murid 332 yang diajarkan oleh 13 guru.
Sedangkan pada tingkat pembangunan Sekoah Dasar (SD) di Blangpidie
tercatat dalam sebanyak sebanyak 22 sekolah dan memiliki murid 3.587
yang diajarkan oleh 224 guru. Dan juga sudah terbentuk sebanyak 4 SMP
yang memiliki murid 1.050 siswa dan 80 guru yang mengajar, ini guna
menampung siswa/i yang lulus dari SD. Serta di kecamatan Blangpidie
juga di bangun sebanyak 2 SMA dengan jumlah murid 524 siswa dan
guru sebanyak 53 orang. Hingga sampai pada tahun 2014 pendidikan di
kota Blangpidie semakin berjalan dengan baik dan dari hasil data yang
diperoleh ada beberapa sekolah baru yang dibangun oleh pemerintah.
5.1.2 Ada beberapa penghambat yang sering terjadi dalam masa perkembangan
pendidikan di kota Blangpidie ini, seperti masalah pembangunan sekolah
yang terkadang tidak dapat bantuan pemerintah, memasukkan unsure
politik di dalam pendidikan, dan lain sebagainya membuat pembangunan
39
dalam struktur pendidikan sering macet dan fakum selama beberapa
tahun.
5.2 Saran
Adapun saran-saran yang ingin dikemukakan adalah sebagai berikut.
5.2.1 Bagi pemerintah daerah dan masyarakat Blangpidie diharapkan agar
sudi kiranya membantu para guru dan murid dalam mengembangkan
pendidikan di Blangpidie berupa jasa agar mereka terus bersemangat
untuk meningkatkan pendidikan daerah yang merupakan bagian dari
kewajiban manusia, karena pendidikan sangat tinggi nilainya dimata
dunia. Jika mereka diperhatikan oleh pemerintah, mereka juga tidak
akan sungkan-sungkan memberikan ilmu mereka kepada generasi
selanjutnya untuk masa depan yang lebih bermakna.
5.2.2 Bagi para tokoh pendidikan daerah Blangpidie agar tidak berputus asa
dan selalu mengembangkan pendidikan kepada generasi penerus agar
yang lain dapat melihat akan pentingnya pendidikan di negeri ini.
5.2.3 Penulisan karya ilmiah ini belum sempurna, untuk itu diharapkan
kritikan, dan masukan bagi para pembaca, untuk menyempurnakan
penulisan karya ilmiah ini.
40
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Dudung (1999). Metode Penelitian Sejarah. Jakarta: Logos Wacana
Ilmu.
Ahmad, Zakaria. (2010). Negeri dan Rakyat Aceh Barat Daya Dalam Lintasan
Sejarah. Jakarta: SWADAYA.
Budi Wibowo, Agus. (2011). Suwa Jurnal Sejarah dan Nilai Tradisional. Banda
Aceh: Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Banda Aceh.
Colombijn, Freek. Dkk. (2005). Kota Lama Kota Baru: Sejarah Kota-Kota Di
Indonesia Sebelum dan Setelah Kemerdekaan. Yogyakarta: Ombak.
Hasbullah, S.S. (2010). Cina Dalam Lintas Perdagangan di Aceh Barat Daya,
1900-2008. Banda Aceh: BPSNT.
Handinoto. (2010). Arsitektur dan Kota-Kota Di Jawa Pada Masa Kolonial.
Yogyakarta: Graha Ilmu.
Husein, Ibrahim. (2002). Sejarah Singkat Pendidikan Di Aceh. Banda Aceh: Majelis
Pendidikan Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Idris, Tamsin. Aplikasi Targhib dan Tarhib pada Pendidikan Dayah Aceh, Banda
Aceh: P3KI IAIN Ar-Raniry Banda Aceh, 2011
Kuntowijoyo (2005). Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: PT. Bentang Pustaka.
Maleong, Laxy (2006). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda
Karya.
Moh. Nazir, 1983. Metode Penelitian. Bogor: Ghalia Indonesia.
Soemanto, Wasty (2004). Pedoman Teknik Penulisan Skripsi (Karya Ilmiah).
Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Sulaiman, Isa. (2002). Suatu Tinjauan Terhadap Perkembangan Pendidikan Di
Aceh Selatan. Banda Aceh: Majelis Pendidikan Daerah Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam.
W. Pranoto, Suhartono. (2006). Teori dan Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Rahayu
Ilmu.
41
Akses dari Web:
http://bagusxplano.wordpress.com/2011/10/06/definisi-kota/ (Diakses pada tanggal 4
Juli 2014)
http://id.scribd.com/doc/7174661/UU-No-20-Thn-2003-Ttg-Sisdiknas (Diakses pada
tanggal 4 Juli 2014)
http://www.umm.ac.id/id/page/041101/2/data-sma-dan-smk-kab-aceh-barat-daya.html
(Diakses 3 Februari 2015)
42