Midodareni
Midodareni diambil dari kata midodari merupakan mustika adicara pada malam
atau widodari yang berarti bidadari. Midodareni. Sejak malam Midodareni, kedua
Di kalangan masyarakat Jawa, ada mempelai tidak lagi disebut sebagai calon
mitos yang menyebutkan bahwa pada malam pengantin dalam tradisi penikahan Jawa.
Midodareni, para bidadari dari kahyangan
turun ke bumi dan bertandang ke rumah calon Hal ini didasarkan pada apa yang tertulis
pengantin wanita untuk mempercantik dan dalam primbon kuna yang menyebutkan:
mempersiapkannya agar menjadi bidadari “Ing bengi kebener Midodareni, iku wiwit jeneng
yang sempurna bagi calon suaminya. penganten”. Oleh karena itu sorak sorai para
kerabat pada malam Midodareni adalah
Prosesi Midodareni dilaksanakan pada teriakan: “Lha kae pengantene teka”. Karenanya
malam hari sebelum ijab-kabul dan acara sejak malam Midodareni, terutama setelah
Panggih Pengantin. Selain disebut Midodareni, menerima Kancing Gelung, kedua mempelai
prosesi ini juga terkadang disebut dengan sudah disebut sebagai pengantin, bukan
istilah Maleman, atau lengkapnya Malem lagi calon pengantin. Mereka berdua adalah
Midodareni. Ada juga yang menyebutnya mustika perhelatan yang ditunggu-tunggu,
Pangarip-arip, sebagaimana disebutkan oleh yang dalam bahasa Jawa disebut sebagai
Rama Sudi Yatmana, dalam Upacara Penganten Penganten, kusumaning adicara ingkang dipun
Tata Cara Kejawen. anti-anti.
Alkisah, dewi Nawangwulan bersama para Suwardjoko percaya bahwa ada peran
bidadari turun ke marcapada untuk memberi Wali Songo dalam proses Islamisasi tradisi
doa restu kepada dewi Nawangsih yang akan pernikahan Jawa ini. Wali Songo tidak serta
dipersuntingolehBondhanKejawan.Kesediaan merta mematikan tradisi Midodareni yang
Dewi Nawangwulan untuk merias sendiri dewi sebenarnya sarat dengan mitos. Kedua
Nawangsih ini disertai dengan syarat agar mempelai juga tetap diizinkan untuk disebut
pihak pengantin pria mempersembahkan sebagai pengantin sejak prosesi Midodareni,
Kembarmayang. Suwardjoko, dalam bukunya; tetapi belum diizinkan untuk tidur bersama
Makna, Tata Cara dan Perlengkapan Pengantin sebelum akad nikah. Bahkan pengantin pria
Adat Jawa, menyebut kisah-kisah ini hanyalah tidak disambut di dalam rumah pengantin
dongeng atau mitos belaka. putri, melainkan di beranda depan saja dan
belum diizinkan menemui pengantin putri.
Malam Midodareni adalah malam
Paes atau Pepaes, yang berarti berhias. Prosesi Midodareni ini didahului oleh
Mengutip Kalinggo Honggopuro, Suwardjoko prosesi lain di mana kedua calon pengantin
menyebutkan bahwa tradisi Paes ini bisa melakukan Jamas atau mandi keramas
dilacak sejarahnya dari jaman Mataram. menggunakan air kembang setaman, yang
disebut dengan prosesi siraman. Siraman
Meskipun menurut hukum agama dan memiliki hubungan erat dengan Midodareni
negara kedua mempelai belum bisa disebut dan menjadi syarat penting agar para bidadari
sebagai pasangan suami isteri sebelum akad bersedia turun dari kahyangan untuk merestui
nikah, namun tradisi Jawa sudah menyebut calon pengantin.
keduanya sebagai Sri Pengantin, yang
292 | Ensiklopedi Islam Nusantara
merasuk dalam diri
calon pengantin puteri.
Agar hal itu terjwujud
maka semua hal yang
berkenaan dengan
malam Midodareni
harus serba ganjil dan
belum genap atau
belum lengkap. Karena
apabila sudah genap
dan lengkap, justru pada
bidadari yang turun
dan bertandang ke
rumah calon pengantin
akan kembali lagi ke
Salah satu Prosesi Midodareni. kahyangan karena merasa sudah tidak ada
Sumber: https://ikawidyan.wordpress.com/2011/12/06 yang perlu disempurnakan.
Selain ada keharusan penggunaan Perlengkapan Prosesi Midodareni
kembang setaman seperti mawar, melati, A. Keluarga pengantin putri
bunga kanthil, dan kenanga, prosesi siraman • Angsul-angsul
mengharuskan dipakainya air bersih dari • Kancing Gelung (Cundhuk Ukel)
sumber mata air guna memurnikan dan • Naskah Catur Wedha
menyucikan calon pengantin lahir dan • Ayam betina muda (dhere), lambang
batin. Dengan demikian, para bidadaripun
diharapkan akan bersedia turun dan pengantin putri
memberikan doa restu serta memberikan aura • Tempat duduk pengantin pria dilapisi
kecantikannya kepada calon pengantin.
dengan klasa kalpa
Prosesi Midodareni dilaksanakan pada B. Keluarga pengantin pria
malam hari setelah sholat Maghrib. Terdapat • Cengkir gadhing dihias janur berupa
tamsil tertentu pada penggunaan angka-angka
ganjil dan serba tidak lengkap atau tidak clorot, sepasang
genap pada laku adicara Midodareni. Bahkan • Kembarmayang, sepasang
orang yang menyiramkan air pada proses • Ayam jantan muda (Jengger), lambang
Siraman juga jumlahnya ganjil, biasanya tujuh
atau sembilan orang. Paes atau riasan yang pengantin kakung
digunakan pada malam Midodareni juga hanya • Paningset serta kelengkapan (abon-
berupa alub-alub atau cengkorongannya saja.
Busana yang digunakan juga sederhana, dengan aboning) paningset
harapan bahwa para bidadarilah yang akan • Sanggan serta tanda asih (apa saja)
menggenapkan atau menyempurnakannya.
Urutan prosesi pada malam Midodareni:
Pada malam yang sangat penting itu
para bidadari diharapkan turun dan manjing Jonggolan
atau menyatu dalam jiwa dan raga Sri
Penganten yang disebut sebagai keadaan Jonggolan berarti pisowanan, di mana
Hapsari Hangejawantah, yakni munculnya calon pengantin pria sowan atau hadir
aura kebidadarian pengantin yang telah menghadap keluarga calon pengantin putri
pecah pamor. Jika itu terjadi, artinya bidadari untuk memberitahu bahwa ia telah siap lahir
yang turun dari kahyangan benar-benar telah batin mengikuti seluruh adicara dalam proses
pernikahan.
Prosesi ini juga disebut dengan nyantrik
atau nyantri karena aslinya dalam tradisi
Edisi Budaya | 293
Purna Jonggolan di lingkungan keraton, calon pada malam Midodareni, karena malam
penganten pria tidak hanya sekedar berkunjung ini bukan merupakan perjamuan agung.
dan menampakkan diri, melainkan langsung Sebagaimana disebutkan di atas, tata busana
mondok atau nyantrik di kasatrian dan dipingit pada malam Midodareni justru dianjurkan
di sebuah bangunan di lingkungan keluarga bersifat sederhana. Oleh karena itu dianjurkan
calon istrinya. Adapun di luar keraton, calon menggunakan busana beskap landhung tanpa
pengantin pria kembali pulang ke rumah keris.
setelah adicara Midodareni, namun demikian,
tetap disebut nyantrik. Tempat duduk pengantin pria pada adicara
Jonggolan dilapisi dengan klasa kalpa. Hal
Jonggolan atau nyantrik pada zaman ini didasarkan pada kawruh kraton. Adapun
kuno dilakukan beberapa hari sebelum acara yang biasa (kaprah) terjadi di masyarakat, alas
inti. Calon pengantin dititipkan (ngenger) di duduk pengantin pria adalah klasa bangka atau
rumah calon mertuanya dan dipingit. Namun tilam lampus.
seiring perkembangan zaman, nyantrik
ini dilaksanakan bersamaan dengan acara Tumuruning Kembarmayang
Midodareni.
Kembar berarti serupa dan mayang
Tata lahir dan simbol-simbol yang terdapat adalah bunga dari pohon pinang atau jambe.
dalam Jonggolan pada adicara Midodareni Kembarmayang adalah dua buah hiasan yang
memiliki beberapa makna, di antaranya: terbuat dari pokok/debok pisang, yang dihias
dengan janur, aneka buah dan kembang
• Menunjukkan bahwa semua persyaratan pancawarna serta bunga jambe. Meskipun
yang diperlukan dalam pernikahan sudah penggunaan Kembarmayang adalah pada saat
terpenuhi prosesi Panggih Pengantin, namun ia telah
dibuat dan disimpan sejak malam Midodareni.
• Pengantin kakung sudah siap lahir dan
batin Kembarmayang juga memiliki beberapa
nama lain seperti Sekar Mantyawarna, Sekar
• Adanya sabdatama atau petuah untuk Adi Kalpataru, dan Klepu Dewadaru kaliyan
pengantin Jayadaru.
• Merupakan penilikan akhir terhadap Kembarmayang dipercaya sebagai hiasan
kesiapsediaan segala hal yang diperlukan bunga dari para dewa yang dirangkai oleh
untuk melangkah menuju adicara tujuh bidadari. Ia hanya merupakan pinjaman
selanjutnya kepada pengantin pria untuk digunakan dalam
pernikahan. Setelah selesai digunakan, ia harus
Ada dua macam pakem busana yang dikembalikan kepada para dewa dengan cara
dikenakan pengantin pria pada saat njonggol melarutkannya di sungai atau membuangnya
atau sowan pada malam Midodareni. di perempatan jalan.
Menurut tradisi Yogya, calon pengantin
pria mengenakan busana kasatrian, yaitu Kembarmayang merupakan perlambang
baju surjan, blangkon, kalung karset dan restu dan keberkahan dari Yang Maha Kuasa
mengenakan keris. Adapun dalam tradisi kepada pengantin. Keberadaan mayang dalam
Surakarta, pengantin pria mengenakan busana hiasan tersebut melambangkan pengantin
pangeranan yaitu jas beskap, kalung karset, dan yang sedang memasuki dunia rumah tangga.
mengenakan keris.
Makna dan kiasan yang terkandung dalam
Namun diperbolehkan juga tidak prosesi golek Kembarmayang adalah sebuah
menggunakan pakem busana sebagaimana ibarat atau pasemon bahwa mewujudkan
disebutkan di atas. Pengantin pria boleh segala macam cita-cita dan harapan haruslah
menggunakan jas dan dasi pada saat diakukan dengan usaha, serta ada “harga”
Jonggolan. Bahkan ada yang berpendapat yang harus dibayar; jer basuki mawa bea.
bahwa sebaiknya pengantin pria dan para
pendampingnya tidak mengenakan keris
294 | Ensiklopedi Islam Nusantara
Adapun gotong-royong dan kerjasama dalam dunia para muda mudi yang sedang jatuh cinta.
proses pembuatannya dan Tumuruning
Kembarmayang melambangkan sikap tolong- Mugi kersoa angupadi tumuruning wahyu
menolong (sambat sinambatan). Hal ini pula jodho ingkang awujud sekar mancawarna ugi
menunjukkan bahwa perhelatan pernikahan sinebatKembarmayang, kinarya jangkeping
tersebut didukung oleh sanak kadang dan bolo panggihing calon pinangantyan kekalih.
rewang, serta diiringi doa kepada yang maha
kuasa. Semoga bersedia mencari wahyu jodoh
yang berwujud bunga warna-warni yang juga
Nut carita duking nguni-uni disebut kembarmayang, untuk melengkapi
Ila-ila ujaring pra kina pertemuan calon pengantin berdua.
Gung pinundhi prapteng mangke
Kembarmayang puniku Tumuruning Kembarmayang
Rinatikna in widadari
Minangka sung nugraha disebut juga dengan istilah “Miyosipun
Satria linangkung
Ingkang asung bekti darma Kembarmayang Saking Suwargo”, yakni
Labuh labet mring hyang kang maha luwih
Hambangun pala karma turunnya Kembarmayang dari surga. Istilah
Terjemahan syair Jawa (tembang lainnya yang juga dipakai adalah “Panebusing
dhandhang gula) di atas, sebagaimana ditulis
oleh Meka Nitrit Kawasari adalah sebagai Kembarmayang”.
berikut:
Mitos Jawa menyebutkan bahwa
Menurut cerita dahulu kala Kembarmayang merupakan pemberian dari
Sang Hyang Jagad Giri Nata. Adapun yang
Tata cara menurut kisang orang tua membawanya ke bumi adalah para bidadari, di
antaranya; Prabasini, Irim irim, Tanjung Biru,
Yang dilestarikan hingga kini Warsiki, Gagar Mayangm Leng Leng Sari, dan
Leng Leng mandanu.
Kembarmayang nan asri
Dalam mitos Jawa juga disebutkan,
Dirangkai oleh para bidadari Kembarmayang yang asli diturunkan oleh para
dewa terbuat dari bunga pohon Kalpataru;
Sebagai anugerah pohon yang tumbuh di surga dan buahnya
menjadi santapan para dewa.
Bagi pria pilihan nan gagah
Saat ini Kembarmayang dibuat oleh para
Yang akan melaksanakan darma bakti pemuda yang datang untuk rewang. Adapun
aslinya dalam tradisi Jawa, yang bertugas
Melaksanakan perintah ilahi membuat Kembarmayang adalah dua orang
wanita dewasa, dari pihak pengantin pria, lalu
Mengangkat seorang isteri dibuatkan sesajen dan didoakan pada acara
“Slametan Midodareni” sebagai pepeling atau
Sebagaimana setiap prosesi dan adicara pengingat bagi pengantin bahwa perkawinan
lainnya dalam tradisi pernikahan Jawa, bukan hanya bertemunya raga, tetapi juga
Kembarmayang sarat dengan makna dan perpaduan dua jiwa yang menyatu dalam
kiasan. Ada banyak versi tafsir dan tamsil pada ikatan suci membangun sebuah keluarga.
Kembarmayang dan proses pembuatan serta
keberadaannya pada pernikahan adat Jawa, Prosesi Tumuruning Kembarmayang
yang beredar di masyarakat. terdiri dari beberapa bagian yang dibawakan
dalam adegan-adegan mirip adegan
Terdapat tembang sinom yang pewayangan dan dipandu oleh seorang dalang.
menggambarkan perjalanan Sang Sarayajati Adapun cerita yang dilakonkan adalah tentang
menghadap kepada yang punya hajat. Tembang pencarian, penebusan, dan pemboyongan,
Sekar Sinom diperuntukkan bagi anak muda. lalu dilanjutkan dengan prosesi penyerahan
Ia berasal dari kata Si yang berarti “isih” atau Kembarmayang kepada pihak keluarga
masih dan Nom yakni “enom” atau muda dan pengantin putri.
memiliki sifat ramah yang melambangkan
Edisi Budaya | 295
Dapukan atau pemeran dalam adegan- pengantin punya ketetapan hati dalam
adegan tersebut adalah Saraya jati (seorang mengarungi samudera kehidupan berrumah
ksatria yang ditugaskan untuk mencari tangga. Walang juga melambangkan kegesitan.
Kembarmayang), Hamengku Gati (Sebagai
ayah dari pengantin putri), dan Jati Wasesa Kembarmayang dalam pernikahan
(seorang pandhita dari padepokan Sidodadi, Jawa merupakan “replika” dari Dewadaru
tempat Kembarmayang disimpan). dan Jayadaru, yaitu bunga dari pohon
Kalpataru. Ini merupakan perlambang
Sekar mancawarna pada Kembarmayang harapan agar pengantin kelak dapat bahagia
terdiri dari ron maneka warni atau ron apa- dalam kehidupan berrumahtangga seharum
apa; melambangkan keaneka ragaman isi bunga Dewadaru dan Jayadaru, serta segera
dunia dengan harapan agar pengantin kelak menghasilkan buah, yakni keturunan.
dapat menjalani kehidupan rumah tangga
yang penuh lika liku. Lalu ada bunga kanthil Srah-srahan
dan melati yang melambangkan keharuman
dengan harapan semoga perilaku pengantin Adicara Tumuruning Kembarmayang
kelak selalu harum seperti harumnya bunga kemudian dilanjutkan dengan prosesi srah-
melati dan menjadi teladan sebagaimana srahan, yaitu penyerahan tanda kasih atau tali
bunga kanthil. asih dari pihak pengantin pria kepada keluarga
pengantin putri. Wujudnya berupa berbagai
Keris-kerisan janur pada Kembarmayang macam perhiasan, barang mentah, dan barang
merupakan perlambang pusaka yang dipakai jadi atau matang (raja peni, guru bakal, guru
oleh laki-laki dan menjadi pengingat atas dadi).
tanggungjawab seorang suami dalam hidup
berumah tangga. Manuk-manukan janur Raja peni dan guru dadi dibawa di dalam
atau burung menjadi pepeling agar pengantin sebuah kotak yang disebut dengan jodhang.
mempunyai cita-cita yang tinggi setinggi Adapun guru bakal dibawa dengan dipikul.
terbangnya burung. Nanas yang berada pada Apabila salah satu orang tua dari pengantin
bagian atas Kembarmayang merupakan pria sudah meninggal, maka perangkat srah-
lambang tingginya derajat. Nanas ini srahan ditambah dengan bendhe.
diletakkan pada bagian paling atas sebelum
payung-payungan. Harapannya pengantin Srah-srahan lengkap dalam pakem keraton
agar selalu rukun, berdampingan dan tinggi Surakarta berupa:
derajatnya. Adapun payung-payungan
janur yang memayungi Kembarmayang - Paningset, yakni setagen, sesupe seser,
melambangkan pengayoman. Pecut-pecutan sinung truntum, serta sindur
janur sekawan yang berjumlah empat
melambangkan sadherek sekawan atau empat - Perlengkapan, yakni tebu wulung, jeruk
saudara yang merupakan pengingat bagi gulung, sedhah ayu, pisang ayu, dan sekul
pengantin tentang keberadaan mereka di golong
dunia mulai dari kelahiran sampai mati.
- Pengiring, yakni raja peni (berupa aneka
Peksi pada Kembarmayang melambangkan ragam perhiasan), guru bakal (berupa
perjodohan serta harapan agar pengantin ternak, palawija dan sebagainya), guru
segera mendapatkan keturunan. Urang dadi (berupa busana, makanan dan
melambangkan harapan agar pengantin sebagainya)
dalam menjalani hidup berumah tangga
tidak kekurangan dan selalu tercukupi segala Catur Wedha
kebutuhannya. Walang melambangkan
harapan agar tidak dihantui rasa walangati/ Setelah semua tamu dari pihak pengantin
sumelang yakni gundah gulana. Harapannya, pria duduk di tempat yang disediakan, ayah
dari pengantin putri menghampiri pengantin
pria dengan maksud wawansabda untuk
memastikan terakhir kalinya bahwa pengantin
pria benar-benar telah siap lahir batin
296 | Ensiklopedi Islam Nusantara
menghadapi prosesi pernikahan selanjutnya, penyerahan dhuwung atau keris yang disebut
karena keesokan harinya adalah prosesi ijab- cundhuk Ukêl yang merupakan senjata
kabul yang membuat ikatan kedua mempelai andalan kaum wanita. Pusaka ini diberikan
sah menurut agama dan negara. kepada pengantin pria untuk melindungi isteri
dan keluarganya kelak.
Ayahanda pengantin putri lalu
memberikan wejangan Catur Wedha (empat Kancing Gelung yang diserahkan terdiri
norma) atau Catur Laksitatama (empat atas:
perilaku utama). Hal ini perlu dilakukan agar
ayahanda pengantin putri tidak ragu dan • Dhuwung, yaitu pusaka milik penganten
khwatir lagi menyerahkan putrinya kepada putri pemberian ayahandanya berupa
pria yang akan menikahinya. keris Cundhuk Ukêl. Pusaka ini sebenarnya
hanya dititipkan kepada pengantin pria
Setelah wejangan Catur Wedha ini, kedua untuk melindungi keluarganya kelak.
pengantin dipingit di tempat masing-masing
yang telah disediakan, atau disebut dengan • Ageman, yaitu busana agung yang akan
prosesi nyantrik/nyantri. Pada saat nyantrik ini dikenakan pengantin pria pada waktu
kedua mempelai dilarang saling bertemu. dhaup atau panggih penganten.
Andrawina Adapun angsul-angsul adalah berbagai
macam hadiah, bisa berupa makanan, kue dan
Setelah acara wejangan Catur Wedha, lain-lainnya dari pihak keluarga pengantin
para tamu dipersilahkan makan bersama putri kepada rombongan penganten pria.
dan berramah tamah. Acara santap makan Angsul-angsul merupakan tanda tali asih
bersama dan ramah tamah ini disebut juga antara dua keluarga yang berbesanan.
dengan Kembul Bojana Andrawina. Adicara ini
biasanya diisi pula dengan perkenalan anggota Apabila rangkaian acara Midodareni
keluarga dari masing-masing pihak. sudah sampai pada penyerahan kancing
Gelung dan Angsul-angsul, itu adalah pertanda
Acara ini seharusnya dilakukan bahwa acara sudah akan berakhir. Hal ini juga
ketika larut malam. Tuan rumah akan merupakan isyarat bahwa pengantin pria
menghidangkan sekul asrep-asrepan. Yang dipersilakan segera meninggalkan rumah
unik pada acara ini adalah mendahulukan calon mertua (katundhung) untuk kembali ke
tamu wanita untuk makan. Hal ini dilakukan pondokan yang telah disediakan (sengkeran),
sebagai penghormatan kepada para bidadari bagi yang disediakan tempat untuk nyantrik.
sebagaimana dalam kisah pernikahan Jaka Atau pulang ke rumah bagi yang tidak tinggal
Tarub dan dewi Nawangwulan. di pondokan untuk nyantrik. Para pimpinan
rombongan pengantin pria harus tanggap dan
Seluruh acara di atas dilakukan dengan segera mohon diri.
sangat kihdmat dan tenang. Bahkan dalam
berbicara pun para tamu dan tuan rumah Sejarah Dhuwung Cundhuk Ukêl
hanya melakukannya dengan suara lirih atau
bisik-bisik. Namun demikian pada zaman Dalam tradisi keraton-keraton Jawa,
sekarang, acara ini dilaksanakan dengan para puteri dari permaisuri raja diberi pusaka
meriah dan gegap gempita. Hidangan yang andalan berupa keris atau curiga, yang diberi
disuguhkan juga bermacam-macam, terkadang nama Cundhuk Ukêl. Pusaka ini merupakan
ditambah dengan hiburan tayuban. Waktu penanda bahwa wanita yang memilikinya
pelaksanaanya pun tidak terlalu larut malam. adalah seorang puteri raja. Dhuwung Cundhuk
Ukel ini merupakan pusaka yang diwariskan
Kancing Gelung dan Angsul-angsul turun temurun kepada anak perempuan.
Setelah selesai berramah-tamah dan Karena pusaka ini hanya untuk para puteri,
memakan hidangan, pemangku hajat maka sosok penampakannya (dhapuran), juga
kemudian menggelar prosesi penyerahan ferminin (mutreni). Bentuknya lebih kecil
Kancing Gelung. Kancing gelung adalah dari umumnya keris. Angsar-nya juga bersifat
Edisi Budaya | 297
kewanitaan, yakni ruruh, cinta asih, tenteram, majemukan adalah ungkapan syukur kepada
dan tenang. Cundhuk Ukêl bukan merupakan Tuhan yang maha kuasa atas terlaksananya
Dhuwung ageman (kelengkapan busana) acara dengan baik, serta doa semoga prosesi
karena sosoknya yang kecil, bahkan terkadang acara berikutnya berjalan lancar dan baik,
berbentuk mirip cundrik atau patrêm. nirbaya, nir-rubeda, tanpa ada halangan dan
gangguan apapun.
Pusaka inilah yang dititipkan kepada
menantu (putra mantu) pada prosesi Selain berdoa, acara majemukan berupa
penyerahan Kancing Gelung di malam makan bersama-sama hidangan berupa nasi
Midodareni. Pasemon dan isyarat dari hal ini wuduk berlauk ingkung ayam sebagai lambang
adalah pertanda bahwa ayahanda pengantin kebersamaan dan gotong royong, holopis kuntul
puteri telah memberikan kepercayaan kepada baris, bekerja bersama-sama agar terlaksana
pengantin pria untuk mempersunting seluruh hajat dengan sempurna. Selanjutnya
puterinya, dan bahwa pria tersebut akan melekan atau wungon, yakni berjaga semalam
melaksanakan pesan-pesan wejangan dalam suntuk, yang dilakukan oleh beberapa sesepuh
Catur Wedha. sambil berdoa atas kelancaran dan keberkahan
prosesi selanjutnya.
Apabila dalam perjalanan rumah tangga
kedua mempelai kelak ada halangan dan ketidak Meskipun secara keseluruhan prosesi
cocokan sehingga menyebabkan perceraian, malam Midodareni ini berasal dari tradisi kuno
maka Cunduk Ukêl harus dikembalikan kepada pra Islam, namun praktiknya hari ini rangkain
keluarga wanita, karana ia hanya titipan, acara ini syarat dengan nilai-nilai dan ritual
bukan pemberian. Oleh karena itu, apabila ada Islam. Acara Midodareni di kalangan orang
seorang pria mengembalikan Cundhuk Ukel, Jawa Islam hari ini dimulai dengan bacaan ayat-
itu artinya sebuah isyarat perceraian. ayat suci al-Quran dan selalu disertai dengan
doa-doa Islami. Darori Amin, dalam Islam dan
Majemukan Kebudayaan Jawa, menyebutkan bahwa malam
Midodareni di kalangan orang Jawa Islam diisi
Majemukan merupakan ritual penutup dengan bacaan-bacaan barzanji dan tahlilan.
dari rangkaian malam Midodareni. Dilakukan
larut malam ketika para tamu sudah [Ali Mashar]
meninggalkan rumah pengantin putri. Inti dari
Sumber Bacaan:
H. M. Darori Amin, Islam dan Kebudayaan Jawa, Gama Media, Yogyakarta, 2000.
K.P. Suwardjoko Proboadinagoro Warpani, Makna, Tata cara dan Perlengkapan Pengantin Adat Jawa, Kepel Press,
Yogyakarta, 2015.
Meka Nitrit Kawasari, Penggunaan Bahasa Jawa Pada Upacara Tumuruning Kembarmayang Sebagai Cermin Kearifan Budaya
Jawa, dalam Jee Sun Nam (ed.), Language Maintenance and Shift III, Revised Edition, Balai Bahasa Provinsi Jawa
Tengah, 2013.
Rama Sudi Yatmana, Upacara Penganten Tata Cara Kejawen, CV Aneka Ilmu, Semarang, 2001.
Suwarna Pringgawidagda, Tata Upacara dan Wicara Pengantin Gaya Yogyakarta , Kanisius, 2006.
Thomas Wiyasa Bratawidjaja, Upacara Perkawinan Adat Jawa, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2000.
298 | Ensiklopedi Islam Nusantara
Mudik
Mudik telah menjadi tradisi dimaksudkan untuk berinteraksi dengan orang
masyarakat Indonesia yang pada yang masih hidup, tetapi juga berkomunikasi
umumnya dikaitkan dengan dengan orang yang sudah meninggal di tempat
perayaan hari lebaran. Kebiasaan ini bertumpu jasad terakhirnya bersemayam.
pada semangat menjaga tradisi lama yang
menjadi bagian penting masyarakat dalam Pengertian
upaya mencari atau kembali ke jati diri.
Dalam ritual tahunan ini, banyak hal muncul Secara etimologi, kata mudik berasal
sebagai fenomena sosial dan keagamaan di dari kata “udik” yang berarti selatan/hulu,
mana agama dan budaya melebur menjadi sebagai lawan kata dari ‘hilir’, yang bermakna
satu tarikan nafas. Melalui kegiatan mudik, utara. Di kalangan masyarakat Betawi zaman
masyarakat Muslim Indonesia memperagakan kolonial, suplai kebutuhan hasil bumi diambil
ajaran silaturahmi bersama keluarga, kerabat, dari wilayah luar tembok kota di selatan. Para
handai taulan serta sahabat. Dalam suasana petani dan pedagang melakukan transaksi
lebaran, masyarakat secara sistemik bermaaf- melalui sungai dari utara dan kembali ke
maafan, update perkembangan lingkungan selatan. Dari aktivitas ini kemudian muncul
sekitar, serta terhubung dengan masa lalu. istilah hilir mudik yang berarti bolak-balik.
Satu hal yang juga penting adalah bahwa
kepulangan ke kampung halaman tidak hanya Mudik juga dimaknai ‘menuju udik’ atau
pulang ke kampung halaman. Kata ‘udik’
Suasana Para Pemudik di Stasiun Kereta.
Sumber http://news.okezone.com
Edisi Budaya | 299
Mudik bareng yang diselenggarakan PBNU. Dalam mudik oleh keluarga kerajaan. Sejak masuknya Islam,
bersama tersebut, sebanyak 35 bus disiapkan untuk mudik dilakukan menjelang Lebaran.
memberangkatkan sekitar 1750 pemudik ke berbagai
wilayah di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur Beberapa ahli berpendapat bahwa tradisi
mudik muncul karena masyarakat Indonesia
Sumber: Tribunnews.com adalah keturunan Melanesia yang berasal dari
Yunan, Cina. Sebuah masyarakat yang dikenal
biasanya merujuk pada persepsi desa atau sebagai pengembara. Mereka menyebar ke
kampung tempat asal kelahiran seseorang. berbagai tempat untuk mencari sumber
Ketika seseorang hidup dan berkarir di kota, ada penghidupan. Pada bulan-bulan yang dianggap
tuntutan kultural untuk kembali ke ‘kampung baik, mereka akan mengunjungi keluarga di
halaman’ di mana komunitas primordialnya daerah asal. Biasanya mereka pulang untuk
berada. Kepulangan seseorang ke kampung melakukan ritual kepercayaan atau keagamaan.
halaman pada umumnya dilakukan dalam
rangka merayakan lebaran atau hari libur Tradisi mudik tidak hanya erat kaitannya
lainnya. Konsep kampung halaman menjadi dengan perayaan Idul Fitri, melainkan juga erat
dasar pijakan yang dikaitkan dengan konsep kaitannya dengan berbagai dimensi kehidupan
silaturahmi, ziarah kubur dan nostalgia. manusia. Paling tidak ada tiga dimensi yang
dapat kita amati dalam tradisi mudik. Pertama,
Sejarah mudik memiliki dimensi spiritual-kultural.
Mudik dianggap sebagai tradisi warisan yang
Tradisi mudik merupakan kebiasaan dimiliki sebagian besar masyarakat Jawa.
masyarakat petani Jawa yang dikenal sejak Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Umar
zaman Majapahit. Kebiasaan ini awalnya Kayam (2002) bahwa tradisi mudik terkait
bertujuan untuk mengunjungi kuburan orang- dengan kebiasaaan petani Jawa mengunjungi
orang yang telah meninggal dan memanjatkan tanah kelahiran untuk berziarah ke makam
doa bersama untuk memohon keselamatan para leluhur.
kepada dewa-dewa kahyangan. Aktivitas ini
dilakukan setahun sekali, yang belakangan Bagi sebagian besar masyarakat Jawa,
dikenal dengan sebutan ‘nyekar’. Pada masa ini, kehidupan duniawi tidak dapat dilepaskan dari
kegiatan mudik menjadi tradisi yang dilakukan
300 | Ensiklopedi Islam Nusantara
kehidupan nanti di alam keabadian. Begitu pula ibadah puasa yang dilakukan selama satu bulan
ikatan batin antara yang hidup dan yang mati penuh. Spiritual-vertikal manusia ditempuh
tidak begitu saja lepas oleh hilangnya nyawa dengan ibadah dan akan sempurna jika
di jasad. Oleh karena itu, mereka menganggap dilanjutkan pada kesalehan sosial-horizontal.
bahwa berziarah dan mendoakan leluhur Silaturahim menjadi wujud konkret dalam
adalah kewajiban. Karena itu muncullah hal ini. Mudik seharusnya dimaknai dengan
tradisi berziarah dalam kurun waktu tertentu menyambung hubungan spiritual dengan
meskipun dipisahkan oleh kondisi geografis. para leluhur dan menyambut tali silaturahim
Nilai spiritual yang tertanam dalam tradisi dengan keluarga, saudara, kerabat, dan
berziarah inilah yang kemudian berdialektika sahabat. Bukan untuk kepentingan prestise
dengan kultur masyarakat yang kemudian sosial ataupun kepentingan material lainnya.
melahirkan tradisi mudik.
Dari sini tampak bahwa fenomena mudik
Dalam catatan Umar Kayam, mudik mengimplikasikan suatu heteronomi kultural.
sejatinya tradisi lama yang pernah menghilang. Para pemudik berada pada sisi tarik-menarik
Sejak Islam datang, mulai terkikisnya budaya antara situasi dan nilai-nilai baru dengan yang
syirik, ziarah menemukan momentum saat lama. Di satu sisi mereka tak bisa memungkiri
hari Lebaran. Apalagi kultur Jawa yang bahwa mereka hidup, bekerja, berdomisili, dan
kemudian diterima oleh kalangan Islam berumah di kota. Di sisi lain, mereka sangat
tradisional menghasilkan akulturasi budaya terikat dengan desa yang menjadi asal-usulnya.
yang harmoni. Perlahan ziarah kubur yang
dianggap sebagai syirik dapat diterima oleh Hal ini berarti bahwa tradisi mudik
kalangan tradisional dengan disisipi ajaran memperlihatkan betapa masyarakat kita sangat
agama. Mudik pun menjadi salah satu tradisi dikendalikan oleh masa silamnya. Kepulangan
spiritual bagi masyarakat untuk melakukan para pemudik ke desanya merupakan simbol
ziarah ke makam leluhur. romantisme masyarakat kita. Tantangannya
terletak pada pengalaman bahwa romantisme
Said Aqiel Siradj (2006) menegaskan bahwa cenderung lebih bersifat reaktif ketimbang
makna tradisi Lebaran sebenarnya menyemai kreatif. Mudik berarti terhubung kembali
spirit spiritual-vertikal. Dalam arti orang- dengan jejaring tradisional dan menghidupkan
orang yang merayakan harus kembali pada ritual atau kenangan masa lalu.
kefitrian (kesucian) jati diri kemanusiannya
sebagai hamba Tuhan. Hal ini terkait dengan [Hamdani]
Sumber Bacaan
Marcoes, Lies, dkk, Kembali Ke Jati Diri: Ramadhan dan Tradisi Pulang Kampung dalam Masyarakat Muslim Urban, Bandung:
Mizan, 2013.
Edisi Budaya | 301
Mukena
(Rukoh, Talakuang, Telekung)
Makna Kata Mekeno, tanpa mekeno, biasanya anak rambut
akan muncul di sekitar kepala. Padahal rambut
Mukena, telekung atau rukoh adalah itu adalah aurat. Mekeno biasanya selembar
baju atau kain panjang penutup kain yang berbentuk segitiga atau kain handuk
aurat perempuan ketika shalat. tipis memanjang, fungsinya untuk deleman
Sebutan mukena lebih didengar untuk orang (orang sekarang memakainya juga kalau
Jakarta dan sekitarnya. Nama-nama di atas memakai jilbab baik sebagai penambah asesori
menunjukkan suatu bentuk pakaian yang maupun agar rambut tidak keluar dari garis
khusus dipakai untuk sholat. Dalam konteks jilbab) jadi mekeno adalah pasangannya rukoh.
Indonesia dan negara-negara sekitarnya, Mekeno Kata mekeno inilah yang kemudian
pakaian itu membedakan dari pakaian dari pembicaraan-pembicaraan dihubungkan
sehari-hari. Di Indonesia terutama, hanya berasal dari kata bahasa Arab miqna’ah ()ﻣﻘﻨﻌﺔ
dalam kira-kira lima tahun terakhir ini, ada yang artinya tutup kepala.
kelompok-kelompok perempuan yang sudah
merasa cukup dengan pakaian muslimah yang Mukena popular di wilayah Melayu,
sehari-hari dipakai sekaligus pakaian untuk tak heran negara-negara jiran pun
sholat. Perubahan ini mengikuti trend busana mengenakannya. Pakaian ini pun disebut
muslimah Indonesia yang sama sekali berbeda dengan cara yang hampir sama, Talakuang,
pada abad-abad awal Islam masuknya Islam ke meski di sana sini terdapat sedikit perubahan.
Indonesia sampai pengaruh revolusi Iran pada Orang – orang Sumatra, yang identik dengan
tahun 1979. Dampak revolusi itu membuat kaum Melayu, menyebutnya Talakuang, itu
cara menutup aurat perempuan Indonesia di Sumbar. Namun untuk Sumatra Utara,
mirip dengan perempuan-perempuan Iran khususnya Tapanuli Selatan telekung biasanya
menutup tubuhnya. Kendatipun begitu pasar dinamakan “ Talokung” dan lebih populer di
model dan industri mukena tak ada matinya. kalangan masyarakat pedesaan. Masih sama-
sama Sumatra, Orang Palembang, Sumsel
Orang Jawa umumnya menyebut kain menyebut mukena dengan Telkum. Nyaris
penutup aurat untuk shalat itu rukoh. Tak serupa, orang-orang di NTB menyebutnya
pasti darimana atau asal kata apa rukoh itu, Telekung.
mungkin juga kata rukuk, satu gerakan tubuh
yang hanya dilakukan dalam sholat. Rukoh, Namun bagaimana bentuk mukena
umumnya berbentuk panjang, bersambung pada kaum Melayu di atas, menurut sumber
kainnya dari kepala sampai menutup kaki, informasi orang Sumatra sendiri, mukena
yang kiranya kalau dia sujud, tidak kelihatan pocong (terusan, orang Cirebon menyebutnya
kakinya. Mirip pocong, kalau orang melihatnya mukena rekening) tak popular dan asing. Sejak
pertama kali. dulu hingga kini mukena itu potongan; atas
dan bawah, bukan terusan. Seperti berikut ini;
Dalam Bahasa Jawa, kata rukoh turun
menurun digunakan. Entah darimana akar Aurat Tubuh Perempuan dan Konsepsi
katanya. Namun sebenarnya orang Jawa yang Fikih
hendak sholat mengenakan rukoh tidak cukup.
Karena rukoh itu ada pasangannya yaitu Ketertutupan perempuan banyak dilihat
302 | Ensiklopedi Islam Nusantara
Gambar; butik bordir Kudus. menggerus cara bermukena dalam sholat.
Memang belum ada satu survey yang pasti
Sumber: butikbordir.com bahwa perkembangan model terbaru pakaian
muslim itu telah meminggirkan penggunaan
sebagai pembatasan aksesnya pada publik. jilbab dalam shalat. Namun, seiring meroketnya
Jika sejenak ke negara-negara teluk, pakaian perkembangan busana muslim bahkan produk
perempuan sehari-hari mereka adalah seperti Indonesia telah menjadi trendsetter dunia
mukena bahkan melebihnya, sebab niqab atau busana, mukena pun didesain tak kalah
burqah telah menutup semua bagian wajah dan modisnya. Bukan hanya soal bentuknya tapi
hanya menyisakan dua bola mata sebagai alat juga asesorisnya, bahannya sampai nuansa
penting. etnik dan tokoh public figure favourite, biasanya
artis. Jadi mukena kini, sangatlah modis.
Jika Akbar S. Ahmed dalam Discovering
Islam menyatakan setelah kecemerlangan Dulu kala, sejak mukena ada sampai era
perempuan di awal-awal Islam, seperti 90-an, mukena semuanya model terusan,
eksistensi di antara istri nabi yakni; Khadijah dijahit dari kain bahan putih polos, terbuat
dan Aisyah, berikutnya ada Fatimah, Rabiah dari bahan kafan (orang Jawa menyebutnya
al-Adawiyah dan lain-lain di negeri Islam, mori) . Modelnya seperti pocong kata orang-
maka sekarang ini keadaan telah jauh orang , karena selain bersambung dari kepala
berubah. Menurutnya, pembatasan akses sampai menjulur menutupi kaki juga selalu
perempuan dimulai dari penutupan tubuhnya. berwarna putih. Sederhana, tanpa hiasan atau
Sekarang perempuan jauh tertinggal peran warna lain. Bahannya adem tanpa campuran
dan kedudukannya dibanding pada masa sintetis sehingga mudah sekali lecek. Mukena
awal Islam, lihatlah bagaimana Anwar Al- inilah nampaknya yang selalu diingat orang
Sadat memenjarakan Nawa el-Saadawi karena karena lama bertahan dan dipakai sebagian
kekritisan tulisannya. Perempuan pada masa besar masyarakat Indonesia. Bahwa mukena
kini mundur jauh ke belakang dan seperti itu putih dan lurus (terusan), nampaknya
budak yang hidupnya ditentukan laki-laki. membumi di sebagian ingatan penduduk kita
dan kemanapun mereka pergi.
Bagaimana Indonesia? Benarkah
demikian, Indonesia barangkali adalah Kalau dilihat dari perjalanan sejarahnya,
pengecualian. Kalau menyimak perkembangan masuknya Islam di Indonesia dengan segala
model busana muslimah Indonesia dari waktu keunikannya, maka mukena atau rukoh
ke waktu, ketertutupan tubuh perempuan merupakan bagian tak terpisahkan dari
sepertinya dignity. Ketertutupannya konskuensi atau dampak dari cara ber-
menunjukkan identitasnya dan di banyak Islam di Indonesia. Dengan pakaian sehari-
tempat itu tidak menghalanginya beraktifitas. hari perempuan Indonesia yang sudah
Fashion baru itu lalu sedikit demi sedikit ada, nampaknya para muballigh kita ingin
mengenalkan Islam secara bertahap dan tanpa
gejolak. Maka dimulailah dengan mengajarkan
tata cara ibadah dengan segala syaratnya.
Inovasi dan strategi inilah yang kemudian
melahirkan mukena, sebagai pakaian khusus
sholat. Dualisme pakaian, antara di dalam
dan di luar sholat ini, telah melahirkan
keunikan sendiri. Namun, lambat laun kita
mereka berubah Indonesia: berkebaya,
kain berkerudung. Ataupun baju kurung.
Penyebaran Islam yang berlangsung damai,
telah mencoba mengakomodasi budaya-
budaya Indonesia yang ada namun tetap dalam
Edisi Budaya | 303
bingkai bingkai prinsip ajaran Islam. hitung-hitungan ekonomi dan mengikuti pola
model.
Memang Walisongo dan banyak penyebar
Islam yang lain, banyak melakukan penyesuain Banyak yang dibuat dengan simplifikasi
dan strategi dakwah yang jitu di Indonesia. bahan, sehingga mukena mengabaikan
Mereka tidak memboyong budaya Arab atau konsep aurat. Akibatnya banyak mukena yang
negara-negara yang telah dahulu berislam. mini padahal yang mengenakan orangnya
Walhasil kita lihat Indonesia hari ini. jumbo, sehingga kaki kelihatan ketiika
sujud, punggung juga, karena minimnya dan
Tapi tahukah kita, bahwa sejarah mukena pendeknya potongan atas. Jadi konsep seluruh
dan mungkin bagi mereka yang belajar tubuh kecuali wajah dan telapak tangan
secara sederhana tentang Islam, menjadikan tereduksi. Wajah yang menurut Imam Syafii
mukena sangat membekas. Sebagaimana tidak termasuk dagu, malah dilonggarkan
orang-orang Jawa generasi tempo dulu yang dalam pemakain-pemakain model baru.
dibawa ke Suriname dan masih menganggap Telapak tangan melebar. Tak heran kalau hasil
bahwa shalat itu menghadap ke Barat bukan salah satu musyawarah keagamaan di Pesantren
kiblat. Maka, begitupun dengan mukena, Lirboyo, semacam bahtsul masail tidak
pernah mendengar tentang tenaga kerja merekomendasikan mukena potonagn atas
tenaga kerja wanita kita yang menjadi buruh bawah dan memberi gambaran cara memakai
migran? Mereka merantau ke negeri seberang, mukena yang benar. Alasannya mukena
utamanya negara-negara yang berpenduduk potong bawah mengandung potensi – potensi
etnis China seperti Hongkong dan Taiwan terbukanya aurat. Ketika sujud karena banyak
beserta mukena putihnya. Apa yang terjadi? yang ukurannya minim, dan baju atau kaos
Orang China sangat takut dengan warna pemakai pendek, sering kelihatan. Belum lagi
putih sehingga ketika mereka lihat mukena kaki waktu sujud dan tangan yang digerakkan
mereka kaget dan ketakutan. Menurut cerita waktu takbir juga sering kelihatan. Semua itu
para buruh migran itu, lalu mereka dilarang tidak sesuai dengan prinsip syarat menutup
mengenaknnya. Sebab warna putih itu bagi aurat. Nampaknya ada kepentingan bisnis
mereka menyeramkan yang tidak bertemu dengan ketentuan syariat.
Walaupun banyak juga mukena yang didesain
Dengan pengajaran yang menekankan tepat sesuai kaidah dan tentu saja harganya
bahwa mukeno adalah pakaian sholat, tidak bisa minimalis. Untuk memperjelas apa
pengalaman sadar, seperti di kampung dan yang dimaksud ditutup dan terbuka dalam
terutama generasi 70an, mengendapkan cara fiqih, banyak pesantren melalui websitenya
berpikir kalau sholat harus dengan mukeno memberi contoh bagaimana penggunaan
.Padahal esensi sholat itu menutup aurat. mukena yang maksimal, maksimal ala fiqih.
Tak mengejutkan kemudian bahwa sering
berkembang desain mukena ini, Bagaimana pun fenomena mukena
amatlah unik, karena mengingatkan akan
Ini rukoh atau rukuh klasik ( versi lama) pergerakan sejarah sebuah bangsa, agama
dan sebagaian masih menggunakannya, dan juga perkembangan mode. Jika nanti
sekarang mengalami modifikasi disana sini perempuan –perempuan ini ketemua dalam
sehingga kelihatan tetap modis dan trendy. sebuah melting pot dunia: haji kita akan
melihat warna warni hamba bermunajat
Namun seiring dengan berkembangnya kepada Tuhannya, bukankah mukena adalah
industri mukena dan lahirnya desainer- wasilah belaka?
desainer yang kreatif, konsep aurat yang
menjadi prinsip utama shalat tergerus karena
[Ala’i Nadjib]
Sumber Bacaan
Ishom Yusqi dkk, Islam Nusantara (Jakarta: Pustaka STAINU) Jakarta, 2015
Akbar S Ahmad, Discovering Islam, Making Sense of Muslim History and Society, London;Routledge.1996
Wawancara dengan informan dari daerah daerah.
304 | Ensiklopedi Islam Nusantara
Muktabar(ah)
Sesuatu yang dapat dijadikan argumen kata ta’nis atau jamak taksir, maka disebut al-
/ penjelasan. Dalam tradisi NU, istilah mu’tabarah, seperti al-kutub al-mu’tabarah dan
muktabar atau muktabarah ini dikenal al-tariqah al-mu’tabarah.
dalam dua hal; pertama, kitab-kitab yang
disebut dengan istilah al-kutubul mu’tabarah Dalam tarekat, disebut muktabarah itu
(kitab-kitab muktabarah); dan kedua, adalah tarekat yang bersambung sanadnya
tarekat, dengan nama al-tariqat al-mu’tabarah kepada Rasulullah Muhammad Saw. Nabi
(tarekat muktabarah). Setiap kelompok atau Muhammad Saw. sendiri menerima dari
organisasi Islam di dunia, disadari atau tidak, Malaikat Jibril As, dan malaikat Jibril As. dari
sesungguhnya menggunakan juga istilah Allah Swt. Organisasi tarekat di NU, disebut
muktabarah ini, hanya saja tidak disebut secara Jam’iyyah Ahl at-Tariqah al-Mu’tabarah al-
eksplisit. Rujukan-rujukan terhadap buku Nahdliyyah (JATMAN). Berbeda dengan al-
bacaan, tokoh panutan, dan aliran pemikiran kutub al-mu’tabarah tidak menggunakan al-
tertentu selalu menggunakan kriteria tertentu nahdliyah.
berdasarkan kesepakatan kelompok atau
organisasinya. Batasan-batasan dengan Batasan Muktabarah
muktabarah ini sesungguhnya lumrah dan
lazim adanya untuk menghindari friksi dalam Seperti disebut dalam Kamus Istilah
organisasi atau kelompok tersebut. Keagamaan (2015) istilah muktbarah ini
terkait pada dua hal, yaitu aliran dalam tarekat
Asal Usul Muktabarah dan kitab-kitab standar yang diakui dan isinya
dianggap tidak menyimpang dari prinsip
Dalam kamus Al-Munawwir karya Kyai ajaran Islam. Seperti disebut dalam beberapa
Warson, kata al-mu’tabar diartikan yang kitab dan aliran dalam agama Islam, kalau
berhak, layak dihormati, yang dianggap, tidak selektif memang dapat menyesatkan
diperhitungkan dan dipertimbangkan. Oleh atau menjerumuskan umat.
karena kata al-mu’tabar disandingkan dengan
Jika kitab dan aliran dalam Islam
tidak masuk kategori muktabar(ah), bukan
berarti aliran dan kitab itu tidak boleh
diikuti atan menjadi bacaan. Sebab, istilah
muktabar(ah) hanya untuk pembatasan
spesifik bagi kelompok-kelompok terbatas.
Diakui atau tidak, sebenarnya, setiap
kelompok atau organisasi keagamaan itu telah
membatasi diri dari kitab-kitab yang diakui
sebagai bacaannya. Bagi kelompok tertentu,
misalnya, kitab fiqh karya orang Syi’ah tidak
boleh dibaca, sekalipun kelompok ini tidak
pernah menggunakan istilah muktabar(ah).
Edisi Budaya | 305
Sejarah Kata Muktabarah Desember 1983. Adapun tarekat muktabarah
nahdliyah sendiri diputuskan pada Muktamar
Oraginasasi kelompok agama di Indonesia NU ke-26 di Semarang, 5-11 Juni 1979.
yang secara khusus menyebut istilah kitab- Saat itu, KH. Sahal Mahfudh sebagai
salah seorang pemimpin sidang pada
kitab muktabar(ah) dan tarekat muktabarah Muktamar tersebut pernah menentang
pendapat terkait dengan kitab-kitab mu’tabar
adalah Nahdlatul Ulama (NU). Salah satu tersebut. Pertama, kriteria muktabar yang
mengunggulkan pendapat imam tertentu
organisasi Islam tertua di Indonesia tersebut, dan merendahkan pendapat yang imam lain,
sudah menyalahi kaidah al-ijtihad la yunqadhu
menyepakati pengistilahan tersebut melalui bi al-ijtihad. Kedua, semestinya gunakan
kaidah khudz ma shafa wa da’ ma kadara
mekanisme organisasi, (ambillah yang jernih dan tinggalkan yang
keruh). Namun, para kyai pada saat itu, lebih
menggunakan sikap syaddan li adz-dzari’ah
(preventif), supaya umat tidak terjerumus,
maka kitab-kitab seperti yang mengkritik
tawassul, praktik tarekat, antara lain Ibnu
Taimiyyah atau Ibnul Qayyim sebaiknya
dilarang. Ketiga, perlu dihindari fanatisme
bermadzhab, juga kitab-kitab yang ditolak itu
tidak semuanya bertentangan dengan sunni.
Keempat, perlu tetap dipertimbangkan latar
budaya masyarakat bisa diterima oleh semua
komunitas yang majemuk.
Masa Depan Term Muktabarah
Istilah muktabar(ah) adalah istilah
seperti Musyawarah Nasional
Alim Ulama dan Muktamar
NU tingkat Pengurus
Besarnya, PBNU.
Kitab-kitab Muktabarah
di NU disebut dengan Al-
kutub al-mu’tabarah fi masa’il
al-diniyyah, yaitu kitab-kitab
‘ala al-mazhab al-arba’ah.
Demikian disebut dalam
hasil keputusan Munas Alim
Ulama PBNU di Situbondo, 21
Habib Luthfi bin Yahya, dalam
Musyawarah Nasional Jatman
2015 di Kalimantan Timur
306 | Ensiklopedi Islam Nusantara
yang netral, dan setiap kelompok organisasi termasuk tarekat tua di Indonesia adalah di
keagamaana juga berhak menggunakannya antaratarekatyangmuktabarah.Perkembangan
di manapun. Secara fitrah, setiap orang/ tarekat muktabarah di Indonesia mutakhir
kelompok dengan sendirinya akan memilih memang hanya melalui JATMAN PBNU saja,
dan menentukan jenis kitab-kitab apa saja yang terlihat eksistensinya. Kharisma Ketua
yang sesuai dengan diri/kelompok tersebut. Umumnya KH. Habib Muhammad Luthfi bin
Yahya di JATMAN sungguh sangat memesona
Bagi kitab-kitab Muktabarah di NU selalu bagi para pengikut tarekat. Dalam JATMAN
mengacu pada Imam Mazhab, jika berkaitan sudah ada cerita/kategori tentang muktabarah
dengan fikih Islam, yakni Imam Malik, Imam atau tidak. Akhirnya, dengan JATMAN, silsilah
Syafi’i, Imam. Hanafi, dan Imam Hanbali, serta tarekat dan ajarannya semakin berkembang
para pengikutnya, seperti dalam sebutannya, pesat lagi di Indonesia.
Syafi’iyyah, Malikiyah, Hanafiyah, dan
Hanabilah. [Mahrus el-Mawa]
Adapun dalam tarekat sendiri,
sekurangnya, tarekat Syatariyah misalnya,
Sumber Bacaan
El-Mawa, Mahrus, dkk. Kamus Istilah Keagamaan: (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, Khonghucu). Jakarta: Puslitbang
Lektur dan Khasanah Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI, 2015
Ni’am, Syamsun. Wasiat Tarekat Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari, Jogjakarta: Ar-Ruz Media, 2011
Masyhuri, Aziz. (editor). Permasalahan Thariqah: Hasil Kesepakatan Muktamar & Musyawarah Besar Jam’iyyah Ahlith
Thariqah al-Mu’tabarah Nahdlatul Ulama’, Surabaya: Khalista, 2006, cet. II.
Masyhuri, Aziz. Enskiklopedi 22 Aliran Tarekat dalam Tasawuf, Surabaya: Imtiyaz, 2011.
Mulyati, Sri(et.al.), Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia, Jakarta: Prenada Media, 2004
Tim PW LTN NU Jatim, Ahkamul Fuqaha: Solusi Problematika Aktual Hukum Islam, Keputusan Muktamar, Munas, dan
Konbes Nahdlatul Ulama (192602004), Jawa Timur: Khalista, 2007. Cet. III.
Edisi Budaya | 307
Munggah Molo
Omah atau dalam bahasa Jawa omah, berhubungan dengan alam “yang lain”.
adalah bagian dari ruang budaya Sesajian dalam hal ini dapat dilihat sebagai
yang paling diakrabi manusia media berkomunikasi dengan Sang Pencipta
dalam meniti kehidupan. Bagian dari adat Jagad Raya ini (Purwadi, 2005: 103). Maka
nusantara yang dikemas dalam adat religi tradisi Munggah Molo perlu dipahami dalam
dan budaya telah melahirkan berbagai ritual konteks kosmologi Islam Jawa sebagai warisan
yang mencerminkan kedalaman batin dari Islam nusantara.
warganya. Hal ini juga tercermin dalam
prosesi omah-omah (mendirikan rumah), yang Pelacakan Makna dan Perkembangannya
salah satu tahapannya adalah ritual munggah
molo, yakni tahapan setelah buka pendemena Munggah molo adalah ritual selamatan
(pondasi), saat kayu-kayu penyangga akan yang mengiringi dinaikkannya atap tertinggi
dinaikkan. dari rumah yaitu bagian atas/atap (bubungan
rumah) yang sedang dibangun. Ritual adat
Munggah molo menjadi salah satu wujud ini diselenggarakan ketika bagian-bagian
upacara tradisional khususnya di Jawa. Orang bangunan yang mengelilingi rumah atau
Jawa tidak ingin kehilangan momentum dinding sudah berdiri tegak dan berbagai
atas suatu peristiwa atau momen yang ragam kayu penyangga genting dan joglo
sangat penting bagian dari hidupnya yang di pencu siap untuk di pasang (Said, 2012: 90);
dalamnya sarat simbol dan makna yang patut Ula, 2010; 4).
jadi tuntunan. Simbol memiliki peranan yang
penting dalam sebuah upacara atau ritual Jawa Ritual munggah molo sering disebut
bagi umat Islam. Bahkan ritual-ritual dalam dengan munggah kayu (menaikkan kayu molo).
tradisi Jawa tersebut bisa berfungsi sebagai Dari bahasa Jawa munggah berarti “naik”.
alat penghubung antar sesama manusia juga Dalam tradisi munggah molo, naik disini
bisa befungsi sebagai penghubung antar berkaitan dengan menaikan tiang tertinggi
manusia dengan benda dan antar dunia nyata untuk atap rumah yang sering disebut sebagai
dengan dunia gaib (Purwadi, 2005: 126). ”blandar”. Simbol dari kata ”munggah” dalam
upacara munggah molo adalah peningkatan
Apalagi dalam ritual Munggah Molo kualitas makna hidup seseorang, yakni
juga sarat dengan simbol-simbol dalam calon pemilik rumah sekeluarga. Sementara
perlengkapan upacara, yang diwujudkan bahasa Jawa molo diambil dari kata ”polo
dalam bentuk sarana material khas Jawa (kepolo)” yang berarti kepala. Ada juga yang
yang tak terpisahkan dari sebuah tradisi mengartikan juga sebagai ”otak”. Sementara
upacara tersebut. Kesalahan atau kekurangan molo sendiri diartikan sebagai bagian tertinggi
perlengkapan dalam suatu ritual Jawa dari sebuah rumah. Seperti disebutkan tadi,
dianggap kurang sempurnanya suatu proses kata molo berasal dari kata polo yang berarti
upacara yang berdampak pada maksud dan ”otak” merupakan bagian anatomi tubuh yang
tujuan penyelenggaraan upacara tidak tercapai paling atas dan terpenting sehingga manusia
secara utuh. Sebagai makhluk spiritual, bisa memiliki kemampuan berpikir yang
manusia selalu berusaha mencari jalan untuk
308 | Ensiklopedi Islam Nusantara
membedakannya dengan makhluk lain (Ula, Prosesi Pemasangan Uba Rampe
2010: 7). Demikian juga molo dalam konstruksi Munggah Molo
rumah adalah bagian yang inti atau pusat yang
perlu diperhatikan karena akan terkait dengan Gambar 2 (Sumber: dwialfirohmatin.web.unej.ac.id/):
kekokohan sebuah rumah. Baik kokoh secar
lahir maupun batin. adalah pendidikan di rumah (keluarga) Namun
berbeda ketika zaman seudah berubah, tentu
Rumah yang kokoh secara lahir adalah ada pergeseran dan penyesuaian akan terjadi.
ketika konstruksi bangunan mengguanakan
bahan bangunan terpilih, termasuk ketika Maka agar keberadaan rumah tersebut
menggukan kayu, bukan sembarang kayu, nantinya biar benar-benar mampu membawa
kalau perlu kayu jati, dalam pengertian keberkahan dan menaikkan derajat sosial
“sejati” yang dianggap bermutu tinggi. Ibarat dan spiritual dalam hidup bermasyarakat,
peribahasa “tak ada rotan, akar pun jadi”. maka dianggap perlu melakukan ritual
Artinya tidak harus dipaksakan, kalaupun munggah molo yang substansinya adalah
beaya tidak bisa mencukupi, sehingga tidak bisa sebuah kesadaran transendental dengan
menggunakan kayu jati, prinsip menggunakan berdoa penuh ikhlas agar impian dan harapan
kayu terpilih selain jati yang tumbuh dari segera tercapai. Kalaupun kemudian dalam
kebun atau pekarangan juga dimungkinkan. prakteknya memanfaatkan ubo rampe (barang-
Zaman kuno sudah kebiasaan ketika ingin barang khusus), itu hanyalah sebagai wujud
membangun rumah, biasanya kayu-kayu yang cara komunikas kepada Sang Pencipta dengan
dipergunakan adalah dari pekarangan sendiri menjadikan ubo rampe sebagai bahasa simbolik
yang ditanam oleh nenek moyangnya. Dimana dalam sistem komunikasi khas Jawa.
ada penebangan pohon karena misalnya
untuk pembangunan, maka dibarengi dengan Maka perlu dipahami dengan ngelmu
menanam pahon lain sebagai tambal sulam rasa. Ngelmu rasa yang paling tinggi adalah
dari pohon yang ditebangi. Ini adalah wujud rasa tauhid, yakni ilmu tentang keEsaan
menjaga keseimbangan lingkungan. Tuhan, suatu proses kepada penemuan kepada
kegaiban Tuhan (Endraswara, 2016: 132).
Sementara rumah yang kokoh secara batin Dalam tasawuf sering disebut ma’rifatullah
adalah rumah yang mampu berfungsi sebagai atau manunggaling kawuli ing Gusti dalam
media pemagangan kultural atas nilai-nilai sufisme Jawa (Endraswara, 2016: 230). Maka
Islam yang dipentaskan dalam relasi sosial antar ritual munggah molo dalam pengertian itu,
anggota keluar dan lingkungan sekelilingnya. dapat dipahami sebagai jalan ma’rifat dalam
Menjadikan rumah sebagai madrasah (tempat mementaskan rumah hunian yang sedang
belajar) bagi anggota keluarga dan masyarakat didirikan tersebut agar benar-benar menjadi
sekitar. Maka ada sebagian orang Jawa yang media kasampurnan, menuju tatanan hidup
menyebut omah atau rumah sebagai pondokan. keluarga yang lebih sempurna.
Sekelompok orang Jawa kuno yang menyebut
omah sebagai pondokan benar-benar berfungsi
sebagai wahana pewarisan nilai-nilai budi
pekerti yang adiluhing yang dipegang teguh
oleh para leluhurnya. Bahkan mereka sudah
merasa cukup mencerdaskan putra-putrinya
di pondokan alias di rumah saja, sehingga
tak merasa penting menyekolahkan putra-
putrinya ke sekolah formal (Said, 2012). Pola
pondokan seperti ini ketika sudah benar-benar
bisa berfungsi sebagai pendidikan keluarga
yang kokoh, tidak perlu lagi sekolah formal.
Apalagi pendidikan pertaman dan utama
Edisi Budaya | 309
Aneka Ubo Rampe dan Pesan Simbolik Ingkung ayam jago dan tumpeng
Begitu dalamnya makna omah-omah, Gambar 3 (Sumber: gedangsari.com)
maka proses mendirikan omah itu laksana
punya gawe besar sehingga setiap tahapan ayam jago juga sarat dengan pesan, agar
proses mendirikan atau membangun rumah dalam berumah tangga siap menjaga
ada ritual dengan prosesi dan pesan tertentu. kesetiaan atau rukun hingga akhir hayat.
Beberapa peralatan (ubo rampe) munggah molo Hal ini tentu tidak seperti ayam jago yang
dalam mendirikan rumah itu antara lain: berganti-ganti pasangan, bahkan ketika
bobon pasangannya sedang angkrem,
(a) Klebet (bendera) warna merah putih si jago tega-teganya mencari babon lain
sebagai wujud kesadaran kebangsaan untuk memenuhi nafsu syahwatnya.
dalam membangun rumah tangga adalah Maka nafsu kejagoan seperti itu harus
bagian dari keluarga besar Indonesia. diikat atau dikendalikan agar dalam
Warna merah menunjukkan perlunya mengarungi bahtera rumah tangga di
keberanian dalam mengambil keputusan rumah baru tersebut penuh dengan
berumah tangga dengan tetap pada jalan harmoni sebagai bagian dari falsafah
yang benar yang disimbolkan dengan hidup Jawa (Endraswara, 2016: 38).
warna putih.
(e) Tumpeng dengan tujuh lauk-pauk: Tumpeng
(b) Tebu beserta daunnya yang bermakna yaitu penyajian nasi beserta lauk-pauknya
anteping kalbu, yaitu kuatnya niat dan dalam bentuk kerucut seperti gunung.
terbebas dari keraguan bahwa samudara Olahan nasi untuk tumpeng umumnya
kehidupan harus segera dilalui dengan berupa nasi kuning, meskipun sering
penuh optimisme meskipun ancaman juga menggunakan nasi putih biasa
badai tetap ada. atau nasi uduk. Penyajian tumpeng
biasanya di atas tampah (wadah bundar
(c) Anak pisang satu batang, sebagai simbol tradisional dari anyaman bambu) dan
tunas yang mudah tumbuh-berkembang. dialasi daun pisang. Tumpeng merupakan
Karena itu diharapkan rumah tersebut akronim dalam bahasa Jawa : yen metu
menjadi saran menumbuhkembangkan kudu sing mempeng (bila keluar harus
generasi yang baik antara lain adanya dengan sungguh-sungguh). Disamping
fungsi peturon. itu tumpeng juga mirip gunung merapi
yang banyak ditemukan di Jawa. Dalam
(d) Setandan pisang raja yang sebagian sudah kosmologi Jawa, puncak gunung sebagai
matang; sebagai perlambang pentingnya sudut tertinggi adalah simbol kesadaran
kepemimpinan (raja) yang tegas dalam spiritual, sementara dua sudut bawah
keluarga yang harus dipatuhi oleh segenap adalah relasi manusia dengan alam yang
anggota keluarga selagi pada jalur jalan tunduk kepada Sang Pencipta. Sedangkan
yang benar.
(e) Padi dua unting (ikat): sebagai perlambang
kemakmuran agar mendapatkan
kemurahan rizki dari Yang Maha Memberi
Rizki sehingga terpenuhi sandang pangan.
(f) Ingkung. Ingkung adalah salah satu ubo
rampe dalam ritual Jawa yakni berupa
ayam jago kampung yang dimasak utuh
dan diberi bumbu opor, kelapa dan daun
salam. Ingkung ada yang memaknai
“ingkar” (mengingkari atau menjauhi).
Artinya mengingkari dan menjauhi sifat-
sifat sombong sok jagoan. Keberadaan
310 | Ensiklopedi Islam Nusantara
tujuh lauk mengambil makna angka tujuh melimpah kepada segenap keluarga lain di
yang dalam bahasa Jawa disebut pitu rumah (Ula, 2010: 5).
sebagai sebuah harapan akan pitulungane
Gusti Allah. Makna tersebut dalam Islam Sementara pada pagi harinya perlengkapan
Jawa sering diambil dari QS. Al Isra: yang lain seperti pisang raja, seonggok padi
80: “Ya Tuhan, masukanlah aku dengan yang sudah menguning dan seikat tebu,
sebenar-benarnya masuk dan keluarkanlah kesemuanya diikat dan digantungkan pada
aku dengan sebenar-benarnya keluar serta kayu blandar. Dalam hal ini blandar-nya dihias
jadikanlah dari-Mu kekuasaan bagiku dengan ubo rampe tersebut, lalu dinaikkan dan
yang memberikan pertolongan” (Pustaka dipasang pada posisinya. Sementara di tengah-
Ilmu Sunni Salafiyah, 2015: 934). Mak tengah kayu tersebut dibungkus dengan kain
berbagai kegiatan yang menggunakan merah putih (seperti bendera Indonesia)
tumpeng, termasuk tradisi munggah molo, sebagai wujud kesadaran bagian dari keluarga
juga bagian dari slametan yang disebut Indonesia.
tumpengan.
Warna putihnya sebagai simbol kesucian
(g) Paku emas: Emas ada logam mulia. Paku dan sekaligus kebajikan yang senantiasa
emas kuno dulu bukan sembarang orang harus diperjuangkan dalam meniti hidup
yang membuat, tetapi seorang empu di rumah yang sedang dibangun tersebut.
yang memiliki kemuliaan budi pekerta Sehingga di rumah tersebut nantinnya bukan
(Ula, 2010: 6). Sebagaimana sifat emas sekedar tempat untuk tidur (istirahat), tetapi
juga yang mulia juga melambangkan budi sebagai wahana dalam memperjuangkan
perkerti manusia yang luhur, bijak, serta kebajikan sehingga rumah benar-benar bisa
jujur. meneduhkan bagi keluarga dan mampu
menfasilitasi terajutnya kebahagian di dunia
Makna Proses Upacara Munggah Molo dan akhiratnya. Sehingga rumah menjadi
surga bagi penghuninya.
Prosesi Munggah Molo biasanya
dilaksanankan pada hari yang dianggap baik Sementara seikat padi yang juga turut
oleh orang pinter. Maka penentuan hari juga diikatkan pada kayu menandakan sebuah
konsultasi dengan para sesepuh di kampung harapan agar rumah tersebut nantinya
tersebut. Pelaksanaannya biasanya malam memperlancar bagi penghuninya dalam
hari dengan mengundang mengundang para mencari nafkah (golek pangupa jiwa) sebagai
tetangga sekitar rumah, termasuk para tukang prasarat dalam mempertahankan hidup,
yang mengerjakan membuat rumah, serta sehingga penghuninya tidak akan kekurangan
tidak lupa para sesepuh, atau Kiai kampung pangan dan selelu dalam kecukupan. Maka
sebagai ”kidung” yang berarti ”kiai ndunga” ketika padi disandingkan dengan merah putih,
atau kiai berdoa. hal ini menjadi sebuah visi berhuni yang
Kalau jaman dahulu kidung diisi dengan Suasana doa bersama dalam Ritual Munggah Kayu
kidung (lagu) dan puji-pujian, sekarang
biasanya diisi dengan tahlilan, solawatan, Gambar 1 (Sumber: dwialfirohmatin.web.unej.ac.id/)
atau manaqiban. Manaqiban yang biasa dibaca
adalah manaqiban Syekh Abdul Qodir Jailani
dengan seperangkat ayam ingkung dan ubo
rampenya. Setelah doa selesai salah seorang
memotong-motong ayam yang kemudian
dimasukan ke piring atau bungkusan daun
pisang. Sebagian biasanya dinikmati di tempat,
dan ketika pulang juga tetap dibawakan bagian
untuk keluarga di rumah. Agar berkahnya juga
Edisi Budaya | 311
saling melengkapi bahwa rizki (pangan) yang atau menanamkan benih-benih (simbol pohon
didapatkan nantinya hendak diorientasikan tebu dan tunas pisang) kabajikan (putih) meski
pada penegakan kebajikan (putih) meski hambatan dan rintangan akan menghadang
dengan butuh semangat perjuangan yang sehingga butuh kobaran api perjuangan
membara (merah). (simbol warna merah).
Sementara pohon tebu segar yang masih Yang tidak lupa adalah ada pemasangan
berakar dan berdaun serta anak pisang yang paku emas, pada kayu blandar. Dalam istilah
turut dikat pada kayu juga sebagai penanda Jawa ”blandar” juga dipahami sebagai bos atau
bahwa pendirian rumah disadarai dengan juragan yang sangat berperan bagi anggota
tekad yang kuat (anteping kalbu, dilambangkan anak buahnya. Sebagaimana fungsi blandar
tebu) dan sekaligus isyarat awal penanaman dalam rumah juga penyangga utama yang
bibit positif (hal-hal yang baik) bagai tebu berhubungan dengan kekokohan bagian-
yang berakar dan berdaun sehingga tinggal bagian rumah sehingga kuat secara lahir dan
menancapkan pada lahan yang sudah batin (Said, 2012). Kayu ini biasanya lebih
disiapkan. Rumah adalah sebagai lahan besar dari kayu yang lainnya, karena menjadi
(wahana) atau dalam bahasa Jawa sebagai tumpuan dari kayu-kayu yang lainnya.
kawah candradimuka bagi generasi bangsa Pemasangan paku emas di blandar sebagai
agar mampu menumbuhkan kader-kader yang lambang kemuliaan agar rumah tersebut
bervisi merah putih. menjadi hunian dan sebagai pusat pemagangan
kultural bagi anggota keluarganya agar
Kombinasi wujud tebu yang berdaun dan “terpaku” nilai-niai moral yang baik menuju
berakar, seikat padi dan dan kain merah putih pribadi yang berkahlak mulia sebagai sifat
adalah ekspresi simbolik dalam ritual munggah emas yang mulia. Itulah bagian dari upaya
kayu agar penghuninya selalu ingat visi memperkuat dimensi batin dari rumah itu.
hidup dalam berhuni di rumah bahwa hidup Sehingga sempurnalah rumah yang dihuni
bukanlah untuk makan saja, tetapi makan diharapkan menjadi pusat pemagangan
adalah sekedar untuk mempertahankan hidup. kultural dalam dimensi lahir maupun batin.
Sementara kehidupan yang bernilai tersebut
harus diorientasikan untuk menumbuhkan [Nur Said]
Sumber Bacaan
Endraswara, Suwardi, Prof. Dr., (2016). Falsafah Hidup Jawa, Menggali Kebijakan dari Intisari Filsafat Jawa. Yogyakarta:
Cakrawala
Purwadi. (2005). Upacara tradisional Jawa, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Pustaka Ilmu Sunni Salafiyah. (2015), Kumpulan Tanya Jawab Keagamaan, Jogja: PISS-KTB.
Said, Nur, (2012b). “Strategi Saminisme Dalam Membendung Bencana Perlawanan Komunitas Sedulur Sikep terhadap
Rencana Pembangunan Pabrik Semen di Sukolilo Pati,” dalam Agama, Budaya dan Bencana, Kajian Integratif, Ilmu,
Agama dan Budaya, Bandung: Mizan.
Said, Nur. (2012). Tradisi Pendidikan Karakter dalam Keluarga, Tafsir Sosial Rumah Adat Kudus. Kudus: Brillian Media
Utama.
Ula, Miftahul. (2010). “Tradisi Munggah Molo Dalam Perspektif Antropolagi Linguistik”, dalam Jurnal Penelitian, Volume
7, Nomor 2, Nopember 2010
312 | Ensiklopedi Islam Nusantara
Muqoddaman
Muqoddaman adalah sebuah tradisi sanah, dan perpisahan. Sehingga, sekalipun
pembacaan Al-Quran di daerah sebagai sebuah istilah itu independen, tetapi
Jawa bagian tengah, terutama dalam praktik di masyarakat selalu ada
di Yogyakarta. Tradisi ini serupa dengan kegiatan lain. Oleh karena itu cakupan istilah
khataman atau khatmil Qur’an, yaitu muqaddaman tidak dapat dipisahkan dengan
pembacaan Al-Qur’an hingga (khatam) 30 juz, aktifitas lainnya.
baik bin nadhar (membaca) maupun bil gaib
(hafalan). Dalam membaca atau menghafal Al- Konteks Muqaddaman
Qur’an tersebut, seringkali juga didengarkan
oleh umat Islam lainnya yang hadir. Oleh Sebagaimana penjelasan kata
karena itu, muqaddaman, selain serupa dengan
khataman Al-Qur’an, juga seringkali disebut muqaddaman sebelum ini, maka definisi
dengan Semaan Al-Qur’an. Bagi umat Islam
yang tidak ikut dalam muqaddaman, maka muqaddaman sesungguhnya tidak dapat
dia hanya menyimak (semaan) Al-Qur’an saja.
Pelaksanaan muqaddaman ini selalu dilakukan dilepaskan dari the living Qur’an. Umat Islam di
awal sebelum acara-acara lain yang ikut serta,
seperti mujahadah, halal bihalal, dan membaca Indonesia pada dasarnya berharap Al-Qur’an
shalawat.Waktu pelaksanaan itulah seringkali
sebagai pembeda dengan tradisi serupa, itu dapat diamalkan isi dan ajarannya dalam
seperti tadarus, khataman, dan semaan.
kehidupan sehari-hari dengan sebaik-baiknya.
Arti Muqaddaman
Muqaddaman sebagai tradisi pembacaan Al-
Dalam kamus A Dictionary of Modern
Written Arabic, disebutkan muqaddaman Qur’an secara kolektif sebelum acara atau
diartikan in advance dan beforehand. Kedua kata
tersebut bermakna sama, yaitu sebelum acara kegiatan dapat menjadi pintu masuk umat
dimulai.Secara sosiologis, kata muqaddaman
ini menjadi tradisi baru bagi umat Islam di Islam dapat mengamalkan isi kandungannya.
Indonesia setelah tradisi-tradisi sebelumnya
dalam pembacaan Al-Qur’an. Istilah selama Sebagai contoh kasus, kegiatan
ini untuk tradisi pembacaan Al-Qur’an dengan muqaddaman di MAN Wonokromo Bantul
bersama-sama masih terbatas dengan istilah Yogyakarta. Kegiatan muqaddaman ini
tadarus, semaan, dan khataman. dilaksanakan oleh seluruh sivitas akademik
MAN Wonokromo. Seperti diberitakan oleh
Istilahmuqaddamandalampelaksanaannya
selalui menjadi awal kegiatan-kegiatan yang
menyertainya, seperti dies natalis, akhirus
Edisi Budaya | 313
Bacaan Al-Quran akan mampu melembutkan
hati. Siswa yang berhati lembut akan lebih
mudah untuk diajak dan diarahkan ke jalan
kebaikan.”
website Kemenag Bantul, pemaknaan dan Sejarah Muqaddaman
tujuan muqaddaman sebagai berikut:
Tradisi muqaddman, sekalipun termasuk
“Muqaddaman adalah kegiatan membaca tradisi baru tetapi bukan tradisi yang baru
al-Quran secara bersama-sama, satu orang sama sekali. Sebab, tradisi serupa sebenarnya
satu juz, hingga khatam 30 juz dalam satu sudah ada, seperti khataman al-Qur’an,
waktu. Pagi itu, lantunan Al-Quran gemuruh, tadarus dan semaan Al-Qur’an. Muqaddaman
menggema, membahana di kampus MAN tersebut menjadi tradisi menarik bagi umat
Wonokromo. Setiap siswa dan guru seolah Islam di Yogyakarta, karena meramu istilahnya
berburu penuh semangat untuk segera dengan menyertakan khataman dan semaan
mengkhatamkan Al-Quran satu juz. Siswa Al-Qur’an.
yang mampu khatam lebih cepat segera
membantu teman lain yang masih kurang. Sekitar akhir tahun 1980an di Yogyakarta,
Alhasil dalam waktu 45 menit siswa telah majlis Zikrul Ghafilin bimbingan KH. Hamim
berhasil menyelesaikan bacaannya.” Jazuli (Gus Miek), kyai dari Pesantren Lirboyo
Kediri, selalu mengadakan mujahadah secara
“Kegiatan muqaddaman ini bertujuan rutin setiap bulan sekali. Dalam rangkaian
untuk mendekatkan anak terhadap Al-Quran, mujahadah tersebut, semaan dan khataman Al-
semakin mencintai Al-Quran, dan berakhlak Qur’an selalu menjadi kegiatan pembukanya.
baik melalui barokahnya Al-Quran. Semangat Muqaddaman menjadi sejarah baru bagi
kebersamaan turut memotivasi siswa untuk warga Yogyakarta, terutama kelas ekonomi
lebih sering mengaji dan mengkaji Al-Quran. menengah muslimnya. Sebab, pada acara
tersebut inisiatornya dimulai dari keluarga
keraton Yogyakarta.
Muqaddaman ini selaras dengan semaan
Al-Qur’an, membaca Al-Qur’an, dan tadarrus
Al-Qur’an secara berjamaah/kelompok. Oleh
karena itu, dengan istilah-istilah serupa
tersebut, muqaddaman akan lebih fleksibel lagi.
Belakangan, muqaddaman diselenggarakan di
sekolah dan kampus perguruan tinggi.
[Mahrus el-Mawa]
314 | Ensiklopedi Islam Nusantara
Mursyid
Sebutan untuk seorang guru pembimbing Perbedaan kata mursyid dalam tasawuf dengan
dalam dunia tarekat yang telah mursyid dalam bahasa Arab yang biasa adalah
memperoleh izin dan ijazah dari guru jika mursyid dalam tasawuf, selain menjadi
mursyid di atasnya yang terus bersambung guru, juga menjadi pembimbing di dunia
sampai kepada guru mursyid shahibut untuk menuju kehidupan akherat yang abadi.
tarekat yang muasal dari Rasulullah Saw. Sehingga, antara mursyid dan murid, akan
untuk mentalqinkan dzikir/wirid tarekat terjalin hubungan bukan sekadar guru-siswa,
kepada orang-orang yang datang meminta tetapi juga pembimbing sipiritual.
bimbingannya (murid). Setiap tarekat
mempunyai sebutan sendiri, seperti dalam Sisi lain Term Mursyid
tarekat Tijaniyyah dengan sebutan muqaddam.
Sanad mursyid ini sejajar disamakan dengan Kehadiran mursyid atau guru sangat
wali Allah yang harus sampai kepada Rasulullah penting bagi seorang murid dalam laku
Saw. Oleh karena itu mursyid mempunyai tarekat. Murid artinya orang yang telah
kedudukan penting dalam tarekat. Mursyid membulatkan kemauan untuk memasuki
bukan sekadar guru biasa, seperti guru pada jalan. Pada saat itulah murid perlu seorang
sekolah atau madrasah saja, sebab bukan pemandu yang menuntunnya melalui
hanya mengajarkan ilmu dhahir, ilmu duniawi, berbagai persinggahan dan menunjukkan arah
tetapi juga ilmu batin dan ilmu ukhrawi yang tujuannya. Terdapat beberapa sebutan mulia
diperolehnya. Mursyid ini juga mempunyai yang diberikan kepada mursyid ini antara lain
silsilah kemursyidan hingga Rasulullah Saw. nasik, ‘abid, imam, syaikh, sa’adah. Nasik adalah
Dalam konteks Islam Nusantara, mursyid di orang yang sudah bisa mengerjakan mayoritas
sini berkaitan dengan tasawuf dan tarekat. perintah agama. ‘Abid adalah orang yang ahli
dan ikhlas mengerjakan segala ibadah. Imam
Arti Leksikal Mursyid adalah orang yang ahli memimpin tidak saja
dalam segala bentuk ibadah syari’ah, tetapi
Dalam kamus bahasa Arab-Indonesia, Al- juga dalam masalah ‘aqidah/keyakinan. Syaikh
Munawwir, karya Kyai Warson, kata mursyid adalah orang yang menjadi sesepuh atau yang
berarti penunjuk, pemimpin, pengajar, dan dituakan dari suatu perkumpulan. Sa’adah
instruktur. Keempat arti leksikal tersebut adalah penghulu atau orang yang dihormati
adalah makna lain dari seorang guru atau dan diberi kekuasaan penuh.
syaikh. Dalam kamus Arab-Inggris, mursyid
juga diartikan leader, guide to the right way, Dalam kitab Tanwirul Qulub fi Mu’amalat
adviser, spiritual guide, informer, grand master. ‘Allam al-Guyub, mursyid/syaikh adalah orang
Secara leksikal kata mursyid dijelaskan pula yang sudah mencapai maqam rijal al-kamal;
sebagai orang yang menunjukkan ke jalan yang seorang yang sudah mencapai sempurna suluk/
benar, guru agama, seperti dijelaskan dalam lakunya dalam syariat dan hakikat menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia. Al-Qur’an, As-Sunnah, dan Ijma’. Seorang
mursyid diakui keabsahannya itu sebenarnya
Selain istilah mursyid ini, digunakan tidak boleh dari seorang yang bodoh, yang
juga dengan istilah syaikh dan muqaddam. hanya ingin menduduki jabatan itu karena
Edisi Budaya | 315
didorong hawa nafsu belaka. 6. Mampu menjaga jarak pergaulan, seperti
dalam bercengkerama dan bersenda gurau
Seorang mursyid juga boleh melarang dengan para muridnya. Hal itu berkait
sebagian muridnya untuk menerima bai’at erat dengan bimbingan kepada muridnya
dari mursyid lainnya, jika dalam melarang itu dalam beribadah kepada Allah Swt.
untuk mengarahkan kepada kemaslahatan dengan amalan-amalan yang baik
seorang murid. Dalam istilah lainnya, mursyid
tidak boleh lengah dalam membimbing 7. Mengusahakan agar segala perkataannya
murid-muridnya kepada apa yang menjadikan bersih dari pengaruh nafsu dan keinginan,
kebaikan bagi diri mereka. Seorang mursyid terutama kata-kata yang dapat memberi
tidak boleh mengajarkan dan memba’iat para pengaruh batin muridnya.
murid tanpa mengajarakan ilmu-ilmu syariat,
jika sebagian murid masih dalam keadaan 8. Bijaksana, lapang dada, dan ikhlas.
bodoh, dan di tempat itu tidak ada orang
yang mengajar dia tentang ilmu-ilmu syariat. 9. Memberikan petunjuk-petunjuk
Artinya, ilmu syariat menjadi ilmu yang harus
menyatu pada seorang mursyid. tertentu dan pada kesempatan tertentu
Pentingnya Mursyid memperbaiki ahwal para muridnya
Tidak ada satupun tarekat dalam ilmu 10. Memberikan perhatian yang khusus pada
tasawuf tanpa seorang guru mursyid. Ada kebahagiaan rohani yang sewaktu-waktu
tanggung jawab berat bagi seorang mursyid dapat timbul pada diri muridnya yang
kepada muridnya. Seorang murid tidak dapat masih dalam bimbingan dan pengajaran
menjalankan ajaran-ajaran tarekat, tanpa
bimbingan seorang mursyid. Oleh karena itu, 11. Menjaga para murid supaya tidak takabbur
seorang mursyid harus memiliki kriteria dan karena telah memperoleh wirid-wirid
adab sebagai berikut: yang istimewa
1. Alim dan ahli di dalam memberikan irsyad 12. Mencegah para murid banyak makan,
kepada muridnya dalam masalah syari’ah/ karena hal itu dapat memperlambat
fiqh, dan tauhid/aqidah dengan sebenar- tercapainya latihan-latihan ruhani yang
benarnya, sehingga tidak ada keraguan dia berikan kepada mereka.
dari seorang murid
13. Tidak memalingkan muka ketika
2. Arifdengansegalasifatkesempurnaanhati, ada seorang atau beberapa muridnya
etika, dan segala penyakitnya sehingga menemuinya.
mengetahui cara menyembuhkannya
kembali dan memperbaiki seperti semula Mursyid dan Konteks Saat ini
3. Bersifat belas kasih dan lemah lembut Dengan memahami istilah mursyid seperti
terhadap semua orang Islam, terutama di atas, semestinya budaya baru tentang
kepada mereka yang menjadi muridnya. belajar agama melalui searching di internet
(mbah goegle) dan komunikasi melalui media
4. Mampu menyimpan rahasia para sosial yang berisi berbagi pengetahuan Islam
muridnya, tidak membuka aib mereka di yang kadang tidak jelas sumbernya, haruslah
depan khalayak. diakhiri. Sebab, belajar agama tanpa guru akan
dapat menyesatkan pemahaman diri sendiri.
5. Mampu menjaga amanah para muridnya,
seperti tidak menggunakan harta benda Pentinngya guru agama, seperti dalam
mereka dalam bentuk dan kesempatan istilah mursyid ini harus menjadi pelajaran
apapun serta tidak menginginkan apa bagi keilmuan di luar tarekat. Pada dasarnya,
yang ada pada mereka belajar tarekat dalam Islam juga belajar agama
secara umum. Sebab, tahapan-tahapan seorang
mursyid dalam memberikan ilmu agamanya
juga berangkat dari tauhid dan fikih, sebelum
316 | Ensiklopedi Islam Nusantara
kepada ajaran tarekat atau tasawuf (sufisme) Bidang akidah-akidah tauhid juga meliputi
dalam Islam. tentang etika bermasyarakat, etika beragama,
keyakinan terhadap Allah Swt., sifat-sifat-
Dalam kitab Jami’ al-Ushul fi al-Awliya’ Nya, percaya kepada ketentuan yang belum
disebutkan bahwa syarat mursyid adalah terjadi ataupun yang sudah terjadi. Semua
‘alim, orang yang ahli pengetahuan terhadap pengetahuan agama itu seorang murid akan
kebutuhan murid, baik dalam bidang fikih, dituntun atau dibimbing oleh seorang mursyid.
akidah-akidah tauhid, supaya murid tidak
ragu-ragu sehingga benar-benar dapat Ketika persoalan akidah dan fikih
memahaminya. Dengan demikian, dalam dianggap selesai, maka seorang mursyid akan
tarekat, para murid tidak mungkin belajar meningkatkan pembelajaran ilmu keagamaan
sendiri, tanpa bimbingan seorang mursyid. para muridnya melalui zikir-zikir untuk
Bidang fikih adalah pengetahuan agama terkait lebih mendekatkan diri kepada Allah Swt.
dengan cara melaksanakan ibadah shalat, Pembelajaran zikir ini juga bertahap, sekalipun
menunaikan zakat, pergi haji ke baitullah, bergantung dengan tarekat apa yang dipilih.
hubungan manusia dengan manusia lain, dst.
[Mahrus el-Mawa]
Sumber Bacaan
Jatim, Tim PW LTN NU. Ahkamul Fuqaha: Solusi Problematika Aktual Hukum Islam, Keputusan Muktamar, Munas, dan
Konbes Nahdlatul Ulama (192602004), Jawa Timur: Khalista, 2007. Cet. III.
Munawwir, Ahmad Warson Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, Surabaya: Pustaka Progressif, 1997 cet. XIV
Masyhuri, Aziz. (editor). Permasalahan Thariqah: Hasil Kesepakatan Muktamar & Musyawarah Besar Jam’iyyah Ahlith
Thariqah al-Mu’tabarah Nahdlatul Ulama’, Surabaya: Khalista, 2006, cet. II.
_____. Ensiklopedi 22 Aliran Tarekat dalam Tasawuf. Surabaya: Imtiyaz, 2011
An-Naqsyabandi, Ahmad Mustafa al-Kamsykhanawi. Jami’ al-Usul fi al-Awliya’. Surabaya: Haramain, t.tt.
Schimmel, Annemarie. Dimensi Mistik dalam Islam. Penterj. Sapardi Djoko Dmono, dkk. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2009,
cet. III.
Wehr, Hans. A Dictionary of Modern Written Arabic Arabic-English. Mu’jam al-Lugah al-‘Arabiyyah al-Mu’ashirah ‘Arabi-
Inklizi. Beirut: Maktabah Lubnan, 1961.
Edisi Budaya | 317
318 | Ensiklopedi Islam Nusantara
N
Nazham
Ngabsahi
Ngelmu
Ngrasul
Nyadran
Nazham
Secara umum, bentuk karya sastra tersusun itu iramanya menjadi terpola.
di berbagai bangsa dan kebudayaan
dapat dibedakan menjadi dua jenis: Bertolak dari penggunaan kata naẓm
prosa dan puisi. Meskipun demikian, dalam dalam tradisi kesusastraan Arab, Ya‘qūb (2010:
kesusastraan Arab, kategorisasi mengenai apa 447) mendefinisikan naẓm sebagai ungkapan
yang dapat dinilai sebagai puisi tampaknya berwazan dan bersajak. Ungkapan tersebut
menyisakan persoalan tersendiri mengingat disusun dengan cara menjaga aspek metrum
keberadaan dua bentuk ungkapan puitik dan keselarasan bunyinya. Sejalan dengan
yang menurut konvensi kesusastraan Arab akar etimologis kata naẓm, yakni merangkai
tampak serupa, namun tidak sama, yakni permata, Ya‘qūb mengibaratkan keteraturan
naẓm dan syi‘r. Satu hal yang menarik, ungkapan dalam metrum dan keselarasan
kedua istilah tersebut seringkali digunakan bunyi itu bagaikan untaian butiran kalung
secara bergantian dalam setiap pembahasan permata (2010: 447).
mengenai pembagian jenis ungkapan (kalām)
yang berlaku dalam kebudayaan Arab. Dalam Jika diperhatikan, pengertian naẓm
membagi jenis ungkapan tersebut, sebagian di atas tampak memperlihatkan sifat
ahli menggunakan istilah na£r (prosa) yang umum yang dimiliki oleh ungkapan yang
dihadapkan pada istilah naẓm (puisi), dan berbentuk naẓm, dalam arti mencakup semua
sebagian yang lain menggunakan istilah na£r ungkapan yang berwazan dan bersajak tanpa
yang dihadapkan pada istilah syi‘r. Oleh karena mempertimbangkan muatan isinya. Akan
itu, dalam batas tertentu, tumpang-tindih tetapi, jika melihat konvensi yang berlaku
dalam penggunaan kedua istilah tersebut dalam tradisi kesusastraan Arab, sifat umum
memang tidak dapat dihindari. yang dimiliki naẓm tersebut ternyata tidak
mutlak. Sebab, untuk ungkapan tertentu yang
Secara etimologis, naẓm merupakan juga terikat oleh wazn dan sajak, kalangan
bentuk maṣdar (nomina verba) dari kata kerja penyair dan kritikus sastra Arab tradisional
naẓama, yang berarti mengatur atau merangkai justru menyebutnya sebagai syi‘r.
permata. Adapun secara terminologis, menurut
at-Tūnj, kata naẓm memiliki dua pengertian. Tidak berbeda dengan berbagai bangsa
Pertama, sebagai istilah umum, kata naẓm lain di dunia, bangsa Arab sudah lama
berarti menyusun kata dan kalimat dalam mengenal tradisi kesusastraan, baik dalam
keteraturan makna dan signifikasinya. Kedua, genre prosa maupun puisi. Dari kedua genre
sebagai istilah dalam kesusastraan Arab, kata sastra tersebut, puisi Arab yang dikenal dengan
naẓm berarti penyusunan puitik; dalam arti istilah syi‘r merupakan genre sastra tertua yang
menyusun kata-kata sesuai dengan pola puitik menempati kedudukan yang sangat penting
tertentu. Pola puitik tersebut secara konsisten dalam kehidupan sehari-hari orang Arab. Ibnu
diikuti oleh pengarangnya menyangkut Khaldūn, seorang ahli sejarah kebudayaan
kaidah-kaidah tertentu mengenai urutan Arab, menggambarkan kedudukan syi‘r
kata dengan memperhatikan satuan irama dalam kehidupan orang Arab sebagai dīwān
dan ketentuan rimanya. Dengan demikian, (buku catatan) yang berisi perbendaharaan
jika kaidah-kaidah itu diikuti, ungkapan yang pengetahuan orang Arab. Melalui syi‘r orang
Arab merekam berbagai peristiwa penting yang
Edisi Budaya | 321
terjadi dalam kehidupannya serta memberikan syi‘r seperti yang diberikan oleh Ibnu Sina di
penilaian terhadap peristiwa-peritiwa itu. pihaklain,membuatIbnuKhaldūnmemberikan
pengertian dan batasan syi‘r yang tampaknya
Secara etimologis, kata syi‘r merupakan mampu menyarikan berbagai pengertian syi‘r
bentuk maṣdar (nomina verba) dari kata kerja yang diberikan oleh para kritikus sastra Arab
sya‘ara, yang berarti mengetahui, merasa, sebelumnya. Dalam konteks ini, Ibnu Khaldūn
dan mengarang sebuah syi‘r. Adapun secara (t.t.:669) memberikan pengertian syi‘r sebagai
terminologis, syi‘r tampaknya memperoleh ungkapan yang balīg yang didasarkan atas
pengertian yang berbeda-beda di kalangan metafora dan sifat-sifat rinci yang unsur-
ahli sastra Arab. Ibnu Qudāmah, misalnya, unsurnya bersesuaian dalam hal pola irama
mendefinisikan syi‘r sebagai ungkapan yang dan persajakannya dan yang sesuai dengan
berpola dan bersajak yang menunjukan stilistika Arab.
suatu makna. Sejalan dengan pengertian syi‘r
tersebut, Ibnu Qudāmah menjelaskan unsur- Jika dicermati, sepintas pengertian syi‘r
unsur formal dari sebuah syi‘r, yakni lafal, yang diberikan oleh Ibnu Khaldūn di atas tidak
makna, wazn (pola irama), dan qafiyah (sajak). secara lugas memasukkan imajinasi sebagai
Dengan ketentuan dan batasan tersebut, salah satu unsur syi‘r. Akan tetapi, dengan
berbagai ungkapan yang tidak berwazan dan memasukkan sifat balīg yang didasarkan atas
tidak bersajak dengan sendirinya tidak dapat metafora yang susuai dengan stilistika Arab,
dimasukkan sebagai syi‘r. secara tidak langsung Ibnu Khaldūn telah
memasukkan imajinasi sebagai bagian dari
Tidak banyak berbeda dengan Ibnu unsur syi‘r. Sebab, dalam perspektif retorika
Qudāmah, Ibnu Rasyīq memberi batasan dan stilistika Arab, ungkapan-ungkapan
bahwa syi‘r itu terdiri atas lafal, makna, metaforik merupakan perangkat bahasa
wazn, dan qafiyah, di samping keharusan yang imajinatif (Syaraf dan Khafājī, 1987:
adanya unsur niat. Menurut Ibnu Rasyīq, 26). Dengan demikian, dalam banyak hal,
niat menjadi unsur penting bagi syi‘r karena pengertian syi‘r yang diberikan oleh Ibnu
banyak ungkapan yang berpola dan bersajak Khaldūn tersebut tampak sesuai dengan
serta mengandung makna, namun tidak dapat pengertian syi‘r yang diberikan oleh Ibnu Sīnā.
disebut sebagai syi‘r; dalam hal ini, menurut
Ibnu Rasyīq, adalah beberapa ayat Alquran dan Melihat berbagai pengertian syi‘r yang
Hadis Nabi saw. diberikan oleh para kritikus Sastra Arab klasik
di atas, beberapa kritikus sastra Arab modern,
Semua pengertian dan batasan syi‘r di atas, seperti asy-Syāyib (1964: 298), Amīn (1967: 79),
baik dari Ibnu Qudāmah maupun Ibnu Rasyīq, dan Farūkh (1981: 41) memberikan batasan
tampak memperlihatkan penekanannya hanya bahwa tolok ukur syi‘r —di samping batasan-
pada aspek formal syi‘r. Meskipun batasan syi‘r batasan formal— adalah kemampuannya
yang diberikan oleh Ibnu Rasyīq di atas sudah dalam menggugah perasaan (emosi). Dengan
mencakup aspek makna, akan tetapi batasan batasan tersebut, berbagai ungkapan yang
makna yang dimaksud masih menyisakan berpola, bersajak, dan bermakna yang kering
persoalan. Sebab, batasan makna seperti dari unsur emosi tidak dapat disebut sebagai
itu dengan sendirinya dapat memasukkan syi‘r. Sebaliknya, berbagai ungkapan tersebut
berbagai bentuk ungkapan yang mengandung disebut sebagai naẓm (asy-Syāyib: 1964: 298;
ajaran ilmiah, seperti ilmu mengenai tata Amīn: 1967: 80; Farūkh, 1981: 41). Dengan
bahasa, fikih, dan lain sebagainya ke dalam demikian, menurut ketiga kritikus tersebut,
kategori syi‘r dengan syarat disusun dalam faktor pembeda antara syi‘r dan naẓm dalam
ungkapan yang berpola dan bersajak. tradisi kesusastraan Arab tradisional adalah
emosi.
Kecenderungan formal dari pengertian
dan batasan syi‘r yang diberikan oleh kritikus Tidak dapat dimungkiri, pembedaan
sastra Arab semacam Ibnu Qudāmah dan Ibnu terhadap naẓm dan syi‘r yang dibuat oleh
Rasyīq di satu pihak, dan keumuman cakupan para kritikus sastra Arab modern di atas jelas
322 | Ensiklopedi Islam Nusantara
sesuai dengan kenyataan yang berlaku dalam irama) tertentu dan qāfiyah (sajak). Dengan
tradisi kritik sastra Arab klasik di satu pihak demikian, wazn dan qāfiyah merupakan dua
dan tradisi penulisan kitab-kitab ilmiah di unsur terpenting yang membangun struktur
dunia Arab-Islam di pihak lain. Dalam konteks puisi Arab tradisional. Tanpa adanya wazn dan
tradisi kritik sastra Arab, meskipun pada qāfiyah, suatu ungkapan tidak dapat disebut
tataran teoritis ada perbedaan pandangan sebagai puisi, namun sebagai prosa.
mengeni pengertian dan batasan syi‘r di
kalangan kritikus sastra Arab klasik, akan Dalam sistem prosodi Arab, wazn adalah
tetapi, menurut Ibnu Khaldūn, pada tataran pola irama yang diikuti oleh penyair dalam
praktis para kritikus sastra Arab klasik itu tidak merangkai kata demi kata dalam bait-bait
mudah menilai semua jenis ungkapan yang puisi sehingga menciptakan keindahan
berwazan dan bersajak sebagai syi‘r. Dalam hal akibat adanya keserasian, keselarasan, dan
itu, menurut Ibnu Khaldūn (t.t.:669), naẓm kesimbangan rangkaian kata-kata yang
karya al-Ma‘arrī dan al-Mutanabbī yang secara digunakan dalam puisi. Pola irama tersebut
formal sebenarnya juga terikat pada sistem disusun atas dasar satuan-satuan irama yang
prosodi puisi Arab sedikit pun tidak dapat disebut dengan taf ‘īlah dalam setiap bait puisi.
dinilai sebagai syi‘r oleh para kritikus sastra Dalam tradisi perpuisian Arab tradisional,
Arab klasik. Sementara itu, dalam konteks dikenal ada sepuluh satuan irama: fa‘ūlun,
tradisi penulisan kitab-kitab ilmiah, seringkali mafā‘īlun, mufā‘latun, fā‘i lātun, fā‘ilun, fā‘ilātun,
para pengarang kitab-kitab ilmiah itu terlihat mustaf ‘ilun, mutafā‘iilun, maf ‘ūlātun, dan
secara sadar menyebut karya-karya ilmiahnya mustaf ‘ilun.
yang ditulis dengan mengikuti kaidah prosodi
Arab sebagai naẓm atau manẓūmah, bukan syi‘r. Satuan-satuan irama di atas yang diatur
dengan pola tertentu menyangkut tinggi-
Muatan ilmiah dalam naẓm di satu pihak rendahnya irama dalam puisi pada gilirannya
dan keterikatan naẓm dengan kaidah-kaidah membentuk baḥr (metrum). Penamaan tinggi-
prosodi sebagaimana yang berlaku dalam rendah pola irama dalam puisi Arab tradisional
penulisan syi‘r Arab di pihak lain, membuat sebagai baḥr, yang secara harfiah berarti laut,
beberapa kritikus sastra Arab, seperti ¬aif itu karena irama puisi Arab menyerupai tinggi-
(1987: 318), Haddārah (1963:254) dan ar- rendahnya gelombang laut. Dengan demikian,
Rāfi‘ī (1997:137) tetap memasukkan naẓm baḥr dalam puisi Arab tidak lain adalah pola
sebagai bagian khazanah syi‘r Arab. Menurut irama yang terbentuk akibat keteraturan
para kritikus tersebut, naẓm ilmiah merupakan satuan-satuan irama sesuai dengan tinggi-
puisi didaktis (asy-syi‘r at-ta‘līmī) dalam tradisi rendahnya irama itu sendiri. Dalam tradisi
kesusastraan Arab-Islam. Dalam konteks ini, perpuisisan Arab tradisional, baḥr atau
naẓm ilmiah dimaksudkan untuk mengajarkan metrum yang berlaku jumlahnya mencapai 16:
kepada manusia mengenai berbagai ilmu aţ-ţawīl, al-madīd, al-basīţ, al-wāfir, al-kāmil,
pengetahuan dengan tujuan mempermudah al-hazj, ar-rajz, ar-ramal, as-sarī‘, al-munsariḥ,
untuk dihafal. al-khafīf, al-mu«āri‘, al-muqta«ib, al-mujta££, al-
mutaqārib, dan al-mutadārik.
Berdasarkan uraian mengenai pengertian
syi‘r dan naẓm di atas, dapat disimpulkan Dari sekian banyak baḥr yang berlaku
bahwa perbedaan di antara syi‘r dan naẓm dalam perpuisisan Arab, tampaknya
hanyalah terletak pada aspek isi: jika unsur baḥr rajaz merupakan baḥr yang paling
yang dominan adalah emosi, maka disebut mudah penyusunannya dan paling sedikit
dengan syi‘r, sedangkan jika unsur yang kesusaiannya dengan suasana perasaan. Oleh
dominan adalah muatan ilmiah, maka karena itu, baḥr rajaz lebih sering digunakan
disebut dengan naẓm. Adapun jika dilihat dari dalam naẓm yang unsur ilmiahnya dominan,
aspek bentuk, baik syi‘r dan naẓm tampak atau yang dikenal dengan asy-syi‘r at-ta‘līmī.
memperlihatkan adanya kesamaan, yakni
sebagai ungkapan yang terikat oleh wazn (pola Secara historis, dari sekian banyak baḥr
yang pernah berkembang dalam tradisi
Edisi Budaya | 323
perpuisian Arab tradisional, baḥr rajaz yang digunakan berbeda. Rajaz dengan pola
merupakan baḥr tertua, bahkan kemunculan persajakan ini dikenal dengan rajaz muzdawij
baḥr tersebut seiring dengan kelahiran puisi (Anīs, 1965: 133-138).
Arab itu sendiri. Meskipun demikian, dalam
perkembangannya baḥr rajaz mengalami Selain wazn, sebagaimana dikemukakan di
pembaharuan berkaitan dengan pola irama atas, unsur terpenting lain yang membangun
dan rima bunyinya. Dalam hal itu, para struktur puisi adalah qāfiyah. Di kalangan
penyair keturunan pada periode ‘Abbāsiyah ahli prosodi puisi Arab, qāfiyah merupakan
memainkan peran penting dalam proses unit suara yang terletak di akhir bait puisi
pembaharuan baḥr rajaz tersebut (Anīs, 1965: yang harus diulang di setiap bait puisi (‘Atīq,
127). 1987: 134). Oleh karena itu, jika huruf akhir
yang terdapat pada syaţr kedua permulaan
Sebagai baḥr tertua, dengan segala qaṣīdah berupa huruf nūn, misalnya, maka
karakteristik yang dimilinya, baḥr rajaz semua huruf terakhir syaţr kedua di semua
menempati kedudukan yang sangat penting bait qaṣīdah juga harus berupa huruf nūn.
dalam kesustraan Arab, yang tidak terbatas Kesamaan huruf akhir bait qaṣīdah tersebut
sebagai sarana ekspresi puitik, namun juga tidak hanya dalam segi jenisnya, namun juga
sebagai sarana merekam berbagai pengetahuan segi hidup dan matinya huruf, termasuk jenis
yang ada pada masa-masa pra Islam. Oleh harakatnya. Jika huruf akhir bait qaṣīdah
karena itu, seiring dengan kemajuan dunia berupa nūn mati, maka semua bait qaṣīdah juga
keilmuan Islam, tidak mengherankan jika baḥr harus diakhiri dengan huruf nūn mati. Jika
rajaz menjadi pilihan utama para ilmuwan akhir bait qaṣīdah berupa huruf hidup dengan
muslim untuk menazamkan berbagai disiplin harakat tertentu, maka semua akhir bait harus
ilmu pengetahuan. diakhiri dengan huruf hidup dengan harakat
yang sama dengan harakat huruf akhir bait
Dari segi pola irama, ada tiga variasi yang terdapat di permulaan qaṣīdah. Dengan
pola irama baḥr rajaz. Pertama, rajaz tāmm, demikian, pembahasan qāfiyah dalam puisi
yaitu rajaz yang satuan iramanya ada enam: Arab selalu berpusat pada huruf dengan
mustaf ‘ilun + mustaf ‘ilun + mustaf ‘ilun – berbagai kondisinya (‘Atīq1987: 135).
mustaf ‘ilun + mustaf ‘ilun + mustaf ‘ilun. Kedua,
rajaz mukhtaṣar, dalam hal ini ada tiga jenis. Dalam prosodi Arab, qāfiyah terbentuk
Rajaz majzū’, yaitu rajaz yang satuan iramanya dari huruf dasar yang yang menjadi pusat
ada empat: mustaf ‘ilun + mustaf ‘ilun – qāfiyah itu sendiri. Dalam koteks ini, ada enam
mustaf ‘ilun + mustaf ‘ilun, kedua, rajaz masyţūr, huruf yang dapat dijadikan pusat qāfiyah: rawī,
yaitu rajaz yang satuan iramanya ada tiga: waṣal, khurūj, radif, ta’sīs, dan dakhīl. Rawī
mustaf ‘ilun + mustaf ‘ilun – mustaf ‘ilun, dan adalah huruf shahih selain huruf huruf ha yang
rajaz manhūk, rajaz yang satuan iramanya ada terletak di akhir bait puisi; waṣal adalah huruf
dua: mustaf ‘ilun + mustaf ‘ilun (‘Atīq, 1987: 72). layyin yang timbul akibat pemanjangan harakat
rawī; khurūj merupakan huruf mad yang muncul
Dilihat dari segi pola persajakan, rajaz akibat pemanjangan harakat ha waṣal; radf
mengenal tiga pola persajakan. ada tiga jenis. merupakan huruf mad yang terletak setelah
Pertama, pola persajakan seperti kebanyakan rawī; ta’sīs merupakan huruf alif sebelum rawī
puisi yang menggunakan baḥr selain rajaz, yang dipisah oleh satu huruf; dakhīl merupakan
dalam arti hanya bait pertama yang setiap huruf hidup yang memisahkan ta’sīs dan rawī
akhir bagian bait sajaknya sama, sementara (al-Baḥrāwī, 1993: 86). Dari keenam huruf
bait-bait berikutnya hanya tiap syatr kedua tersebut, rawī merupakan huruf qāfiyah yang
yang terikat oleh sajak. Kedua, rajaz yang terpenting. Sebab, rawī merupakan huruf
setiap syaţr di setiap bait puisi terikat oleh yang dijadikan dasar bangunan qaṣīdah dan
satu sajak. Ketiga, pola persajakan yang sekaligus dasar penamaan qaṣīdah. Oleh
mengikat setiap syaţr bait puisi dengan qāfiyah karena itu, jika rawī dalam satu qaṣīdah berupa
yang sama, namun di setiap bait puisi qāfiyah huruf nūn, misalnya, maka qaṣīdah itu disebut
324 | Ensiklopedi Islam Nusantara
dengan qaṣīdah nūniyyah (Syaraf dan Khafājī, tradisi sastra yang berasal dari bangsa-bangsa
1987:234). tersebut sedikit-banyak membawa pengaruh
terhadap kesusastraan Arab. Haddārah (1963:
Dalam sejarah perkembangan 354), misalnya, berasumsi bahwa orang Arab
baru mengenal jenis syi‘r ini seiring dengan
kesusastraan Arab, perkembangan asy-syi‘r at- masuknya berbagai pemikiran pada masa
‘Abbāsiyyah. Menurut Haddārah (1963:355),
ta‘līmī itu seiring dengan kemajuan kehidupan dari berbagai kemungkinan adanya pengaruh
dari luar, kebudayaan India tampaknya yang
intelektual di dunia Arab-Islam. Akan tetapi, lebih memungkinkan membawa pengaruh
terhadap kemunculan puisi didaktis tersebut
yang menjadi pertanyaannya adalah kapan dalam tradisi kesusastraan Arab. Menurut
Haddārah, pengaruh kesusastraan India
asy-syi‘r at-ta‘līmī tersebut muncul dalam itu lebih dimungkinkan karena, pertama,
orang Arab sudah lama mengenal tradisi
tradisi kususastraan Arab, dan apakah puisi kesusastraan India, dan kedua, adanya
kesamaan karakteristik antara kesusastraan
didaktis tersebut memiliki akar dari tradisi Arab dan kesusastraan India, yakni kuatnya
unsur mitologis dalam kedua tradisi sastra
kesusastraan lain? tersebut. Selain itu, menurut Haddārah
(1963:356), faktor lain yang juga memperkuat
Tidak dapat dimungkiri, seiring perluasan kemungkinan tersebut adalah hubungan
kekuasaan Arab-Islam, kontak kebudayaan antara Arab dan India yang semakin dipererat
antara bangsa Arab dan bangsa lain memang oleh tradisi keilmuan India di bidang astronomi
tidak dapat dihindari. Sebagai konsekuensinya, dan hisab, di samping juga oleh banyaknya
kontak kebudayaan itu menimbulkan penyair keturunan yang berasal dari India
pengaruh yang besar terhadap perkembangan sebagai dampak dari proses asimilasi rasial
kebudayaan bangsa Arab. Berbagai bangsa antara India dan Arab.
yang menjalin kontak kebudayaan dengan
bangsa Arab, seperti Persia, Yunani, dan India, Berbeda dengan Haddārah, ¬aif (t.t.:
merupakan bangsa yang memiliki peradaban 190; 1994: 246) justru berpendapat bahwa
yang sangat tua. Oleh karena itu, masuknya asy-syi‘r at-ta‘līmī merupakan jenis puisi yang
beberapa unsur kebudayaan dari bangsa- diciptakan oleh para penyair ‘Abbāsiyyah.
bangsa tersebut ke dalam kebudayaan Arab Pendapat ¬aif tersebut didasarkan atas bukti
dengan sendirinya meruapakan suatu hal yang banyaknya puisi-puisi yang diciptakan oleh
alami. Bangsa Yunani, misalnya, di samping sejumlah penyair ‘Abbāsiyyah mengenai
terkenal dengan tradisi filsafatnya, ia juga berbagai ilmu pengetahuan, kisah, berita, dan
dikenal memiliki tradisi sastra yang sangat biografi para tokoh.
tua, termasuk di dalamnya sastra didaktis.
Setidak-tidaknya, pada abad ke-8 SM di Meskipun pada awalnya ¬aif menetapkan
Yunani telah ada puisi didaktis yang mengenai bahwa kemunculan asy-syi‘r at-ta‘līmī itu
sejarah dewa-dewa dan berbagai pengetahuan pada masa ‘Abbāsiyyah, akan tetapi dalam
yang menyangkut teknologi pertanian pada studinya yang lain, ¬aif mencoba menelusuri
masa-masa tersebut (Haddārah, 1963: 355). akar kemunculan asy-syi‘r at-ta‘līmī pada masa
Sementara bangsa Persia, suatu bangsa ‘Abbāsiyah tersebut. Melalui penelitiannya
yang paling erat dalam menjalin hubungan terhadap teks-teks puisi pada masa Dinasti
dengan bangsa Arab, terutama pada periode Amawiyyah, ¬aif menyimpulkan bahwa asy-
‘Abbāsiyyah, juga dikenal kuat dengan tradisi syi‘r at-ta‘līmī sudah muncul pada awal abad
sastranya, bahkan tidak sedikit karya sastra pertama hijriah, dan tepatnya pada akhir
Persia yang diterjemahkan ke dalam bahasa Dinasti Amawiyyah, yang murni berasal dari
Arab pada periode ‘Abbāsiyyah (Haddārah, tradisi kesusastraan Arab. Dalam konteks ini,
1963: 91). Adapun India, tidak banyak berbeda
dengan Persia dan Yunani, juga telah mengenal
puisi didaktis yang mengandung muatan
ilmu pengetahuan tentang ilmu hitung dan
astronomi (Haddārah, 1963: 355).
Melihat kenyataan adanya kontak
kebudayaan antara bangsa Arab dengan bangsa-
bangsa lain di atas, bukan sesuatu yang aneh jika
Edisi Budaya | 325
¬aif mendasarkan argumennya atas temuan oleh para ilmuwan dalam bentuk puisi yang
bahwa pada akhir Dinasti Amawiyyah telah dikenal dengan sebagai manẓūmah atau naẓm.
ada beberapa matn tentang bahasa yang ditulis
oleh Ru’bah, seorang ahli bahasa, dalam bentuk Pertumbuhan dan perkembangan nazam
naẓm dengan metrum rajaz. Menurut ¬aif pada masa Abbasiyah yang berkaitan erat
(1987: 317-318), kemampuan Ru’bah dalam dengan perkembangan lembaga penddidikan
menyusun matn kebahasaan dalam bentuk Islam mengingat fungsinya sebagai sarana
puisi tersebut membuat kalangan linguis pada menyampaikan ilmu pengetahuan yang
masa Amawiyyah, seperti Abul Faraj, Abu ‘Amr ditandai dengan banyaknya materi ilmu
bin ‘Ala’, dan Yūnus menghormatinya. pengetahuan yang ditulis dalam bentuk nazam
tampaknya juga terjadi di kawasan Nusantara.
Bertolak dari temuan di atas, ¬aif (1987: Dalam konteks ini, nazam juga digunakan
319) melihat bahwa sejumlah teks yang untuk sebagai sarana menyampaikan ilmu
disusun oleh Ru’bah itu merupakan matn pengetahuan yang diajarkan di berbagai
tentang bahasa dalam bentuk puisi yang tidak lembaga pendidikan Islam di Nusantara. Oleh
untuk mengungkapkan kebutuhan emosional karena itu, tidak mengherankan jika lembaga-
dan rasional penyairnya, tetapi justru untuk lembaga pendidikan Islam di Nusantara,
memenuhi kebutuhan yang diperlukan oleh seperti pesantren, dayah, dan surau, juga
lembaga pendidikan dan pengajaran bahasa. menggunakan kitab-kitab dalam bentuk
Dengan demikian, menurut, ¬aif, matan-matan nazam sebagai materi kajiannya sampai
berbentuk rajaz itu, atau yang disebut sebagai sekarang. Kitab-kitab berbentuk nazam
urjūzah, merupakan asy-syi‘r at-ta‘līmī pertama tersebut mencakup kitab-kitab mengenai
yang ditulis dalam bahasa Arab. Lebih jauh lagi akidah, syariah, dan ilmu alat serta balagah
¬aif (1987:323) menyimpulkan bahwa urjūzah (retorika). Kitab-kitab berbentuk nazam
yang ditulis oleh Ru’bah pada masa Dinasti tersebut biasanya dihafalkan oleh para
Amawiyyah itulah yang menginspirasi penyair- santri, dan pada momen tertentu diadakan
penyair ‘Abbāsiyyah dalam menazamkan puisi pembacaan nazam secara masal sehingga
didaktisnya. dikenal dengan nazaman.
Secara historis, perkembangan asy-syi‘r Hal yang menarik,ulama-ulama
at-ta‘līmī yang pesat pada masa ‘Abbāsiyyah itu Nusantara tidak hanya menggunakan kitab-
bukanlah tanpa sebab, namun juga didukung kitab berbentuk nazam untuk diajarkan di
oleh situasi kehidupan sosial intelektual pada pesantrennya, tetapi sebagian di antaranya
periode ‘Abbāsiyyah. Sebab, seiring dengan juga mampu mengarang kitab sendiri dalam
kemajuan kehidupan sosial-intelektual bentuk nazam, yang sebagian ditulis dalam
yang dicapai oleh umat Islam pada periode bahasa Arab dan sebagian lain ditulis dalam
‘Abbāsiyyah, berbagai lembaga pendidikan bahasa lokal. Dalam konteks Aceh, nazam
yang mengkaji dan mengembangkan berbagai disebut sebagai nalam yang ditulis dalam
ilmu pengetahuan pun bermunculan (¬aif, bahasa Melayu dengan fungsi yang sama
t.t.:98-108). Dalam situasi seperti itu, dengan fungsi nazam di dunia Arab-Islam,
kebutuhan terhadap adanya metode yang yakni sebagai media menyampaikan ilmu
efektif untuk kepentingan pengajaran pengetahuan agama. Ilmu-ilmu pengetahuan
mengenai berbagai ilmu pengetahuan menjadi yang ditlis dalam bentuk nalam untuk
terasa mendesak. Oleh karena itu, sejalan diajarkan di pesantren-pesantren di Aceh
dengan kedudukan puisi dalam kehidupan lainnya juga mencakup akidah, syariah, dan
orang Arab yang memang sangat penting, syi‘ir akhlak. Sementara itu, untuk kawasan Jawa,
menjadi salah satu alat untuk menyampaikan nazam tetap disebut dengan nazam, meskipun
pengajaran kepada pelajar Haddārah (1963: bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa,
356). Dengan demikian, tidak mengherankan dengan fungsi yang sama dengan nazam Arab.
jika pada periode ‘Abbāsiyyah berbagai ilmu Sejauh sumber-sumber tekstual yang ada,
pengetahuan sebagian di antaranya ditulis Kiai Ahmad ar-Rifai Kalisalak (1786-1870)
326 | Ensiklopedi Islam Nusantara
dapat disebut sebagai kiai pesantren Jawa nazam melalui pengajaran ilmu arudh sebagai
yang pertama kali mengarang kitab berbentuk ilmu yang mengkaji prosodi puisi Arab dan
nazam dalam bahasa Jawa, yang dikenal balaghah sebagai ilmu yang, antara lain,
sebagai kitab tarajjumah. membahas stilistika Arab. Di samping faktor
talenta, berbekal ilmu-ilmu tersebut tidak
Kemampuan ulama Nusantara dalam mengherankan jika ulama Nusantara mampu
mengarang kitab dalam bentuk nazam tentu mengarang kitab berbentuk nazam, baik dalam
tidak dapat dilepaskan dari materi pengajian bahasa Arab maupun maupun bahasa lokal.
dan pengkajian di pesantren yang memang
membekali para santri kemampuan mengarang [Adib M Islam]
Sumber Bacaan
Ibnu Khaldūn. al-Muqaddimah, t.t., hlm. 662-668; as-Sāyib, Ushul an-Naqd al-Adabi, 1964, hlm. 41; Farūkh, Tarikh al-Adab
al-‘Arabi, 1981, hlm. 44.
At-Tunji, al-Mu’jam al-Mufassal fil Adabi, 1993,
At-Tunji, al-Mu’jam al-Mufassal fil Adabi, 1993,.
Ya’qub, al-Mu’jam al-Mufassal fil ‘Arudh wa al-Qafiyah , 2010,
Braginsky, On the Qasida and Cognate the Potry in the Malay-Indonesian World, 1996,.
A. Teeuw, Indonesia antara Kelisanan dan Keberakasaraan. 1994, hlm. 50-51
Braginsky, Yang Indah, Berfaedah, dan Kamal: Sejarah Sastra Melayu dalam Abad 7-9, 1988,
Liaw Yock Fang, Sejarah Kesusatraan Melayu Klasik, 2011,
Karel A. Steenbrink, Mencari Tuhan dengan Kacamata Barat, 1988,; Muzakka, Singir sebagai Karya Sastra Jawa, 2002,
Edisi Budaya | 327
Ngabsahi
Ngesahi, ngabsahi atau maknani Biasanya kiai akan menerjemahkan kitab
adalah tiga istilah berbeda dengan secara perlahan, kata demi kata sesuai
satu maksud yang sama. Ketiganya dengan aturan gramatikal bahasa Arab. Untuk
merupakan istilah yang digunakan di pesantren selanjutnya menerangkan secara bebas isi
Jawa untuk menandai tata cara pemberian kandungan itu menggunakan bahasa daerah
makna terhadap teks berbahasa Arab dalam masing-masing. Sementara itu santri dengan
kitab kuning (lihat entri kitab kuning) dengan seksama menyimak dan memperhatikan
menggunakan bahasa lokal masing-masing keterangan kiai dan mencatatnya sesuai
daerah. Di pesantren sunda istilah ini disebut dengan apa yang disampaikan. Dari sistem
dengan ngalogat. bandongan ini diharapkan santri memahami
kandungan teks secara menyeluruh, kata
Dalam praktinya ngabsahi merupakan demi kata serta memiliki kepekaan praktis
kegiatan seorang santri memberi makna dan terhadap kaidah-kaidah gramatikal bahasa
keterangan dalam kitab kuning yang berbahasa Arab. Dalam kesempatan ini kegiatan maknani
Arab berdasarkan pada keterangan seorang dapat diartikan dengan membubuhkan makna
kiai dengan menggunakan bahasa lokal demi oleh santri terhadap teks bahasa Arab sesuai
mendapatkan pemahaman yang sempurna. keterangan yang diperoleh dari kiai sekaligus
Dalam proses ngabsahi selalu mengandaikan belajar menerapkan kaidah gramatikal bahas
dua pihak yang saling aktif antara kiai yang Arab secara langsung.
memberikan keterangan secara ferbal dan
santri sebagai pendengar yang aktif menyerap Tradisi ngabsahi ataupun maknani lengkap
dan merubah keterangan tersebut menjadi dengan rumus dan kodenya ini merupakan
bentuk tulisan yang diletakkan di bawah warisan turun temurun dari para leluhur di
teks Arab dengan menggunakan rumus dan lingkungan pesantren semenjak zaman Sunan
kode tertentu yang telah disesuaikan dengan Ampel mendirikan pesantren di Surabaya pada
kaedah gramatikal bahasa Arab. Tulisan inilah abad ke 16 M hingga menyebar ke seluruh
yang kemudian disebut dengan makna gandul pelosok negeri. Saifuddin Zuhri (1987:32)
atau makna jenggot, artinya makna lokal yang menjelaskan betapa hal ini mempersatukan
ditulis bergelantungan di bawah teks Arab pola berpikir para santri dari Jawa Timur,
sebagaimana rambut jenggot yang menempel Jawa Tengah, Jawa Barat, Kalimantan, Nusa
pada dagu. Tenggara Barat, Sumatera, Sulawesi, hingga
maluku semua menggunakan sistem yang
Dengan demikian ngabsahi (juga maknani seragam. Tentunya disertai fariasi kelokalan
ataupun ngalogat) berhubungan erat dengan yang berbeda-beda.
sistem pembelajaran di pesantren yang
disebut dengan bandongan. Bandongan adalah Rumus dan kode ini telah dicetak dan
sistem pengajaran dengan mengumpulkan tersebar luas di pesantren, sebagaimana yang
sejumlah santri untuk mendengarkan telah dilakukan oleh penerbit dan toko kitab
seorang kiai membaca, menerjemahkan, Al-Hidayah Tulung agung (lihat gambar 1).
menerangkan dan mengulas isi kitab-kitab Secara ringkas di terangkan di sini adalah
berbahasa Arab (lihat entri bandongan). sebagai berikut:
328 | Ensiklopedi Islam Nusantara
Para santri sedang ngabsahi hingga di luar gedung.
Huruf ﻡ: menunjukkan kata utawi artinya Huruf ﺵ: menunjukkan kata
bermula (kedudukan gramatikalnya mubtada’) kelakuan artinya kelakuan (kedudukannya
Sya’n)
Huruf ﺥ: menunjukkan kata iku artinya
itu (kedudukannya khobar) Huruf ﻣﻂ: menunjukkan kata kelawan
artinya dengan (kedudukannya maful mutlak)
Huruf ﺝ: menunjukkan kata mongko
artinya maka (kedudukannya jawab) Huruf ﰎ: menunjukkan kata apane
artinya apanya (kedudukannya tamyiz)
Huruf ﺣﺎ: menunjukkan kata hale
atau tingkahe artinya halnya (kedudukannya Huruf ﻅ: menunjukkan kata
hal) ingdalem artinya pada (kedudukannya zhorof)
Huruf ﻉ: menunjukkan kata kerono Huruf ﻧﻒ: menunjukkan kata ora
artinya karena (kedudukannya ta’lil) artinya tidak (kedudukannya nafiyah)
Huruf ﻍ: menunjukkan kata senajan Huruf ﺱ: menunjukkan kata jalaran
artinya walaupun (kedudukannya ghoyah) artinya karena (kedudukannya sababiah)
Huruf ﻓﺎ: menunjukkan kata sopo artinya Huruf ﺹ: menunjukkan kata kang
siapa (kedudukannya fail aqil) atau sing artinya yang (kedudukannya shifat)
Huruf ﻑ: menunjukkan kata opo artinya Huruf ﺑﺎ: menunjukkan kata bayane
apa (kedudukannya fail ghoiru aqil) (artinya kondisinya (kedudukannya bayan)
Huruf ﻣﻒ: menunjukkan kata ing Selain berfungsi untuk menunjukkan
artinya pada (kedudukannya maful bih) posisi gramatikal dalam bahasa Arab, rumus
di atas juga sangat membantu para santri
Huruf ﻧﻒ: menunjukkan kata sopo, meringkas tulisan. Mengingat ketersediaan
opo, siapa artinya apa (kedudukannya naibul
fail)
Edisi Budaya | 329
ruang yang sangat sempit dan keterangan bisa dipungkiri bahwa pesantren memiliki
yang sangat luas. Karena itulah untuk tradisi pemahaman teks yang sangat kuat.
mempermudah penulisan digunakan alat Teks berbahasa Arab yang terdapat dalam
tulis dengan ujung yang sangat runcing yang kitab kuning menjadi fokus utama santri
dapat menghasilkan tulisan sekecil mungkin. dan kiai. Teks menjadi objek paling penting
Untuk keperluan ini, para santri zaman dahulu untuk dikaji. Karena teks menyimpan makna
biasanya menggunakan pen tutul. Yaitu sejenis dan pengetahuan yang mengatur hidup
pena dengan ujung sangat runcing yang terbuat seorang muslim dengan sesama manusia dan
dari kuningan atau besi dengan tintanya yang menuntunnya menuju Allah swt.
terpisah. Namun sekarang ini para santri dapat
menggunakan bolpoin modern dengan ujung Hingga kini tradisi ngesahi, ngabsahi,
tinta sangat runcing sesuai dengan ukuran maknani ataupun ngalogat masih tetap ada
yang dikehendaki (lihat gambar 1). di pesantren. tentunya dengan berbagai
perubahan sistem dan tatacara serta media. Hal
Dengan demikian ngabsahi menjadi ini menjadi bukti betapa tingginya kecintaan
wahana peralihan sebuah pengetahuan dari orang pesantren dengan ilmu pengetahuan
kiai kepada santri. Kiai yang telah memiliki serta pentingnya dokumentasi terhadap
kecakapan dalam memahami teks Arab medium pengetahuan baik itu berupa naskah,
berusaha menularkan pemahamannya karya dan juga orang-orang yang terlibat di
kepada santri. Sebagaimana dahulu ia dalamnya.
mendapatkannya dari kiainya. Dalam hal tidak
[Ulil Hadrawi]
Sumber Bacaan
Saifuddin Zuhri, 1983. Berangkat dari Pesantren.
Ahmad Hifni Al-Manduri. Tanpa tahun. Kaifiyat Al-Ma’ani bi Al-Ikhtishar. Tulungagung: Toko Kitab Al-Hidayah.
Martin van Bruinessen, 1995. Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat. Bandung: Mizan
Mastuhu. 1994. Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren. Jakarta: INIS
330 | Ensiklopedi Islam Nusantara
Ngelmu
Ngelmu merupakan turunan dari diklasifikasikan dalam lima kategori pokok.
kata Arab ilmu. Berbeda dengan Bagi orang Jawa, masyarakat dibagi ke dalam
pengertian ilmu dalam bahasa Arab lima bagian berdasarkan empat arah mata
yang menunjukkkan pengetahuan dalam angin dan titik pusatnya. Lima bagian itu
arti umum, ngelmu merupakan pengetahuan merupakan lima kategori pokok dalam asas
mengenai hal-hal yang gaib dan kekuatan- asosiasi prelogik. Klasifikasi berdasarkan
kekuatan supranatural. Dalam kebudayaan arah mata angin dan titik pusatnya tersebut
Jawa, ngelmu merupakan bagian dari sistem meresap dalam jiwa orang Jawa. Oleh karena
religi. Dilhat dari cara melakukannya, ngelmu itu, ada anggapan bahwa ada kaitan yang
memerlukan sikap tertentu dalam menghadapi erat antara berbagai gejala yang tampak yang
kekuatan-kekuatan gaib, sehingga berbeda terjadi secara bersamaan karena adanya
dengan religi. Jika dalam upacara religi kemiripan bentuk dan warna, meskipun
orang yang melakukannya mengambil sikap berbeda satu dengan lainnya dalam prinsip
penyerahan diri secara total kepada Tuhan dan fungsinya. Oleh karena itu, dalam praktik
dan melakukan permohonan kepada-Nya agar ngelmu gaib, dapat dipahami bahwa sebuah
segala hajat terkabu, maka dalam ngelmu orang nasi tumpeng dan gunung memiliki kaitan
yang mengamalkannya berusaha mencapai yang erat karena kemiripan bentuknya; padi
suatu tujuan dengan cara aktif, yakni dengan yang sudah masak yang warnanya kekuning-
cara menganggap bahwa ia mampu melakukan kuningan memiliki kaitan erat dengan emas
manipulasi dan pengendalian berbagai daun karena kesamaan warnya.
kekuatan gaib. Dalam praktiknya, sang pelaku
atau pengamal mengunakan mantra-mantra Dasar berpikir prelogik orang Jawa dapat
tertentu mencapai tujuannya. menjadikan orang yang buta huruf meyakini
bahwa tindakan-tindakan yang mirip atau
Dalam kebudayaan Jawa, diyakini ada serupa dengan sendirinya memiliki kaitan
hubungan yang saling berkaitan antara sebab-akibat. Oleh karena itu, tindakan
berbagai unsur dalam alam, lingkungan sosial, meniru sesuatu merupakan cara untuk
dan spiritualitas manusia. Untuk menjalin mencapai keadaaan yang diharapkan; dalam
hubungan dengan alam dan lingkungannya, hal ini berbagai upacara ilmu gaib yang sifatnya
orang yang menjalankan ngelmu harus meniru seringkali dilakukan oleh orang Jawa.
berpegang pada sistem klasifikasi simbolik Bagi orang Jawa, ada keyakinan bahwa dalam
yang dimiliknya berdasarkan asas asosiasi tubuh tertentu manusia, binatang, tumbuh-
prelogik.; dalam hal ini berbagai hal yang tumbuhan, benda-benda keramat, seperti
terdapat dalam lingkungan sosail dan budaya, pusaka dan jimat, ada kekuatan-kekuatan sakti
seperti organ tubuh, sifat-sifat kepribadian, (kasekten). Selain itu, kekuatan-kekuatan sakti
kondisi perasaan, hari-hari pasaran, makanan juga dapat dipancarkan melalui suara-suara
dan minuman, keselamatan, pekerjaaan, atau bunyi-bunyian tertentu yang memiliki
planet dan benda-benda runag angkasa sifat gaib, seperti japa mantra, dan bahkan
lainnya, serta makhluk-makhluk gaib lainnya melalui kutukan (sepata).
Edisi Budaya | 331
Dalam pandangan orang Jawa, kekuatan- positif, yang dgunakan untuk kebaikan
kekuatan sakti itu bisa mengandung aspek masyarakat luas. Meskipun demikian, ngelmu
positif dan bisa juga mengandung aspek gaib protektif juga mengandung unsur-unsur
negatif. Meskipun demikian, ada juga kekuatan yang sifatnya pribadi sebagai private magic,
sakti yang memang khusus positif, seperti seperti kebiasaan memelihara binatang,
pulung, wahyu, dan ndaru, dan kekuatan sakti memelihara benda-benda pusaka, dan
yang memang khusus negatif, seperti guntur perhiasan, dan batu-batuan yang berkhasiat.
dan teluh braja. Lebih dari itu, ngelmu mengeni penyembuhan
dan pengobatan merupakan yang pengetahuan
Dilihat dari penggunaannya, dalam terpenting.
kebudayaan Jawa ngelmu gaib mempunyai
empat fungsi dan tujuan yang berbeda-beda: Berbeda dengan ilmu gaib produktif
menghasilkan sesuatu, melindungi sesuatu, dan protektif yang sifatnya positif, ilmu gaib
menyakiti atau menghancurkan sesuatu, desktruktif sifatnya negatif karena dapat
dan meramal masa depan. Oleh karena itu, membahayakan dan merugikan orang lain.
berdasarkan empat fungsi tersebut, ngelmu Biasanya pelaku ngelmu gaib desktruktif
gaib dalam kebudayaan Jawa dapat dibedakan adalah para dukun, sementara yang menjadi
menjadi empat jenis: ilmu gaib produktif, ilmu korbannnya adalah saingan dan musuh,
gaib protektif, ilmu gaib destruktif, dan ilmu tetangga atau sahabat yang dianggap
gaib peramal masa depan. mengancam kepentingan pelaku atau
pengguna jasa ngelmu gaib desktruktif.
Ilmu gaib produktif merupakan ngelmu
yamh dimaksudkan untuk menghasilkan Ilmu meramal dalam kebudayaan
sesuatu yang positif, seperti untuk kesuburan, Jawa disebut sebagai ilmu petangan. Pelaku
panen yang lebih baik, dan mendatangkan ilmu gaib jenis ini adalah dukun yang memiliki
hujan. Untuk memenuhi tujuan tersebut, kemampuan khusus untuk meramal masa
ngelmu gaib produktif tersebut diadakan depan seseorang melalui teknik-teknik yang
melalui upacara religiomagis secara kolektif sifatnya universal, seperti melalui perhitungan
dengan mekanisme yang melibatkan teknik- berdasarkan hubungan antarbintang, letak
teknik yang didasarkan atas asosiasi pikiran tulang-belulang yang berserakan, jatuhnya
primitif, keyakinan terhadap kasekten dan usus ayam yang ditaburkan, pengamatan
energi gaib yang timbul akibat pembacaan terhadap arah terbang dan suara burung.
mantra tertentu. Biasanya para peramal Jawa itu menggunakan
buku pegangan yang dikenal dengan primbon.
Sebagaimana halnya ngelmu gaib
produktif, ngelmu gaib protektif juga bersifat [Adib M Islam]
Sumber Bacaan:
Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, 1984, hlm. 411
332 | Ensiklopedi Islam Nusantara
Ngrasul
Secara bahasa Ngrasul berasal dari kata ingkung; Jawa, ayam bekakak; Melayu), lampu
Ngrasuk (asal katanya “rasuk” misalnya senthir dan lain-lain serta bersedekah (selawat)
“ia dirasuki bangsa halus” yang artinya berupa sejumlah uang koin yang diletakkan di
“ia diikuti makhluk halus”) dan Rasul yakni dalam mangkok berisi air.
Nabi Muhammad SAW. Ngrasul termasuk jenis
ritual dalam kategori niat dan do’a, seperti Ngrasul merupakan bagian dari tradisi
halnya tolak balak/tolak bilahi, dan sebagainya. Kenduri (Kanduri; Persia) yaitu upacara makan
bersama yang dihadiri handai taulan, saudara,
Sebagai contoh Ngrasul untuk “niatan tetangga dan kerabat, yang diantara mereka
selamatan” bagi seseorang yang memiliki wuku terdapat pemimpin doa dari unsure kiai, ustadz,
Warigagung, Pahang, dan Matkal. Wuku sendiri tokoh masyarakat, atau orang yang dituakan.
adalah nama sebuah kesatuan waktu dalam Permohonan doa yang dipanjatkan bertujuan
7 hari yang terdiri dari 30 pekan (wuku). Ide meminta keselamatan dan dikabulkannya
dasar perhitungan wuku ialah bertemunya suatu permintaan yang diinginkan. Perbedaan
dua hari dalam system pancawara (pasar) dan Ngrasul dengan Kenduri pada umumnya
saptawara (pekan) menjadi satu, misalnya adalah pada aspek do’a khusus yang dibacakan,
Sabtu-pon dalam wuku Wugu. Niat atau hajat yang dipanjatkan, tempat
yang digunakan, dan seperangkat uga-rampe
Wuku digunakan di Jawa dan Bali sebagai atau seperangkat barang dan makanan yang
perlambang dari sifat-sifat manusia yang dikeluarkan.
dilahirkan pada hari-hari tertentu, seperti
halnya horoskop atau perbintangan. Menurut Ngrasul dapat dipandang sebagai
kepercayaan tradisional Jawa dan Bali orang pemahaman dan pengamalan sinkretisme
yang lahir pada hari dan pasaran tertentu dan beragama orang-orang di Pulau Jawa
jatuh pada wuku tertentu pula, ia terdapat sesudah berpindah agama dari Hindu ke
hari nahasnya. Agar diberikan keselamatan, Islam. Ritual ini masih dipraktikkan sampai
orang-orang yang punya wuku Warigagung, sekarang di daerah-daerah se pulau Jawa.
Pahang, dan Matkal perlu diruwat dengan Misalnya di Tretep Temanggung Jawa Tengah
mengeluarkan seperangkat uga-rampe atau dengan sebutan Mule Ngrasul yang berarti
seperangkat barang dan makanan yang sudah “Memulai mengikuti Rasulullah”. Di kalangan
ditentukan, dan selawat (sedekah berupa uang) masyarakat Betawi juga dikenal Ngrasul yang
yang juga telah ditentukan, dengan bacaan dilaksanakan pada saat akan mengadakan
do’a khusus berupa Ngrasul. hajatan dan dilakukan di tempat penyimpanan
bahan pokok untuk resepsi.
Jadi, Ngrasul adalah upacara ritual dengan
mantra dan do’a-do’a khusus yang tujuannya Sebagai warisan budaya, nilai-nilai
memohon keselamatan melalui perantaraan yang lama tetap dijunjung tinggi akan
Rasul yakni Nabi Muhammad SAW dengan tetapi medianya digantikan sesuai dengan
seperangkat uga-rampe berupa bunga, nasi kepercayaan yang baru. Dalam hal ini,
tumpeng, nasi Golong (dikepal sehingga memohon keselamatan melalui perantara
membentuk bulat) daging ayam utuh (ayam Rasulullah Saw dengan cara Ngrasul adalah
cara “islamisasi” meminta perlindungan dari
Edisi Budaya | 333
“ruh leluhur” yang masih tetap dipertahankan. masa hidupnya akan mengambang dan sirna
Hanya saja penyebutan nama-nama leluhur terbawa arus kematian.
dalam Ngrasul diniatkan untuk kirim doa
kepada leluhur, bukan meminta sesuatu Ayam Ingkung yakni ayam utuh yang
kepada orang yang sudah meninggal dunia. tidak dipotong-potong yang dibentuk seperti
posisi perempuan yang sedang sujud. Dari
Begitu pula penggunaan perangkat kata “Ingsun manekung” (aku berdoa dengan
ritual, seperti nasi tumpeng, nasi golong/sega khidmat), Ingkung ditandai sebagai ungkapan
asahan/ambeng, ayam Ingkung, Pisang Raja seseorang yang bermunajat kepada Allah
sesisir, uang selawat, bunga wewangian, dan dengan penuh harap dan rendah hati.
lain-lain sebagai islamisasi menu hidangan
Kenduri keperpayaan agama sebelumnya, Sedangkan sesisir Pisang Raja berwarna
yakni berupa daging (mamsa), ikan (matsya), kuning dimaknai kemuliaan hidup dapat
minuman keras (madya), layanan seksual terealisasi jika manusia selalu dekat dengan
(maithuna) dan Samadhi (mudra) atau biasa Allah Swt., seperti berdekatannya buah pisang
disebut Panca Makara. satu dengan lainnya. Adapun selawat berupa
uang koin yang ditaruh didalam mangkok
Nasi tumpeng dalam kepercayaan berisi air mengandung filosofi bahwa materi
orang Hindu dilambangkan sebagi gunung dunia yang disimbolkan dengan uang koin
Mahameru tempat suci para Dewa dan harus diperoleh dengan cara yang bersih dan
Brahmana. Tapi dalam kepercayaan orang halal sebagaimana air yang ada dalam wadah
Islam digambarkan sebagai dua telapak tangan mangkok.
yang merapat untuk memohon kepada Allah
Yang Maha Esa. Dari bahan dasar nasi putih Secara umum, berdasarkan bentuk ritual
dimaknai keikhlasan dan kesucian manusia dan materi yang digunakannya tampak ada
yang berhajat kepada Allah. kaitan dengan apa yang diajarkan Rasulullah
Saw terutama mengenai bersedekah dan
Nasi golong/sega asahan (ambeng) yaitu berbagi kepada orang lain. Oleh sebab itu ritual
nasi yang dikemas berbentuk bulat. Sesuai ini disebut Ngrasul dengan maksud mengikuti
nama ambeng (ngambang), ini mencerminkan ajaran Nabi Muhammad Saw.
kehidupan manusia sesudah meninggal
dunia bahwa hasrat dan keinginan sewaktu [Ishom Saha]
Sumber Bacaan
Abimanyu, Petir, Mistik Kejawen, Yogjakarta: Palapa, 2014
Bidiono, Herusatoto, Simbolisme dalam Budaya Jawa, Yogjakarta: Haninidita Graha Widia, 2005
Geertz, Clifford, Abangan, Santri dan Priyayi dalam Masyarakat Jawa, Jakarta: Pustaka Jaya, 1981
Jamil, dkk., Islam dan Kebudayaan Jawa, Yogyakarta: Gema Media, 2002
Sutardjo, Imam, Kajian Budaya Jawa, Surakarta: Jurusan Sastra Daerah UNS, 2010
Pranowo, “Menyingkap Tradisi Besar dan Tradisi Kecil” dalam Majalah Pesantren, No. 3 Vol. 4, 1987
334 | Ensiklopedi Islam Nusantara
Nyadran
Nyadran adalah suatu sistem tradisi sesaji menempati posisi yang sangat penting.
yang kompleks dan mengandung
berbagai unsur ritual yang dianggap Dalam kultur Jawa, nyadran atau sadran
penting menurut pengetahuan turun temurun berkaitan erat dengan tradisi mengunjungi
dari suatu masyarakat yang meliputi sesaji, makam leluhur atau sanak saudara menjelang
do’a, makan bersama dan prosesi. Bentuk ritual datangnya bulan Ramadhan, yaitu bulan
yang dilaksanakan sangat tergantung pada ruwah atau sya’ban dalam kalender hijriah.
latar belakang budaya dan sejarah komunitas Pada sebagian komunitas masyarakat, nyadran
yang bersangkutan. Di sejumlah daerah berpusat pada aktivitas ziarah kubur, yang
pesisir, nyadran cenderung berbentuk sedekah merupakan ritual berupa penghormatan
atau pesta laut atau persembahan kurban, kepada arwah nenek moyang dan memanjatkan
sedangkan di daerah pedalaman, nyadran doa selamatan.
hadir dalam ritual mengunjungi makam atau
kuburan para leluhur. Seiring dengan gelombang Islamisasi
di tanah Jawa, nyadran seringkali dikaitkan
Dalam tradisi nyadaran, terlihat dengan kata sodrun, yang dalam bahasa Arab
transformasi budaya lama ke dalam bentuk berarti dada atau hati. Pemahaman ini boleh
dan pemaknaan budaya baru dimana pengaruh jadi berhubungan dengan upaya masyarakat
Islam baik secara perlahan maupun singkat Muslim untuk membersihkan hati menjelang
meresap ke dalam entitas kultural yang terus bulan Ramadhan. Nyadran juga sering
menerus mencari bentuknya. dikaitkan dengan istilah nadzar, yaitu janji
yang diikrarkan dan harus dipenuhi.
Nyadran berasal dari bahasa Sanskerta,
sraddha yang artinya keyakinan atau Asal Usul
kepercayaan. Makna lain dari nyadran adalah
sadran, berasal dari kata ‘sudra’ sehingga Dalam sejumlah literatur, tradisi nyadran
nyadran berarti menyudra atau menjadi sudra dianggap berasal dari tradisi Hindu-Budha.
atau berkumpul dengan orang-orang awam. Hal Zoetmulder memperkirakan bahwa nyadran
ini mencerminkan nilai-nilai kultural bahwa muncul sejak zaman Majapahit ketika
berbaur dengan orang-orang kelas bawah masyarakat melakukan upacara mengenang
menjadi anjuran agama yang dilembagakan wafatnya Tribuana Tungga Dewi, penguasa
dalam ritual rakyat yang mengkondisikan ketiga Kerajaan Majapahit, pada tahun 1352
suasana komunal yang mencairkan perbedaan M. Penelusuran lebih awal menemukan bahwa
kelas dan status sosial. Dalam bahasa Jawa, nyadran telah dipraktekkan pada zaman
nyadran diduga berasal dari kata sadran yang Majapahit dengan istilah craddha. Praktek ini
artinya sesaji. Karena dalam pelaksanaannya, diperkirakan berlangsung sekitar tahun 1284
Edisi Budaya | 335
M. Ritual craddha menggunakan puji-pujian Unsur do’a dalam tradisi nyadran menjadi
dan sesaji dalam prosesinya. Masyarakat penanda Islamisasi budaya lokal karena do’a
pada saat itu percaya bahwa para leluhur yang dipanjatkan menggunakan do’a cara
yang telah meninggal, dapat mempengaruhi agama Islam dengan berbahasa Arab. Selain itu,
kehidupan anak cucu atau keturunannya, seringkali bacaan ayat Al-Qur’an dan kalimat-
mengganggu ataupun berhubungan dengan kalimat thoyyibah dilantunkan melengkapi
sanak keluarganya. ritual do’a. Sebagian orang mempraktekkan
tahlil, yaitu formula bacaan tertentu yang
Ritual nyadran tetap menjadi tradisi terdiri atas pujian, shalawat dan bacaan-
masyarakat Jawa setelah Walisongo melakukan bacaan tertentu dari ayat Al-Qur’an.
dakwah Islam di nusantara. Strategi khas
walisongo yang akomodatif terhadap budaya Sebagian masyarakat melakukan prosesi
lokal tidak serta merta menghapus budaya mandi yang dikenal dengan sebutan padusan.
nyadran yang pada dasarnya berbasis Ritual ini dimaksudkan untuk membersihkan
pemujaan roh. Para pendakwah sufi tersebut diri baik aspek lahir maupun batin. Aktivitas
merubah dan menyelaraskan praktek agama mandi ini biasanya dilakukan di sumber-
lama dengan ajaran Islam. Untuk itu, jalan sumber air yang disakralkan.
kompromi budaya dilakukan dalam rangka
menarik simpatik masyarakat lokal yang masih Nyadran yang dipusatkan pada acara
kuat memegang teguh tradisi sambil pelan- kurban kepala kerbau atau sedekah laut
pelan mengisinya dengan pemaknaan yang memiliki variasi ritual yang agak berbeda
sesuai dengan ajaran Islam serta unsur-unsur dengan nyadran mengunjungi makam. Tetapi
ritualnya seperti pembacaan ayat Al-Qur’an, unsur do’a dan pemaknaan yang lebih Islami
tahlil dan do’a. Makna nyadran mengalami tetap menjadi bukti Islamisasi budaya yang
pergeseran dari praktik pemujaan kepada sudah berlangsung selama berabad-abad.
roh leluhur menjadi ritual penghargaan dan
penghormatan kepada leluhur yang dianggap Praktik nyadran di Cirebon, misalnya,
berjasa dalam proses pembentukan masyarakat merupakan paket ritual yang terpusat pada
atau penyebaran agama Islam. Nyadran dalam aktivitas sedekah laut di sejumlah titik muara
perkembangannya dilaksanakan menjelang sungai yang didahului dengan arak-arakan
Ramadhan. Ritual tahunan ini juga dipahami atau dikenal dengan ider-ideran (parade tokoh
sebagai bentuk interaksi manusia dengan dan hewan lokal). Sedekah laut yang disajikan
leluhurnya, sekaligus dengan Sang Maha dalam sebuah joli (usungan) berisi kepala
Pencipta. kerbau dan aneka makanan untuk dihanyutkan
dan ditenggelamkan di kedalaman tertentu di
Bentuk Ritual lepas pantai. Persembahan tersebut dibawa
dengan sebuah perahu yang dikawal oleh
Sebagai bagian dari budaya masyarakat ratusan perahu lain yang dihias dan dilengkapi
Jawa, nyadran diselenggarakan dengan dengan bendera merah putih. Upacara
melibatkan banyak orang dan cenderung pelepasan sesajen ini didahului oleh lantunan
menghabiskan biaya yang tidak sedikit. adzan dan do’a yang menggunakan Bahasa
Nyadran yang berpusat pada ziarah kubur atau Arab.
makam para leluhur biasanya diikuti dengan
ritual lain seperti kegiatan membersihkan Parade rakyat yang diselenggarakan
makam, menabur bunga atau wangi-wangian, terkait dengan nyadran berisi iring-iringan
dan makan bersama (manganan). Sebagian model dan ikon tokoh lokal serta tiruan atau
masyarakat memeriahkan tradisi nyadran boneka (ogoh-ogoh) aneka hewan laut yang
dengan berbagai kenduri, pawai atau kirab dan mencerminkan kehidupan masyarakat pesisir.
pementasan seni tradisional seperti gamelan, Dalam parade ini, ditampilkan berbagai tokoh
tayuban dan wayang. yang terkait dengan sejarah pembentukan
Islam di Cirebon sebagai bentuk perayaan
sekaligus edukasi untuk masyarakat. Iring-
336 | Ensiklopedi Islam Nusantara
iringan berjalan mulai dari Pasambangan Jati Misalnya saja dalam penyelenggaraan
atau Bukit Amparan menuju ke arah utara kenduri, besik (membersihkan makam
ke Desa Sirnabaya. Dalam perkembangan leluhur), penyediaan sesaji, makanan atau
terakhir, ider-ideran dimulai dari Komplek perlengkapan ritual. Sudah menjadi tradisi
Makam Sunan Gunung Jati menuju arah masyarakat pada umumnya bahwa ritual yang
selatan hingga bunderan Krucuk Kota Cirebon mereka selenggarakan menjadi sarana untuk
dan kembali ke tempat semula. saling bahu membahu dalam mewujudkan
kepentingan bersama. Aspek voluntarisme
Bentuk nyadran yang berisi persembahan dan solidaritas masih kuat bersemayam dalam
kepala kerbau dengan cara melarung juga diri masyarakat nusantara. Sehingga mereka
dilakukan oleh komunitas lain di Jawa. Seperti dengan senang hati melakukan kegiatan
halnya yang dilakukan masyarakat Ngantru, komunal yang dalam pandangan masyarakat
Trenggalek, Jawa Timur. Pelaksanaan ritualnya menjadi kegiatan yang membahagiakan.
terdiri dari sejumlah hal seperti penyembelihan
kerbau, penyediaan sesajen, penyelenggaraan Aspek nyadran yang berorientasi
tahlil massal, pawai tradisional, makan pada komunikasi dengan arwah leluhur
bersama dan upacara ruwatan dengan merefleksikan gagasan penghormatan
menyelenggarakan pagelaran wayang kulit. kepada orang-orang yang telah berjasa
Unsur-unsur ritual dalam nyadran satu daerah dan berkontribusi besar dalam kehidupan
dengan daerah lainnya memiliki sejumlah masyarakat. Sikap mental yang masih
persamaan sekaligus perbedaan. mengingat dan tidak melupakan peran
orang-orang tertentu di masa lalu
Aspek Sosial Nyadran menunjukkan keluhuran budi antar generasi
yang dilembagakan dalam tradisi tahunan
Meskipun nyadran pada awalnya yang terus menerus dipertahankan. Nilai
merupakan tradisi nenek moyang yang berbasis kultural ini menjadi sesuatu yang berharga
pemujaan arwah melalui persembahan dan dalam penanaman nilai-nilai edukatif dan
pembacaan mantera, ritual tradisional ini pembentukan karakter bangsa. Dengan
dalam perkembangannya bergeser dengan berlangsungnya tradisi nyadran, penghargaan
pemaknaan yang berbeda. Kehadiran Islam sosial kepada seseorang tidak hanya pada
telah memalingkan pandangan teologis waktu mereka masih hidup, tetapi juga setelah
masyarakat sehingga komunikasi orang- mereka meninggalkan dunia yang fana.
orang yang hidup dengan orang yang sudah
meninggal ditujukan kepada Allah swt, Sang Aspek komunalisme yang muncul dari
Pencipta dan Pemberi rizki. Walaupun pada unsur-unsur nyadran seperti do’a bersama,
sebagian kasus tertentu belum sepenuhnya makan bersama, tradisi ruwatan dengan
terislamisasi, pemaknaan tradisi secara gamelan dan wayang kulit serta parade
lebih Islami pelan-pelan telah menunjukkan rakyat menjadi penanda kohesifitas sosial
tanda-tanda yang positif. Terlebih lagi, tradisi yang penting bagi upaya menjaga persatuan
nyadran ini memiliki dampak sosial yang dan ketahanan sosial suatu masyarakat.
cukup signifikan terhadap pelestarian budaya Dengan pelaksanaan nyadran, masyarakat
yang bersifat meneguhkan jati diri sebagai saling berinteraksi, berkolaborasi, dan saling
masyarakat yang komunal. memberi sehingga kegiatan tersebut berfungsi
memperkokoh sendi-sendi pergaulan dan
Berbagai jenis tradisi nyadran hubungan kemasyarakatan dalam bingkai
menunjukkan kecenderungan mobilisasi kearifan lokal.
massa yang bersifat saling membantu
dengan pola kerjasama yang telah mengakar Penyediaan makanan khas atau kuliner
dalam budaya masyarakat dan hampir lokal dalam kenduri atau slametan yang menjadi
berlangsung secara mekanik dalam gerakan bagian tradisi nyadran seringkali menyiratkan
yang dikenal dengan gotong royong. makna filosofis yang memberikan nilai
edukatif dan ikhtiar menciptakan keselarasan.
Edisi Budaya | 337
Keberadaan tumpeng (nasi berbentuk gunung), berarti permohonan ampun jika melakukan
misalnya, melambangkan sebuah pengharapan kesalahan. Kemenyan merupakan sarana
kepada Tuhan agar permohonan terkabul. permohonan pada waktu berdoa. Bunga,
Ingkung (ayam yang dimasak utuh) bermakna melambangkan keharuman do’a yang keluar
kepolosan manusia ketika masih bayi yang dari hati yang tulus. Seluruh gagasan filosofis
belum mempunyai kesalahan. Pisang raja tersebut bermuara pada upaya mewujudkan
melambangkan suatu harapan supaya kelak keselarasan manusia dengan Tuhan dan alam
hidup bahagia. Kombinasi unsur ketan, kolak, semesta.
dan apem, merupakan satu-kesatuan yang
[Hamdani]
Sumber Bacaan
Kastolani dan Abdullah Yusof, “Relasi Islam Dan Budaya Lokal Studi Tentang Tradisi Nyadran di Desa Sumogawe
Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang,” Kontemplasi, Vol. 04, No. 01, Agustus 2016.
Partokusumo, Karkono Kamajaya, Kebudayaan Jawa, perpaduannya dengan Islam, Yogyakarta : Ikatan Penerbit
Indonesia, 1995.
Purwadi, Sejarah Walisongo, Yogyakarta: Ragam Media, 2009.
Subarman, Munir, “Pergumulan Islam Dengan Budaya Lokal di Cirebon (Perubahan Sosial Masyarakat Dalam Upacara
Nadran di Desa Astana, Sirnabaya, Mertasinga, Kecamatan Cirebon Utara)”, Holistik, Vol. 15, No. 02, 2014.
Suyitno, Widiyanto Tri, 2001, Jalan Membebaskan Leluhur dari Alam Menderita, Yogyakarta:Vihara Karangjati.
Zoetmulder, Petrus Josephus, Kalangwan: a survey of old Javanese Literature, 1974.
338 | Ensiklopedi Islam Nusantara
O
Omah-Omah
Omah-Omah
Salah satu fase kehidupan sebagai penanda makna omah tereproduksi sehingga
kesempurnaan seseorang dalam bersosial meneguhkan kesadaran bahwa omah adalah
adalah omah-omah (berumah tangga) ruang yang paling diakrabi oleh setiap
yang ditandai dengan proses pernikahan keluarga. Maka salah satu penanda seseorang
(mantènan). Bagi orang Jawa dan bisa jadi yang sudah berumah tangga (omah-omah)
dalam berbagai suku bangsa di nusantara, dianggap mulai mapan harus memenuhi
omah-omah atau mantènan (berumah tangga) trilogi kebutuhan dasar yang meliputi sandang,
adalah klimaks dari trilogi ritus kehidupan pangan dan papan (kebutuhan pakaian, pangan,
yang meliputi, metu, mantèn, mati, atau lahir, dan tempat tinggal). Di sinilah omah begitu
nikah, mati (Santoso, 2000: 118; Said, 2012: urgen bagi setiap orang yang menginginkan
1). kesempurnaan minimal dalam berumah
tangga (omah-omah).
Penelusuran Istilah Omah
Makna dan Kontekstualisasi Omah
Istilah omah-omah dari bahasa Jawa
omah. Kata omah sendiri merupakan bagian Dalam kehidupan keluarga, omah (rumah)
dari bahasa Jawa tingkat terendah, ngoko, tidak sekedar sebagai tempat “omah-omah”
yang dengannya biasanya orang-orang Jawa (berumah tangga) dan berlindung dari panas
berpikir dan mengekpresikan secara spontan dan dingin, tetapi omah merupakan suatu
tentang tempat tinggal. Dari kata omah konsep orang Jawa dalam mengaktualisasikan
berkembang dalam menunjukkan makna diri baik secara pribadi maupun sosial sehingga
terkait kerumahtanggaan, seperti ngomahakè mencerminkan konsep budaya berhuni (Said,
(membuat kerasan atau menjinakkan), 2012: 2). Mendirikan rumah dalam tradisi
ngomah-ngomahakè (menikahkan), omah-omah Jawa memerlukan persiapan lahir maupun
(berumah tangga), pomahan (pekarangan batin secara matang. Maka orang Jawa bilang,
rumah), somah (rumah tangga), sèmah “tiyang ngedegake griya punika kados dene
(pasangan satu rumah). tiyang gadhah damel mantu” (orang mendirikan
rumah itu bagai orang yang akan punya gawe
Omah juga menunjukkan hubungan besar), karenanya didahului dengan perhelatan
dengan kata dalam suku lain misalnya Bahasa ritual sebagai wujud kesadaran sosial dan
Melayu Polenisaia Barat yang memiliki kata transendensi diri yang tinggi agar menemukan
rumah, Bahasa Bali, Roti, Rindi dan Tetum kemapanan dalam bertempat tinggal (Said,
memakai kata uma, bahasa Sawu menyebutnya 2012: 1).
amu, Aton um, Ema umar, Babar em, Buru
huma, dan Nuaulu numa. Kata-kata tersebut Kemapanan dalam bertempat tinggal
diambil dari akar kata Austronesia yang ini akan memungkinkan seseorang memiliki
bermakna suatu kelompok sosial yang bersatu kontrol teritorial sehingga dengan leluasa
dan mengklaim beberapa jenis asal-usul dan mendefinisikan keberadaan dan status
ritual yang sama (Fox, 1993: 10). seseorang atau kelompoknya. Kesadaran
diri dan ruang saling mengejawantahkan
Dari beberapa bahasa itulah kemudian
Edisi Budaya | 341